1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Hasan (1988: 57) mengatakan bahwa dari zaman ke zaman manusia menurunkan karya-karya berwujud kebahasaan sambil memberi bentuk dan gaya yang dimaksudkan sebagai pengukuh segi-segi estetika. Salah satu karya manusia yang berwujud kebahasaan ialah terciptanya komunikasi dalam bentuk humor. Humor tidak semata-mata sebagai hiburan untuk melepaskan beban psikologis penikmatnya, tetapi juga sebagai wahana kritik sosial terhadap segala bentuk ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan bentuk yang unik, ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat diungkap dengan bahasa yang humoris dan berkesan santai serta menggelitik pembaca ataupun pendengarnya. Pada umumnya semua orang memiliki rasa humor. Hal yang membedakannya ialah frekuensi dan tujuannya. Humor termasuk salah satu sarana komunikasi yang apabila digunakan secara tepat dapat berfungsi macam-macam, seperti menyampaikan informasi, menyatakan rasa senang, marah, jengkel, dan simpati. Komunikasi dalam humor berbentuk rangsangan yang cenderung secara spontan menimbulkan senyum dan tawa para penikmatnya. Humor mencakup wilayah verbal dan nonverbal. Bentuk-bentuk kreatif yang diciptakan untuk tujuan humor disajikan dalam berbagai bentuk, seperti dongeng, teka-teki, puisi, karikatur, kartun, seni pertunjukan, dan tayangan
2
humor. Adapun beberapa pertunjukan humor yang ditayangkan di stasiun televisi antara lain Srimulat, Bagito Cs, Warkop DKI, Patrio, Lenong Bocah, Ketoprak Humor, Suami-Suami Takut Istri, OVJ (Opera van Java), Segeeer Beneer, Ketoprak Canda, OKB (Orang Kaya Baru), dan lain-lain. Opera Van Java (disingkat OVJ) merupakan salah satu acara humor di stasiun televisi Indonesia. Ide acaranya ialah pertunjukkan wayang orang versi modern. Di acara OVJ, aktor dan aktris yang mengisi acara diberi aba-aba untuk berimprovisasi tanpa menghafal naskah sebelumnya dengan panduan seorang dalang. Para wayang diperankan oleh beberapa pelawak, seperti Nunung, Azis Gagap, Andre Taulany, Sule, Desta, dan dalang diperankan oleh Parto Patrio. Ada juga para pemain musik tradisional lengkap dengan alat musik khas Sunda dan Jawa, disertai dua sinden yang mengiringinya. Lakon-lakon yang dimainkan biasanya tentang cerita rakyat Indonesia yang dimodifikasi, cerita tentang karier seseorang yang terkenal, cerita rekaan, cerita hantu, cerita dari negara lain, atau cerita dari hal-hal yang sedang populer. Keunikan OVJ ialah lawakan dilakukan dengan improvisasi dan mengandalkan panduan dalang, namun selalu berantakan karena akting para pelawak melenceng dari garis besar naskah yang dibacakan dalang. Jika demikian, sang dalang akan turun tangan karena garis besar cerita yang dibacanya diabaikan oleh para pelawak. Ia akhirnya ikut naik kepanggung dan mengawasi cerita, bahkan seringkali ikut campur dan jadi bahan lawakan. Koentjoroningrat (1981: 120) mengatakan bahwa seni drama yang bersifat kontemporer (ludruk, sandiwara rakyat, lenong, dan lain-lain) mutunya masih
3
kasar karena seni drama seperti ini biasanya merupakan tontonan bagi rakyat buruh di kota-kota. Walaupun demikian sifatnya menarik, spontan, mempunyai fungsi sosial yang penting, dan mungkin juga bisa menonjolkan sifat-sifat kekhususan kehidupan Bangsa Indonesia. Pada proses kreatif pembuatan suatu karya cipta, tentu saja pengarang tidak melepaskan diri dari pilihan kata, struktur kalimat, dan gaya bahasa. Begitu juga dengan acara Opera Van Java ini. Salah satu hal yang paling menarik dari pertunjukkan ini ialah adanya tuturan Rayuan Gombal yang dilontarkan para wayang kepada lawan mainnya. Rayuan sudah ada sejak zaman dahulu. Rayuan biasanya digunakan seseorang untuk menarik hati pasangannya. Bentuk rayuan pun bermacammacam, dapat berupa pantun, lagu, atau bisa juga dalam bentuk puisi. Pada hakikatnya, rayuan gombal atau bisa disebut sebagai ‘rayuan maut’ digunakan untuk memberikan efek keromantisan terhadap seseorang. Menurut KBBI (2012:458), kata rayu mempunyai arti hiburan atau bujukan (janji muluk dsb) untuk menyenangkan hati. Merayu mempunyai arti menyenangkan hati (menyedapkan hati, menawan), membujuk (memikat) dengan kata-kata manis, serta mengajukan permohonan. Sedangkan, gombal dalam KBBI (2012: 458) terbagi menjadi dua lema yang berbeda. Lema pertama mengartikan “gombal” sebagai kain tua yang sudah sobek-sobek, sementara lema kedua mengartikan “gombal” sebagai bohong, omong kosong, rayuan. Kata gombal pada lema kedua dapat diturunkan menjadi bentuk yang lebih kompleks, menjadi “gombalan” yang berarti ucapan yang tidak benar, tidak sesuai dengan kenyataan, dan omongan bohong.
