BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Kuncoro (2010: 4) menyebutkan bahwa pembangunan di Negara Sedang Berkembang (NSB) pada awalnya identik dengan strategi pertumbuhan ekonomi, yaitu usaha untuk meningkatkan pendapatan per kapita. Peningkatan pendapatan per kapita diharapkan mampu mengatasi permasalahan negara (pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan distribusi pendapatan) melalui “dampak merembes ke bawah” (trickle down effect). Dengan demikian, indikator keberhasilan pembangunan hanya dilihat dari peningkatan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita riil atau tingkat pertumbuhan PNB atas dasar harga konstan harus lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan penduduk. Berdasarkan pengertian tersebut, strategi pembangunan yang umumnya ditempuh NSB adalah mencari sektor ekonomi yang dianggap mampu memimpin pertumbuhan ekonomi dan memberikan prioritas pembangunan di sektor tersebut. Arsyad (1999: 354) menyebutkan sebagian besar NSB berkeyakinan bahwa sektor industri pengolahan memiliki peranan sebagai leading sector bagi perekonomian suatu negara untuk tumbuh. Leading sector di sini berarti bahwa dengan adanya pembangunan industri, maka akan memacu pembangunan sektor-sektor lainnya, seperti sektor pertanian dan sektor jasa, melalui sifat keterkaitan industri pengolahan yang tinggi baik ke belakang (hulu) maupun ke depan (hilir). Pertumbuhan industri akan membuat permintaan input bahan baku meningkat, sehingga merangsang pertumbuhan sektor primer, misalnya: sektor
1
2
pertanian dan sektor pertambangan, untuk menyediakan bahan baku bagi industri. Pertumbuhan industri juga akan mendorong permintaan sektor tersier, misalnya sektor perdagangan, sektor keuangan, dan sektor transportasi, sehingga mendorong pertumbuhan sektor-sektor jasa tersebut (Arsyad, 1999: 354). Pendapat di atas didukung oleh teori perubahan struktural. Teori ini menyebutkan bahwa suatu negara akan berkembang dengan pesat jika mentransformasikan struktur perekonomiannya dari pola perekonomian pertanian subsisten tradisional (pertanian-pedesaan) menjadi perekonomian yang lebih modern (industri dan jasa) yang identik dengan kehidupan perkotaan. Teori perubahan struktural dipelopori oleh ekonom W. Arthur Lewis dengan model “surplus tenaga kerja dua sektor” dan Hollis B. Chenery dengan model “pola-pola pembangunan” (Todaro dan Smith, 2003: 133). Lewis dalam model “surplus tenaga kerja dua sektor” menyatakan bahwa sektor modern (industri dan jasa) memiliki produktivitas yang lebih tinggi daripada sektor tradisional (pertanian subsisten), sehingga pendapatan yang diperoleh dari sektor industri dan jasa lebih besar dibandingkan sektor pertanian. Teori ini berasumsi bahwa tingkat pengalihan tenaga kerja dan tingkat penciptaan kesempatan kerja di sektor modern sebanding dengan tingkat akumulasi modal sektor modern. Semakin cepat tingkat akumulasi modal, semakin tinggi pula tingkat pertumbuhannya, dan berakibat semakin cepat penciptaan lapangan kerja baru (Todaro dan Smith, 2003: 133-137). Namun, beberapa ekonom mengkritik teori Lewis dan menyatakan bahwa peningkatan akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi, tidak selalu diikuti
3
dengan peningkatan penciptaan lapangan kerja (Todaro dan Smith, 2003: 137). Misalkan, jika akumulasi modal tidak digunakan untuk membeli mesin/teknologi produksi yang sejenis, tetapi diinvestasikan untuk membiayai mesin berteknologi baru yang memiliki produktivitas tinggi namun hemat tenaga kerja, maka walaupun pertumbuhan output meningkat, namun tidak diikuti dengan penyerapan tenaga kerja baru. Hal tersebut akan berdampak pada kesenjangan distribusi pendapatan, di mana pemegang modal akan memperoleh margin pendapatan yang lebih besar dari surplus usaha hasil efisiensi produksi, sedangkan tenaga kerja hanya akan memperoleh gaji/upah yang kecil. Apabila hal ini terjadi dalam waktu yang lama, maka tujuan pembangunan yang sebenarnya tidak akan tercapai. Dengan demikian, sektor industri pengolahan tidak selalu mampu menjadi leading sector perekonomian di suatu wilayah. Hal tersebut sangat tergantung pada jenis industri pengolahan, ketersediaan sumber daya alam sebagai bahan baku, kemampuan sumber daya manusia sebagai tenaga kerja, ketersediaan pasar bagi produk industri, maupun kemampuan institusi pemerintah di wilayah tersebut. Apabila suatu wilayah salah dalam menentukan sektor industri yang diprioritaskan, misalnya sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang dan ke depan yang lemah, maka permasalahan-permasalahan pembangunan di wilayah tersebut tidak akan terpecahkan atau bahkan dapat semakin memburuk. Menurut Kuncoro (2010: 257), apabila mencermati kondisi di Indonesia, permasalahan industri Indonesia adalah struktur industrinya masih dangkal (shallow) dan tidak seimbang (unbalanced), dengan keterkaitan antara industri hulu dan industri hilir yang masih rendah. Studi Kurniawan (2011) mengenai
