BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai salah satu bentuk organisasi internasional, Uni Eropa merupakan contoh yang baik bagi pembentukan integrasi regional. Hal tersebut dikarenakan, sebagai suatu organisasi yang tersusun dari berbagai macam negara dengan segala perbedaannya, keberadaan Uni Eropa seakan dapat menjadi perekat yang efektif untuk menyatukan perbedaan-perbedaan itu. Keberadaan Uni Eropa tidak hanya sanggup menyatukan perbedaan-perbedaan antar negara-negara Eropa, tetapi juga telah semakin memperkecil batas-batas antar anggotanya. Batas-batas antar negara anggota Uni Eropa semakin diperkecil sejak dikeluarkannya Treaty of Rome pada tahun 1957, kesepakatan mengenai “Four Freedoms” yang dihasilkan oleh European Economic Community (EEC). Adapun “Four Freedoms” yang dimaksud adalah adanya kebebasan pergerakan modal, barang, jasa, dan manusia (free movement of capital, goods, services, and people).1 Meskipun demikian, keputusan Treaty of Rome ini ternyata mendatangkan banyak masalah dikemudian hari, terutama terkait dengan keputusan free movement of people. Adanya kebebasan pergerakan manusia dalam Uni Eropa sebenarnya memiliki tujuan awal yang baik, yaitu untuk meningkatkan perekonomian Eropa, yang sebagian besar negaranya
1
Kayne, V.G. (2007). Vertical Restraints: Resale Price Maintenance Territorial and Customer Restraint. Practising Law Institute.
1
memiliki kekurangan dalam hal tenaga kerja sehingga untuk menarik masuknya buruhburuh dari sesama negara Eropa, dibuatlah keputusan untuk membebaskan masuknya imigran dari sesama negara Eropa. Keputusan ini, pada perkembangannya, semakin menimbulkan masalah karena ternyata imigran yang bebas berpindah ini seringkali tidak hanya datang dari negara-negara anggota Uni Eropa (UE), melainkan juga dari wilayah lain seperti Eropa Timur (yang sebagian besar belum menjadi anggota UE), Afrika, Asia, dan berbagai wilayah lain. Kemudahan masuknya imigran dari berbagai wilayah terutama disebabkan oleh masih lemahnya peraturan-peraturan UE tentang imigrasi. Selain itu, masalah batasbatas wilayah yang relatif lemah dan tidak jelas juga menjadi penyebab mengapa arus imigran menjadi tidak terkontrol di negara-negara Eropa. Berbagai masalah ini melahirkan urgensi di kalangan negara-negara UE akan adanya sebuah undang-undang yang jelas untuk mengatur mengenai masalah imigrasi, yang kemudian terwujud melalui pembentukan European Immigration Pact (EIP) pada Oktober 2008.2 Adanya EIP ini menghasilkan beberapa perubahan penting sehubungan dengan pergerakan imigran di Eropa. Aturan imigrasi yang tadinya longgar kini menjadi lebih ketat dan restriktif. Pembentukan aturan imigrasi EIP yangr restriktif ini tidak terlepas dari peran negara-negara anggota UE yang menuntut dilahirkannya aturan spesifik yang lebih restriktif dalam mengatur arus imigrasi di Eropa.
