BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Lansia
2.1.1 Pengertian Lansia adalah mereka yang telah berumur 56 tahun keatas. Lansia terbagi atas young elderly (65-74 tahun) dan older elderly (>75 tahun). Lansia merupakan kelanjutan dari usia dewasa, dimana kejadian tersebut pasti akan dialami oleh semua orang yang dikarunia usia panjang (Arisman, 2003). Istilah untuk manusia yang usianya sudah lanjut belum ada yang baku. Orang sering menyebutnya berbeda-beda, Ada yang menyebutnya manusia lanjut usia atau Manula, manlanjut usia usia atau Lansia dan ada pula yang menyebut golongan lanjut umur atau glamur (Nugroho, 2000). Untuk kebutuhan terhadap unsur-unsur gizi, umumnya kebutuhan lansia sudah jauh berkurang jika dibandingkan dengan kebutuhan orang-orang dewasa. Pada orang yang lanjut usia kebutuhan basal metabolisme mereka berkurang 15-20%. Disamping itu umumnya aktifitas mereka sudah jauh berkurang. Hal ini tentu saja mempengaruhi kebutuhan energi mereka. Bertambah lanjut usia, maka akan bertambah banyaknya alat tubuh yang berkelanjutan, alat pencernaan terutama gizi banyak sekali mengalami kemunduran (Muchtadi, 2009). Lansia sering dianggap sebagai macam penyakit. Hal ini tidak benar, gerontologi berpendapat lain, sebab lansia bukan suatu penyakit, melainkan suatu
10
11
masa atau proses hidup manusia dari bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, tua, hingga lanjut usia, proses ini tidak bisa dihindari dan semua manusia yang hidup akan mengalami proses ini (Nugroho, 2000). 2.1.2 Klasifikasi Lansia Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia, menurut Depkes RI (2003): 1.
Pralansia (prasenilis), yaitu seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.
2.
Lansia, yaitu orang yang berusia 60 tahun atau lebih.
3.
Lansia resiko tinggi, yaitu orang yang berusia 70 tahun atau lebih, seseorang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.
4.
Lansia potensial, yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/ jasa.
5.
Lansia tidak potensial, yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. Batasan-batasan lansia menurut WHO (di dalam Nugroho, 2000),
mengelompokkan lansia menjadi empat kelompok yaitu meliputi: 1.
Usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 45-59 tahun
2.
Lanjut usia (elderly) antara 60-74 tahun
3.
Lanjut usia tua (old) antara 75-90 tahun
4.
Usia sangat tua (very old) yaitu > 90 tahun Menurut Masdani (di dalam Nugroho, 2000) lansia merupakan kelanjutan
dari usia dewasa yang dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1.
Fase pertama (iuventus) antara 25-40 tahun
12
2.
Fase kedua (verilitas) antara 40-50 tahun
3.
Fase ketiga (prasenium) antara 55-65 tahun
4.
Fase keempat (senium) antara 65 tahun hingga tutup usia Menurut Maryam (2008) pengelompokan lanjut usia yaitu lanjut usia
(geriatric age) lebih dari 65-70 tahun, terbagi untuk umur 70-75 tahun (young old), 76-80 tahun (old) dan lebih dari 80 tahun (very old). 2.1.3 Tipe Lansia Menurut Nugroho (2000) beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental sosial dan ekonominya. Tipe tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: 1.
Tipe arif bijaksana, yaitu kaya dengan hikmah, pengalaman, dapat menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, mempunyai kesibukan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.
2.
Tipe mandiri, yaitu mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman dan memenuhi undangan.
3.
Tipe tidak puas, yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi orang yang tidak sabar, gampang marah, mudah tersinggung, banyak menuntut, suka mengkritik dan tidak mau untuk dilayani.
4.
Tipe pasrah, yaitu menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama dan melakukan pekerjaan apa saja.
5.
Tipe bingung, yaitu kaget, kehilangan kepribadian, minder, menjauh dan mengasingkan diri, menyesal dan acuh tak acuh.
13
Dari macam-macam tipe diatas masih ada tipe optimis, konstruktif, dependen (bergantung), deficit (bertahan), militant dan serius, pemarah dan frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), putus asa (benci pada diri sendiri). 2.1.4 Teori Proses Penuaan Beberapa teori pada proses menua yaitu teori biologis dan teori psikososial. Menurut Potter (2005), teori biologis menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk perubahan fungsi, struktur, pengembangan, panjang usia dan kematian. Teori biologis meliputi: 1.
Teori genetik (genetic theory/ genetic lock) Teori ini mengusulkan bahwa akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi
dapat merusak sintesis DNA. Teori genetik terdiri dari teori asam deoksiribonukleat (DNA), teori ketepatan dan kesalahan, mutasi, somatik dan glikogen. Teori ini menyatakan bahwa proses replikasi pada tingkatan seluler menjadi tidak teratur karena adanya informasi tidak sesuai yang diberikan dari inti sel. Molekul DNA menjadi bersilangan (crooslink) dengan unsur yang lain sehingga mendorong malfungsi molekuler dan akhirnya malfungsi organ tubuh. 2.
Teori Imunologis Teori imunitas menggambarkan penurunan atau kemunduran dalam
keefektifan sistem imun yang berhubungan dengan proses penuaan. Mekanisme seluler tidak teratur diperkirakan menyebabkan serangan pada jaringan tubuh melalui penurunan imun. Dengan bertambahnya usia, kemampuan pertahanan/ imun untuk menghancurkan bakteri, virus dan jamur melemah sehingga mereka lebih
14
rentan untuk mederita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi. Seiring berkurangnya imun terjadilah suatu peningkatan respon auto imun pada tubuh lansia. 3.
Teori Neuroendokrin Salah satu area neurologi yang mengalami gangguan universal akibat
penuaan adalah waktu reaksi yang diperlukan untuk dapat menerima, memproses dan bereaksi terhadap perintah. Hal ini dapat dikenal sebagai perlambatan tingkah laku, respon ini terkadang diaktualisasikan sebagai tindakan untuk melawan, ketulian atau kurang pengetahuan. Umumnya para lanjut usia merasa seolah-olah mereka tidak kooperatif/ tidak patuh. 4.