4
Dahulu sebelum terciptanya wacana Rayuan Gombal, seseorang merayu pujaan hatinya menggunakan kata-kata yang indah dan memanfaatkan berbagai macam gaya bahasa untuk mempercantik rayuan untuk kekasihnya. Contohnya ialah sebagai berikut: /biarpun malam ini gelap tanpa bintang/, /tapi wajahmu tetap bersinar bagaikan bulan purnama/, /saat kutatap wajah malam/, /yang nampak hanya wajahmu laksana rembulan/, /yang bersinar terang//. Rayuan adalah katamanis yang dipakai untuk membujuk dan menyenangkan hati seseorang yang dicintai atau disayangi. Kata gombal adalah omong kosong atau ucapan yang tidak sebenarnya; bersifat bohong. Jadi, frasa “Rayuan Gombal” adalah ungkapan kata yang manis untuk menyenangkan hati seseorang dengan kata-kata bohong. Tayangan Opera Van Java mempunyai Rayuan Gombal yang sangat khas. Pencipta rayuan-rayuan akan merangkai setiap kata untuk menghasilkan sebuah rayuan yang dapat dinikmati keromantisan dan humornya. Berikut contoh Rayuan Gombal dalam Opera Van Java: (1) A: Neng, bapaknya tukang las, ya? B: Kok tau? A: Tolong lasin hatiku, dong. (OVJ edisi Merayu Anisa Chibi dalamEps.YAkuza)
(2) B: Bapak kamu punya pabrik lem, ya? A: Kok tau, sih? B: Karena Aku bawaannya pengin nempel terus sama kamu. (OVJ edisi Merayu Sara Wijayanto, bagian 2)
5
Rayuan (1) dan (2) merupakan contoh rayuan OVJ yang khas, yaitu menggunakan profesi ayah si gadis untuk menjadi bahan pembuatan rayuan. Dalam Rayuan Gombal OVJ ini, fenomena-fenomena kebahasaan pasti muncul. Fenomena-fenomena kebahasaan yang ada pada kalimat-kalimat dalam Rayuan Gombal OVJ inilah yang menarik untuk dianalisis secara linguistis. Fenomena kebahasaan yang muncul dapat dicontohkan sebagai berikut. (3) A: Pramugari, ya? Boleh nggak Aku minta satu permintaan? B: Apa? A: Boleh nggak aku terbang di hati kamu? (OVJ edisi Merayu Pramugari Satu Audience)
(4) A: Siapa namanya? B: Yuanita. A: Yuanita, namaku Alif. B: Alif? Ada singkatannya nggak? A: Itu nama panggilan saja, panjangnya Alifyou. (OVJ edisi Merayu Yuanita Christiani Episode Balada OB Baru)
Pada rayuan di atas apabila diperhatikan terdapat fenomena kebahasaan yang berbeda. Misalnya pada rayuan (1), (2), dan (3) terdapat pelanggaran maksim kualitas, akan tetapi di dalam tuturan rayuan (4) terdapat fenomena kebahasaan yang lain, yaitu fenomena kebahasaan yang berhubungan dengan fonologi, yaitu adanya substitusi bunyi. Dalam rayuan (4) terdapat penggantian bunyi dari sebuah nama “Alif” menjadi “Alifyou” yang sebenarnya berasal dari kalimat “I Love You” dalam bahasa Inggris.
6
Hal yang menjadikan rayuan dalam OVJ lebih bervariasi ialah adanya pemakaian sebuah daerah untuk dijadikan bahan rayuan. Berikut contoh rayuan yang menggunakan sebuah daerah: (5) A: Papa kamu orang Bogor, ya? B: Iya. Kok tahu? A: Karena kau telah menghujankan hatiku. (OVJ edisi Merayu Desy Bowman)
(6) A: Bapak kamu dari Sumedang, ya? B: Kok tahu? A: Karena kau telah men-tahu-kan hatiku. (OVJ edisi Merayu Ria Winata) Rayuan (5) dan rayuan (6) merupakan rayuan yang mengaitkan sebuah rayuan dengan daerah dan budayanya. Ketika menyebutkan “Bogor”, rayuannya menggunakan kata hujan karena Kota Bogor terkenal sebagai Kota Hujan. Demikian pula rayuan tentang Kota Sumedang yang memanfaatkan kata tahu. Hal ini karena makanan khas dari Sumedang ialah Tahu Sumedang. Setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk dapat memikat hati pasangannya. Berbagai macam cara digunakan, seperti menggunakan puisi, lagu, pantun, kata-kata cinta, dan kata-kata rayuan atau gombalan. Kata gombal digunakan oleh seseorang untuk merayu, menggoda, dan atau mencari perhatian orang lain terutama lawan jenis. Namun, sekarang ini banyak digunakan hanya untuk hiburan. Berbicara tentang humor sebagai wacana, Raskin (dalam Wijana dan Rohmadi, 2009: 139) membedakan wacana biasa dengan wacana humor. Wacana biasa terbentuk dari proses komunikasi yang bonafide (bonafide process of communication), sedangkan wacana humor terbentuk dari proses komunikasi
7
yang tidak bonafide (non-bonafide process of communication). Oleh karena itu, wacana humor sering kali menyimpang dari aturan-aturan berkomunikasi yang digariskan oleh prinsip-prinsip pragmatik, baik yang bersifat tekstual maupun interpersonal (Nelson dikutip Wijana dan Rohmadi, 2009: 139). Permainan bahasa dalam wacana humor memuat ketidakterdugaan. Unsur ketidakterdugaan merupakan hal yang tidak dapat diabaikan di dalam penciptaan humor (Wijana, 2004: 280). Penciptaan ketidakterdugaan dalam wacana humor terbentuk lewat pemanfaatan berbagai aspek kebahasaan yang digunakan secara tidak semestinya. Sebagai wahana yang dimanfaatkan seseorang untuk menuangkan gagasannya, humor terus mengalami variasi. Misalnya di dalam humor rayuan pada acara OVJ, terjadi perbedaan interpretasi antara penutur dan petuturnya. Hal ini bertentangan dengan prinsip komunikasi dalam tuturan wajar. Jika pada tuturan wajar, penutur dan petutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidahkaidah yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya, dalam humor kaidah-kaidah tersebut dikesampingkan. Ketika Rayuan Gombal hanya dipakai oleh penutur pria kepada mitra tutur wanita, wacana tersebut sedang dipakai untuk merayu dan menggoda mitra tutur. Namun, ketika rayuan dipakai di atas panggung hiburan dan disaksikan penonton, wacana tersebut sedang dipakai untuk melucu seperti yang telah lazim ada dalam acara OVJ tersebut. Dengan demikian, Rayuan Gombal telah menjadi gejala bahasa yang berkembang dan mempublik sehingga menarik untuk diteliti. Di samping itu, ini merupakan bagian dari budaya pop yang bersifat sementara
8
sehingga kajian tentang menjadi perlu untuk didokumentasikan sebagai salah satu fenomena bahasa yang pernah berkembang saat ini.
