BAB I PENGANTAR
1.1 Latar Belakang Pada mulanya pembangunan selalu diidentikkan dengan upaya peningkatan pendapatan per kapita atau populer disebut sebagai strategi pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2010: 4). Dengan meningkatnya pendapatan per kapita secara otomatis permasalahan yang dihadapi terutama oleh negara sedang berkembang seperti ketimpangan distribusi pendapatan, kemiskinan dan pengangguran dapat dipecahkan terutama melalui mekanisme “efek rembesan ke bawah” (trickle down effect). Namun pada akhir dasawarsa 1960-an mulai disadari bahwa pertumbuhan (growth) tidak identik dengan pembanguan (development). Di banyak negara berkembang pertumbuhan memang berhasil dicapai tetapi disertai dengan munculnya masalah pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi hanya mencatat peningkatan produksi barang dan jasa secara nasional, sedangkan pembangunan ternyata berdimensi lebih luas dari sekedar pertumbuhan ekonomi (Kuncoro, 2010: 5). Dengan demikian pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) bagi proses pembangunan. Artinya, pertumbuhan hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor di mana penduduk miskin bekerja (seperti pertanian atau sektor yang padat karya).
1
2
Menurut Kuncoro (2006: 155) terdapat teori yang menyatakan ada semacam trade off antara pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan pemerataan pendapatan dalam suatu pembangunan ekonomi. Ketika pembangunan ekonomi lebih ditujukan untuk pemerataan pendapatan maka pertumbuhan ekonomi akan membutuhkan waktu yang relatif lama untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi. Begitu pula sebaliknya, jika pembangunan lebih difokuskan untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi maka akan semakin besar kemungkinan terjadinya ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan memerlukan pertumbuhan ekonomi. Namun persoalan dasarnya bukan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga siapakah yang berkontribusi dalam menumbuhkannya (Todaro, 2006: 231). Jika yang menumbuhkannya hanyalah orang-orang kaya yang berjumlah sedikit maka manfaat pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati oleh orang kaya saja, sehingga ketimpangan pendapatan dan kemiskinan menjadi semakin parah. Sebaliknya jika pertumbuhan dihasilkan oleh orang banyak, maka pihak yang akan memperoleh manfaat terbesarnya adalah orang banyak dan kue pertumbuhan ekonomi akan terbagi secara merata. Hal yang sama juga berlaku bagi pembangunan ekonomi daerah sebagai suatu proses kerja antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya dalam mengelola sumber daya yang ada, dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 2005: 108). Bagi daerah keberhasilan pembangunan
3
dapat diukur dari pencapaian pertumbuhan ekonomi daerah yang tercermin dari angka pertumbuhan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), menurunnya angka kemiskinan, pengangguran dan makin tingginya pemerataan distribusi pendapatan di daerah. Permasalahan
ketimpangan
memiliki
dua
dimensi
yaitu
pertama,
ketimpangan distribusi pendapatan antargolongan pendapatan masyarakat dan kedua, ketimpangan antardaerah. Ketimpangan antardaerah menjadi penting untuk menjadi bahan kajian karena kesenjangan atau disparitas pembangunan regional masih menjadi permasalahan di negara-negara berkembang. Hasil observasi menunjukkan bahwa secara umum disparitas regional di negara-negara yang kurang maju lebih lebar dari pada yang terjadi di negara-negara maju (Williamson, 1965:44). Sementara di Indonesia sendiri, gravitasi aktivitas ekonomi masih cenderung terkonsentrasi secara geografis ke Kawasan Barat Indonesia (KBI) selama lebih dari lima dasawarsa terakhir (Kuncoro, 2013: 262). Gambar 1.1 menunjukkan bahwa jika dilihat dari kategori PDRB provinsi di Indonesia maka provinsi di KBI cenderung memiliki nilai PDRB yang lebih tinggi daripada provinsi di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Struktur perekonomian Indonesia pada tahun 2011 secara spasial masih didominasi kelompok provinsi di Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 61,22 persen, diikuti Pulau Sumatera sekitar 21,04 persen. Provinsi di luar Jawa dan Sumatera atau Kawasan Timur Indonesia (KTI) hanya kebagian sisanya, sekitar 17,74 persen. Seluruh provinsi di Pulau Jawa memiliki PDRB di atas rata-
4
rata nasional kecuali Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, bahkan tiga provinsi (Jawa Barat, Jawa Timur dan DKI Jakarta) menunjukkan gap yang sangat mencolok dibandingkan dengan provinsi lainnya.
