BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan dan budaya yang berbeda. Pernikahan juga memerlukan penyesuaian secara terus menerus. Setiap pernikahan, selain cinta juga diperlukan saling pengertian yang mendalam, kesediaan untuk saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang yang merupakan bagian dari kepribadiannya. Hal ini berarti mereka juga harus bersedia menerima dan memasuki lingkungan sosial budaya pasangannya, dan karenanya diperlukan keterbukaan dan toleransi yang sangat tinggi, serta saling penyesuaian diri yang harmonis. Secara umum, pernikahan merupakan upacara pengikatan janji nikah yang dilaksanakan dengaan menggunakan adat atau aturan tertentu. Sedangkan perkawinan, meskipun seringkali dibedakan dengan kata nikah, memiliki inti makna yang sama dengan pernikahan, yaitu upacara bersatunya pria dan wanita membentuk keluarga (Wikipedia, 2007). Tahun pertama pernikahan biasanya diisi dengan eksplorasi dan evaluasi. Pasangan akan mulai untuk menyesuaikan harapan-harapan dan fantasi-fantasi mereka mengenai pernikahan dan menghubungkannya dengan kenyataan. Pasangan yang baru menikah tidak hanya akan mengetahui peran-peran baru dalam pernikahan mereka, namun juga mengembangkan penyesuaian diri mereka ke dalam pekerjaan mereka (Belsky dalam Nurani, 2004). Dalam suatu pernikahan, umumnya pasangan akan melewati tahapan yang selanjutnya disebut sebagai family life cycle. Family Life Cycle adalah tahap kehidupan keluarga yang
memiliki ciri khusus dalam tugas dan tujuannya, dimana salah satu tahap pernikahan pasangan mulai membuat keputusan penting mengenai rencana memiliki anak dan jumlah anak yang diinginkan, juga pertimbangan perubahan aktivitas yang mungkin terjadi pada pasangan dikarenakan kehadiran anak, dampak potensial penurunan pendapatan yang disebabkan biaya yang harus dikeluarkan untuk merawat anak (Lefrancois, dalam Daeng, 2010). Masyarakat
memandang
bahwa
pernikahan
merupakan
jalan
terbaik
untuk
mengembangkan keturunan dan dengan adanya kehadiran anak hubungan suami istri akan semakin dekat (Papalia, 2008). Selain itu, sebagian besar orangtua-pun mengatakan bahwa memiliki anak juga dapat meningkatkan kehidupan, membawa kebahagiaan dan pemenuhan hidup pada pasangan tersebut (Semery dan Tuer, dalam Vidaya, 2007). Kehadiran anak seringkali dianggap sebagai syarat mutlak untuk menentukan kebahagiaan dan kelangsungan pernikahan itu sendiri. Secara psikologis, kehadiran anak di dalam keluarga dapat meramaikan suasana, sehingga berkembanglah persepsi yang mengatakan bahwa pernikahan tanpa anak terasa hampa (Vidaya, 2007). Seperti yang diungkapkan melalui proses wawancara dini dengan salah satu subjek yang belum memiliki anak (AL, 53 tahun) akan harapannya yang besar untuk segera memiliki anak pada usia pernikahannya mencapai 34 tahun. “Punya anak pengen pastinya, abis selama ini kayaknya ada yang kurang dirumah”, lebih lanjut ia katakan. “Yaa..kalo ada anak dirumah pas pulang dari mana-mana trus ada yang lari nyambut pasti rasanya seneng banget”, (Komunikasi personal, 29 Mei 2012). Di dalam kebudayaan timur status anak dipandang sebagai pemberian yang akan membawa rezekinya masing-masing. Hal ini berarti bahwa semakin banyak anak maka semakin banyak pula rezeki yang diperoleh (Gunarsa dalam Daeng, 2010). Pernyataan tersebut sama
