BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adanya perkawinan menimbulkan akibat hukum tidak hanya antara suami dan istri akan tetapi terhadap orang tua dan anak serta pengaturan mengenai harta perkawinan. Salah satu hal yang termasuk di dalam harta perkawinan adalah harta bersama yang mencakup segala bentuk keuntungan dan kerugian dari harta bersama tersebut. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menentukan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dengan demikian suatu perkawinan, (paling tidak bagi mereka yang tunduk pada Hukum Adat) yang dilangsungkan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak mungkin mulai dengan suatu harta bersama dengan saldo yang negatif. Paling-paling, kalau suami istri tidak membawa apa-apa dalam perkawinannya, maka harta bersama mulai dengan harta yang berjumlah nihil.1 Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak. Hal yang perlu
1
J. Satrio, 1993, Hukum Harta Perkawinan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.192.
2
diperhatikan mengenai harta bersama dalam pasal tersebut yaitu bahwa setiap perbuatan hukum jual-beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai, hibah, dan sebagainya yang dilakukan terhadap harta bersama, mengharuskan keterlibatan atau sepengetahuan dan seizin kedua belah pihak. Hal tersebut mengakibatkan salah satu pihak tidak dapat bertindak sendiri dalam setiap perbuatan hukum terhadap harta bersama mereka. Di dalam kehidupan masyarakat, sering terjadi dalam suatu gugatan perceraian seorang suami atau istri mendalilkan atau memberi alasan dalam positanya bahwa tanpa sepengetahuan dan persetujuan pasangannya telah mengalihkan harta bersama sebagai jaminan dalam suatu perjanjian dengan pihak ketiga. Di dalam dalil/ alasan tersebut tidak dibenarkan secara hukum karena sesuai dengan isi dari Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Suami atau istri berhak penuh melakukan perbuatan hukum, dalam arti melakukan perjanjian kepada pihak ketiga dengan jaminan harta bersama untuk memenuhi keperluan rumah tangga. Ada hal yang harus diperhatikan yaitu sah atau tidaknya pengikatan atas harta bersama tersebut adalah bahwa pada waktu dilakukannya perjanjian pinjaman, antara suami atau istri masih terikat perkawinan dan sampai saat itu masih hidup bersama. Bilamana utang tersebut dibuat oleh suami atau istrinya selama perkawinan, maka utang tersebut menjadi tanggung jawab suami istri secara bersama-sama dan merupakan utang keluarga. Oleh karena itu terhadap pinjaman yang bertujuan digunakan oleh suami atau istri untuk
3
mengembangkan usahanya yang merupakan mata pencaharian dari keluarga mereka dimana selama ini suami atau istri juga menikmati hasil dari usaha, dapat disimpulkan bahwa suami atau istri juga telah memberikan persetujuan secara diam-diam atas pengikatan perjanjian tersebut. Pasal 119 KUH Perdata menyebutkan mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekadar mengenai itu dengan perjanjian perkawinan tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan istri. Apabila sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan antara calon suami-istri tidak diperjanjikan lain terkait harta bendanya, maka antara suami dan istri bersangkutan menurut hukum telah terjadi percampuran harta benda secara bulat. Artinya jika sebelum melangsungkan perkawinan tidak dibuat suatu perjanjian khusus yang mengatur harta kekayaan mereka setelah perkawinan nanti berarti keduanya tunduk pada hukum harta perkawinan yang mengatur tentang percampuran harta benda. Percampuran harta benda tersebut mulai berlaku pada saat perkawinan terjadi dan selama perkawinan masih berlangsung, sehingga dengan demikian percampuran harta benda tersebut tidak dapat dihapuskan atau diubah oleh pasangan suami-istri tersebut.2 Pasal 120 KUH Perdata menyebutkan sekadar mengenai laba-labanya, persatuan itu meliputi harta kekayaan suami dan istri, bergerak dan tidak bergerak, baik yang sekarang maupun yang kemudian, maupun pula yang mereka peroleh dengan cuma-cuma, kecuali dalam hal terakhir ini si yang mewariskan atau yang menghibahkan dengan tegas menentukan sebaliknya. Pasal 121 KUH Perdata menyebutkan sekadar mengenai beban-bebannya,
