BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek dan Warren, 1990: 3). Kegiatan kreatif itu akan melahirkan sebuah karya sastra. Pradopo (2010: 121) mengungkapkan bahwa ‚Karya sastra merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya.‛ Sastra bukanlah komunikasi yang biasa dan mempunyai banyak segi yang aneh dan luar biasa kalau dibandingkan dengan tindak komunikasi lain (A. Teeuw, 2003: 23). Bahasa yang digunakan dalam karya sastra berbeda dengan bahasa umumnya. Bahasa yang digunakan bukan sembarang bahasa, melainkan bahasa yang memiliki khas dan memuat tanda-tanda. Karya Sastra Arab mahjar termasuk karya sastra yang menggunakan bahasa yang khas dan memuat tanda-tanda. Karya Sastra Arab mahjar adalah karya para sastrawan Arab baik penulis prosa maupun puisi yang hijrah dari negeri Arab menuju Amerika Utara. Amerika Utara dipilih karena antara tahun 1860-1914
merupakan
negara
yang
besar,
modern,
dan
industrialis
(Mahliatussikah, 2006: 400). Karakteristik sastra mahjar tidak terlepas dari pengaruh pengalaman hidup para sastrawannya secara politis, religius, sosiologis bahkan psikologis yang banyak mempengaruhi karya sastra Arab (Hambali, 2008: 4).
1
2
Salah satu penyair Arab yang menulis puisi modern adalah Iliyya> Abu> Ma>d}i>. Dia banyak mengangkat tema nasionalisme, sosial, dan politik dalam karya-karyanya. Dia adalah penyair mahjar terkemuka setelah Jubra>n Kahli>l Jubra>n dan Michael Nu’aimah. Karya-karyanya tertulis dalam sebuah majalah as-
Sami>r yang di dalamnya juga tertulis karya penyair-penyair mahjar lainnya, baik berupa puisi maupun prosa. Dia juga dikenal sebagai penyair yang cerdas dan gigih, selain itu dia juga aktif dalam bidang jurnalistik (Fathoni, 2007: 81). Salah satu karya Iliyya> Abu> Ma>d}i> adalah puisi yang berjudul ‚al-Bulbulu as-Saji>nu‛. Puisi tersebut berisi tentang ketidakmampuan Lebanon untuk membebaskan diri dari penjajahan. Negara Lebanon itu diibaratkan dengan burung bulbul yang ada di dalam sangkarnya. Menurut Farru>kh (1969: 421) via Mahliatussikah (2006) Iliyya> Abu> Ma>d}i> termasuk penyair wujda>ni> (affective, berhubungan dengan perasaan, dan jiwa). Hal tersebut nampak pada pendapat-pendapatnya yang bersandarkan pada alam, perempuan, dan masyarakat. Ia adalah orang yang kuat dalam memegang akhlak yang mulia, toleransi antar individu maupun kolektif. Kecedasannya tampak pada puisinya yang merupakan hasil kontemplasi falsafi> dalam berbagai aspek kehidupan. Dari hal tersebutlah yang perlu kita ambil pelajaran darinya, tentang kecerdasannya dalam kesustraan dan jiwa nasionalismenya yang besar. Saat dia tinggal di Amerika sekalipun dia masih menulis karya-karya sastra yang berhubungan dengan negara asalnya. Oleh karena itu, puisi ‚al-Bulbulu asSaji>nu‛ dalam antologi puisi al-Khama>´ilu karya Iliyya> Abu> Ma>d}i> menarik untuk
3
diteliti dengan memanfaatkan analisis semiotik untuk mengungkap makna puisi ‚al-Bulbulu as-Saji>nu‛ yang ingin disampaikan oleh penyair.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah makna puisi ‚al-Bulbulu as-Saji>nu‛ dalam antologi al-
Khama>´ilu karya Iliyya> Abu> Ma>d}i>.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap makna puisi yang berjudul ‚al-Bulbulu as-Saji>nu‛ dalam antologi puisi al-Khama>´ilu karya Iliyya> Abu> Ma>d}i>.
1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap karya Iliyya> Abu> Ma>d}i> sejauh pengamatan penulis mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Ahmad Huseno, telah membahas dalam skripsinya yang berjudul ‛al Insa>niyyah fi> Qasi>dah al Tin li al
Sha\'ir Ilya Abu Madi (Dirasah Tahliliyah Simaiyah)‛, menurut Huseno (2010) : Ilya Abu Madi merupakan seorang penyair kontemporer terkenal. Dia termasuk penyair Arab pembaharu di bidang puisi baik bentuk maupun isinya. Keistimewaan syairnya adalah karena kelembutannya, kehalusannya dan kesan humanismenya yang luas. Iliyya> mashur karena sikap optimisnya, cinta kehidupan, keimanannya serta keindahannya, dan ajakannya kepada manusia untuk meraih cita-cita. Dia terkenal juga karena konsep humanismenya. Salah satu puisi tentang humanismenya adalah puisi yang berjudul al Tin.
