BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Todaro dan Stilkind (2000) bahwa terdapat beberapa gejala yang dihadapi oleh negara berkembang, gejala tersebut adalah jumlah pengangguran yang besar dan semakin meningkat. Hal tersebut mengakibatkan kota-kota besar menghadapi berbagai macam problema sosial yang sangat pelik. Hal ini menjadi ciri umum kebanyakan perkotaan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Berdasarkan sensus penduduk 2010,
jumlah penduduk Indonesia
sudah mencapai 237,6 juta jiwa atau bertambah 32,5 juta jiwa sejak tahun 2000. Artinya, setiap tahun selama periode 2000-2010, jumlah penduduk bertambah 3,25 juta jiwa (Wahyu Pramono, 2000). Jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan yang tinggi pula. Tingginya jumlah penduduk diperkotaan mempunyai konsekuensi logis tidak tertampungnya angkatan kerja ke dalam ruang kerja yang formal (Badan Statistik, 2011). Rusman Heriawan, Kepala Badan Pusat Statistik (2011) menyampaikan, jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2010 mencapai 116 juta orang. Kehadiran Pedagang Kaki Lima (PKL) di kota-kota besar merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kota. Berdasarkan data Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) menyebutkan, jumlah PKL yang ada di Indonesia sebanyak 22,9 juta orang. Padahal saat ini jumlah
1
pengusaha mikro yang ada dan tersebar di seluruh wilayah di Indonesia mencapai 53,1 juta orang. Ini artinya, hampir 50 persen pengusaha mikro di negeri ini merupakan pengusaha yang bergerak di sektor PKL (Tadjuddin Noer, 1993). Usaha kecil seperti Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan aset ekonomi bangsa Indonesia, yang memberi andil besar dalam hal ketenaga-kerjaan, pengentasan kemiskinan dan menjadi katup pengaman ekonomi kerakyatan. Pada tahun 1997-1998 sewaktu terjadi krisis ekonomi yang melanda negara kita, banyak perusahaan besar mengalami gulung tikar dan merumahkan karyawannya, akan tetapi sektor informal seperti PKL tidak begitu terkena imbasnya, malah mereka bisa menolong pekerja yang di PHK, masyarakat kecil yang sulit mendapatkan pekerjaan dan lulusan perguruan tinggi yang kurang beruntung (Chris dan Effendi, 1996). Namun, dibalik peranan dan fungsinya yang menopang perekonomian rakyat bawah tersebut, kehadiran sektor informal PKL di kota-kota besar diidentifikasikan
telah
memunculkan
berbagai
permasalahan.
Firdausy
(Alisjabana, 2003) mengatakan, permasalahan sosial ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya sektor informal PKL ini antara lain meningkatnya biaya penyediaan fasilitas-fasilitas umum perkotaan, mendorong lajunya arus migrasi dari desa ke kota, menjamurnya pemukiman kumuh dan tingkat kriminalitas kota. Sedangkan lingkungan perkotaan yang ditimbulkan antara lain adalah kebersihan dan keindahan kota, kelancaran lalu lintas serta penyediaan lahan untuk lokasi usaha
2
Dari gambaran di atas, bisa dikatakan bahwa kehadiran PKL di perkotaan selain mempunyai manfaat juga menimbulkan permasalahan-permasalahan yang mengganggu ketertiban, kebersihan, dan kenyamanan kota. Maka sudah sewajarnya jika persoalan ini menjadi perhatian dan agenda pemerintah. Sebagai wujud komitmen pemerintah Republik Indonesia terhadap PKL sebenarnya sudah lama memperhatikan persoalan ini. Dalam perspektif Bung Hatta (Wakil Presiden RI Pertama), pemerintah sebenarnya aktor yang tak henti mengkreasikan tumbuhnya kelembagaan ekonomi serta merestorasi kelembagaan ekonomi untuk tujuan aktualisasi peran dan aspirasi ekonomi kaum periferal (Anwari, 2012). Bahkan secara tersurat dan lebih definitif tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Juga diberbagai kota besar juga telah menuangkan dengan berbagai bentuk