Khususnya untuk Provinsi
Kalimantan Selatan termasuk pada daerah dengan katagori PDRB tingkat menengah
(20-50
triliun)
dan
masih
di
bawah
rata-rata
nasional
(Rp71.616.415.740.000). Dari paparan di atas maka dapat dinyatakan bahwa ketimpangan pendapatan antarwilayah dan pulau di Indonesia masih terus terjadi. Jika dilihat dari Gambar 1.2 tampak bahwa rata-rata pertumbuhan PDRB selama 1993-2011 pada provinsi di Pulau Sulawesi, kecuali Provinsi Sulawesi Utara menunjukkan tingkat yang
tinggi. Provinsi di Pulau Jawa tingkat
pertumbuhan PDRB nya pada kisaran 3-5 persen dan berada di bawah rata-rata nasional (5 persen). Provinsi Kalimantan Selatan termasuk pada daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi menengah atas (5,62 persen) dan berada di atas rata-rata pertumbuhan nasional.
PDRB ADHK 2000 (Jutarupiah)
< 10 triliun
10-20 triliun
20-50 triliun
50-200 triliun
450.000.000,00 400.000.000,00 350.000.000,00 300.000.000,00 250.000.000,00 200.000.000,00 150.000.000,00 100.000.000,00 50.000.000,00 -
Provinsi Sumber: Badan Pusat Statistik (2013)
Gambar 1.1 Kategori PDRB Provinsi di Indonesia, 2011
> 200 triliun
5
Seperti halnya dengan ketimpangan antara KBI dan KTI serta antara Jawa dan luar Jawa hal serupa juga terjadi antarkabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan. Provinsi Kalimantan Selatan dengan luas wilayah 37.530,52 Km 2 merupakan provinsi yang terletak di tenggara Kalimantan. Daerah ini dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956. Dalam era otonomi daaerah telah terjadi pemekaran wilayah hingga pada akhirnya secara administratif Provinsi Kalimantan Selatan terdiri dari 11 (sebelas) kabupaten dan 2 (dua) kota.
Pertumbuhan (%)
< 3%
5 -7%
3-5%
>7%
13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 -1 -2
Provinsi
Sumber: Badan Pusat Statistik (2013)
Gambar 1.2 Rata-rata Pertumbuhan PDRB Provinsi di Indonesia, 1993-2011 Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.3 selama 1993 sampai 2011 terlihat bahwa rata-rata PDRB per kapita kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan terbesar terdapat di Kabupaten Kotabaru (Rp12.484.256,25), Kabupaten Balangan (Rp12.085.665,44), Kabupaten Tanah Bumbu (Rp11.796.739,80 ) dan Kabupaten Tabalong (Rp10.218.557,68). Kabupaten/kota dengan rata-rata PDRB
6
per kapita terkecil adalah Kabupaten Hulu Sungai Utara (Rp4.008,930,51), Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Rp3.854.867,02) dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah (Rp3.326.292,95). Semua kabupaten yang memiliki rata-rata PDRB per kapita selama 1993-2011di Provinsi Kalimantan Selatan adalah daerah yang kaya
PDRB per Kapita
akan sumber daya alam. 13.000.000,00 12.000.000,00 11.000.000,00 10.000.000,00 9.000.000,00 8.000.000,00 7.000.000,00 6.000.000,00 5.000.000,00 4.000.000,00 3.000.000,00 2.000.000,00 1.000.000,00 -
Kabupaten/Kota
