BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Arisman (2004) mengungkapkan bahwa secara umum lanjut usia atau lansia adalah mereka yang berusia 65 tahun ke atas. Menurut Surini dan Utomo dalam Azizah (2011), lanjut usia bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan tahap lanjut suatu proses kehidupan yang akan dijalani semua individu ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Proses menua atau menjadi tua merupakan suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk mempertahankan struktur dan fungsi normalnya secara perlahan (Darmojo, 2004). Nugroho (1998) menambahkan, lanjsia adalah individu yang berusia di atas 60 tahun yang pada umumnya memiliki tanda-tanda terjadinya penurunan fungsi-fungsi biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi. Menurut Miller (1997), proses menua ditandai dengan adanya gangguan konservasi cairan dan pemeliharaan keseimbangan natrium yang merupakan faktor keseimbangan volume dan tonisitas cairan ekstraseluler. Menurut Guyton dan Hall (1997), cairan masuk ke dalam tubuh berasal dari cairan dan makanan yang dikonsumsi, sedangkan cairan tubuh keluar dapat melalui keringat, feses, urin, serta insensible water loss (kehilangan cairan secara tidak disadari) yaitu melalui kulit dan traktus respiratorius. Almatsier (2001) menambahkan bahwa asupan cairan diatur oleh rasa haus dan kenyang yang dipengaruhi oleh mulut, hipotalamus, dan perut. Apabila konsentrasi darah terlalu tinggi, hipotalamus dan saraf lambung akan mengontrol rangsangan untuk minum (respon haus) sehingga terjadi pengaturan asupan cairan.
1
2
Status hidrasi menurut Shirrefs (2003) dibagi menjadi tiga, yaitu euhidrasi (status hidrasi baik/ keadaan terjadi keseimbangan cairan), hiperhidrasi (kondisi terjadinya kelebihan cairan), dan hipohidrasi (kekurangan cairan). Dehidrasi merupakan proses kehilangan cairan tubuh yang terjadi akibat kehilangan cairan yang tidak diimbangi dengan kehilangan elektrolit dalam jumlah proporsional, terutama natrium, sedangkan rehidrasi merupakan proses penambahan atau pengembalian cairan tubuh. Kelompok yang beresiko mengalami dehidrasi salah satunya adalah lanjut usia. Menurut Gunter (2002), penurunan fungsi tubuh yang terjadi dapat mempengaruhi status kesehatan pada lansia, yaitu penurunan massa otot, penurunan mobilitas usus, penurunan kapasitas ginjal untuk mengeluarkan air dalam jumlah besar, kejadian incontintia urine (pengeluaran urin di luar kesadaran), serta penurunan respon haus sehingga mengalami ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran cairan yang dapat menyebabkan penurunan status hidrasi. Darmojo dan Martono (1999) menambahkan bahwa lansia memiliki proporsi lemak lebih besar sehingga beresiko tinggi mengalami dehidrasi akibat cadangan air tubuh yang sedikit. Menurut Arisman (2004), penurunan massa otot pada usia 25 dan 70 tahun mencapai 5 kg (wanita) hingga 12 kg (pria), serta terjadi penurunan ukuran otot hingga 40%. Pernyataan tersebut merupakan alasan utama penelitian ini menggunakan subjek laki-laki lanjut usia yaitu massa otot (bagian tubuh yang terdapat kandungan air) mengalami penurunan terbesar terjadi pada lanjut usia laki-laki. Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Raman (2004), dari 458 orang dewasa berusia 40-79 tahun yang menyelesaikan evaluasi perputaran air dengan menggunakan teknik 2H oxide. Intake cairan sangat
3