Teori Lingkungan Menurut teori ini, faktor dari dalam lingkungan seperti karsinogen dari
industri, cahaya matahari, trauma dan infeksi dapat membawa perubahan dalam proses penuaan. Dampak dari lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan bukan faktor utama dalam penuaan. 5.
Teori Cross Link Teori cross link dan jaringan ikat mengatakan bahwa molekul kolagen dan
elastin, komponen jaringan ikat, membetuk senyawa yang lama meningkatkan rigiditas sel, cross link diperkirakan berakibat menimbulkan senyawa antar molekul yang normalnya terpisah. Saat serat kolagen yang awalnya dideposit dalam jaringan otot polos menjadi renggang berikatan dan jaringan menjadi fleksibel. Contoh cross link jaringan ikat terkait usia meliputi penurunan kekuatan daya rentang dinding arteri seperti tanggalnya gigi, kulit yang menua, tendon kering dan berserat.
15
6.
Teori Radikal Bebas Radikal bebas adalah produk metabolisme seluler yang merupakan bagian
molekul yang sangat reaktif. Molekul ini memiliki muatan ekstraseluler kuat yang dapat menciptakan reaksi dengan protein, mengubah bentuk dan sifatnya, molekul ini juga dapat bereaksi dengan lipid yang berada dalam membran sel dan mempengaruhi permebealitasnya atau dapat berikatan dengan organel sel. Teori ini menyatakan bahwa penuaan disebabkan karena terjadinya akumulasi kerusakan irreversibel akibat senyawa pengoksidasi dimana radikal bebas dapat terbentuk di alam. Tidak stabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Sedangkan teori psikososial memusatkan pada perubahan sikap dan perilaku menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi biologi pada kerusakan anatomis, yang meliputi: 1.
Teori Pemutusan Hubungan (disengagement) Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia maka seseorang
akan berangsur-angsur akan melepaskan dirinya dari kehidupan sosialnya (menarik diri) dari lingkungan sekitarnya dan ini menyebabkan kehilangan ganda seperti : kehilangan peran, hambatan kontak sosial, berkurangnya komitmen atau dengan kata lain orang yang menua menarik diri dari perannya dan digantikan oleh generasi yang lebih muda. Peran yang terkait pada aktifitas yang lebih introspektif dan berfokus pada diri sendiri. Disengagement adalah intrinsik dan tidak dapat dielakkan baik secara biologis dan psikologis, dianggap perlu untuk keberhasilan penuaan dan bermanfaat baik bagi lansia maupun masyarakat.
16
2.
Teori Aktifitas Teori ini tidak menyetujui teori disengagement dan lebih menegaskan
bahwa kelanjutan aktifitas dewasa tengah penting untuk keberhasilan penuaan. Havighurst (1992) yang pertama menulis tentang pentingnya tetap aktif secara sosial sebagai alat untuk penyesuaian diri yang sehat untuk lansia. Beberapa pendapat mengemukakan bahwa penuaan terlalu kompleks untuk dikarakteristikkan kedalam cara sederhana tersebut. Gagasan pemenuhan kebutuhan seseorang harus seimbang dengan pentingnya perasaan dibutuhkan orang lain dalam mempertahankan interaksi yang penuh arti dengan orang lain dan kesejahteraan fisik serta mental orang tersebut. Teori ini menyatakan pada lansia yang sukses adalah mereka yang aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. Ukuran optimal dilanjutkan pada cara hidup dari lansia, mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil dari usia pertengahan kelanjutan usia. Selain itu dapat menunjukkan pentingnya aktifitas mental dan fisik yang berkesinambungan untuk mencegah kehilangan dan pemeliharaan kesehatan sepanjang masa kehidupan manusia. 3.
Teori Tugas Perkembangan Teori kontinuitas menyatakan bahwa kepribadian tetap sama dan perilaku
menjadi lebih mudah diprediksi seiring penuaan. Hasil penelitian Erickson tugas perkembangan adalah aktifitas dan tantangan yang harus dipenuhi oleh seseorang pada tahap spesifik dalam kehidupannya untuk mencapai penuaan yang sukses. Beberapa pendapat bahwa teori ini terlalu sederhana dan tidak mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi respon seseorang terhadap proses penuaan. Teori ini juga menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada lanjut usia
17
dipengaruhi oleh tipe kepribadian yang dimiliki. Pada kondisi ini tidak adanya pencapaian perasaan bahwa ia telah menikmati hidup yang baik, maka lansia tersebut berisiko untuk disibukkan dengan rasa penyesalan atau putus asa. 2.1.5 Permasalahan Kesehatan Lansia 1. Mudah jatuh. Jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/ terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa
kehilangan
kesadaran
atau
luka.
Faktor
instrinsik
yang
menyebabkan mudah jatuh antara lain gangguan jantung dan sirkulasi darah, gangguan sistem anggota gerak, gangguan sistem saraf pusat, gangguan penglihatan dan pendengaran, gangguan psikologis, vertigo dan penyakit-penyakit sistemik. Sedangkan faktor ekstrinsik penyebab jatuh antara lain cahaya ruangan yang kurang terang, lantai licin, tersandung benda, alas kaki kurang pas, tali sepatu, kursi roda dan turun tangga. 2. Kekacauan mental akut. Kekacauan mental pada lansia dapat disebabkan oleh keracunan, penyakit infeksi dengan demam tinggi, alkohol, penyakit metabolisme, dehidrasi, gangguan fungsi otak dan gangguan fungsi hati. 3. Mudah lelah, disebabkan oleh faktor psikologis berupa perasaan bosan, keletihan dan depresi. Faktor organik yang menyebabkan kelelahan antara lain anemia, kekurangan vitamin, osteomalasia, kelainan metabolisme, gangguan pencernaan dan kardiovaskuler.