2
The European Pact On Immigration and Asylum .( 2008). Diakses melalui http://www.immigration.gouv.fr/document/eu.pdf pada tanggal 12 Desember 2012
2
Salah satu negara yang berperan besar dalam pembentukan kebijakan imigrasi UE yang restriktif adalah Perancis dengan Nicholas Sarkozy sebagai Presidennya. Pada waktu kebijakan imigrasi Uni Eropa ini dibuat, Uni Eropa sedang berada dalam masa kepemimpinan Sarkozy yang ketika itu menjabat sebagai Presiden Uni Eropa. Karena itu, tidaklah aneh bila timbul masalah mengenai banyak dipengaruhinya kebijakan imigrasi Uni Eropa oleh ambisi Sarkozy untuk menertibkan arus imigrasi di Eropa, serta oleh kondisi domestik Perancis yang sedang mengalami peningkatan arus imigrasi. Berbagai suku bangsa dari berbagai benua pun berdatangan di Perancis. Mulai Aljazair, Maroko, Tunisia, Portugal, Polandia dan Turki yang notabenenya sebagian dari mereka adalah kaum muslim3. Saat ini, jumlah penganut agama Islam di Perancis mencapai tujuh juta jiwa. Dengan jumlah tersebut, Prancis menjadi negara dengan pemeluk Islam terbesar di Eropa. Menyusul kemudian negara Jerman sekitar empat juta jiwa dan Inggris sekitar tiga juta jiwa.4 Peran buruh imigran asal Maghribi itu membuat agama Islam berkembang dengan pesat. Para buruh ini mendirikan komunitas atau organisasi untuk mengembangkan Islam. Secara perlahan-lahan, penduduk Perancis pun makin banyak yang memeluk Islam. Karena pengaruhnya yang demikian pesat itu, Pemerintah Perancis sempat melarang buruh migran melakukan penyebaran agama, khususnya Islam. Pemerintah Perancis khawatir organisasi agama Islam yang dilakukan para 3
Murtadin. (2012). Perancis Negara Muslim terbesar di Eropa. Diakses melalui http://murtadinkafirun.forumotion.net/t11228-perancis-negara-umat-muslim-terbesar-di-eropa pada hari selasa pada tangal 29 Mei 2012 4 Middle East Forum (2012). Islam in France diakses melalui http://www.meforum.org/337/islam-in-francethe-french-way-of-life-is-in pada hari kamis 25 Oktober 2012
3
buruh tersebut akan membuat pengkotak-kotakan masyarakat dalam beberapa kelompok etnik. Sehingga, dapat menimbulkan disintegrasi dan dapat memecah belah kelompok masyarakat. Karya tulis ilmiah ini akan membahas mengenai pengaruh kondisi arus imigrasi secara domestik di Perancis dan kebijakan imigrasi Perancis yang cenderung restriktif terhadap pembentukan kebijakan imigrasi UE khususnya terhadap imigran Muslim. B. Batasan dan Rumusan Masalah Karya tulis ilmiah ini membahas masalah imigrasi berbatas pada masa Pemerintahan Nicholas Sarkozy pada tahun 2007-2012. Masa ini dipilih dikarenakan pada tanggal 20 November 2007 Perancis dibawah kepemimpinan Nicolas Sarkozy menetapkan kebijakan imigrasi yang restriktif berupa undang-undang dan dikenal dengan “Law on Immigration control, Integration and Asylum”. Tujuan dari undangundang ini adalah untuk memberantas imigrasi ilegal, membatasi masuknya serta memperketat syarat-syarat berdomisili di Perancis. Setelah berhasil mengesahkan undang-undang imigrasi di Perancis, Sarkozy mulai berusaha agar undang-undang tersebut diadopsi oleh seluruh Negara anggota Uni Eropa dengan membentuk sebuah kebijakan imigrasi yang lebih restriktif. Hal ini terwujud dengan ditandatangani pakta imigrasi European Immigration Pact pada masa kepresidenan Perancis di Uni Eropa. Istilah imigrasi berasal dari bahasa latin migratio yang artinya perpindahan orang dari suatu tempat atau negara menuju ke tempat atau negara lain. Ada istilah emigratio yang mempunyai arti berbeda, yaitu perpindahan penduduk dari suatu wilayah atau
4
negara keluar menuju wilayah atau negara lain. Sebaliknya, istilah immigratio dalam bahasa latin mempunyai arti perpindahan penduduk dari suatu negara untuk masuk kedalam negara lain. Pada hakekatnya emigrasi dan imigrasi itu menyangkut hal yang sama yaitu perpindahan penduduk antar negara, tetapi yang berbeda adalah cara memandangnya. Ketika seseorang pindah ke negara lain, peristiwa ini dipandang sebagai peristiwa emigrasi, namun bagi negara yang didatangi orang tersebut peristiwa itu disebut sebagai peristiwa imigrasi.5 Perpindahan imigrasi yang terjadi di Perancis di dalam karya tulis ilmiah ini lebih difokuskan kepada imigran yang berasal dari negaranegara maghribi. Berdasarkan masalah-masalah tersebut di atas, skripsi ini kemudian mengangkat pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Apa kebijakan pemerintah Perancis terhadap Imigran Muslim dimasa Pemerintahan Nicholas Sarkozy? 2. Bagaimana pengaruh kebijakan Pemerintah Perancis terhadap para Imigran Muslim tersebut? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, maka karya tulis ilmiah ini memberikan gambaran singkat mengenai imigrasi di Uni Eropa dan Perancis, kemudian menjelaskan mengenai kebijakan imigrasi di Perancis dan di Uni Eropa. Pada bagian akhir, Skripsi ini kemudian menganalisa keterkaitan kebijakan imigrasi di Perancis
5
Muhammad Iman Santoso. (2004). Perspektif Imigrasi, Dalam Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan Nasional. Jakarta. UI Press. Halaman 14.