bervariasi pada subyek dan lebih rendah pada laki-laki usia 70-79 tahun dan wanita berusia 40-49 tahun. Output urin juga sangat bervariasi dan terjadi sedikit peningkatan output urin dengan bertambahnya umur pada kelompok pria. Pernyataan tersebut mendukung peneliti dalam memutuskan pemilihan individu laki-laki lanjut usia, yaitu terjadi ketidakseimbangan cairan tubuh disertai penurunan intake cairan yang dapat mengarah ke kondisi status hidrasi buruk. Konsumsi atau asupan cairan paling umum adalah plain water, yaitu minuman nol kalori (Campos, 2009) yang di Indonesia biasa dinyatakan dengan air minum, yaitu air yang melalui proses pengolahan ataupun tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung di minum (Kepmenkes RI, 2002) serta memiliki manfaat terhadap keseimbangan cairan tubuh pada kondisi dehidrasi (Maughan dan Murray, 2001). Konsumsi cairan dapat meningkatkan status hidrasi seseorang dengan memperhatikan jenis dan volume cairan tersebut. Kecepatan penyerapan air dalam tubuh untuk dapat merehidrasi cairan tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya kecepatan pengosongan lambung (Berning, 2004) yang dipengaruhi oleh kandungan kalori, volume, osmolaritas, suhu cairan, jenis kegiatan, dan tingkat dehidrasi (William, 2005). Konsumsi cairan untuk meningkatkan status hidrasi salah satunya adalah minuman isotonik, yaitu minuman yang mempunyai tekanan osmotik sama dengan tekanan darah manusia sehingga dapat secara cepat diserap tubuh setelah diminum. Berdasarkan Standard 2.6.2 Non-Alcoholic Beverages and Brewed Soft Drinks oleh Federal Register of Legislative Instruments (2009), minuman isotonik merupakan jenis minuman elektrolit yang diformulasikan sebagai minuman yang dapat menggantikan cairan tubuh, karbohidrat, elektrolit,
4
dan mineral tubuh secara cepat. Minuman isotonik yang ada di masyarakat cenderung banyak dikembangkan sebagai minuman untuk atlet tetapi juga dapat digunakan untuk proses rehidrasi bagi masyarakat. Indonesia memiliki sumber bahan pangan lokal yang melimpah, salah satunya adalah pisang yang cukup populer di kalangan masyarakat, memiliki banyak jenis, dan hampir setiap orang dapat mengonsumsinya (Aminah, et.al., 2004). Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Hortikultura Departemen Pertanian (2008), rata-rata hasil tanaman pisang tahun 2007 adalah sekitar 55,57 ton/ha. Melalui penelitian Penggalih (2010), pisang kepok kuning memiliki kandungan energi yang mudah dimanfaatkan oleh tubuh dan kandungan mineral tinggi yaitu kalium yang dapat berfungsi dalam menjaga keseimbangan cairan tubuh. Dengan adanya kandungan tersebut pisang kepok kuning dikembangkan menjadi bahan dalam pembuatan minuman isotonik alami untuk merehidrasi cairan tubuh. Pengembangan produk minuman isotonik berbahan tepung pisang kepok kuning telah dilakukan yang dinamakan Banana Isotonic Drink (Penggalih, et.al, 2010, 2012). Pengujian Banana Isotonic Drink telah dilakukan pada kelompok dewasa (usia 18-20 tahun). Hasil pengujian klinis membuktikan bahwa Banana Isotonic Drink memberikan proses rehidrasi lebih baik dibandingkan dengan plain water atau air putih (Penggalih et al, 2011). Minuman isotonik berbahan tepung pisang kepok kuning ini dianggap perlu dilakukan uji pemanfaatan terhadap proses rehidrasi pada kelompok lanjut usia sehingga dapat meningkatkan cakupan pemanfaatannya. Hal yang perlu diperhatikan pada lanjut usia adalah mengenai kualitas cairan yang dikonsumsi (Schols,
et.al,
2009;
Hebuterne,
et.al,
2009).