18
4. Nyeri dada, dapat disebabkan oleh penyakit jantung koroner, aneurisme aorta, radang selaput jantung dan gangguan pada sistem pernafasan. 5. Sesak
nafas, terutama saat melakukan aktifitas/ kerja fisik, dapat
disebabkan oleh kelemahan jantung, gangguan sistem saluran nafas, berat badan berlebihan dan anemia. 6. Palpitasi/ jantung berdebar-debar, dapat disebabkan oleh gangguan irama jantung, keadaan umum badan yang lemah karena penyakit kronis, dan faktor psikologis. 7. Pembengkakan kaki bagian bawah, dapat disebabkan oleh kaki yang lama digantung, gagal jantung, bendungan vena, kekurangan vitamin B1, penyakit hati dan ginjal. 8. Nyeri pinggang atau punggung, dapat disebabkan oleh gangguan sendi atau susunan sendi pada tulang belakang, gangguan pankreas, kelainan ginjal, gangguan pada rahim, kelenjar prostat dan otot-otot badan. 9. Gangguan penglihatan dan pendengaran, disebabkan oleh presbiopi, kelainan lensa mata, glukoma, dan peradangan saraf mata. Gangguan pendengaran dapat disebabkan oleh kelainan degeneratif, misalnya otosklerosis. 10. Sulit tidur, dapat disebabkan oleh faktor ekstrinsik seperti lingkungan yang kurang tenang dan faktor intrinsik seperti gatal-gatal, nyeri, depresi, kecemasan dan iritabilitas. 11. Sukar menahan buang air besar, dapat terjadi karena penggunaan obat-obatan pencahar, keadaan diare, kelainan usus besar dan saluran pencernaan.
19
12. Eneuresis, sukar menahan buang air kecil atau sering ngompol dapat disebabkan oleh penggunaan obat-obatan, radang kandung kemih, kelainan kontrol pada kandung kemih, kelainan persyarafan kandung kemih serta akibta faktor psikologis. 13. Berat badan menurun, dapat disebabkan oleh nafsu makan menurun, penyakit kronis, gangguan saluran cerna dan faktor-faktor sosioekonomis (Nugroho, 2000). 2.1.6 Sarana dan Prasarana yang Dipergunakan Sarana dan prasarana yang dipergunakan untuk menyelenggarakan pelayanan terhadap lansia, misalnya sarana fisik, sosial dan spiritual yang dijalankan diberbagai tingkatan dapat kita lihat di bawah ini (Depkes RI, 2004): 1.
Pelayanan tingkat masyarakat Pelayanan terhadap lansia adalah : keluarga dengan lansia, kelompok
lansia seperti klub/ perkumpulan, paguyuban, padepokan dan pengajian, serta bina keluarga lansia. Masyarakat mencakup LKMD, Karang Wreda Day Care dana sehat/ JPKM. 2.
Pelayanan tingkat dasar Pelayanan yang di selenggarakan oleh berbagai instansi pemerintahan dan
swasta serta organisasi masyarakat, organisasi profesi dan yayasan seperti : praktik dokter dan dokter gigi, balai pengobatan klinik, puskesmas/ balkesmas, panti tresna wreda, pusat pelayanan dan perawatan lansia, praktik perawatan mandiri.
20
3.
Pelayanan tingkat rujukan Pelayanan yang diselenggarakan di rumah sakit dan rumah sakit khusus.
Rujukan dapat bersifat sederhana, sedang, lengkap dan paripurna. Rujukan secara konseptual terdiri atas rujukan medis yang pada dasarnya menyangkut masalah pelayanan medis perorangan dan rujukan kesehatan masyarakat pada dasarnya menyangkut masalah kesehatan masyarakat luas. 2.1.7 Jenis pelayanan kesehatan pada lansia Jenis pelayanan kesehatan terhadap lansia meliputi lima upaya kesehatan yaitu : peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), diagnosis dini dan pengobatan, pembatasan kecacatan dan pemulihan. 1.
Promosi (Promotif)
Upaya promotif merupakan tindakan secara langsung dan tidak langsung untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mencegah penyakit. Upaya promotif juga merupakan proses advokasi kesehatan untuk meningkatkan dukungan klien, tenaga profesional dan masyarakat terhadap praktik kesehatan
yang
positif
menjadi
norma-norma
sosial.
Upaya
promotif
dilakukan untuk membantu organ-organ mengubah gaya hidup mereka dan
bergerak
menuju
keadaan
sehat
yang
optimal
serta
mendukung
pemberdayaan seseorang untuk membuat pilihan yang sehat tentang perilaku hidup mereka (Maryam, 2008). Upaya perlindungan kesehatan bagi lansia adalah sebagai berikut: 1) Mengurangi cedera, dilakukan dengan tujuan mengurangi kejadian jatuh, mengurangi bahaya kebakaran dalam rumah, meningkatkan
21
penggunaan
alat
pengaman
dan
mengurangi
kejadian
keracunan
makanan atau zat kimia. 2) Meningkatkan
keamanan
di
tempat
kerja
yang
bertujuan
untuk
mengurangi terpapar dengan bahan-bahan kimia dan meningkatkan pengunaan sistem keamanan kerja. 3) Meningkatkan perlindungan dari kualitas udara yang buruk, bertujuan untuk
mengurangi
mengurangi tangga
radiasi
terhadap
pengunaan
semprotan
dirumah,
meningkatkan
bahan
berbahaya,
serta
bahan-bahan
kimia,
pengolahan
rumah
mengurangi
kontaminasi
makanan dan obat-obatan. 4) Meningkatkan perhatian terhadap kebutuhan gigi dan mulut yang bertujuan untuk mengurangi karies gigi serta memelihara kebersihan gigi dan mulut (Maryam, 2008). 2.
