BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Bahasa memiliki fungsi umum sebagai alat komunikasi yang dipakai oleh satu individu dengan individu lain untuk berinteraksi. Interaksi yang dilakukan dapat secara lisan atau tulisan, tergantung kepada apa yang ingin disampaikan. Dalam hal ini, bahasa dipandang sebagai media untuk menyalurkan pesan, gagasan, ide, dan konsep yang sebelumnya berada di dalam pikiran seseorang yang sifatnya abstrak menjadi kongkret dengan adanya bunyi-bunyi bahasa yang dapat didengar atau diterima oleh lawan tutur. Ketika dibahasakan, lawan tutur dapat memahami apa yang disampaikan oleh seorang penutur. Proses tersebut merupakan salah satu bukti pentingnya bahasa dalam kehidupan manusia. Pentingnya peran bahasa juga dikemukakan oleh Wardhaugh (1986: 3-8) yang mengatakan bahwa semua aspek kehidupan manusia dikomunikasikan dengan bahasa. Sebagai alat interaksi antarindividu, bahasa berkaitan erat dengan pemakainya. Perilaku berbahasa seorang individu juga tidak dapat dilepaskan dari perilaku sosialnya. Tidak hanya itu, status sosial seseorang dapat dilihat dari bahasa yang dipakai. Selain itu, pemakaian bahasa atau pola-pola bahasa juga dapat mencerminkan pendidikan, agama, etnik, dan lain sebagainya. Pateda (1987: 11) menyatakan bahwa bahasa dipakai sebagai media untuk menyelesaikan perbenturan dalam interaksi sosial. Perbenturan terjadi apabila keinginan seorang individu tidak sesuai dengan kenyataan. Gambaran perbenturan
1
2
itu misalnya ketika seseorang ingin membeli beberapa macam barang, tetapi jumlah uang yang dibawa tidak mencukupi. Ada banyak solusi yang bisa diambil, misalnya dengan hanya membeli beberapa barang sesuai dengan jumlah uang, kembali ke rumah untuk mengambil uang, meminjam uang kepada teman, meminta keringanan agar dapat membayar keesokan harinya, atau memberikan jaminan kepada penjual. Kesemua solusi tersebut dapat diambil dengan memanfaatkan
bahasa,
sehingga
tampaklah
bahwa
dalam
kehidupan
bermasyarakat, bahasa dapat menyelesaikan perbenturan dalam interaksi sosial. Interaksi sosial yang melibatkan penutur-penutur dengan kebudayaan yang berbeda menyebabkan adanya kontak bahasa. Berkaitan dengan hal ini, Foley (1997: 384) mengatakan bahwa kontak antardua kebudayaan atau lebih mengakibatkan terjadinya perubahan bahasa. Perubahan itu dapat berupa adaptasi ciri-ciri kebahasaan satu bahasa oleh bahasa yang lain atau keduanya saling melakukan adaptasi. Dalam ilmu sosial, kondisi ini dinamakan asosiatif, yaitu apabila salah satu komunitas melakukan adaptasi terhadap komunitas lain, atau kedua komunitas saling melakukan adaptasi, salah satu adaptasi itu berupa adaptasi bahasa (Soekanto, 2005: 70). Kontak bahasa yang terjadi secara terus menerus dapat membentuk masyarakat bilingual atau multilingual. Kondisi ini ditunjang oleh faktor sosial atau ekonomi masyarakat yang menuntut untuk melakukan interaksi dengan frekuensi yang tinggi. Di samping itu, sikap keterbukaan terhadap bahasa lain juga menjadi faktor terbentuknya masyarakat bilingual atau multilingual. Di Indonesia yang mempunyai bahasa nasional dan bahasa daerah, masyarakat
3
umumnya merupakan bilingual, dan tidak jarang yang multilingual. Seorang individu tidak hanya dapat menguasai bahasa ibu atau bahasa pertama (B1) saja, tetapi juga dapat menguasai bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua (B2). Bahkan, tidak jarang masyarakat suatu daerah yang di samping menguasai bahasa etniknya juga dapat menguasai bahasa etnik lain yang hidup berdampingan dalam satu masyarakat. Dalam keadaan normal, keberadaan bahasa-bahasa, dialek-dialek, atau ragam-ragam yang berdampingan tersebut mempunyai ranah pemakaian masingmasing, situasi ini disebut juga dengan situasi diglosik. Lebih lanjut, Poedjosoedarmo (2008: 8) mengatakan bahwa pada situasi diglosik terlihat adanya pemilahan fungsi yang jelas antara bahasa High (H) dan Low (L). Bahasa High dipakai untuk memperbincangkan hal-hal yang bersifat standar, resmi, dinas, nasional, antarsuku, atau bisnis, sedangkan bahasa Low dipakai untuk memperbincangkan hal-hal yang bersifat informal, tidak dinas, atau kedaerahan. Karena adanya kontak bahasa yang terjadi secara terus-menerus, pemilahan fungsi tersebut menjadi kabur, misalnya ditandai dengan penggantian fungsi bahasa L oleh bahasa H. Situasi ini dikenal dengan kebocoran diglosia. Permasalahan dalam masyarakat bilingual atau multilingual tidak hanya berkaitan dengan keberadaan bahasa dengan fungsi pemakaiannya, hal lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana masyarakat tersebut memakai bahasa untuk berkomunikasi. Dalam masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih etnik yang berbeda, ada beberapa bahasa etnik yang hidup berdampingan, selain bahasa nasional yang juga dikuasai oleh kedua etnik. Sikap keterbukaan yang dimiliki
4
oleh anggota etnik terhadap etnik lain dapat menyebabkan terjadinya transfer kebudayaan, yang di dalamnya termasuk bahasa. Hal itu pulalah yang menjadikan masyarakat menjadi bilingual atau multilingual. Kajian mengenai kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik merupakan kajian etnografi, misalnya kajian mengenai adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, atau bahasa. Etnografi yang mengambil fokus pada bahasa sering disebut etnografi komunikasi (etnography of communication, etnografi wicara atau etnografi pertuturan (etnography of speaking) (Sumarsono, 2009: 309). Sudut pandang etnografi komunikasi selalu menginterpretasikan pemakaian bahasa sebagai pemakaian kode tutur dalam kehidupan sosial. Jika terdapat lebih dari satu kode tutur, seorang penutur akan melakukan pemilihan kode tutur yang sesuai dengan situasi pada saat tuturan diutarakan. Pemilihan kode tutur ini dapat dipandang sebagai perilaku kehidupan sosial, dalam hal ini adalah perilaku berbahasa. Pemilihan kode tutur (speech code choice) atau yang umum dikenal dengan pemilihan bahasa (language choice) muncul pada situasi diglosia yang memungkinkan masyarakat menjadi dwibahasawan, baik secara aktif maupun pasif. Kondisi ini mendukung masyarakat secara umum atau seorang penutur secara khusus mempunyai repertoar lebih dari satu kode tutur, sehingga dalam berkomunikasi dengan orang lain, ia melakukan pemilihan kode tutur, terutama pada mitra tutur yang berbeda bahasa pertamanya (Sumarsono, 2009: 201-204). Pemilihan kode tutur sebagai bagian dari perilaku sosial penutur tidak lepas dari pertimbangan ranah pemakaian masing-masing kode tutur yang tentunya sudah diketahui oleh penutur yang bersangkutan. Misalnya, penutur secara sadar
5
memakai kode tutur bahasa Indonesia dalam kegiatan rapat, dan memakai bahasa ibu untuk bercakap-cakap dengan anggota keluarganya. Dalam hal ini, penutur menyadari bahwa pada ranah pemerintahan, kode tutur yang harus dipakai adalah bahasa nasional, dan pada ranah keluarga, kode tutur yang dipakai adalah bahasa ibu. Selain kedua ranah yang telah disebutkan tersebut, terdapat ranah-ranah lainnya yang diperhatikan oleh penutur ketika melakukan pemilihan kode tutur. Selain melakukan pemilihan kode tutur berupa variasi tunggal berdasarkan ranah pemakaiannya, pemilihan kode tutur juga dapat berupa alih kode (code-mixing) dan (code switcing). Dalam satu peristiwa tutur, seorang penutur melakukan pemilihan kode tutur terhadap salah satu kode tutur karena mempertimbangkan beberapa hal yang dalam penelitian ini dipandang sebagai faktor-faktor penentu pemilihan kode tutur. Pemilihan kode tutur yang dilakukan dalam penelitian ini berkaitan dengan keseluruhan kode tutur yang terdapat dalam suatu masyarakat. Kode-kode tutur tersebut dipakai sesuai dengan situasi tutur yang berlangsung. Situasi tutur kadangkala berubah dengan cepat sehingga memunculkan peristiwa alih kode. Selain itu, tidak jarang para penutur mengambil serpihan-serpihan kode tutur lain dalam suatu peristiwa tutur, hal ini merupakan bentuk peristiwa campur kode. Fenomena-fenomena semacam ini rentan terjadi dalam masyarakat bilingual atau multilingual. Masyarakat bilingual atau multilingual muncul dari latar belakang kebudayaan atau etnik yang berbeda. Beragam etnik yang hidup dalam satu masyarakat tutur cukup menarik dikaji dalam rangka melihat pemilihan kode tutur yang dilakukan. Gambaran fenomena ini dapat dilihat pada masyarakat Desa Sako
6
Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau.Desa Sako merupakan desa pemekaran yang baru menjadi desa pada tahun 2010, sebelumnya desa ini merupakan sebuah dusun dengan nama yang sama. Luas Desa Sako lebih kurang 35 KM², yakni sekitar 24 % dari luas wilayah Kecamatan Pangean yang luasnya lebih kurang 145,32 KM². Jumlah penduduk Desa Sako adalah 1.760 jiwa dengan 525 Kepala Keluarga (KK) (Pangean dalam Angka 2013). Masyarakat Desa Sako merupakan masyarakat dengan kombinasi empat etnik yang berbeda, yakni (1) Melayu Kuantan (60 %), (2) Jawa (20 %), (3) Minangkabau (15 %), dan (4) Batak (5 %). Etnik Melayu Kuantan merupakan penduduk asli, sementara tiga etnik lainnya adalah etnik pendatang. Untuk
mengetahui
bagaimana
terbentuknya
kombinasi
masyarakat
multietnik tersebut, perlu dipaparkan secara ringkas mengenai sejarah Desa Sako. Dalam buku Sejarah Kebudayaan Pangean (Said, 2002: 16) dijelaskan bahwa pada abad XIV, Sako sebagai bagian dari daerah Pangean masih merupakan hutan belantara karena belum ada penduduk yang menetap di daerah itu. Penduduk yang tinggal di wilayah Kenegerian Pangean (sekarang Kecamatan Pangean) lebih memilih tinggal di daerah pinggir sungai Kuantan, karena sungai Kuantan sangat menunjang perekonomian penduduk Kenegerian Pangean (Daerah Sako jauh dari pinggir sungai Kuantan). Awal abad XIX, daerah Sako mulai dirambah oleh penduduk Kenegerian Pangean untuk membuka lahan perkebunan karet. Sejak itu Sako mulai dihuni oleh etnis Melayu Kuantan yang berada di wilayah Kenegerian Pangean.
