BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Seiring masyarakat
berjalannya
kota
besar
waktu,
yang
terdapat
perubahan
mengandalkan
gaya
kepraktisan
hidup
sehingga
mempengaruhi jumlah pesanan pada katering (Tristar Culinary Institute, 2010). Keadaan ini menyebabkan makin meningkatnya jumlah perusahaan katering. Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Jasaboga Indonesia (APJI) tahun 2013, di Yogyakarta terdapat 40 perusahaan katering yang terdaftar sebagai anggota APJI. Sebagai upaya perlindungan kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, ergonomi pada dapur katering perlu diperhatikan. Ergonomi merupakan studi kompleks yang menghubungkan antara orang, aspek fisik dan aspek fisiologis lingkungan kerja, pekerjaan dan metode pekerjaan (WHO-EM, 2002). Ergonomi berupaya menciptakan kesehatan dan keselamatan kerja bagi tenaga kerja sehingga produktivitas kerjanya dapat meningkat (Sutjana, 2004). Fokus dari ergonomi adalah manusia. Karena manusia mempunyai keterbatasan kemampuan, dan untuk mencegah cidera sekaligus berupaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, serta kenyamanan maka dibutuhkan penyesuaian antara lingkungan kerja dengan manusia (Sanders et al, 1993). Penerapan ergonomi di dapur bertujuan untuk menghindari resikoresiko seperti posisi kerja yang tidak nyaman, pengulangan, tekanan yang tinggi, durasi kerja yang lama, getaran, dan yang paling mencolok adalah 1
2 suhu yang ekstrim (Mitchell, 2012). Tenaga pemasak katering yang sering terpapar iklim kerja dapur yang panas, akan berpotensi untuk mengalami kekurangan cairan karena pengeluaran cairan yang berlebih, namun masalah ini masih sering diabaikan. Iklim kerja panas merupakan beban tambahan bagi tubuh yang dapat memperburuk kondisi kesehatan dan stamina selama bekerja. Suhu lingkungan yang tinggi merangsang tubuh untuk berkeringat sebagai proses alamiah guna menurunkan suhu tubuh hingga pada suhu tubuh normal (36oC - 37oC). Pengeluaran keringat yang banyak tanpa diimbangi dengan asupan cairan yang cukup akan mengakibatkan dehidrasi yang juga bisa berakibat pada timbulnya kelelahan (Tarwaka, 2004). Penelitian Setyawati (1985), menyatakan bahwa suhu ruang kerja dapur Hotel Ambarukmo Palace yang tinggi menyebabkan tingkat kelelahan yang tinggi pula pada pekerjanya. Cairan yang hilang melalui keringat yang berlebihan dan tidak segera diganti dengan asupan cairan yang cukup akan menyebabkan volume plasma menurun, sehingga menyebabkan penurunan kemampuan fisik dan kognitif pekerja (Kennefick, 2007). Mengalami dehidrasi dapat menimbulkan efek negatif pada konsentrasi dan kewaspadaan, kualitas kerja, serta keamanan individu dan pekerja lain di lingkungan tempat kerja (Derbyshire, 2011). Suma’mur (1996) menambahkan bahwa lingkungan kerja yang panas dapat menimbulkan berbagai keluhan subjektif dan gangguan objektif dari tenaga kerja mulai dari cepat lelah, rasa tidak enak, mudah marah, tidak masuk kerja dan lain sebagainya Penelitian Andayani (2008) membuktikan bahwa asupan cairan berpengaruh signifikan terhadap status hidrasi pekerja. Hidrasi di tempat kerja 2
3 perlu mendapatkan perhatian khusus karena dehidrasi dapat mempengaruhi biaya, produktivitas, dan keselamatan kerja. Ada banyak manfaat yang didapat jika tubuh terhidrasi dengan baik dan ketika sedang sibuk bekerja, perlu dipastikan bahwa asupan cairan yang masuk dalam tubuh cukup (Derbyshire, 2011). Menurut Miller dan Bates (2009), memastikan bahwa pekerja memiliki asupan cairan yang cukup merupakan cara intervensi yang paling efektif untuk menjaga kesehatan dan produktivitas pekerja selama bekerja. Pekerja dalam lingkungan panas sekurang-kurangnya harus mengkonsumsi air sebanyak 2,8 liter (Suma’mur, 1981). Berdasarkan hasil observasi pada beberapa katering di Yogyakarta, masih banyak katering yang menggunakan dapur yang dapat dikatakan tradisional dan tidak memperhatikan ergonomi. Hampir di semua dapur, ventilasi atau sistem pertukaran udaranya masih alami. Tidak terdapat alat khusus untuk mengatur suhu ataupun pertukaran udara dapur. Asupan cairan tenaga pemasak tidak mendapat perhatian khusus. Dari hal tersebut, maka penelitian ini dikembangkan untuk mengkaji hubungan iklim kerja dengan asupan cairan dan status hidrasi tenaga pemasak katering di Yogyakarta. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepedulian perusahaan terhadap tenaga kerja yang bekerja dalam lingkungan panas agar dapat bekerja dengan lebih sehat dan produktif.
