BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Caroline Aux Indes karya Pierre Probst adalah sebuah buku cerita anak-
anak yang terbit pada tahun 1955. Caroline adalah nama dari tokoh utama dalam serial cerita ini. Dia adalah seorang anak perempuan berambut pirang yang mandiri dan menjadi pemimpin bagi kawan-kawannya yang berwujud binatang. Cerita ini mengisahkan petualangan Caroline dan teman-temannya di India untuk memenuhi undangan salah satu kerabat dari sahabat Caroline. Setibanya di India, Caroline bertemu dan berinteraksi dengan tokoh-tokoh dari India, baik yang berwujud manusia maupun binatang dan bertualang sampai ke dalam hutan belantara yang berbahaya. Dalam petualangan itu, Caroline dan kawan-kawannya tampil menjadi pahlawan yang memberikan jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang tengah dihadapi tokoh-tokoh dari India, baik yang berasal dari kota yang berperadaban maupun bagi makhluk liar di dalam hutan. Caroline aux Indes dapat kita golongkan sebagai sebuah buku cerita bergambar. Buku cerita bergambar adalah buku yang menampilkan image dan teks yang keduanya saling berkaitan (Mitchell via Nurgiantoro, 2005:153). Atas dasar itu, maka kita bisa menggunakan gagasan Mathew Rampley dalam Visual Rhetroric, yang merunut gagasan Barthes dan Eco, dalam melihat komunikasi visual dalam lensa analisa retoris. Menurutnya, gagasan retorika visual memainkan suatu peran kunci pada suatu alternatif untuk melihat budaya visual
1
dalam kaitannya dengan mekanisme sosial dan ideologi dengan didukung konsepkonsep komunikasi (Rampley, 2005: 133). Analisa Barthes tentang image seorang prajurit negro yang menghormat Triwarna dalam Mythologies dijadikan contoh oleh Rampley untuk menjelaskan jalinan erat antara produk visual dengan struktur-struktur sosial dan politik kuasa. Implikasi umum dari esai Barthes itu membawa pemahaman bahwa komunikasi strategis juga memiliki fungsi ideologis dan strategi retoris memiliki peran penting saat struktur-struktur kuasa dan hirarki-hirarki dipancangkan; suatu hirarki sering memperhitungkan dengan cermat daya tarik retorika untuk menata kesadaran audiens dan menutupi operasi kuasa yang terjadi di dalamnya (Rampley, 2005: 138-139). Seperti halnya uraian Barthes dalam Rhetoric of Images1, retorika dalam komunikasi visual bekerja dengan mengarahkan audiens pada suatu potensi makna dan mengabaikan makna yang lain. Sehingga dengan demikian, retorika memiliki peran penting saat ideologi, diskursus, strukturstruktur
kuasa,
dan
hirarki-hirarki
dipancangkan;
suatu
hirarki
sering
memperhitungkan dengan cermat daya tarik retorika untuk menata kesadaran. Dalam Caroline aux Indes, kita bisa menemui image-image yang menggambarkan India sebagai suatu wilayah kerajaan yang mirip dengan image istana dan pakaian keluarga kerajaan yang mirip dengan peninggalan istana dan pakaian pada masa dinasti Mughal, dinasti kesultanan islam yang keturunannya (menjelang berakhirnya kekuasaan dinasti tersebut karena kalah melawan Inggris)
1
Barthes, Roland. 1977. Rhetoric of Images dalam Image Music Text. Fontana Press. London. Halaman 32-51.
2
menjadi sekutu Perancis di India2. Dalam seri itu, kita juga menemui beberapa image yang seringkali dikaitkan dengan India, seperti harimau, istana-istana peninggalan masa kolonial dan iring-iringan pawai gajah yang mirip dengan image pada kartu pos seri Colonies Françaises Comptoirs des Indes3 di tahun 1920-an. Nostalgia kolonial juga hadir dalam image lain dengan sangat kuat, yaitu pada image topi putih yang dikenakan oleh Caroline dan beberapa kawannya. Topi-topi tersebut sangat identik dengan topi yang dikenakan oleh pejabat-pejabat kolonial di tanah jajahan. Dengan demikian, kita bisa melihat latar cerita ini memiliki kaitan dengan sejarah kolonial, secara khusus adalah sejarah koloni Perancis di India. Dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh India, Caroline juga tampil sebagai pahlawan yang memberikan jalan keluar bagi persoalan yang dihadapi tokoh-tokoh India. Dengan pengetahuan, keberanian dan teknologi yang dia bawa dari tanah kelahirannya, Caroline hadir sebagai pahlawan, penolong, dan guru yang mengajarkan suatu tatanan hidup baru bagi beberapa makhluk India, sekaligus menjadi teladan bagi mereka.
2
Penjelasan tentang masa awal koloni Perancis India dan hubungannya dengan penguasa lokal maupun rivalitas dengan kekuatan kolonial Eropa yang lain dapat dilihat dalam Marsh, Kate. 2009.The French Present in India between 1754 and 1815: From the ‘Beaux Jours du Gouvernement de Dupleix’ to Annihilation dalam India in The French Imagination: Peripheral Voices, 1754-1815. Pickering and Chatto. London. Halaman 9-19. Penjelasan tentang Sultan Haidar Ali dan sultan Tipu (dua sultan kerajaan Mysore, keturunan dinasti Mughal, yang menjadi sekutu Perancis di India untuk melawan Inggris) dapat ditemui dalam buku yang sama dalam Bab Historical India halaman 99-107. 3 Koloni Perancis India.
3
Gambar 1 : Caroline aux Indes, halaman 3 dan 4.
Gambar 2: Istana lama kerajaan Mysore. Foto oleh " Nicholson & Son, Madras, c.1880's Sumber:http://www.columbia.edu/itc/mealac/pritchett/00routesdata/1700_1799/tipu sultan/mysoretipu/mysoretipu.html
4
Gambar 3: Istana Mysore yang dibangun lagi oleh Maharajah dengan desain dari arsitek Inggris pada tahun 1897. Sumber:http://www.columbia.edu/itc/mealac/pritchett/00routesdata/1700_1799/tipu sultan/mysoretipu/mysoretipu.html
Gambar 4: Koloni Perancis India (biasa disebut dengan Comptoir des Indes), salah satu bagian dari koleksi kartu bergambar seri Koloni Perancis. Diterbitkan oleh Lion Noir France pada tahun 1920. Sumber:http://www.delcampe.net/page/item/id,195055129,var,Colonies-FrancaisesCOMPTOIRS-DES-INDES,language,F.html
5
Gambar 5: Caroline aux Indes, halaman 23 dan 24.
Caroline
Pejabat Kolonial Inggris di India
King George V and Queen Mary in Delhi in 1911. King George V, who was Emperor of India from 1910-1936, was the only KingEmperor to visit the colony © Press Association. www.royalinsight.com Gambar 6: Caroline mengenakan topi putih yang serupa dengan topi yang dikenakan oleh pejabat-pejabat kolonial di tanah jajahan.
6
Dalam penceritaan petualangan Caroline itu, kita bisa pula melihat nostalgia kolonial tentang cara bangsa Eropa mengkonstruksi Timur sebagai yang lain, yang turut membangun opini tentang bangsa Eropa yang superior, maju, manusiawi dengan membandingkannya dengan bangsa-bangsa Timur yang jauh, terbelakang, liar, berbahaya, menakutkan, tetapi sekaligus kaya dan eksotis (Said, 1977: 301-302). Dengan kata lain, Caroline aux Indes dapat kita nyatakan sebagai mediasi bagi ideologi-ideologi kolonial. India sebagai bekas wilayah koloni Perancis menjadikan pengetahuan yang diproduksi tentang India dalam Caroline aux Indes tidak akan bisa polos atau ‘objektif’ karena diproduksi oleh manusia yang tertanami sejarah kolonial dan relasi-relasi di dalamnya (Loomba, 2000: 46). Dengan demikian, kita juga dapat mempertanyakan mediasi kuasa kolonial dalam karya ini, melalui pembacaan terhadap image-image dan teks-teks yang menunjukkan relasi antara tokoh-tokoh Eropa, tokoh-tokoh India, dan India sebagai latar, relasinya dengan kondisi pasca-kolonial Perancis India. Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah bagaimana penokohan, interaksi yang terjadi diantara mereka, dan konstruksi latar India, yang hadir melalui strategi-strategi retoris dalam image dan teks Caroline aux Indes, mengkonstruksi kesadaran tertentu tentang Caroline dan kawan-kawannya sebagai wakil dari pendatang Eropa, tokoh-tokoh India sebagai penduduk asli tanah jajahan, dan India sebagai tempat terjadinya interaksi mereka. Proses pembacaan ini akan menempatkan teori semiotika sebagai perangkat untuk memahami teks Caroline aux Indes dan teori pasca kolonial untuk memahami teks Caroline aux Indes dalam relasinya dengan kondisi pascakolonial Perancis India .