seperti yang diungkapkan salah satu subjek (IP, 48 tahun) mengenai jumlah anak dimana ada kaitannya dengan rezeki yang diperoleh : “Awal nikah mau nya punya anak banyak, kan kata orang-orang banyak anak banyak rezeki, kalo nikahin yang satu trus pergi masih ada adik-adiknya yang lain dirumah kan, nemenin” (Komunikasi personal, 14 Juni 2012). Pandangan timur tidak sejalan dengan teori barat yang mengatakan bahwa pasangan yang paling berbahagia adalah pasangan tanpa anak, baik itu pasangan yang belum memiliki, pasangan yang tidak akan pernah memiliki anak dan pasangan dimana anak-anak mereka telah meninggalkan rumah. Ketidakhadiran anak membuat pernikahan tidak dapat dipertahankan karena terjadinya peningkatan biaya hidup yang tidak seimbang dengan hasil usaha mencari nafkah, sehingga timbul masalah-masalah yang sulit diatasi dan menambah penderitaan pasangan (Vidaya, 2007). Selain itu, kepuasan pernikahan menurun pada tahun-tahun pertama setelah bayi lahir dan biasanya penurunan ini lebih tajam pada wanita dibandingkan pria dikarenakan tanggung jawab yang lebih besar terhadap pengasuhan anak (Levy dan Shift dalam Vidaya, 2007). Maka dengan itu, kehadiran anak maupun ketidakhadiran anak dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan, dimana langgengnya pernikahan merupakan impian setiap pasangan. Kepuasan pernikahan merupakan salah satu dari kriteria keberhasilan pernikahan (Burgess dan Locke dalam Ardhianita dan Budi, 2007). Apabila seseorang merasa puas terhadap pernikahan yang telah dijalani, maka ia beranggapan bahwa harapan, keinginan dan tujuan yang ingin dicapai pada saat ia menikah telah terpenuhi, baik sebagian ataupun seluruhnya. Ia merasa hidupnya lebih berarti dan lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum menikah. Kepuasan pernikahan dalam penelitian Campbell dari 2164 kasus yang dipilih secara random menemukan bahwa pasangan yang terikat dengan pernikahan merasakan kepuasan hidup
yang lebih tinggi dibandingkan ketika mereka menduda, menjanda atau sebelum menikah. Kepuasan hidup yang diperoleh melalui pernikahan ini disebabkan karena hampir seluruh dimensi kebutuhan manusia dapat dipenuhi melalui pernikahan (Domikus dalam Daeng, 2010). Kepuasan pernikahan meliputi ekspresi afeksi yang terbuka satu sama lain, terjalinnya rasa saling percaya, tidak ada dominasi antara satu terhadap lainnya, komunikasi yang bebas dan terbuka antara pasangan, kesesuaian kehidupan seksual, melakukan kegiatan bersama dalam hal aktivitas diluar rumah, tempat tinggal relatif stabil, dan penghasilan yang memadai (Duvall dan Miller dalam Nurani, 2004). Bagi kebanyakan individu dewasa, kepuasan pernikahan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi kebahagiaan hidup dibandingkan hal-hal lainnya seperti pekerjaan, hobi, persahabatan (Newman dan Newman dalam Vidaya, 2007). Di dalam tahap pernikahan, kepuasan pernikahan tertinggi terjadi pada tahap pertama ketika anak tertua memasuki usia remaja dan tahun-tahun pensiun. Dimana pasangan suami istri tersebut sudah memasuki usia paruh baya atau dewasa madya. Papalia (2008) mendefinisikan masa dewasa madya dalam terminologi kronoligis yaitu tahun-tahun usia 45 hingga 65 tahun. Dewasa madya merupakan masa yang paling sulit untuk dilalui oleh individu karena masa ini ditandai dengan tanggung jawab yang berat dan beragam, menuntut peran dan tanggung jawab sebagai orang yang menjalankan rumah tangga, departemen maupun perusahaan, merawat orangtua mereka, membesarkan anak dan mulai menata karir yang baru (Gallagher dalam Sari, 2010). Hurlock (1999) menyebutkan usia setengah baya atau usia madya sebagai usia yang berbahaya, ia juga menyebutkan bahwa usia madya sangat rawan terhadap perceraian karena