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana ciri khas Rayuan Gombal dalam Opera Van Java? 2. Bagaimanakah pemanfaatan aspek pragmatik pada penciptaan Rayuan Gombal dalam Opera Van Java? 3. Bagaimanakah pemanfaatan aspek kebahasaan pada penciptaan Rayuan Gombal dalam Opera Van Java?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan ciri khas Rayuan Gombal dan struktur wacana humor Rayuan Gombal dalam Opera Van Java. 2. Mendeskripsikan pemanfaatan aspek pragmatik pada penciptaan Rayuan Gombal dalam Opera Van Java. 3. Mendeskripsikan pemanfaatan aspek kebahasaan pada penciptaan Rayuan Gombal dalam Opera Van Java.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis dan manfaat praktis. Secara teoretis, hasil penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan wawasan dalam khazanah linguistik, khususnya kajian wacana dan pragmatik. ini merupakan bagian dari budaya pop yang bersifat sementara sehingga kajian tentang menjadi perlu, untuk mendokumentasikan salah satu fenomena bahasa
9
yang pernah berkembang saat ini. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah referensi penelitian tentang penelitian humor di Indonesia sehingga dapat sedikit melengkapi penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Sementara itu, secara praktis, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan pembaca untuk mengetahui jenis-jenis wacana rayuan gombal serta cara menilai dan membuat rayuam gombal yang menarik sebagai sebuah hiburan dan humor. Selanjutnya, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan motivasi kepada masyarakat terutama generasi muda untuk terus berkarya menciptakan humorhumor yang lebih bervariasi dan lebih menarik.
1.5 Ruang Lingkup Permasalahan 1.5.1. Ruang Lingkup Data Data
yang diambil adalah tayangan rekaman Opera Van Java yang
diunduh dengan aplikasi IDM di situs yang mengunggah hasil rekaman. Rekaman yang diunduh keseluruhan dalam bentuk video. Kemudian hasil rekaman ditranskripsikan. Terdapat 102 buah judul episode dalam data ini. Pada setiap judul, jumlah rayuan yang ada di dalamnya berbeda-beda, tetapi secara keseluruhan peneliti dapat mengumpulkan 295 dialog yang mengandung rayuan yang kemudian akan diteliti. 1.5.2 Ruang Lingkup Analisis Data Penelitian ini di batasi pada analisis pragmatik dan beberapa aspek kebahasaan lainnya, misalkan: fonologi, morfologi, sintaksis, dan gaya bahasa.
10
1.6 Tinjauan Pustaka Pravitasari, dalam penelitiannya “Wacana Rayuan Gombal Sebagai Bentuk Humor” (2013) membahas penggunaan bahasa dalam Wacana Rayuan Gombal (WRG) yang meliputi penggunaan topik, relasi semantik, dan penyimpangan aspek pragmatik. Data penelitian tersebut diperoleh dari dua buku tercetak dan satu halaman Facebook. Berdasarkan sudut pandang linguistik, WRG menggunakan relasi makna sinonimi dan hipernimi. Adapun gaya bahasa yang digunakan dalam WRG yaitu gaya bahasa tidak resmi, repetisi, hiperbola, metafora, sarkasme, dan simile. Secara pragmatik diketahui bahwa terdapat penyimpangan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan dalam WRG. Selanjutnya terdapat penelitian yang dilakukan oleh Ariyanto, “Analisis wacana Humor Rons Imawan” (2013). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan humor yang ditimbulkan oleh pemanfaatan aspek-aspek pragmatik dan aspek-aspek kebahasaan, tipe-tipe wacana humor, dan fungsi wacana humor Rons Imawan. Purwanti dalam penelitiannya berjudul “Wacana humor dalam komedi Extravaganza: Kajian Sosiopragmaik” (2006). Penelitian ini membahas tentang pemanfaatan aspek pragmatik dalam penciptaan humor pada pertunjukkan komedi Ekstravaganza dan selanjunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Hendradi dalam skripsinya yang berjudul “Wacana Humor bernuansa Pornografi dalam Bahasa Indonesia, mengungkapkan gaya bahasa, akronim, permainan symbol dan ketaksaan makna” (2010). Giyatmi dalam penelitiannya yang berjudul “Wacana Humor pada Radio Expose di Radio JPI FM Solo” (2008) mendeskripsikan aspek-aspek kebahasaan,
11
aspek penyimpangan dan pemanfaatan pragmatik dalam penciptaan humor, pemanfaatan konteks, dan fungsi humor. Penelitian ini menggunakan data humor verbal dalam radio. Selain aspek kebahasaan dan penyimpangan aspek-aspek pragmatik, penelitian ini juga membahas konteks yang memengaruhi penciptaan humor radio. Pemanfaatan aspek pragmatik meliputi penyimpangan prinsip kerjasama, penyimpangan prinsip kesopanan, dan pemanfaatan prinsip ironi. Konteks yang memengaruhi penciptaan humor radio adalah peserta tutur, penamaan peserta tutur, hubungan peserta tutur, hubungan radio dengan pendengar, setting, tujuan, dan topik wacana. Wijana dalam penelitiannya yang berjudul “Kartun: Studi tentang Permainan Bahasa” (2004) mendeskripsikan humor berdasarkan aspek-aspek penyimpangan bertutur, aspek kebahasaan, dan tipe-tipe wacana kartun. Penelitian ini merujuk pada kajian analisis wacana dalam kerangka pragmatik. Humor dalam kartun terjadi karena pelanggaran prinsip-prinsip bertutur. Aspek-aspek kebahasaan yang digunakan dalam wacana kartun adalah ragam bahasa informal dengan dominasi pengaruh dialek bahasa Jawa dan dialek Jakarta. Penelitian-penelitian diatas menunjukkan bahwa banyak dilakukan penelitian sebelumnya, terkait kesenian wacana humor. Sejauh ini peneliti belum menemukan penelitian serupa dengan judul yang diajukan peneliti, yang berusaha menunjukkan analisis pragmatik dan struktur kebahasaan pada Rayuan Gombal dalam Opera Van Java dan juga analisis gaya bahasa yang ada di dalamnya.