Pencegahan (Preventif)
Dalam mencakup pencegahan primer, sekunder dan tersier. 1) Melakukan pencegahan primer, meliputi pencegahan pada lansia sehat, terdapat faktor risiko, tidak ada penyakit dan promosi kesehatan. Jenis
pelayanan
pencegahan
primer
adalah
program
imunisasi,
konseling, berhenti merokok dan minum beralkohol, dukungan nutrisi, keamanan didalam dan sekitar rumah, manajemen stres, penggunaan medisasi yang tepat. 2) Melakukan
pencegahan
sekunder,
meliputi
pemeriksaan
terhadap
penderita tanpa gejala dari awal penyakit hingga terjadi gejala
22
penyakit belum tampak secara klinis dan mengidap faktor risiko. Jenis pelayan pencegahan sekunder antara lain adalah sebagai berikut: kontrol
hipertensi,
deteksi
dan
pengobatan
kanker,
screening:
pemeriksaan rektal, papsmear, gigi mulut dan lain-lain. 3) Melakukan pencegahan tersier, dilakukan sebelum terdapat gejala penyakit dan cacat, mencegah cacat bertambah dan ketergantungan, serta perawatan dengan perawatan di rumah sakit, rehabilitasi pasien rawat jalan dan perawatan jangka panjang (Maryam, 2008). 2.2
Posyandu Lansia
2.2.1 Pengertian Posyandu Lansia atau Kelompok Lanjut usia (POKSILA) adalah suatu wadah pelayanan bagi lanjut usia di masyarakat, dimana proses pembentukan dan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lintas sektor pemerintah dan non-pemerintah, swasta, organisasi sosial dan lain-lain, dengan menitik beratkan pelayanan pada upaya promotif dan preventif (Notoatmodjo, 2007). 2.2.2 Dasar Hukum Pembinaan lanjut usia di Indonesia dilaksanakan berdasarkan beberapa undang-undang dan peraturan sebagai dasar dalam menentukan kebijaksanaan pembinaan. Dasar hukum/ ketentuan perundangan dan peraturan dimaksud adalah: (1) UU No. 10 tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan, (2) UU No. 36 tahun 2009 pasal 138 tantang kesehatan lanjut usia, (3) UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pasal 14, (4) UU No.22 tahun 1999
23
tentang pemerintahan daerah, (5) UU No.25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, (6) peraturan pemerintah No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan
pemerintah dan
kewenangan propinsi sebagai daerah otonomi
(Depkes RI, 2003). 2.2.3 Lokasi Posyandu Syarat lokasi/ letak yang harus dipenuhi meliputi: (1) berada di tempat yang mudah didatangi oleh masyarakat, (2) ditentukan oleh masyarakat itu sendiri, (3) dapat merupakan lokal tersendiri, (4) bila tidak memungkinkan dapat dilaksanakan di rumah penduduk, balai rakyat, pos RT/ RW atau pos lainnya (Effendi, 2005). 2.2.4 Tujuan Pembentukan Tujuan umum dari Posyandu Lansia adalah meningkatkan kesejahteraan Lansia melalui kegiatan Posyandu Lansia yang mandiri dalam masyarakat. Tujuan khususnya, meliputi: (1) meningkatnya kemudahan bagi lansia dalam mendapatkan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan, (2) meningkatnya cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan lansia, khususnya aspek peningkatan dan pencegahan
tanpa
mengabaikan
aspek
pengobatan
dan
pemulihan,
(3) berkembangnya Posyandu Lansia yang aktif melaksanakan kegiatan dengan kualitas yang baik secara berkesinambungan (Depkes RI, 2003). 2.2.5 Tujuan Penyelenggaraan Mengacu pada pedoman pembinaan kesehatan lansia bagi petugas kesehatan, tujuan penyelenggaraan posyandu lansia adalah: 1. Pelaksanaan kegiatan: Anggota masyarakat yang telah dilatih menjadi
24
kader kesehatan di bawa bimbingan puskesmas. 2. Pengelola: Pengurus yang berasal dari kader PKK, tokoh masyarakat formal maupun nonformal. 3. Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan kesehatan dan kegiatan lain yang menunjang. 4. Pengadaan posyandu ini diselenggarakan untuk kepentingan masyarakat, maka diharapkan masyarakat sendiri aktif membantu, menyelengarakan dan memanfaatkan posyandu tersebut sebaik-baiknya. Agar masyarakat mau membentuk, menyelenggarakan dan memanfaatkan maka mereka perlu menyadari pentingnya posyandu. Untuk itu dilakukan kegiatan promosi posyandu. Inti kegiatan promosi posyandu adalah kegiatan penyuluhan intensif yang dilakukan oleh petugas kesehatan maupun masyarakat (kader, LKMD, PKK, tokoh masyarakat) tentang posyandu (Ismawati, 2010). 2.2.6 Sasaran Sasaran pelaksanaan pembinaan Posyandu Lansia, terbagi dua yaitu: (1) sasaran langsung, yang meliputi pra lanjut usia (45-59 tahun), lanjut usia (60-69 tahun), lanjut usia risiko tinggi ( >60 tahun atau dengan masalah kesehatan), (2) sasaran tidak langsung, yang meliputi keluarga dimana lanjut usia berada, masyarakat dilingkungan lanjut usia, organisasi sosial yang peduli terhadap pembinaan kesehatan lanjut usia, petugas kesehatan yang melayani kesehatan lanjut usia, petugas lain yang menangani kelompok lanjut usia dan masyarakat luas (Depkes RI, 2003).
25
2.2.7 Indikator Keberhasilan Posyandu Lansia Penilaian keberhasilan upaya pembinaan lansia melalui kegiatan pelayanan kesehatan di posyandu dengan menggunakan data pencatatan dan pelaporan, pengamatan khusus dan penelitian. Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari: 1. Meningkatkan sosialisasi masyarakat lansia dengan berkembangnya jumlah organisasi masyarakat lansia dengan berbagai aktifitas pengembangannya. 2. Berkembangnya jumlah lembaga pemerintah/ swasta yang memberikan pelayanan kesehatan bagi lansia. 3. Berkembangnya jenis pelayanan kesehatan pada lembaga. 4. Berkembangnya jangkauan pelayanan kesehatan bagi lansia. 5. Penurunan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit pada lansia (Depkes RI, 2003). 2.2.8 Kegiatan Posyandu Lansia Kegiatan di posyandu lansia merupakan kegiatan nyata yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam upaya kesehatan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang dilakukan oleh kader kesehatan yang telah mendapat pendidikan dan latihan dari Puskesmas mengenai pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI, 2004). Kegiatan di posyandu lansia secara umum mencakup kegiatan pelayanan yang berbentuk (Ismawati, 2010): 1. Kegiatan promotif Kegiatan ini bertujuan meningkatkan gairah hidup para lansia agar merasa tetap dihargai dan tetap berguna.