Keterangan: *) Pemekaran tahun 2000 **) Pemekaran tahun 2002 Sumber: Badan Pusat Statistik, berbagai terbitan
Gambar 1.3 Rata-rata PDRB per Kapita ADHK 2000 Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan, 1993-2011 Ketimpangan juga dapat dilihat dari peranan PDRB per kapita kabupaten/kota terhadap pembentukan PDRB per kapita Provinsi Kalimantan Selatan. Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 1.4 selama 1993 sampai 2011 terlihat bahwa rata-rata Pangsa PDRB per kapita Kalimantan Selatan sebagian besar disumbangkan Kabupaten Kotabaru (15,88 persen), Kabupaten Tabalong (12,66 persen), Kabupaten Balangan (11,69 persen) dan Kabupaten Tanah Bumbu
7
(11,71 persen). Semua kabupaten yang memiliki pangsa terbesar PDRB per kapita Provinsi Kalimantan Selatan adalah daerah yang kaya akan sumber daya alam. Pangsa yang lebih kecil dimiliki oleh Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kota Banjarbaru, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Utara, dan Kabupaten Tapin. Pangsa PDRB per kapita kabupaten/kota terhadap PDRB Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan tren yang fluktuatif selama tahun 1993-2001 terutama di Kabupaten Tabalong dan Kabupaten Barito Kuala. Tren yang stabil terjadi selama 2002 sampai 2011 yang ditunjukkan oleh tingkat prosentase yang relatif tidak banyak berubah selama tahun 2002 sampai 2011, kecuali Kabupaten Barito Kuala yang mengalami penurunan akibat pertumbuhan ekonomi negatif terutama pada tahun 1998, 2005 dan 2006. Selama periode 2001-2002 terjadi penurunan pangsa hampir di semua kabupaten/kota yang waktunya bersamaan
dengan saat terjadinya pemekaran wilayah. Pemekaran
dilakukan di dua kabupaten induk yaitu Kabupaten Kotabaru dimekarkan hingga terbentuk Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Balangan yang terbentuk dari kabupaten induk yaitu Kabupaten Hulu Sungai Utara.
8
20,00 Tanah laut
18,00
Kotabaru
16,00
Pangsa (%)
Banjar
14,00
Barito Kuala
12,00
Tapin HSS
10,00
HST
8,00
HSU
6,00
Tabalong Tanah Bumbu **)
4,00
Balangan **)
2,00
Banjarmasin
-
Banjarbaru *)
1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011
Tahun Keterangan: *) Pemekaran tahun 2000 **) Pemekaran tahun 2002 Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Selatan, berbagai terbitan
Gambar 1.4 Peranan Kabupaten/Kota dalam Pembentukan PDRB per Kapita ADHK 2000 di Provinsi Kalimantan Selatan, 1993– 2011 Pertumbuhan PDRB per kapita di Provinsi Kalimantan Selatan periode 1993 – 2011 sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 1.1 didominasi oleh beberapa kabupaten seperti Kabupaten Tabalong (7,68 persen), Kabupaten Kotabaru (4,75 persen), Kabupaten Hulu Sungai Utara (3,74 persen) dan Kabupaten Hulu Sungai Tengah (3,73 persen). Daerah lain yang ekonominya tumbuh lebih lambat adalah Kabupaten Barito Kuala, Kota Banjarbaru, Kabupaten Tanah Laut dan Kabupaten Tanah Bumbu.