4
transformasi struktural perekonomian Indonesia menunjukkan bahwa sektor primer tidak memiliki keterkaitan antarsektor yang tinggi dan tidak pernah menjadi sektor kunci. Pergeseran struktur PDRB tidak diikuti perubahan pangsa tenaga kerja, di mana tenaga kerja yang berpindah dari sektor pertanian tidak beralih ke sektor yang memiliki produktivitas lebih tinggi. Jawa Barat adalah salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting dalam perekonomian nasional, baik ditinjau dari kontribusi PDB, jumlah penduduk, dan letak geografisnya. Dilihat dari sisi PDB, Jawa Barat berada di peringkat ketiga provinsi dengan kontribusi terbesar terhadap PDB Indonesia atas dasar harga konstan 2000 pada periode 2000-2012. Kontribusi PDRB Jawa Barat terhadap PDB nasional selama periode 2000-2012 rata-rata sebesar 14,44 persen, sedikit di bawah kontribusi PDRB DKI Jakarta (17,46 persen) dan Jawa Timur (15,20 persen) (Gambar 1.1). 20% 18% 16% 14% 12% 10% 8% 6% 4% 2% 0%
DKI
JABAR
JATIM
DIY
BANTEN
JATENG
Sumber: BPS, 2013 Gambar 1.1 Kontribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan 2000 Provinsi-Provinsi di Pulau Jawa Terhadap PDB Indonesia 2000-2012
5
Selanjutnya, dilihat dari sisi jumlah penduduk, Jawa Barat merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, yaitu 43 juta jiwa (BPS, 2013). Hal ini menjadi potensi yang besar, baik sebagai potensi faktor produksi (tenaga kerja) maupun potensi faktor permintaan (pasar produk). Dari sisi geografis, Jawa Barat berbatasan langsung dengan DKI Jakarta yang berakibat Jawa Barat memiliki fungsi sebagai daerah penyangga (hinterland) bagi DKI. Sebagai hinterland Jawa Barat terkena eksternalitas positif dari berbagai aktivitas yang berkembang di DKI Jakarta, yang merupakan pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi nasional yang dapat menjadi pasar, pusat keuangan dan permodalan, serta pusat pengembangan teknologi (Nugrahadi, 2008: 2-3). Tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata Jawa Barat dalam periode 1993-1997 (masa sebelum krisis ekonomi 1998) sebesar 7,36 persen (berdasarkan harga konstan 2000), lebih besar dari rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya sebesar 7,00 persen (Nugrahadi, 2008: 1). Namun, pada saat krisis tahun 1998, tingkat pertumbuhan ekonomi Jawa Barat anjlok hingga -17,77 persen, jauh lebih rendah dari rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi nasional sebesar -13,2 persen. Demikian juga pada saat krisis ekonomi 2008, tingkat pertumbuhan ekonomi Jawa Barat tahun 2009 hanya sebesar 4,18 persen, juga lebih rendah dari rata-rata tingkat pertumbuhan nasional yang mencapai 4,63 persen (Gambar 1.2). Kinerja ekonomi Jawa Barat ini menunjukkan dampak yang lebih parah akibat kontraksi ekonomi dibandingkan rata-rata kinerja ekonomi nasional. Hal ini terjadi karena struktur perekonomian Jawa Barat melompat ke sektor industri
6
pengolahan lebih cepat tanpa disertai struktur industri yang kuat, sehingga ketika terjadi krisis ekonomi, Jawa Barat mengalami penurunan yang sangat dramatik
Triliun Rupiah
(Nugrahadi, 2008: 2). 400
15% 10,8%
350
9,2% 4,9%
4,5%
300
4,9%
4,8%
3,1%
2,3%
250
3,9%
10%
6,2% 6,5%
6,5%
5,6%
4,7%
6,2%
6,0%
5%
4,2% 0%
343
322
303
291
274
243
230
220
210
203
196
187
182
222
212
194
175
100
167
150
257
200
-10% -15%
-17,8%
50
-5%
PDRB ADHK 2000 (DALAM TRILIUN RUPIAH)
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
-20%
1993
-
LAJU PERTUMBUHAN PDRB (%)
Sumber: BPS, 2013 (data diolah) Gambar 1.2 Perkembangan PDRB dan LPE Jawa Barat ADHK 2000 Periode 1993-2011
Untuk memahami lebih jauh penyebab fenomena penurunan yang dramatik dari laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada saat krisis ekonomi, maka perlu dilihat bagaimana struktur ekonomi Jawa Barat. Struktur perekonomian Jawa Barat periode 1993-2012 atas dasar harga konstan 2000 terutama disumbang oleh sektor industri pengolahan dengan kontribusi sebesar 39 persen, diikuti sektor perdagangan, hotel, dan restoran dengan kontribusi sebesar 20 persen, dan sektor pertanian dengan kontribusi sebesar 14 persen. Kontribusi sektor-sektor ekonomi penyusun PDRB Jawa Barat pada periode 1993-2012 dapat dilihat pada Gambar 1.3 dan Gambar 1.4.