12
1.7 Landasan Teori 1.7.1 Teori Humor Humor adalah sesuatu yang lucu; keadaan yang menggelikan hati; berhubungan dengan kejenakaan dan kelucuan (KBBI, 2007: 214). Humor adalah rasa atau gejala yang merangsang kita untuk tertawa secara mental. Hal ini dapat berupa rasa ataupun kesadaran di dalam diri kita (sense of humor); bisa juga berupa suatu gejala atau hasil cipta dari dalam maupun dari luar diri kita. Indikasinya adalah tertawa lepas, tersenyum, ataupun tergelitik dalam batin. Rangsangan yang ditimbulkan harus berupa rangsangan mental untuk tertawa. Rangsangannya bukanlah rangsangan secara fisik, seperti rasa geli akibat digelitik (Setiawan dalam Rahmanadji, 2007: 216). Dalam menganalisis humor terdapat teori psikologi yang dapat digunakan untuk analisisnya. Pada umumnya, adalah teori pembebasan, teori pertentangan, dan teori ketidakselarasan (Rahmanadji, 2007: 215—216). Teori pembebasan merupakan teori yang menitikberatkan pada reaksi emosi atau perasaan seseorang terhadap humor. Hartley (1979 dalam Wilson, 1979: 10) mengemukakan bahwa humor merupakan pelepasan terhadap rasa kesakitan yang terjadi secara tiba-tiba. Kegembiraan yang dicapai secara tiba-tiba itulah yang disamaartikan sebagai pembebasan. Teori pertentangan merupakan teori yang menitikberatkan
pada
pertentangan tanggapan yang dilakukan oleh penutur kepada mitra tutur ataupun sebaliknya. Teori ini menekankan pada perilaku humor, yaitu sikap-sikap saling bertentangan. Greig (dalam Wilson, 1979: 11) menyatakan bahwa humor
13
merupakan
pertentangan
antara
sikap
ramah
dan
sikap
acuh.
Teori
ketidakselarasan merupakan teori yang menitikberatkan pada aspek kognitif, yaitu menggabungkan dua makna atau dua pengertian yang berlawanan ke dalam suatu objek yang kompleks. Hasan (dalam Rahmanadji, 2007: 216) membagi humor dalam dua kelompok besar, yaitu: (1) humor pada dasarnya berupa tindakan agresif yang dimaksudkan untuk melakukan degradasi terhadap seseorang; (2) humor adalah tindakan untuk melampiaskan perasaan tertekan melalui cara yang ringan dan dapat dimengerti, dengan akibat kendornya ketegangan jiwa. Teori dalam psikologi berbeda dengan teori humor yang dilihat dari sudut bahasa. Dalam sudut pandang bahasa penciptaan humor merupakan permainan bahasa yang sengaja diciptakan secara kreatif. Jika diperhatikan dengan seksama, terdapat persamaan kaidah antara teori ketidakselarasan dan penyimpangan kaidah-kaidah pragmatik di dalam bahasa (Wijana, 2004: 28). Ada beberapa cara yang bisa dilakukan manusia untuk melakukan interaksi sosial, salah satunya adalah melalui humor. Melalui humor pula pesan dapat disampaikan. Poerbadjaraka, seorang pakar budaya Jawa, mengatakan bahwa dengan humor kita dibuat tertawa, sesudah itu kita disuruh pula berpikir merenungkan isi kandungan humor itu, kemudian disusul dengan berbagai pertanyaan yang relevan dan akhirnya kita disuruh mawas diri (Agustin, 2003). Berdasarkan etimologinya, humor berasal dari kata bahasa Latin humor yang berarti cairan (Manser dalam Rahmanadji 2007: 214). Sejak 400 SM, masyarakat Yunani Kuno beranggapan bahwa suasana hati ditentukan oleh empat
14
macam cairan di dalam tubuh. Cairan-cairan itu ialah darah (sanguis), lendir (phlegm), empedu kuning (choler), dan empedu hitam (melancholy). Kelebihan salah satunya dapat memengaruhi suasana bahkan karakter masing-masing orang. Sebagai contoh, darah menentukan suasana gembira
(sangunine), lendir
menentukan suasana tenang (phlegmatic), empedu kuning menentukan suasana marah (choleric), dan empedu hitam menentukan suasana sedih (melancholic). Begitupun dengan karakter, misalnya kekurangan darah menyebabkan orang tidak mudah marah dan kelebihan empedu kuning menyebabkan orang menjadi angkuh, pendendam, ambisius, dan licik. Humor disampaikan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Musbikin dalam bukunya yang berjudul Humor Tertawa (2013) merumuskan beberapa teori humor dari filsuf-filsuf Barat. Teori yang pertama ialah teori Puns. Teori ini dirumuskan oleh Athur Koestler. Teori Puns berkaitan dengan teknik asal-usul humor yang berasal dari teknik mempermainkan kata-kata yang bermakna ganda. Teori yang kedua ialah teori humor superioritas dan degrasi. Seseorang tertawa jika menyaksikan sesuatu yang janggal dan kekeliruan atau cacat. Objek yang membuat tertawa ialah objek yang ganjil, aneh, dan menyimpang. Seseorang tertawa karena tidak mempunyai objek yang menggelikan. Sebagai subjek, manusia mempunyai kelebihan atau superioritas sedangkan objek yang ditertawakan mempunyai sifat-sifat yang rendah. Selanjutnya ialah teori humor pelepasan inhibisi. Teori ini diambil dari Sigmun Freud. Manusia banyak menekan keinginan keinginan yang tidak bisa wujudkan (yang secara sosial tidak dapat diterima). Salah satu diantaranya
15