4
Huseno (2010) menyimpulkan bahwa ‚syair-syair karya Iliyya> Abu> Ma>d}i> memang sarat pesan humanisme‛. Kemudian, Luthfiyah Alindah (2012) dalam tesis masternya yang berjudul Signifikansi Lima Puisi Dalam Antologi ‚al-
Jada>wil‛ Karya Iliyya> Abu> Ma>d}i>: Kajian Semiotika Riffaterre, menurut Alindah (2012) : Puisi yang diteliti dilakukan telah menghasilkan lima matriks. Kelima puisi memiliki lima matriks berbeda dan juga berisi bahwa bahwa kelima puisi memiliki signifikansi puisi yang berbeda pula karena matriks identik dengan signifikansi yang semuanya mengalami ekspansi dari teks hipogramnya kepada teks transformasi. Kelima matriks dari lima puisi dalam antologi aljada>wil tersebut menggambarkan keterpurukan yang diakibatkan oelh kondisi seseorang ketika meninggalkan negara asli ke negara lain disebabkan terjadi aksi politik yakni perang. Alindah menyimpulkan bahwa dominasi matriks tersebut ditarik matriks pada satu benang merah bahwa lima puisi dalam antologi Al Jadawil memiliki tema
eksil. Selanjutnya, Hanik Mahliatussikah (2006) dalam tesis masternya yang berjudul Ekspresi Bahasa Puisi dan Fungsinya dalam Sajak ‚at}-T}ala>sim‛ Karya Iliyya> Abu> Ma>d}i>: Tinjauan Struktural-Semiotik menyimpulkan bahwa sajak ‚at}-
T}ala>sim‛ merupakan ekspresi estetik yang mengandung makna polyinterpretable. Dikatakan ekstetik karena menggunakan saran estetika berupa struktur yang estetik. Dikatakan mengandung multi makna karena sifatnya yang universal yang dapat dimaknai oleh siapa pun pembacanya dengan bekal pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing pembaca. Analisis semiotik terhadap puisi karya Niza>r yang bertema sosial politik sudah pernah dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Sastra Asia Barat, Fakultas Ilmu
5
Budaya. Zaky (2012) dalam skripsinya yang berjudul ‚Makna Puisi ‚al-Kita>bu bi al-H}ibri as-Sirriyyi‛ dalam Antologi Puisi al-Qas}a>`idu as-Siya>siyyatu Karya Nizār Qabbāni>: Analisis Semiotik Riffaterre‛ menyimpulkan bahwa puisi ‚al-Kita>bu bi al-H}ibri as-Sirriyyi‛ didekasikan untuk para penyair, khususnya para penyair yang karyanya dilarang beredar oleh penguasa Arab. Puisi tersebut menceritakan tentang kritikan yang disampaikan oleh penulis terhadap penguasa yang tidak peduli terhadap rakyatnya yang menderita karena perang. Miftah (2012) dalam skripsinya yang berjudul ‚Makna Puisi ‚Mansyu>ra>t Fiz|a`i> yyah ‘ala> Judra>ni Isra>`i>l‛ dalam Antologi al-Qasa>`id as-Siya>siyyah‛ menyimpulkan bahwa puisi ‚Mansyu>ra>t Fiz|a>`iyyah ‘ala> Judra>ni Isra>`i>l‛ ditulis untuk menggambarkan semangat perlawanan rakyat Palestina yang gagah berani dan pantang menyerah dalam memperoleh kemerdekaan dari penjajahan Israel. Adapun penelitian terhadap puisi karya Iliyya> Abu> Ma>d}i> yang berjudul ‚al-Bulbulu as-Saji>nu‛ sejauh pengamatan penulis belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, masih terbuka kesempatan untuk meneliti puisi ini dengan memanfaatkan teori semiotik Riffaterre.