7
Pada perkembangan selanjutnya, kebijakan transmigrasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pada masa Orde Baru menyebabkan banyaknya penduduk pulau Jawa yang dipindahkan ke pulau Sumatera. Salah satu daerah transmigrasi adalah daerah PT-PT dan Sungai Langsat yang berada di barat daerah Sako (daerah PTPT dan Sungai Langsat masih berupa hutan sebelum adanya program transmigrasi). Para transmigran yang awalnya mengolah jatah dari pemerintah, banyak yang kemudian pindah ke daerah Sako dengan membeli lahan sendiri. Bahkan tidak jarang yang menjual lahan di daerah transmigrasi untuk kemudian menetap di daerah Sako. Para transmigran yang merupakan etnis Jawa mulai melakukan interaksi dengan etnik Melayu Kuantan dalam memenuhi berbagai kebutuhan hidup. Sejalan dengan itu, di bidang pariwisata, tradisi pacu jalur yang merupakan pesta tahunan masyarakat Melayu Kuantan banyak mendatangkan pedagang-pedagang dari Sumatera Barat. Etnis Minangkabau yang terkenal senang merantau dan berdagang ini awalnya merupakan pedagang musiman yang datang ketika musim pacu jalur berlangsung, lambat laun etnis Minangkabau ini mulai menetap dan menjadi penduduk Kuantan Singingi, termasuk di Desa Sako. Dilihat dari perkembangan di bidang pertanian, peralihan perkebunan karet menjadi perkebunan sawit secara besar-besaran oleh penduduk Kuantan Singingi khususnya dan Riau pada umumnya telah menjadikan daerah ini sebagai daerah penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia (riaubisnis.com). Banyak perusahaan sawit yang mulai mengembangkan usahanya dengan membangun pabrik pengolahan kelapa sawit untuk menghasilkan CPO (crude palm oil) ‘minyak sawit mentah’, salah satunya di PT-PT dan daerah-daerah lainnya. Banyaknya pabrik
8
yang membuka lapangan pekerjaan juga berdampak pada banyaknya penduduk yang pindah ke daerah-daerah kawasan atau daerah yang berdekatan dengan kawasan pabrik. Di Desa Sako, banyak berdatangan masyarakat etnis Batak yang berasal dari berbagai daerah di Sumatera Utara. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai buruh di perusahaan, dan juga di perkebunan-perkebunan sawit milik warga. Sebagaimana halnya etnis Jawa, banyak di antara etnis Batak yang akhirnya memiliki lahan perkebunan sendiri dan menetap di Desa Sako. Demikianlah, keempat etnik yang ada di Desa Sako hidup saling berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat, bahkan tidak jarang yang melakukan pernikahan antaretnik. Interaksi sosial yang sedemikian rupa tentu saja melibatkan bahasa. Keberagaman etnik yang terdapat dalam masyarakat tentu menghadapkan penutur pada pemilihan kode tutur yang sesuai dengan situasi tutur dalam berbagai ranah . Pemilihan kode tutur yangemakaian. Pemilihan kode tutur yang menjadi fokus kajian dalam hal ini berkaitan dengan kode tutur apa saja yang dipakai oleh masyarakat multietnik di Desa Sako, bagaimana pola pemilihan kode tutur, dan faktor apa saja yang menentukan pemilihan kode tutur tersebut. Untuk memahami hal tersebut, berikut ini dapat diperhatikan peristiwa tutur 1 dalam ranah keluarga. Peristiwa Tutur 1 Ranah Kode Tutur Lokasi Partisipan A
: Keluarga : Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia : Rumah : A (40 tahun / Perempuan) dan B (18 tahun /Laki-laki)
: Sib, jemput adikmu, kono!Wis jam semene. ‘Sib, jemput adikmu, sana! Sudah jam berapa ini’.
9
B A B A B
: Paling rung metu. ‘Paling belum keluar’. : Ini kan hari Jumat! : Oh, ya, lali, Bu. ‘Oh, ya, lupa, Bu’ : Makane. ‘Makanya..’ : Ya,tak mangkat saiki. ‘Ya, (saya) berangkat sekarang’
Data Pemilihan Kode Tutur 14 .................................................................................................................................... Peristiwa tutur 1 di atas menunjukkan pemilihan dua macam kode tutur yang dilakukan dalam ranah keluarga. Kedua kode tutur yang dimaksud adalah bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Penutur A yang merupakan ibu dari penutur B berbicara memakai bahasa Jawa kepada anaknya, begitu pun penutur B kepada penutur A, atau anak kepada ibunya. Namun kemudian, penutur A beralih kode ke bahasa Indonesia untuk mempertegas perintah yang disampaikan kepada anaknya, yakni menjemput adiknya di sekolah. Hal itu dilakukan karena pada kalimat sebelumnya, penutur B terkesan tidak menghiraukan perkataan penutur A untuk segera melakukan apa yang diminta. Dalam hal ini, pemakaian kode tutur bahasa Indonesia terkesan dapat mempertegas perintah yang disampaikan, sehingga perintah tersebut langsung dipenuhi oleh penutur B. Dengan melihat peristiwa tutur 1 tersebut, dapat dikatakan terdapat dua kode tutur yang dipakai, yakni bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Keduanya memakai kode tutur bahasa Jawa, kemudian penutur A beralih kode ke bahasa Indonesia. Selanjutnya kembali memakai kode tutur bahasa Jawa. Dalam hal ini, faktor penentu alih kode yang dilakukan adalah faktor tujuan dan kehendak tutur, yakni mempertegas perintah.
10
Selanjutnya, pola pemilihan yang melibatkan tiga kode tutur dapat dilihat pada peristiwa tutur 2 yang terjadi dalam ranah jual-beli berikut ini. Peristiwa Tutur 2 Ranah Kode Tutur Lokasi Partisipan
A B A C B
A D A B A
: Jual-beli : Bahasa Minangkabau, Bahasa Batak, dan Bahasa Indonesia : Pasar : A (30 tahun/Laki-laki/Penjual I), B (35 tahun/Perempuan/ Pembeli I), C (50 tahun/Perempuan/ Pembeli II), dan D (32 tahun/Perempuan/ Penjual II)
: Lima belas, lima belas, lima belas, sarung bantal, yang bantal tidur, bantal guling, tinggal pilih, macam model, macam warna, macam ukuran! : Berapa? : Lima belas, Bu, kasih murah aja. Dipilih aja, Bu, banyak modelnya! : Harga ma i. Cuba orui pitu pulu,dua! ‘Mahal harganya, coba kurang dua puluh, dua!’ : Olo, Mak. ‘Ya, Bu’. Sepuluh, ya? : Uni, ibu ko minta sapuluah ciek, ba a? ‘Kak, ibu ini minta sepuluh satu, bagaimana?’ : Agiehlah! ‘Kasihlah!’ : Ambil berapa, Bu? : Kalau mau, empat’. : Ya, ambillah.