termasuk dorongan yang kita tekan itu ialah dorongan agresif. Dorongan agresif masuk kedalam alam bawah sadar dan bergabung dengan kesenangan bermain dan masa kanak-kanak. Bila dorongan ini dilepaskan dalam bentuk yang bisa diterima oleh masyarakat, artinya terjadi pelepasan inhibisi, yaitu merasa senang terlepas dari sesuatu. Dengan kata lain, adanya pelepasan rasa tegang yang menyebabkan munculnya perasaan senang yang diwujudkan dengan tertawa. Penelitian para ahli menunjukkan bahwa humor bisa menyebabkan orang lebih sering tertawa. Dengan tertawa dapat lebih menyehatkan fisik dan mental. Tertawa dapat menghilangkan sekitar 70% penyakit. Humor dapat menstabilkan kondisi psikis seseorang, yakni dapat mengurangi kecemasan dan menghilangkan stres. Dengan tertawa, hormon endorphin dilepaskan dan dapat melawan hormon pemicu stres (kortisol, andrenalin, dan ephinerphin) yang keluar ketika stres. Hal ini bisa mengurangi tekanan darah yang merupakan peyebab berbagai macam penyakit. Humor juga dapat mengembalikan kekebalan tubuh. Pada saat tertawa, sistem kekebalan tubuh, sistem tulang, pembuluh darah, jantung maupun otot bekerja aktif. Humor juga dapat menstimulasi pikiran dan perasaan positif karena humor membuat hati seseorang tenang. Pikiran yang tenang menjadi energi positif yang mendorong meningkatnya mood, lebih mudah berpikir, menemukan ide ide baru yang lebih kreatif dan semangat dalam melakukan aktivitas. Humor juga ternyata bermanfaat pula dalam menjalin relasi sosial dan meningkatkan kualitas aktivitas. Humor juga dapat mendekatkan hubungan antara orang tua dan anaknya serta antarsesamanya. Sejumlah peneliti telah
16
merumuskan definisi humor yang berbeda-beda, tetapi memiliki poin-poin penting yang serupa, yaitu Humor adalah rasa atau gejala yang merangsang kita untuk tertawa atau cenderung tertawa secara mental, ia bisa berupa rasa, atau kesadaran, di dalam diri kita (sense of humor); bisa berupa suatu gejala atau hasil cipta dari dalam maupun dari luar diri kita. Bila dihadapkan pada humor, kita bisa langsung tertawa lepas atau cenderung tertawa saja, misalnya tersenyum atau merasa tergelitik di dalam batin saja. Dalam sebuah wacana/tuturan, aspek humor pada umumnya disebabkan oleh pengacauan persepsi yang telah dibangun pada situasi awal tuturan. Pada situasi yang sama, bentuk-bentuk humor dimunculkan sehingga menimbulkan ketidakterdugaan tanggapan bahkan rasa malu pada mitra tutur.
1.7.2 Teori Kebahasaan Humor yang menjadi objek di dalam penelitian ini akan dikaji dari segi fungsi pragmatik, sesuai dengan pandangan George (dalam Tarigan, 1990: 32) bahwa pragmatik menelaah keseluruhan perilaku insan, terutama sekali dalam hubungannya dengan tanda-tanda dan lambang-lambang. Pragmatik memusatkan perhatian pada cara insan berperilaku dalam keseluruhan situasi pemberian tanda dan penerimaan tanda. Dalam mengkaji humor berupa percakapan, perlu diperhatikan prinsip prinsip dan strategi berkomunikasi sebagai rambu-rambu yang mengatur agar komunikasi berjalan dengan wajar dan hubungan sosial tetap terjaga. Ramburambu tersebut dinamakan Prinsip Kerja Sama dan Prinsip Sopan Santun.
17
Selain itu, pola alih tutur di dalam percakapan juga harus diperhatikan agar kedua prinsip tersebut dapat terpenuhi. Dalam jangka yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6), studi bahasa sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem formalnya, yaitu dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan logika, yang terlihat seperti mengabaikan unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam linguistik, Pragmatik merupakan satusatunya tataran yang turut memperhitungkan manusia sebagai pengguna bahasa. Definisi pragmatik menurut Yule (1996: 3) terdiri dari 4 macam, yakni (1) bidang yang mengkaji makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan tertentu. Sehingga dengan kata lain, pragmatik dapat disimpulkan sebagai suatu telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi peserta tutur dalam menafsirkan kalimat atau menelaah makna dalam hubungannya dengan situasi ujaran. Menurut KBBI, pragmatik berkenaan dengan syarat-syarat
yang
mengakibatkan serasi tidaknya bahasa dalam komunikasi (1993: 77). Ilmu pragmatik mempunyai definisi lain sebagai berikut: (1) Pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa. Disini, pengertian atau pemahaman bahasa menunjukkan fakta bahwa
18
untuk mengerti sesuatu diperlukan pengetahuan diluar makna dan tata bahasanya, yaitu konteks dalam memakai bahasa; (2) Pragmatik merupakan kajian tentang kemampuan penutur dalam mengaitkan kalimat yang sesuai dengan konteks kalimat tersebut (Levinson, 1983: 9). Pencetus teori tindak tutur, Searle membagi tindak tutur menjadi lima kategori: 1.
Representative/Asertif Tindak tutur Representative merupakan tuturan yang mengikat penuturnya
akan kebenaran atas apa yang diujarkan. Tindak tutur jenis ini juga disebut dengan tindak tutur Asertif. Yang termasuk tindak tutur jenis ini adalah tuturan menyatakan, menuntut, mengakui, menunjukkan, melaporkan, memberikan kesaksian, menyebutkan, berspekulasi. Contoh jenis tuturan ini ialah: “Adik selalu unggul di kelasnya”. Tuturan tersebut termasuk tindak tutur representatif sebab berisi informasi yang penuturnya terikat oleh kebenaran isi tuturan tersebut. Penutur bertanggung jawab bahwa tuturan yang diucapkan itu memang fakta dan dapat dibuktikan di lapangan bahwa si adik rajin belajar dan selalu mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Contoh yang lain ialah: “Tim sepak bola andalanku menang telak”, dan tuturan “Bapak gubernur meresmikan gedung baru ini”.
2.