26
2. Kegiatan preventif Merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyakit dan komplikasi yang diakibatkan oleh proses degeneratif. Kegiatan yang dilakukan berupa deteksi dini kesehatan lansia baik dikelompok lansia maupun dikelompok Puskesmas. 3. Kegiatan kuratif Kegiatan kuratif adalah upaya yang dilakukan dalam pengobatan dan perawatan bagi lansia yang sakit. 4. Kegiatan rehabilitatif Kegiatan rehabilitatif adalah upaya yang dilakukan atau bersifat medis, psikososial, edukatif dan pengembangan keterampilan atau hobi untuk mengembalikan semaksimal mungkin kemampuan fungsional dan kepercayaan diri pada lansia. Kegiatan-kegiatan dalam posyandu lansia dicatat dan dipantau melalui Kartu Menuju Sehat (KMS) bagi lansia diantaranya adalah: Kegiatan-kegiatan di posyandu lansia antara lain: Penyuluhan kesehatan (perilaku hidup sehat, gizi lansia, proses degeneratif),
pemeriksaan
kesehatan
berkala,
pelayanan
dan
pemeliharaan kesehatan lansia, rujukan, olahraga dan kesehatan, pembinaan rohani atau kesehatan mental spiritual, pemberian makanan tambahan dan rekreasi. 2.2.9 Peran Serta Peran serta dalam melakukan kegiatan posyandu lansia yang meliputi (Depkes RI, 2004):
27
1. Peran serta lansia diharapkan dapat mewujudkan kesehatan dengan cara berperan aktif dalam kegiatan penyuluhan, olahraga secara teratur sesuai kemampuan, menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala, menjalani pengobatan, meningkatkan upaya kemandirian dan pemenuhan kebutuhan pribadi. 2. Peran serta kader dalam penyelenggaraan posyandu lansia adalah memberitahukan hari dan jam buka posyandu, menyiapkan peralatan untuk
penyelenggaran
posyandu,
melakukan
penimbangan,
mencatat
hasil penimbangan kedalam KMS, melakukan penyuluhan kelompok dan perorangan, menyiapkan dan membagikan makanan tambahan. 3. Peran serta LKMD dalam pelaksanan posyandu adalah meningkatkan, mendorong dan memberi semangat agar kader selalu melaksanakan tugasnya di posyandu dengan baik, mengingatkan warga untuk datang keposyandu sesuai jadwal yang telah ditentukan. 2.2.10 Jenis Pelayanan Kesehatan di Posyandu Pelayanan kesehatan di Posyandu Lansia meliputi pemeriksaan kesehatan fisik dan mental emosional. Kartu Menuju Sehat
(KMS) Lansia
sebagai alat pencatat dan pemantau untuk mengetahui lebih awal penyakit yang diderita (deteksi dini) atau ancaman masalah kesehatan yang dihadapi dan mencatat perkembangannya dalam Buku Pedoman Pemeliharaan Kesehatan (BPPK) Lansia atau catatan kondisi kesehatan yang lazim digunakan di Puskesmas. Jenis pelayanan kesehatan yang dapat diberikan kepada Lansia di Posyandu adalah sebagai berikut:
28
1. Pemeriksaan aktifitas kegiatan sehari-hari (activity of daily living) meliputi kegiatan dasar dalam kehidupan, seperti makan/ minum, berjalan, mandi, berpakaian, naik turun tempat tidur, buang air besar/ kecil dan sebagainya. 2. Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan ini berhubungan dengan mental emosional, dengan menggunakan pedoman metode 2 menit (bisa dilihat di KMS Lanjut usia). 3. Pemeriksaan status gizi melalui penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan dan dicatat pada grafik Indeks Massa Tubuh (IMT). 4. Pengukuran tekanan darah dengan menggunakan tensimeter dan stetoskop serta penghitungan denyut nadi selama satu menit. 5. Pemeriksaan hemoglobin menggunakan Talquist, Sahli atau Cuprisulfat. 6. Pemeriksaan adanya gula dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit gula (diabetes mellitus). 7. Pemeriksaan adanya zat putih telur (protein) dalam air seni sebagai deteksi awal adanya penyakit ginjal. 8. Pelaksanaan rujukan ke Puskesmas bilamana ada keluhan dan atau ditemukan kelainan pada pemeriksaan butir 1 hingga 7. Penyuluhan bisa dilakukan di dalam maupun diluar kelompok dalam rangka kunjungan rumah dan konseling kesehatan yang dihadapi oleh individu dan atau POKSILA. 9. Kunjungan rumah oleh kader disertai petugas bagi anggota POKSILA yang tidak datang, dalam rangka kegiatan perawatan kesehatan masyarakat (Publik Health Nursing).
29
10. Kegiatan lain yang dapat dilakukan sesuai kebutuhan dan kondisi setempat. 11. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) penyuluhan sebagai contoh menu makanan dengan memperhatikan aspek kesehatan dan gizi lansia, serta menggunakan bahan makanan yang berasal dari daerah tersebut. 12. Kegiatan olahraga antara lain senam lansia, gerak jalan santai, dan lain sebagainya untuk meningkatkan kebugaran. Kecuali kegiatan pelayanan kesehatan seperti uraian diatas, kelompok dapat melakukan kegiatan non kesehatan kerohanian,
dibawah arisan,
bimbingan kegiatan
sektor ekonomi
lain,
contohnya
produktif,
forum
kegiatan diskusi,
penyaluran hobi dan lain-lain (Depkes RI, 2003). 2.2.11 Mekanisme Pelaksanaan Kegiatan Posyandu Lansia Untuk memberikan pelayanan kesehatan yang prima terhadap lansia, mekanisme pelaksanaan kegiatan yang sebaiknya digunakan adalah sistem 5 tahapan (5 meja) sebagai berikut: 1. Tahap pertama: pendaftaran lansia sebelum pelaksanaan pelayanan. 2. Tahap kedua: pencatatan kegiatan sehari-hari yang dilakukan lansia, penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan. 3. Tahap ketiga: pengukuran tekanan darah, pemeriksaan kesehatan, dan pemeriksaan status mental. 4. Tahap keempat: pemeriksaan air seni dan kadar darah (laboratorium sederhana). 5. Tahap kelima: pemberian penyuluhan dan konseling (Depkes RI, 2003).