Data Pemilihan Kode Tutur 77 .................................................................................................................................... Peristiwa tutur 2 memperlihatkan pemilihan tiga kode tutur, yakni bahasa Indonesia, bahasa Batak, dan bahasa Minangkabau yang dilakukan oleh penutur A dan D yang beretnik Minangkabau, dan penutur B dan C yang beretnik Batak. Penutur A sebagai penjual memakai bahasa Indonesia untuk menawarkan barangnya kepada calon pembeli. Dua orang pembeli kemudian menghampiri dagangan yang ditawarkan, kemudian berkomunikasi dengan penjual memakai kode tutur bahasa Indonesia. Dalam hal ini terlihat penutur B menanyakan harga memakai kode tutur bahasa Indonesia. Penjual A kemudian menginformasikan
11
harga barang yang dijualnya juga memakai kode tutur bahasa Indonesia. Penutur C yang pada saat yang sama ikut bersama penutur B sebagai pembeli merasa bahwa barang yang akan dibeli tersebut cukup mahal, sehingga ia menyarankan kepada penutur B agar menawar harga tersebut. Agar tidak diketahui oleh penutur A atau D, penutur C memakai kode tutur bahasa Batak. Ia menyarankan harga yang pantas untuk menawar barang yang dibeli, yakni dengan mengutarakan tuturan Harga ma i. Cuba orui pitu pulu,dua! Penutur B menangapi saran dari penutur C dengan beralih kode ke bahasa Batak juga, yakni dengan menjawab Olo, Mak, kemudian kembali memakai kode tutur bahasa Indonesia untuk menawar barang kepada penutur A. Apa yang dilakukan oleh penutur C kepada penutur B juga dilakuan oleh penutur A kepada penutur D, penutur A memakai kode tutur bahasa Minangkabau untuk meminta pendapat penutur D sebagai penjual kedua mengenai tawaran harga yang disampaikan oleh penutur B, yakni dengan mengungkapkan tuturan Uni, ibu ko minta sapuluah ciek, ba a?. Hal itu dilakukan agar kedua pembeli tidak mengetahui jika terjadi diskusi antara kedua penjual mengenai harga barang yang dijual. Penutur D
ternyata menanggapi dengan memberikan persetujuan, dengan mengutarakan tuturan Agiehlah!. Mendapat persetujuan tersebut penutur A kemudian beralih kode kembali ke bahasa Indonesia untuk melakukan jual-beli dengan pembeli. Selanjutnya, percakapan berlangsung hingga akhir dengan tetap memakai kode tutur bahasa Indonesia.
Uraian di atas menunjukkan bahwa masyarakat Desa Sako yang multilingual melakukan pemilihan terhadap kode-kode bahasa yang ada. Pemilihan kode dengan pola-pola tertentu ini dapat diamati dalam berbagai ranah pemakaian. Selain itu, pemilihan terhadap kode-kode tersebut dilatar belakangi
12
oleh berbagai fakto penentu. Oleh karena itu, dalam penelitian ini perlu dikaji mengenai kode-kode tutur apa, bagaimana pola-pola pemilihan kode tutur, dan faktor apa saja yang menentukan pemilihan terhadap kode-kode tersebut. Lebih lanjut, ketiga fokus kajian ini dituangkan dalam subbab rumusan masalah. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, masalah-masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Kode tutur apa saja yang terdapat dalam masyarakat multietnik di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau? 2. Bagaimana pola pemilihan kode tutur yang dilakukan oleh masyarakat multietnik di Desa Sako? 3. Faktor apa saja yang menentukan pemilihan kode tutur yang dilakukan oleh masyarakat multietnik di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau?
1.3 Tujuan Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengidentifikasi kode-kode tutur yang terdapat dalam masyarakat multietnik di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau. 2. Mendeskripsikan pola-pola pemilihan kode tutur yang dilakukan oleh masyarakat multietnik di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau.
13
3. Menjelaskan faktor-faktor penentu pemilihan kode tutur yang dilakukan oleh masyarakat multietnik di Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat bermanfaat secara teoretis dan praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan untuk kemajuan ilmu bahasa, yakni bidang sosiolinguistik, khususnya mengenai pemilihan kode tutur. Penelitian ini merupakan sebagian deskripsi pemilihan kode tutur dalam masyarakat multilingual yang ada di Indonesia. Dengan adanya penelitian-penelitian yang menunjang konsep pemilihan kode tutur, ilmu sosiolinguistik ini dapat berkembang di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi salah satu tambahan sumber pustaka bagi penelitian selanjutnya yang mengangkat kajian mengenai masyarakat dan bahasa, atau kajian mengenai pemilihan bahasa dalam masyarakat multietnik. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah dapat menghasilkan model analisis dengan pendekatan etnografi
komunikasi
dalam
masyarakat
multietnik.
Pendekatan etnografi komunikasi dapat dikembangkan pada masyarakat tutur yang lain. Selain itu, dengan mengetahui gambaran kebahasaan pada masyarakat multietnik di Desa Sako diharapkan dapat memudahkan peneliti-peneliti lain yang tertarik untuk mengkaji bahasa dan masyarakat di daerah ini. Manfaat praktis lainnya, penelitian ini dapat membantu upaya pembinaan dan pengembangan bahasa, baik bahasa Melayu Kuantan, maupun bahasa-bahasa lain yang ada di
14
daerah penelitian. Dalam bidang pembelajaran bahasa, penelitian ini diharapkan dapat bermakna bagi pengembangan kemampuan komunikatif. 1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai pemilihan kode tutur atau pemilihan bahasa cukup mendapat perhatian oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh perkembangan masyarakat dan budaya yang di dalamnya termasuk bahasa. Bahasa yang dipakai oleh masyarakat untuk berinteraksi dalam semua aspek kehidupan merupakan wujud pemakaian bahasa yang nyata. Oleh karena itu, penelitian-penelitian mengenai bahasa dan masyarakat cukup diminati dari waktu ke waktu. Penelitian mengenai pemilihan kode tutur atau pemilihan bahasa di Indonesia dilakukan di berbagai daerah. Penelitian-penelitian tersebut antara lain di Brebes oleh Tommi Yuniawan (2002), di Banyumas oleh Fathur Rokhman (2003), di Kalimantan Selatan oleh Alimuddin (2003), di Banyuwangi oleh Agus Sariono (2007), dan di Lombok oleh Selamat Riadi (2008). Penelitian yang dilakukan oleh Tommi Yuniawan (2002) terkait dengan pemilihan bahasa dalam ranah pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat etnik Jawa-Sunda yang tinggal di Kabupaten Brebes.Masyarakat yang diteliti merupakan masyarakat multilingual yang mampu menguasai bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa Indonesia. Dalam berbagai peristiwa tutur dalam ranah pemerintahan, masyarakat etnik Jawa Sunda ini sering melakukan alih kode atau campur kode karena dihadapkan pada situasi tertentu. Di Banyumas, Fathur Rokhman (2003) melakukan penelitian terhadap masyarakat bilingual yang menguasai bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Fenomena alih kode dan campur
15
kode dipaparkan dalam berbagai peristiwa tutur yang terjadi hampir dalam setiap ranah pemakaian bahasa. Penelitian mengenai pemilihan bahasa juga dilakukan oleh Alimuddin (2003) yang melakukan penelitian terhadap masyarakat Mandar yang ada di Kecamatan Pulau Laut Utara Kabupaten Kotabaru Provinsi Kalimantan Selatan. Dalam penelitian ini, masyarakat Mandar juga merupakan masyarakat multilingual yang mampu menguasai bahasa Mandar, bahasa Banjar, dan bahasa Indonesia. Kajian pemilihan bahasa yang dilakukan dibatasi pada ranah keluarga dan ranah jual-beli. Deskripsi wujud kode tutur, pola pemilihan bahasa dan faktor penentunya merupakan fokus kajian. Di Banyuwangi, Agus Sariono (2007) melakukan penelitian terhadap masyarakat Using di Banyuwangi. Masyarakat ini juga merupakan masyarakat multilingual karena menguasai beberapa kode tutur, baik berupa bahasa, ragam, maupun tingkat tutur. Deskripsi mengenai varietasvarietas bahasa, pola pemilihan, dan faktor yang mendasari pemilihan bahasa menjadi fokus kajian yang dilakukan. Pada tahun 2008, kajian mengenai pemilihan bahasa kembali dilakukan oleh Selamet Riadi yang mengkaji pemilihan bahasa di Kabupaten Lombok Timur, yakni pemilihan bahasa Bajo dan bahasa Sasak yang dilakukan oleh masyarakat Tanjung Luar. Masyarakat Tanjung Luar melakukan pemilihan bahasa antara bahasa Bajo, bahasa Sasak, atau bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Selain itu, alih kode dan campur kode juga terjadi antara ketiga bahasa tersebut. Penelitian ini mengkaji pemilihan bahasa dalam ranah keluarga, lingkungan, dan jual-beli. Kemudian pada tahun 2011, Rosiana Kristanti melakukan penelitian
