BAB I PENDAHULUAN I.1.
Latar Belakang Lanjut usia atau selanjutnya disebut dengan lansia adalah individu
yang telah berusia 60 tahun ke atas. Demikian pula yang termaktub dalam UU No No 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia. Selain itu, WHO (World Health Organization) sebagai lembaga kesehatan dunia juga menetapkan 60 tahun sebagai usia dimana seseorang telah berusia lanjut. Menilik ciri lain, mendengar kata lansia sendiri, mungkin mayoritas dari kita langsung mengkaitkannya dengan sosok nenek-nenek dan kakek-kakek. Kondisi fisik mereka yang sudah beruban dan berkulit keriput sering kali menjadi penanda fisik yang mudah untuk menggolongkan mereka ke dalam kategori lansia. Ditambah dengan adanya penurunan berat badan, berkurangnya penglihatan, berkurangnya pendengaran, dan tanggalnya gigi geligi yang membuat lansia mengalami kesulitan makan. Beberapa ciri fisik di atas memang tidak mutlak mengingat pada zaman yang modern seperti saat ini, rambut yang beruban dan kulit yang keriput, misalnya, dapat disamarkan dengan perawatan tubuh yang dijalani oleh masing-masing individu. Masuk dalam kategori lansia seperti di atas, memang tidak dapat dihindari oleh manusia. Sebab, menilik kembali hakekat manusia sebagai makhluk hidup, idealnya manusia menjalani beberapa periode daur kehidupan. Dimulai dari masa pre-natal hingga tahap lanjut usia. Tahap-tahap kehidupan ini kemudian menjadi siklus pasti jika seseorang berhasil menjalani hidupnya hingga 1
berakhir dengan masa dimana dia akan dikategorikan sebagai seorang lansia. Dengan kata lain, masa lansia ini adalah masa terakhir kehidupan manusia sebelum pada akhirnya nanti manusia akan meninggal dunia. Kenyataan tersebut yang kemudian seringkali menjadi momok sendiri bagi lansia mengingat usia mereka yang sering dihubungkan sudah dekat dengan kematian. Seperti yang diungkapkan oleh Kuncoro Bayu Prasetyo (2001) bahwa beberapa kaum lansia telah pasrah dengan kehidupannya yang mereka sadari tidak lama lagi akan berakhir dengan kematian. Dengan begitu, wajar jika para lansia menghabiskan sebagian waktunya untuk semakin giat beribadah, berusaha mendekatkan diri dengan Tuhan. Lansia juga kerap dihubungkan dengan kondisi kesepian akibat kurangnya kontak sosial karena beberapa hal, seperti berpisah dengan anak yang sudah menikah atau pasangan hidup yang telah meninggal. Hal ini tentu mempengaruhi kondisi psikologis lansia yang merasa ditinggalkan dan tidak ada yang menemani. Padahal banyak di antara mereka yang berharap mempunyai kawan atau teman hidup ketika mereka mulai menua. Keadaan tersebut memunculkan pandangan umum bahwa lansia akan mengalami masalah-masalah psikologis, misalnya kesepian. Dampaknya kemudian yang terjadi adalah para “calon” lansia terkadang ketakutan untuk menghadapi hari tua mereka kelak. Belum lagi masalah perubahan fisik yang acapkali menjadi acuan bagi pihak lain untuk memberi stigma bahwa tingkat produktivitas pada lansia berkurang karena fisiknya yang tak lagi prima. Sebenarnya saya kurang setuju dengan pemikiran ini karena menurunnya kualitas dari sudut karakter fisik belum 2
tentu berpengaruh pada tingkat produktivitas. Perlu kita cermati ulang sebenarnya apa yang dimaksudkan dengan produktivitas, lalu apa tolak ukurnya. Jika hanya menggunakan ciri-ciri fisik, saya rasa kurang tepat untuk menentukan siapa yang produktif dan siapa yang tidak produktif. Pada kenyataannya, saat ini tidak sedikit lansia yang masih kuat untuk bekerja. Baik sebagai seorang penjual, direktur, kuli gendong, petani, artis, dosen, seniman, dan profesi lainnya yang mungkin memerlukan ketahanan fisik prima. Berita pagi di sebuah media cetak pernah memberitakan nenek Paiyem, seorang penjual ronde berusia 90 tahun yang masih berjualan di jalan Kauman, Gondomanan, Yogyakarta dari pukul 19.30 sampai tengah malam. Di tengah kondisi usia yang telah senja, nyatanya nenek Paiyem masih semangat untuk bekerja walau pun di malam hari. 1 Rupanya stigma yang terlanjur melekat pada para lansia tidak hanya masalah keproduktifan. Seringkali muncul pernyataan bahwa lansia bukan waktunya lagi untuk bekerja, tetapi sudah saatnya lansia dirawat. Kemudian secara spontan, orang-orang terdekat dari lansia mulai menerapkan perlakuan yang berbeda dengan tidak memperbolehkan anggota keluarga mereka yang telah tua untuk bekerja. Sering kita temui lansia yang ngeyel 2 ketika tidak diperbolehkan misalnya untuk berkebun, memasak, atau berbelanja ke pasar. Sikap yang demikian dapat dikategorikan sebagai bentuk penolakan dari golongan lansia yang ingin menunjukkan bahwa dirinya masih kuat untuk bekerja.