B. Perumusan Masalah Adakah hubungan antara iklim kerja dengan asupan cairan dan status hidrasi tenaga pemasak katering di Yogyakarta?
3
4 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara iklim kerja dengan asupan cairan dan status hidrasi tenaga pemasak katering di Yogyakarta
2. Tujuan Khusus a. Mengetahui iklim kerja pada dapur katering di Yogyakarta b. Mengetahui asupan cairan tenaga pemasak katering di Yogyakarta c. Mengetahui status hidrasi tenaga pemasak katering di Yogyakarta d. Mengetahui hubungan iklim kerja dengan asupan cairan tenaga pemasak katering di Yogyakarta e. Mengetahui hubungan asupan cairan dengan status hidrasi tenaga pemasak katering di Yogyakarta f. Mengetahui hubungan iklim kerja dengan status hidrasi tenaga pemasak katering di Yogyakarta
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta sebagai sarana pengaplikasian ilmu yang telah didapat, juga dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya.
2. Bagi Instansi Terkait dan Responden Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pemilik katering dalam mengambil keputusan ataupun menetapkan 4
5 kebijakan yang berkaitan dengan upaya pengembangan sumberdaya manusianya, terutama yang berkaitan dengan iklim kerja, asupan cairan, dan status hidrasi tenaga pemasak. Hal tersebut diharapkan dapat membantu dalam pencapaian tujuan bersama baik perusahaan maupun tenaga pemasak.
E. Keaslian Penelitian
1. Setyawati (1985) dalam penelitiannya berjudul “Pengaruh Suhu Tinggi di Ruang Kerja Dapur Terhadap Tingkat Kelelahan Kerja Karyawan Hotel Ambarukmo Palace”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang pengaruh suhu tinggi di ruang kerja dapur terhadap kelelahan kerja karyawan-karyawan Hotel Ambarukmo Palace Yogyakarta. Yang menjadi subyek dalam penelitian dengan desain observasional cross sectional ini adalah 39 karyawan dapur dengan suhu tinggi dan 22 karyawan dapur suhu normal. Pengukuran kelelahan pada karyawan digunakan skala kelelahan dan pemeriksaan waktu reaksi. Sedangkan suhu dapurnya dilakukan pengukuran Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB). Dari penelitian ini ditemukan bahwa bila suhu kerja melebihi 30,85 °C ± 1,45 °C ISBB sangat besar kemungkinan mempengaruhi kelelahan kerja. Persamaan dengan penelitian ini adalah metode penelitiannya dengan desain observasional cross sectional dan meneliti pengaruh suhu kerja dapur serta pengukuran suhu atau iklim kerjanya menggunakan Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB). Sedangkan perbedaannya terletak pada variabel terikat, subjek, serta lokasi penelitiannya.