7
Dalam Caroline aux Indes terdapat hal yang juga menarik untuk dicermati, yaitu tentang penokohan tokoh perempuan dalam cerita tersebut. Dalam cerita ini, perempuan hadir dalam dua tokoh yang sangat bertolak belakang. Pertama adalah Caroline yang merupakan perempuan bebas dari negeri maju, seorang petualang yang menguasai dunia dalam ilmu pengetahuan, dan mampu memberikan jalan keluar bagi persoalan yang dihadapi tokoh-tokoh India. Penampilan Caroline juga tampil bukan sebagai anak perempuan kebanyakan yang memakai rok atau baju terusan seperti gambaran umum anak perempuan Perancis pada saat buku ini pertama terbit. Piere Probst, sebagai pengarang, secara sengaja tidak memberikan tokoh ini orang tua. Secara sengaja pula, ia mengakui telah membentuk Caroline sebagai sosok mandiri, muncul dalam pose-pose dan pakaian maskulin berupa kemeja putih dan celana dungaree merah, dan mampu menyelesaikan berbagai macam persoalan yang dihadapinya atau orang-orang lain yang ditemuinya. Caroline, dalam sebuah artikel yang memuat profil Pierre Probst sebagai pengarang tokoh Caroline, dinyatakan sebagai anak perempuan proto-feminis yang sama dan mampu melakukan hal-hal yang lazimnya dilakukan oleh laki-laki dewasa4. Tokoh perempuan kedua yang bertolak belakang dengan Caroline adalah Maharani. Dia adalah perempuan bangsawan India, hidup dalam kemewahan dunia timur yang eksotis, seorang ibu, hidup dalam alam patriarki, tradisional, eksotis, pasif dan tidak bebas. Bertolak belakang dengan Caroline, Maharani hadir
4
Penjelasan tentang profil Pierre Probst dan proses kreatif penciptaan tokoh Caroline dapat dilihat dalam artikel PIERRE PROBST:Author of the Caroline Books, ditulis oleh Pierre Perrone dalam The Independent (London) pada tanggal 21 April 2007. Artikel tersebut dapat dibaca secara online dalam http://www.questia.com/library/1P2-5865166/pierre-probst-author-of-the-caroline-books
8
sebagai perempuan yang pasif dan diam, tidak menyatakan pendapatnya secara langsung, dan tidak terlibat dalam usaha untuk menyelesaikan persoalan yang ia hadapi. Perbandingan antara penokohan Caroline dengan Maharani ini membawa perbandingan subjek perempuan yang berbeda. Sosok perempuan Barat yang bebas, mandiri, pemberani, mampu melakukan hal-hal yang dilakukan laki-laki, dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan, dihadapkan pada perempuan Timur yang pasif, diam, dan tidak terlibat dalam penyelesaian persoalan yang dihadapinya atau dihadapi orang lain. Perbandingan itu tampak mirip dengan stereotip ‘perempuan dunia-ketiga’ yang dikritisi oleh pemikir pasca-kolonial sebagai penyokong ‘misi pemberadaban’ kolonialis Eropa. Stereotip itu dikatakan oleh Sara Suleri justru melayani pembentukan ‘liyan’ (Suleri via Gandhi, 1998: 83). Perbandingan yang mempertajam perbedaan antara perempuan Timur dengan referen-referen primer feminis Barat justru membangun suatu hirarki kulktural yang implisit bagi perempuan Timur sebagai lawan dari saudari Baratnya. Feminis Barat, dalam stereotip ‘perempuan dunia-ketiga’, menciptakan pemisah antara ‘aku yang mampu’ dengan ‘kamu yang tidak mampu’. Dengan kata lain, stereotip ‘perempuan dunia-ketiga’ hanya melayani kepentingan kampanye keistimewaan ‘perempuan dunia-pertama’ (Trinh via Gandhi, 1998: 85). Hadirnya perbandingan antara Caroline dengan Maharani yang mirip dengan stereotip ‘perempuan dunia-ketiga’ mengisyaratkan bahwa Caroline aux Indes juga merupakan situs bagi diskursus feminisme. Dengan demikian, penokohan tokoh perempuan dan pembentukan subjek feminin juga perlu
9
dilakukan sebagai bagian dari pemahaman terhadap India sebagai latar cerita ini dalam relasinya dengan kondisi pascakolonial Perancis India.
1.2.
Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian yang saya ajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Pesan literal apakah yang muncul dari penokohan tokoh, interaksi antar tokoh, dan gambaran India sebagai latar terjadinya interaksi antara tokoh Eropa dan tokoh India dalam Caroline aux Indes? 2. Bagaimana
bentuk-bentuk
strategi
retorik
digunakan
untuk
mengkonstruksi relasi kuasa kolonial dan superioritas Perancis atas India dalam penokohan tokoh, interaksi antar tokoh,
dan gambaran India
sebagai latar terjadinya interaksi antara tokoh Eropa dan tokoh India dalam Caroline aux Indes? 3. Bagaimana perempuan Eropa dan India, dan relasi mereka dengan tokoh lain maupun dengan India berpengaruh pada konstruksi relasi kuasa kolonial dan superioritas Perancis atas India dalam Caroline aux Indes?
1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan untuk memahami cara-cara strategi retoris
dalam penokohan tokoh, interaksi antar tokoh, dan gambaran tentang India pada Caroline aux Indes mengkonstruksi relasi kuasa kolonial dan superioritas Perancis atas India. Selain itu, tujuan lain adalah untuk memahami pengaruh perbandingan tokoh perempuan dan relasinya dengan tokoh-tokoh lain pada konstruksi relasi kuasa dan superioritas Perancis atas India dalam Caroline aux Indes.
10
1.4.
Tinjauan Pustaka Analisa Barthes dalam Mythology (1972) mengenai sebuah foto seorang
prajurit negro berseragam tentara Perancis sedang menghormat ke arah bendera Tri Warna dapat menjadi pijakan awal untuk melihat sisi politik dari suatu image. Dalam analisa tersebut, Barthes mendemonstrasikan suatu diskursus yang bekerja pada sebuah image. Di situ, Barthes melihat suatu narasi tentang kebesaran Imperium Perancis yang menyatakan bahwa seluruh putra Perancis, tanpa diskriminasi warna kulit, berbakti sepenuh hati terhadap Imperium Perancis. Dengan demikian, image tersebut telah menjadi jawaban ampuh terhadap tuduhan atas praktek kolonialisme Prancis, cukup dengan menunjukkan semangat seorang pemuda negro dalam menunjukkan bakti terhadap ‘penjajah’-nya (Barthes, 1972:116). Contoh analisa yang dikemukakan Barthes tersebut dapat dikatakan sebagai suatu persinggungan
yang jelas antara semiotika dengan isu
pascakolonial, dan dapat menjadi suatu dasar bagi penggunaan semiotika terhadap analisis pascakolonial terhadap objek-objek visual. Penjelasan Barthes dalam artikel Rethoric of Images dalam buku Image, Music Text (1977) secara rinci memberikan perangkat analisa dan metode untuk melihat cara tanda-tanda ditata sehingga memberikan suatu jalan yang mulus terhadap konstruksi makna tertentu dan mendorong orang untuk mengabaikan kemungkinan makna yang lain. Uraian Barthes tersebut dapat pula menjadi landasan teoritis bagi upaya penelanjangan operasi-operasi kekuasaan oleh pendatang Eropa dalam cerita bergambar Caroline aux Indes.