2
J. Andy Hartanto, 2012, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Laksbang Grafika, Yogyakarta, hlm.37.
4
persatuan itu meliputi segala utang suami-istri masing-masing yang terjadi, baik sebelum maupun sepanjang perkawinan. Percampuran harta benda tidak hanya terdiri dari barang-barang harta kekayaan (aktiva), melainkan juga terdiri dari beban-beban dan utangutang atau pasiva. Artinya jika selama perkawinan diperoleh harta benda dalam jumlah tertentu maka hal itu menjadi kekayaan (aktiva) rumah tangga, sedang jika terjadi utang selama perkawinan, maka utang-utang tersebut menjadi beban utang rumah tangga.3 Di dalam hal terkait utang piutang, sekiranya suami atau istri berutang kepada pihak lain selama dalam ikatan perkawinan sedangkan perbuatan suami atau istri berutang tersebut tidak diketahui oleh pihak lain. Maka yang menjadi permasalahan adalah siapa yang berkewajiban membayar dan dari harta mana pembayaran utang tersebut dapat diambil karena utang merupakan harta bersama dalam bentuk pasiva.4 Untuk pertama kali yang dapat digugat adalah harta dari persatuan harta kekayaan sedang kalau masih belum mencukupi maka harta pribadi tiap-tiap pihak karena kedua orang suami istri itu harus bertanggung gugat atas utang yang dibuatnya.5 UndangUndang Perkawinan hanya mengatur masalah harta bersama ditinjau dari cara perolehannya, tetapi tidak membicarakan harta bersama dari aspek lainnya seperti harta bersama dalam bentuk benda berwujud dan benda tidak berwujud, harta yang menyangkut aktiva dan pasiva.6 Harta benda tersebut harus ditafsirkan sebagai vermogen (harta kekayaan). Dengan demikian harta benda dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut berarti bukan hanya
3
Ibid, hlm.38. Anshary, 2010, Hukum Perkawinan di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. hlm.141. 5 R.Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, 1986, Hukum Orang Dan Keluarga, Alumni, Bandung,hlm.70. 6 Anshary,op. cit.,hlm.137. 4
5
menyangkut aktiva saja, tetapi juga termasuk semua passiva atau utangutangnya.7 Contoh dalam sebuah kasus yang pernah terjadi di Jawa Tengah dimana seorang suami pernah mengadakan hubungan hukum kepada pihak ketiga meminjam sejumlah uang untuk dijadikan modal usaha. Selama perusahaan milik suami berjalan, utang baru dibayar sebagian dan sebagiannya lagi dijanjikan akan dibayar sesuai surat pernyataan, namun setelah jatuh tempo ternyata suami wanprestasi yaitu tidak membayar kekurangan utang, sedangkan istrinya merasa tidak memiliki kewajiban utang tersebut karena seluruh keuangan dipergunakan oleh suami. Suami dan istri tersebut sedang mengalami permasalahan yaitu terjadi perselisihan rumah tangga hingga proses gugatan perceraian, yang berakibat pihak ketiga merasa dirugikan karena uang pinjaman yang seharusnya menjadi kewajiban bersama antara suami-istri tersebut tidak segera dilunasi dengan alasan masih terjadi masalah keluarga. Pihak istri menolak untuk ikut membayar utang dengan dalih uang tersebut seluruhnya digunakan oleh pihak suami. Di pengadilan
tingkat
pertama hakim memutuskan pihak istri tersebut untuk ikut membayar kekurangan utang karena patut dipersangkakan bahwa istri secara diam-diam menyetujui pinjaman-pinjaman yang dilakukan oleh suami ketika itu. Persangkaan dalam perkara menurut ketentuan Pasal 146 Herziene Inlandsch Reglement (HIR) merupakan alat bukti yang sah selain bukti surat, saksi pengakuan dan sumpah.