Plain
water
merupakan
rekomendasi cairan yang pertama dan harus menjadi bagian terbesar dalam
5
konsumsi harian (Bennett, 2000). Jenis kopi dan teh dapat memiliki efek diuretik sehingga hanya dikonsumsi dalam batas tertentu, sedangkan minuman beralkohol tidak dianjurkan pada lanjut usia (Bennett, 2000; Schols, et.al, 2009; Hebuterne, et.al, 2009). Menurut Maughan dan Murray (2001), minuman isotonik dan hipotonik dapat dengan cepat mempengaruhi pengosongan lambung. Menurut Casa et al. (2000), elektrolit mempercepat proses hidrasi, kandungan karbohidrat <8 gram % dan vitamin mempercepat pengosongan lambung dan berguna untuk membantu penyerapan air di usus halus. Konsumsi minuman isotonik pada lanjut usia dapat mempengaruhi penyerapan air dalam tubuh (Berning, 2004) yaitu semakin tinggi kecepatan pengosongan lambung akan dapat merehidrasi tubuh dengan cepat (William, 2005). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konsumsi cairan yang berasal dari air minum biasa tidak cukup bagi lanjut usia, sehingga diperlukan adanya konsumsi minuman isotonik yang diharapkan dapat memberikan manfaat ganda yaitu dalam konsumsi cairan maupun peningkatan kesehatan. Pengukuran status hidrasi pada lansia secara klinis diketahui sangat sulit (Stout, Kenny, dan Baylis, 1999). Belum ada gold standard untuk mengukur status hidrasi pada semua kondisi lingkungan. Beberapa indikator yang sering digunakan untuk mengukur status hidrasi antara lain parameter keseimbangan air, perubahan berat badan atau total cairan tubuh, indikator plasma, serta indikator urin (Manz dan Wentz, 2005). Seluruh jenis pengukuran status hidrasi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dalam penelitian ini, indikator urin digunakan untuk mengukur status hidrasi pada lanjut usia dengan pertimbangan visibilitas dan juga adanya resiko penurunan fungsi ginjal sebagai bagian dari pengaturan keseimbangan cairan dan natrium tubuh memiliki peran
6
penting dalam mensekresikan urin. Indikator urin yang digunakan adalah bagian profil urin yang meliputi warna, kejernihan, pH, dan berat jenis urin. Indikator tersebut hanya dapat digunakan pada subjek sehat, sedangkan pada pasien bedah indikator urin bukan merupakan indikator yang handal untuk menilai status hidrasi pasien, karena stres pembedahan menginduksi pelepasan aldosteron dan ADH yang keduanya memiliki efek retensi cairan (Darmawan, 2008). Diperkirakan pada tahun 2019, kelompok usia lanjut ini tercatat secara nasional sebanyak 23 juta jiwa (9,77% total populasi nasional), sedangkan jumlah lansia di kota Yogyakarta mencapai 29 ribu jiwa atau 12,48% total populasi (Badan Pusat Statistik, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa populasi lansia yang tinggi dapat beresiko dalam tingginya pula permasalahan kesehatan akibat penurunan fisiologis tubuh serta gangguan konservasi cairan dan pemeliharaan keseimbangan natrium yang berkaitan erat dengan status hidrasi, sehingga penelitian ini dilakukan diharapkan agar dapat meningkatkan status kesehatan pada lansia terkait status hidrasi melalui asupan cairan berupa Banana Isotonic Drink dan plain water yang diukur dengan indikator profil urin.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh pemberian Banana Isotonic Drink terhadap status hidrasi dengan pendekatan profil urin? 2. Bagaimana pengaruh pemberian Plain Water terhadap status hidrasi dengan pendekatan profil urin? 3. Bagaimana perbedaan pengaruh antara pemberian Banana Isotonic Drink dan Plain Water terhadap status hidrasi lansia dengan pendekatan profil urin?
7
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh pemberian Banana Isotonic Drink terhadap status hidrasi dengan melihat profil urin. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui pengaruh pemberian Banana Isotonic Drink terhadap status hidrasi dengan pendekatan profil urin. b. Mengetahui pengaruh pemberian Plain Water terhadap status hidrasi dengan pendekatan profil urin. c. Mengetahui perbedaan pengaruh pemberian Banana Isotonic Drink dan Plain Water terhadap status hidrasi lansia dengan pendekatan profil urin.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Mendapatkan pengalaman dalam melakukan penelitian klinis eksperimental serta mendapat informasi mengenai manfaat produk minuman isotonik yang telah dikembangkan terhadap rehidrasi tubuh. 2. Bagi Masyarakat Mendapatkan pilihan produk minuman isotonik alami berbasis tepung pisang kepok kuning yang banyak ditemukan di masyarakat sebagai sumber bahan pangan lokal dan bermanfaat dalam proses rehidrasi. 3. Bagi Industri Mendapatkan informasi mengenai produk alternatif minuman isotonik alami berbasis tepung pisang kepok kuning yang bermanfaat positif terhadap kesehatan yang dapat dikembangkan lebih lanjut.