30
2.3
Kader Posyandu
2.3.1 Pengertian Kader kesehatan adalah tenaga sukarela yang terdidik dan terlatih dalam bidang tertentu yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat dan merasa berkewajiban untuk melaksanakan, meningkatkan dan membina kesejahteraan masyarakat dengan rasa ikhlas tanpa pamrih dan didasarkan panggilan jiwa untuk melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan (Depkes RI, 2000). Kader adalah anggota masyarakat yang dipilih dari dan oleh masyarakat, mau dan mampu bekerja bersama dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan secara sukarela (Depkes, 2003). 2.3.2 Syarat menjadi Kader Persyaratan untuk menjadi kader antara lain: 1) Dipilih dari dan oleh masyarakat setempat, 2) Mau dan mampu bekerja bersama masyarakat secara sukarela, 3) Bisa membaca dan menulis huruf latin, 4) Sabar dan memahami lanjut usia (Depkes, 2003) 2.3.3 Peran Kader Posyandu Peran anggota masyarakat (kader) adalah sebagai motivator atau penyuluh
kesehatan
yang
membantu
para
petugas
kesehatan
untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perlunya hidup sehat dan memotivasi mereka untuk melakukan tindakan pencegahan penyakit dengan menggunakan sarana kesehatan yang ada (Sarwono, 2004). Adapun peran kader dalam pelayanan kesehatan di posyandu lansia (Depkes, 2003) adalah 1) Pendekatan kepada aparat pemerintah dan tokoh
31
masyarakat yang meliputi Anjangsana, Sarasehan, Menghadiri pertemuan rutin kemasyarakatan setempat, 2) Melakukan Survey Mawas Diri (SMD) menelaah pendataan sasaran, pemetaan mengenal masalah dan potensi (SMD) bersama petugas untuk melaksanakan musyawarah bersama masyarakat setempat untuk membahas hasil SMD, menyusun rencana kegiatan, pembagian tugas, dan jadwal kegiatan, 3) Menggerakkan masyarakat; mengajak lanjut usia untuk hadir dan berpartisipasi dalam kegiatan dikelompok lanjut usia, memberikan penyuluhan/ penyebarluasan informasi kesehatan, antara lain: cara hidup bersih dan sehat, gizi lanjut usia, kesehatan lanjut usia, menggali dan menggalang sumberdaya, termasuk
pendanaan
bersumber
masyarakat,
4)
Melaksanakan
kegiatan
dikelompok lanjut usia; menyiapkan tempat, alat-alat dan bahan, memberikan pelayanan lanjut usia (mengukur tinggi dan berat badan, mencatat hasil pelayanan dalam buku register dan KMS, memberikan penyuluhan perorangan sesuai hasil layanan), melakukan rujukan kepada petugas kesehatan/ sarana kesehatan (bila petugas kesehatan tidak hadir), mengunjungi sasaran yang tidak hadir dikelompok lanjut usia, 5) melakukan pencatatan. 2.4
Dukungan Sosial Keluarga
2.4.1 Pengertian Konsep dukungan sosial melibatkan adanya komunikasi dan reaksi. Dukungan sosial merupakan suatu bentuk hubungan interpersonal dimana lingkungan sosial memberikan bantuan berupa perhatian emosional, bantuan instrumental, pemberian informasi dan penghargaan atau penilaian terhadap penyandang cacat tubuh. Sarafino (2000) menetapkan adanya 3 dimensi dalam
32
dukungan sosial yaitu dukungan sosial yang melibatkan adanya keakraban dan penerimaan yang memberikan keyakinan dan dukungan yang membantu atau pemberian pelayanan dan bantuan secara langsung, serta dukungan informasi yang meliputi pemberian nasehat, pemecahan masalah yang dihadapi individu dan penilaian terhadap perilaku individu. Menurut Sarason (2001), ikatan sosial tersebut adalah orang yang dipercaya dapat membantu, menghargai serta mencintai ketika seseorang menghadapi masalah sehingga individu tersebut mengetahui bahwa orang lain memperhatikan, menghargai dan mencintai dirinya. Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan klien penerima asuhan keperawatan, keluarga berperan dalam menentukan cara asuhan keperawatan yang diperlukan bagi anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan (Depkes RI, 2002). Bila salah satu dari anggota keluarga mengalami masalah kesehatan, maka sistem didalam keluarga akan terganggu, oleh karena itu keluarga sangat berarti. Dalam penyampaian diatas mengemukakan tentang definisi keluarga adalah sebagai berikut:
1. Keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi. 2. Peran anggota sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dengan satu rumah tangga atau jika mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebagai rumah mereka. 3. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami - istri, ayah - ibu, kandung.
saudara
33
4. Penggunaan kultur yang sama didalam keluarga (Depkes RI, 2002). 2.4.2 Tugas dan Fungsi Keluarga Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat, dan ada beberapa fungsi keluarga diantaranya adalah: 1. Fungsi afektif (fungsi pemeliharaan kepribadian) Untuk stabilitas kepribadian keluarga dalam memahami kebutuhankebutuhan anggota keluarga
termasuk dalam mendapatkan kesehatan
yang layak. 2. Fungsi sosialisasi Untuk sosialisasi primer yang bertujuan membuat anggota keluarga menjadi anggota masyarakat yang produktif. 3. Fungsi reproduksi Menjaga kelangsungan generasi dan kelangsungan hidup anggota keluarga. 4. Fungsi ekonomis Mengadakan sumber-sumber ekonomi yang memadai dan pengalokasi secara efektif (Depkes RI, 2002). 2.4.3 Aspek Dukungan Sosial Keluarga Sarafino (2002) menyatakan adanya beberapa aspek yang terlibat dalam pemberian dukungan sosial, diantaranya: 1. Aspek emosional. Aspek ini melibatkan kelekatan, jaminan dan keinginan untuk percaya pada orang lain, sehingga seseorang menjadi yakin bahwa orang lain tersebut mampu memberikan cinta dan kasih sayang. 2. Aspek
instrumental. Aspek ini meliputi penyediaan sarana untuk
34
mempermudah menolong orang lain, meliputi peralatan, perlengkapan, dan sarana pendukung yang lain termasuk didalamnya memberikan peluang waktu. 3. Aspek informatif. Meliputi pemberian informasi untuk mengatasi masalah pribadi. Terdiri atas pemberian nasehat, pengarahan dan keterangan lain yang dibutuhkan. 4. Aspek penilaian. Aspek ini terdiri atas dukungan peran sosial yang meliputi umpan balik, pertandingan sosial dan afirmasi (persetujuan). Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengukur adanya dukungan sosial dapat dilihat dari aspek-aspek yang berupa : 1. Dukungan emosional. Dukungan ini meliputi pemberian rasa cinta dan kasih sayang, kepercayaan dan kesediaan mendengarkan keluhan-keluhan. 2. Dukungan instrumental. Bentuk dari dukungan ini dapat berupa bantuan materi dan bantuan fisik, misalnya bantuan uang, pertolongan serta sarana pendukung untuk menyelesaikan masalah. 3. Dukungan informasi. Dukungan ini meliputi pemberian nasehat untuk mengatasi masalah ataupun bimbingan untuk mencari jalan keluar dalam pemecahan masalah. 4. Dukungan penghargaan. Bentuk dari dukungan ini dapat berupa penghargaan atas usahanya atau umpan balik tentang kemampuan dan prestasinya.