1 2
Dalam harian pagi Tribun Jogja. Edisi Rabu Legi, 27 Januari 2016 No 1731/tahun 5 Ngeyel adalah bahasa Jawa yang artinya bandel, susah diberi tahu
3
Walaupun fungsi tubuh mereka mulai menurun, namun bukan berarti mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Sikap lansia yang demikian tak lepas dari stigma baru yang muncul saat modernisasi mulai merebak dan setiap orang memiliki kesibukan masingmasing. Kesibukan tersebut membuat individu yang memiliki lansia dalam anggota keluarganya, tidak mempunyai cukup waktu untuk membantu memenuhi kebutuhan lansia dan menganggap bahwa lansia adalah beban. Tentu tidak banyak orang yang ingin dianggap sebagai beban bagi orang lain, sehingga lansia pun berusaha untuk tetap mandiri di usianya yang sudah senja. Beberapa sikap atau perilaku lansia di atas merupakan respons lansia terhadap lingkungan mereka yang berubah seiring dengan perubahan fisik, mental, dan sosial-budaya yang menimpa kelompok lansia. Respons dapat diwujudkan melalui berpikir dan berpendapat sebagai bentuk respons pasif, maupun melalui respons aktif berupa perilaku atau tindakan. Dimana gagasan hasil pikiran manusia dan tindakan individu termasuk ke dalam wujud kebudayaan. Oleh karena itu, fenomena lansia ini bukan hanya wujud fenomena biologi, tetapi juga merupakan fenomena sosial-budaya yang menarik untuk dikaji. Mereka yang tergolong lansia selalu memiliki respons sendiri dan tergolong unik saat mereka masuk ke dalam kontruksi waktu yang disebut dengan hari tua. Respons-respons tersebut yang kemudian membentuk budaya yang ada di kalangan lansia. Ada dari mereka yang tetap bekerja, mengasuh cucu-cucu yang ditinggal orang tuanya bekerja, aktif dalam kegiatan agama, rajin berolahraga, mengurus rumah tangga, memperluas wawasan dengan membaca media cetak, 4
menonton televisi, mendengarkan musik, atau berkunjung ke rumah saudara 3 . Namun ada satu kegiatan lagi yang cukup menarik yaitu kegiatan mendengarkan radio dan berkirim salam melalui radio. Faktanya, tidak sedikit lansia perempuan pendengar PROGRAMA 4 Radio Republik Indonesia wilayah Yogyakarta atau selanjutnya disebut dengan PRO 4 RRI Yogyakarta, turut aktif dalam kegiatan berkirim salam melalui media yang cukup dekat dengan masyarakat tersebut. Hampir setiap hari mereka mendengarkan dan menelepon radio dalam program yang membuka kesempatan untuk berkirim salam dan request lagu. Biasanya mereka tergabung dengan program yang menyajikan musik keroncong, dangdut, campursari 4 , Koes Plus, dan lagu era 90-an 5 . Dalam kegiatan tersebut, tampak mereka berlomba-lomba untuk dapat masuk 6 melalui telepon dalam program on-air radio demi mengirim salam untuk teman-teman radionya. Perbincangan antara penelepon dan penyiar pun sangat akrab, bahkan beberapa penyiar hafal terhadap suara penelepon dan memanggil penelepon dengan sebutan bunda, eyang, dan romo 7 . Percakapan yang terjadi melalui telepon dan kemudian tersiar langsung di radio terdengar sangat luwes 8
3
Isnutomo, Maulita Dwasti. 2012. “ Identifikasi Permintaan Kelompok Usia Lanjut terhadap Kegiatan Rekreasi di Kota Bandung” dalam Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol. 23 No. 2, Agustus 2012, hlm. 119‐138. 4 Campursari adalah perpaduan antara musik tradisional (gamelan) yang pentatonis dengan musik modern yang diatonis. 5 Lagu era 90‐an adalah lagu‐lagu Indonesia yang dibawakan dan terkenal di tahun 1990 dan banyak menjadi program musik di beberapa radio di Yogyakarta. 6 Masuk dalam konteks program radio maksudnya adalah pendengar berhasil menelepon radio untuk berkirim salam atau request lagu. 7 Romo adalah bahasa Jawa yang berarti bapak. 8 Luwes adalah bahasa Jawa yang berarti santai, tidak dalam suasana yang tegang.