7
J.Satrio, op.cit., hlm.191.
6
Pada pengadilan tingkat banding, hakim membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dengan alasan pertimbangan majelis hakim tingkat pertama tentang alat bukti persangkaan tidak dapat disetujui karena dari bukti surat-surat tidak pernah ternyata bahwa pihak istri mengetahui serta menyetujui pinjaman-pinjaman kepada pihak ketiga baik secara diam-diam ataupun secara terang dan jelas, sedangkan pihak suami yang mengetahui adanya pinjaman kepada pihak ketiga tidak pernah memberitahukan pinjaman tersebut kepada istri, bahkan pihak suami dalam jawabannya mengakui telah terjadi kemelut dalam rumah tangga. Karena pihak istri tidak ternyata menyetujui pinjaman yang dilakukan oleh suami, maka utang tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab pihak suami itu sendiri. Pada tingkat kasasi, hakim memutuskan bahwa utang yang terjadi antara suami dengan pihak ketiga tersebut terjadi pada waktu perkawinan masih utuh, sehingga semua utang-utang yang terjadi selama perkawinan adalah tanggung jawab bersama sehingga hakim menjatuhkan putusan menguatkan putusan di tingkat pengadilan negeri karena telah tepat dalam pertimbangan hukum serta benar dalam penerapan hukum dan membatalkan putusan pengadilan tinggi yang membatalkan putusan pengadilan negeri. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka menarik untuk dilakukan penelitian mendalam mengenai berlakunya utang bersama dalam perkawinan.
7
B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, ada beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas. Permasalahan tersebut dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana penafsiran hakim mengenai utang dalam perkawinan menurut Putusan Pengadilan Negeri Kota Semarang Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Smg, Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 205/Pdt/2006/PT.Smg dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1904 K/Pdt/2007 ? 2. Bagaimanakah penyelesaian perselisihan terkait utang dalam perkawinan menurut Putusan Pengadilan Negeri Kota Semarang Nomor
145/Pdt.G/2005/PN.Smg,
Putusan
Pengadilan
Tinggi
Semarang Nomor 205/Pdt/2006/PT.Smg dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1904 K/Pdt/2007 ?
C. Tujuan Penelitian Perumusan tujuan penulisan merupakan pencerminan arah dan penjabaran strategi terhadap fenomena yang muncul dalam penulisan, sekaligus supaya penulisan yang sedang dilaksanakan tidak menyimpang dari tujuan semula. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis penafsiran hakim mengenai utang dalam perkawinan menurut Putusan Pengadilan Negeri Kota Semarang Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Smg, Putusan Pengadilan Tinggi Semarang
8
Nomor 205/Pdt/2006/PT.Smg dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1904 K/Pdt/2007; 2. Menganalisis mengenai penyelesaian perselisihan terkait utang dalam perkawinan menurut Putusan Pengadilan Negeri Kota Semarang Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Smg, Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 205/Pdt/2006/PT.Smg dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1904 K/Pdt/2007.
D. Keaslian Penelitian Setelah diadakan penelusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, sejauh ini tidak ditemukan penelitian tentang masalah utang dalam perkawinan. Peneliti hanya menemukan penelitian tentang masalah pembagian harta bersama sebagai akibat perceraian diantaranya: 1. Tesis, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tahun 2011 dengan judul “Pembagian Harta Bersama Sebagai Akibat Perceraian Dalam Praktik Di Pengadilan Agama Sleman (Studi Kasus Putusan Nomor 290/Pdt.G/2008/PA Sleman dan Putusan Nomor 602/Pdt.G/2007/PA Sleman),” ditulis oleh Fajar Sulistyowati, yang mengambil rumusan masalah diantaranya:8
8
Fajar Sulistyowati, “Pembagian Harta Bersama Sebagai Akibat Perceraian Dalam Praktik Di Pengadilan Agama Sleman (Studi Kasus putusan Nomor 290/Pdt.G/2008/PA Sleman dan putusan Nomor 602/Pdt.G/2007/PA Sleman)”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011, hlm 7.