1.5 Landasan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotik yang diungkapkan oleh Michael Riffaterre. Riffaterre (1978:ix) mengungkapkan bahwa semiotik adalah pendekatan paling sesuai untuk memahami puisi. Puisi adalah salah satu genre dalam karya sastra yang merupakan sistem tanda yang mempunyai makna berdasarkan konvensi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh
6
Pradopo (2010:123) bahwa ‚Puisi merupakan struktur tanda-tanda yang bersistem dan bermakna ditentukan oleh konvensi‛. Untuk dapat memahami maknanya, maka puisi diteliti dengan memanfaatkan teori semiotik. Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tanda-tanda yang mengandung makna sebagaimana yang dipaparkan oleh Endraswara (2011:64) bahwa ‚Semiotik adalah model penelitian sastra dengan memperhatikan tandatanda‛. Dalam pengkajian semiotik, ada dua prinsip tanda, yaitu penanda atau
signifer dan petanda atau biasa disebut dengan dengan signified. Pradopo (2010:121) menjelaskan lebih lanjut bahwa penanda adalah bentuk tanda atau yang menandai, sedangkan petanda adalah arti tanda itu sendiri. Menurut Riffaterre (1978: 2) ada empat hal pokok yang perlu diperhatikan dalam memaknai puisi. Pertama, untuk mengacu pada bahasa puisi adalah ketidaklangsungan ekspresi yang disebabkan oleh penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. Hal kedua, untuk pemberian makna digunakan pembacaan semiotik yang dibagi menjadi pembacaan heuristik dan
hermeneutik. Selanjutnya adalah pencarian matrix dan hypogram. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua dari empat hal pokok pemaknaan semiotik Riffaterre, yaitu ketidaklangsungan ekspresi dan pembacaan semiotik yang terdiri atas pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Akan tetapi, ketidaklangsungan ekspresi dilaporkan dalam pembacaan semiotik, yaitu pembacaan hermeneutik.
7
1.6 Metode Penelitian Teori yang dimanfaatkan adalah teori semiotik, maka metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode semiotik. Riffaterre (1978: 2) menawarkan empat langkah yang bisa dipergunakan, yaitu ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan semiotik, matriks atau kata kunci, dan hipogram. Pertama ketidaklangsungan ekpresi mengacu pada karya sastra yang merupakan suatu ekpresi pengarang secara tidak langsung. Ketidaklangsungan ekspresi tersebut perlu memperhatikan tiga hal, yaitu penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Riffaterre (1978:1-2) bahwa ‚Ketidaklangsungan ekspresi disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti‛. Kedua, untuk dapat memberi makna pada teks dapat dilakukan dengan memanfaatkan pembacaan semiotik. Pembacaan semiotik dibagi menjadi dua, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif. Dalam pembacaan heuristik, puisi dibaca berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Puisi dibaca sesuai dengan struktur normatif bahasa. Adapun pembacaan heuristik adalah pembacaan menurut sistem semiotik tingkat pertama, yaitu pembacaan menurut konvensi bahasa, sedangkan pembacaan hermeneutik atau retroaktif adalah pembacaan ulang dengan memberikan tafsiran (Riffaterre, 1978:5). Ketiga, setelah dilakukan pembacaan semiotik maka dilakukan pencarian
matrix atau kata kunci. Matrix diperlukan untuk membuka sajak supaya dapat
8
dipahami,
sebagaimana
diungkapkan
oleh
Pradopo
(2010:299)
matriks
merupakan ‚kata yang menjadi kunci penafsiran sajak yang dikonkretisasikan‛. Keempat, setelah dilakukan pencarian matrix atau kata kunci dilakukan pencarian hipogram atau hubungan intertekstual. Pencarian hipogram dilakukan untuk mengetahui hubungan sebuah karya sastra dengan karya sastra yang lain. Puisi ‚al-Bulbulu as-Saji>nu‛ dalam antologi al-Khama>´ilu karya Iliyya> Abu> Ma>d}i> akan diteliti dengan memanfaatkan dua metode dari metode semiotik yang
dikemukakan
oleh
Riffaterre.
Kedua
metode
tersebut
adalah
ketidaklangsungan ekspresi dan pembacaan semiotik, yang terdiri atas pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Adapun analisis data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data pokok dan data pendukung (Faruk, 2012: 40). Data pokok, yaitu teks puisi ‚alBulbulu as-Saji>nu‛ dalam antologi al-Khama>´ilu
karya Iliyya> Abu> Ma>d}i>,
sedangkan data pendukung berupa refensi kepustakaan mengenai
puisi ‚al-
Bulbulu as-Saji>nu‛. Analisis data juga meliputi pembahasan historis penciptaan teks puisi ‚al-Bulbulu as-Saji>nu‛ yang dihubungkan dengan konteks sosial pengarang, yaitu kesengsaraan hidupnya dan kesengsaraan Lebanon sebagai permasalahan kehidupan yang dialami dan dihadapi oleh pengarang. Dari berbagai tahap analisis di atas dapat dicapai kesimpulan dari puisi ‚al-Bulbulu as-Saji>nu‛.