11
Caroline aux Indes adalah salah satu seri yang sangat populer dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa di dunia, meskipun hingga saat ini, sejauh penelusuran yang saya lakukan, belum ada karya tulis yang menganalisa cerita bergambar ini secara khusus. Analisa terhadap cerita Caroline aux Indes sebenarnya sudah saya tulis dalam skripsi saya dengan fokus kajian pada perbandingan antara tokoh dan peristiwa dengan dogma-dogma orientalisme tentang India. Hal yang ditawarkan dalam penelitian ini dan belum terdapat dalam penelitian sebelumnya adalah penggunaan teori retorika visual yang dipandang mampu memberikan fokus lebih mendalam dalam persoalan penataan tanda-tanda dan pencarian yang lebih mendalam mengenai relasi kuasa kolonial yang ditata melalui visualitas cerita ini. Selain itu, pada penelitian ini akan dimasukkan hal yang tak tersentuh dalam skripsi tersebut, yaitu perihal visualitas perempuan yang hadir sebagai Caroline, Istri Raja, dan perempuan yang ‘tidak ada’, dalam relasinya pada diskursus pasca-kolonialisme. Kajian pascakolonial terhadap cerita anak-anak adalah topik yang tidak banyak ditemukan, sepanjang penelusuran yang saya lakukan. Beberapa penelitian dalam skripsi ataupun tesis banyak ditemui telah menggunakan kajian analisa kritis gender untuk melihat produk-produk kebudayaan yang diperuntukkan bagi anak-anak. Namun demikian, kajian-kajian pascakolonial yang saya temui tampaknya melewatkan perhatiannya terhadap jenis produk kultural tersebut. Padahal, dalam hemat saya produk-produk kultur, dalam hal ini adalah produk visual atau literer, yang diperuntukkan bagi anak-anak adalah suatu situs strategis bagi pewarisan diskursus-diskursus yang melegitimasi operasi kekuasaan
12
kolonial. Dengan kajian pascakolonial yang saya terapkan dalam melihat cerita bergambar Caroline aux Indes ini, saya ingin menunjukkan bahwa operasi kekuasaan kolonial dapat mengakar kuat karena direproduksi pada manusia pascakolonial sejak usia yang masih belia melalui cerita-cerita yang ditujukan pada anak-anak. Kajian pascakolonial, sebenarnya telah menjadi salah satu topik yang cukup populer dalam berbagai kajian. Banyak kajian yang dapat ditemukan dalam bentuk skripsi, tesis dan disertasi ataupun penelitian-penelitian. Salah satu tesis yang cukup menarik adalah karya Latupapua (2011), Inferioritas dalam Mimikri : Kajian Pascakolonial TerhadapLirik Lagu-Lagu Populer Maluku Periode Tahun 2000-2010. Dalam tesis tersebut, Latupapua menyatakan bahwa Kolonialisme Eropa meninggalkan akibat-akibat di Maluku yang diantaranya adalah kebudayaan hibrid, baik material maupun mental yang menandakan masih kuatnya hegemoni penjajah. Interaksi dengan Belanda dalam pendidikan, agama, pernikahan dan birokrasi kolonial meninggalkan suatu nostalgia mendalam yang berujung pada ‘keterpesonaan’ pada bangsa Belanda atau bangsa kulit putih pada umumnya. Fenomena keterpesonaan terhadap Barat, terutama Belanda, dalam lirik lagu-lagu Populer Maluku. Sedangkan dalam peniruan atau mimikri yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam narasi yang sekaligus menduduki subjek kolonial,
sebagai
wujud
kehadirannya
yang parsial, terdapat
beberapa
kecenderungan bahwa mimikri dilakukan dalam upaya menyembunyikan inferioritas yang memiliki kemampuan mendestruksi mimpi-mimpi mereka tentang dunia Ideal. Mimikri yang dilakukan oleh orang-orang Maluku bukan
13
dalam rangka resistensi, melainkan suatu manifestasi dari mimpi-mimpi subjek tersebut untuk kembali bersentuhan dan memasuki dunia Belanda sebagai dunia ideal melalui identifikasi diri sebagai Belanda. Else Liliani (2007) dalam Struktur Naratif 9 Oktober 1740: Sebuah Kajian Pascakolonial melihat ambivalensi dalam naskah drama 9 Oktober 1740 karya Remy Silado. Dalam analisanya, ia melihat teks ini menentang kolonialisme tetapi masih terjebak dalam hegemoni kolonial. Ambivalensi yang dinyatakan oleh Liliani terdapat dalam konklusi teks tersebut bahwa kejahatan timbul karena penyalahgunaan kewenangan pejabat kolonial yang korup, bukan karena kolonialisme itu sendiri. Yati Sugiarti (2005) dalam Identitas dan Mimikri dalam Roman Salah Asuhan karya Abdul Moeis membahas persoalan mimikri dan identitas pascakolonial yang lahir dari relasi penjajah-terjajah dan identitas pascakolonial tokoh untuk dapat sejajar dengan penjajah melalui peniruan atau mimikri. Relasi antara terjajah dan penjajah dalam roman dalam penokohan tokoh Hanafi yang menghadapi persoalan dominasi hirarkis, diantaranya adalah posisi Hanafi yang menjadi subjek saat berhadapan dengan Ibunya, Rapiah dan masyarakat Minangkabau tetapi menjadi objek saat berhadapan dengan Corrie dan masyarakat Eropa lainnya. Persoalan identitas yang dihadapi tokoh Hanafi menyangkut empat hal, yaitu pandangan Hanafi terhadap dirinya, pandangan orang lain terhadap Hanafi, keinginan Hanafi untuk menjadi yang lain, dan tindakan-tindakan Hanafi dalam pemenuhan keinginannya menjadi yang lain. Hanafi, dalam pemenuhan keinginannya menjadi yang lain yang setara dengan kaum penjajah, dipandang
14
oleh Sugiarti telah melakukan mimikri bahasa, profesi, gaya hidup, sistem kemasyarakatan kaum penjajah, tetapi menjadi asing bagi masyarakat bangsanya sendiri. Tesis lain yang memiliki keterkaitan dalam hal kemiripan tujuan dengan penelitian yang saya lakukan adalah Mimikri dan Resistensi Radikal Pribumi terhadap Kolonialisme Belanda dalam Roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer karya Rusdian Noor (2002). Dalam tesisnya, dia menguraikan relasirelasi hirarkis, dominatif dan superior dalam roman Bumi Manusia seperti Barat (Eropa) dengan Timur, Penjajah dengan Terjajah melalui relasi-relasi tokoh-tokoh dalam roman tersebut dan menunjukkan bahwa relasi-relasi tersebut saling mendekonstruksi, membongkar dan menandingi satu sama lain. Faruk (2007) dalam Belenggu Pasca-Kolonial, Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia membahas persoalan pascakolonial dalam sastra Indonesia melalui struktur naratifnya. Beberapa karya yang dibahas dalam analisa tersebut diantaranya adalah dua karya terjemahan yang sangat populer pada masa sebelum Perang Dunia II, yaitu Pangeran Monte Cristo karya Alexandre Dumas dan Gembala Domba karya J.F. Oltmans. Dua karya sastra tersebut, dalam hemat saya memiliki kedudukan yang hampir sama dengan seri cerita bergambar Caroline Aux Indes sebagai cerita yang sama-sama ditulis oleh orang Eropa (Barat) yang memuat pertemuan orang-orang Eropa dengan dunia timur. Dalam Pangeran Monte Cristo, Faruk (2007) melihat bahwa novel tersebut menempatkan roh, kecenderungan mental atau jiwa sebagai yang lebih tinggi dan menentukan tubuh. Perempuan dalam novel tersebut cenderung
15
ditempatkan sebagai makhluk rohaniah: mempunyai perasaan yang peka dan memiliki ketabahan dalam menghadapi goncangan dan perubahan dunia tetapi cenderung pasif dan tidak ada di mana-mana. Walaupun demikian, cerita dalam novel ini cenderung Eropa sentris sehingga semua hal di atas hanya berlaku bagi orang-orang Eropa, sementara orang-orang yang disebut dari Timur cenderung ditempatkan sebagai tubuh-tubuh tanpa roh yang harganya ditentukan oleh tubuh tanpa kemampuan roh untuk mempengaruhi tubuh mereka itu. Dengan kata lain, orang-orang dari Timur cenderung dibentuk sebagai manusia yang tak seutuh orang Eropa dan tentu saja berada dalam tingkatan hirarki lebih rendah. Dalam Gembala Domba, Faruk (2007) melihat bahwa dalam novel ini terdapat kesadaran yang tinggi tentang diri dan sang lain. Setidaknya ada dua sang lain yang disebut sebagai ‘orang asing’ dan ‘bangsa kafir’, sedangkan tokoh-tokoh protagonis atau masyarakat setempat disebut sebagai ‘orang sini’. Sikap diri, ‘orang sini’, terhadap dua sang lain tersebut sangatlah berbeda, tokoh Perrol yang menjadi ‘orang asing’ karena asal-usulnya tidak diketahui tetapi dia bukanlah termasuk ‘bangsa kafir’ bahkan gemar membunuh orang-orang kafir sehingga dapat dikatakan bahwa ia adalah ‘orang sini’ juga. Sikap ‘orang sini’ terhadap ‘orang asing’ tersebut adalah cenderung takut. Sementara itu, sikap ‘orang sini’ terhadap ‘bangsa kafir’ adalah sikap yang cenderung meremehkan tetapi mengagumi, yang menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin memiliki. Sikap ingin meremehkan tersebut berasal dari anggapan bahwa ‘bangsa kafir’ berasal dari rasras yang sudah ditaklukkan.