5
dengan saling menanyakan kabar, request lagu, bercerita kegiatan masing-masing, bercanda, hingga akhirnya berkirim salam. Para perempuan lansia pendengar PRO 4 RRI Yogyakarta dalam hal ini, memanfaatkan dua media sekaligus yaitu media telepon dan media radio untuk berkomunikasi dengan teman-teman mereka. Bahkan mereka menelepon tidak hanya satu kali dalam sehari. Jika mereka menggemari beberapa program, maka bisa dua sampai tiga kali mereka masuk dan menyapa penyiar serta temanteman sesama pendengar radio. Hal ini tentu menarik untuk dikaji, mengingat adanya fungsi sosial yang coba dihadirkan oleh radio melalui interaksi sosial yang terjalin antar pendengar radio (Maryono, 2005: 7). Terlebih interaksi sosial antar pendengar RRI Yogyakarta terjalin nyata melalui Paguyuban Kru dan Monitoring RRI Yogyakarta. Ketertarikan saya untuk mengkaji hubungan lansia dengan radio lebih dalam lagi juga didorong oleh kontradiksi penggunaan radio di tengah perkembangan media yang sangat pesat. Banyak kemajuan-kemajuan luar biasa di bidang teknologi media yang membuat persebaran informasi dan komunikasi antar individu menjadi lebih mudah. Media-media konvensional layaknya radio mulai terlupakan. Media kekinian berbasis daring dan ponsel lebih menarik perhatian khalayak yang menuntut gaya hidup modern. Sementara, para perempuan lansia pendengar PRO 4 RRI Yogyakarta, yang notabene memiliki ponsel atau telepon, lebih memilih berkomunikasi melalui radio hampir setiap hari daripada berkomunikasi secara langsung dengan teman-temannya melalui via
6
telepon atau pesan singkat yang populer dengan sebutan SMS (Short Message Service). Fenomena ini bagi saya juga memiliki keistimewaan tersendiri untuk dikaji karena menghadirkan realitas sosial lansia dari sudut pandang yang lain yaitu kedekatan lansia dengan media, khususnya radio. Apakah kemudian ketika radio dikaitkan dengan perempuan lansia, kedekatan ini merupakan salah satu cara survive perempuan lansia dalam menjalani hari tua, dimana data komposisi penduduk
menunjukan
bahwa
jumlah
perempuan
lansia
lebih
banyak
dibandingkan dengan jumlah laki-laki lansia. Tabel 1. Komposisi Penduduk Lansia Indonesia (persen) Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin, dan Kelompok Umur 2014 Kelompok Umur Lansia (tahun) Tipe Daerah/Jenis Pra Lansia Lansia Kelamin 45-49 50-54 55-59 45-59 60-69 70-79 80+ (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (1) Perkotaan Laki-laki 40,78 33,37 25,84 9,15 65,05 26,45 8,50 Perempuan 41,09 34,21 24,70 8,78 59,21 29,96 10,83 Lakilaki+Perempuan 40,94 33,79 25,27 8,97 61,94 28,32 9,74 Perdesaan Laki-laki 39,68 34,09 26,23 9,34 62,89 27,34 9,77 Perempuan 40,17 34,45 25,38 9,22 57,58 30,07 12,36 Lakilaki+Perempuan 39,93 34,27 25,81 9,28 60,06 28,79 11,15 Perkotaan+Perdesaan Laki-laki 40,23 33,73 26,04 9,25 63,89 26,93 9,18 Perempuan 40,63 34,33 25,04 9,00 58,83 30,02 11,65 Lakilaki+Perempuan 40,43 34,03 25,54 9,12 60,93 28,57 10,50 (Sumber: BPS, Susenas 2014)
7
90+ (9) 6,91 7,92 7,41 8,05 9,25 8,65 7,48 8,59 8,03
Selain itu, penting untuk mengangkat realitas kehidupan lansia di samping kehidupan sosialnya yang kerap bergulat dengan stigma, agar senantiasa muncul sisi positif dari keberadaan orang-orang yang telah berusia lanjut. I.2.
Rumusan Masalah Manusia sebagai makhluk kolektif memiliki landasan biologi berupa
dorongan
untuk
bergaul
dan
berinteraksi
dengan
sesama
manusia
(Koentjaraningrat, 1990: 110). Makna interaksi sosial sendiri adalah hubungan sosial antar individu, antar kelompok, atau antar individu dengan kelompok 9 . Lebih jauh lagi, Koentjaraningrat (1990) menjelaskan terdapat dua proses interaksi dalam masyarakat yaitu kontak dan komunikasi. Kontak adalah proses dimana dua pihak atau lebih saling terhubung, baik melalui media atau bertatap muka secara langsung. Jika dalam kontak tersebut makna yang diberikan pihak satu sama dengan makna yang diterima oleh pihak kedua, maka komunikasi diantara kedua belah pihak telah terwujud. Pentingnya proses interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat membuat saya tertarik untuk meneliti persoalan lansia dan media yang sebenarnya sudah terjadi cukup lama, tetapi sayangnya fenomena berkirim salam melalui radio ini luput dari perhatian banyak pihak. Oleh karena itu, dalam penelitian ini permasalahan yang akan dibahas adalah : 1. Bagaimana perempuan lansia pendengar PRO 4 RRI Jogja memaknai hari tua mereka? 9
Ginintasasi, Rahayu. “Interaksi Sosial”. http://file.upi.edu.Direktori/FIP/JUR_PSIKOLOGI/ 195009011981032‐RAHAYU_GININTASASI/INTERAKSI_SOSIAL.pdf. Diakses pada 15 Februari 2016 pukul 17.43 WIB.
8
2. Apa arti penting kegiatan mendengarkan radio, berkirim salam lewat radio, dan berkegiatan dalam PKM RRI Yogyakarta bagi perempuan lansia pendengar PRO 4 RRI Jogja? I.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika sosial
yang terjadi di kalangan lansia, khususnya perempuan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menyumbang wawasan baru bahwa radio dapat memberikan alternatif kegiatan yang menunjang lansia untuk berkegiatan aktif mengisi hari tua. Sedangkan manfaat penelitian ini terbagi ke dalam dua bentuk : 1.
Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wacana tentang lansia dari sisi sosial-budaya yang dirasa masih minim di Indonesia. Selain itu, juga dapat menjadi referensi tambahan dalam kajian gaya hidup serta media yang perkembangannya saat ini cukup pesat.
2.
Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat menjadi rekomendasi bagi RRI Yogyakarta dalam mengelola dan memperbaiki programprogram dalam siaran agar senantiasa tepat sasaran dan mampu mengakomodir
beberapa
titik
terakomodasi oleh pemerintah. I.4.
Tinjauan Pustaka
9
kebutuhan
lansia
yang
belum
Studi tentang lansia sebagai bagian dari penelitian sosial sebenarnya telah menghasilkan beberapa karya. Baik yang bertema sosial-budaya, psikologi, kebijakan publik, dan media. Salah satu kajian lansia dengan tema sosial-budaya terdapat dalam buku Keluarga Jawa milik Hildred Geertz. Geertz (1983) menjelaskan bagaimana orang yang sudah berusia tua mendapat penghormatan tinggi. Misalkan saja dengan tidak mengatakan orang tua ikut hidup dengan anak. Perkataan yang demikian dianggap menunjukkan ketergantungan orang tua terhadap anak. Justru sebaliknya, anaklah yang telah ikut hidup dengan orang tua ketika mereka tinggal satu atap dengan orang tua 10 . Mendukung pernyataan dari Geertz, Bangun (dalam Koentjaraningrat dkk,
1997)
yang
melakukan
penelitian
terhadap
masyarakat
Batak
mengungkapkan pula bahwa di Batak terdapat tiga prinsip stratifikasi sosial yang mengakui peran penting lansia. “Dalam hal menentukan upacara adat, atau dalam hal urusan kekerabatan, hanya para tua-tua 11 yang berhak mengajukan saransaran dan mengambil keputusan.” (Koentjaraningrat dkk, 1997: 110). Beberapa kajian di atas yang berkaitan dengan lansia telah menunjukkan bagaimana peran lansia secara sosial budaya sangat penting dan diperlukan. Namun perlahan peran tersebut berkurang seiring masuknya arus modernisasi di Indonesia. Modernisasi yang hadir dengan wujud pembangunan dan industrialisasi sedikit berhasil menempatkan posisi lansia dalam keadaan marjinal. Padahal dalam satu waktu, menurut Bahruddin (2010) dalam artikelnya 10
Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta : Grafiti Press Stratifikasi sosial berdasarkan umur terbagi menjadi tiga, yaitu danak‐danak (anak‐anak dan pemuda), kalak singuda (orang setengah usia), dan tua‐tua (orang‐orang tua) 11
10
yang berjudul Pengarusutamaan Lansia dalam Pelayanan Sosial, menjamurnya industri di Indonesia berjalan beriringan dengan peningkatan angka harapan hidup yang menunjang populasi lansia menjadi lebih besar. Oleh karena itu, kajian lansia kemudian berkembang ke arah studi kebijakan publik. Artikel Bahruddin adalah salah satu tulisan yang memuat tentang lansia dalam kebijakan publik dengan menggunakan pendekatan modernisasi untuk mengkaji perlunya kebijakan sosial bagi lansia di Indonesia. Ia menegaskan bahwa modernisasi memicu perubahan sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat industri yang menjadikan posisi lansia semakin dalam keadaan yang rentan. Lansia dipandang tidak produktif dan tidak berdaya melalui kacamata ekonomi. Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya kebijakan sosial lansia yang dihadirkan oleh pemerintah, lansia tidak lagi semakin sengsara dalam menghadapi masa tuanya. Penelitian terkait dengan dinamika kehidupan lansia juga diperdalam oleh Kuncoro Bayu Prasetyo (2001) melalui skripsinya yang berjudul Kehidupan Sosial Lanjut Usia di Panti Sosial Tresna Werdha “Budhi Luhur” Bantul Yogyakarta. Skripsi ini menjelaskan kehidupan sosial lansia, baik laki-laki maupun perempuan dengan berbagai latar belakang di PSTW. Dalam hal ini, PSTW menjadi media interaksi bagi para lansia yang sama-sama merasa kesepian, terlantar, dan tidak mempunyai keluarga yang mengurus mereka. Selain itu, tulisan ini juga memaparkan bagaimana para lansia berusaha untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka yang baru di PSTW. Ada beberapa dari lansia yang ketika masuk merasa aneh tinggal di PSTW dan memerlukan proses adaptasi. Setelah mereka dapat beradaptasi dengan baik, mereka justru bahagia tinggal di 11
panti karena mereka dapat terhindar dari kesepian. Pada akhirnya, para lansia memfokuskan diri mereka untuk melakukan ibadah mendekatkan diri pada Tuhan agar mendapat kehidupan yang damai dan tenteram di masa tuanya. Beberapa penelitian selanjutnya, banyak mengkaji sisi psikologi lansia. Septiningsih dan Tri (2012) menjelaskan bahwa delapan informannya yang terdiri dari 6 lansia perempuan dan 2 lansia laki-laki mengalami kesepian pada usia lanjut, baik kesepian emosional, 12 kesepian situasional, 13 atau kesepian sosial. 14 Faktor pencetusnya bermacam-macam, mulai dari kehilangan anak, komunikasi yang kurang intens dengan anak dan saudara, meninggalnya pasangan hidup, fungsi tubuh yang mulai menurun, dan kurangnya aktivitas sosial. Dapat diidentifikasi bahwa kesepian muncul lebih banyak ketika seseorang kehilangan komunikasi dengan orang lain. Dalam artikel yang berjudul Kesepian pada Lanjut Usia: Studi tentang Bentuk, Faktor Pencetus, dan Strategi Koping ini, menyimpulkan terdapat dua strategi yang biasa diterapkan oleh para lansia untuk mengurangi kesepian, yaitu melalui self-control dan reappraisal 15 . Penelitian tentang kebutuhan bersosialisasi untuk menghindari kesepian juga diungkapkan oleh Maulitas Dwasti Isnutomo (2012) melalui survei terhadap kelompok lansia di Bandung. Hasil survei tersebut disebutkan bahwa rekreasi dapat menjadi salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan sosial dan 12