7
KEUANGAN 4% ANGKUTAN
JASA LAIN 8%
PERTANIAN 14%
KOMUNIKASI 5%
TAMBANG DAN GALIAN 4%
PERDAGANGAN HOTEL RESTORAN 20%
BANGUNAN 4% LISTRIK, GAS, AIR 2%
INDUSTRI PENGOLAHAN 39%
Sumber: BPS Jawa Barat, 2013 (data diolah) Gambar 1.3 Kontribusi Rata-Rata Sektor-Sektor Ekonomi terhadap PDRB Jawa Barat ADHK 2000 Periode 1993-2012
50%
45%
TANI
40%
TAMB
35%
IND
30% 25%
LGA
20%
BANG
15%
PHR
10%
ANGK
5%
KEU 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
0%
JAS
Sumber: BPS Jawa Barat, 2013 (data diolah) Gambar 1.4 Perkembangan Kontribusi 9 Sektor Ekonomi Penyusun PDRB Jawa Barat ADHK 2000 Periode 1993-2012 Berdasarkan Gambar 1.4 dapat diketahui bahwa selama periode tahun 19932012 industri pengolahan selalu menjadi sektor dengan kontribusi terbesar dalam
8
perekonomian Jawa Barat, yaitu rata-rata sebesar 39 persen. Namun, selama empat tahun terakhir terlihat tren penurunan kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB Jawa Barat, yang diimbangi dengan tren peningkatan kontribusi sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Studi Amir (1999) menunjukkan bahwa besarnya kontribusi sektor industri pengolahan yang terjadi selama periode sebelum krisis ekonomi 1998 (19931997) terutama ditopang oleh kontribusi subsektor Industri Besar dan Menengah (IBM), dengan kontribusi rata-rata sebesar 85,90 persen. Subsektor IBM tersebut umumnya bersifat padat modal (capital intensive) dan menyerap bahan baku impor (lihat Nugrahadi, 2008: 7). Kondisi serupa masih berlangsung pada periode 2007-2012, di mana Hidayat (2013) menyatakan bahwa struktur industri pengolahan Jawa Barat 2007-2012 masih didominasi oleh industri alat angkut, mesin, dan peralatan (46,69 persen) dan industri tekstil, barang kulit, dan alas kaki (23,25 persen). Kedua sektor industri tersebut didominasi oleh IBM yang bersifat padat modal (capital intensive) dan menyerap bahan baku impor. Faktor ini membuat perekonomian Jawa Barat rentan terhadap gejolak ekonomi global. Fakta tersebut didukung hasil studi yang dilakukan oleh Siswanto, Yustiana, dan Imanira (2003) yang menyatakan bahwa berdasarkan perbandingan antara transaksi total dan domestik, hampir sebagian besar komoditi yang tergolong dalam subsektor IBM memiliki indeks daya penyerapan (α) kurang dari 1, yang berarti subsektor tersebut kurang menyerap komoditi yang dihasilkan dari pasar domestik sebagai bahan bakunya. Hal ini menunjukkan ketergantungan industri
9
Jawa Barat terhadap input bahan baku impor dan menunjukkan keterkaitan industri pengolahan ke belakang (backward linkage) masih lemah. Secara umum dapat dikatakan sektor primer sebagai penyedia input (sektor pertanian) kurang terkait dengan sektor industri pengolahan (lihat Nugrahadi, 2008: 7-8). Bahan baku industri pengolahan, baik bahan baku mentah maupun produk setengah jadi, didominasi oleh produk impor. Hal ini yang diduga menjadi penyebab Jawa Barat mengalami goncangan besar selama periode krisis ekonomi global, di mana nilai tukar mata uang melemah, sedangkan bahan baku industri yang masih impor harus dibayar dengan mata uang asing. Dari sisi pangsa tenaga kerja sektoral, pada periode 1993-2010 Jawa Barat mengalami perubahan struktural sesuai dengan teori perubahan struktural Arthur Lewis. Pangsa tenaga kerja sektor pertanian menurun seiring penurunan pangsa PDRB-nya. Tenaga kerja sektor pertanian tersebut beralih ke sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran (Gambar 1.5).