16
Karya lain yang juga menarik untuk diperhatikan adalah skripsi Paramita Ayuningtyas (2006), Homoseksualitas dan Relasi Kuasa dalam The Other Boat dan Maurice Karya E.M. Foster; Ditinjau dari Teori Pascakolonial dan Politik Seksual, pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Dalam skripsi tersebut, Ayuningtyas menunjukkan bahwa dalam karya-karya sastra tentang kehidupan kaum homoseksualitas tersebut tidak hanya terdapat konstruksi hirarki antara heteroseksualitas dan homoseksualitas dalam masyarakat Inggris, tetapi dalam kehidupan pasangan homoseks juga terdapat relasi hirarkis yang berdasar pada kondisi pascakolonial dalam kasus pasangan berbeda ras. Dengan kata lain, skripsi ini menunjukkan bahwa kondisi pascakolonial dalam teks tersebut, Maurice, merasuk begitu dalam dan memiliki pengaruh kuat pada kehidupan manusia pascakolonial yang pribadi dan tersembunyi. Dari uraian di atas, kita bisa melihat begitu banyak hal yang telah dieksplorasi dalam kajian-kajian pascakolonial terhadap karya berupa novel, cerpen, dan bahkan lirik lagu tetapi hanya sedikit karya untuk anak-anak yang mendapat perhatian peneliti. Serial Tintin karya Herge, terutama seri Tintin au Congo, adalah salah satu dari sedikit karya yang mendapat perhatian peneliti pascakolonial karena menampilkan image yang sangat kental dengan nuansa kampanye kolonial, agenda-agenda misi pemberadaban oleh Belgia di Kongo dan afiliasi Herge dengan sebuah penerbit Katolik pro-kolonial (Nancy Rose Hunt, 2008: 24). Namun demikian, masih banyak karya untuk anak-anak yang belum banyak disentuh penelitian dengan kajian pascakolonial, salah satunya adalah seri
17
Caroline. Perhatian pada penelitian terhadap karya Caroline aux Indes diharapkan turut mengisi ruang tersebut, sekaligus menunjukkan bahwa warisan kolonial sedemikian merasuk dan berakar pada masyarakat pascakolonial karena telah diberikan sejak masa anak-anak. Selain itu, cerita tentang petualang anak-anak Perancis di India tersebut dapat menyegarkan kembali kritik terhadap kecenderungan untuk mengabaikan perbedaan-perbedaan dalam praktik-praktik kolonial. Politik kolonial Perancis di India tentu menghasilkan bentuk yang memiliki kekhasan dibandingkan dengan politik kolonial penjajah yang lain. Selain itu, kondisi India yang berbeda dengan wilayah jajahan lain juga membuat politik kolonial Perancis di India juga berbeda dengan politik kolonial Perancis di wilayah yang lain.
1.5.
Landasan Teori 1.5.1. Semiotika dan Retorika Visual 1.5.1.1. Semiotika Semiotika adalah ilmu yang mempelajari segala sistem tanda, apapun
substansi dan batas-batasnya. Dalam terminologi Saussurian, Petanda (signifié) dan Penanda (Signifiant) adalah komponen dari tanda (signe), (Roland Barthes, 2007: 35). Dengan kata lain, sebuah signe disusun oleh sebuah Signifié dan sebuah Signifiant. Wilayah yang dihuni signifiant-signifiant merupakan wilayah ekspresi [plan d’expression] dan yang dihuni oleh signifié-signifié adalah wilayah isi [plan de contenu] Pada tanda terdapat kesatuan penanda dan petanda yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara Penanda dan Petanda disebut
18
dengan Signifikasi. Dengan kata lain Signifikasi adalah tindakan mempertalikan Penanda dengan Petanda (Barthes, 2007 : 38). Tanda semiotis seperti halnya tanda linguistis disusun oleh satu signifiant dan satu signifié. Tetapi Barthes menyatakan bahwa subtansi ekspresi keduanya sangatlah berbeda, banyak sistem semiologis (objek-objek, isyarat, gambargambar) mempunyai substansi ekspresi yang hadir bukan dalam signifikasi-nya : seringkali sistem-sistem ini adalah objek-objek yang memiliki kegunaan tertentu yang bisa digunakan untuk tujuan-tujuan signifikasi : fungsi pakaian adalah untuk melindungi diri dan membungkus badan. Namun, dalam semiologi yang penting bukanlah fungsi kegunaan dari penanda-penanda, melainkan fungsi penandaannya sebagai sebuah kemampuan penanda itu untuk mengangkut pengertian atau sesuatu yang lain dalam dirinya di luar fungsi kegunaannya di atas. Signifikasi Tanda semiotis adalah sebuah akta [tindakan] yang menyatukan signifiant dan signifié-nya, akta yang produknya adalah signe (Barthes, 1985 :46). Barthes memilih model signifikasi Hjemslev dengan sebuah sistem yang terdiri dari tiga komponen, yaitu: 1. Ekspresi (E) = Penanda 2. Isi (C) = Petanda 3. Relasi antara E dan C R
E (Ekspresi) Konten (Isi/content)
19
Dalam bahasa dimungkinkan adanya sistem signifikasi yang lain, dengan komponen yang sama, tetapi yang menumpang pada sistem signifikasi yang ada sebelumnya.
Sistem
signifikasi
yang
ada
sebelumnya,
yaitu
tempat
menumpangnya yang kedua disebut denotasi, sedangkan yang kedua disebut konotasi dan metabahasa. Sistem konotasi adalah sistem yang didalamnya sistem signifikasi pertama menjadi ekspresinya sedangkan sistem metabahasa adalah signifikasi yang keseluruhan dataran isinya merupakan sistem signifikasi pertama.
1.5.1.2. Retorika Visual Retorika adalah suatu jenis wicara kuno yang didesain untuk menggerakkan audiens dan mempersuasi mereka untuk menerima suatu ide tertentu. Dewasa ini, politisi, pengiklan dan kelompok-kelompok propaganda menjadi produsen utama retorika-retorika. Untuk menarik publik, ahli-ahli retorika menggunakan bahasa dalam cara-cara yang berbeda dengan retorika kuno. Mereka menggunakan perangkat-perangkat retoris seperti aliterasi, metafora, simile, personifikasi dan lain-lain untuk membuat ide-ide mereka lebih jelas dan mudah diingat, baik secara verbal maupun visual (Walker & Chaplin, 1997: 119-120). Mathew Rampley melihat retorika visual dengan merunut gagasan retorika visual Roland Barthes. Menurutnya, gagasan retorika visual ini memainkan suatu peran kunci pada suatu alternatif untuk melihat budaya visual dalam kaitannya dengan mekanisme sosial dan ideologi dengan didukung konsep-konsep komunikasi. Dia kemudian mengambil gagasan dari Paul Grice dan memandang
20
hubungan antara retorika dan komunikasi sebagai berikut; pertama, retorika bukanlah suatu bentuk komunikasi tertentu, tetapi bahwa semua komunikasi bersifat retoris. Kedua, retorika berjalinan dalam struktur sosial, ekonomi, relasi kultural, dan kuasa (Rampley, 2005: 133-138). Analisa Barthes tentang image seorang prajurit negro yang menghormat Triwarna dalam Mythologies, dijadikan contoh oleh Rampley bahwa komunikasi visual dalam iklan juga berjalinan erat dengan struktur-struktur sosial dan politik kuasa. Implikasi umum dari esai Barthes itu membawa pemahaman bahwa komunikasi strategis juga memiliki fungsi ideologi. Strategi retorik memiliki peran penting saat struktur-struktur kuasa dan hirarki-hirarki dipancangkan; suatu hirarki sering memperhitungkan dengan cermat daya tarik strategi retorik untuk menata kesadaran audiens dan menutupi operasi kuasa yang terjadi di dalamnya (Rampley, 2005: 138-139). Dalam Rhetoric of Images, Barthes menyatakan bahwa dalam image, dia mencontohkan dengan image iklan, terdapat tiga pesan yaitu; image denotasi, pesan literal, dan pesan ketiga yang merupakan pesan konotasi. Image denotasi dan pesan literal ditentukan oleh apa yang tertinggal dalam image saat tanda-tanda dari konotasi secara mental dihapus. Tetapi, sesungguhnya tidaklah mungkin untuk menghapus pesan konotasi karena mereka meresap dalam keseluruhan image, seperti dalam kasus ‘still life composition’ (l’image-fix)’. Bahkan, tulisan dalam image berkaitan secara langsung pada tingkat pemahaman yang pertama (yaitu bahwa pembaca hanya akan mempersepsikan garis-garis, bentuk-bentuk dan warna-warna) (Barthes, 1977: 33-37).
21
Barthes menyatakan bahwa sejak kemunculan buku lazim terjadi keterkaitan antara teks dan image dan pada saat ini, pada level komunikasi massa, pesan linguistik hadir pada setiap image: sebagai judul, caption, pendamping artikel pers, dialog film, strip balon komik. Pada level pesan literal, teks menolong untuk mengidentifikasi secara murni dan sederhana elemen-elemen dari gambar itu sendiri; deskripsi denotasi terhadap image (fungsi denominasi). Teks lingistik menjadi suatu perangkat yang mencegah makna konotasi untuk berkembang. Teks linguistik mengarahkan pembaca pada petanda tertentu dari image, membuatnya menghindari beberapa dan menerima yang lain. Bahasa memiliki fungsi elusidasi (menjelaskan), tetapi penjelasan tersebut adalah penjelasan selektif. Dengan demikian, proses penandaan tersebut memiliki fungsi ideologis. Namun demikian, dalam film, animasi, dan komik ada perbedaan yang mendasar karena fungsi dialog tidak sesederhana fungsi elusidasi. Teks linguistik benar-benar melampaui aksi dengan menghadirkan makna, dalam sekuen-sekuen pesan-pesan, yang tidak dapat ditemukan dalam gambar.