Direktif/Impositif Tindak tutur Direktif merupakan tindak tutur yang dimaksudkan
penuturnya agar si pendengar melakukan tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu. Tindak tutur direktif disebut juga dengan tindak tutur impositif. Yang
19
termasuk ke dalam tindak tutur jenis ini antara lain tuturan meminta, mengajak, memaksa, menyarankan, mendesak, menyuruh, menagih, memerintah, mendesak, memohon, menantang, memberi aba-aba. Contohnya ialah tuturan “Bantu Aku memperbaiki tugas ini”. Contoh tersebut termasuk dalam tindak tutur jenis direktif sebab tuturan itu dituturkan dimaksudkan penuturnya agar melakukan tindakan yang sesuai yang disebutkan dalam tuturannya yakni membantu memperbaiki tugas. Indikator dari tuturan direktif adalah adanya suatu tindakan yang dilakukan oleh mitra tutur setelah mendengar tuturan tersebut.
3.
Ekspresif Tindak tutur ini disebut juga dengan tindak tutur evaluatif. Tindak tutur
ekspresif adalah tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam tuturan itu, meliputi tuturan
mengucapkan
terima
kasih,
mengeluh,
mengucapkan
selamat,
menyanjung, memuji, meyalahkan, dan mengkritik, sebagai contoh ialah tuturan “Sudah kerja keras mencari uang, tetap saja hasilnya tidak bisa mencukupi kebutuhan keluarga”. Tuturan tersebut merupakan tindak tutur ekspresif mengeluh yang dapat diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang dituturkannya, yaitu usaha mencari uang yang hasilnya selalu tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Contoh tuturan lain ialah “Pertanyaanmu bagus sekali” (memuji), “Gara-gara kecerobohan kamu, kelompok kita didiskualifikasi dari kompetisi ini” (menyalahkan), “Selamat ya, Bu, anak Anda perempuan” (mengucapkan selamat).
20
4.
Komisif Tindak tutur komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk
melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya bersumpah, berjanji, mengancam, menyatakan kesanggupan, berkaul. Contoh tindak tutur komisif kesanggupan ialah “Saya sanggup melaksanakan amanah ini dengan baik”. Tuturan itu mengikat penuturnya untuk melaksanakan amanah dengan sebaik-baiknya. Hal ini membawa konsekuensi bagi dirinya untuk memenuhi apa yang telah dituturkannya. Cotoh tuturan yang lain ialah “Besok saya akan datang ke pameran lukisan Anda”, “Jika sore nanti hujan, Aku tidak jadi berangkat ke Solo”.
5.
Deklaratif/Establisif Tuturan deklaratif merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya
untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Tindak tutur ini disebut juga dengan istilah isbati. Yang termasuk dalam jenis tuturan ini ialah tuturan dengan maksud mengesankan, memutuskan, membatalkan, melarang, mengabulkan, mengizinkan, menggolongkan, mengangkat, mengampuni, dan memaafkan. Grice mengemukakan bahwa dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama itu, setiap penutur harus mematuhi
empat
maksim
percakapan
(conversational maxim), yaitu maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim ofquality), maksim relevansi (maxim of relevance) dan maksim pelaksanaan (maxim of manner) (Wijana, 1996: 46).
21
1)
Maksim Kuantitas Maksim ini mengharapkan agar peserta tutur memberikan respons atau
jawaban secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan lawan tutur saja. Contohnya ketika seseorang ditanya siapa namanya, dia tidak perlu memberikan jawaban selain informasi tentang namanya, seperti alamat, status, dan lain sebagainya. 2)
Maksim Kualitas Maksim percakapan ini mengharuskan setiap partisipan komunikasi
mengatakan hal yang sebenarnya. Artinya jawaban atau respons hendaknya didasarkan pada bukti yang memadai. Contohnya ketika seorang murid ditanya gurunya apa ibu kota Jepang, maka dia kalau memang tahu harus menjawab Tokyo, karena hal tersebut tidak terbantahkan lagi. Namun bisa saja terjadi kesengajaan, seorang penutur melanggar maksim kualitas ini. Hal ini tentu mempunyai maksud seperti menimbulkan efek lucu (Wijana, 1996: 49). 3)
Maksim Relevansi Maksim relevansi mewajibkan setiap peserta tutur memberikan kontribusi
relevan dengan pokok pembicaraan. Maksim relevansi menekankan keterkaitan isi tuturan antar peserta percakapan. Setiap peserta percakapan saling memberikan kontribusi yang relevan dengan topik pembicaraan sehingga tujuan percakapan dapat tercapai secara efektif. Namun terkadang secara tersurat (eksplisit) respons yang diberikan tidak terlihat relevansinya dengan pokok pembicaraan, karena sudah ada latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang sama antara penutur dan lawan tutur maka komunikasi masih tetap bisa berjalan. Dengan kata
22
lain, yang tersurat (eksplisit) nampak tidak relevan namun, yang tersirat (implisit) sebenarnya relevan. 4)
Maksim Pelaksanaan atau Maksim Cara Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara
secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, secara runtut dan tidak berlebih-lebihan. Bila hal ini dilanggar, biasanya penutur mempunyai tujuan tertentu, misalnya mengelabuhi, menimbulkan efek lucu. Maksim
pelaksanaan
ialah
aturan
pertuturan yang mengharuskan peserta tutur untuk memberikan kontribusi tuturan yang runtuh, tidak ambigu, tidak taksa, dan tidak berlebihan. Berkaitan dengan pembagian maksim, Leech (dalam Wijana, 2004: 51) berpendapat bahwa selain keempat maksim di atas, dalam prinsip kerja sama masih diperlukan prinsip kesopanan yang dibagi dalam enam maksim. 1.
Maksim kebijaksanaan Maksim kebijaksanaan adalah aturan dalam pertuturan dengan cara
meminimalkan kerugian
terhadap
lawan
tutur
dan
memaksimalkan
keuntungan bagi lawan bicara. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa semakin panjang tuturan seorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan kepada
lawan
bicaranya.
Demikian pula
tuturan
yang
diutamakan secara tidak langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara langsung.
23
2.