16
mengenai pemilihan bahasa dalam ranah pendidikan dan ranah kerja di Pusat Bahasa, Budaya, dan Agama UIN Sunan Kalijaga. Deskripsi mengenai wujud kode tutur, alih kode dan campur kode dan fungsi keduanya, serta faktor-faktor penentu pemilihan bahasa merupakan fokus kajian yang dilakukan. Setelah memperhatikan penelitian-penelitian terdahulu, penelitian mengenai pemilihan kode tutur dalam masyarakat multietnik di Desa Sako inimemiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian-penelitian di atas. Sebagaimana penelitian-penelitian di atas, penelitian ini juga mengkaji bahasa dalam kaitannya dengan masyarakat. Penelitian yang dilakukan berusaha memerikan pemakaian bahasa oleh masyarakat multilingual secara nyata. Hal itu dapat dilihat dari berbagai peristiwa tutur yang diamati dalam berbagai pemakaian. Berkaitan dengan cakupan ranah yang diteliti, penelitian ini meneliti semua ranah sebagaimana yang dilakukan oleh Rohkman (2003) dan Sariono (2007). Akan tetapi, penelitian ini memiliki perbedaan dengan kedua penelitian tersebut terkait dengan kombinasi kode tutur yang diteliti, yakni bahasa Indonesia, Jawa, Melayu Kuantan, Minangkabau, dan Batak. Hal itu pulalah yang membedakan dengan penelitian-penelitian lainnya yang telah disebutkan di atas. 1.6 Landasan Teori Teori-teori yang dipakai untuk mendekati rumusan masalah dalam penelitian ini dimulai dengan teori kajian sosiolinguistik. Dalam kajian sosiolinguistik ditemukan istilah masyarakat tutur, situasi tutur, komponen tutur, dan pemilihan kode tutur. Istilah pemilihan kode tutur tidak dapat dilepaskan dengan bilingualisme dan multilingualisme, diglosia, dan alih kode dan campur
17
kode. Berikut ini secara runtut akan dijelaskan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan penelitian ini. 1.6.1 Kajian Sosiolinguistik Bahasa yang dipakai oleh manusia untuk berinteraksi satu sama lain dapat dikaji secara internal dan eksternal. Secara internal, bahasa dikaji berdasarkan struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologis, morfologis, dan sintaksis. Kajian semacam ini dapat dilakukan dalam disiplin linguistik tanpa melibatkan faktor-faktor di luar bahasa. Berbeda dengan kajian internal, kajian bahasa secara eksternal turut melibatkan faktor-faktor lain yang berada di luar bahasa dalam kaitannya dengan pemakaian bahasa oleh penutur dalam kelompok sosial masyarakat (Chaer dan Agustina, 2004: 1). Kajian secara eksternal ini tentu saja tidak hanya melibatkan teori dan prosedur linguistik semata, melainkan juga melibatkan teori dan prosedur ilmu lain. Dalam kaitannya dengan masyarakat, kajian bahasa dapat dikaitkan dengan ilmu sosiologi, sehingga menghasilkan gabungan ilmu sosiolinguistik. Sosiolinguistik merupakan ilmu interdisipliner yang menggabungkan antara ilmu sosiologi dan linguistik. Objek kajian sosiologi adalah masyarakat, sedangkan objek linguistik adalah bahasa. Oleh karena itu, ilmu yang menggarap masalah-masalah kebahasaan dalam kaitannya dengan faktor-faktor sosial, situasional, dan kultural dinamakan sosiolinguistik (Wijana, 2011: 8). Istilah sosiolinguistik pertama kali dikemukakan Harver C. Currie dalam karangannya yang menyarankan agar adanya kajian mengenai hubungan antara perilaku ujaran dengan status sosial pada tahun 1952 (Chaer dan Agustina, 2004: 5). Istilah
18
sosiolinguistik ini sering disamakan dengan sosiologi bahasa. Mengenai hal itu, J.A. Fishman membedakan dengan mengatakan bahwa sosiolinguistik bersifat kualitatif, yakni mementingkan pemakaian bahasa oleh individu-individu dalam konteks sosialnya, sedangkan sosiologi bahasa bersifat kuantitatif, yakni mementingkan keragaman bahasa sebagai akibat adanya tingkatan sosial dalam masyarakat (Pateda, 1987:2). Holmes (1992: 1) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah studi yang mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat. Hal ini dapat mengungkapkan mengapa seseorang berbicara dengan cara yang berbeda sesuai dengan konteks sosial saat peristiwa tutur berlangsung. Lebih lanjut, Holmes menambahkan, sosiolinguistik berusaha mengidentifikasi fungsi-fungsi sosial dari pemakaian bahasa, dan mengidentifikasi bagaimana bahasa dipakai untuk menyampaikan makna sosial. Lebih lanjut, Holmes dan Pride (dalam Sumarsono, 2009: 2) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian bahasa sebagai bagian dari kebudayaan dan masyarakat. Sumarsono mengartikan hal ini sebagai penegasan bahwa bahasa tidak dapat berdiri sendiri, bahasa adalah bagian dari kebudayaan (language and culture). Senada dengan pendapat Holmes, Wardhaugh (1986: 4) mengemukakan bahwa sosiolinguistik mengkaji hubungan antara bahasa dan masyarakat, kedua hal ini dikaji oleh dua disiplin ilmu yakni linguistik dan sosiologi. Masalah-masalah sosiolinguistik yang berkaitan dengan bahasa dan masyarakat cukup luas, dalam konferensi sosiolinguistik pertama di University of California, Los Angeles, tahun 1964 dirumuskan tujuh dimensi masalah dalam
19
sosiolinguistik. Tujuh dimensi yang dirumuskan tersebut yaitu: (1) identitas sosial dari penutur; (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi; (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi; (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial; (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur terhadap perilaku bentuk-bentuk ujaran; (6) tingkatan variasi dalam ragam linguistik; dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik (Dittmar dalam Chaer dan Agustina, 2004: 5). Ditinjau dari ruang lingkup kajiannya, sosiolinguistik dapat dibedakan menjadi mikro-sosiolinguistik dan makro-sosiolinguistik (Pateda, 1987: 5). Kajian mikro linguistik berhubungan dengan kelompok kecil pemakaian bahasa, misalnya tegur sapa. Dalam hal ini, fokus kajiannya adalah individu yakni pada tindak tutur (speech act) yang terjadi dalam kelompok-kelompok primair menurut ilmu sosiologi, tindak tutur itu dimodifikasi oleh berbagai variabel, seperti status keakraban, pertalian keluarga, sikap, dan tujuan setiap anggota kelompok. Sementara itu, kajian makro linguistik berhubungan dengan masalah perilaku bahasa dan struktur sosial. Sumarsono (2009: 14-16) membedakan ruang lingkup kajian sosiolinguistik dengan memakai istilah sosiolinguistik mikro dan sosiolinguistik makro. Sosiolinguistik mikro berkaitan dengan kajian mengenai masalah-masalah “kecil dan sempit”, sedangkan sosiolinguistik makro mengenai masalah-masalah “besar dan luas”. Lebih lanjut, Sumarsono mengutip pendapat Roger Bell mengenai kedua hal ini, sosiolinguistik mikro menekankan perhatian pada interaksi bahasa antarpenutur dalam satu kelompok guyup tutur (intragroup interaction),
20
sedangkan sosiolinguistik makro mengambil fokus pada interaksi antarpenutur dalam konteks antarkelompok (intergroup interaction). Kajian sosiolinguistik tentu saja memberikan manfaat dalam studi bahasa, mengenai hal ini, Suwito (1982: 4-5) mengemukakan bahwa sosiolinguistik yang mengkaji bahasa dalam konteks sosio-kultural dan situasi pemakaiannya tidak hanya melihat bahasa dari segi penuturnya saja. Dalam proses interaksi, penutur dan dan mitra tutur sama-sama mempertimbangkan kepada siapa ia berbicara, kapan, mengenai masalah apa, dalam situasi bagaimana, dan sebagainya. Lebih lanjut, Chaer dan Agustina (2004: 5) juga mengungkapkan dua manfaat kajian sosiolinguistik. Pertama, kajian sosiolinguistik bermanfaat dalam memberikan pengetahuan bagaimana cara memakai bahasa. Manfaat ini sejalan dengan yang dirumuskan oleh Fishman mengenai sosiolinguistik, yakni “who speak, what language, to whom, when, and to what end”. Pengetahuan bahasa yang dimiliki seseorang
dapat
dimanfaatkan
dalam
berkomunikasi
atau
berinteraksi.
Sosiolinguistik memberikan pemahaman dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa, atau gaya bahasa apa yang harus dipakai ketika berbicara dengan orang tertentu. Kedua, sosiolinguistik bermanfaat dalam pengajaran bahasa. Pengajaran bahasa yang memanfaatkan buku-buku hasil kajian deskriptif dapat menimbulkan kesulitan dalam mengajarkan ragam bahasa baku karena dalam buku tersebut juga terdapat contoh-contoh ragam nonbaku. Dengan bantuan sosiolinguistik, para pengajar dapat menjelaskan bahwa dalam berbahasa terdapat ragam baku dan nonbaku.
