BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Pajak mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam penerimaan negara
non migas. Berdasarkan sudut pandang fiskal, pajak adalah penerimaan negara yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan prinsip dasar menghimpun dana yang diperoleh dari dan untuk masyarakat melalui mekanisme yang mengacu pada peraturan perundang-undangan. Pajak merupakan pemasukan dana yang memiliki potensi melalui pertumbuhan penduduk dan stabilitas perekonomian. Berkaitan dengan hal tersebut pengelolaan pajak tersebut menjadi prioritas bagi pemerintah (Darwin, 2013:1). Dengan
adanya
otonomi,
setiap
daerah
diharapkan
mampu
mengembangkan potensi baik sumber daya alam, sumber daya manusia, maupun budaya untuk meningkatkan kemakmuran bagi seluruh masyarakat daerah. Idealnya, pelaksanaan otonomi daerah harus mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam hal pembiayaan daerah (Adi, 2007). Mardiasmo (2005) menyatakan bahwa daerah tidak lagi sekedar menjalankan
instruksi
dari
pemerintah
pusat,
tetapi
dituntut
untuk
mengembangkan kreatifitas dan inovasi dalam mengoptimalkan potensi yang selama ini (sebelum otonomi) dapat dikatakan terpasung. Adanya kewenangan
1
2
yang dimiliki ini memberikan konsekuensi adanya tuntutan peningkatan kemandirian daerah (Sidik, 2002). Daerah diharapkan mengalami percepatan pertumbungan ekonomi (peningkatan kesejahteraan masyarakat). Untuk itu, pemerintah daerah sudah seharusnya lebih berkonsentrasi pada pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal, melakukan alokasi yang lebih efisien pada berbagai potensi lokal yang sesuai dengan kebutuhan publik (Mardiasmo, 2002). Dalam rangka menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, pemerintah daerah memerlukan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan daerah. Berdasarkan UndangUndang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, sumber penerimaan daerah terdiri dari: Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu indikator dalam mengukur tingkat kemandirian suatu daerah otonom dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan dan pembangunan. Sejalan dengan hal tersebut, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumbersumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya (Koswara, 2000). Ketergantungan terhadap pemerintah pusat harus seminimal mungkin, sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.
3
Kota Bandung merupakan daerah yang senantiasa berupaya meningkatkan daerahnya sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan. Berikut data tentang Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung dari tahun 2007-20014. Tabel 1.1 Realisasi Pendapatan Asli Daerah Kota BandungTahun 2007-2014 (dalam jutaan rupiah)
Tahun
Jumlah Pendapatan
Perubahan
2007
287.250
-
2008
314.627
9,53%
2009
360.153
14,47%
2010
441.863
22,69%
2011
833.254
88,58%
2012
1.005.583
20,68%
2013
1.442.775
43,48%
2014
1.242.784
-13,86%
Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Dari tabel diatas dapat kita ketahui bahwa meskipun ada penurunan penerimaan di tahun 2014, tetapi secara garis besar hampir setiap tahunnya realisasi PAD Kota Bandung mengalami peningkatan walaupun jumlahnya berfluktuasi. Salah satu faktor dari terjadinya fluktuasi tersebut adalah adanya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 mengenai penetapan 16 jenis pajak
4
daerah yang dapat dipungut oleh daerah, yang terdiri dari 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak Kabupaten/Kota. Salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diterima oleh pemerintah kabupaten/kota yang sangat berpengaruh adalah pajak daerah. Pajak daerah ini memiliki kontrbusi penting dalam meningkatkan kemampuan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan juga mendorong laju pertumbuhan ekonomi daerah. Dimana sebelum tahun 2011 pajak daerah yang diterima oleh pemerintah kabupaten/kota ini terdiri dari 9 jenis pajak. Tetapi setelah dibuatnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, pajak yang dapat dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota menjadi 11 jenis pajak, yaitu Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB P2), dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB). Mulai tanggal 1 Januari 2011, BPHTB yang sebelumnya merupakan pajak pusat, secara resmi beralih menjadi pajak daerah. Pengalihan wewenang pemungutan atau discretion BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota adalah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dengan demikian per tanggal 1 Januari 2011 Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP Pratama) sudah tidak lagi melayani pengelolaan pelayanan BPHTB, sehingga wajib pajak yang akan melaporkan pembayaran BPHTB sehubungan dengan proses transaksi
5
properti
yang dilakukannya
akan
langsung
ditangani
oleh
Pemerintah
Kabupaten/Kota setempat. Selama ini pelaksanaan pemungutan BPHTB dilakukan oleh pemerintah pusat, tetapi seluruh penerimaannya diberikan kembali melalui pola bagi hasil. Sebelumnya, daerah hanya mendapat 20% dari hasil pajak yang disetor ke pemerintah pusat. Dua belas persen untuk pemerintah provinsi dan delapan persen untuk pemerintah kabupaten/kota. Setelah pengalihan ini, pengelolaan BPHTB seluruhnya
dilakukan
oleh
pemerintah
kabupaten/kota,
sehingga
hasil