9
a. Bagaimana pembagian harta bersama dalam Putusan Nomor 602/Pdt.G/
2007/PA
Smn
dan
Putusan
Nomor
290/Pdt./G/2008/PA Smn? b. Bagaimana hakim mengklasifikasikan harta bersama dalam Putusan Nomor 602/Pdt.G/ 2007/PA Smn dan Putusan Nomor 290/Pdt./G/2008/PA Smn? c. Bagaimana Putusan Nomor 602/Pdt.G/ 2007/PA Smn dan Putusan Nomor 290/Pdt./G/2008/PA Smn yang menyangkut harta bersama ditinjau dari segi keadilan? Dengan hasil penelitiannya yaitu:9 a. Pembagian
harta
bersama
dalam
Putusan
Nomor
290/Pdt.G/2008/PA Smn dan Putusan Nomor 602/Pdt.G/2007/PA Smn adalah bahwa keputusan hakim untuk membagi harta bersama tersebut separuh-separuh antara penggugat dan tergugat berdasarkan pertimbangan harta tersebut diperoleh pada saat masih berlangsungnya ikatan perkawinan, tetapi dalam hal beban yang ditanggung penggugat lebih besar maka pembagian separuhseparuh itu tidak mutlak. Jadi pembagiannya bisa 60% dan 40%; b. Pengklasifikasian
harta
bersama
dalam
Putusan
Nomor
290/Pdt.G/2008/PA Smn dan Putusan Nomor 602/Pdt.G/2007/PA Smn didasarkan pada fakta saat diperolehnya harta-harta tersebut. Hakim dalam mengklasifikasikan harta bersama berdasarkan
9
Ibid, hlm.138-139.
10
pertimbangan bahwa harta yang menjadi perselisihan itu, melihat alat bukti dan saksi-saksi serta fakta-fakta dalam persidangan diketahui diperoleh selama perkawinan sehingga harus dibagi secara adil antara Penggugat dan Tergugat; c. Putusan Hakim dalam perkara nomor 290/Pdt.G/2008/PA Smn dan nomor 602/Pdt.G/2007/PA Smn telah mencerminkan prinsipprinsip keadilan. Hal ini dapat dilihat dari dasar pertimbangan hakim mengenai perkara yang terdapat dalam Putusan Pengadilan Agama Sleman nomor 290/Pdt.G/2008/PA Smn dan nomor 602/Pdt.G/2007/PA Smn adalah berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Pasal 35 jo Pasal 97 KHI. Dengan demikian cukup jelaslah pembagian harta bersama antara penggugat dan tergugat itu sudah sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, dimana perimbangan hak dan kewajiban telah terpenuhi antara penggugat dan tergugat, dan hal ini tidak melukai nilai keadilan antara keduanya. 2. Tesis, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tahun 2012 dengan judul “Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Dalam Praktek di Pengadilan Agama Kelas IA Kota Padang (Studi Kasus No. 166 / Pdt.G/ 2009/PA. Pdg)” ditulis oleh Fahmirizal yang mengambil rumusan masalah diantaranya:10
10
Fahmirizal,“Pembagian Harta Bersama Akibat Perceraian Dalam Praktek di Pengadilan Agama Kelas IA Kota Padang (Studi Kasus No. 166 / Pdt.G/ 2009/PA. Pdg)”,Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2012, hlm 4-5.