5
6
2. Nasrullah (2006) dalam penelitiannya berjudul “Iklim Kerja dan Kelelahan Kerja Pada Pekerja di Pabrik Gula Madukismo Yogyakarta”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara iklim kerja dengan kelelahan kerja pada pekerja di bagian instalasi PT Madu Baru pabrik gula Madukismo Yogyakarta. Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Untuk mengukur iklim kerja dilakukan dengan Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB) sedangkan pengukuran kelelahan kerja dilakukan dengan dua alat ukur yaitu kuesioner alat ukur perasaan kelelahan kerja (KAUPK2) dan waktu reaksi. Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah pekerja tetap bagian instalasi PT Madu Baru pabrik gula Madukismo yang memenuhi kriteria inklusi yaitu sebanyak 47 orang. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa
variabel
iklim
kerja
dengan
KAUPK2
memiliki hubungan yang signifikan. Demikian halnya dengan kelelahan kerja menggunakan alat ukur waktu reaksi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara iklim kerja dengan kelelahan kerja. Dengan demikian bisa dikatakan terdapat hubungan yang signifikan antara iklim kerja dengan kelelahan kerja pada pekerja. Prediksi variable iklim kerja dalam penelitian ini mampu memberikan kontribusi sebesar 32,8% terhadap kelelahan kerja pada pekerja berdasarkan KAUPK2. Sedangkan iklim kerja memberikan kontribusi sebesar 43%terhadap kelelahan kerja pada pekerja berdasarkan waktu reaksi. Persamaan dengan penelitian ini adalah pada desain penelitian yang digunakan yaitu cross sectional dan variabel bebas yaitu ikim kerja yang pengukurannya menggunakan Indeks Suhu Basah dan Bola (ISBB).
6
7 Sedangkan perbedaannya terletak pada variabel terikat, subjek, serta lokasi penelitiannya.
3. Hunt (2011) dalam penelitiannya berjudul “Heat Strain, Hydration Status, and Symptoms of Heat Illness in Surface Mine Workers”. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi tekanan panas, status hidrasi, dan gejala penyakit akibat tekanan panas yang dialami oleh pekerja tambang. Penelitian ini melibatkan 29 pekerja tambang. 14 pekerja pada musim dingin dan 15 pekerja pada musim panas. Pengukuran tekanan panas dilakukan dengan pengukuran suhu tubuh. Penilaian status hidrasi menggunakan profil urin. Serta gejala penyakit akibat tekanan panas didapat dari pengisian kuesioner. Hasilnya ditemukan bahwa terdapat lebih dari 80% pekerja paling tidak mengalami satu gejala penyakit akibat tekanan panas dan resiko penyakit akibat tekanan panas ini meningkat seiring dengan tingkat dehidrasi yang dialami pekerja. Persamaan dengan penelitian ini adalah penilaian status hidrasi dengan memperhatikan berat jenis urin dan warna urin. Sedangkan perbedaannya terletak pada variabel, subjek, dan lokasi penelitiannya. 4. Andyani (2013) dalam penelitiannya berjudul “Hubungan Konsumsi Cairan dengan Status Hidrasi Pada Pekerja Industri Laki-laki”. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis hubungan konsumsi cairan dengan status hidrasi pada pekerja industri laki-laki. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional, bertempat di PT Komatsu Indonesia Jakarta dengan jumlah sampel 73 subjek yang dipilih dengan simple random sampling. Konsumsi cairan diukur dengan menggunakan recall selama 3x24 jam dan status hidrasi diketahui dengan pemeriksaan berat 7
8 jenis urin setelah bekerja. Gejala dehidrasi diukur dengan kuesioner. Hasilnya, ditemukan sebanyak 2,7% pekerja mengkonsumsi cairan 6,0-7,9 liter per hari, 53,4% mengkonsumsi cairan 4,0-5,9 liter per hari, dan 43,9% mengkonsumsi cairan 2,0-3,9 liter per hari (rerata total konsumsi cairan 4208,05 ± 790,78 ml dan kebutuhan cairan 6000-8000 ml). Hanya 28,8% pekerja yang memiliki status hidrasi baik. Sisanya ditemukan mengalami pre-dehidrasi (dehidrasi ringan 37,0% dan dehidrasi sedang 15,1%), sedangkan yang mengalami dehidrasi sebesar 19,2%. Disimpulkan terdapat hubungan antara konsumsi cairan dengan status hidrasi pada pekerja. Persamaan dengan penelitian ini adalah penilaian status hidrasi menggunakan profil urin setelah bekerja. Sedangkan perbedaannya terletak pada variabel bebas, subjek, serta lokasi penelitiannya.
8