50% Tani
40%
Tamb 30%
Industri LGA
20%
Bang PHR
10%
Angk 0% 1993
2003
2010
Pangsa Tenaga Kerja
1993
2003
2010
Keu Jasa
Pangsa PDRB
Sumber: BPS, Jawa Barat Dalam Angka 1994-2012 (data diolah) Gambar 1.5 Perkembangan Pangsa Tenaga Kerja dan Pangsa PDRB 9 Sektor Ekonomi Jawa Barat 1993-2010
10
Berdasarkan Gambar 1.5, penurunan pangsa PDRB maupun pangsa tenaga kerja dari sektor pertanian diimbangi dengan peningkatan pangsa PDRB maupun pangsa tenaga kerja dari sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel, restoran (PHR). Penelitian Nugrahadi (2008: 246) menunjukkan bahwa pola perubahan struktur ekonomi di Jawa Barat dari aspek output dan tenaga kerja konsisten dengan teori dan studi-studi yang mendukungnya. Pendapatan per kapita dan populasi berpengaruh negatif terhadap share output dan tenaga kerja sektor pertanian, namun berpengaruh positif terhadap share output dan tenaga kerja sektor industri pengolahan di Jawa Barat periode 1993-2003. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk menjawab beberapa permasalahan berikut ini. 1.
Bagaimanakah
peranan
sektor
industri
pengolahan
dalam
struktur
perekonomian Jawa Barat? 2.
Bagaimanakah dampak ekonomi yang ditimbulkan sektor industri pengolahan melalui efek multiplier output, pendapatan, dan tenaga kerja?
3.
Bagaimanakah keterkaitan sektor industri pengolahan dengan sektor-sektor ekonomi lainnya di Jawa Barat?
4.
Apakah terjadi perubahan struktur ekonomi di Jawa Barat dilihat dari interaksi keterkaitan antarsektor?
5.
Terkait pertumbuhan sektor industri pengolahan yang sangat cepat, faktor apa yang menjadi sumber pertumbuhan output sektor industri pengolahan?
6.
Terkait strategi pembangunan industri, sektor industri apakah yang menjadi industri prioritas dalam strategi dan kebijakan pembangunan Jawa Barat?
11
1.2 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai peranan suatu sektor dalam perekonomian dengan menggunakan metoda analisis input output telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian tersebut tercantum dalam Tabel 1.1. Tabel 1.1 Studi Empiris Terdahulu Terkait Analisis Input Output No
Peneliti
Alat Analisis
Kesimpulan
1
Akita dan Hermawan (2000)
Analisis Tabel IO (metoda dekomposisi faktor pertumbuhan output).
Peningkatan konsumsi rumah tangga menjadi sumber utama pertumbuhan output di Indonesia periode 19851995, diikuti oleh pertumbuhan ekspor, terutama ekspor nonmigas.
2
Natratilova Analisis Tabel IO (2008) (metoda RAS, multiplier, keterkaitan antarsektor, dan Hypothetical Extraction Methods).
Industri pengolahan Jateng memiliki multiplier output yang tinggi, namun memiliki multiplier tenaga kerja dan pendapatan yang rendah tahun 2006. Sektor kunci perekonomian adalah industri pupuk, kimia; industri makanan, minuman, tembakau.
3
Nugrahadi (2008)
Metoda ekonometrik, analisis Tabel IO (dekomposisi sumber pertumbuhan output), dan analisis Tabel SAM (analisis perubahan struktural dan distribusi pendapatan).
Terjadi perubahan struktur ekonomi Jabar 1993-2003 dari sektor pertanian ke sektor industri. Sumber pertumbuhan output berasal dari konsumsi rumah tangga, investasi, ekspor. Sumber pertumbuhan tenaga kerja bsala dari intensitas tenaga kerja dan teknologi. Distribusi pendapatan rumah tangga semakin mengalami kesenjangan.