11
a. Bagaimanakah akibat hukum yang timbul dari perceraian terhadap harta bersama di Pengadilan Kota Padang? b. Bagaimanakah pelaksanaan pembagian harta bersama karena perceraian pada Pengadilan Agama Kota Padang? c. Apa saja kendala-kendala dalam proses pembagian harta bersama di Pengadilan Kota Padang dan bagaimana cara mengatasinya? Dengan hasil penelitiannya yaitu:11 a. Akibat hukum yang timbul dari perceraian tersebut terhadap harta bersama yaitu bahwa setelah adanya perkawinan maka harta kekayaan yang diperoleh baik dari pihak suami atau istri menjadi harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan dan jika perkawinan putus, masing-masing berhak ½ (seperdua) dari harta tersebut, karena selama perkawinan terdapat adanya harta bersama maka hakim disini memberikan putusan mengenai
besarnya
bagian
masing-masing.
Pengadilan
menetapkan pembagian harta bersama tersebut ½ (seperdua) bagian untuk Penggugat dan ½ (seperdua) bagian untuk Tergugat; b. Pembagian harta bersama dari perceraian, sebagaimana putusan MA tanggal 9 November 1976 No. 1448 K/Sip/1976 bahwa sejak berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada saat terjadinya perceraian harta bersama tersebut dibagi sama
11
Ibid, hlm.89-91.
12
rata antara bekas suami istri. Jadi untuk pelaksanaan pembagian harta bersama ini dimulai dengan pengajuan gugatan oleh salah satu pihak, pengajuan gugatan dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai dengan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama yang tidak dirubah ketentuannya dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Setelah syarat-syarat untuk pengajuan gugatan terpenuhi maka proses pembagian harta bersama diproses. Sehingga sesuai dengan Putusan Pengadilan Agama Kota Padang Nomor 166 / Pdt.G/ 2009/PA. Pdg menetapkan pembagian harta bersama tersebut ½ (seperdua) bagian untuk penggugat dan ½ (seperdua) bagian untuk tergugat; c. Kendala-kendala dalam pelaksanaan pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Kota Padang, sebagai berikut: 1) Tidak ikhlasnya salah satu pihak sehingga hakim kesulitan dalam membagi harta bersama tersebut. Dalam hal ini kendala petugas untuk melihat ada tidaknya harta bersama, karena salah satu pihak tidak ikhlas;
13
2) Harta bersama tersebut tidak terletak di satu tempat. Dalam hal ini hakim kesulitan dalam menyelesaikan kasus harta bersama tersebut; 3) Dalam suatu kasus atau perkara pembagian harta bersama seringkali para pihak tidak mempunyai bukti lengkap. Sehingga hakim kesulitan dalam pemeriksaan kasus harta bersama tersebut. Cara mengatasi kendala-kendala tersebut: 1) Panitera atas nama Ketua Pengadilan Agama Kota padang yang menangani perkara tersebut menyampaikan surat permohonan bantuan pemeriksaan setempat (decente) kepada Pengadilan Agama Kota Pariaman dimana barang sengketa tersebut berada; 2) Menjual bidang tanah tersebut dengan persetujuan kedua belah pihak dan hasil penjualan tersebut dibagi untuk bagian yang sama besarnya. 3. Tesis, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tahun 2009 dengan judul “Penyelesaian Perselisihan Pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan Akibat Perceraian pada Pengadilan Kelas IA Padang” ditulis oleh Yolanda Septina yang mengambil rumusan masalah diantaranya:12
12
Yolanda Septina, “Penyelesaian Perselisihan Pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan Akibat Perceraian pada Pengadilan Kelas IA Padang”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2009, hlm 6-7.
14
a. Bagaimana pelaksanaan penyelesaian perselisihan pembagian harta bersama akibat perceraian di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Kelas IA Padang? b. Apa saja yang menjadi pertimbangan hakim dalam mengambil putusan dalam pemisahan dan pembagian harta bersama akibat perceraian di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Kelas IA Padang? Dengan hasil penelitiannya yaitu:13 a. Penyelesaian perselisihan pemisahan dan pembagian harta bersama dalam perkawinan akibat terjadinya perceraian di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Kelas IA Padang pada tahun 2006 sampai tahun 2008 dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu: 1) Melalui pengadilan. Ada 2 (dua) lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan pemisahan dan pembagian harta bersama, yaitu Pengadilan Agama Kelas I A Padang menyelesaiakan pemisahan dan pembagian harta bersama bagi warga negara yang melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam dan Pengadilan Negeri Kelas I A Padang menyelesaikan pemisahan dan pembagian harta bersama bagi warga negara yang melangsungkan perkawinan selain Islam.