5
dengan kebijakan imigrasi di Uni Eropa dengan menggunakan kerangka teori yang akan dijelaskan berikutnya. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Adapun tujuan dan kegunaan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui dan menjelaskan secara mendalam tentang kebijakan Pemerintah Perancis terhadap Imigran Muslim dimasa Pemerintahan Nicholas Sarkozy. b. Untuk mengetahui dan menjelaskan pengaruh Nicholas Sarkozy terhadap pembentukan aturan Imigrasi di Uni Eropa. c. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh kebijakan Pemerintah Perancis terhadap Imigran Muslim. 2. Kegunaan Penelitian Melalui tujuan penelitian tersebut maka penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai : a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu rujukan pemerintah dan lembaga terkait dalam memahami dan menanggapi masalah keimigrasian yang terjadi di Perancis dimasa Pemerintahan Nicholas Sarkozy. b. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan gambaran mengenai kedudukan Perancis terhadap kebijakan yang diterapkan dan berbagai implikasinya serta
6
dapat menjadi bahan bacaan bagi peneliti lain yang tertarik membahas objek yang sama dalam tulisan ini. c. Diharapkan tulisan ini dapat memberikan gambaran mengenai pengaruh kebijakan Pemerintah Perancis terhadap Imigran Muslim di masa pemerintahan Nicholas Sarkozy. D. Kerangka Konseptual Untuk menjelaskan permasalahan yang telah digambarkan diatas maka diperlukan sasaran yang tepat melalui pemilihan level analisis. Dalam proses memilih level analisis, perlu ditetapkan terlebih dahulu unit analisis, yaitu unit yang perilakunya hendak dideskripsikan, dijelaskan, dan diramalkan (disebut juga sebagai variabel dependen); dan unit eksplanasi, yaitu yang dampaknya terhadap unit analisis hendak diamati (atau disebut variabel independen). Dalam memahami perilaku aktor hubungan internasional, Patrick Morgan menyatakan terdapat lima tingkat analisis. 6 Pertama, tingkat analisis individu, dimana fenomena hubungan internasional dilihat sebagai kumpulan interaksi perilaku individuindividu. Berdasarkan tingkat analisis ini, seorang peneliti diharuskan untuk mengkaji sikap dan perilaku tokoh-tokoh utama pembuat keputusan seperti kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri, dan sebagainya. Kedua, tingkat analisis kelompok individu, yang berasumsi bahwa individu umumnya melakukan tindakan internasional dalam kelompok. Peristiwa internasional 6
Supri Yusuf. (1989). Hubungan Internasional dan Politik Luar Negeri. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Halaman 78
7
sebenarnya ditentukan oleh sekelompok individu yang tergabung dalam birokrasi, departemen, badan pemerintahan, organisasi, atau kelompok kepentingan. Untuk memahami fenomena internasional, seorang peneliti harus mempelajari perilaku kelompok yang terlibat dalam hubungan internasional. Ketiga, tingkat analisis negara-bangsa, yang menekankan perilaku negara-bangsa sebagai faktor penentu dinamika hubungan internasional. Analisis para ilmuwan seharusnya ditekankan pada perilaku unit negara-bangsa, karena hubungan internasional pada dasarnya didominasi oleh perilaku negara-bangsa. Seorang peneliti harus mempelajari proses pembuatan keputusan hubungan internasional, yaitu kebijakan luar negeri, oleh suatu negara-bangsa sebagai unit yang utuh. Keempat, tingkat analisis kelompok negara-bangsa, yang beranggapan bahwa hubungan internasional merupakan pola interaksi yang dibentuk oleh kelompok negara-bangsa. Seringkali negara-bangsa tidak bertindak sendiri, tetapi sebagai suatu kelompok. Karena itu, unit analisis yang harus dikaji adalah pengelompokan negara seperti aliansi, persekutuan dagang, blok ideologi, dan sebagainya. Kelima, tingkat analisis sistem internasional, yang memandang sistem internasional sebagai penyebab terpenting terjadinya perilaku dan interaksi aktor-aktor internasional. Negara-negara di dunia dan interaksi di antara mereka dilihat sebagai suatu unit sistem. Pengetahuan tentang dinamika sistem internasional dapat dipakai untuk menjelaskan perilaku aktor-aktor hubungan internasional yang terlibat di dalamnya. Dalam menganalisa permasalahan ini karya tulis ilmiah ini lebih berfokus
8
