BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Surabaya sebagai kota metropolis kedua dengan keragaman sosialbudaya yang lahir dan hidup di dalamnya, sehingga menjadi kota dengan aneka wajah. Selain itu, Surabaya dikenal juga sebagai kota industri, kota seribu taman, kota pahlawan maupun kota yang memiliki 6 titik lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara. Adapun 6 (enam) titik tersebut diantaranya Ndolly, Kermil-Tambak Asri, Bangunsari, Klakah Rejo, Sememi Jaya (Moroseneng), dan Jarak (Putat Jaya). „Gang Ndolly‟ yang dikenal sebagai lokalisasi terbesar baik di Surabaya maupun Asia Tenggara. Jika merunut sejarah, maka hadirnya Ndolly bukan sekedar warisan sejarah sejak zaman penjajahan, melainkan menyimpan banyak sudut pandang di antaranya patologi sosio-biologis, gender, pasar seksualitas yang mengarah pada kapitalisasi prostitusi, terlebih masuk dalam persoalan ekonomi. Dan sejarah industri seks di Surabaya sangat unik. Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta dan sebagai jalur perdagangan Indonesia Timur, Surabaya pada saat penjajahan Belanda berkembang sebagai kota Pelabuhan terkemuka, pangkalan angkatan laut, pangkalan para tentara garnisun dan sebagai daerah tujuan akhir lintasan kereta api. Akibat dari perkembangan
kota ini, pada abad ke-19 Surabaya menjadi terkenal karena aktivitas pelacurannya.1 Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar (1982) menuliskan bahwa konon pertumbuhan sebuah kota selalu diawali dengan pelacuran. Konon singgahnya para pelaut bahari bukan untuk urusan bisnis saja, tetapi juga mencari pengalaman seksualdi daerah yang disinggahinya. Makin asyik pengalaman yang diperoleh, makin sering pula para pelaut singgah. Sehingga kemudian menumbuhkan suatu kota dengan segala perlengkapannya. Pendapat ini bisa dibuktikan dengan melihat bahwa pada mulanya para pelacur beroperasi di daerah pesisir. Sejarah Bangunrejo di Surabaya, Kramat Tunggak di Jakarta dan lain-lainnya tampak membenarkan premis tersebut.2 Krembangan merupakan salah satu kecamatan di Surabaya bagian Utara, wilayahnya meliputi wilayah daratan dan wilayah perairan. Secara administrasi di bawah kecamatan Krembangan terdiri dari 5 kelurahan, 48 RW dan 393 RT. Lima kelurahan yang masuk dalam Krembangan adalah Krembangan Selatan, Kemayoran, Perak Barat, Dupak dan Morokrembangan. Untuk wilayah yang termasuk dalam kawasan pesisir hanya seluas 806,80 Ha yang meliputi 2 (dua) kelurahan yaitu Kelurahan Morokrembangan dan Kelurahan Perak Barat. Karena lokalisasinya berdekatan dengan pelabuhan Tanjung Perak, sehingga tidak dipungkiri jika lahirnya lokalisasi pekerja seks komersial (PSK) Bangunsari-Bangunrejo Kelurahan Dupak yang sudah ada 1
Hull, Terence H., Endang Sulistyaningsih dan Gavin W. Jones, Pelacuran di Indonesia : sejarah dan Perkembangannya, 1997, Jakarta : PT Penerbit Swadaya, hal 7. 2
Purnomo, Tjahjo, Wijadi dan ashadi Siregar, DOLLY : Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, 1982, Surabaya : Universitas Airlangga, hal 8.
sejak tahun 1960-an dan menjadi sangat ramai pada tahun 1970-1980-an. Kemudian disusul dengan Lokalisasi PSK Kermil-Tambak Asri Kelurahan Morokrembangan. Tahun 2009 sampai sebelum penutupan lokalisasi Bangunsari, kondisi keberadaan Lokalisasi PSK Bangunsari sudah tidak layak dan butuh segera dialihfungsikan, dengan alasan sebagai berikut (Sumber: Arsip PCM Krembangan) : a) Jumlah Rumah Tangga dengan Rumah Bordil/panti pijat/kafe/tempat hiburan sudah tidak sebanding, dengan prosentase 95 persen Rumah Tangga dan 0,5 persen rumah bordil/panti pijat/kafe/tempat hiburan. Jumlah 605 rumah tangga dan 82 rumah bordil. b) Keberadaan tempat Ibadah (Bangunsari & Bangunrejo) yang terus bertambah, dengan rincian berikut : Masjid 3 buah (Masjid Nurul Fattah, Masjid Nurul Hidayah dan Masjid At-Taqwa), Musholla + 25 buah dan Gereja 1 buah c) Semakin banyaknya Sekolah atau Lembaga Pendidikan, dengan rincian berikut : SD/SMP Muhammadiyah 11, SMP Tunas Buana, TK „Aisyiyah, SD/TK ABA Muchsin dll. Taman Pendidikan Islam dan Al-Quran yang menjamur di setiap masjid dan Musholla. Dengan jumlah 15 lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Kondisi serupa juga ditemui di lokalisasi Kermil-Tambak Asri dan Morokrembangan semakin berkurang. Adapun data penurunan jumlah PSK sebagai berikut :
-
Tahun 1974, jumlah PSK : 4.000 Orang
-
Tahun 1998, Germo : 180 Orang, PSK : 1.080 Orang
-
Tahun 2009, Germo : 86 orang, PSK : 302 orang
-
Tahun 2010, Germo : 86 orang, PSK : 282 orang
-
Tahun 2011, Germo : 64 orang, PSK : 264 orang
-
Rumah Hiburan 10 rumah, Bilyard 2 Rumah, Hotel Shortime : 6 rumah
-
Tahun 2012 - Agustus PSK Bangunsari : 213, PSK Kermil : 382. Isu terkait rencana penutupan lokalisasi di Surabaya sudah lama, hingga
berganti-ganti Walikota. Tarik ulur kebijakan tersebut tidak lepas dari campur tangan pihak-pihak tertentu yang berkepentingan di dalamnya. Yakni kepentingan ekonomi, bagi pihak yang pro-penutupan salah satu dalihnya bahwa pelacuran sebagai penyakit sosial dan lumbungnya maksiat sehingga kerugiannya lebih banyak daripada untungnya, dan terkadang tanpa solusi yang solutif atas keberlanjutan nasib para PSK (pekerja seks komersial), mucikari maupun pelaku lainnya di dalam lokalisasi. Sementara bagi yang kontra dengan penutupan lokalisasi adalah dalam rangka mengawetkan kapitalisasi industri seks bagi pihak-pihak tertentu, alasannya jelas bahwa perputaran uang di lokalisasi sangat besar. Namun terkadang dalih yang digunakan adalah kebijakan yang tidak manusiawi jika tanpa ada konversi secara material oleh pemerintah atas penutupan tersebut kepada seluruh stakeholder di dalam lokalisasi tersebut. Dilematisnya pengambilan keputusan tersebut adalah banyaknya PSK di semua titik lokalisasi Surabaya jika para pelaku industri seks tersebut dipisahkan dari perkerjaan untuk melacurkan diri,
maka mereka darimana mengais rezeki, terlebih jika Pemkot Surabaya belum menyediakan lapangan pekerjaan untuk mereka. Sementara itu, prostitusi dari kacamata moral merupakan patologi sosial dan nihilnya moralitas dari sisi agama (karena institusi perzinahan) belum lagi terkait efeknya bagi tumbuh kembang anak-anak yang berada di sekitar wilayah lokalisasi, maka secara tegas berargumen harus dibasmi. Sehingga dua alasan tersebutlah yang menjadikan kebijakan penutupan lokalisasi hanya sekedar isapan jempol belaka. Pertengahan tahun 2012, gencarnya isu kebijakan penutupan lokalisasi di Surabaya dipicu oleh terkuaknya kasus penjualan anak (trafficking) disertai transaksi seksual yang dilakukan oleh siswa SMP/SMA, dan lebih parahnya pelaku adalah teman si korban. Pelaku trafficking dalam kasus tersebut merupakan subyek-subyek yang ada hubungannya dengan lokalisasi. Di antaranya pernah tinggal di lingkungan lokalisasi, anak dari salah satu PSK maupun germo/mucikari. Setelah dilakukan penyelidikan mendalam oleh aparat, beberapa kasus berikutnya juga dengan pola yang sama. Sehingga hal tersebut menjadi salah satu pemicu dicetuskannya kebijakan penutupan lokalisasi di Surabaya. Hal tersebut dipaparkan oleh Walikota Surabaya Tri Risma Harini dalam sebuah reality show di salah satu stasiun televisi swasta dalam negeri terkait fenomena kebijakan penutupan lokalisasi. Sekitar bulan Desember 2012, Pemkot Surabaya melakukan eksekusi kebijakan penutupan lokalisasi secara bergilir, diantaranya lokasi Dupak Bangunsari, Tambak Asri atau Kremil dan Klakah Rejo. Sehingga efek dari kebijakan tersebut Pemkot
Surabaya memiliki tugas lanjutan dalam rangka upaya „memberi makan‟ warganya yang harus terpaksa beralih profesi dari PSK. Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Krembangan merupakan representasi Muhammadiyah sebagai salah satu ormas terbesar di Indonesia, yang secara geografis berada di 2 Kompleks lokalisasi PSK yaitu di Bangunsari Kelurahan Dupak dan Tambak Asri Kelurahan Morokrembangan memberikan warna dalam gerakan dakwahnya. Keberadaan PSK menjadi alasan untuk semakin didekati oleh PCM Krembangan dalam rangka dakwah. Yang mana sesuai dengan prinsip Dakwah bil Hikmah (menyampaikan dakwah dengan cara yang arif bijaksana), yaitu melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga obyek dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan/tekanan maupun konflik. Berbasis spirit teologi al-Ma‟un, sebagai basis cita rasa dari setiap program kerja di setiap bidang-bidangnya senantiasa melibatkan para PSK di lingkungan PCM Krembangan baik sebelum maupun penutupan lokalisasi. Kegiatan-kegiatan yang melibatkan para PSK diantaranya berupa pengajian rutin untuk para PSK, pembinaan anak-anak di lingkungan lokalisasi dalam rangka pembentengan mental mereka mengingat kondisi yang tidak sehat untuk tumbah kembang anak di bawah umur. Perjuangan PCM Krembangan dalam lokalisasi bukan sebagai pemain tunggal, ada juga Pimpinan Cabang Nahdlotul Ulama (PCNU) yang ikut andil terutama dalam penempatan da‟ida‟i khusus yang berdakwah di lokalisasi maupun upaya solidaritas sosial
lainnya dalam upaya pembinaan maupun pemberdayaan para PSK untuk misi dakwah kemanusiaan dari masing-masing lembaga tersalurkan. Pasca kebijakan penutupan lokalisasi tersebut, Pemkot Surabaya memulangkan para PSK ke kampung halaman masing-masing disertai pemberian insentif sekitar 3-4 juta per orang. Namun ada juga fasilitas bagi mantan PSK yang tidak kembali ke kampung akan mendapatkan pelatihan ketrampilan dan fasilitas usaha dari Dinas Sosial (Dinsos) Kota Surabaya. Diantaranya pelatihan tata boga dan pelatihan ketrampilan menjahit. Sekilas program ini kelihatan menggairahkan bagi para mantan PSK, terutama bagi mereka yang dengan sadar berkenan untuk beralih profesi. Namun program tetaplah program, terbukti pasca pelatihan dan dibentukkan kelompokkelompok usaha tidak ada upaya tindak lanjut baik atas nama Dinsos maupun Pemkot Surabaya dalam mengawal keberlangsungan usaha para mantan PSK.. Bertolak dari kondisi tersebut, PCM Krembangan bergeliat menjadikan momentum
tersebut
dalam
mengimplementasikan
dakwah
sosial
keagamaannya dengan berbekal spirit „Tauhid Sosial dalam al-Maun‟3
3
spirit gerakan sosial keagamaan Muhammadiyah yang bukan hanya terjebak dalam urusan ubudiyah saja. Artinya ada transformasi kepatuhan beragama dalam implementasi perilaku bersosial (sehari-hari) sbg eksternalisasi maupun universalisasi ajaran agama. Kutukan sebagai pendusta agama ditujukan kepada individu, kelompok dan sistem yang apatis dan tidak memiliki solidaritas sosial atas kaum mustadh‟afin. Karakteristik yang mudah dikenali pada diri mereka adalah suka menghardik, menakut-nakuti, mengancam, menindas individu, kelompok, masyarakat dan negara “yatim” yang tidak berdaya secara sosial, ekonomi dan politik; mereka juga tidak peduli kepada kemiskinan dan pemiskinan; bahkan mereka sendiri pelaku pemiskinan dan penindasan atau kompradornya; melakukan “pembiaran” atas kemiskinan dan pemiskinan; serta tidak berdiri dalam posisi memihak kepada kaum dhuafa. 3 Hal inipun juga mancaman bagi kaum agamawan yang rajin shalat atau ibadah, namun acuh terhadap persoalan kemanusiaan di sekelilingnya, maka shalatnya mereka tidak akan menyelamatkan mereka dari api neraka. Oleh karena itu, perlawanan atas sistem yang rakus dan menindas hanya dapat muncul dari kesadaran keagamaan dan „shalat yang memihak‟, yakni shalat yang memihak keadilan dan demokrasi (hak setiap orang untuk bicara dan hak atas sarana-sarana kehidupan dan penghidupan). (Badhawy,2009:120) Bukan rahasia umum
Muhammadiyah. Usaha-usaha kongkrit yang dilakukan oleh para pimpinan cabang melalui pengadaan perekrutan, penggalangan investor untuk „urun‟ permodalan usaha bagi para mantan PSK. Serta upaya pembinaan dalam menggembleng ketrampilan para mantan PSK supaya mampu berdaya dengan usaha baru mereka. Sementara itu agenda pembinaan religiusitasnya yang sudah dilaksanakan sebelum penutupan lokalisasi juga tetap dilaksanakan. Diantaranya pengajian rutin, konseling dan penyuluhan HIV/AIDS, maupun kegiatan ramadhan bersama PSK. Adapun pembagian tugasnya dibagi menurut teritorial pimpinan ranting Muhammadiyah di bawah PCM Krembangan, sehingga hubungan kedekakatan dengan mitra binaan mantan PSK lebih mudah dijalin agar upaya pemberdayaan berjalan optimal. Berikut landasan ideologis dan fungsional „keshalihan sosial‟ yang diaplikasikan oleh Muhammadiyah melalui amal usahanya, sebagaimana termaktub dalam Surat al-Ma‟un ayat 1-7 :
1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
lagi jika dari pemahaman teologi Al-Maun Muhammadiyah maka termanifestasikannya lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah, Rumah Sakit maupun Pusat Kesehatan Umat (PKU), Panti Asuhan maupun Swalayan serta amal usaha lainnya. Usaha-usaha tersebut tiada lain dengan misi mewujudkan masyarakat Islam yang sebenr-benarnya untuk baldatun thoyyibatun wa Rabbun ghofur (Negeri yang aman sentosa).
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim, 3. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. 4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, 5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, 6. Orang-orang yang berbuat riya4, 7. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna 5.
Tha‟am dari kosakata bahasa Arab yang berarti sesuatu yang dimakan, dipergunakan pula untuk arti minum (al-Baqarah (2): 249). Dengan demikian, kata ini merujuk pada aktivitas makan dan minum untuk memenuhi kebutuhan jasmani. Ungkapan tersebut dapat dipahami dengan makna lebih luas, yakni secara konseptual pemakaiannya dapat berguna untuk menggugah kesadaran manusia khususnya orang mukmin dalam memperdulikan nasib orang-orang melarat (arraiyah, 2007:46). Di lain pihak M. Quraish Shihab (2007:379) menyatakan bahwa “memberi makan” hendaknya dipahami bukan sekedar memberi pangan, namun juga pemberian bantuan yang lainnya. Hal ini dipahami atas dasar kedudukan manusia yang terikat dengan tali persaudaraan sehingga perlu saling membantu. Dan redaksi Ma‟un yang berarti barang berguna, disini dimaknai lebih dalam dengan pemberian yang produktif, bukan konsumtif. Sehingga hal inilah yang selaras dengan pola pemberdayaan dalam rangka memandirikan maupun memberikan ketahan baik secara mental (keyakinan dan religiusitasnya) maupun secara sosial-ekonominya.6
4
Riya ialah melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat. 5 Sebagian mufassirin mengartikan: enggan membayar zakat 6 Fadhilah, Ana, Analisis Pemberdayaan Ibu Rumah Tangga Muslimah Anggota Pengajian AnNaml Dalam Usaha Pengolahan Makanan Di Kelurahan Giwangan Kecamatan Umbulharjo Kota Yogyakarta Tahun 2013, 2013, Yogyakarta : UGM, hal 5.
Al-Ma‟un
menjadi
landasan
filosofis
dan
fungsional
dari
Muhammadiyah (dalam hal ini melalui PCM Krembangan) karena PSK disini dimaknai sebagai kaum Mustadh‟afin (kaum lemah) baik secara iman maupun modal. Sehingga dalam rangka melepaskan predikat pendusta agama, perlu ada upaya kongkrit dalam memaknai iman dalam ranah sosial. Adapun berderma berupa program pemberdayaan yang dilakukan oleh PCM Krembangan terhadap para PSK maupun mantan PSK supaya mandiri (baik secara mental dan ekonomi) merupakan bentuk nyata dari keshalehan sosial. Dalam hal ini atas nama kaun Muslim yang mengaku beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Artinya selain kewajiban pribadi atas nama hamba kepada Sang Penciptanya, seorang Muslim yang taat akan otomatis terbebani dengan tanggungjawab sosial. Tafsir 8 ashnaf (pihak-pihak yang berhak menerima zakat) yang termaktub dalam surat at-Taubah ayat 60 kontemporer, PSK dalam hal ini lebih tepat masuk dalam kategori Riqab (budak atau hamba sahaya), yakni mereka yang tidak memperoleh penghasilan memadai untuk menebus dirinya sendiri kepada majikannya meski ia telah bekerja keras dengan segala daya (al-mukatabun). Meskipun sistem perbudakan sudah dihapuskan, praktekprakteknya secara terselubung masih terus hidup hingga sekarang. Karena kebutuhan zaman dan tingkat kompleksitas perbudakan kontemporer, definisi riqab perlu diperluas meliputi mereka yang menjadi korban trafficking, termasuk kaum perempuan untuk dieksploitasi yang tiada lain yakni pekerja seks komersial (PSK), maupun kejahatan lainnya.
Sehingga jelas sekali dalam surat al-Ma‟un, melalui perintah untuk membantu dengan barang-barang yang berguna, disini mengandung makna eksplisit maupun implisit supaya dalam menolong saudaranya yang kekurangan, dianjurkan untuk didedikasikan berupa barang produktif (misal modal usaha, peralatan usaha dkk) maupun program-program pemberdayaan bagi kaum yang tuna-pendidikan, tuna-skill maupun tuna-kapital. Dan alMa‟un menjadi landasan spirit keberpihakan Muhammadiyah (dalam hal ini PCM
Krembangan)
terhadap
kaum-kaum
lemah
melalui
upaya
memberdayakan para mantan PSK sebagai mitra binaan dalam usaha ekonomi maupun religiusitasnya. Pasca program awalan Pemkot Surabaya melalui uang pesangon dan pembekalan ketrampilan hanya sedikit menyisakan mantan PSK yang kuat secara ekonomi. Sehingga tidak dipungkiri mengharuskan mereka kreatif dalam memutar kebutuhan dan mencari variasi sumber pendapatan. Bahkan dikhawatirkan para PSK dari Bangunsari berpindah tempat dalam melanjutkan profesinya sebagai PSK, baik di lokalisasi lain maupun di tempat-tempat yang „liar‟. Dan kemungkinan terburuk lainnya adalah bagi mantan PSK yang secara sembunyi-sembunyi masih melakukan profesi lama mereka dalam rangka mempertahankan diri. Sehingga butuh evaluator kritis dalam mengevaluasi
kebijakan
pemkot
Surabaya
termasuk
pengawalan
kebijakannya. Campur tangan ormas Islam seperti Muhammadiyah melalui PCM Krembangan menjadi alternatif fasilitator bagi para manta PSK menggeser
„kealphaan‟ pemerintah dalam upaya rehabilitasi sosial dan ekonomi melalui upaya pemberdayaan ekonomi. Sehingga tepat ketika Muhammadiyah menggunakan spirit al-Ma‟un dalam upaya keberpihakannya terhadap kaum Mustadh‟afin. Kurang lebih selama 2 (dua) tahun ini (dari tahun 2012 sampai 2014) merupakan rentang waktu yang tidak sebentar, artinya program pemberdayaan yang dilakukan oleh PCM Krembangan sudah bisa dievaluasi. Dalam melakukan pembinaan dan pendampingan kepada mantan PSK, sehingga mampu mengantarkan dari masing-masing usaha mantan PSK berdaya, mandiri dan sustainable. Sedangkan isu terbaru akhir-akhir ini adalah terkait rencana penutupan gang Ndolly, sebagai lokalisasi terbesar di Surabaya sebagai titik temu kesepakatan antara Pemkot Surabaya dengan Pemprov Jawa Timur. Di media massa baik cetak maupun elektronik santer diberitakan bahwa tanggal 19 Juni 2014 resmi penutupan lokalisasi yang berada di daerah Putat Jaya itu akan direalisasikan, walaupun tidak dipungkiri tarik ulur opini pro-kontra hadir dalam iktikad pemerintah dalam memerangi patologi sosial tersebut. Menjelang penutupan lokalisasi Ndolly, baik Pemkot Surabaya maupun Pemprov Jatim telah gencar mengadakan pelatihan ketrampilan kepada para PSK, dan mempersiapkan uang pesangon seperti halnya saat penutupan lokalisasi Dupak Bangunsari dan Tambak Asri. Berharap penutupan lokalisasi Ndolly ini akan berhasil seperti di daerah Krembangan, maka tidak salah ketika alternatif pemberdayaan yang dilakukan oleh civil society seperti PCM
Krembangan menjadi prototype percontohan dalam stabilisasi perekonomian keluarga bagi mantan PSK setempat. Melalui penelitian ini, penulis bermaksud menspesifikasikan penelitian ini pada lokalisasi yang sudah ditutup, khususnya di daerah Dupak Bangunsari dan Tambak Asri Surabaya yang menjadi salah satu lahan garapan pemberdayaan PCM Krembangan. Arah penelitiannya diarahkan pada studi efektivitas pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh PCM Krembangan terhadap mantan PSK. Dalam hal ini yang penulis memposisikan PCM Krembangan sebagai subyek (agen) yang memberikan intervensi kepada obyek yakni mantan PSK yang menjadi mitra pemberdayaan PCM Krembangan. Dengan melihat program-program pemberdayaan dan progres usaha baik melalui pendapatan, ketahanan ekonomi dan perkembangan religisutas (perilaku kebergamaan) para mantan PSK yang diintervensikan oleh PCM Krembangan. Sehingga diproyeksikan dapat melihat juga daya survavilitas (daya tahan) para mantan PSK dengan adanya peralihan profesi dari PSK ke profesi baru mereka dengan konversi-konersi materi dan non materi.
1.2.Rumusan Masalah Kurang lebih selama 1 tahun PCM Krembangan melakukan pemberdayaan ekonomi terhadap mantan PSK pasca penutupan lokalisasi Bangunsari dan Tambak Asri. Rentang waktu tersebut masih terbilang muda untuk misi besar dari program pemberdayaan PCM Krembangan, karena
hasilnya belum dapat diamati secara menyeluruh. Tetapi yang perlu dianalisa dalam pola pembinaan dan pendampingan baik di Bangunsari maupun Tambak Asri adalah apakah sudah optimal dari kinerja PCM Krembangan serta program-program yang dilakukan sudah mampu dirasakan manfaatnya baik oleh para mantan PSK yang menjadi mitra binaan maupun warga sekitar melalui semarak kegiatan ekonomi yang halal. Berdasarkan alur tersebut, penulis mencoba untuk mencari jawaban atas rumusan masalah yaitu transformasi kondisi ekonomi yang lebih mandiri serta kualitas hidup mantan PSK sebagai salah satu indikator program pemberdayaan ekonomi PCM Krembangan sejalan dengan misi besar Muhammadiyah. Sehingga dalam penelitian ini perlu ada pertanyaan penelitian sebagai berikut seberapa jauh efektivitas pemberdayaan yang dilakukan oleh PCM Krembangan terhadap mantan PSK yang menjad mitra binaannya guna mendukung ketahanan ekonomi mereka pasca penutupan lokalisasi Dupak Bangunsari dan Tambak Asri Surabaya. 1.3.Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian adalah untuk menjawab hal-hal sebagai berikut: -
Menganalisis sejauh mana efektivitas pemberdayaan yang dilakukan oleh PCM krembangan terhadap para mantan PSK yang menjadi mitra binaan dalam mendukung ketahanan ekonomi pasca penutupan lokalisasi dukuh Bangunsari dan Tambak Asri Surabaya.
-
Menganalisis dampak yang ditimbulkan dari pemberdayaan terhadap mantan PSK yang menjadi mitra binaan PCM Krembangan baik terhadap kondisi perekonomian bagi pribadi mitra binaan, lingkungan sekitar serta dampak secara paradigmatik maupun perilaku keberagamaan (religiusitas) pihak-pihak yang menjadi obyek dalam program pemberdayaan tersebut.
1.4. Manfaat Penelitian -
Manfaat Teoritis : Dapat menjadi acuan teori model pemberdayaan dan ukuran efektivitas pemberdayaan yang sangat spesifik terhadap mantan PSK.
-
Manfaat Praktis : Dapat menjadi sumbang saran kepada Pemkot setempat dalam
rangka
mengalokasikan
seluruh
kekayaan
daerah
untuk
pembangunan termasuk dalam pemberdayaan bagi para mantan PSK, termasuk bagi daerah lain yang masih belum bisa menyelesaikan permasalahan terkait lokalisasi dan PSK. Serta mendayagunakan sumbersumber pendanaan dari para pemilik modal dan orang-orang kaya khususnya di Surabaya sebagai pemodal utama sebagai bentuk keterlibatan aktif dalam menuntaskan penyakit sosial atas kenyamanan berbisnis di Surabaya.
1.5.Keaslian Penelitian Pembahasan terkait model dan efektifitas pemberdayaan ekonomi khususnya bagi kaum perempuan dalam rangka mendukung ketahanan ekonomi keluarga telah banyak dibahas, maupun pembahasan terkait wanita tuna susia (dalam kajian ilmu sosial) sebagai karya ilmiah dalam pengkayaan khasanah pengetahuan. Supaya tidak terkesan repetitif dari penelitian sebelumnya, berikut penulis uraikan penelitian terdahulu dan beberapa poin yang membedakan dengan pembahasan dalam penelitian ini. Tentu saja muaranya dalam rangka memperdalam terkait persoalan di atas dan memberikan sumbangsih untuk pembangunan bangsa. Sebatas pengetahuan penulis, ada 1 (satu) penelitian yang secara spesifik mengangkat judul berkaitan dengan program rehabilitasi wanita tuna susila (WTS) melalui bimbingan sosial dan ketrampilan. Sementara itu ada 2 (dua) penelitian
yang secara spesifik
membahas
terkait
efektivitas
pemberdayaan ekonomi perempuan dalam meningkatkan kesejahteraan, termasuk 2 (dua) penelitian yang membahas terkait pemberdayaan dengan spesifikasi pemberdayaan mandiri oleh pihak non-pemerintah dan relevansi fak tor demografi dan sosial-ekonomi dalam pemberdayaan, dan 1 (satu) penelitian yang membahas terkait model pemberdayaan yang fokus dalam perspektif ekofeminisme. Dari beberapa penelitian di atas, terdapat perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, yakni :
1. Pada obyek pemberdayaan yang diteliti, yakni kaum perempuan yang beralih profesi dari pelacuran, dalam penelitian ini disebut mantan pekerja seks komersial (PSK). 2. Pada subyek yang melakukan pemberdayaan adalah Muhammadiyah melalui Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Krembangan Surabaya. 3. Pemberdayaan yang dilakukan bukan hanya dari segi ekonominya, melainkan diintegrasikan dengan pembinaan dari segi sosial dan keagamaan (religiusitas) 4. Ukuran tingkat efektivitas pemberdayaan yang dilakukan oleh PCM Krembangan. Satu hal lagi, nilai tambah dari penelitian ini adalah mengingat rentan waktu kebijakan penutupan lokalisasi di Kota Surabaya baru dimulai akhir tahun 2012. Sehingga berbagai kegiatan pelatihan yang dilakukan oleh Pemkot Surabaya melalui Dinsos yang ternyata tidak meninggalkan hasil produktif untuk kelangsungan hidup para mantan PSK menjadikan program pemberdayaan
yang
dilakukan
oleh
Muhammadiyah
melalui
PCM
Krembangan menjadi agen percontohan dalam keterlibatan aktifnya dalam mengentaskan kemiskinan (baik secara ekonomi maupun religiusitas) para mantan PSK sebagai mitra binaan PCM Krembangan. Sehingga dengan adanya penelitian ini menjadi dokumentasi awal dalam merekam dan mempublikasikan upaya yang dilakukan oleh civil society sebagai agen pemberdayaan di luar Pemerintahan yang serius dalam rangka memberantas patologi sosial (pelacuran) melalui pendampingan ekonomi dan keagamaan.
Diharapkan dengan adanya evaluasi efektivitas pemberdayaan yang dilakukan terhadap program PCM Krembangan mampu menjadikan refleksi untuk program-program pemberdayaan di masa yang akan datang. Dan luaran terbesar yang penulis harapkan dari hasil penelitian ini adalah adanya miniatur model pemberdayaan terhadap para mantan PSK oleh civil society, sehingga mereka bisa hidup mandiri dengan pekerjaan yang halal dan hidup normal seperti warga negara biasanya. Akhirnya tidak ada alasan lagi untuk mempertahankan adanya lokalisasi dimanapun berada khususnya di Surabaya sebagai basis prostitusi terbesar se-Asia tenggara hanya karena alasan ekonomi.