9
1.7 Sistematika Penulisan Penelitian ini akan ditulis dalam empat bab. Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan, dan pedoman transliterasi huruf Arab-Latin. Bab II adalah biografi Iliyya> Abu> Ma>d}i> dan Puisi ‚al-Bulbul as-Saji>nu‛ beserta transliterasinya. Bab III adalah analisis semiotik Riffaterre terhadap puisi ‚al-Bulbulu as-Saji>nu‛ dalam antologi al-Khama>´ilu karya Iliyya> Abu> Ma>d}i> yang terdiri dari pembacaan semiotik, yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Bab IV adalah Kesimpulan dari penelitian.
1.8 Pedoman Transliterasi Arab-Latin Transliterasi huruf Arab-Latin yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari buku pedoman transliterasi Arab-Latin yang diterbitkan berdasarkan keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI no: 158 Th. 1987 dan no: 0543b/U/1987. 1.
Konsonan
Fonem konsonan bahasa Arab yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, dalam transliterasi ini sebagian dilambangkan dengan tanda dan sebagian yang lain dengan huruf dan tanda sekaligus. Di bawah ini daftar huruf Arab dan transliterasinya dengan huruf Latin.
10
Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
Al īf
tidak dilambangkan
tidak dilambangkan
Bī Tī
b
Be
t
Te
īī
s\
es (dengan titik di atas)
J īm h{ ī Kh ī D īl īīl Rī Zai S īn Sy īn s{ īd d{ īd t{ ī z{ ī ‘ain Gain Fī Q īf K īf L īm M īm N īn W īwu Hī Hamzah Yī
j
Je
h{
ha (dengan titik di bawah)
kh
ka dan ha
d ż
De zet (dengan titik di atas)
r
Er
z
Zet
s
Es
sy
es dan ye
s}
es (dengan titik di bawah)
d}
de (dengan titik di bawah)
t}
te (dengan titik di bawah)
z}
zet (dengan titik di bawah)
‘_
koma terbalik (di atas)
g
Ge
f
Ef
q
Ki
k
Ka
l
El
m
Em
n
En
w
We
h
Ha
_'
Apostrof
y
Ye
11
2. Vokal
Vokal bahasa Arab terdiri dari vokal tunggal, vokal panjang, dan vokal rangkap: Vokal rangkap
Vokal tunggal Arab Latin
Arab
Latin
Vokal panjang Arab
a
Ai
a>
i
Au
i>
u
3.
Latin
u>
Ta’ Marbutah Transliterasi untuk ta marbu>t}ah ada dua: Ta marbu>t}ah yang hidup atau
mendapat harakat fath}ah, kasrah, dan d}ammah, transliterasinya adalah /t/. Kalau pada kata yang terakhir dengan ta marbu>t}ah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang ‘al’ serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta marbu>t}ah itu ditransliterasikan dengan ha (h). Contoh:
raud}ah al-at}fa>l / raud}atul-at}fa>l
Contoh:
al-Madi>nah al-Munawwarah al-Madi>natul-Munawwarah
4. Syaddah (Tasydi>d) Tanda Syaddah ditransliterasikan dengan huruf, yaitu huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Contoh:
rabbana>.
12
5. Kata Sandang Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
‚al‛. Transliterasi pada kata sandang dibedakan atas kata sandang yang diikuti huruf syamsiyyah dan kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah. Kata sandang syamsiyyah ditransliterasikan sesuai dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut. Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Keduanya ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda sempang (-). Contoh:
al-maliku
Contoh:
ar-rajulu.
6. Hamzah Dinyatakan di depan bahwa hamzah ditransliterasikan dengan apostrof. Namun, itu hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan di akhir kata. Bila hamzah itu terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab berupa alif. Contoh: 7.
ta`khuz\u>na.
Penulisan Kata Pada dasarnya setiap kata, baik fi‘l, ism maupun h}arf, ditulis terpisah.
Hanya kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau h}arakah yang dihilangkan,
13
maka dalam transliterasi ini penulisan kata tersebut dirangkaikan juga dengan kata lain yang mengikutinya. Contoh:
Wa innalla>ha lahuwa khair ar-ra>ziqi>na
Wa innalla>ha lahuwa khairur-ra>ziqi>na. 8. Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam transliterasi ini huruf tersebut digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Contoh:
Wa ma> Muh}ammadun illa> rasu>lun
Penggunaan huruf awal kapital untuk Allāh hanya berlaku bila dalam tulisan Arabnya memang lengkap demikian dan kalau penulisan itu disatukan dengan kata lain sehingga ada huruf atau harakat yang dihilangkan, huruf kapital tidak dipergunakan. Contoh:
Nas}run minalla>hi wa fath}un qari>bun (Tim Penyusun, 1988: xiii-xx)