8
E. Keaslian Penelitian Penelitian yang berjudul ‘Perbedaan Pengaruh Pemberian Banana Isotonic Drink dan Plain Water terhadap Status Hidrasi Pada Lanjut Usia dengan Pendekatan Profil Urin’ ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Adapun penelitian yang hampir sama antara lain: 1. Penelitian oleh Tawarniate (2011) yang berjudul ‘Identifikasi Dehidrasi dengan Pengukuran Ortostatik dan Frekuensi Cairan pada Mahasiswa di Universitas Gadjah Mada’. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui prevalensi dehidrasi yang tidak disadari pada mahasiswa Universitas Gadjah Mada dengan pengukuran ortostatik dan desain cross sectional dan frekuensi konsumsi cairan. Perbedaannya dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah pada metode, subjek penelitian, dan pendekatan mengenai pengukuran status hidrasi. Metode yang digunakan peneliti adalah cross over pada subjek lanjut usia dengan pendekatan profil urin, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Tawarniate (2011) menggunakan metode cross sectional pada subjek mahasiswa dengan menggunakan pengukuran ortostatik. Penelitian tersebut menggunakan subjek penelitian sekitar 274 mahasiswa untuk mengetahui adanya kondisi dehidrasi dengan pengukuran ortostatik tekanan darah dan denyut jantung selama 12 menit (5 menit berbaring dan 7 menit berdiri) serta dengan menggunakan kuesioner food frequency semi kuantitatif untuk mengetahui volume dan jenis cairan yang dikonsumsi. Dari hasil penelitian tersebut, didapat bahwa jenis minuman yang memiliki hubungan signifikan (p<0,05) dengan kondisi voluntary dehydration adalah minuman air putih dengan jumlah <1500 ml per hari.
9
2. Penelitian oleh Afriani (2011) yang berjudul ‘Pengujian Klinis Hasil Pengembangan Produk Minuman Isotonik Alami Berbasis Pisang Kepok Kuning (Musa Paradisiaca Formal Typical) terhadap Rehidrasi Cairan Tubuh: Pendekatan Nilai Elektrolit Urin’. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian minuman isotonik berbasis tepung pisang kepok kuning terhadap kadar elektrolit urin. Perbedaannya dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah subjek penelitian dan pada jenis pendekatan untuk mengukur status hidrasi, yaitu peneliti menggunakan subjek penelitian lanjut usia dengan pendekatan profil urin, sedangkan penelitian oleh Afriani (2011) menggunakan desain cross over dengan subjek penelitian laki-laki maksimal 20 tahun sebanyak 16 orang. Dari hasil penelitian tersebut, didapat bahwa kadar elektrolit pada kelompok kontrol (plain water) terjadi penurunan secara bermakna pada Cl-, Na+, dan K+ tidak terdapat perbedaan secara bermakna (p>0,05), sedangkan pada kelompok perlakuan (minuman isotonik berbasis tepung pisang kepok kuning) terjadi penurunan secara bermakna pada Cl- dan Na+, serta peningkatan K+ tetapi tidak terdapat perbedaan secara bermakna (p>0,05). Perbedaan kadar elektrolit urin antara pemberian minuman isotonik berbasis tepung pisang kepok kuning dan plain water tidak terdapat perbedaan secara bermakna (p>0,05). 3. Penelitian oleh Rosler, et.al (2009) yang berjudul ‘Nutritional and Hydration Status in Elderly Subjects: Clinical rating versus Bio Impedance Analysis’. Perbedaannya dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah pada pengukuran status hidrasi yang digunakan yaitu dengan mengukur status gizi dan status hidrasi pada kelompok lanjut usia di Jerman dengan
10
menggunakan alat Bio Impedance Analysis (BIA). Berdasarkan penelitian tersebut, pengukuran BIA dilakukan dengan penilaian klinis pada 31 wanita lanjut usia yang tinggal di rumah dan 30 wanita yang tinggal di panti jompo. Pengukuran BIA menunjukkan hasil yang baik untuk lingkar perut, kekuatan genggaman tangan, dan betis yang kemudian dibandingkan dengan penilaian klinis status hidrasi pada 103 geriatri dengan penyakit akut di rumah sakit. Kesesuaian antara hasil penilaian klinis dan pengukuran BIA adalah hanya 43,7%. Pengukuran pada pasien geriatri rawat inap, terdapat sedikit kebermaknaan antara evaluasi klinis dan BIA terhadap status hidrasi.