pada usia tersebut individu mengalami perubahan baik fisik maupun psikologis yang dapat menimbulkan gangguan pada hubungan suami-istri. Penyesuaian perubahan fisiologis dan psikologis terhadap dewasa madya merupakan tugas penting untuk menciptakan hubungan yang memuaskan pada pasangan. Kegagalan dalam penyesuaian ini dapat membahayakan pernikahan dan menyebabkan kekecewaaan selama periode tersebut. Hal inilah yang mendorong terjadinya krisis dan menjadikan kehidupan dewasa madya lebih sulit untuk dilalui. Berkaitan dengan hal tersebut, tugas perkembangan yang harus dijalani oleh individu dewasa madya menurut Havighurst (1982) adalah tugas yang berkaitan dengan perubahan fisik, perubahan minat, penyesuaian kejuruan dan tugas yang berkaitan dengan kehidupan keluarga. “Punya anak itu udah masa lalu, mending kerja dan karir aja yang dipikirin sekarang, udah umuran segini anak udah berlalu ajalah” (Komunikasi personal, 8 Juni 2012). Hasil wawancara dini diatas pada EA 50 tahun dengan lama pernikahan lebih dari 20 tahun dimana subjek merasa bahwa kehadiran dan keinginan memiliki anak merupakan hal yang tidak prioritas lagi di dalam usia yang sudah memasuki usia madya. Umur 30-35 tahun merupakan fase kehamilan yang rawan, apalagi usia diatas 35 tahun maka melahirkan anak dapat menyebabkan kematian (Prilia, 2007). Wanita dewasa madya yang ingin memiliki anak, beresiko untuk calon anaknya seperti kelainan genetik yaitu down syndrom yang menyebabkan keabnormalan fisik dan keterbelakangan mental (Penny dkk, 2009). Penyesuaian fisik dalam masa dewasa madya adalah yang paling sulit dilakukan pria dan wanita, terdapat perubahan-perubahan pada kemampuan seksual mereka. Wanita memasuki masa menopause, dimana masa menstruasi berhenti, dan mereka kehilangan kemampuan memelihara anak, sedangkan pria mengalami masa klimakterik (Hurlock, 1999).
Berdasarkan hal-hal yang dipaparkan diatas, peneliti tertarik untuk
mengetahui
gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri dewasa madya tidak memiliki anak.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengungkapkan rumusan masalah yang dapat menjadi acuan dalam pembahasan berikutnya. “Bagaimanakah gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri dewasa madya tidak memiliki anak ?”
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Untuk mengetahui gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri dewasa madya tidak memiliki anak.
1.4 Kegunaan Penelitian Mengungkapkan secara spesifik kegunaan yang hendak dicapai dari penelitian tersebut adalah : 1.4.1 Aspek Teoritis -
Secara teoritis penelitian ini dapat memberikan sumbangan bukti ilmiah mengenai gambaran kepuasan pernikahan pada pasangan suami istri dewasa madya tidak memiliki anak dan memberi penjelasan yang cukup komprehensif mengeni permasalahan peneliti yang telah disebutkan sebelumnya.
-
Sebagai wacana bagi para pekerja dalam bidang konseling pernikahan dan lembaga-lembaga penasehat pernikahan untuk dapat memberikan
konsultasi
kepada pasangan suami istri dewasa madya tidak memiliki anak di dalam pernikahannya.
1.4.2 Aspek Praktis -
Untuk suami dan isteri dewasa madya dalam hasil penelitian ini dapat menjadi masukan yang berguna dalam mencermati kehidupan pernikahannya sehingga diharapkan dapat menjalani kehidupan pernikahan yang lebih harmonis.
-
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi para peneliti lainnya yang berminat untuk meneliti lebih jauh mengenai kepuasan pernikahan kepada pasangan suami istri dewasa madya tidak memiliki anak jika tidak tercakup dalam penelitian ini.