pada individu, dimana unit analisis yang digunakan adalah Nicolas Sarkozy. Sedangkan unit eksplanasi yang digunakan adalah Kebijakan imigrasi Uni Eropa Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, abstrak definisi dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Teori yang peneliti gunakan untuk menganalisis kasus ini adalah pembentukan kebijakan luar negeri dan konsep yang peneliti pakai adalah konsep Hak Asasi Manusia. Secara sederhana, imigrasi mencakup perpindahan manusia melewati batas-batas negara. Brian White sebagaimana yang dikutip oleh Sita Bali dalam bukunya, menyatakan bahwa dua isu utama dari imigrasi adalah mengenai regulasi dan kontrol dari migrasi internasional dan kebijakan-kebijakan untuk mengatasi masalah etnismonoritas dari para migran tersebut. Adapun, regulasi dan kontrol dari migrasi internasional itu kemudian akan diserahkan pada keputusan tiap-tiap negara penerima imigran. Negara mengklaim otoritas absolute untuk memutuskan siapa yang mampu untuk masuk dan meninggalkan wilayah juridiksinya. Untuk jangka panjang, dampak yang paling terlihat dari imigrasi internasional adalah terciptanya etnis minoritas di negara-negara tujuan yang akan mempengaruhi stabilitas sosial dan politik dalam negara serta kesejahteraan ekonomi.7 Terjadinya imigrasi kemudian akan menyebabkan masuknya berbagai etnis minoritas, yang lantas membuat prinsip dasar kewarganegaraan perlu dipikirkan dan 7
Sita Bali. (2001). Migration and Refugees: Issues in World Politics (2nd Edition). London. Palgrave/Macmillan. Halaman 172
9
dikaji kembali. Kewarganegaraan tidak bisa lagi didefinisikan berdasarkan kesamaan historis, etnis, budaya, dan agama. Komunitas imigran sekarang mampu untuk menjadi aktor independen dalam tingkat internasional sehingga melemahkan analisis tradisional dalam hubungan internasional yang terpusat pada negara.8 Dalam penjelasannya mengenai pembentukan kebijakan luar negeri, Holsti menjelaskan bahwa pembentukan kebijakan luar negeri sangat tergantung pada faktor kondisi eksternal dan kondisi domestik si pembuat kebijakan, di mana kondisi eksternal dan domestik itu kemudian akan membentuk image pada diri pembuat kebijakan. Kondisi lingkungan ini sendiri terdiri dari hal-hal yang sangat kompleks, di mana kondisi lingkungan di sekitar pembuat kebijakan meliputi kepentingan nasional, latar belakang sejarah, faktor ekonomi dan sosial, serta nilai-nilai yang dianut suatu Negara.9 Gabungan dari keseluruhan kondisi lingkungan tersebut membentuk image seorang pembuat kebijakan mengenai kebijakan apa yang harus ia ambil. Lebih lanjut lagi, pembuatan kebijakan juga akan dipengaruhi pada tingkah laku/sifat pembuat kebijakan (attitude), nilai-nilai, doktrin, dan ideologi yang dianut pembuat kebijakan (values, doctrines, ideologies), serta analogi (analogies) yang dimiliki pembuat kebijakan. Mengenai faktor analogi ini, Holsti juga menjelaskan bahwa pembuatan kebijakan seringkali dilakukan berdasarkan analogi. Analogi di sini dimengerti sebagai perbandingan antara kondisi masa kini dengan situasi di masa lalu, dengan berdasarkan
8
Ibid. hal. 190 K.J. Holsti. (1967). International Politics, a Framework of Analysis. New Jersey. Prentice Hall. Halaman 291 9
10
pada berbagai kondisi dan situasi di masa kini yang memiliki kemiripan dengan kondisi dan situasi di masa lalu.10 Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan inilah, menurut Holsti, seorang pemimpin akan mengambil suatu kebijakan. Politik luar negeri pada dasarnya merupakan action theory, yang berarti kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad memahami konsep politik luar negeri adalah dengan jalan memisahkannya ke dalam dua komponen: Politik (policy) adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman untuk bertindak, atau seperangkat aksi yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Policy itu sendiri berakar pada konsep pilihan (choices): memilih tindakan atau membuat keputusan-keputusan untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan gagasan mengenai kedaulatan dan konsep “wilayah” akan membantu upaya memahami konsep luar negeri (foreign). Kedaulatan berarti control atas wilayah (dalam) yang dimiliki oleh suatu negara. Jadi, politik luar negeri (foreign policy) berarti seperangkat pedoman untuk memilih tindakan yang ditujukan ke luar wilayah suatu negara11 Politik luar negeri bertujuan untuk mencitrakan keadaan dan kondisi di masa depan suatu negara disertai usaha perumus kebijakan dalam memperluas pengaruhnya kepada negara-negara lain dengan cara mengubah atau mempertahankan tindakan negara lain. Tidak dapat disangkal jika kurangnya informasi menyulitkan negarawan untuk memahami politik luar negeri, namun masalah yang lebih menyulitkan adalah kurangnya kemampuan dalam memilih informasi ataupun masukan yang diperlukan bagi perumusan politik luar negeri. Para akademisi politik telah mengembangkan berbagai pendekatan dan model-model perumusan atau pembuatan politik luar negeri. 10
Ibid, Halaman 298. Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad. (2005). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Remaja Rosdakarya : Bandung. Halaman 47 11
PT.