Maksim penerimaan Maksim penerimaan adalah aturan pertuturan yang meminimalkan
ketidakhormatan terhadap orang lain dan memaksimalkan pujian terhadap orang lain. 3. Maksim kemurahan Maksim kemurahan adalah pertuturan dengan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri dan memaksimalkan kerugian bagi orang lain. Maksim ini dinyatakan dengan kalimat ekspresif dan asertif. Dengan penggunaan kalimat ekspresif
dan
asertif
ini
jelaslah
tidak
hanya dalam menyuruh dan
menawarkan sesuatu seseorang harus berlaku sopan, tetapi di dalam mengungkapkan perasaan, dan menyatakan pendapat ia tetap diwajibkan berlaku sopan. 4. Maksim kerendahan hati Maksim kerendahan hati adalah aturan dalam pertuturan dengan memaksimalkan ketidak hormatan terhadap diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat terhadap diri sendiri. 5. Maksim kecocokan Maksim kecocokan tuturan dalam pertuturan dengan memaksimalkan kecocokan
di
antara mereka
dan meminimalkan ketidakcocokan di antara
mereka. Dalam hal ia tidak menyetujui apa yang dinyatakan oleh lawan tuturnya ia dapat membuat pernyataan yang mengandung ketidaksetujuan atau ketidakcocokan partial (partial agreement).
24
6. Maksim kesimpatian Maksim kesimpatisan adalah
aturan
dalam
pertuturan
dengan
memaksimalkan rasa simpati kepada orang lain, dan meminimalkan rasa antipati kepada orang lain. Maksim ini dinyatakan dalam kalimat ekspresif dan asertif. Dalam sebuah percakapan terdapat parameter pragmatik agar yang dituturkan tidak janggal dan menyinggung mitra tutur. Parameter pragmatik meliputi tingkat jarak sosial, tingkat status sosial, dan tingkat peringkat tindak ucap. Tingkat jarak sosial ditentukan berdasarkan hubungan keakraban, perbedaan usia, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Tingkat status sosial ditentukan berdasarkan konteks situasi antarpenutur. Tingkat peringkat tindak ucap ditentukan berdasarkan kedudukan alternatif antara tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lain dalam suatu konteks tuturan (Wijana, 2004: 115— 116). Pelanggaran-pelanggaran maksim dan parameter pragmatik sengaja dilakukan agar tercipta dialog yang mengandung humor. Parameter pragmatik meliputi tingkat jarak sosial, tingkat status sosial, dan tingkat peringkat tindak ucap. Tingkat jarak sosial ditentukan berdasarkan hubungan keakraban, perbedaan usia, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. Tingkat status sosial ditentukan berdasarkan konteks situasi antarpenutur. Tingkat peringkat tindak ucap ditentukan berdasarkan kedudukan alternatif antara tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lain dalam suatu konteks tuturan. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip komunikasi, yakni prinsip kerja sama, prinsip sopan santun, dan parameter pragmatik akan menghasilkan
25
tuturan yang wajar. Namun, prinsip-prinsip itu sengaja dilanggar untuk menciptakan humor. Wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang menduduki hierarki gramatikal tertinggi. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan utuh berupa novel, buku, seri ensiklopedia, paragraf, kalimat, ataupun kata yang membawa amanat lengkap (Kridalaksana, 1983: 5). Menurut Fairclough, hal yang penting dalam wacana adalah fungsinya, yakni untuk mengungkapkan realitas sosial budaya yang melatarbelakangi pembentukan wacana. Wacana Rayuan OVJ dapat diidentifikasi berdasarkan beberapa aspek, yaitu penggunaan bahasa, penggunaan media komunikasi, sifat wacana, bentuk wacana, dan cara dan tujuan pemaparannya (Sumarlam dkk, 2003: 15) Wacana dipadankan dengan istilah discourse dalam bahasa Inggris dan le discours dalam bahasa Perancis. Kata tersebut berasal dari bahasa Yunani discursus yang bermakna “berlari ke sana ke mari” (Sudaryat, 2009: 110). Wacana adalah kesatuan yang tatarannya lebih tinggi atau sama dengan kalimat, terdiri atas rangkaian yang membentuk pesan, memiliki awal dan akhir. Hal tersebut hampir sama seperti yang diungkapkan oleh Carlson bahwa wacana merupakan rentangan ujaran yang berkesinambungan (Carlson dalam Tarigan, 2009: 22). Kridalaksana (2008: 259) mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh, paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
26
Menurut Alwi (2003: 419), wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan lainnya dalam kesatuan makna. Sejalan dengan Alwi, Deese (dalam Tarigan, 2009: 24) mendefinisikan wacana sebagai seperangkat preposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca. Tarigan (2009: 24) menyebutkan ada delapan unsur penting yang terdapat dalam wacana, yaitu (1) satuan bahasa, (2) terlengkap dan terbesar atau tertinggi, (3) di atas kalimat/klausa, (4) teratur/rapi/rasa koherensi, (7) lisan dan tulis, (8) awal dan akhir yang nyata. Berdasarkan berbagai pendapat tentang pengertian wacana di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa wacana adalah sebuah bentuk tindakan komunikasi interaktif yang dapat dilakukan baik secara lisan atau tertulis. Wacana selalu melibatkan dua pihak yaitu penyapa dan pesapa. Wacana merupakan organisasi bahasa tertinggi yang lebih besar atau di atas kalimat. Wacana dapat terwujud dalam bentuk kalimat-kalimat yang banyak dan panjang, namun juga dapat sangat pendek berupa kalimat tunggal yang memiliki makna dan konteks. Wacana sangat berkaitan dengan konteks yang melingkupinya. Wacana yang baik harus memiliki kohesi dan koherensi yang tinggi agar menjadi wacana yang utuh dan terbaca. Selain itu, wacana juga harus memiliki awal dan akhir yang nyata. Selain mengkaji tentang pelanggaran maksim yang ada pada rayuan, peneliti juga akan menguraikan bentuk kebahasaan dan gaya bahasa yang ada di dalam kalimat-kalimat Rayuan Gombal dalam tayangan OVJ. Struktur bahasa
27
