1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai salah satu anggota WTO (World Trade Organnization) yang didalamnya menyangkut TRIPs Agreement (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade Inn Counterfied Goods), wajib mengharmoniskan sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dengan mematuhi standar-standar Internasional sesuai TRIPs. Salah satu kewajiban dalam TRIPs Agreement adalah Indonesia harus memiliki peraturan dan ketentuan hukum yang dapat melindungi karya-karya di bidang desain industri. Keikutsertaan Indonesia dalam menandatangani perjanjian TRIPS Agreement, maka Indonesia wajib mentaati kewajiban-kewajiban dalam perjanjian tersebut. Salah satu kewajiban yang dipersyaratkan adalah seluruh negara anggota termasuk Indonesia wajib melaksanakan penegakan hukum HKI (IPR Law Enforcement). Sebagai negara berkembang, Indonesia pun harus memajukan sektor industri yang meningkatkan pada kemampuan daya saing dari berbagai sudut pandang maupun oleh daya pikir yang lebih modern dan lebih maju lagi, dengan mendasarkan pada hasil olah pikir yang telah ada sebelumnya. Daya saing tersebut, antara lain dengan memanfaatkan peranan desain industri, dalam upaya peningkatan terhadap hasil industri atas suatu produk tertentu yang lebih berkualitas, dimana kulitas tersebut dapat dinilai dari segi kreasi dan inovasi
2
produk yang bersangkutan dan dalam menjamin kelangsungannya maka haruslah diberlakukannya suatu perlindungan hukum yang layak atas desain industri.1 Perlindungan desain industri dapat diperoleh melalui sistem pendaftaran, dimana seorang pendesain memperoleh perlindungan hukum atas karyanya atau memperoleh hak desain industri bila pihaknya telah mendaftarkan karya desainnya tersebut pada Diretorat Jenderal HKI sesuai dengan ketentuanketentuan yang berlaku pada Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Diberlakukannya Undang-Undang tersebut bertujuan untuk mendorong terciptanya suatu karya desain yang dihasilkan oleh pendesain dengan mengedepankan unsur perlindungan dan kegunaanya, sehingga dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan industri di Indonesia. Undang-Undang Desain Industri mengatur mengenai perlindungan hukum hak atas desain industri atas karya desain yang baru, selain itu karya hasil desain industri tersebut harus baru dan dianggap baru apabila pada tanggal penerimaan dalam proses pendaftaran, desain industri tersebut berbeda dengan karya-karya yang telah ada sebelumnya.2 Perlindungan hukum yang akan didapatkan oleh para pendesain bila melakukan pendaftaran terhadap karyanya adalah hak eksklusif atas desain yang berkaitan dengan hak moral dan hak ekonomi yang diberikan kepada pendaftar sebagai pengakuan terhadap karya intelektual seorang pendesain atas upaya kreatif, waktu, tenaga, dan biaya serta resiko yang terkandung pada setiap karya dari kemungkinan adanya penggunaan secara ilegal.
1
Abdul Kadir Muhammad, 2001, Kajian Hukum Ekonomi HaKI, Cetakan Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 265. 2 Abdul Kadir Muhammad, Loc.it
3
Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri mengatur bahwa perlindungan hukum hak atas karya Desain Industri diberikan pada seorang pendesain berdasarkan sistem pendaftaran pertama (first to file system), berarti bahwa orang yang pertama mengajukan permohonan hak atas desain industri itulah yang akan mendapatkan perlindungan hukum dan bukan orang yang mendesain pertama kali. Selain itu, sistem pendaftaran pertama (first to file system) bersifat konstitutif, yakni sistem yang menyatakan hak itu baru terbit setelah dilakukan pendaftaran yang telah mempunyai kekuatan hukum dan menjamin suatu keadilan setelah diundangkan dan sebagai bukti telah dilakukannya pendaftaran hak dan telah dipenuhinya, baik persyaratan substantif maupun persyaratan administrasi, maka pendaftar akan memperoleh Sertifikat Hak Desain Industri. Pendesain yang telah mendaftarkan desainnya berhak untuk memonopoli Hak atas Desain Industri, artinya dia mempergunakan haknya dengan melarang siapapun tanpa persetujuannya membuat karya yang telah didaftarkannya selama 10 tahun. Setelah masa berlakunya itu habis sesuai dengan yang tertuang pada Undang-Undang Desain Industri Pasal 5 maupun pada TRIPs Agreement, desain tersebut tidak dapat dipergunakan kembali sebelum diperpanjang dan secara otomatis akan menjdi milik publik (public domain).3 Konsekuensi yuridis dengan tidak dilakukannya pendaftaran hak atas karya desain industri berakibat pendesain tidak mendapat perlindungan hukum, secara yuridis, pendesain menjadi tidak berhak atas karya desainnya. Perlindungan 3
Emawaty Junus, dalam artikel Perlindungan Hukum terhadap Desain Industri Masih Kurang, Terdapat dalam alamat, http//www.sinarharapan.co.id/ekonomi/industri/1ndi.html, di akses pada 19 Oktober, 03.00.