11
Pembuatan keputusan ini dilakukan dengan memilih alternatif yang ada dengan berbagai ketidakpastian. Tidak hanya memfokuskan kepada transaksi dan interaksi antar pihak-pihak yang terlibat, teori pembuatan keputusan dalam konsep politik luar negeri juga melihat pengaruh factor internal dan eksternal terhadap perilaku politik luar negeri. Hal-hal yang berada dalam cakupan faktor internal dan faktor eksternal sebenarnya hampir sama, yaitu masyarakat, budaya, dan lingkungan. Masyarakat dalam cakupan Factor internal sangat perlu untuk diperhatikan dikarenakan suatu negara merumuskan kepentingan nasionalanya berdasarkan kebutuhan masyarakatnya, yang kemudian nanti hal ini melandasi bentuk politik negeri negara tersebut. Sama halnya untuk cakupan faktor eksternal, dengan melihat keinginan masyarakat internasional, kebijakan luar negeri dapat diambil untuk menciptakan keefektifitasan dalam menjalankannya. E. Metode Penelitian 1. Metode Penelitian Penelitian ini akan menggunakan metode penelitian deskriptif analitis. Metode ini dilakukan dengan menggambarkan aturan Perancis mengenai imigrasi dan menganalisis Kebijakan Pemerintah Perancis dan kaitannya dengan Imigrasi dimasa Pemerintahan Nicholas Sarkozy. Dimulai dari penggambaran Perancis mengenai imigrasi sampai upaya yang diberlakukan untuk mempertahankan identitasnya melalui undang-undang imigrasi.
12
2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah telaah pustaka ( library research ) yaitu dengan mengumpulkan berbagai data dari literature-literature seperti jurnal, buku, artikel, dan bahan tertulis lainnya, serta pemberitaan dari media elektronik dan cetak yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Data-data yang didapat dari berbagai literature tersebut akan digunakan sebagai bahan untuk membantu menganalisa fenomena yang dibahas dalam penelitian. Adapun beberapa tempat yang akan menjadi sumber literature selama pengumpulan data dilakukan yaitu : 1. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin di Makassar 2. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin di Makassar 3. Jenis Data Berdasarkan pembahasan yang telah ditentukan maka jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa data teoritis yang berhubungan dengan penelitian yang ditulis. Data ini diperoleh dari berbagai literature dan hasil olahan dari berbagai sumber terkait. Data teoritis ini yang akan dianalisis untuk menjawab permasalahan yang ditentukan. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah teknik analisis data kualitatif. Dengan teknik ini analisis ditekankan pada data kualitatif yang 13
analisisnya akan diarahkan pada data non matematis. Namun untuk data pelengkap juga akan disertakan data kuantitatif berupa angka-angka statistic yang memiliki keterkaitan dengan objek penelitian. 5.
Tipe Penulisan Tipe penulisan yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode deduktif. Karya tulis ilmiah ini akan dimulai dengan menggambarkan permasalahan secara umum. Kemudian berdasarkan teori-teori dan data-data yang didapat akan ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.