Peraturan Daerah (perda), seperti, Perda Kota Sukabumi Nomor 8 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL); Perda No. 11 Tahun 2000 Tentang Pedagang Kaki. Lima (PKL) di Kota Semarang; Peraturan Bupati (Perbup) Purbalingga No 25 Tahun 2005 tentang penunjukkan lokasi berjualan pedagang kaki lima (PKL); Perda Kota Balikpapan Nomor 12 Tahun 2000, Tentang Larangan Pedagang Kaki Lima; Perda Kabupaten Sukoharjo Nomor 1 Tahun 2007 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima (Dewi Puspita dan Yanuardi, 2013). Juga diberbagai daerah lainnya (Ginting, 2004), tidak terkecuali di Kota Surakarta, antara lain, dengan adanya Perda No. 8 Tahun 1995 Tentang
3
Pembinaan dan Penataan PKL Kota Surakarta; SK Walikota Surakarta No. 2 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Perda No. 8 Tahun 1995; Perda No. 3 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan PKL Kota Surakarta; Perda Kota Surakarta No. 7 Tahun 2009 Tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; SOTK (Struktur Organisasi dan Tata Kerja) Kota Surakarta No. 6 Tahun 2008 Tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta (Joko Suwandi, 2012). Jadi, dengan adanya berbagai produk hukum, baik dalam bentuk peraturan menteri maupun peraturan daerah (perda), hal ini menunjukkan bahwa pedagang kaki lima (PKL) telah lama menjadi perhatian serius pemerintah pusat maupun daerah, termasuk Kota Surakarta. Bisa disebut sebagai amanat konstitusi atau undang-undang. Persoalannya tidak tidak semata-mata dalam tataran kebijakan, tetapi terkait dengan implementasinya. Ada yang efektif dan ada yang sekedar tuntutan formalitas. Implementasinya tergantung gaya kepemimpinan dan pola komunikasi pimpinan daerah, termasuk kondisi subyektif dan kondisi obyektif masing-masing daerah, termasuk Kota Surakarta. Berbicara soal pedagang kaki lima (PKL) dan penertiban dalam tataran implementasinya bagaikan benang kusut yang tak ada ujungnya dan selalu saja ada perlawanan Peristiwa semacam ini terjadi dihampir seluruh daerah di Indonesia.
Lain halnya penataan PKL di Surakarta, mereka (PKL) dengan
sukarela berpindah tempat berdagang ke lokasi yang telah disiapkan oleh Pemerintah dengan menaiki angkutan yang telah disiapkan Pemerintah Kota (Pemkot) dengan arak-arakan yang panjang dan meriah. Mereka dengan sukacita
4
menuju lokasi yang baru. Program penataan dan pembinaan PKL di Surakarta dalam bentuk relokasi PKL dari Monumen Banjarsari ke Pasar Klitikan Notoharjo Semanggi, yang banyak mendapat ekspose publik karena berhasil dilakukan dengan cara damai dan tidak dilakukan dengan kekerasan (Iswanto, 2007). Maka wajar jika fenomena tersebut oleh sementara pihak dipahami sebagai suatu keberhasilan komunikasi pembangunan Pemkot Surakarta, dimana penataan dan pembinaan PKL bisa dilakukan dengan damai dan dilakukan tanpa kekerasan. Memang benar fenomena ini tidak hanya terjadi di Surakarta, tetapi juga terjadi diberbagai daerah lain dengan berbagai keunikan, misalnya, Bandung yang terkenal dengan zonasisasi PKL, Surabaya dari sisi sentra PKL dan Bangkok dari sisi kultur PKL, sedangkan keunikan di Surakarta dari segi pendekatan sosial (Sukmaningtyas, 2013). Fenomena ini tidak hanya menarik dari sisi praktis, tetapi juga menarik dari segi paradigmatik, baik dalam kajian tentang pembangunan dan perkembangan kajian komunikasi pembangunan. Dimana dalam penyelenggaraan pembangunan, diperlukan suatu sistem komunikasi agar terjalin komunikasi efektif dan memiliki makna yang mampu mengarahkan pencapaian tujuan pembangunan. Hal itu perlu sekali dilakukan karena proses pembangunan melibatkan berbagai elemen masyarakat. Komunikasi pembangunan ini harus mengedepankan
sikap
aspiratif,
konsultatif
dan
relationship.