4
Ramos, Estrada, dan Felipe (2011)
Analisis Tabel IO (metoda analisis sektor kunci dan Multiplier Product Matrix).
Sektor industri pengolahan menjadi sektor kunci di Filipina periode 1979-2000. Industri berskala besar dan industri berbasis sumber daya alam mulai mengalami penurunan kontribusi, sedangkan industri padat karya dan industri berbasis iptek mulai meningkat kontribusinya.
12
No 5
Peneliti
Alat Analisis
Thaiprasert Analisis Tabel IO dan Hicks (metoda dekomposisi (2011) sumber pertumbuhan output).
6 Fajri (2013)
Analisis Tabel IO (metoda analisis keterkaitan antarsektor, MPM, analisis dekomposisi sumber pertumbuhan output, dan pertumbuhan TFP).
Kesimpulan Peningkatan ekspor domestik adalah sumber utama pertumbuhan output di Indiana-USA 2001-2006, disusul konsumsi rumah tangga dan ekspor luar negeri. Sektor tambang memiliki share terbesar dalam ekonomi Kalimantan Selatan 2000-2010, namun memiliki keterkaitan antarsektor yang rendah. Sektor kunci ekonomi adalah industri pengolahan. Struktur ekonomi Kalsel bertransformasi dari pertambangan ke industri. Sumber pertumbuhan output utama adalah ekspor batubara. Produktivitas modal dan TFP berhubungan linier dan signifikan dengan pertumbuhan output.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah lokasi penelitian, periode data yang diambil, serta ragam metoda yang digunakan. Studi ini mengambil tempat di Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan data Tabel IO Jawa Barat tahun 2000, 2003, dan 2010 updating 2003. Alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, angka pengganda (output, pendapatan, dan tenaga kerja), keterkaitan antarsektor (sektor kunci), Multiplier Product Matrix, dan dekomposisi sumber pertumbuhan output.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1.
menganalisis peranan sektor industri pengolahan dalam pembentukan total
13
output, nilai tambah bruto, permintaan antara, permintaan akhir, permintaan ekspor, dan total impor di Jawa Barat tahun 2000-2010; 2.
menganalisis dampak ekonomi yang ditimbulkan sektor industri pengolahan berdasarkan efek angka pengganda output, angka pengganda pendapatan, dan angka pengganda tenaga kerja di Jawa Barat;
3.
menganalisis keterkaitan antarsektor dalam perekonomian Jawa Barat untuk menentukan sektor kunci;
4.
menganalisis perubahan struktur ekonomi Jawa Barat berdasarkan interaksi keterkaitan antarsektor ekonomi (economic landscape) tahun 2000-2010;
5.
menganalisis sumber pertumbuhan output sektor industri pengolahan Jawa Barat dari sisi permintaan tahun 2000-2010;
6.
menganalisis kebijakan pemerintah dalam mendukung pertumbuhan industri pengolahan di Jawa Barat terutama sektor industri prioritas.
1.3.2 Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1.
menjadi bahan masukan yang berguna bagi Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengenai sektor industri kunci yang layak dijadikan prioritas pembangunan Jawa Barat, serta informasi mengenai sumber pertumbuhan output Jawa Barat dari sisi permintaan, sehingga dapat menjadi bahan kajian dalam pengambilan kebijakan strategi pembangunan sektoral yang tepat guna mewujudkan tujuan pembangunan ekonomi daerah;
2.
menambah khasanah penelitian ilmu ekonomi, khususnya ekonomika pembangunan, sehingga dapat menjadi bahan referensi bagi penelitian-
14
penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan aplikasi tabel input output bagi pembangunan sektoral daerah.
1.4 Sistematika Penulisan Tesis ini disajikan dalam 4 bab, dengan sistematika sebagai berikut: Bab I Pengantar, berisi tentang latar belakang penelitian, keaslian penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian. Bab II Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis, berisi tentang tinjauan pustaka atas hasil-hasil penelitian sebelumnya yang sejenis, konsep dan teori ekonomi yang dipakai sebagai landasan teori penelitian ini, serta alat analisis yang digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian. Bab III Analisis Data dan Pembahasan, berisi tentang cara/metoda penelitian, hasil analisis data, dan pembahasannya. Bab IV Kesimpulan dan Saran, berisi tentang kesimpulan temuan penting dalam penelitian dan saran yang dapat diajukan terkait hasil akhir penelitian.