14
BAB II TELAAH PUSTAKA A. Teori Pengambilan Kebijakan Kebijakan memiliki tiga konsep untuk menjelaskan hubungan suatu negara dengan kejadian dan situasi yang mungkin dapat mempengaruhi keadaan dalam negaranya, yaitu : a. Kebijakan sebagai sekumpulan orientasi. Kebijakan pemerintah dilihat sebagai kumpulan orientasi yang dijadikan pedoman bagi para pembuat keputusan untuk menghadapi kondisi-kondisi yang menuntut dikeluarkannya kebijakan tersebut. b. Kebijakan sebagai seperangkat komitmen dan rencana untuk bertindak. Rencana tindakan ini termasuk tujuan yang spesifik dan cara untuk mencapainya yang dianggap cukup memadai untuk menjawab tantangan. c. Kebijakan sebagai bentuk perilaku atau aksi. Disini, kebijakan berupa langkahlangkah nyata yang diambil oleh pembuat keputusan berdasarkan komitmen dan sasaran yang spesifik. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Plano dan Olton bahwa “kebijakan luar negeri adalah suatu strategi atau sekumpulan tindakan yang direncanakan, yang dikembangkan oleh pembuat keputusan suatu negara dalam menghadapi negara lain atau entitas internasional yang ditujukan pada pencapaian tujuan tertentu berdasarkan kepentingan nasional yang telah ditentukan”.12 Politik luar negeri merupakan serangkaian proses pembuatan kebijakan untuk menanggapi situasi internasional. Jadi 12
Anak Agung Banyu dan Yayan Mochammad, Op. Cit Halaman 49
15
kebijakan luar negeri dapat berarti sebagai kepanjangan tangan dari kebijakan domestik pula. Didalamnya, keputusan pengambilan kebijakan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang berasal dari dalam maupun laur negeri. Howard Lentner mengkategorisasikannya kedalam dua klompok, yakni determinan luar negeri dan determinan domestik.13 Determinan luar negeri mengacu pada keadaan sistem internasional dan situasi pada suatu waktu tertentu. Sedangkan determinan domestik menunjuk pada keadaan dalam negeri yang terdiri dari highly stable determinant (luas geografi, lokasi, dsb), moderate stable determinant (budaya politik, kepemimpinan dan proses politik), dan unstable determinan (persepsi jangka panjang dan faktor ketidaksengajaan).14 Semenatara itu, Rosenau membagi sumber-sumber utama yang menjadi input dalam perumusan kebijakan yaitu sumber sistemik (lingkungan eksternal), sumber masyarakat (sumber yang berasal dari lingkungan internal negara seperti kebudayaan, ekonomi, opini publik), sumber pemerintahan (pemilu, kompetisi partai dan struktur kepemimpinan), dan sumber ideosinkretik (pengalaman, bakat dan persepsi elit pembuat kebijakan).15 Setiap aktor hubungan internasional, baik sebagai pembuat ataupun hanya sebagai pelaksana suatu kebijakan dari kelembagaan internasional, maka proses 13
Howard Lentner. (1974). Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach. Ohio: Bill and Howell Co. Halaman 105-171 14 Ibid 15 James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. (1976). World Politics: An Introduction. New York: The Free Press. Halaman 18.
16
pengambilan keputusan bagi masing-masing aktor memiliki model dan tujuan yang berbeda-beda. Adapun, menurut Robert Cox dan Harold Jacobson menjelaskan bahwa, proses pengambilan keputusan dapat dibedakan menurut tujuh klasifikasi, yaitu representational decisions, programmatic decisions, rule-creating decisions, operating decision, rule-supervisory decisions, boundry decision, dan symbolic decision.16 Hal ini menujukkan bahwa dalam setiap proses pengambilan keputusan terdapat banyak pilihan bagi pihak pengambil keputusan. Berikut penjelasan lebih rinci dari masing-masing jenis pengambilan keputusan yang disebutkan oleh Robert Cox dan Harold Jacobson:17 1. Representational decisions, merupakan keputusan yang akan mempengaruhi keanggotaan dalam suatu organisasi internasional serta merupakan perwakilan dalam badan-badan internal dalam organisasi tersebut. Keputusan ini meliputi keputusan mengenai pengakuan dan atau pengeluaran anggota dalam organisasi, pengesahan suatu mandat, penentuan wakil-wakil yang duduk dalam badan-badan eksekutif serta komite. 2. Programatic decisions, merupakan keputusan dari suatu alokasi strategis dari sumber-sumber organisasi, yaitu hasil negosiasi antar aktor menyangkut tujuan serta penekanan terhadap program-program organisasi.