Kesepian emosional adalah kesepian yang dialami individu karena kurang dekat atau intimnya hubungan dengan seseorang. Contoh : kesepian karena anaknya kurang perhatian 13 Kesepian situasional adalah kesepian yang dialami setelah terjadi peristiwa penting dalam kehidupan individu. Contoh : meninggalnya pasangan hidup 14 Kesepian sosial adalah kesepian yang timbul karena tidak adanya atau sedikit teman untuk berbagi minat dan aktivitas. Contoh : jarang ada tetangga yang mau menengok seseorang ketika sakit 15 Reappraisal adalah usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai bentuk tindakan menghindari kesepian
12
aktualisasi diri para lansia, baik rekreasi di dalam atau di luar rumah. Tidak berbeda jauh, Nopembri mengungkapkan hal senada yang mendukung perlunya lansia untuk aktif dalam berkegiatan demi melanjutkan hubungan sosial dengan orang lain dan menghindari tekanan mental. Dalam tulisannya, Nopembri (t.t) memaparkan olahraga sebagai kegiatan yang berguna bagi lansia untuk mendapatkan tiga fungsi, yaitu fungsi mental, fungsi sosial, dan fungsi fisik. “Fungsi sosial juga dapat dikembangkan melalui aktivitas jasmani, seperti: (1) meningkatkan perasaan bebas dan mengembangkan pemberdayaan, (2) meningkatkan interaksi sosial ketika bekerja dengan orang lain, (3) memperluas jaringanjaringan sosial, (4) meningkatkan partisipasi sosial, (5) membantu terciptanya stimulasi lingkungan untuk meningkatkan masyarakat madani, (6) menyediakan kesempatan untuk hubungan antar generasi.” 16 Sementara literatur yang menyajikan data tentang kehidupan bermedia para lansia dapat ditemukan dalam artikel yang berjudul Carrying Out Care: An Exploration of Time and Space in Cooperative Life Design karya Nanami Suzuki (2013). Suzuki menyebutkan lansia yang bekerja sebagai produsen dauh teh di Kota Kamikatsu memanfaatkan berbagai media untuk mempermudah komunikasi mereka dengan pihak luar. Mulai dari penggunaan mesin fax untuk pemesanan daun teh, kemudian penggunaan komputer yang didesain khusus agar lansia mudah mendapatkan informasi seputar harga dan pasar teh, serta majalah yang juga berisi informasi perkembangan produksi teh. Cara kerja ini, selain memberikan pendapatan untuk lansia, juga membuka kesempatan bagi mereka 16
Nopembri, Soni. “Meningkatkan Gaya Hidup Aktif Para Lansia melalui Aktivitas Jasmani dan Olahraga”. http://staff.uny.ac.id/system/files/penelitian/Soni%20Nopembri,%20S.Pd.,M.Pd./Meningkatkan %20gaya%20hidup%20aktif%20para%20lansia.pdf. Diunduh pada 26 Januari 2016, 13.15 WIB.
13
untuk tetap eksis dalam dunia industri teh. Mereka mampu membangun kolega walaupun mereka bekerja dari rumah dengan berinteraksi melalui media yang telah mengakomodir kebutuhan mereka sebagai produsen teh. Kristiana Asih Damayanti dan Johanna Renny Octavia Hariandja (2015) dalam artikel yang berjudul Perancangan Aplikasi Social Media Bagi Lansia berdasarkan Model Desain Partisipatif juga mengemukakan kedekatan lansia dengan media massa yang sekarang banyak di-gandrungi 17 yaitu smartphone atau ponsel pintar. Diungkapkan bahwa penelitian ini berawal dari penemuan terhadap 12 orang lansia berusia 60-74 tahun sebagai pengguna ponsel pintar yang tidak ingin memanfaatkan ponselnya hanya untuk komunikasi sosial saja. Akan tetapi, mereka juga berkeinginan agar ponsel pintar juga menjadi sumber informasi kesehatan yang dapat dirujuk oleh mereka. Sehingga rancangan desain aplikasi kesehatan yang dibutuhkan oleh para lansia pengguna ponsel pintar menjadi hasil akhir dari penelitian tersebut. Telah diketahui beberapa kajian lansia yang dilakukan oleh peneliti lain dan menjadi karya tulis. Namun dari beberapa literatur yang telah disebutkan di atas, belum ada yang secara khusus membahas tentang kehidupan lansia yang erat dengan media massa, khususnya radio. Oleh karena itu, penelitian ini hadir untuk menambah pengetahuan baru dan memperkaya wawasan mengenai kehidupan lansia. Berangkat dari sebuah pertanyaan besar bagaimana perempuan lansia pendengar PRO 4 RRI Yogyakarta memaknai hari tua, penelitian ini diharapkan mampu memaparkan kehidupan bermedia yang dipilih oleh 17
Di‐gandrungi adalah bahasa Jawa yang berarti disukai, dicintai.