Pada strip komik
tertentu, yang bertujuan pada pembacaan ‘cepat’, fungsi diegesis dipercayakan pada teks linguistik, image mengumpulkan informasi atributif dari suatu tatanan paradigmatik (status stereotip dari karakter-karakter) (Barthes, 1977: 37-41). Retorika image, bagi Barthes, adalah seperangkat retorik yang muncul sebagai aspek signifikasi ideologi yang hadir lewat kode-kode kultural. Retorika terbentuk saat proses pertandaan berelasi dengan penciptaan ideologi, saat sebuah proses yang bersifat kultural menjadi seolah-olah natural. Retorika tidak dapat menghindari variasi atas subtansi mereka (disini mengartiulasikan suara, image,
22
pose, pose atau apapun) tetapi tidak sepenuhnya melalui bentuk-bentuk mereka: bahkan dimungkinkan hadirnya suatu bentuk retorika tunggal, bersamaan antara litetarur dan image (Barthes, 1977: 46-51).
1.5.2. Kolonialisme, Imperialisme, dan Pascakolonialisme 1.5.2.1. Kolonialisme Ania Loomba menyatakan bahwa kolonialisme dapat diartikan sebagai penaklukan dan penguasaan tanah dan harta milik orang lain. Akan tetapi praktek kolonialisme ini bukanlah semata ekspansi kekuatan-kekuatan Eropa ke Asia yang dapat disamakan dengan penaklukan wilayah oleh Kekaisaran Romawi yang terbentang dari Armenia sampai laut atlantik, Kekaisaran Mongol di Asia yang membentang dari Timur Tengah sampai wilayah Cina, suku Inca di Amerika Selatan, atau Kekaisaran Cina (Loomba, 2000: 1-2). Praktek kolonialisme pada masa terdahulu pada umumnya ditandai dengan kewajiban daerah taklukan membayar upeti pada kerajaan penakluk, sedangkan kolonialisme Eropa Modern memiliki dua ciri utama. Pertama, daerah-daerah koloni tidak hanya membayar upeti, tetapi struktur perekonomian daerah koloni (dengan manusia dan alamnya) dirombak demi kepentingan Negara induk. Ciri yang kedua adalah daerah-daerah koloni juga menjadi pasar yang dipaksa mengonsumsi produk-produk negara induk (Sutrisno, 2004: 9). Karakteristik kolonialisme Eropa modern menempatkan penjajah maupun negeri terjajah dalam suatu kondisi yang kompleks. Dalam praktek kolonialisme ini terdapat aliran sumberdaya alam dan manusia dari negara induk ke koloni dan juga sebaliknya yang pada intinya adalah Penjajah Eropa menggunakan beragam
23
teknik dan pola dominasi, memasuki masyarakat-masyarakat pribumi sedemikian dalam untuk menjamin pertumbuhan kapitalisme dan industri Eropa dalam distribusi yang tidak berimbang dengan masyarakat terjajah (Loomba, 2000: 4). Dengan demikian, kolonialisme dapat dikatakan sebagai anak dari kapitalisme Eropa. Frantz Fanon, dalam Black skin White Mask memberikan argumen bahwa praktek-praktek
kolonialisme
telah
membentuk
rasionalisasi
terhadap
dehumanisasi orang-orang kulit berwarna (Pribumi). Bangsa kulit berwarna dinyatakan sebagai manusia yang tidak setara dengan orang kulit putih (Eropa). Hirarki yang tercipta dalam relasi kuasa antara bangsa penjajah dan terjajah menciptakan inferioritas pada bangsa pribumi sekaligus superioritas pada bangsa kulit putih Eropa. Edward Said dalam Orientalism, menyatakan bahwa hirarki tersebut diproduksi oleh ideologi yang membentuk pengetahuan oleh Barat atas kebudayaan tanah jajahan, terutama dalam disiplin kesarjanaan yang dinamakan Orientalisme yang disokong oleh berbagai tatanan disiplin seperti filologi, sejarah, antropologi, filsafat, arkeologi dan kesusastraan (Said, 1977:122). Dengan demikian, kolonialisme dapat disimpulkan sebagai penaklukan dan penguasaan tanah dan harta penduduk pribumi oleh penjajah Eropa dengan segala praktek untuk mewujudkan dan memeliharanya, meliputi penggunaan kekuatan militer, legitimasi ilmu pengetahuan, perubahan kebudayaan, politik dan struktur sosial. Salah satu praktek untuk mewujudkan kolonialisme itu adalah dengan adanya produksi pengetahuan yang menciptakan relasi hirarkis antara bangsa penjajah yang superior dengan bangsa terjajah yang infeior.
24
1.5.2.1.1.
Diskursus Kolonial dan Orientalisme
Chris Barker dan Dariusz Galinski menyatakan bahwa setelah karya-karya Foucault terbit (1972, 1977, 1980) istilah diskursus digunakan untuk mengacu pada bahasa dan praktek yang mengatur cara-cara membicarakan suatu topik, yang membatasi antara yang dapat dikatakan dan yang tidak dapat dikatakan (Barker dan Galinski, 2001:1). Diskursus, menurut Foucault, mengkonstruksi, mendefinisikan dan memproduksi objek pengetahuan dalam suatu cara yang masuk akal. Dia melihat keadaan dan aturan-aturan yang merupakan pernyataanpernyataan yang dikombinasikan dan ditata memerlukan suatu perangkat konsep tertentu untuk mengkonstruksi dan mendefinisikan suatu wilayah pengetahuan atau objek yang berbeda dan membatasinya pada suatu rejim kebenaran tertentu. Lebih lanjut, Foucault menyatakan bahwa makna tidak tumbuh dalam kealamiahan melainkan diatur oleh kuasa yang mengatur tentang tidak hanya apa yang dapat dikatakan di bawah kondisi sosial dan kultural yang menentukannya, tetapi oleh siapa yang dapat berbicara, waktu, dan tempatnya (Barker dan Galinski, 2001:12). Subjek, menurut Foucault, bukanlah sebuah entitas universal yang stabil tetapi suatu dampak dari diskursus yang mengkonstruksi suatu ‘Aku’ dalam suatu tata bahasa. Subjektivitas dianggap sebagai produksi diskursif dan subjek yang berbicara tergantung pada keberadaan posisi diskursif subjek yang ada sebelumnya, yaitu, ruang-ruang kosong atau fungsi-fungsi dalam diskursus yang menjadi permulaan untuk memahami dunia. Setiap orang perlu ‘mengambil’ posisi subjek dalam diskursus tertentu untuk memahami dunia dan tampak masuk
25
akal bagi orang lain. Suatu posisi subjek adalah perspektif atau perangkat makna diskursif yang ditata dari diskursus yang masuk akal. Berbicara adalah mengambil suatu posisi subjek dan untuk dikenakan pada peraturan kuasa dari diskursus tersebut (Barker dan Galinski, 2001:12). Pemahaman Foucault tentang diskursus memberikan Edward Said, dalam Orientalism, suatu dasar untuk menunjukkan cara pengetahuan tentang Orient atau Timur yang diproduksi dan disirkulasikan di Eropa merupakan suatu ideologi pengiring kuasa kolonial. Orientalism bukanlah tentang kebudayaan non-Barat, tetapi mengenai pengetahuan dan pengalaman Barat atas kebudayaan tersebut, terutama dalam disiplin kesarjanaan yang dinamakan Orientalisme, yang diciptakan bersamaan dengan penetrasi Eropa ke ‘Timur-dekat’, dengan dijaga dan disokong oleh berbagai tatanan disiplin seperti filologi, sejarah, antropologi, filsafat, arkeologi dan kesusastraan (Loomba, 2000: 43). Istilah orient, atau Dunia Timur, muncul untuk pertama kali di Eropa secara formal dalam keputusan dewan gereja di Vienne tahun 1312 untuk mengadakan kelas bahasa-bahasa timur yang berupa Bahasa Arab, Bahasa Ibrani, Bahasa Yunani dan Bahasa Syria di Paris, Oxford, Avignon dan Salamanca. Sejak kelahirannya, istilah Orient, dunia timur, kemudian berkembang menjadi objek studi yang meliputi geografi, kebudayaan, bahasa dan etnis yang membentang dari Beirut sampai ke Tokyo. Dalam Orientalism, istilah Oriental dalam temuannya dalam teks-teks Barat berarti Timur atau Asia bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara moral, maupun budaya seperti yang ditulis sebagai berikut:
26
The choice of ‘Oriental’ was canonical; it had been employed by Chaucer and Mandeville, by Shakespeare, Dryden, Pope, and Byron. It designated Asia or the East, geographically, morally, culturally (Said, 1977:32). Orientalisme, menurut Said adalah sebuah jalan untuk memahami dunia Timur yang berdasar pada tempatnya yang khusus dalam pengalaman bangsa Barat Eropa (Said, 1977:1). Tesis dasar Said tentang orientalisme adalah pengetahuan Timur dalam teks sastra Eropa, catatan perjalanan, dan teks-teks yang lain, berkontribusi pada penciptaan suatu dikotomi antara Eropa dan Liyannya, suatu dikotomi yang memusat pada penciptaan kebudayaan Eropa dan mengiringi pemeliharaan dan perluasan hegemoni Eropa di atas tanah yang lain. Orientalisme menurut Said (1977) juga dapat dibahas dan dianalisa sebagai lembaga yang berfungsi untuk berurusan dengan The Orient dengan membuat
pernyataan-pernyataan
tentangnya,
mendeskripsikannya,
dengan
mengajarkannya, menjadikannya tempat pemukiman, dan memerintahnya. Dengan kata lain, Orientalism adalah cara Barat mencipta sebuah legitimasi untuk mendominasi, merestrukturisasi, mengusai dan kemudian memberikan hukum dan aturan pada bangsa timur. Secara singkat, Said menyatakan bahwa dalam Orientalisme terangkum empat dogma sebagai berikut : one is the absolute and systematic difference between the West, which is rational, developed, humane, superior, and the Orient, which is aberrant, undeveloped, inferior. Another dogma is that abstractions about the Orient, particularly those based on texts representing a ‘classical’ Oriental civilization, are always preferable to direct that the Orient is eternal, uniform, and incapable of defining itself; therefore it is assumed that a highly generalized and systematic vocabulary for describing the Orient from a Western standpoint is inevitable and even scientifically ‘objective.’ A fourth dogma is that the Orient is at bottom something either to be feared (the Yellow Peril, the Mongol hordes, the brown dominions)
27
or to be controlled (by pacification, research and development, outright occupation whenever possible) (Said, 1977: 301-302). Meskipun Orientalism (1977) memiliki pengaruh yang sangat besar, tetapi juga mendapat kritik baik dari kaum orientalis maupun orang-orang yang bersimpati. Kritik-kritik itu antara lain adalah: a) Orientalisme mengisyaratkan bahwa oposisi biner antara Timur dan Barat telah menjadi suatu bentuk statis tentang diskursus Barat dari Yunani klasik sampai pada masa sekarang (Loomba, 2000: 49). b) Said menghomogenkan Barat yang dengan demikian mengisyaratkan bahwa dia terlalu membesarkan pentingnya aspek sastra, ideologis dan diskursif yang terlalu boros pada persoalan realitas material dan institusional dan oleh sebab itu mengimplikasikan bahwa sebagian besar kolonialisme adalah konstruksi ideologi (Loomba, 2000: 49). c) Said mengabaikan -diri bangsa terjajah dan perlawanan terhadap kolonialisme. Perhatian Said cenderung terpusat pada pemaksaan kuasa kolonial saja (Loomba, 2000: 49). Kritik yang sama juga disampaikan oleh Babha. Menurut Babha, Said hanya menawarkan suatu model relasi kolonial yang statis, ‘kekuatan kolonial dan diskursus seluruhnya dimiliki oleh penjajah’ dan tidak ada ruang bagi negosiasi atau perubahan (Babha, 1983: 200). Kajian diskursus kolonial, dengan demikian, pada saat ini tidaklah terbatas untuk menguraikan kerja kuasa –kajian ini mencoba untuk menempatkan dan menteorikan oposisi, resistensi dan pemberontakan di kalangan terjajah (Loomba, 2000: 52-54). Walaupun pengaruh kuasa penjajah sangat kuat, ruang pikiran,
28
perasaan, sikap, dan perilaku masyarakat terjajah tidak dapat sepenuhnya dipahami dan dikuasai oleh pihak penjajah. Hal ini memberi peluang pada masyarakat terjajah untuk memainkan kekuasaan penjajah sebagai suatu bentuk resistensi; hal yang disebut oleh Bill Ashcroft sebagai Empire writes back. Bill Ashcroft menyatakan bahwa karakteristik sastra masyarakat terjajah tidak bisa menghindari keinginan untuk melakukan subversi. Kajian terhadap strategi-strategi subversi penulis pasca-kolonial mengungkapkan konfigurasi dominasi dan respon kreatif pada kondisi itu. Secara langsung maupun tidak, seperti dalam frasa Salman Rushdie ‘empire writes back’ to the imperial ‘center’, subversi terhadap dominasi kolonial tidak semata melalui pernyataan kaum nasionalis yang memproklamirkan kemerdekaan dirinya. Subversi terhadap dominasi kolonial secara radikal juga mempertanyakan dasar-dasar metafisik orang-orang Eropa dan Inggris, yaitu pandangan dunia tentang polarisasi pusat dan periferi, pemerintah dan yang diperintah, penguasa dan yang dikuasai (Ashcroft. et.al, 2004:32). Caroline aux Indes adalah karya yang ditulis oleh penulis Perancis, dengan demikian kita dapat mengambil asumsi bahwa dalam karya itu sematamata adalah tatapan bangsa penjajah terhadap tanah jajahan. Dengan demikian, kita dapat pula berasumsi bahwa dalam Caroline aux Indes tidak terdapat hal yang dimaksud Bill Ashcroft dengan empire writes back. Namun demikian, penelitian ini dapat kita masukkan dalam usaha untuk mempertanyakan stereotip-stereotip warisan kolonial yang masih terus dilestarikan, yaitu pandangan dunia tentang polarisasi pusat dan periferi, pemerintah dan yang diperintah, penguasa dan yang
29
dikuasai, superior dengan yang inferior. Penelitian ini dengan demikian adalah bagian dari empire writes back, sebagai pembacaan yang saya lakukan terhadap Caroline aux Indes untuk mempertanyakan hal-hal di atas.
1.5.2.1.2.
Kolonialisme dan Kesusastraan
Perhatian pada relasi antara kesusastraan dan kolonialisme oleh Ania Loomba dinyatakan telah memprovokasi suatu peninjauan kembali secara serius pada terma-terma berikut : a) Peran penting kesusastraan baik untuk diskursus kolonial maupun anti-kolonial telah mulai dieksplorasi. Sejak jaman Plato, telah ada pemahaman bahwa sastra memediasi antara kenyataan dan hal-hal imajiner. b) Perdebatan antara marxis dan post-strukturalis tentang ideologi meningkatkan usaha untuk mendefinisikan mediasi ini. Jika bahasa dan tanda adalah situs ideologi-ideologi yang berbeda saling bersilangan dan bertempur satu sama lain, dengan demikian teks sastra sebagai rangkaian kompleks bahasa dan tanda dapat diidentifikasi sebagai tempat yang subur bagi suatu interaksi ideologis. c) Sirkulasi teks sastra dalam masyarakat bukan hanya karena kepantasan intrinsiknya, melainkan karena mereka adalah bagian dari institusi lain seperti pasar atau sistem pendidikan. Melalui institusi-institusi ini, mereka memainkan peran penting dalam mengkonstruksi suatu otoritas kultural untuk pengkoloni, baik di
30
metropolis
maupun
dalam
negeri-negeri
koloni.