35
2.4.4 Fungsi Dukungan Sosial Weiss cit Ruwaida (2006), menyebutkan enam fungsi sosial ditinjau dari fungsi sosial yang diperoleh individu melalui hubungannya dengan orang lain sebagai berikut: 1. Kelekatan, yaitu perasaan kedekatan emosi dan timbulnya rasa aman. 2. Integrasi sosial, yaitu perasaan memiliki sekelompok orang yang dapat berbagi tentang hal-hal yang umum dan aktifitas rekreasional. 3. Penghargaan, yaitu pengakuan terhadap kemampuan dan keterampilan seseorang. 4. Ikatan yang dapat dipercaya, jaminan bahwa seseorang dapat mengandalkan orang lain untuk mendapatkan bantuan dalam berbagai keadaan. Biasanya bantuan ini diperoleh dari anggota keluarga. 5. Bimbingan, berisi nasihat dan informasi yang biasanya diperoleh dari guru atau figur orang tua. 6. Kesempatan untuk mengasuh, yaitu perasaan ikut bertanggungjawab atas kesejahteraan orang lain. Fungsi dukungan sosial menurut Wills cit Ruwaida (2006), yaitu: 1. Esteem Support. Didalam kehidupannya, individu menghadapi berbagai tantangan yang mengancam harga dirinya sehingga timbul keraguan individu tentang kapasitas kemampuan yang dimilikinya. Sumber interpersonal yang mampu mengatasi ancaman terhadap harga diri ini adalah memiliki seseorang atau beberapa orang tempat bercerita mengenai suatu permasalahan. Unsur penting dari sumber dukungan sosial tersebut adalah
36
rasa diterima dan dihargai oleh orang lain. Orang mendapat penerimaan dan persetujuan dari significant others, evaluasi diri dan harga diri individu akan meningkat. 2. Informational
Support.
Jika
permasalahan
dapat
dengan
cepat
diselesaikan, maka kemungkinan individu akan mulai mencari informasi tentang sifat masalah dan bimbingan tentang langkah-langkah yang harus dilakukan. Dukungan informasi yang berupa pengetahuan baru, nasihat atau bimbingan. Membantu individu ketika melakukan pembatasan masalah sehingga ia memperoleh jalan keluar yang efektif untuk mengatasi permasalahannya tersebut. 3. Instrumental Support. Instrumental support dapat mencakup berbagai aktifitas seperti dapat membantu pekerjaan rumah tangga, bantuan keuangan atau memberikan barang yang dibutuhkan. 4. Motivasional Support. Jaringan sosial dapat memberikan dukungan yang berupa semangat kepada seseorang untuk berusaha menemukan solusi atas permasalahannya, meyakinkan bahwa individu tersebut akan sukses dan meyakinkan bahwa permasalahan tersebut akan dapat teratasi bersama. 2.4.5 Sumber-sumber Dukungan Sosial Thoits (2005) menyatakan bahwa dukungan sosial bersumber dari orang-orang yang memiliki hubungan yang berarti bagi individu, seperti keluarga, teman, pasangan hidup, rekan kerja, saudara dan tetangga. Kebutuhan sosial lansia terpenuhi melalui kontak pribadi sekitar lingkungannya dan kebutuhan sosial yang pokok adalah dukungan sosial.
37
2.4.6 Manfaat Dukungan Sosial Johnson (2003) menyatakan setiap orang walaupun sudah baik penyesuaian dirinya, suatu saat akan mengalami stress dan membutuhkan orang lain, selain itu dukungan sosial dapat mengembangkan: 1. Produktifitas. Dilakukan dengan meningkatkan motivasi, moral dan kualitas kognitif serta kepuasan kerja. Dukungan sosial dibutuhkan untuk membantu berprestasi, keberhasilan dalam problem solving dan kegigihan dalam menyelesaikan tugas meski dibawah kondisi frustasi. 2. Penyesuaian yang sehat. Meliputi kejenuhan identitas diri, peningkatan selestem, mencegah keadaan neurotisme dan psikopatologi, mengurangi stress serta menyediakan sumber-sumber lain seperti kepercayaan diri. 3. Kesehatan fisik. Dukungan sosial dihubungkan dengan hihup yang lebih lama dan sukses, lebih sempurna pada proses sembuh dari sakit dan luka. 4. Membangun manajemen stress. Dengan menyediakan rasa peduli, daya informasi dan umpan balik. Hal ini dibutuhkan untuk melawan dan menyangga atau menahan benturan stress pada individu. 2.5
Sikap (attitude)
2.5.1 Pengertian Sikap sebagai kesiapan seseorang untuk bertindak tertentu pada situasi tertentu, dalam sikap positif. Kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi dan mengharapkan objek tertentu, sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci dan tidak sama dengan menyukai objek tertentu (Notoatmodjo, 2003).
38
Sebagai makhluk individual, manusia mempunyai dorongan atau mood untuk mengadakan hubungan dengan dirinya sendiri, sedangkan sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain, manusia mempunyai dorongan sosial. Dengan adanya dorongan atau motif sosial pada manusia, maka manusia akan mencari orang lain untuk mengadakan hubungan atau untuk mengadakan interaksi (Walgito, 2003). Ciri-ciri sikap adalah sebagai berikut: 1. Sikap seseorang tidak dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang tersebut. 2. Sikap tidak berdiri sendiri melainkan senantiasa mengandung relasi terhadap suatu obyek. Dengan kata lain sikap terbentuk, dipelajari atau berubah senantiasa berkenaan suatu obyek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas. 3. Sikap dapat berubah-ubah oleh karena itu dipelajari oleh sebagian orangtua sebaliknya. 4. Obyek sikap dapat merupakan satu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut. Jadi sikap dapat berkenaan dengan satu obyek saja tetapi juga berkenaan dengan sederetan obyek-obyek yang serupa. 5. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan. Sifat inilah yang membedakan sikap dengan kecakapan atau pengetahuan yang dimiliki seseorang (Notoatmodjo, 2003).