14
perempuan lansia pendengar PRO 4 RRI Yogyakarta untuk mengisi hari-hari mereka. I.5.
Landasan Pemikiran Dalam kehidupan manusia, dikenal istilah siklus hidup yang terdiri
dari masa bayi, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa lanjut usia. Dimana pada masa-masa tersebut, tidak hanya terjadi perubahan biologis, tetapi juga terjadi perubahan dalam lingkungan sosial-budayanya. Apabila perubahan-perubahan tersebut tidak dapat direspons dengan baik, maka transisi siklus hidup ini akan menimbulkan kerentanan ketika individu memasuki tahap kehidupan yang baru tersebut. Begitu pula dengan lansia, apabila lansia tidak siap menghadapi masa tuanya maka lansia akan beresiko mengalami kerentanan lansia. Kerentanan sendiri menurut Schröder-Butterfill (2005) adalah sebuah keluaran atau hasil dari strategi koping yang buruk. “In order to understand which elders are vulnerable, and for what reason, it is necessary to examine the interactions between exposure factors, threats, and the resources people have at their disposal to avoid or mitigate specific bad outcomes.” (SchröderButterfill, 2005: 1). Untuk memahami yang disebut dengan kerentanan, diperlukan pemahaman atas faktor apa yang menjadi resiko seseorang akan mengalami kerentanan, lalu apa ancamannya, kemudian bagaimana individu memiliki kapasitas koping dengan segala modal yang ia miliki untuk meminimalisir akibat buruk yang dikenal dengan kerentanan.
15
Gambar 1. Kerangka untuk Memahami Kerentanan Exposure atau Schröder-Butterfill menyebutnya dengan risk factors adalah keadaan yang membuat individu terancam untuk masuk dalam kerentanan. Faktor-faktor risiko ini kemudian semakin diperkuat oleh threat atau ancaman yang memiliki kekuatan untuk mengarahkan individu ke posisi yang rentan. Namun, peluang kerentanan ini dapat diminimalisir dengan adanya kapasitas koping dari masing-masing individu. Koping adalah suatu cara yang dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah, menyesuaikan diri dengan perubahan, dan respons terhadap situasi yang mengancam (Keliat dalam Zumaidah, 2012). Kapasitas koping ini kemudian didukung dengan modal-modal seperti modal budaya, modal ekonomi, dan modal sosial yang dikelola oleh individu untuk dapat mengurangi kerentanan. “The ability to avoid or reduce vulnerability depends not only on initial assets, but also the capacity to manage them” (Moser dalam Schröder-Butterfill, 2005). Menurut Septiningsih & Tri (2012), koping bukanlah tindakan sesaat yang dilakukan oleh individu. Koping terjadi dalam waktu yang lama, dilakukan oleh suatu lingkungan dan individu yang saling mempengaruhi. Tindakan ini kemudian dapat menjadi gaya hidup yang menunjukkan pola-pola respons 16
individu dalam kehidupan. Seperti yang diungkapkan Adlin dkk (2006) bahwa gaya hidup dapat dilihat sebagai pola-pola tingkah laku yang diungkapkan manusia sebagai respons diri mereka terhadap hidup dan segala hal yang melingkupinya. I.6.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan
metode etnografi, dimana observasi partisipasi dan wawancara mendalam merupakan bagian dari metode pengumpulan data dalam etnografi. Kedua jenis pengumpulan data tersebut diperoleh melalui kegiatan penelitian lapangan yang dilaksanakan kurang lebih selama sepuluh bulan, mulai dari November 2015 sampai Agustus 2016. Kemudian data akan dianalisis secara deskriptif menggunakan teori kerentanan lansia dan gaya hidup. I.6.1.
Metode Pengumpulan Data Sebelum
melaksanakan
observasi
partisipasi
dan
wawancara
mendalam di lapangan, terlebih dahulu menetapkan lokasi dan informan yang sesuai dengan topik penelitian. Penetapan lokasi sendiri bertujuan untuk memperjelas ruang lingkup dari kelompok sosial yang menjadi subjek penelitian. Kemudian, pemilihan informan berfungsi untuk mendapatkan informan yang mampu memberikan informasi secara rinci dan menyeluruh. I.6.1.1.
Penentuan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian secara keseluruhan dilakukan di Kota Yogyakarta
dengan RRI Yogyakarta (khususnya PROGRAMA 4) sebagai lembaga penyiaran yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Ada beberapa pertimbangan yang 17
melatarbelakangi pemilihan Kota Yogyakarta dan PRO 4 RRI Yogyakarta sebagai lokasi penelitian. Pertama, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menduduki peringkat pertama prosentase jumlah lansia dalam penduduk provinsi tahun 20102035 yaitu sebanyak 19%. Kedua, program kirim salam dan request lagu yang dihadirkan oleh PRO 4 RRI Yogyakarta unik salah satunya adalah program Silaturahmi yang memberikan kesempatan pada pendengar untuk saling mendoakan. Ketiga, adanya wadah pertemuan untuk pendengar PRO 4 RRI Yogyakarta melalui Paguyuban Kru dan Monitoring RRI yang banyak diikuti oleh kalangan lansia. Terakhir adalah banyak masyarakat yang memberikan label pada RRI bahwa RRI adalah radionya orang tua atau lansia sehingga menarik jika mengkaji lebih dalam kehidupan perempuan lansia melalui kegemaran mereka bermedia lewat RRI Yogyakarta. I.6.1.2.