9
Tabel 1.1 Pertumbuhan PDRB per Kapita ADHK 2000 Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan, 1993 – 2011 PDRB per Kapita (Rp) No
Kabupaten/Kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Tanah laut Kotabaru Banjar Barito Kuala Tapin Hulu Sungai Selatan Hulu Sungai Tengah Hulu Sungai Utara Tabalong Tanah Bumbu Balangan Banjarmasin Banjarbaru Rata-Rata
1993
2011
5.674.711,67 7.984.976,65 4.299.521,38 6.934.843,07 3.663.486,21 2.953.935,14 2.539.881,25 3.134.525,63 4.027.680,64 5.132.841,61 4.634.640,33
7.952.239,50 17.691.919,44 6.874.032,92 7.372.479,03 6.322.480,05 5.370.037,66 4.751.095,31 4.408.664,10 14.336.645,19 12.453.396,68 13.787.626,42 8.300.362,37 4.826.017,46 8.803.615,09
Rata-rata Pertumbuhan PDRB per Kapita 1993-2011 (%) 2,11 4,75 2,70 0,63 3,12 3,41 3,72 3,74 7,66 2,26 3,53 2,92 0,68 3,17
Sumber: BPS Provinsi Kalimantan Selatan, berbagai terbitan
Dari uraian di atas maka diketahui terdapat ketimpangan PDRB per kapita antarkabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan. Selain itu terdapat kabupaten/kota yang pangsa PDRB per kapita terhadap PDRB per kapita provinsi relatif tinggi dan pertumbuhannya lebih tinggi daripada rata-rata provinsi (Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten Tabalong) dan terdapat Kabupaten/kota yang pangsa PDRB per kapita terhadap PDRB per kapita provinsi relatif rendah namun pertumbuhannya lebih tinggi daripada rata-rata provinsi (Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Hulu Sungai Selatan). Berdasarkan perumusan masalah tersebut, pertanyaan penelitian yang hendak dijawab adalah:
10
1. Bagaimana tren ketimpangan PDRB per kapita antarkabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan berdasarkan indeks Williamson, indeks Entropi Theil dan indeks Jaime Bonet selama periode 1993-2011? 2. Apakah terjadi konvergensi atau divergensi PDRB per kapita antar Kabupaten kota di Provinsi Kalimantan Selatan selama periode 1993-2011? 3. Sejauh mana hipotesis Kuznets berlaku di Provinsi Kalimantan Selatan?
1.2
Keaslian Penelitian
Penelitian tentang pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan di daerah telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Sebagai acuan dan pembanding maka perlu diuaraikan penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan topik ini dapat dilihat dalam Tabel 1.2 berikut ini. Tabel 1.2 Hasil Penelitian Tentang Ketimpangan Pendapatan Antardaerah No
Peneliti
1.
Barro dan Sala-iMartin (1991)
Lokasi Penelitian Amerika Serikat (48 negara bagian)
Periode 1960 1985
Metode
Hasil 1. Laju pertumbuhan PDB riil per kapita secara positif berkaitan dengan sumber daya manusia awal (tahun 1960 ) dan berhubungan negatif dengan tingkat GDP riil per kapita awal (tahun 1960). 2. Negara-negara dengan sumber daya manusia yang lebih tinggi juga memiliki tingkat kesuburan (fertilitas) yang lebih rendah dan rasio yang lebih tinggi dari investasi fisik terhadap PDB. 3. Pertumbuhan PDB per kapita berbanding terbalik dengan pangsa konsumsi pemerintah dalam PDB, namun tidak signifikan dengan saham investasi publik. 4. Tingkat pertumbuhan PDB per kapita berhubungan positif
11
2.
Michelis dan Neaime (2004)
Negara Asia Pasific dan ASEAN
1960-1990
Estimasi data panel.
1.
dan 1960-1999
2.
3.
4.
5.
3.
Arifin (2008)
Kalimantan Selatan
1994-2005
Tipologi Klassen, Indeks Williamson, Regresi Data Panel.
1.
2.
3.
4
Heriqbaldi (2009)
Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur
2004-2007
Pool Least 1. Square (PLS), Fixed Effect 2. Model (FEM), dan Random Effect Model (REM).
dengan tingkat stabilitas politik dan berbanding terbalik dengan adanya distorsi pasar. Pada periode pertama, ditemukan adanya kondisional β konvergen dalam kelompok 17 negara APEC dan di 10 negara Asia Timur. Tidak ada bukti konvergensi pendapatan yang ditemukan di negara ASEAN. Pada periode kedua, ada bukti lemah kondisional β konvergen dalam kelompok 16 negara APEC, dan bukti jauh lebih lemah konvergensi pendapatan di negara Asia timur. Stabilitas makroekonomi dan keterbukaan ekonomi menjadi faktor statistik penting dan memiliki diharapkan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara APEC. Pertumbuhan penduduk memberi efek negatif pada pertumbuhan ekonomi Belanja pemerintah memiliki efek negatif pada pertumbuhan ekonomi tetapi tidak signifikan secara statistik. Berdasarkan tipologi Klassen terjadi perubahan pola dan struktur pertumbuhan ekonomi daerah. Pemerataan pembangunan antarkabupaten/kota sebelum otonomi lebih baik daripada sesudah otonomi. Investasi swasta, modal manusia, dan sumbangan sektor primer berhubungan positif dengan pertumbuhan PDRB per kapita. Tidak terdapat -convergence maupun -convergence. Setiap peningkatan PDRB Kabupaten selalu disertai dengan peningkatan pertumbuhan PDRB dan peningkatan gap tingkat pendapatan antara satu Kabupaten dengan Kabupaten
12
5.