meliputi bidang-bidang tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Atau dengan kata lain tata bahasa meliputi fonologi, morfologi dan sintaksis (Keraf, 1972: 27). Fonologi merupakan bagian dari tata bahasa yang mempelajari bunyibunyi bahasa pada umumnya. Fonologi dibagi menjadi dua bagian yaitu, yaitu fonetik dan fonemik. Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisa bunyi-bunyi ujaran yang dipakai dalam tutur, serta mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut dengan alat ucap manusia (Keraf, 1972: 29). Fonetik adalah penyelidikan bunyi bahasa, tanpa memperhatikan fungsinya untuk membedakan makna (Verhaar, 1982: 12), sedangkan fonemik adalah ilmu yang mempelajari bunyi-ujaran dalam fungsinya sebagai pembeda arti (Keraf, 1972: 29). Morfologi merupakan bidang linguistik yang mempelajari susunan bagianbagian kata secara gramatikal (Verhaar, 1982: 52). Sementara itu, Ramlan (2001: 21) mengatakan bahwa morfologi adalah bagian ilmu bahasa yang membicarakan atau yang mempelajari seluk beluk bentuk kata serta pengaruh perubahanperubahan bentuk kata terhadap golongan dan arti. Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa dan frase (Ramlan, 2005: 18). Bidang sintaksis menyelidiki semua hubungan antarkata dan antarkelompok kata (antarfrase) dalam satuan dasar sintaksis itu, yaitu kalimat (Verhaar, 1982: 70). Keraf (2001: 113) mengemukakan bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis sebagai pemakai bahasa. Gaya atau khususnya gaya
28
bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style (Keraf, 2001: 112). Amminudin (1995: 9) mengatakan bahwa style atau gaya bahasa dapat diartikan sebagai cara menyusun dan menggambarkan sesuatu secara tepat dan mendalam hingga dapat menampilkan nilai keindahan tertentu sesuai dengan impresi dan tujuan pemaparnya. Menurut Keraf dalam buku Diksi dan Gaya Bahasa, gaya bahasa dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: 1) gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, 2) gaya bahasa berdasarkan nada, 3) gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat, 4) gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Pada penelitian ini, peneliti akan menganalisis gaya bahasa berdasarka struktur kalimat dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Gaya Bahasa berdasarkan struktur kalimat dapat dibedakan menjadi lima macam (Keraf, 2001: 124—127) sebagai berikut: 1. Klimaks 2. Antiklimaks 3. Paralelisme 4. Antitesis 5. Repetisi, terdiri dari: (a) epizeukis; (b) tautotes; (c) anaphora; (d)
epistrofa;(e)
simploke; (f) mesodiplosis; (g) epanalopsis; (h) anadiplosis. Sementara itu, gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dibedakan menjadi dua macam yang kemudian dari kedua macam gaya bahasa tersebut masih dibagi lagi menjadi tiga puluh tujuh macam gaya bahasa (Keraf, 2001: 129—145). Gaya-gaya bahasa tersebut anatara lain:
29
1. Gaya Bahasa Retoris. Macam-macam gaya bahasa Retoris, yaitu: (a)aliterasai; (b)asonansi; (c) anasrof; (d) apofasis; (e) apostrof; (f) asyndeton; (g) polisidenton; (h) kiasmus; (i) ellipsis; (j) eufimismus; (k) litetos; (l) hysteron; (m) pleonasme; (n) periphrasis; (o) prolepsis; (p) erotesis; (q) zilepsis; (r) koreksio; (s) hiperbola; (t) paradoks; (u) oksimoron. 2. Gaya Bahasa Kiasan. Gaya bahasa Kiasan adalah sebagai berikut: (a) simile; (b) metafora; (c) alegori dan fable; (d) personifikasi; (e) alusio; (f) eponym; (g) epitet; (h) sinekdoke; (i) metonimia; (j) antonomasia; (k) hipalase; (l) ironi; (m) satire; (n) innuendo; (o) antifrasis; (p) paronomasia. Untuk teori pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan yang lain dalam penciptaan humor akan diuraikan dalam bab empat.
1.7 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode penelitian kualitatif. Menurut Taylor dan Bogdan (1984: 5), penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tulisan.
1.7.1 Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data menggunakan rekaman Opera Van Java yang diunduh dengan aplikasi IDM (internet download manager) pada situs yang mengunggah hasil rekaman tayangan Opera Van Java. Rekaman yang diunduh keseluruhan dalam bentuk video. Terdapat 102 buah judul episode dalam data ini. Pada setiap
30
judul, jumlah kalimat rayuan yang ada di dalamnya tidak menentu, tetapi secara keseluruhan
peneliti
dapat
mengumpulkan
295
dialog.
Penelitian
ini
menggunakan metode pengamatan tayangan dan metode simak.
1.7.2 Metode Analisis Data Data yang sudah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan teori padan pragmatik. Hasil unduhan dalam bentuk audio-visual. Hasil rekaman audio-visual ditranskripsikan berdasarkan dialog antarpemain. Proses transkripsi dilakukan berulang-ulang untuk meminimalisasi kesalahan transkripsi. Hasil transkripsi inilah yang digunakan sebagai data untuk dianalisis sesuai rumusan masalah.
1.7.3 Metode Penyajian Langkah terakhir dari penelitian ini ialah menulis analisis/hasil penelitian berupa suatu laporan yang berisi latar belakang, perumusan masalah, landasan teori, tinjauan pustaka, tujuan penelitian, metode penelitian, analisis data, dan kesimpulan. Penyajian hasil analisisis data menggunakan metode penyajian informal dan formal.
1.9 Sistematika Penyajian Sistematika laporan penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I berisi pendahuluan, terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, ruang lingkup permasalahan, landasan teori, tinjauan pustaka, tujuan penelitian, metode
31
penelitian dan sistematika penyajian. Bab II berisi deskripsi OVJ dan rayuan gombal dalam Opera Van Java. Bab III berisi pemanfaatan aspek pragmatik dalam rayuan Opera Van Java. Adapun Bab IV berisi pemanfaatan aspek kebahasaan rayuan dalam Opera Van Java. Bab V berisi Penutup. Bab penutup berisi kesimpulan dari penelitian dan dilengkapi dengan saran. Setelah itu, halaman selanjutnya ialah daftar pustaka dan lampiran-lampiran. Lampiran ini berisi transkrip kalimat-kalimat rayuan dalam Opera Van Java.