Penentuan Informan Informan utama yang dipilih adalah pendengar RRI Yogyakarta yang
sudah tergolong lansia dengan usia sesuai dengan UU No 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia yaitu di atas 60 tahun, aktif mendengarkan serta berkirim salam dalam program kirim salam PRO 4 RRI Yogyakarta via telepon, dan berjenis kelamin perempuan. Pemilihan perempuan lansia sebagai fokus informan karena di Daerah Istimewa Yogyakarta, jumlah lansia perempuan lebih banyak daripada laki-laki (lihat tabel 2).
18
Tabel 2. Persentase Penduduk Lanjut Usia di DIY, menurut Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2010 18 Jenis Kelamin Kelompok Umur L+P Laki-laki Perempuan 60-64 28,0 25,7 26,7 65-69 26,0 24,3 25,0 70+ 46,0 50,0 48,2 Total 100,0 100,0 100,0 (N) 200.912 255.483 456.395 Sumber : http://www.cpps.ugm.ac.id Angka harapan hidup perempuan lansia juga lebih tinggi, sehingga menimbulkan pertanyaan kecil apakah dengan melakukan kegiatan mendengarkan dan berkirim salam melalui radio, mereka sedang mencoba membangun jaringan sosial agar terhindar dari kesepian ketika ditinggalkan oleh suami atau anak. Informan juga pendengar RRI Yogyakarta yang mengikuti Paguyuban Kru dan Monitoring serta berkegiatan dan menghadiri paguyuban tersebut. Tak hanya itu, perempuan lansia yang menjadi informan adalah mereka yang masih berdomisili di wilayah Kota Yogyakarta karena penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana perempuan lansia di Yogyakarta mampu memaknai hari tua mereka dengan cara yang berbeda. Akses informan pertama kali didapatkan melalui teman saya yang neneknya masuk ke dalam kriteria informan utama penelitian ini, yaitu Ibu Tatik Djendro. Teman saya mengenalkan saya dengan Ibu Tatik pada awal tahun 2015. Kemudian pada November 2015, Ibu Tatik mengajak saya ke pertemuan PKM RRI Yogyakarta dan mengenalkan saya pada seluruh anggota dari PKM RRI 18 Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan. “Kondisi Sosiodemografis Penduduk Lansia di Yogyakarta: Hasil Analisis Data Sensus 2010”. http://www.cpps.ugm.ac.id. Diakses pada 22 Oktober 2016 pukul 10.30 WIB.
19
Yogyakarta. Dari proses tersebut, lalu saya mengenal Ibu Andri, Ibu Nunik Lugiran, Bapak Yowa, dan Ibu Umining. Untuk selanjutnya Ibu Tatik, Ibu Andri, dan Ibu Nunik menjadi informan utama saya dan bersedia tetap menggunakan nama asli mereka. Sementara untuk informan pendukung yaitu wakil ketua I PKM RRI Yogyakarta, Bapak Yohanes Waluyo atau Bapak Yowa yang hampir setiap pertemuan hadir untuk membawakan acara. Ibu Umining Priyanti, selaku penyiar PRO 4 RRI Yogyakarta dan perwakilan RRI yang kerap hadir dalam pertemuan PKM RRI Yogyakarta. Cucu pertama dari Ibu Tatik yaitu Lucia Ratri Ardhanaswari dan putri ketiga Ibu Andri, Mbak Cintya Dewi. I.6.1.3.