4
hukum berada pada pihak yang melakukan pendaftaran atas karya tersebut dan memiliki bukti sertifikat pendaftaran.4 Penerapan ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, terlihat belum efektif bahkan jarang dipergunakan oleh para pendesain dalam mendaftarkan hasil karyanya untuk mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini terjadi karena, dilatar belakangi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1. Kurangnya pemahaman para pendesain tentang keberadaan peraturan ini bahkan
banyak diantara mereka yang tidak mengetahui tentang sistem
pendaftaran pertama (first to file system) yang dianut Undang-Undang Desain Industri, 2. Sebagian diantara pendesain yang mengetahui tentang peraturan ini namun mereka merasa belum berminat untuk mendaftarkan hasil karyanya karena menganggap terlalu berbelit-belit dan banyak menghabiskan biaya, 3. Kurangnya pemahaman para penegak hukum tentang substansi dan keberadaan ketentuan hukum desain industri, 4. Serta kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan UndangUndang Desain Industri. Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat cukup banyak para pendesain yang tidak mendaftarkan hasil karyanya. Sebagian besar alasan yang diungkapkan mengapa tidak melakukan pendaftaran hasil karyanya itu disebabkan oleh faktorfaktor di atas.
4
W. Simandjutak, Desain Industri di Indonesia, Makalah Seminar Kerjasama FH UNUD, Klinik HAKI Jakarta JICA, Denpasar, 2000, hlm. 5.
5
Hal lain yang menyebabkan tidak didaftarkanya karya yang dihasilkan pendesain adalah adanya kerancuan tentang pendaftaran desain industri dengan hak cipta. Para pendesain yang tidak melakukan pendaftaran desain industri salah satunya para pengusaha Clothing Company di Kota Bandung. Sebagai pengusaha yang bergerak di bidang desain grafis dan sebagai hasil produknya itu kaos, mereka kurang menyadari bahwa membutuhkan suatu bentuk perlindungan hukum. Karena sebuah desain grafis sebagaimana yang dipaparkan oleh Suyanto desain grafis didefinisikan sebagai, "Aplikasi dari keterampilan seni dan komunikasi untuk kebutuhan bisnis dan industri", sebab karya desain grafis pada hakikatnya merupakan buah pikir dari serangkaian proses kreatif setelah melalui beberapa tahap layout secara komprehensif. Karya desain biasanya identik dengan style seseorang dalam menghasilkan karya, yang tidak lain merupakan produk kekayaan intelektual pendesain yang patut untuk dilindungi. Hak-hak atas kekayaan intelektual sebagai produk hukum disisi lain berupaya melindungi produk grafis atas penciptaan seorang pendesain melalui perangkat UndangUndang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.5 Tidak adanya perlindungan hukum yang dimiliki, maka lahirlah bentukbentuk pelanggaran yang dilakukan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab. Seperti yang dialami oleh Skaters, Proshop, dan Black id. Sejalan brkembangnya waktu dan perkembangan industri ini telah mengarah pada penciptaan desain-desain baru yang lebih menarik dan inovatif, sehingga dapat menarik perhatian masyrakat atau konsumen. 5
Baskoro R. Bandrino, Wacana Hak-Hak Kekayaan Intelektual dalam Penciptaan Karya Desain Grafis” Nirmana Vol.4.No.2. Juli 2002: 118-130
6
Perkembangan industri yang semakin pesat ini, dimanfaatkan oleh para pihak
yang
tidak
bertanggung
jawab
sehingga
menimbulkan
berbagai
permasalahan yang dapat merugikan baik pihak clothing company tersebut maupun pihak konsumen. Mengingat sejauh ini para pendesain atau pengusaha clothing company hanya bersikap mengikuti kemauan pasar dan menciptakan desain-desain yang baru dan hanya melihat pada unsur ekonomis dari desain grafis yang telah dituangkan pada kaos tanpa melakukan upaya hukum lain yang bersifat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap hasil karya-karya yang telah dihasilkan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa rumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah pelanggaran terhadap desain grafis kaos yang tidak terdaftar merupakan perbuatan melawan hukum ? 2. Bagaimanakah langkah solutif perlindungan hukum terhadap desain grafis kaos yang tidak terdaftar tersebut ?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis sebagai berikut: 1. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pelanggaran terhadap desain grafis kaos yang tidak terdaftar merupakan suatu bentuk perbuatan melawan hukum?
7
2. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui langkah solutif perlindungan hukum terhadap desain yang tidak terdaftar?
D. Tinjauan Pustaka Undang-Undang tentang Desain Industri merupakan hal yang baru, seperti dikemukakan dalam Mukadimah bahwa tujuan rancangan Undang-Undang ini adalah supaya kita menyesuaikan diri karena sudah ikut dalam persetujuan pembentukan WTO. Persetujuan ini telah dicakup berbagai persetujuan lain, diantaranya tentang Aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), yang lazim dinamakan dengan TRIPs. Salah satu ketentuan dari TRIPs adalah juga mengenai tentang Desain Industri. Kemudian keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Paris, yang juga merupakan salah satu hukum positif bagi Indonesia, sehingga diperlukan suatu peraturan khusus mengenai perlindungan di bidang desain industri. Desain Industri ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada hak-hak desain orang yang membuat Desain Industri ini. Selain itu, diatur pula bagaimana menjaga pihak yang tidak berhak menyalahgunakan Hak Desain Industri yang bersangkutan.6 Desain industri adalah merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual. Perlindungan atas desain industri didasarkan pada konsep pemikiran bahwa lahirnya desain industri tidak terlepas dari kemampuan kreativitas cipta, rasa, dan karsa yang dimiliki oleh manusia. Jadi desain industri merupakan intelektual manusia atau produk peradaban manusia. Desain Industri di Indonesia adalah berdasarkan pada sistem pendaftaran sebagaimana diatur 6
Sudargo Gautama dan Rizwanto Winata, 2004, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Peraturan Baru Desain Industri,Bandung hlm. 9-10.
8
melalui Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri yang berlaku efektif sejak bulan Juni tahun 2001. Berdasarkan Undang-Undang ini, perlindungan suatu desain diberikan untuk bentuk fitur-fitur bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis dan warna, atau kombinasinya yang diterapkan pada suatu produk atau barang, baik yang bersifat untuk rumah tangga, ornamental, utilitarian atau industri merupakan contoh produk-produk atau barang dimana suatu desain industri dapat diterapkan.7 Definisi normatif desain industri seperti yang tertuang pada Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, “Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis, atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang atau komoditi industri dan kerajinan tangan”.
Merujuk pada definisi di atas maka, karakteristik desain industri itu dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Satu kreasi tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna atau gabungan keduanya. 2. Bentuk konfigurasi atau komposisi tersebut harus berbentuk dua atau tiga dimensi. 3. Bentuk tersebut harus pula memberi kesan estetis. 4. Kesemua itu (butir 1, 2 dan 3 diatas) harus dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, berupa barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan. 7
Haryanto, SH, Perlindungan Desain Industri, Disajikan dalam Pelatihan LKBH UII, Yogyakarta, 2008, Hlm 3.
9
Unsur seni dan estetis begitu sangat penting berada dalam suatu desain industri. Seni yang mengandung unsur keindahan atau estetika itu adalah hasil kreasi atau kreatifitas manusia, karenanya desain industri merupakan karya intelektualitas manusia yang semestinya dilindungi sebagai property rights. Disisi lain jika karya intelektualitas itu dapat diterapkan dan menghasilkan suatu produk berupa barang atau komoditas industri, maka gabungan keduanya (antara nilai estetika dan nilai produk), maka karena itu dirumuskan sebagai desain industri.8 Pemahaman definisi ini sangat penting di dalam pelaksanaan dari UndangUndang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Undang-undang hanya memberikan perlindungan pada tampilan visual atas suatu produk, atau barang, atau komoditas industri, tidak untuk produk atau barang itu sendiri. Berdasarkan definisi ini, dapat dikatakan bahwa suatu desain bukan merupakan “produk” atau “barang” atau “komoditas industri”. Desain merupakan suatu konsepsi atau persepsi untuk kreasi mengenai bentuk pola atau ornamen yang diterapkan kepada suatu produk, barang atau komoditas industri. Tidak seperti dalam juridiksi negara lain, di dalam undang-undang ini tidak terdapat ketentuan lebih lanjut yang berkaitan dengan definisi dari produk atau barang atau komoditas industri, tetapi secara eksplisit dapat diartikan bahwa produk atau barang atau komoditas industri setara dengan produk-produk industri atau barang-barang yang diproduksi secara massal.9 Selain itu, Undang-Undang Desain Industri No. 31 Tahun 2000, juga tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai metode konstruksi, atau aspek8
H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Propety Rights), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 467-468 9 Op. cit Haryanto, SH hlm 3
10
aspek fungsional dari produk, barang, atau komoditas industri. Karena itulah hak desain industri dirumuskan sebagai hak eksklusif, hak yang diberikan pada seorang pendesain karena telah melakukan pendaftaran atas hasil karyanya tersebut. Suatu karya desain industri memperoleh perlindungan hukum bila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Diterapkan pada produk, barang atau komoditas industri Agar suatu desain dapat didaftar, desain tersebut harus dapat diterapkan pada produk, barang atau komoditas industri tertentu. 2. Kebaruan Agar dapat mendapatkan perlindungan, suatu desain industri harus merupakan suatu desain yang baru. Desain tersebut akan dapat dianggap baru jika, desain tersebut pada saat tanggal pendaftaran atau tanggal prioritasnya, tidak sama dengan desain-desain yang telah diundangkan sebelumnya. Hal ini berarti bahwa suatu desain akan dianggap tidak memiliki kebaruan jika terdapat desain identik yang telah diumukan atau telah terdaftar dimana saja sebelum tanggal pendaftaraan atau tanggal prioritas. Di negara-negara yang menjunjung tinggi moral, nilai religi, serta hukum, batasan tentang tentang boleh atau tidak bolehnya suatu desain haruslah merujuk pada nilai-nilai tersebut. Misalnya karya desain industri yang bersifat pornografi, yang didalamnya terdapat unsur-unsur yang tidak pantas maka tidak akan diberikan hak atas karya desain industri. Hak atas desain industri diberikan oleh negara tidak diberikan begitu saja, melainkan harus ada pihak yang meminta. Secara normatif disyaratkan untuk
11
lahirnya hal tersebut harus dilakukan dengan pendaftaran pertama (first to file system), dengan ketentuan-ketentuan permohonan pendafataran sebagai berikut: 1. Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia ke Direktorat Jenderal HKI dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undangundang ini. 2. Permohonan sebagaimana dimaksudkan harus ditandatanganinya oleh Pemohon atau Kuasanya. 3. Dalam surat permohonan harus memuat: a. Tanggal, bulan, dan tahun surat permohonan b. Nama, alamat lengkap, dan kewarganegaraan pendesain c. Nama, alamat lengkap kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa, dan d. Nama Negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas 4. Permohonan sebagaimana dimaksud harus dilampiri dengan: a. Contoh fisik atau gambar atau foto dan uraian dari desain industri yang dimohonkan pendaftarannya b. Surat kuasa khusus dalam hal permohonan diajukan melalui kuasa Surat pernyataan bahwa desain industri yang dimohonkan pendaftarannya adalah milik pemohon atau milik pendesain.10 Pengajuan permohonan pendaftaran desain industri dinyatakan diterima ketika tanggal diterimanya permohonan dengan catatan si pemohon sudah mengisi 10
ibid
12
formulir permohonan melampirkan contoh fisik atau gambar atau foto dan uraian dari desain industri yang dimohonkan pendaftarannya dan membayar biaya permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). Ketidaklengkapan persyaratan ini pihak Dirjen HKI akan memberitahukan kepada pemohon atau kuasanya secara tertulis bahwa permohonan tersebut dianggap ditarik kembali, terkecuali biaya yang telah dikeluarkan. Namun demikian, dapat juga pengajuan permohonan ini ditarik kembali atas inisatif dari si pemohon dengan cara melakukan permohonan penarikan secara tertulis yang diajukan Dirjen HKI. Permohonan dengan menggunakan Hak prioritas harus diajukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali diterima di Negara lain yang merupakan anggota Konvensi Paris atau anggota Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia. Permohonan dengan Hak prioritas sebagaimana dimaksudkan wajib dilengkapi dengan dokumen prioritas yang disahkan oleh kantor yang menyelenggarakan pendaftaran Desain Industri disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia dalam Waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung setelah berakhirnya jangka waktu pengajuan permohonan dengan hak prioritas. Apabila ternyata terdapat kekurangan dalam pemenuhan syarat-syarat dan kelengkapan permohonan, Direktorat Jenderal memberitahukan kepada pemohon atau kuasanya agar kekurangan tersebut dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat pemberitahuan kekurangan tersebut.
13
Langkah berikutnya dari pengajuan permohonan pendaftaran desain industri adalah pemeriksaan substantif. Hasil dari tahapan pemeriksaan substantif ini ada 2 (dua) kemungkinan yang dapat terjadi diterima atau ditolak. Namun, sebelum dikeluarkan putusan dari pihak dirjen HKI, maka dalam tahap pemeriksaan substantif ini akan dilakukan pengumuman. Lama pengumuman dilakukan dalam jangka waktu tiga bulan, oleh karena itu apabila ada pihak yang merasa keberatan dengan pengajuan permohonan desain industri dapat melakukan pengajuan keberatan secara tertulis dan membayar biaya atas keberatan tersebut. Pengjuan keberatan dialamatkan pada Direktorat Jenderal HKI dengan batas waktu 3 (tiga) bulan. Pihak Direktorat Jenderal HKI memberitahukan kepada pihak pemohon, dalam kondisi demikian, pemohon dapat melakukan sanggahan atas keberatan tersebut. Waktu yang tersedia untuk melakukan ini bagi si pemohon adalah 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman pemberitahuan oleh Direktorat Jenderal HKI. Sama halnya dengan HKI lainnya, hak desain industri juga dapat beralih atau dialihkan dengan pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai pengalihan hak desain industri diatur dalam Pasal 31 dan Pasal 32 UUDI. Pengalihan hak desain industri melalui cara-cara tersebut harus disertai dengan dokumen tentang pengalihan hak. Ini berarti bahwa pengalihan hak desain industri dalam Daftar Umum Desain Industri pada Direktorat Jenderal HKI dengan membayar biaya yang telah ditentukan. Dengan tidak dicatatkannya pengalihan hak desain industri dalam Daftar Umum Desain Industri, pengalihan
14
tersebut tidak berakibat hukum pada pihak ketiga. Pengalihan hak atas desain industri wajib dicatat dan diumumkan dalam Berita Resmi Desain Industri. Hak desain industri dapat pula berakhir sebelum waktunya karena adanya pembatalan. Pembatalan pendaftaran desain industri tersebut, bisa terjadi karena permintaan pemegang hak desain industri dan bisa juga karena adanya gugatan perdata dari pihak lain. Pembatalan pendaftaran desain industri berdasarkan permintaan hak desain industri, diatur dalam Pasal 37 UUDI seperti berikut: 1.
Desain Industri terdaftar dapat dibatalkan oleh Direktorat Jenderal atas permintaan tertulis yang diajukan oleh pemegang Hak Desain Industri.
2.
Pembatalan hak Desain Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan apabila penerimaan Lisensi Hak Desain Industri yang tercatat dalam Daftar Umum Desain Industri tidak memberikan persetujuan secara tertulis, yang dilampirkan pada permohonan pembatalan pendaftaran tersebut.
Mengenai tata cara mengajukan gugatan dilakukan berdasarkan gugatan perdata oleh pihak yang berkepentingan. Alasan pembatalan gugatan ini dikarenakan melanggar ketentuan Pasal 2 (dua) atau Pasal 4 (empat) UndangUndang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. Gugatan pendaftaran desain industri diajukan kepada ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal. Selanjutnya Panitera Pengadilan Negeri atau Pengadilan Niaga mendaftarkan gugatan pembatalan pada tanggal gugatan yang bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima
tertulis yang
ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran gugatan. Mengenai akibat hukum pendaftaran desain industri diatur dalam Pasal
15
43 dan Pasal 44 UUDI. Pasal 43 menyatakan bahwa pembatalan desain industri menghapuskan segala akibat hukum yang berkaitan dengan hak desain industri dan hak-hak lain yang berasal dari desain indutri tersebut.11 Namun, setelah penghapusan hak desain industri maka tidak jarang akan banyak timbul mengenai praktik pelanggaran di dalam desain industri yang banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, dalam hal ini pelanggaran dilakukan oleh seseorang yang tidak beritikad baik dengan membuat atau memproduksi dan mempergunakan desain yang sudah banyak diketahui dan dikenal secara luas di masyarakat. Praktik pelanggaran dalam desain industri dilakukan
dengan
penggunaan
upaya-upaya
atau
ikhtiar-ikhtiar
dengan
mempergunakan desain dengan meniru atau menjiplak desain terkenal dari suatu produk. Tentunya hal ini berharap bahwa dengan adanya kemiripan tersebut dapat memperoleh keuntungan yang besar tanpa mengeluarkan biaya besar untuk promosi memperkenalkan hasil perbuaatanya, karena masyarakat telah terkelabui dengan kemiripan desain tersebut. Penyelesaian sengketa di bidang desain industri dapat dilakukan melalui dan di luar pengadilan. Pasal 46 UUDI memberikan kemungkinan penyelesaian sengketa perdata di bidang desain industri dilakukan melalui Pengadilan. Pemegang hak desain industri atau penerima lisensi dapat menggugat siapapun dengan sengaja dan tanpa melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 UUDI kepada Pengadilan Niaga. Mengenai tata cara mengajukan gugatan perdatanya mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 39 dan Pasal 41 UUDI. 11
Rachmadi Usman, Hukum Hak atas kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Ctk, Pertama, Alumni, Bandung, 2003, hlm 428-448
16
Selain itu, penyelesaian gugatan pelanggaran hak desain industri juga dimungkinkan diselesaikan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Pasal 47 UUDI menyatakan bahwa selain penyelesaian gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 UUDI para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa di sini bisa melalui cara negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan cara lain yang dipilih oleh para pihak yang besengketa sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Negara memberikan kemungkinan penegakan hukum melalui instrument hukum pidana. Pasal 54 UUDI yang mengatur mengenai ancaman sanksi pidana terhadap pelanggaran desain industri, yang bunyinya: “Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasl 9 dipidana dengan penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Ancaman hukuman pidana yang diberikan juga bersifat kumulatif dan alternatif sekaligus, dalam artian hakim dapat menjatuhkan hukuman secara kumulatif atau hanya memilih salah satu di antara sanksi pidana penjara atau denda. Untuk menentukan telah terjadi suatu tindak pidana di bidang desain industri, perlu diadakan penyelidikan dan penyidikan. Sama halnya dengan penyidikan tindak pidana di bidang hak cipta, paten, merek, dan rahasia dagang, penyidikan tindak pidana di bidang desain industri selain dilakukan oleh Penyidik
17
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu, yang memiliki kewenangan tertentu pula. Hal ini sesuai dengan KUHAP.12
E. Metode Penelitian Untuk melakukan penelitian, diperlukan suatu metode penelitian guna mempermudah dalam pelaksanaanya: 1. Objek Penelitian Pelanggaran yang terjadi pada desain grafis kaos yang tidak terdaftar pada pengusaha Clothing Company, lalu apakah langkah solutif untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap desain grafis kaos yang tidak terdaftar tersebut. 2. Subjek Penelitian Adapun yang dijadikan untuk diteliti guna mendukung dalam pelaksanaan adalah: a. Pengusaha dan Pendesain pada Clothing Company di Kota Bandung b. Sie. Penyidikan dan Litigasi dan Subdek Hak Cipta Direktorat Jenderal HKI c. Para penegak hukum (Polisi, Hakim dan Jaksa) 3. Sumber Data Sumber data penelitian terdiri dari: a. Data primer, yakni data yang diperoleh peneliti secara langsung dari subjek yang berupa wawancara.
12
ibid
18
b. Data sekunder, data-data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen-dokumen yang sudah tersedia.13 4. Teknik Pengumpulan Data a. Data Primer dapat dilakukan dengan cara: Wawancara, adalah tanya jawab dalam komunikasi verbal (berhubungan lisan), bertatap muka di antara ‘interviewer’ (pewawancara) dengan para responden yang menjadi ‘interviwi’, yaitu para pihak yang menjadi subjek dari penelitian. b. Data sekunder dapat dilakukan dengan cara: Studi kepustakaan yakni dengan menelusuri dan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang No. 31 Tahun 2000
atau literatur
HKI yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian. 5. Pengolahan dan Analisis data a. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan proses editing, yaitu meneliti data yang diperoleh untuk mengetahui atau menjamin apakah sudah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan. b. Analisis data yang akan digunakan adalah anilisis kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan dengan cara pandang dan atau perspektif penulis, yang didasarkan pada apa yang telah penulis dapatkan dari beberapa literatur 13
Pedoman Penyusunan Tugas Akhir (Skripsi, Legal Memorandum, & Studi Kasus Hukum), Fakultas Hukum 2008, hlm. 13-14.
19
yang berkaitan dengan permasalahan yang ada, penelitian lapangan, serta pendapat-pendapat lain, informasi, maupun segala keterangan yang disertai dengan dasar hukum yang kuat, untuk selanjutnya setelah diolah, kemudian dituangkan dalam bentuk skripsi yang disusun secara sistematis.14 F. Kerangka Penulisan HALAMAN JUDUL BAB I.
PENDAHULUAN Bab ini berisi mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan masalah, tinjauan pustaka, dan metode penelitian dalam penulisan skripsi ini.
BAB II.
KERANGKA TEORI TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM DESAIN INDUSTRI Bab ini menguraikan hasil kepustakaan dan dokumentasi, yang isinya anatara lain pengertian desain industri, syarat-syarat yang harus dimiliki sebuah hasil karya yang akan didaftar, memperoleh perlindungan hukum dalam desain industri, serta penyelesaian hukum dalam sengketa, serta hal-hal yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
BAB III.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DESAIN GRAFIS KAOS YANG TIDAK TERDAFTAR PADA PENGUSAHA CLOTHING COMPANY DI KOTA BANDUNG
14
H. Hilman Hadikusuma, 1995, “Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum”, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 93-98.
20
Bab ini menjelaskan hasil dari apa yang ada pada rumusan masalah antara lain: bagaimanakah perlindungan hukum terhadap desain grafis kaos yang tidak terdaftar pada pengusaha Cloting Company di Kota Madya Bandung, serta apakah ada langkah solutif untuk mendapatkan perlindungan hukum terhadap desain tersebut, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis. BAB IV. PENUTUP Bab ini menjelaskan kesimpulan dari hasil penelitian dan penulisan skipsi ini, serta menuliskan saran yang disampaikan penulis mengenai hasil skripsi ini.