Meskipun
demikian, kesusastraan tidak secara sederhana mencerminkan ideologi dominan tetapi meng-enkode ketegangan-ketegangan, kompleksitas dan nuansa-nuansa dalam budaya kolonial. d) Sastra adalah suatu ‘zona kontak’ yang penting, menggunakan istilah Mary Louise Pratt, tempat ‘transkulturasi’ dalam semua kompleksitasnya. Sastra ditulis dalam kedua sisi kolonial sering menyerap, mengalokasikan, dan menuliskan aspek-aspek dari budaya ‘lain’, menciptakan genre baru, ide-ide dan identitas dalam prosesnya. e) Sastra juga suatu alat yang penting untuk menempatkan, membalikkan, atau menentang alat dominan dan ideologi kolonial (Loomba, 2000: 70-71). Lebih lanjut, Loomba menyatakan bahwa perjumpaan dengan hal-hal yang terletak di luar batas-batasnya adalah pusat untuk formasi dari setiap kebudayaan: garis-garis yang memisahkan dalam dan luar, ‘diri’ dan ‘liyan’ tidaklah tetap tetapi selalu berganti. Dunia baru yang luas yang ditemui oleh penjelajah Eropa diinterpretasikan oleh mereka melalui filter ideologis, atau cara melihat, yang disediakan oleh kebudayaan dan masyarakat mereka. Akan tetapi dorongan untuk berdagang, menjarah dan menaklukkan tanah baru ini juga menyediakan satu kerangka baru yang penting melalui cara mereka membuat interpretasi tanah dan bangsa lain. Dengan demikian, orang-orang Afrika yang hitam dianggap buas karena asosiasi jaman pertengahan dan religiusitas tentang kehitaman dengan
31
najis dan kotoran, dan juga karena hal ini menyediakan justifikasi untuk menaklukkan dan memperbudak mereka. Dialektika di atas mempertajam sikap bagi orang luar ataupun budaya Eropa itu sendiri. Sebagai contoh, pemusatan putih pada keelokan bukanlah ide purba yang mengkastakan orang berkulit hitam sebagai kejelekan. Dengan demikian, kontak kolonial tidaklah semata-mata terefleksi dalam bahasa atau penggambaran dalam teks-teks sastra, bukanlah semata-mata latar belakang yang menempel pada drama manusia yang dibuat, tetapi aspek pusat dari hal-hal yang dikatakan teks-teks tersebut tentang identitas, relasi-relasi dan kebudayaan. Akan tetapi, seperti dinyatakan Loomba, perlu dipahami bahwa teks sastra bersifat krusial bagi susunan diskursus kolonial karena mereka bekerja secara imajinatif dan pada seseorang sebagai individu dan tidak secara sederhana merefleksikan ideologi dominan; mereka juga melawan ideologi-ideologi dominan, atau mengandung elemen yang tidak dapat seiring dengan ideologi-ideologi dominan tersebut (Loomba, 2000: 71-74).
1.5.2.2. Imperialisme Lenin dan Kautsky dalam Imperialism, The Highest Stage of Capitalism (1916)
menawarkan
Imperialisme
oleh
suatu mereka
definisi
kontemporer
dipandang
sebagai
terhadap suatu
imperialisme.
tingkatan
dalam
perkembangan kapitalisme. Dalam karya tersebut, Lenin menyatakan bahwa pertumbuhan industri di negara-negara Barat telah menimbun modal yang sangat besar. Akan tetapi, modal besar tersebut tidak akan memberikan keuntungan yang besar apabila hanya ditanam di negerinya yang terbatas dalam hal tenaga kerja,
32
sumber daya alam dan ketersediaan pasar. Oleh karena itu, negara-negara Barat perlu pindah dan menjajah negara lain yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan tenaga kerja tetapi kekurangan modal. Dengan mengikuti argumen Lenin, kehadiran pemerintahan kolonial secara langsung di tanah jajahan tidak lagi diperlukan karena relasi ketergantungan ekonomi, sosial dan kendali atas buruh di tanah jajahan yang juga menjadi pasar bagi industri Eropa sama berharganya dengan harta benda wilayah jajahan (Loomba, 2000: 4-6 dan Schwarz et.al, 2005:28-30). Loomba, dengan mengikuti pendapat Lenin tersebut membuat perbedaan antara kolonisasi dengan imperialisme dalam dunia modern.Kolonisasi Menurut Loomba sebagai pengambil-alihan wilayah, penyediaan sumber daya alam, eksploitasi tenaga kerja dan campur tangan terhadap struktur politik dan kebudayaan atas bangsa atau wilayah lain. Sedangkan imperialisme, dikatakan Loomba sebagai suatu sistem global, suatu fenomena yang bermula di metropolis,dan proses-proses yang bertujuan pada dominasi dan kontrol. Negaranegara imperial adalah ‘metropole’ yang menjadi asal mula aliran kekuatan dan koloni adalah tempat yang dipenetrasi dan dikontrol. Dengan demikian, kita dapat menarik satu pengertian bahwa segala peristiwa yang terjadi sebagai akibat dari imperialisme adalah kolonialisme –dalam pengertian ini, imperialisme dapat berlangsung tanpa memerlukan bentuk formal koloni (Loomba, 2000: 6-7). Dari pernyataan-pernyataan di atas, kita bisa mengambil definisi bahwa Imperialisme adalah fenomena yang bermula dari negara-negara imperial sebagai pusat, sebagai proses-proses yang bertujuan pada dominasi dan kontrol atas
33
wilayah lain melalui penetrasi politik, kebudayaan dan ekonomi, demi ketersediaan sumber daya alam, buruh dan pasar bagi industri-industri di negaranegara imperial.
1.5.2.3. Pasca-kolonial / Pascakolonial Dasar semantis istilah pascakolonial terlihat mengisyaratkan suatu hubungan dengan proses dekolonisasi, suatu periode setelah berakhirnya pemerintahan kolonial pada suatu wilayah jajahan. Akan tetapi memahami pascakolonial
semata-mata dalam
hubungannya
dengan
periode
setelah
dekolonisasi wilayah jajahan adalah kurang tepat karena masih ada kelanjutan pengaruh kolonialisme oleh agresi Imperial Eropa. Atas dasar tersebut, Bill Ashcroft dalam Empire Write Back, menggunakan istilah pascakolonial untuk mencakup segala kebudayaan yang dipengarui oleh proses imperial sejak masa kolonisasi sampai pada masa sekarang dan memperluasnya sebagai istilah bagi suatu kritisisme lintas-budaya baru yang muncul belakangan dan untuk segala diskursus yang membentuknya setelah periode dominasi imperial Eropa berakhir dan akibat-akibatnya (Ashcroft. et.al, 2004:2). Meskipun kajian mengenai kuasa terhadap
masyarakat terjajah telah
dimulai sejak akhir tahun 1970-an, dalam teks-teks seperti Orientalism oleh Edward Said serta dalam karya-karya Spivak dan Bhabha, istilah pascakolonial belum digunakan dalam kajian-kajian tersebut. Kajian tentang akibat-akibat kolonial
menjadi
pusat
perhatian
dalam
karya-karya
tersebut.
Istilah
‘pascakolonial’ digunakan pertama kali untuk merujuk pada interaksi kultural
34
dalam masyarakat kolonial dalam lingkup kesusastraan. Hal tersebut adalah bagian dari keinginan untuk memfokuskan perhatian pada sisi politis ranah-ranah sastra, seperti kesusastraan negara-negara persemakmuran dan kajian mengenai New Literature dalam Bahasa Inggris yang dimulai sejak akhir tahun 1960-an. Istilah ini kemudian digunakan secara luas untuk merujuk pada pengalaman politik, linguistik dan kebudayaan masyarakat yang pernah menjadi koloni Eropa (Ashcroft.et.al, 2003:168). Meskipun demikian, interpretasi istilah pascakolonial masih menjadi perdebatan, terutama penempatan tanda hubung (-) diantara kedua kata tersebut. Penggunaan tanda hubung (-) memiliki tujuan untuk membedakan pasca-kolonial sebagai ranah bagi teori diskursus kolonial, yang merupakan satu aspek dari sekian banyak pendekatan dan perhatian di dalam istilah pascakolonial (Ashcroft.et.all, 2008:168-169). Pasca-kolonialisme/Pascakolonialisme pada saat ini digunakan secara luas dan cara yang beraneka ragam untuk mencakup kajian dan analisa mengenai wilayah teritorial taklukan Eropa, beraneka institusi kolonialisme Eropa, operasi diskursif dari negara-negara imperialis, hal-hal subtil dari konstruksi subjek dalam diskursus kolonial dan resistensi dari subjek-subjek tersebut. Sementara penggunaannya yang memiliki kecenderungan untuk memusat pada produksi kultural dari suatu komunitas, istilah ini digunakan secara luas dalam analisaanalisa historis, politis, sosiologis dan ekonomi sebagaimana halnya disiplin ini terus berkaitan dengan segala akibat dari imperialisme Eropa terhadap masyarakat dunia (Ashcroft.et.al, 2008:168-169).
35
1.5.2.3.1.