16
Ibid T May Rudy. (2002). Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Bandung: PT. Refika Aditama. Halaman 79-80 17
17
3. Rule-creating decision, yaitu keputusan yang berkenaan dengan pembentukan norma-norma atau aturan di lingkup organisasi internasional. Hasil keputusan ini biasanya bersifat formal seperti konvensi, persetujuan ataupun resolusi. 4. Operational decision, yaitu berhubungan dengan pemberian suatu pelayanan terhadap pengunaan sumber-sumber organisasi berdasarkan aturan yang disetujui serta kebijakan organisasi yang telah disetujui pula. 5. Rule-supervisory decision, yakni keputusan yang meliputi procedural baik procedural yang paling tinggi sampai paling rendah. Prosesnya melalui pengumpulan
informasi,
pembuktian
terhadap
pelaksanaan
ataupun
pelanggran terhadap aturan dalam organisasi serta pemberian sangsi atau hukuman terhadap pelanggran tersebut. 6. Bourdary decision, yaitu keputusan yang menekankan pada hubungan eksternal organisasi dengan struktur organisasi serta struktur regional. 7. Symbolic decision, merupakan suatu keputusan yang menekankan pada isu-isu simbolik terhadap penerimaan suatu tujuan ataupun ideologi yang didukung oleh suatu kelompok aktor ataupun legitimasi yang telah diterima oleh elit-elit yang dominan. Adapun, menurut William D. Coplin, bahwa untuk menganalisa kebijakan luar negeri suatu negara, maka fokus utamanya ialah melihat peran pemimpin negara untuk suatu kebijakan luar negeri.18 Adapun, suatu tindakan politik luar negeri negara
18
William D. Coplin. (1992). Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis. Bandung: CV Sinar Baru. Halaman 29-30.
18
tersebut dianggap sebagai akibat dari tiga pertimbangan yang mempengaruhi para pembuat keputusan. Pertama, kondisi politik domestik negara termasuk faktor budaya yang mendasari tingkah laku manusianya. Kedua, situasi ekonomi dan militer di negara tersebut termasuk faktor geografis yang menjadi pertimbangan untuk pertahanan dan keamanan. Ketiga, konteks internasional sebagai proyeksi dan manifestasi dari politik domestik terhadap negara yang menjadi tujuan politik luar negerinya. Kebijakan luar negeri dalam konteks ini merupakan keputusan sebagai bentuk dari akumulasi perilaku yang diambil oleh negara-negara dalam interaksinya dengan negara lain. Selain itu, kebijakan luar negeri merupakan suatu bentuk perumusan kebijakan di dalam negeri yang kemudian diimplementasikan keluar negeri sebagai sebuah upaya dalam mencapai kepentingan nasional.
B. Konsep Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia, demokrasi dan supremasi hukum merupakan nilai-nilai pokok bagi Uni Eropa. Uni Eropa berupaya untuk memastikan bahwa semua hak asasi manusia – baik hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial maupun budaya – dihormati di mana pun, sebagaimana ditetapkan dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia dan ditegaskan kembali dalam Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia tahun 1993. Uni Eropa juga mengedepankan hak-hak wanita, anak-anak, kaum minoritas, serta pengungsi. Traktat Lisbon, yang menetapkan dasar hukum dan kelembagaan untuk Uni Eropa, mempertegas bahwa Uni Eropa berpedoman pada prinsip-prinsip berikut ini: 19
demokrasi, supremasi hukum, kesemestaan dan keutuhan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, penghormatan pada martabat manusia, prinsip-prinsip kesetaraan dan solidaritas, dan penghormatan pada prinsip-prinsip Piagam PBB dan hukum internasional. Prinsip-prinsip tersebut ditopang oleh Piagam Uni Eropa tentang Hak-Hak Dasar, yang menuangkan seluruh hak-hak tersebut dalam satu naskah . Walaupun Uni Eropa secara keseluruhan memiliki aturan catatan yang baik dalam hal hak asasi manusia, namun Uni Eropa belum juga merasa puas. Uni Eropa berjuang melawan rasisme dan bentuk-bentuk lain dari diskriminasi berdasarkan agama, jenis kelamin, usia, kecacatan dan orientasi seksual. Uni Eropa memiliki pula perhatian khusus akan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan suaka dan migrasi. Uni Eropa telah menjadikan dukungan untuk hak asasi manusia dan demokrasi sebagai suatu aspek penting dari kebijakan hubungan luar negerinya. Berbagai program dan kegiatan sedang dilakukan, antara lain: 19