21
1.6.2 Masyarakat Tutur Dalam kajian sosiolinguistik, masyarakat dan bahasa merupakan kajian utama yang dikaji dalam rangka mengidentifikasi pemakaian bahasa oleh penutur dalam masyarakat tutur. Masyarakat tutur (speech community) adalah sekelompok orang yang mempunyai kemampuan komunikatif (verbal repertoire) yang relatif sama, dan mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang berlaku dalam lingkup masyarakat tersebut (Suwito, 1982: 18). Sementara itu, Chaer dan Agustina (2004: 36) mengemukakan bahwa batasan masyarakat tutur itu tidak hanya sekelompok orang yang menuturkan bahasa yang sama, tetapi juga sekelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalam memakai bentuk-bentuk bahasa. Masyarakat tutur juga dapat didefinisikan sebagai sekelompok orang dalam lingkup luas atau sempit yang berinteraksi dengan bahasa tertentu yang dapat dibedakan dengan kelompok masyarakat tutur yang lain atas dasar perbedaan bahasa yang bersifat signifikan (Wijana, 2011: 46). Saville-Troike (2003: 14) mengemukakan bahwa sebuah masyarakat tutur tidak bisa persis disamakan dengan sekelompok orang yang berbicara bahasa yang sama, misalnya penutur bahasa Spanyol yang ada di Texas dan di Argentina tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat tutur meskipun mereka memakai bahasa (kode) yang sama, dan beberapa pasangan suami istri pada beberapa masyarakat tutur di Pasifik Selatan memakai bahasa yang berbeda ketika berkomunikasi satu sama lain. Saville-Troike (2003: 19) membedakan masyarakat yang hard shelled dengan soft shelled. Masyarakat hard shelled merupakan masyarakat dengan jaringan sosial tertutup, yang ditandai dengan minimnya interaksi dengan orang
22
luar (outsiders) dan pemeliharaan maksimum pada bahasa dan kebudayaan. Masyarakat Mongolia, dan Jepang pada masa lalu merupakan contoh masyarakat hard shelled. Pada masyarakat demikian, pemakaian bahasa cenderung seragam. Perubahan unsur kebahasaan terjadi melalui proses internal karena kontak bahasa relatif tidak pernah terjadi, sehingga jumlah perubahan kebahasaannya cenderung kecil. Sebaliknya, masyarakat soft shelled merupakan masyarakat dengan jaringan sosial terbuka, yang ditandai dengan interaksi dengan orang luar yang bersifat timbal balik dan leluasa. Masyarakat tutur yang memakai bahasa dunia, seperti bahasa Inggris, Perancis, Portugis cenderung soft shelled. Pada masyarakat tutur demikian, interaksi yang melintas batas bangsa atau suku bangsa dapat terjadi dengan mudah dan bersifat dua arah. Masyarakat Inggris, Belanda, dan Jerman dapat dimasukkan sebagai masyarakat yang soft shelled karena interaksi antarketiga bangsa itu terjadi melalui bahasa Inggris. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat tutur Indonesia, yakni masyarakat tutur yang ditandai dengan pemakaian bahasa Indonesia. Pada masyarakat soft shelled, pemakaian bahasa cenderung heterogen. Bahasa Indonesia memiliki berbagai variasi berdasar suku bangsa yang memakainya. Bahasa Indonesia yang dipakai oleh orang Jawa berbeda dari bahasa Indonesia yang dipakai oleh orang Bali, Minangkabau, Madura, dan sebagainya. Masyarakat Desa Sako yang sebagai masyarakat yang diteliti dalam penelitian ini merupakan masyarakat yang shoft shelled yang ditandai dengan pemakaian kode tutur bahasa Indonesia, bahasa Melayu Kuantan, bahasa Jawa, bahasa Minangkabau, dan bahasa Batak. Kode-kode tutur itu masing-masing
23
masih dipertahankan oleh etnik pendukungnya, namun dalam berinteraksi dengan etnik lain, tidak tertutup kemungkinan dipengaruhi oleh kode tutur yang dipakai oleh etnik lain. 1.6.3 Situasi Tutur Situasi tutur merupakan situasi yang berkaitan dengan tuturan, baik yang bersifat komunikatif maupun yang tidak komunikatif (Hymes, 1972: 56). Situasi komunikatif merupakan konteks bagi terjadinya peristiwa komunikatif dan tidak komunikatif (Sumarsono dan Pratana, 2002: 319-320). Sebagai konteks, kaidahkaidah pertuturan mengacu pada situasi komunikatif itu. Situasi masjid misalnya, memberikan konteks yang berbeda dengan situasi kantor pemerintahan, pesta pernikahan, dan sebagainya. Peristiwa percakapan (satu tipe peristiwa tutur) yang terjadi dalam pesta pernikahan misalnya, berbeda dengan peristiwa percakapan yang terjadi dalam rapat di kantor pemerintah. Dalam situasi shalat Jumat, percakapan bahkan tidak boleh dilakukan. Situasi tutur membatasi isi pesan (topik). Di pesta pernikahan misalnya, isi pesan tentunya merupakan hal-hal yang berkaitan dengan pesta itu: pengantinnya, tamu-tamunya yang hadir, jamuannya, dekorasinya, dan sebagainya. Isi pesan bisnis tentu saja tidak terkait dengan situasi pesta. Artinya, manakala ada partisipan pesta yang terlibat percakapan bisnis, maka partisipan itu sedang tidak berada dalam situasi pesta. Hal yang sama juga terjadi pada seorang dosen yang harus menjawab panggilan telepon pada saat ia sedang memberi kuliah. Meskipun ia tidak meninggalkan ruang kuliah (latarnya tetap), ia sebenarnya sudah meninggalkan situasi kuliah pada saat ia menjawab telepon, dan sebagai gantinya
24
ia telah berpindah pada situasi tertentu yang diacu oleh percakapan telepon itu. Situasi itu bisa berupa situasi bisnis, persahabatan, atau yang lain. Di pesta pernikahan, percakapan terikat pada norma-norma sopan santun pesta yang berbeda dengan norma sopan santun pada situasi menonton bersama pertandingan sepak bola di lapangan terbuka. Orang boleh bercakap-cakap dengan keras di lapangan sepak bola. Jika hal yang sama dilakukan di pesta pernikahan, percakapan itu akan dinilai sebagai percakapan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu adat dan sopan santun. Mereka tidak memiliki kompetensi komunikatif, khususnya yang berlaku pada pesta pernikahan itu. Situasi tutur dapat disejajarkan dengan konsep ranah. Fishman (1972: 24) membatasi ranah sebagai konteks institusional serta peristiwa-peristiwa tingkah laku yang sesuai yang terjadi bersama-sama. Ranah disejajarkan dengan spheres of
activity (lingkup
aktivitas)
yang dikembangkan oleh
linguis
yang
mengkhususkan diri pada proses akulturasi. Sebuah catatan perlu dikemukakan sebagai berikut. Lingkup situasi tutur cenderung lebih sempit dan kongkret daripada lingkup ranah yang bersifat institusional. Ranah keagamaan misalnya, jauh lebih luas cakupannya daripada situasi tutur shalat Jumat, tetapi ranah persahabatan dapat disamakan dengan situasi persahabatan. 1.6.4 Komponen Tutur Komponen tutur merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam sebuah peristiwa tutur, karena dalam sebuah peristiwa tutur, ada komponenkomponen yang mempengaruhinya. Sebelum membicarakan komponen tutur, berikut akan diuraikan mengenai peristiwa tutur. Peristiwa tutur adalah
25
keseluruhan perangkat komponen (tutur) yang utuh, yang dimulai dengan tujuan umum komunikasi, topik umum yang sama, dan melibatkan partisipan yang sama, yang secara umum memakai varietas bahasa yang sama, mempertahankan tone yang sama, dan kaidah-kaidah yang sama untuk interaksi, dalam latar yang sama (Saville-Troike, 2003: 36). Batasan itu dengan jelas mengungkapkan bahwa yang menyatukan peristiwa-peristiwa tutur itu adalah komponen tutur. Artinya,
jika
terjadi perubahan atau terdapat perbedaan dalam salah satu atau lebih komponen tutur, maka peristiwa tutur itu sudah berbeda dan berubah. Peristiwa tutur berwatak komunikatif (Sumarsono dan Pratana, 2002: 320). Oleh karena itu, peristiwa tutur dianggap sebagai unit dasar untuk tujuan deskriptif (SavilleTroike, 2003 27). Artinya, deskripsi etnografi komunikasi bekerja berdasarkan satuan-satuan analisis yang berupa peristiwa tutur. Situasi tutur bermanfaat dalam menyusun klasifikasi data, karena dalam tiap situasi tutur dimungkinkan untuk mendapatkan kekhasan deskripsi etnografis pada situasi tutur yang lain. Pembicaraan mengenai komponen tutur sudah banyak dibicarakan oleh beberapa ahli, Salah satunya adalah J.A. Fishman (Chaer dan Agustina, 2004: 5) yang merumuskan komponen tutur dengan istilah “who speak, what language, to whom, when, and to what end”. Komponen-komponen tutur menurut Fishman, yaitu (1) partisipan (who speak dan to whom), atau orang-orang yang terlibat dalam sebuah peristiwa tutur, yakni penutur dan mitra tutur, (2) instrumen (what language) atau alat, yaitu berkaitan dengan bahasa yang dipakai dalam peristiwa tutur, (3) latar (when), yaitu waktu peristiwa tutur tersebut terjadi, dan (4) topik,
26
tema, atau tujuan (to what end), yaitu maksud yang ingin dicapai dalam peristiwa tutur. Selain Fishman, salah satu ahli yang terkenal dengan komponen tuturnya adalah Dell Hymes dalam tulisan berjudul Models of Interaction of Language and Social Life (Sumarsono, 2009: 335). Hymes merumuskan delapan komponen tutur yang selanjutnya disingkat dengan akronim bahasa Inggris, yaitu SPEAKING. Delapan komponen tutur tersebut adalah. 1.