39
2.5.2 Komponen Sikap Menurut Niven (2002), sikap mempunyai beberapa komponen yaitu: 1. Komponen Kognitif Pengetahuan tentang objek tertentu. 2. Komponen Afektif Melibatkan perasaan senang dan tidak senang serta perasaan emosional lain sebagai akibat dari proses evaluatif yang dilakukan. 3. Komponen Perilaku Sikap selalu diikuti dengan kecenderungan untuk berpola perilaku tertentu. 2.5.3 Tingkatan Sikap Menurut Notoadmodjo (2003), sikap juga memiliki tingkatan seperti halnya pengetahuan, yaitu: 1. Menerima (Receiving) Diartikan bahwa subjek (orang) mau dan memperhatikan rangsangan (stimulus) yang di berikan objek. 2. Merespon (Responding) Sikap individu mampu memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. 3. Menghargai (Valuing) Sikap individu mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.
40
4. Bertanggung jawab (Responsible) Sikap individu akan bertanggung jawab dan siap menanggung resiko atau segala sesuatu yang sudah dipilihnya. 2.5.4 Penilaian Sikap Untuk menilai sikap seseorang dapat menggunakan skala atau kuesioner. Skala penilaian sikap dapat mengandung serangkaian pertanyaan tentang permasalahan tertentu. Responden yang akan mengisi diharapkan menentukan sikap setuju terhadap pertanyaan tertentu. Skala pengukuran sikap oleh Likert dibuat dengan pilihan jawaban sangat setuju terhadap suatu pernyataan dan sangat tidak setuju (Niven, 2002). 2.5.5 Faktor yang Mempengaruhi Sikap Lansia Faktor yang mempengaruhi sikap terhadap obyek sikap antara lain: 1.
Pengalaman Pribadi Pengalaman yang terjadi secara tiba-tiba atau mengejutkan yang
meninggalkan kesan paling mendalam pada jiwa seseorang. Kejadian dan peristiwa yang terjadi secara berulang dan terus-menerus, lama-kelamaan secara bertahap diserap kedalam individu dan mempengaruhi terbentuknya sikap. 2.
Pengaruh orang lain yang dianggap penting Dalam pembentukan sikap pengaruh orang lain sangat berperan. Misal
dalam kehidupan masyarakat yang hidup dipedesaan, mereka akan mengikuti apa yang diberikan oleh tokoh masyarakat.
41
3.
Kebudayaan Dimana
kita
hidup mempunyai pengaruh
yang besar terhadap
pembentukan sikap. Dalam kehidupan dimasyarakat, sikap masyarakat diwarnai dengan kebudayaan yang ada didaerahnya. Menurut Elly (2010) budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa dan rasa, kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta budhayah yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa inggris kata budaya berasal dari kata culture. Dengan demikian kebudayaan berarti hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Kemudian pengertian ini berkembang dalam arti culture, yaitu sebagai segala daya dan aktifitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Menurut E.B Taylor (1996) dalam Elly (2010) budaya adalah suatu keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, hukum, adat istiadat dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota keluarga. Herskovits (1982) dalam Iqbal (2009) memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Malinowski dalam Noorkasiani (2009), bahwa kebudayaan pada prinsipnya berdasarkan atas berbagai sistem kebutuhan manusia. Tiap kebutuhan itu menghadirkan corak budaya yang khas guna memenuhi kebutuhan manusia akan kesehatannya, misal timbul budaya berupa perlindungan yakni seperangkat budaya dalam bentuk tertentu seperti lembaga kemasyarakatan. Landasan ini dapat diperoleh dari ilmu sosial yang ruang lingkupnya manusia dalam konteks sosial.
42
4.
Media Massa Media massa elektronik maupun media cetak sangat besar pengaruhnya
terhadap pembentukan opini dan kepercayaan seseorang. Dengan pemberian informasi melalui media massa mengenai sesuatu hal akan memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya sikap. 5.
Faktor Emosional Sikap yang didasari oleh emosi yang fungsinya hanya sebagai penyaluran
frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap demikian merupakan sikap sementara dan segera berlaku setelah frustasinya hilang, namun bisa juga menjadi sikap yang lebih persisten dan bertahan lama (Azwar, 2009).
43
2.6
Kerangka Teori Peran Kader : 1. Pendekatan kepada aparat pemerintah dan tokoh masyarakat 2. Melakukan Survey Mawas Diri (SMD) menelaah 3. Menggerakkan masyarakat 4. Melaksanakan kegiatan dikelompok lanjut usia 5. melakukan pencatatan. Faktor yang mempengaruhi sikap lansia: 1. Pengalaman Pribadi 2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting 3. Kebudayaan 4. Media massa 5. Faktor emosional
Pemanfaatan posyandu lansia
Dukungan sosial bentuk dukungan 1. Dukungan emosional 2. Dukungan instrumental 3. Dukungan informatif 4. Dukungan penghargaan
Bagan 2.1 Kerangka Teori Sumber : Sarafino (2002), Depkes (2003), Notoatmodjo (2003), Sarwono (2004), Azwar (2009), Ismawati (2010)
44
2.7
Kerangka Konsep
Variabel Bebas
Variabel Terikat
1. Dukungan sosial 2. Sikap lansia 3. Peran Kader
Pemanfaatan posyandu lansia
Bagan 2.2 Kerangka konsep 2.8
Hipotesis Berdasarkan tinjauan pustaka, kerangka teori dan kerangka konsep tersebut,
hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Ada hubungan dukungan sosial dengan keaktifan terhadap pemanfaatan posyandu lansia di RW 01 Desa Nusawungu. 2. Ada hubungan sikap lansia dengan keaktifan terhadap pemanfaatan posyandu lansia di RW 01 Desa Nusawungu. 3. Ada hubungan peran kader dengan keaktifan terhadap pemanfaatan posyandu lansia di RW 01 Desa Nusawungu.