Perempuan dan Feminisme dalam Kritik Pascakolonial
Dalam bagian Imperialist Feminist: Women (in) Difference dalam Postcolonial Theory: A critical introduction (1998), Leela Gandhi memberikan rangkuman tentang kritik Pascakolonial terhadap feminisme. Menurutnya, Teori feminis dan Pascakolonial sama-sama dimulai dengan tujuan meruntuhkan hirarki-hirarki gender/kultural/ ras, dan masing-masing dari keduanya menerima anjuran
pos-strukturalis
untuk
menolak
oposisi
biner
pada
otoritas
patriarkhi/kolonial yang mengkonstruksi dirinya. Akan tetapi, terdapat tiga wilayah
kontroversi
utama
yang
meretakkan
potensi
menyatunya
Pascakolonialisme dengan feminism, yaitu debat yang melingkupi sosok ‘perempuan dunia-ketiga’, problematika sejarah mengenai ‘feminis sebagai imperialis’ dan penempatan istilah kolonialis pada ‘kriteria feminis’ sebagai penyokong ‘misi pemberadaban’ (Gandhi, 1998: 83). Menurut Gandhi, perselisihan yang paling signifikan antara teori Pascakolonial dan feminis terjadi pada perselisihan soal figur ‘perempuan duniaketiga’. Beberapa feminis Pascakolonial telah dengan jelas menyatakan argumen bahwa batasan perhatian terhadap politik rasial tak dapat menghindari adanya ‘kolonialisasi ganda’ terhadap perempuan dalam imperialisme. ‘Perempuan dunia ketiga’ adalah korban tiada duanya, yang terlupakan dari imperialisme dan patriarkhi baik natif maupun asing. Hal tersebut disebabkan oleh kebutaan gender dalam nasionalisme anti-kolonial yang tidak dapat diingkari. Kritik yang disampaikan Sara Suleri cukup instruktif dalam menunjukkan pengingkarannya terhadap keinginan untuk menggabungkan teori-teori Pascakolonial dengan
36
feminis yang masing-masing termanya justru melayani pembentukan ‘Liyan’ (Suleri via Gandhi, 1998: 83). Suleri keberatan pada penggabungan antara Pascakolonial-feminis karena penggabungan tersebut akan menyerahkan ‘perempuan dunia-ketiga’ pada penggunaan yang sifatnya sentimental dan oportunistik terhadap istilah marjinalitas.
Istilah
marjinalitas
tersebut
mengisyaratkan
pengkultusan
metropolitan terhadap kritisisme oposisional. Dengan kata lain, penyebutan yang berulang pada terma marjinal/subjugasi telah membantu kanonisitas budaya tinggi Barat. Pusat memerlukan marjin yang bisa diidentifikasi karena klaim-klaim tentang marjinalitas adalah legitimasi terhadap keabsahan pusat (Spivak via Gandhi, 1998: 84). Gandhi juga mengutip pendapat Trinh bahwa analisa feminis Barat terhadap perempuan pribumi cenderung memperlihatkan perbedaan-perbedaan antara perempuan pribumi dengan referen primer feminisme Barat. Kesadaran atas perbedaan tersebut, menurut Trinh, telah membangun suatu hirarki kultural yang implisit dan sebagian besar tidak dapat dihindari oleh perempuan pribumi untuk menjadi lawan dari saudari Baratnya. Dengan demikian, feminis Barat menciptakan suatu pemisahan antara ‘aku yang mampu’ dan ‘kamu yang tidak mampu’ dengan mengklaim suatu keistimewaan untuk ‘mempersiapkan jalan bagi saudari-saudari yang ‘kurang beruntung’. Dengan kata lain, Trinh menyimpulkan bahwa sirkulasi isu ‘perempuan dunia ketiga’ hanya melayani kepentingan kampanye keistimewaan mediasi perempuan dunia pertama (?) (Trinh, via Gandhi, 1998: 85).
37
Sementara itu, Talpade Mohanty dalam Under Western Eyes: feminist scholarship and colonial discourse melihat permainan diskursif kolonialisme dalam produksi ‘perempuan dunia ketiga’ sebagai subjek monolitik tunggal dalam teks-teks feminis Barat. Dia menggunakan terma kolonialisme dengan sangat terbuka untuk mengimplikasikan setiap relasi dominasi struktural yang bertumpu pada pelayanan diri pada penindasan terhadap keberagaman subjek-subjek yang dipersoalkan. Mohanty kemudian menyatakan bahwa kategori analitis ‘perempuan dunia ketiga’ bersifat kolonialis atas dasar dua alasan. Pertama, myopia etnosentris yang tidak melihat besarnya perbedaan material dan historis antara perempuan dunia ketiga dalam ‘kenyataan’. Kedua, ‘Peliyanan’ terhadap ‘perempuan dunia ketiga’ juga telah menjadi suatu proyek konsolidasi-diri bagi feminis Barat (Talpade Mohanty, 1994: 196). Selain itu, Mohanty juga menunjukkan bahwa karya feminis dalam ilmu sosial pada prinsipnya justru mengkontraskan etos progresif feminisme Barat dengan ketidak-dewasaan politik perempuan dunia ketiga. Dengan demikian, ‘perempuan dunia ketiga’ pada umumnya dinyatakan sebagai terabaikan, miskin, tidak
berpendidikan,
terikat
tradisi,
domestik,
family-oriented,
korban.
‘Perempuan dunia-ketiga’ justru memfasilitasi perempuan Barat sebagai yang ‘terdidik, modern, memiliki kontrol terhadap tubuh mereka sendiri dan seksualitasnya, dan memiliki kemerdekaan untuk membuat keputusannya sendiri (Mohanty, 1994: 200).
38
1.6.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode analisa yang digunakan oleh Barthes
dalam Rethoric of Images yang berdasar pada teori semiotika. Teori semiotika digunakan untuk memahami teks Caroline aux Indes, baik berupa image maupun teks linguistik. Metode analisa yang dilakukan Barthes dalam Rethoric of Images adalah meletakkan konotator sebagai aspek signifikasi ideologi yang hadir melalui kode-kode kultural. Sementara itu, Teori Pascakolonial digunakan untuk memahami kode-kode kultural kondisi pascakolonial Perancis India dalam teksteks Caroline aux Indes. Teori Pascakolonial tersebut berfungsi dalam signifikasi konotasi sebagai pengetahuan yang diperlukan untuk memahami relasi kuasa (subordinasi, dominasi, dan ambivalensi pascakolonial Perancis India) dalam image dan teks linguistik Caroline aux Indes. Penelitian ini menggunakan data primer berupa image dan teks linguistik pada cerita Caroline aux Indes. Data ini diperoleh dengan melakukan pembacaan cerita dan meakukan signifikasi denotatif terhadap image dan teks linguistik. Pembacaan tingkat pertama tersebut akan menghasilkan pesan literal mengenai penokohan, interaksi antar tokoh, dan latar sebagai tempat terjadinya interaksi tokoh dalam cerita tersebut. Selanjutnya, dalam pembacaan tingkat kedua atau signifikasi konotasi, metode analisa Barthes dalam Rethoric of Images digunakan untuk memahami strategi pada bentuk-bentuk retoris dalam pesan literal yang mengkonstruksi kesadaran tertentu tentang Caroline dan kawan-kawannya sebagai wakil dari pendatang Eropa, tokoh-tokoh India sebagai penduduk asli tanah jajahan, dan
39
India sebagai tempat terjadinya interaksi mereka. Strategi dalam bentuk-bentuk retoris tersebut memiliki peran penting saat struktur-struktur kuasa dan hirarkihirarki dipancangkan; untuk menata kesadaran audiens dan menutupi operasi kuasa yang terjadi di dalamnya (Rampley, 2005: 138-139). Pembacaan tingkat kedua ini bertujuan untuk melihat bagaimana kesadaran audiens ditata untuk mengalamiahkan relasi yang tidak setara antara Perancis dan India dalam kondisi Pascakolonial Perancis India dalam Caroline aux Indes. Dengan demikian, pada pembacaan kedua ini diperlukan data sekunder berupa sejarah koloni Perancis India dan koloni Perancis di tempat lain. Data-data sekunder itu digunakan sebagai data pendukung dan pembanding dalam signifikasi konotasi, berfungsi sebagai perangkat untuk memahami kode-kode kultural Pascakolonial Perancis India pada cerita Caroline aux Indes. Data-data sekunder itu, baik berupa sejarah Pascakolonial Perancis India dan Perancis di koloni yang lain, dikumpulkan dari berbagai literatur yang membahas hal-hal tersebut, baik berupa buku, artikel, website, dan sumber-sumber lain yang relevan. Sementara itu, untuk melakukan pembacaan konotasi terhadap relasi antara tokohtokoh perempuan Eropa dan India, beserta relasinya dengan tokoh-tokoh lain, data sekunder yang digunakan adalah beberapa kritik dalam wacana pascakolonialisme terhadap teori dan praktik feminisme yang mengisyaratkan ketidaksetaraan antara perempuan Barat dengan perempuan Timur.
1.7.
Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini direncanakan akan ditulis dalam lima bab. Bab I adalah
pengantar yang memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
40
pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II akan memuat kondisi pascakolonial Perancis India dan sejarah politik kolonial Perancis di India. Bab III akan memuat pembacaan pesan literal cerita bergambar Caroline aux Indes. Selanjutnya, Bab IV akan memuat pembacaan tingkat kedua, yaitu menempatkan pesan lireal sebagai konotator dalam signifikasinya dengan ideologi kolonial Eropa (Perancis). Bab ini juga akan membahas pengaruh penokohan Caroline sebagai perempuan dan interaksinya dengan tokoh lain dalam relasi kuasa kolonial Perancis India pada cerita tersebut. Bab V akan menjadi penutup yang memuat kesimpulan dari penelitian ini.
41