Metode Wawancara Metode pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah
mengobrol dengan calon informan. Metode ini dipilih karena mengobrol tidak hanya membangun kepercayaan dan kenyamanan informan pada awal komunikasi, tetapi teknik ini sebenarnya juga lebih santai dan lebih banyak menghasilkan informasi yang tidak terduga serta informasi umum yang dibutuhkan oleh peneliti. Selebihnya, setelah komunikasi peneliti dengan calon informan telah terbangun dengan baik, peneliti akan menyampaikan maksud serta tujuan penelitian. Jika calon informan menyetujui untuk menjadi informan, maka teknik wawancara selanjutnya dapat diaplikasikan. Metode selanjutnya yang diterapkan adalah metode wawancara mendalam. Melalui metode tersebut, jawaban dari perspektif informan akan didapatkan secara lebih rinci dan menyeluruh. Hal-hal yang tidak diketahui dengan cara observasi, dapat diketahui dengan wawancara mendalam. Sebelum 20
melakukan wawancara mendalam, terlebih dahulu menyiapkan pertanyaan acuan, perekam suara, dan media untuk mencatat. Hal etik lainnya yang tidak boleh terlewatkan adalah memastikan kembali kesediaan informan untuk menjadi narasumber dalam penelitian. Metode wawancara mendalam ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui wawancara terstruktur dan wawancara spontan. Wawancara terstruktur adalah wawancara yang dilengkapi dengan pertanyaan acuan, sementara wawancara spontan lebih didasari dengan pertanyaan yang muncul tiba-tiba ketika observasi partisipasi dilakukan atau ketika informan memberikan jawaban. Untuk intensitas mengobrol, saya lakukan setiap pertemuan PKM RRI Yogyakarta. Tidak hanya dengan informan utama saja, tetapi juga dengan anggota PKM RRI Yogyakarta yang lain. Sedangkan untuk wawancara mendalam, kurang lebih dua kali melakukan wawancara mendalam dengan masing-masing informan utama. Wawancara mendalam dengan Ibu Tatik Djendro dilakukan pada 17 April 2016 di RRI Yogyakarta dan 24 April 2016 di rumah informan. Pada tanggal 15 Mei 2016 melakukan wawancara dengan Ibu Andri di RRI Yogyakarta dan 15 Juli 2016 di rumah Ibu Andri. Sedangkan wawancara dengan Ibu Nunik dilaksanakan pada tanggal 19 Mei 2016 dan 1 Agustus 2016 di rumah Ibu Nunik. Wawancara dengan Bapak Yowa dilakukan pada tanggal 04 Mei 2016 di rumah Bapak Yowa dan dengan Ibu Umining pada tanggal 26 April 2016 di RRI Yogyakarta. I.6.1.4.
Metode Pengamatan Metode pengamatan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
observasi partisipasi. Observasi partisipasi bertujuan untuk mendapatkan emic 21
atau pemahaman makna yang sesungguhnya dari keadaan sosial yang sedang diteliti. Di dalam observasi partisipasi terdapat keterlibatan peneliti dalam kegiatan informan sehingga peneliti akan merasakan dinamika sosial-budaya dalam masyarakat yang sedang diteliti 19 . Dalam menerapkan metode observasi partisipasi, saya mengikuti dua level dari empat level partisipasi yang disebutkan oleh Spradley (dalam Whitehead, 2005) yaitu partisipasi pasif dan partisipasi aktif. Pertama, partisipasi pasif adalah kondisi dimana peneliti mengikuti kegiatan informan, tetapi partisipasinya terbatas. Dalam hal ini, berlaku ketika saya ikut mendengarkan kirim salam melalui radio tetapi saya tidak ikut berkirim salam melalui radio. Pun, ketika saya mengikuti kegiatan informan berkirim salam secara langsung, saya juga hanya mendengar dan mengamati hal-hal yang dilakukan informan sebelum, ketika, dan sesudah menelpon stasiun radio. Kedua, partisipasi aktif adalah partisipasi yang tidak hanya mengikuti apa yang informan lakukan, tetapi juga mempelajari aturan-aturan budaya dalam berperilaku. Partisipasi tipe ini saya terapkan saat saya mengikuti kegiatan PKM dan menjadi anggota bagian dari paguyuban tersebut. Saya mengamati betul bagaimana aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan informan mulai dari datang, acara dimulai, dan saat akan pulang. Saya juga mengikuti kebiasaan informan, salah satunya jika ada anggota yang baru saja datang, sebaiknya anggota tersebut
19
Whitehead, Tony. L. 2005. “Basic Classical Ethnographic Research Methods, Secondary Data Analysis, Fieldwork, Observation/Participant Observation and Informal and Semi‐structured Interviewing” dalam Cultural Ecology of Health and Change, Ethnographically Informed Community and Cultural Assessment Research System (EICCARS) Working Paper Series.
22
menyapa dan menjabat tangan seluruh anggota paguyuban yang sudah datang terlebih dahulu. Observasi partisipasi saya lakukan selama 10 bulan dari bulan November 2015-Agustus 2016. Setiap satu bulan sekali saya menghadiri pertemuan PKM RRI Yogyakarta kecuali bulan Desember dan Juni dikarenakan pertemuan diliburkan saat Natal dan puasa Ramadhan. Saya mengikuti seluruh acara pertemuan PKM dari dimulainya acara sampai selesai. Saat ulang tahun saya juga berpartisipasi dalam pementasan dengan bergabung dalam grup panembrama 20 dan hadir dalam latihan-latihan sebelum pentas. Selebihnya saya beberapa kali juga ke studio PRO 4 untuk mengamati langsung proses produksi program Suka Sami Suka. Secara acak, saya juga mendengarkan program Silaturahmi, Suka Sami Suka, dan Uyon-uyon Seton melalui frekuensi FM maupun AM untuk mengetahui partisipasi informan dalam PRO 4 RRI Yogyakarta. Saat wawancara mendalam di rumah informan, saya juga melakukan observasi agar mendapat gambaran kehidupan sehari-hari informan dengan radio. I.6.2.
Metode Analisis Data Analisis dalam skripsi ini akan menggunakan metode deskriptif yang
berisi hasil pengumpulan data dan kaitannya dengan teori kerentanan lansia serta gaya hidup. Selain itu, dalam menganalisis data akan diperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan jawaban atas rumusan masalah agar didapatkan hasil analisis yang menyeluruh dan sesuai dengan konteks penelitian. Analisis data juga dilakukan dengan berbasis pada hasil pencarian data yang mendalam dan detail. 20
Panembrama adalah menyanyikan lagu Jawa secara bersama‐sama
23