Karena
pembangunan tidak akan berjalan dengan optimal tanpa adanya hubungan sinergis antara pelaku dan obyek pembangunan. Apalagi proses pembangunan ke depan
5
cenderung akan semakin mengurangi peran pemerintah, seiring semakin besarnya peran masyarakat (Badri, 2008). Rogers
(1989)
mengatakan
komunikasi
tetap
dianggap
sebagai
perpanjangan tangan para perencana pemerintah, dan fungsi utamanya adalah untuk mendapatkan dukungan masyarakat dan partisipasi mereka dalam pelaksanaan rencana-rencana pembangunan. Dari pendapat Rogers ini jelas bahwa setiap pembangunan dalam suatu bangsa memegang peranan penting. Dan karenanya pemerintah dalam melancarkan komunikasinya perlu memperhatikan strategi apa yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan sehingga efek yang diharapkan itu sesuai dengan harapan, sebagaimana berbagai upaya yang dilakukan oleh Pemeritah Kota (Pemkot) Surakarta. Adapun
selama
ini
diketahui
bahwa
PKL
dipandang
sebagai
aktivitas illegal dan terkadang diperlakukan seperti kriminal. Studi menunjukkan bahwa hampir di semua negara-negara Asia, PKL tidak mempunyai status legal dalam menjalankan usahanya dan mereka terus mendapatkan tindakan kekerasan oleh pemerintah kota dengan program yang mengatasnamakan penertiban atau penataan. Di sisi lain, peran yang dijalankan sektor informal termasuk PKL belum sepenuhnya diterima pemerintah kota. PKL lebih dipandang sebagai aktivitas nonprofit, karena tidak berkontribusi pada ekonomi lokal atau nasional melalui pajak. Mereka dimarginalkan dalam agenda pembangunan, dengan demikian terkena dampak buruk dari kebijakan makro sosio-ekonomi (Hilal, 2013).
6
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini mencoba untuk mengeksplorasi
dan
menganalisis
fenomena
pembinaan pedagang kaki lima (PKL)
keberhasilan
penataan
dan
di Surakarta. Sedangkan rinciannya,
penelitian ini akan melihat lebih mendalam: 1.
Mengapa proses penataan dan pembinaan pedagang kaki lima (PKL) yang dilakukan oleh Pemerintahan Kota Surakarta bisa dilakukan secara damai, siapa saja pihak-pihak yang terlibat dan berkontribusi dalam program tersebut , apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program tersebut dan bagaimana upaya pemerintahan kota membangun kerjasama dengan stakeholder dalam program tersebut ?
2.
Bagaimanakah respons pedagang kaki lima (PKL) terhadap proses penataan dan pembinaan pedagang kaki lima (PKL) di Surakarta tersebut, terutama terkait dengan
efektivitas komunikasi yang dilakukan oleh Pemkot
Surakarta ? 3.
Apakah faktor komunikasi interpersonal dan faktor gaya kepemimpinan demokratis Pemkot Surakarta mempunyai pengaruh yang nyata terhadap efektivitas komunikasi dalam konteks penataan dan pembinaan PKL di Surakarta dan diantara faktor-faktor tersebut mana yang paling dominan ?
4.
Adakah korelasi antara efektivitas komunikasi Pemkot Surakarta dengan produktivitas pembangunan di Kota Surakarta ?
7
1.3 Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui lebih mendalam proses penataan dan pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dilakukan oleh Pemerintahan Kota yang bisa dilakukan secara damai. Untuk mengetahui siapa saja pihak-pihak yang terlibat dan berkontribusi dalam program tersebut. Juga ingin menggali
lebih
mendalam
faktor-faktor
keberhasilan tersebut dan ingin mengetahui
yang
mempengaruhinya
bagaimana pemerintahan
Kota membangun kerjasama (sinergisitas) dengan stakeholder dalam program tersebut. 2. Ingin mengetahui respons Pedagang Kaki Lima (PKL) terhadap proses penataan dan pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Surakarta tersebut, terutama terkait dengan efektivitas komunikasi yang dilakukan oleh Pemkot Surakarta dalam konteks penataan dan pembinaan PKL di Surakarta. 3. Menganalisis pengaruh faktor komunikasi interpersonal dan faktor gaya kepemimpinan
demokratis
Pemkot
Surakarta
terhadap
efektivitas
komunikasi tersebut dan ingin menganalisis faktor yang paling dominan dari faktor-faktor tersebut. 4. Menganalisa korelasi antara faktor fektivitas komunikasi dan faktor produktivitas pembangunan di Surakarta.
8
1.4 Kegunaan Penelitian Berdasarkan dari tujuan penelitian di atas, yang diharapan kegunaan dari penelitian ini: 1. Bagi pengembangan dunia keilmuan, khususnya Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan di Indonesia adalah ingin mengetahui lebih jauh aspek-aspek kajian komunikasi pembangunan, terutama dalam teori komunikasi interpersonal dan teori gaya kepemimpinan demokratis dalam kasus pembinaan dan penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Surakarta. 2. Bagi pemerintahan daerah (Kota/ Kabupaten) di Indonesia, yang diharapkan dari hasil penelitian ini bisa sebagai model atau inspirasi komunikasi pembangunan dalam berbagai bidang, terutama dalam penataan dan pembinaan Pedagang Kaki Lima (PKL). Sedangkan khusus untuk Pemerintahan Kota Surakarta sebagai input atau bahan evaluasi untuk lebih menyempurnakan program penataan dan pembinaan PKL ke depan.
9