13
Ibid, hlm. 143-144.
15
2) Tidak melalui pengadilan yaitu pemisahan yang dilakukan secara damai oleh kedua pihak. Penyelesaiannya dapat dengan perdamaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak dihadapan majelis hakim dengan membuat Akta Kesepakatan Damai yang dibuat secara tertulis. Selain itu pemisahan dan pembagian harta bersama juga dapat dilakukan dihadapan notaris dengan membuat akta pemisahan dan pembagian harta bersama dengan memperhatikan Pasal 1320 KUH Perdata. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa pemisahan dan pembagian harta bersama di Pengadilan Agama Kelas I A Padang lebih banyak daripada di pengadilan Negeri Negeri Kelas I A Padang. Dan dari 21 kasus yang diperiksa oleh Pengadilan Agama Kelas I A Padang lebih banyak menyelesaiakannya dengan perdamaian daripada pemisahan harta bersama dihadapan majelis hakim. b. Dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara pemisahan dan pembagian harta bersama di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Kelas I A Padang yaitu Pengadilan Agama Kelas I A Padang mendasar pertimbangan untuk memutus perselisihan pemisahan dan pembagian harta bersama adalah Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
16
perkawinan. Pada Pengadilan Negeri Kelas I A Padang majelis hakim medasarkan putusannya kepada Pasal 128 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setelah bubarnya persekutuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para
ahli
waris
mereka
masing-masing,
dengan
tidak
mempedulikan soal dari pihak manakah barang-barang itu diperolehnya. Pada penelitian pertama di atas, peneliti terdahulu hanya melakukan penelitian terhadap pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Sleman
Nomor
602/Pdt.G/
2007/PA
Smn
dan
Putusan
Nomor
290/Pdt./G/2008/PA Smn terkait pengklasifikasian serta pembagian dari harta bersama setelah adanya perceraian dan apakah putusan terkait tersebut telah memenuhi unsur keadilan. Pada penelitian kedua, peneliti terdahulu melakukan penelitian terkait akibat hukum yang timbul dari perceraian terhadap harta bersama di Pengadilan Kota Padang, pelaksanaan pembagian harta bersama karena perceraian, lalu kendala-kendala dalam proses pembagian harta bersama di Pengadilan Kota Padang dan bagaimana cara mengatasinya. Pada penelitian ketiga, peneliti terdahulu melakukan penelitian terkait pelaksanaan penyelesaian perselisihan pembagian harta bersama akibat perceraian di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Kelas IA Padang, pertimbangan hakim dalam mengambil putusan dalam pemisahan dan
17
pembagian harta bersama akibat perceraian di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Kelas IA Padang. Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yang berjudul “Akibat Hukum Utang Dalam Perkawinan (Studi Komparasi Putusan Pengadilan Negeri Kota Semarang Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Smg, Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 205/Pdt/2006/PT.Smg dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1904 K/Pdt/2007)” lebih menitikberatkan pada penafsiran hakim mengenai utang dalam perkawinan menurut Putusan Pengadilan Negeri Kota Semarang Nomor 145/Pdt.G/2005/PN.Smg, Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 205/Pdt/2006/PT.Smg dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1904 K/Pdt/2007 serta penyelesaian perselisihan terkait utang dalam perkawinan menurut putusan-putusan tersebut.
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat dijadikan sumber referensi dan menambah literatur di bidang studi hukum khususnya dalam hal penerapan akibat hukum utang dalam perkawinan. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan masukan bagi para praktisi hukum serta pihak-pihak lainnya, tentang perlunya pengkajian dan penelaahan norma-norma hukum terutama mengenai pengaturan hukum yang lebih luas terhadap permasalahan perkara utang dalam perkawinan.