pemungutannya diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota juga. Dengan pengalihan ini diharapkan BPHTB akan menjadi salah satu sumber PAD yang cukup potensial bagi daerah, dibandingkan dari keseluruhan penerimaan pajakpajak daerah yang ada selama ini. Seperti yang kita ketahui bahwa sejak tahun 2011 hingga sekarang Kota Bandung banyak mengalami peningkatan dalam segi perekonomian maupun pembangunan daerah. Seiring dengan meningkatnya perekonomian Kota Bandung yang semakin meningkat ini tentunya banyak terjadi transaksi jual beli tanah dan bangunan. Semakin meningkatnya pembangunan daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bandung maka membutuhkan dana yang semakin besar pula. Oleh karena itu, Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi salah satu pos pendapatan daerah yang sangat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan ini. BPHTB yang diterima pemerintah Kota Bandung akan dimasukkan kedalam Pendapatan Asli Daerah yang masuk ke pos pajak daerah. Adapun pajak
6
daerah yang diterima oleh pemerintah Kota Bandung dari tahun 2007-2014 adalah sebagai berikut: Tabel 1.2 Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung Tahun 2007-2014 (dalam jutaan rupiah)
Tahun
Jumlah Penerimaan
Perubahan
2007
190.496
-
2008
214.397
12,55%
2009
250.339
16,76%
2010
301.782
20,55%
2011
667.107
121,06%
2012
820.564
23,00%
2013
1.194.087
45,52%
2014
1.016.652
-14,86%
Sumber: Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Dari tabel diatas dapat kita simpulkan bahwa pajak daerah yang diterima oleh pemerintah Kota Bandung meningkat setiap tahunnya, kecuali untuk tahun 2014 yang mengalami penurunan. Dari tabel ini juga dapat kita lihat bahwa pada tahun 2011 ketika BPHTB menjadi pajak daerah, penerimaan pajak daerah Kota Bandung meningkat secara signifikan. Pengalaman di banyak negara menunjukkan bahwa beban pajak properti sering dikaitkan langsung dengan pelayanan masyarakat yang diberikan oleh
7
pemerintah daerah, misalnya dalam menyediakan atau memelihara saranaprasarana. Sehingga secara logika wajar apabila pajak properti atau dalam hal ini BPHTB dikelola langsung oleh pemerintah daerah. Dari uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang pengalihan wewenang pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan pengaruhnya terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Bandung serta apakah dengan adanya pengalihan wewenang ini berdampak signifikan terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah seperti yang diharapkan. Hal inilah yang mendorong penulis mengadakan penelitian yang berjudul:
“ANALISIS
PERBANDINGAN BPHTB SEBELUM DAN SESUDAH MENJADI PAJAK DAERAH
DALAM
MEMBERIKAN
KONTRIBUSI
TERHADAP
PENDAPATAN ASI DAERAH” (Studi kasus pada Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung Tahun 2007-2014).
1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan sistem pemungutan BPHTB sebelum menjadi pajak daerah dalam kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung.
8
2. Bagaimana pelaksanaan sistem pemungutan BPHTB setelah menjadi pajak daerah dalam kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung. 3. Apakah ada perbedaan antara pelaksanaan pemungutan BPHTB sebelum dan setelah menjadi pajak daerah dalam kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah.
1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1
Maksud Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk mempelajari, menganalisa, dan menyimpulkan tentang pengalihan wewenang pemungutan BPHTB dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten/Kota serta kontribusinya terhadap Pendapatan Daerah Kota Bandung, apakah hasil dari pengalihan wewenang ini sudah membuat peningkatan yang signifikan atau belum terhadap Pendapatan Asli Daerah. 1.3.2
Tujuan Penelitian
Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan sistem pemungutan BPHTB sebelum menjadi pajak daerah dalam kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung. 2. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan sistem pemungutan BPHTB setelah menjadi pajak daerah dalam kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung.
9
3. Untuk mengetahui adakah perbedaan antara pelaksanaan pemungutan BPHTB sebelum dan setelah menjadi pajak daerah dalam kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah Kota Bandung. 1.4
Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi: 1) Bagi penulis Diharapkan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan dapat menambah wawasan dalam bidang akuntansi dan perpajakan dengan cara penerapan secara
langsung
teori
yang
diperoleh
di
perkuliahan,
dalam
memperbanyak kepustakaan ataupun bentuk lainnya, terutama yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, yaitu mengenai Pajak Daerah Kota Bandung. 2) Bagi Mahasiswa atau Akademisi Penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur dalam bidang perpajakan khususnya pajak PAD Kota Bandung dan informasi yang dihasilkan dari penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang topik yang saling berhubungan 3) Bagi Instansi Terkait Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dan pertimbangan oleh Pemerintah Kota Bandung untuk menunjang efektivitas dan efisiensi pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan serta Pendapatan Daerah.
10
1.5
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kantor Dinas Pelayanan Pajak Kota Bandung
yang berlokasi di Jl. Wastukencana No. 2 Bandung, sebagai tempat pengumpulan data. Waktu penelitian dilakukan mulai dari bulan Maret 2016 sampai dengan selesai.