S (setting and scene), berkaitan dengan latar waktu dan tempat atau situasi tempat dan waktu ketika peristiwa tutur itu terjadi. Setting dapat diartikan sebagai waktu atau tempat sebuah peristiwa tutur berlangsung. Sementara itu, scene berkaitan dengan waktu dan tempat atau situasi psikologis penutur pada saat peristiwa tutur berlangsung.
2.
P (participants), berkaitan dengan pelaku yang berperan dalam peristiwa tutur, bisa pembicara dan pendengar, pengirim dan penerima pesan, atau penyapa dan orang yang disapa. Hal itu tergantung kepada bentuk pembicaraan atau instrumen yang dipakai dalam sebuah peristiwa tutur.
3.
E (ends: purposes and goal), ends dapat dibedakan menjadi dua, yakni outcomes atau purposes yang berkaitan dengan hasil, dan goals berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai.
4.
A (act sequence), berkaitan dengan bentuk dan isi pesan (messege form and content). Misalnya, bagaimana kata-kata dipakai, bagaimana pemakaiannya, dan bagaimana hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.
27
5.
K (key: tone or spirit of act), berkaitan dengan cara menyampaikan pesan. Cara tersebut dapat berupa nada pada saat menghasilkan tuturan, atau gerak tubuh dan isyarat. Misalnya, penyampaian materi seminar yang kaku dan monoton, pidato yang berapi-api, dan sebagainya.
6.
I (instrumentalities), berkaitan dengan alat atau media yang dipakai dalam berkomunikasi. Alat yang dipakai berkenaan dengan bahasa, dialek, ragam, atau register apa yang dipakai dalam peristiwa tutur. Adapun media dapat berupa lisan atau tertulis, seperti telepon atau surat.
7.
N (norms of interaction and interpretation), berkaitan dengan aturan atau norma yang berlaku dalam interaksi dan interpretasi di masyarakat.
8.
G (genre), berkaitan dengan jenis penyampaian, yakni dapat berupa narasi, puisi, pepatah, dan sebagainya. Rumusan komponen tutur yang disampaikan oleh Hymes di atas
menunjukkan bahwa dalam sebuah peristiwa tutur, ada banyak faktor yang mempengaruhinya. Sebuah peristiwa tutur yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari merupakan peristiwa yang sangat kompleks. Rumusan komponen tutur yang terkenal dengan SPEAKING yang bermakna ‘wicara’ ini juga mempunyai padanan dalam bahasa Perancis, yaitu PARLANT (Sumarsono, 2009: 334-335). Komponen tutur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. P (participant), berkaitan dengan orang-orang yang terlibat dalam sebuah peristiwa tutur, yakni penutur dan mitra tutur. 2. A (actes), berkaitan dengan pesan (messege form) atau isi pesan (messege content)
28
3. R (raison), berkaitan dengan maksud hasil (purpose outcome) dan maksud tujuan (purpose goal) yang ingin dicapai dalam peristiwa tutur. 4. L (locale), berkaitan dengan latar (setting) dan suasana (scene) peristiwa tutur berlangsung. 5. A (agents), berkaitan dengan saluran (chanel) dan bentuk tuturan (form of speech). 6. N (normes), berkaitan dengan norma interaksi dan norma interpretasi. 7. T (types), berkaitan dengan jenis penyampaian atau genre. Komponen-komponen tutur pada dasarnya tidak berbeda dengan yang telah dirumuskan oleh Dell Hymes, seperti komponen tutur yang dirumuskan oleh Poedjosoedarmo (Rahardi, 2001: 35-50) yang merumuskan komponen tutur berdasarkan pandangannya terhadap peristiwa tutur yang ada di Indonesia. Lebih lanjut, komponen tutur yang dikemukakan oleh Poedjosoedarmo (dalam Nadar, 2009:8-10) dikenal dengan memoteknik OOE MAU BICARA, dengan penjelasan sebagai berikut: 1. O1 adalah orang ke-1 yang meliputi pribadi penutur. Latar belakang penutur meliputi: jenis kelamin, asal daerah, golongan masyarakat, umur, profesi, kelompok etnik, dan aliran kepercayaan. 2. O2 merupakan orang ke-2 (lawan tutur orang ke-1). Faktor kedua yang menentukan bentuk tutur yang keluar dari mulut seseorang penutur ialah orang kedua atau lawan berbicara penutur itu. Hal yang perlu diperhatikan adalah anggapan O1 tentang seberapa tinggi tingkatan sosial orang kedua
29
(O2) dan seberapa akrab hubungan antara keduanya. Keintiman relasi O1 dan O2 menentukan corak bahasa yang dituturkan. 3. E adalah emosi O1 (warna emosi), yaitu suasana emosi O1 pada waktu yang bersangkutan hendak bertutur. Warna emosi O1 akan sangat mempengaruhi bentuk tuturannya. 4. M adalah Maksud dan tujuan percakapan. Maksud dan kehendak O1 juga menentukan bentuk tuturan. 5. A adalah adanya O3 dan barang-barang lain di sekitar peristiwa tutur. Suatu tuturan akan berganti bentuknya dari apa yang biasanya terjadi apabila seseorang tertentu kebetulan hadir pada suatu adegan tutur. 6. U adalah urutan tutur. O1 yang memulai percakapan akan lebih bebas menentukan bentuk tuturannya dari pada lawan tuturnya. 7. B adalah bab yang dibicarakan atau pokok pembicaraan. Pokok pembicaraan akan mempengaruhi suasana pembicaraan. Jika seseorang sedang membicarakan masalah-masalah ilmiah akan memakai bahasa yang lebih formal. 8. I adalah instrumen atau sarana penutur. Sarana penutur ini meliputi bagaimana percakapan itu terjadi apakah melalui surat, telegram, email, atau telepon. Hal ini juga akan mempengaruhi bentuk tuturan yang muncul dalam percakapan. 9. C adalah cita rasa tutur. Cita rasa tutur ini meliputi kapan akan dipakai ragam bahasa santai, formal, dan ragam bahasa indah.
30
10. A adalah adegan tutur yaitu faktor-faktor yang terkait dengan tempat dan waktu peristiwa tutur 11. R merupakan register khusus atau bentuk wacana atau genre tutur. Bentuk wacana pidato akan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang lazim, yaitu diawali dengan sapaan, salam introduksi, kemudian isi dan penutup. 12. A adalah aturan atau norma kebahasaan. Ada sejumlah norma yang harus dipatuhi, misalnya kejelasan dalam berbicara. Adapun aturan dalam percakapan seperti anjuran untuk tidak menanyakan tentang gaji, umur, status, dan yang lainnya yang bersifat pribadi sehingga hal ini dapat menentukan bentuk tuturan yang muncul.
1.6.5 Pemilihan Kode Tutur Pemilihan kode tutur (speech code choice) bisa disamakan dengan istilah pemilihan bahasa (language choice). Pemakaian istilah “kode tutur” dilakukan agar mendapatkan istilah netral untuk merujuk pada kode yang berupa bahasa, dialek, atau ragam. Hal itu dilakukan mengingat kode-kode tutur yang diteliti dalam penelitian ini belum dibuktikan secara ilmiah sebagai bahasa yang berbeda. Misalnya antara bahasa Melayu Kuantan dan bahasa Minangkabau, banyak terdapat kosakata yang sama atau hanya berbeda satu fonem. Ibrahim (1993: 59) mengatakan bahwa kajian sosiolinguistik ada karena adanya pemilihan dalam pemakaian bahasa. Pemilihan kode tutur berkaitan dengan asumsi bahwa masyarakat yang diteliti merupakan masyarakat bilingual atau multilingual. Artinya, ketika kode tutur yang dipakai dalam masyarakat itu hanya satu bahasa, tidak akan dilakukan pemilihan kode tutur.
31
Sumarsono (2009: 201-204) mengungkapkan munculnya pemilihan kode tutur berkaitan dengan kondisi kebahasaan yang diglosik sehingga memungkinkan masyarakat
menjadi
dwibahasawan
(bilingual)
atau
anekabahasawan
(multilingual). Seorang penutur mempunyai repertoar lebih dari satu kode tutur yang ketika berkomunikasi dengan orang lain, ia akan melakukan pemilihan kode tutur yang sesuai. Pada situasi ini, seorang penutur dapat melakukan alih kode sesuai dengan situasi saat peristiwa tutur berlangsung. Lebih lanjut, hal-hal yang berkaitan
dengan
pemilihan
kode
tutur
berupa
bilingualisme
dan
multilingualisme, diglosia, dan alih kode dan campur kode akan diuraikan sebagai berikut. 1.6.5.1 Bilingualisme dan Multilingualisme Dua hal yang yang tidak dapat dilepaskan dalam pemilihan kode tutur adalah bilingualisme dan multilingualisme. Pemilihan kode tutur terjadi pada masyarakat yang bilingual dan multilingual. Bilingualisme dan multilingualisme terjadi karena adanya kontak bahasa. Pada masyarakat terbuka, para anggota masyarakat dengan mudah menerima orang lain ke dalam kelompoknya. Dengan begitu, terjadilah kontak antarkedua kebudayaan yang tentunya diwujudkan dalam kontak bahasa. Kontak antardua kebudayaan yang berbeda merupakan awal dari lahirnya masyarakat yang bilingual. Mengenai bilingualisme, Suhardi dan Sembiring (2005: 58-59) mengulas beberapa pendapat para ahli, Leonard Bloomfied (1933) mengatakan bahwa bilingualisme adalah penguasaan seseorang terhadap dua bahasa. Sementara itu, Weinreich (1968) berpendapat bahwa bilingualisme adalah kemampuan seseorang
32
untuk memakai dua bahasa secara bergantian. Einar Haugen (1966) kemampuan seseorang menghasilkan tuturan yang lengkap dan bermakna dalam bahasa lain. Suhardi dan Sembiring mengemukakan bahwa perbedaan pendapat tersebut disebabkan oleh sulitnya menentukan batasan seorang yang dapat disebut sebagai penutur bilingual atau dwibahasawan. Dewasa ini, istilah bilingualisme dan multilingualisme mempunyai batasan yang luas, bilingualisme dapat diartikan sebagai kemampuan kebahasaan seseorang terhadap dua bahasa. Kemampuan tersebut dapat berupa pengetahuan terhadap dua bahasa tanpa melihat tingkat kemampuannya sama atau tidak. Dalam hal ini, seorang penutur bisa saja lebih tinggi kemampuannya dalam bahasa A daripada bahasa B, atau sebaliknya. Pengetahuan terhadap bahasa satu lebih rendah dari bahasa kedua tidak mempengaruhi status seseorang sebagai dwibahasawan, atau penutur bilingual. Adapun konsep multilingual hampir sama dengan bilingual, jika bilingual berkaitan dengan kemampuan terhadap dua bahasa, multilingual berkaitan dengan kemampuan terhadap lebih dari dua bahasa.
1.6.5.2 Diglosia Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, diglosia merupakan salah satu dampak dari adanya kontak bahasa. Diglosia dapat didefinisikan sebagai situasi pemakaian bahasa yang stabil karena setiap bahasa mempunyai ranah pemakaian atau menjalankan fungsinya secara proporsional (Wijana, 2011: 34). Istilah diglosia pernah dipakai oleh seorang Perancis bernama Marcais, namun istilah diglosia baru populer ketika Ferguson pada tahun 1958 menggunakannya
33
dalam simposium mengenai urbanisasi dan bahasa-bahasa standar yang diselenggarakan oleh American Anthropological Association di Washington D.C. Istilah itu juga kemudian yang dipakai oleh Ferguson dalam tulisannya yang berjudul Diglosia (Chaer dan Agustina, 2004: 92). Dalam interaksi sosial, diglosia akan muncul jika ada dua kode berbeda yang keduanya secara jelas menunjukkan fungsi yang berbeda. Ferguson (dalam Wardhaugh, 1986: 87) mengemukakan bahwa diglosia berkaitan dengan beberapa hal, yakni (1) dalam masyarakat diglosia terdapat dialek utama (ragam tinggi), ragam rendah, atau dialek lain, (2) dialek utama (ragam R) dapat berupa dialek standar atau dialek standar regional, (3) dialek yang bukan dialek utama memiliki ciri-ciri: terkodifikasi, tata bahasanya lebih lengkap, berupa wahana kesusastraan tertulis, dipelajari pada pendidikan formal, dan tidak dipakai dalam percakapan sehari-hari. Batasan yang diberikan Wardhaugh di atas sejalan dengan yang diungkapkan oleh Holmes (1992: 32), yaitu (1) dua variasi dari satu bahasa yang sama, yang satu merupakan variasi L (low), dan yang lainnya merupakan variasi H (high), (2) masing-masing variasi mempunyai fungsi yang berbeda, dan (3) variasi H tidak dipakai dalam percakapan sehari-hari. Batasan yang diungkapkan oleh kedua tokoh di atas dirasakan sempit untuk menjelaskan diglosia, oleh karena itu, Fasold (Chaer dan Agustina, 2004: 101) memberikan batasan yang lebih luas. Menurutnya, diglosia tidak hanya terbatas pada perbedaan fungsi variasi atau dialek dalam satu bahasa, tetapi juga dapat mencakup dua bahasa atau lebih. Perluasan konsep diglosia oleh Fasold ini disebut diglosia luas (broad diglosia). Konsep ini memunculkan istilah diglosia
34
ganda dalam bentuk yang disebut double operlapping diglosia, double nested diglosia, dan linear polyglosia. Istilah double operlapping diglosia berkaitan dengan sebuah bahasa yang memiliki fungsi ganda, pada satu situasi berfungsi sebagai H, dan pada situasi yang lain berfungsi sebagai L. Double nested diglosia berkaitan dengan situasi ketika pada masyarakat bilingual terdapat dua bahasa yang keduanya dapat berfungsi sebagai H atau L, tetapi variasi-variasi pada ragam itu juga berstatus sebagai H dan L. Istilah linear polyglosia berkaitan dengan verbal repertoir dari masyarakat tutur yang kemudian pola statusnya diurutkan berdasarkan sikap para penuturnya. 1.6.5.3 Alih Kode dan Campur Kode Pada saat berkomunikasi dengan orang lain, penutur sering kali dihadapkan dengan pemilihan kode-kode yang sesuai diterapkan dalam sebuah peristiwa tutur. Pemilihan kode-kode tersebut kadang terjadi secara spontan berdasarkan verbal repertoir seorang penutur. Secara umum, terdapat dua bentuk pemilihan kode dalam pemakaian bahasa, yakni alih kode (code switching) dan campur kode (code mixing). “Kode” merupakan istilah netral untuk menyebutkan bahasa, dialek, atau ragam bahasa. Pemakaian istilah “kode” lebih tepat karena peristiwa alih code dan campur kode tidak hanya terjadi pada dua bahasa yang berbeda, tetapi juga dapat terjadi pada dua dialek atau dua ragam yang berbeda dalam satu bahasa. Kode dapat diartikan sebagai suatu sistem tutur yang penerapannya khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara, dan situasi tutur. Poedjosoedarmo mengatakan bahwa kode biasanya berbentuk varian
35
bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi oleh suatu masyarakat bahasa (Rahardi, 2001: 23). Bentuk pemilihan kode tersebut dapat berupa variasi tunggal, alih kode, atau campur kode sebagaimana pendapat Sumarsono (2009: 201-204) yang membagi pemilihan bahasa ke dalam tiga bentuk, yakni (1) alih kode (code-mixing), (2) campur kode (code switcing), dan (3) variasi dalam bahasa yang sama (variation within the same language). Ketiga pemilihan bahasa tersebut merupakan mempunyai konsekuensi berupa terjadinya pergeseran, bahkan kepunahan suatu bahasa. Batas yang tegas antara peristiwa alih kode dengan campur kode sulit ditetapkan. Masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan sosiolinguis tentang batas alih kode dengan campur kode. Ada yang mengidentifikasikan alih kode dan campur kode berdasar kriteria intrabahasa, yakni jenis satuan lingual yang dilibatkan dalam masing-masing peristiwa kebahasaan itu, dan ada pula yang mengidentifikasi berdasar kriteria ekstrabahasa. Dari segi intrabahasa terdapat satu persoalan lagi, yakni campur kode atau peralihan seringkali sulit dibedakan dengan variasi intrabahasa (intra-language). Menurut Fasold (1984:185), peristiwa campur kode juga melibatkan satuan lingual klausa dan kalimat, dua satuan lingual yang seharusnya merupakan tempat terjadinya peristiwa alih kode. Dari segi ekstrabahasa Wardhaugh (1986:104) menyebutkan bahwa campur kode merupakan percampuran dua bahasa yang disengaja tanpa membuat perubahan isi pesan yang berkaitan. Wardhaugh tidak memberikan rincian dan penjelasan tentang kriteria disengaja dan tidak disengaja dalam peristiwa alih kode.