6.
Kalbasi (2010)
Akita, Kurniawan dan Miyata (2011)
Negara Timur Tengah
Indonesia (26 Provinsi)
1995-2005
1983-2004
Estimasi data panel dengan model fixed effect dan teknik Hausman
1.
2.
Analisis 1. dekomposisi bidimensional dan Weightened Cooficient Variation. 2.
3.
lainnya. (terjadi divergensi antarkabupaten). Ada kecenderungan konvergensi antara negaranegara Timur Tengah. Perbedaan struktur ekonomi negara penghasil minyak diekspektsikan membawa akibat yang berbeda jika terjadi shock (guncangan) perekonomian. Dengan dan tanpa memasukkan sektor pertambangan, ketimpangan secara keseluruhan menunjukkan kecenderungan menurun. Telah terjadi absolut konvergen yang signifikan dalam PDRB per kapita ketika sektor pertambangan dimasukkan. Pada periode setelah krisis keuangan, tidak ada bukti adanya absolut konvergen. Adanya absolut konvergen sebelum krisis keuangan dikarenakan kinerja ekonomi provinsi yang lebih miskin lebih baik daripada provinsi yang kaya sumber daya alam.
Penelitian ini menganalisis ketimpangan dan konvergensi PDRB per kapita antarkabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan. Persamaan dengan penelitian sebelumnya adalah
dalam
hal penggunaan alat analisis indeks Williamson,
indeks Entropi Theil, (sigma) konvergen dan β (beta) konvergen. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah penggunaan alat analisis indeks Jaime Bonet, korelasi Pearson dan estimasi hubungan antara indeks ketimpangan dan logaritma PDRB per kapita untuk mengetahui berlaku atau tidaknya hipotesis Kuznets. Perbedaan lainnya adalah mengenai lokasi, unit analisis dan periode pengamatan. Penelitian ini berlokasi di Provinsi Kalimantan Selatan dengan
13
unit analisis kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan selama periode 1993-2011.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian Berdasarkan permasalahan yang dipaparkan di atas, penelitian ini memiliki beberapa tujuan yaitu: 1. menganalisis tren ketimpangan PDRB per kapita antarkabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan selama periode 1993-2011; 2. menganalisis apakah terjadi konvergensi atau divergensi PDRB per kapita antar Kabupaten kota di Provinsi Kalimantan Selatan selama periode 1993-2011; 3. menganalisis
hubungan
antara
ketimpangan
PDRB
per
kapita
antarkabupaten/kota dengan logaritma PDRB per kapita untuk mengetahui berlaku atau tidaknya hipotesis Kuznets di Provinsi Kalimantan Selatan. 1.3.2 Manfaat penelitian Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, berupa sumbangan pemikiran kepada: 1.
pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sebagai salah satu referensi untuk pengambilan kebijakan dalam pengembangan ekonomi daerah dan mengurangi ketimpangan antarkabupaten/kota;
2.
penulis sebagai sarana memperkaya pengetahuan dan bagi peneliti lain sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.
14
1.4 Sistematika Penulisan Penelitian mengenai disparitas dan konvergensi produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita antarkabupaten kota di Provinsi Kalimantan Selatan ini disusun menjadi 4 (empat) bab. Bab I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka dan Alat Analisis menguraikan mengenai landasan teori, studi empiris dan alat analisis. Bab III Analis Data menguraikan tentang cara penelitian, perkembangan variabel yang diamati, hasil analisis data dan pembahasan. Bab IV Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan, menguraikan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang bisa diambil berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan.