1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia, dimana setiap orang berhak atas
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal yang layak, mendapatkan lingkungan hidup yang baik, sehat dan berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pengertian kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.1 Kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus diwujudkan melalui berbagai upaya kesehatan dalam rangkaian pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu yang didukung oleh suatu sistem kesehatan nasional. Negara bertanggung jawab atas hal penyediaan pelayanan kesehatan. Terdapat berbagai macam penyediaan pelayanan kesehatan yang terbuka untuk umum, antara lain yaitu dokter praktek, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), klinik kesehatan, rumah sakit, rumah bersalin, bidan praktek, laboratorium kesehatan, mantra praktek, pengobatan masal dan psikolog atau psikiater praktek. Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung
1
Soekidjo Notoatmodjo, 2010, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, h.7.
1
2
penyelenggaraan upaya kesehatan. Pengertian rumah sakit sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (selanjutnya disebut UU Rumah Sakit) menyatakan: “rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggrakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat”. Rumah sakit sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan yang memberikan pertolongan pertama pada hakekatnya berfungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, memiliki makna yang merupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit mempunyai cirinya tersendiri dan organisasi yang sangat terstruktur sesuai dengan jenis rumah sakit tersebut.2 Rumah sakit terbagi menjadi beberapa jenis, berdasarkan jenis penyakit atau masalah kesehatan penderita, rumah sakit dibagi menjadi 2 yaitu: a.
Rumah Sakit Umum (RSU)
b.
Rumah Sakit Khusus
Selain rumah sakit berdasarkan jenis penyakit atau masalah kesehatan penderita terdapat pula rumah sakit berdasarkan kepemilikannya, antara lain: 1. Rumah sakit yang dikelola dan dimiliki oleh Departemen Kesehatan; 2. Rumah sakit yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah (RSUD), yaitu:
2
Ibid, h.156.
3
a.
Rumah Sakit Umum daerah Provinsi
b.
Rumah Sakit Umum daerah Kabupaten
3. Rumah sakit yang dikelola dan dimiliki oleh TNI dan POLRI, yaitu: a.
Rumah Sakit Angkatan Darat (RSAD)
b.
Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL)
c.
Rumah Sakit Angkatan Udara (RSAU)
d.
Rumah Sakit POLRI
4. Rumah sakit yang dikelola dan dimiliki oleh Departemen lain dan BUMN 5. Rumah Sakit Yang dikelola dan dimiliki swasta. 3 Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dirumah sakit tidak dapat terlapas dari adanya peranan tenaga medis. Hal ini disebabkan karena kebutuhan pasien yang mendatangi rumah sakit dengan tujuan meminta pertolongan pertama kepada tenaga medis, karena tenaga medis dianggap mampu untuk mengobati penyakit yang diderita oleh pasien. Yang merupakan tenaga medis sebagaimana diatur dalam UndangUndang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (selanjutnya disingkat UU Tenaga Kesehatan) pada Pasal 11 ayat (2) yang menyatakan: “Jenis tenaga kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis”. Maka dari itu penyelenggaraan pelayanan kesehatan dibidang medis tidak dapat dipisahkan dari adanya peranan
3
Ibid, h. 157.
4
seorang dokter, dalam hal ini pihak rumah sakit beserta dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dalam bidang perawatan kesehatan dan pasien dikenal sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Pengertian dokter sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut UU Praktik Kedokteran) pada Pasal 1 ayat (2) yaitu: “dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” Sebagai pekerjaan yang mulia, profesi dokter bukanlah profesi biasa seperti profesi-profesi lainnya. Sebelum seorang dokter menjalankan profesi kedokterannya maka ia diwajibkan untuk lulus pendidikan kedokteran dari lembaga-lembaga pendidikan yang telah disahkan sebelumnya oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Selain menjalankan pendidikan yang berat seorang dokter, tidak langsung dapat menjalankan prakteknya begitu saja, melainkan dokter tersebut harus wajib memiliki surat izin praktek yang dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang. Seiring dengan perkembangan zaman yang sangat pesat, maka turut sertanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan pada saat ini mengharuskan seorang dokter wajib mengikuti perkembangan yang ada dalam rangka pemberian pelayanan yang bermutu. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan, seperti halnya dalam metode perawatan membuat dokter
5
tidak dapat secara leluasa memberikan tindakan medis. Mengingat profesi dokter yang sangat mulia, tentu saja terdapat resiko-resiko besar yang dihadapi dalam menjalankan tugasnya. Secara tidak langsung hal tersebut membuat pengetahuan dan kesadaran masyarakat semakin tinggi akan berbagai permasalahan dalam bidang kesehatan. Akibat dari adanya perkembangan tersebut membuat permasalahan yang timbul dalam pelayanan kesehatan juga bertambah besar dan kemungkinan untuk melakukan kesalahan semakin besar. Dahulu jika terjadi sesuatu tindakan yang tidak terduga terhadap pasien, baik dalam hal diagnosis, terapeutik atau manajemen penyakit, yang dilakukan secara melanggar hukum, kepatutan, kesusilaan dan prinsip-prinsip professional, baik dilakukan dengan kesengajaan atau ketidak hati-hatian yang menyebabkan salah tindak, rasa sakit, luka, cacat, kerusakan pada tubuh dan jiwa, serta menyebabkan kematian, maka pasien atau pihak keluarga tidak pernah menuntut pihak dokter ataupun rumah sakit, karena hal tersebut dianggap sebagai takdir yang ditentukan oleh Tuhan. Akan tetapi pada saat ini sering timbul gugatan dari pasien atau masyarakat yang merasa dirugikan akibat kesalahan yang dilakukan oleh pihak dokter untuk menuntut ganti rugi. Sehingga munculah kasus-kasus tersebut di media cetak dan media elektronik serta berujung pada gugatan yang dilakukan oleh pasien. Tindakan tidak terduga yang dimaksud diatas merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh dokter. Pada istilah medis, tindak pidana yang dilakukan oleh dokter disebut dengan malpraktek. Malpraktek merupakan kesalahan dalam menjalankan profesi medik
6
yang tidak sesui dengan standar profesi medik dalam menjalankan profesinya. Malpraktek tersebut sudah tentu bukanlah hal yang diinginkan oleh dokter dan pasien. Meskipun hal tersebut tidak diinginkan, tetapi karena suatu hal kejadian malpraktek pun bisa terjadi kepada dokter manapun, baik itu karena kesengajaan atau kelalaian.4 Akibat yang ditimbulkan dari dugaan malpraktek tersebut membuat pihak dokter selalu disalahkan. Apabila kembali melihat pada hubungan antara dokter dan pasien, maka hubungan tersebut berdasarkan keadaan sosial budaya dan penyakit pasien, dimana menurut Stas dan Hollender (1956) dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1. Activity- Passivy Hubungan ini terjadi pada pasien yang keselamatan jiwa yang sedang terancam, sedang tidak sadar atau mengalami gangguan mental yang berat. 2. Guidance- Cooperation Adanya hubungan membimbing serta kerjasama yang dilakukan oleh dokter dengan pasien. Pada pola ini penyakit yang dialami oleh pasien biasanya tidak terlalu berat, seperti misalnya infeksi baru yang dialami oleh pasien. Dalam hal ini pasien tetap sadar mengobati penyakit yang dideritanya. 3. Mutual Participation Pada pola hubungan ini dokter dan pasien memiliki kedudukan yang sederajat. Pasien memiliki peran aktif untuk memelihara kesehatannya, misalnya dengan melakukan medical check up.5 Meskipun aturan dalam menjalankan praktek kedokteran telah diatur secara jelas dalam UU Praktik Kedokteran, tetapi masih seringnya ditemui kesalahan-
4
5
J. Guwandi, 2005, Hukum Medik (Medical Law), Balai Penerbit FKUI, Jakarta, h.20..
Soflan Dahlan dan Eko Soponyono, 1994, Hukum Kedokteran, Universitas Diponogoro, Semarang, h.1.
7
kesalahan dalam pemberian pelayanan kesahatan. Menurut UU Rumah Sakit Bab VIII mengenai Hak dan Kewajiban bagian Kesatu tentang kewajiban Rumah Sakit pada Pasal 29 ayat (1) huruf S UU Rumah Sakit menyatakan: “Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas rumah sakit dalam melaksanakan tugas”. Pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Bab XXI Menyebabkan Mati Atau Luka-Luka Karena Kealpaan dalam Pasal 359 KUHP dan Pasal 360 KUHP yang membahas tentang kejahatan karena keselahan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian diatur dalam Pasal 361 KUHP yang menyebutkan “jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan”. Salah satu kasus yang merupakan dugaan malpraktek yang dilakukan oleh dokter di rumah sakit yang terjadi dimasyarakat yaitu sesuai dengan Putusan Nomor 455 K/Pid/2010 dimana duduk perkaranya adalah dokter Taufik Wahyudi spesialis kandungan yang bekerja dirumah sakit Kesdam Iskandar Muda Tingkat III Banda Aceh (selanjutnya disingkat rumah sakit A) pada pukul 21.00 di tahun 2007, memberikan tindakan Operasi Caesar terhadap proses persalinan terhadap korban yang bernama Rita Yanti Binti (Alm), setelah selesai melaksanakan operasi tersebut, pada tanggal 06 Desember 2008 pasien mengalami rasa sakit pada bekas jahitannya, maka dengan sikap cepat pasien melakukan pemeriksaan ke rumah sakit umun
8
Zainoel Abidin (selanjutnya disingkat rumah sakit B) dan pemeriksaan dilakukan oleh dokter Radjudin dan ditemukannya benda asing di dalam perut korban akibat bekas Operasi Caesar yang dilakukan oleh dokter di rumah sakit A. selain itu pasien pun bekonsultasi dengan dokter Andalas yang berada di rumah sakit B, hasil pemeriksaan pun menyatakan bahwa pasien mengalami infeksi pada bekas operasiyag dilakukan oleh dokter di rumah sakit A. Dokter Andalas melakukan operasi ulang pada pasien dan menemukan kain kasa sepanjang kurang lebih 20 cm. Dengan adanya kejadian seperti ini pasien pun akhinya meninggal dunia karena terlalu banyaknya infeksi yang terjadi di dalam perutnya, maka dari itu dengan adanya kejadian seperti ini terjadilah tuntutan yang diajukan oleh pihak keluarga kepada dokter yang melakukan Operasi Caesar awal dirumah sakit A.6 Begitulah tindak pidana yang dilakukan oleh dokter dan terjadi di dalam masyarakat. Kurang terungkapnya perlindungan hukum oleh rumah sakit terhadap dokter yang melaksanakan profesi kedokterannya membuat sebagian dokter menjadi khawatir dan terancam, karena selalu dibayangi akan kesalahan medis terhadap pasien yang dirawatnya yang dapat berujung pada tindak pidana, pada UU Rumah Sakit khususnya Pasal 62 UU Rumah Sakit yang menyatakan hanya mengatur tentang pidana penyelenggaraan rumah sakit yang tidak memiliki izin. Pada dasarnya akibat dari kesalahan yang dilakukan oleh dokter tersebut mempunyai dampak sangat merugikan yang akan mengurangi kepercayaan pasien
6
Amir Ilyas, 2014,Pertanggungjawaban Pidana Dokter Dalam Malpraktek Medik Di Rumah Sakit, Rangkang Education, Yogyakarta, h. 187.
9
atau masyarakat terhadap pihak dokter dan pihak Rumah Sakit, serta menimbulkan kerugian pada pasien. Untuk itu dalam memahami ada atau tidaknya kesalahan pemberian tindakan pelayanan kesahatan yang dilakukan oleh dokter harus diperhatikan aspek hukum yang mendasari terjadinya hubungan antara pasien, dokter, dan rumah sakit. Maka dapat dikaji suatu permasalahan mengenai tanggung jawab rumah sakit secara pidana bagi dokter yang melakukan malpraktek dalam pelayanan kesehatan dan konsep hukum pidana terhadap dokter yang melakukan malpraktek di dalam
Rumah
Sakit
dengan
mengambil
judul
penelitian
“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA OLEH RUMAH SAKIT TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN MALPRAKTEK”
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat di tarik permasalahan
sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana oleh rumah sakit terhadap dokter yang melakukan malprktek dalam pelayanan kesehatan ? 2. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap dokter yang melakukan malpraktek di rumah sakit ?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Membahas permasalahan-permasalahan tersebut di atas, diperlukan adanya
batasan-batasan tertentu dalam ruang lingkup masalah. Hal ini dimaksud agar
10
pembahasan menjadi terarah dan tidak menyimpang dari pokok permasalahan. Ruang lingkup dari permasalahan ini adalah mengenai kebijakan hukum pidana terhadap dokter yang melakukan malpraktek di rumah sakit. Selain itu pasal-pasal yang mengatur mengenai pertanggungjawaban rumah sakit yang diatur dalam KUHP, Undang-Undang Rumah Sakit, dan Undang-Undang Praktik Kedokteran. Terkait dengan permasalahan kedua yang akan dibahas adalah mengenai kesalahan dokter dalam pelayanan kesehatan, tanggung jawab rumah sakit terhadap dokter dalam pelayanan kesehatan. Membahas uraian-uraian di atas, maka dapat diketahui jawaban dari permasalahan pertama sekaligus dapat menjawab dan membahas mengenai permasalahan kedua. Jika dalam uraian selanjutnya di singgung hal-hal lain di luar ruang lingkup masalah ini, maka hal tersebut hanyalah sebagai pelengkap dan sebagai upaya untuk memperjelas uraian guna lebih sempurnanya karya tulisan ini.
1.4
Tujuan Penelitian Setiap penulisan karya ilmiah, tentu mempunyai suatu tujuan, baik dilihat dari
kumpulan data maupun dilihat dari manfaat yang dihasilkan. Adapun tujuan dari penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Tujuan Umum Tujuan
dari
penulisan
penelitian
ini
adalah
untuk
mengetahui
pertanggungjawaban rumah sakit secara pidana terhadap kesalahan dokter dalam pelayanan kesehatan.
11
b. Tujuan Khusus Berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penulisan penelitian ini, penelitian yang dilakukan untuk membahas permasalahan tersebut mempunya tujuan khusus: 1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap dokter yang melakukan malpraktek di rumah sakit. 2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban rumah sakit secara pidana bagi dokter yang melakukan malpraktek dalam pelayanan kesehatan.
1.5
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis Penulisan karya tulis ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan penelitian bagi lembaga Fakultas Hukum Universitas Udayana dan sebagai bahan referensi pada perpustakaan. b. Manfaat Praktis Penulisan karya tulis ini nantinya diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan dan solusi yang konkrit bagi para penegak hukum khususnya pihak rumah sakit dalam hal pertanggungjawaban terhadap para dokter dalam pelayanan kesehatan.
12
1.6
Landasan Teoritis Untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban pidana oleh
rumah sakit terhadap dokter yang melakukan malpraktek dalam pelayanan kesehatan, terlebih dahulu akan dikemukakan sekilas mengenai hal-hal yang berkaitan dan mendukung permasalahan yang akan di bahas selanjutnya dalam tulisan ini. a. Pengertian Pidana dan Tindak Pidana Istilah hukuman dan pidana memiliki arti yang berbeda, hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik itu pidana, perdata, administratif, dan disiplin. Istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.7 Hukum pidana menurut Van Hamel dalam bukunya Moeljatno, hukum pidana didefinisikan sebagai dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu Negara dalam menyelenggarakan ketertiban umum (rechtsoerde) yaitu melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa yang melanggar larangan-larangan tersebut.8 Menurut Moeljatno hukum pidana merupakan dasardasar dan aturan-aturan untuk: 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut; 2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;
7
Andi Hamzah, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, h. 27. (Selanjutnya disingkat Andi Hamzah I). 8
Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. h.8.
13
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.9
Uraian yang telah dijabarkan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum pidana mengatur tentang: 1. Larangan untuk melakukan suatu perbuatan; 2. Syarat-syarat agar seseorang dapat dikenakan sanksi pidana; 3. Sanksi pidana apa yang dapat dijatuhkan kepada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang (delik); 4. Cara mempertahankan atau memberlakukan hukum pidana. Istilah tindak pidana berasal dari “strafbaar feiit”, Istilah ini terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda demikian juga WvS Hindia Belanda atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi mengenai apa yang dimaksud dengan “strafbaar feiit” tersebut. Pengertian tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana, dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subyek tindak pidana.10 Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang diancam dengan pidana. Pada sistem KUHP Indonesia mengenal beberapa delik, yaitu:
9
Ibid h.10.
10
Wirjono Prodjodikoro, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, h.58.
14
a. Kejahatan ( misdrijven) yang dimuat di dalam Buku Kedua b. Pelanggaran (Overtredingen) yang dimuat di dalam Buku Ketiga Pembagian jenis Tindak Pidana ini dapat didasarkan kepada berat atau ringannya ancaman, sifat, bentuk, dan cara perumusan suatu tindak pidana dan lainnya. Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP kita dibagi atas kejahatan (misdrijiven) dan pelanggaran (overtredingen). Menurut Memorie van Toelichting (M.v.T) pembagian atas dua jenis tadi didasarkan atas perbedaan prinsipil. Selain pembedaan tindak pidana atas kejahatan dan pelanggaran sebagaimana dapat dilihat di dalam KUHP, dikenal juga pembedaan atau penggolongan tindak pidana yang didasarkan kepada hal: 1. Cara merumuskan tindak pidana: Cara merumuskan tindak pidana ini terbagi menjadi 2 yaitu melalui delik formil (formele delicten) dan delik materiil (materiele delicten). 2. Bentuk kesalahan: Bentuk kesalahan dalam tindak pidana terbagi menjadi 2 yaitu delik dolus (dolus delicten) dan delik culpa (culpose delicten). 3. Perbedaan Subjek: Perbedaan subjek dalam tindak pidan dibagi menjadi 2 yaitu delik khusus (delicta propria) dan delik umum (commune delicten). 4. Berdasarkan kepada sumbernya: Berdasarkan kepada sumbernya tindak pidan dibagi menjadi 2 yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.11
b. Pertanggungjawaban Pidana dan Teori Pertanggungjawaban Pidana Pada dasarnya tindak pidana merupakan perbuatan atau serangkaian perbuatan atau serangkaian perbuatan yang didasari sanksi pidana. Dilihat dari istilahnya, hanya
11
C.S.T. Kansil, 2007, Latihan Ujian Hukum Pidana, Sinar Grafika Offest, Jakarta, h.111. (Selanjutnya disingkat C.S.T Kansil I).
15
sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. Menurut Van Hamel bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan atau kecerdasan yang membawa 3 kemampuan yaitu: 1. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri; 2. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pendangan masyarakat tidak dibolehkan; 3. Mampu untuk menentukan kehendakya atas perbuatan-perbuatannya itu.12 Menurut kemampuan
M.v.T,
secara
bertanggungjawab
negatif itu
menyebutkan
antara
lain,
mengenai
tidak
ada
pengertian kemampuan
bertanggungjawab pada si pelaku dalam hal: 1. Ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang; 2. Ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.13 Pemberian sanksi bagi seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana secara umum bertujuan untuk memberikan suatu efek jera bagi seseorang tersebut agar suatu saat nanti tidak mengulangi tindak pidana tersebut kembali. Pemberian
12
13
Moeljatno, op.cit, h.15.
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 10.(selanjutnya disingkat Adami Chazawi I).
16
pidana sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban pidana harus memenuhi 3 hal yaitu dapat menginsafi (mengerti) makna perbuatannya dalam kejahatan, dapat menginsafi bahwa perbuatannya di pandang tidak patut dalam pergaulan di masyarakat, mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya terhadap perbuatan tadi. Maka dapat dikaji mengenai teori pertanggungjawaban pidana yang dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.14 Pompe
memberikan
pendapat
mengenai
unsur-unsur
kemampuan
bertanggungjawab sebagai berikut: 1. 2. 3.
Kemampuan berpikir pembuat yang memungkinkan ia menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya. Dan oleh sebab itu, ia dapat menentukan akibat dari perbuatannya. Dan oleh sebab itu pula, ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.15
Terkait dengan pertanggungjawaban pidana yang erat hubungannya dengan kesalahan, untuk menentukan seseorang tersebut melakukan tindak pidana maka dapat dilihat terlebih dahulu apakah dari perbuatannya harus mempunyai kesalahan. Adapun teori yang mengatur mengenai kesalahan yaitu: 1. Teori psikologis merupakan teori yang menganggap kesalahan sebagai sesuatu yang terdapat dalam alam pikiran orang yang bersalah (si pelaku) tadi,
14
Amir Ilyas, op.cit. h. 67.
15
Ibid, h.68
17
yang seakan-akan dapat ditangkap (dimengerti) oleh hakim, mungkin dengan bantuan seorang psikiater (dokter penyakit jiwa) atau psikoanalis. 2. Teori normatif merupakan teori yang menganggap kesalahan tidak sebagai sesuatu yang terdapat dalam alam pikiran, tetapi sebagai sifat yang sedemikian rupa yang ditentukan oleh pertimbangan hukum. 3. Teori dimaksudkan disini, dimana kesalahan dilihat dari segi keputusan pengadilan yaitu tindakan menghukum yang diambil.16 c.
Teori Kebijakan Hukum Pidana Teori kebijakan merupakan suatu teori yang digunakan sebagai sebagai
prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat
penegak hukum
dalam mengelola, mengatur, atau
menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidangbidang
penyusunan
peraturan
perundang-undangan
dan
pengaplikasian
hukum/peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).17 Sudarto mengungkapkan tiga arti mengenai kebijakan criminal, yaitu: 1. Dalam arti sempit: keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; 2. Dalam arti luas: keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; 3. dalam arti luas yang diambil dari Jorgen Jepsen: keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badanbadan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.18
16
Soedjono, 1981, Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h.54.
17
Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Prenada Media Group, Jakarta, h. 22. 18
Ibid, h. 3
18
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari polittik kriminal dengan perkataan lain dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengaan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana.19 d.
Teori Korporasi Korporasi berasal dari kata corporate yang artinya suatu badan yang
mempunyai sekumpulan anggota dan anggota tersebut mempunyai hak dan kewajiban sendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban tiap-tiap anggotanya. Korporasi juga badan hukum dan terdapat alasan untuk membatasi korporasi sebagai badan hukum karena memiliki unsur-unsur yaitu mempunyai harta yang terpisah, ada suatu organisasi yang ditetapkan oleh suatu tujuan dimana kekayaan terpisah itu diperuntukkan, dan ada pengurus yang menguasai dan mengurusnya.20 Terdapat tiga situasi dimana korporasi tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pidana atas tindak pidana yang dilakukan pengurs atau anggotanya yaitu: 1. Jika tindakan pengurus dan anggotanya masih dalam ruang lingkup dan sifat dasar pekerjaannya di korporasi;
19
20
Ibid, h.. 28.
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, 2015, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Perkembangan dan Penerapan,Raja Grafindo Persada, Depok, h. 147.
19
2. Jika tindak pidana ditujukan untuk menguntungkan korporasi; 3. Pengadilan wajib melimpahkan kesengajaan pengurus tersebut kepada korporasi.21 Beberapa teori-teori malpraktek yang didalamnya menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktek yaitu: a. Teori pelanggaran kontrak Teori pelanggaran kontrak menyatakan bahwa sumber dari perbuatan malpraktek adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Secara prinsip hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien baru dapat terjadi apabila telah terjadi kontrak antara kedua belah pihak, kecuali dalam keadaan gawat darurat. Situasi seperti ini mendapatkan pesetujuan kontrak dari pihak ketiga yaitu keluarga pasien. Namun jika pasien tersebut dalam keadaan darurat tanpa adanya keluarga, maka demi kepentingan pasien menurut perundangundangan yang berlaku, seorang tenaga kesehatan diwajibkan memberikan pertolongan pertama. b. Teori perbuatan yang disengaja Teori perbuatan yang disengaja merupakan teori yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan yang dibuat dengan sengaja yang mengakibatkan seseorang secara fisik mengalami cedera. c. Teori kelalaian 21
Ibid, h. 186.
20
Teori kelalaian merupakan teori yang menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang dikategorikan dalam malpraktek ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu kelalaian yang dimaksud harus termasuk ke dalm kategori kelalaian yang berat (culpa lata). Untuk membuktikan hal yang demikian tentu saja bukan merupakan tugas yang mudah bagi aparat penegak hukum.22
1.7
Metode Penelitian Penulisan penelitian ini dilakukan dengan ditunjang oleh sekumpulan data,
untuk memperoleh data-data yang akurat, maka dilakukan langkah-langkah pengumpulan data dengan menggunakan data sebagai berikut: a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah penelitian normatif yaitu penelitian hukum kepustakaan yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.23 Penulisan penelitian ini beranjak dari adanya suatu norma kabur di dalam UU Rumah Sakit khususnya pada Pasal 29 ayat (1) huruf S yang
22
Ninik Mariyanti, 1988, Malpraktek Kedokteran Dari Segi Hukum Pidana dan Perdata,Bina Aksara, Jakarta, h. 44. 23 Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimentri Cet, Ke IV, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 10.
21
mana tidak terdapat penjelasan apakah dokter juga termasuk ke dalam petugas rumah sakit. b. Jenis Pendekatan Sebuah penelitian agar dapat mengungkapkan kebenaran jawaban atas permasalahan
secara
sistematis,
metodologis,
konsisten,
dan
dipertanggungjawabkan keilmiahannya, hendaknya disusun dengan menggunakan pendekatan-pendekatan yang tepat. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) dan pendekatan analisa konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach). Pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach) adalah metode penelitian dengan menelaah semua undang-undang, memahami hierarki dan asas-asas dalam peraturan perundangundangan. Dikatakan bahwa pendekatan peraturan perundang-undangan berupa legislasi dan regulasi yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.24 Maka dalam hal ini yang dimaksud dengan pendekatan perundang-undangan dengan mengkaji dan menganalisa beberapa undang-undang yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
24
Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Cet ke IV, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.35.
22
Pendekatan analisa konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach) adalah dalam pendekatan anlisa konsep hukum dilakukan dengan menggunakan konsep, prinsip-prinsip hukum yang relevan, pandangan-pandangan dan doktrindoktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum dengan mempelajari pandangpandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum terhadap pembahasan mengenai kebijakan hukum terhadap dokter yang melakukan malpraktek dan pertanggungjawaban pidana oleh rumah sakit terhadap dokter yang melakukan malpraktek dalam pelayanan kesehatan. Pemahaman akan pendekatan analisa konsep hukum ini akan melahirkan konsep-konsep hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi, akan tetapi tetap menggunakan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan penelitian ini, yaitu : 1. Bahan Hukum Primer adalah suatu peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dari pengambilan keputusan dalam pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, antara lain : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Kitab Undang-undang Hukum Pidana; c. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; d. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 2. Bahan Hukum Sekunder adalah buku-buku litelatur yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini serta bahan-bahan yang
23
mempunyai hubungan erat dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer.25 3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya seperti kamus-kamus hukum, ensiklopedia, indeks komulatif, dan sebagainya.26 Penggunaan bahan hukum tersier ini harus memperoleh bahan hukum atau informasi terbaru dan berkaitan dengan permasalahan. d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan data yaitu teknik awal yang digunakan dalam setiap penelitian ilmu hukum, baik dalam penelitian hukum normatif maupun dalam penelitian hukum empiris. Dokumen yang dipelajari berupa peraturan perundangundangan, literatur, makalah, artikel, dan sebagainya demi medapatkan data yang objektif dan akurat. Penelitian
hukum
normatif
dikenal
dengan
adanya
teknik
untuk
mengumpulkan data dengan cara studi kepustakaan yaitu data kepustakaan dikumpulkan dengan cara membaca, mencatat, mempelajari, dan menganalisa isi pustaka yang berkaitan dengan masalah objek penelitian serta dalam peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyusunan penelitian ini. Adapun
25
Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit, h. 53.
26
Ronny Hanitijo Soemitro, op.cit, h. 54.
24
peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah KUHP, UU Rumah Sakit,dan UU Praktik Kedokteran. e. Teknik Analisa Analisa data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data sehingga siap dipakai untuk dianalisa.27 Apabila keseluruhan bahan hukum yang diperoleh dan sudah terkumpul melalui studi kepustakaan maka dalam menganalisa bahanbahan hukum yang telah terkumpul dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik deskripsi, sistematis, interpretasi, dan argumentasi. Maksudnya adalah bahan hukum yang telah rampung, dipaparkan dengan disertai analisis sesuai dengan teori yang terdapat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pada buku-buku literatur, guna mendapatkan kesimpulan sebagai akhir dari penulisan penelitian ini.
27
h. 72.
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cet III, Sinar Grafika, Jakarta,