36
Dalam penelitian ini, definisi alih kode dan campur kode mengacu definisi sebagai berikut. Alih kode adalah pemakaian secara bergantian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dalam bahasa yang sama, atau beberapa gaya bahasa dalam masyarakat tutur bilingual (Hymes dalam Rahardi, 2001: 21). Sementara itu, Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 107) mendefinisikan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Appel (dalam Pateda, 1987: 86) mengemukakan lima faktor yang menyebabkan peralihan kode, yaitu (1) siapa yang berbicara dan pendengar, (2) pokok pembicaraan, (3) konteks verbal, (4) bagaimana bahasa dihasilkan, dan (5) lokasi. Misalnya, A dan B adalah dua orang mahasiswa dengan bahasa ibu yang sama, yaitu bahasa Sunda. Keduanya datang paling awal dan bercakap-cakap memakai bahasa Sunda, kecuali dalam membicarakan materi perkuliahan, keduanya memakai bahasa Indonesia, itu pun dilakukan dengan ragam santai. Ketika C yang berasal dari Sumatera datang, keduanya langsung berbahasa Indonesia ragam santai, begitu juga ketika teman-teman yang lain datang. Akan tetapi, ketika dosen masuk, percakapan hanya dilakukan dengan bahasa Indonesia ragam formal. Ilustrasi ini dapat menggambarkan peristiwa alih kode yang dilakukan oleh A dan B karena perubahan situasi tutur. Sementara itu, campur kode (code mixing) dapat didefinisikan sebagai pengambilan atau penyelipan unsur-unsur bahasa ketika memakai bahasa tertentu (Sumarsono, 2009: 202). Peristiwa campur kode dapat disamakan dengan interferensi, misalnya ketika seseorang berbahasa Bali, ia memasukkan unsurunsur bahasa Indonesia, atau seseorang yang memakai bahasa Indonesia
37
memasukkan unsur-unsur bahasa Inggris. Unsur-unsur yang diambil dari bahasa lain itu umumnya berupa kata, tetapi dapat juga berupa kelompok kata atau frasa. Jika wujud pengambilan unsur itu berupa kata, gejala itu bisa disebut peminjaman. Jadi, dapat disimpulkan bahwa perbedaan mendasar antara alih kode dan campur kode adalah ada tidaknya tujuan atau keperluan yang ingin dicapai oleh penutur.
1.7 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian sosiolinguistik yang mencoba mengkaji bahasa dalam hubungannya dengan aspek-aspek kemasyarakatan (Chaer dan Agustina, 2004: 3). Sumber data penelitian ini adalah berbagai peristiwa tutur yang terjadi dalam masyarakat tutur Desa Sako Kecamatan Pangean Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau. Kombinasi masyarakat Desa Sako yang terdiri atas berbagai etnik melahirkan masyarakat yang multilingual. Wujud interaksi yang terjadi dalam masyarakat multilingual itu dapat dilihat dalam berbagai berbagai peristiwa tutur. Oleh karena itu populasi penelitian ini adalah semua peristiwa tutur yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Desa Sako yang tersebar di tiga dusun yakni dusun I, dusun II, dan dusun III. Sampel penelitian ini adalah peristiwa-peristiwa tutur yang dapat mewakili berbagai ranah. Berkaitan dengan data penelitian, berbagai peristiwa tutur tersebut dijadikan sebagai data utama untuk mengetahui kondisi kebahasaan masyarakat Desa Sako. Di samping itu, data dalam penelitian ini juga diambil dengan metode cakap atau wawancara. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan tiga tahap
38
pelaksanaan penelitian sebagaimana yang dikemukakan oleh Sudaryanto (1993: 5) yakni: (1) tahap penyediaan atau pengumpulan data; (2) tahap analisis data; dan (3) tahap penyajian hasil analisis data. 1.7.1 Pengumpulan Data Pelaksanaan penelitian ini diawali dengan mengumpulkan data di lapangan, yaitu berbagai peristiwa tutur yang terjadi dalam berbagai ranah dalam masyarakat Desa Sako. Data dikumpulkan dengan metode simak dan metode cakap sebagaimana yang dikemukakan oleh Mahsun (2012: 242). Metode simak dilakukan untuk menyimak pemakaian bahasa berupa peristiwa-peristiwa tutur yang terjadi dalam kehidupan masyarakat multietnik di Desa Sako. Karena penelitian ini berusaha mendapatkan data yang sesuai dengan situasi sebenarnya dengan konteks yang lengkap, teknik lanjutan yang dipakai adalah teknik simak bebas libat cakap. Dalam hal ini, peneliti hanya berperan sebagai pengamat, tanpa terlibat secara langsung dalam peristiwa tutur. Pengamatan yang dilakukan juga disertai dengan merekam dan mencatat hal-hal yang relevan seperti perilaku partisipan dalam peristiwa tutur. Pencatatan hal-hal yang relevan ini juga merupakan pelaksanaan teknik lanjutan dari metode simak, yakni teknik catat. Dalam pelaksanaannya, data-data yang dikumpulkan dituliskan ke dalam lembar pengamatan, seperti yang terlihat pada gambar 1 berikut ini.
39
Gambar 1. Contoh Lembar Pengamatan Peristiwa Tutur ... Ranah Kode Tutur Lokasi Partisipan A B A B
: : : :
: ........................ : ........................ : ........................ : ........................ Data pemilihan kode tutur ......
Dengan memperhatikan lembar pengamatan di atas, data-data berupa berbagai peristiwa tutur juga yang dikumpulkan dilengkapi dengan nomor data peristiwa tutur, ranah dan lokasi terjadinya peristiwa tutur, dan partisipan yang terlibat dalam peristiwa tutur yang meliputi informasi jenis kelamin dan usia. Penyertaan informasi-informasi tersebut dilakukan untuk memudahkan dalam proses pengklasifikasian data. Data berupa berbagai peristiwa tutur dalam bahasa Melayu Kuantan, Jawa, Minangkabau, dan Batak yang telah dituliskan ke dalam lembar pengamatan, kemudian divalidasi dengan cara mengecek kembali kepada penutur asli keempat kode tutur tersebut. Adapun pengumpulan data dengan metode cakap dilakukan dengan melakukan wawancara dengan para penutur yang ada di Desa Sako. Wawancara tersebut bertujuan untuk mendukung data-data yang telah dikumpulkan lewat metode simak. Data-data yang terkumpul kemudian diklasifikasikan berdasarkan rumusan masalah, untuk kemudian dianalisis.
40
1.7.2 Analisis Data Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan bentuk analisis kualitatif yang analisis datanya dilakukan secara bersamaan dengan kegiatan pengumpulan
data.
Dalam
hal
ini,
analisis
yang
dilakukan
berupa
pengklasifikasian data yang sesuai dengan rumusan masalah. Analisis data juga dilakukan setelah kegiatan pengumpulan data selesai dilakukan. Kegiatan analisis data yang dilakukan adalah analisis deskriptif kualitatif yang berusaha memerikan fenomena kebahasaan yang terjadi dalam masyarakat multietnik di daerah penelitian. Data-data berupa berbagai peristiwa tutur yang telah dikumpulkan dan diklasifikasikan berdasarkan ranah-ranah pemakaian bahasa, kemudian dianalisis dengan metode komparatif konstan atau yang dikenal dengan metode padan (Mahsun, 2012: 259). Metode padan adalah metode analisis yang menghubungbandingkan antarunsur lingual (padan intralingual) atau antara unsur lingual dengan unsur ekstralingual (padan ekstralingual). Dalam penelitian ini, metode padan yang dipakai untuk menganalisis data berupa berbagai peristiwa tutur dalam masyarakat multietnik Desa Sako adalah metode padan ekstralingual karena tuturan-tuturan yang diamati dihubungkan dengan konteks sosial. Namun demikian, dalam penelitian ini juga tidak mengabaikan metode padan intralingual. Metode padan intralingual dipakai untuk menganalisis data yang berkaitan dengan alih kode dan campur kode.
41
1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Penyajian hasil analisis data dilakukan sejalan dengan dilakukannya analisis data. Dalam penelitian ini, analisis data disajikan secara formal dan informal sebagaimana yang diungkapkan oleh Sudaryanto (1993:145). Penyajian data secara formal adalah penyajian hasil analisis dengan memakai gambar, tabel, grafik, dan sebagainya. Sementara itu, penyajian hasil analisis secara informal adalah penyajian hasil analisis data memakai kata-kata. Lebih lanjut mengenai penyajian hasil analisis dapat diperhatikan pada bagian sistematika penyajian.
1.8 Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini akan disajikan dalam lima bab, masing-masing bab tersebut dapat diuraikan sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi deskripsi situasi kebahasaan masyarakat multietnik Desa Sako Kecamatan yang meliputi gambaran historis, gambaran sosial-budaya, dan situasi kebahasaan. Bab III berisi deskripsi pola-pola pemilihan kode tutur dalam masyarakat multietnik Desa Sako. Bab IV berisi deskripsi peristiwa alih kode dan campur kode dalam masyarakat multietnik Desa Sako. Bab V berisi deskripsi faktor-faktor penentu pemilihan kode tutur. Bab VI berisi kesimpulan dan saran.