Dialog tentang hak asasi manusia dengan lebih dari 30 negara
Delapan pedoman tentang hak asasi manusia yang mewakili prioritas-prioritas UE
Deklarasi-deklarasi publik secara reguler
Misi-misi dan operasi-operasi di lapangan
Kebijakan pembangunan dan bantuan
Partisipasi dalam forum-forum multilateral , khususnya PBB
19
Diakses melalui http://eeas.europa.eu/delegations/indonesia/key_eu_policies/human_rights/index_id.htm pada tanggal 25 November 2012
20
Hak asasi manusia dan dukungan demokrasi saat ini selalu dipertimbangkan dalam proses pembuatan kebijakan, dan pada saat penerapan kebijakan-kebijakan. Sebagai contoh, semua perjanjian perdagangan dan kerjasama yang menetapkan bahwa hak asasi manusia merupakan unsur yang sangat penting dalam hubungan di antara kedua belah pihak. Pendanaan dari Uni Eropa yang besarnya sekitar € 1,1 milyar juga tersedia melalui Instrumen Eropa untuk Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (EIDHR) untuk periode 2007-2013 untuk membantu LSM-LSM lokal dan internasional untuk memajukan hak asasi manusia di seluruh dunia.20 Piagam Uni Eropa ( European Union Charter ) pada Chapter III pasal 21 tentang equality dengan sangat jelas menerangkan masalah Non-Discrimination “Any discrimination based on any ground such as sex, race, colour, ethnic or social origin, genetic features, language, religion or belief, political or any other opinion, membership of a national minority, property, birth, disability, age or sexual orientation shall be prohibited.”21 Melalui pasal ini kita dapat melihat ketegasan Uni Eropa terhadap pelarangan diskriminasi berdasarkan jenis ras, warna kulit, etnik atau suku, bahasa, agama atau kepercayaan, kaum minoritas, umur maupun jenis kelamin. Selain itu di pasal 22 pada bab yang sama Uni Eropa menegaskan untuk saling menghormati masalah perbedaan kebudayaan, agama dan bahasa. “The Union shall 20
Ibid Piagam Uni Eropa. (2000). Diakses melalui http://www.europarl.europa.eu/charter/pdf/text_en.pdf pada tanggal 25 November 2012 21
21
respect cultural, religious and linguistic diversity.”22 Setiap manusia terlahir dengan hak paling dasar, yaitu hak untuk hidup. Ketika seseorang hidup, maka dia akan bersosialisasi dan membutuhkan orang lain untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Secara umum, jika apa yang ingin dilakukan seseorang dilarang oleh orang lain, maka haknya telah dibatasi. Namun sebaliknya, jika apa yang ingin kita lakukan menganggu hak orang lain, maka kita pun membatasi hak orang lain. Maka dari itu, dunia ini terdiri dari negara-negara yang memiliki aturan yang berfungsi membatasi hak warga negaranya agar diupayakan tidak terjadi konflik di antara mereka. Dasar dari semua hak asasi adalah bahwa manusia memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya. John Locke, Montesquieu, dan Rousseau mengemukakan macam-macam HAM, yaitu : 23 a. Kemerdekaan atas diri sendiri b. Kemerdekaan beragama c. Kemerdekaan berkumpul dan berserikat d. Hak Write of Habeas Corpus e. Hak kemerdekaan pikiran dan pers. Dari sebagian besar penjelasan dan pembagian mengenai HAM, definisi universal mencakup lebih luas hak-hak individu. HAM dijelaskan lebih terperinci dan
22
Ibid Sulaiman Hamid. (2002). Hak Asasi Manusia dalam Lembaga Suaka Hukum Iternasional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Halaman 27. 23
22
diatur dalam hukum internasional, sebagai hukum yang mengatur negara-negara di dunia. HAM menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah hak yang melekat pada semua manusia, apapun kebangsaan kita, tempat tinggal, jenis kelamin, asal-usul kebangsaan atau etnis, warna kulit, agama, bahasa, atau status lainnya. Kita semua sama-sama berhak atas HAM tanpa diskriminasi. Hak-hak ini semua saling bergantung, saling terkait dan tak terpisahkan.24 HAM secara universal seringkali dinyatakan dan dijamin oleh hukum, dalam bentuk perjanjian, hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip umum dan sumber-sumber hukum internasional. HAM dalam hukum internasional meletakkan kewajiban Pemerintah untuk bertindak dengan cara tertentu atau untuk menahan diri dari tindakan tertentu, dalam rangka untuk melindungi HAM sebagai kebebasan dasar individu atau kelompok. Universal Declaration of Human Rights dengan tiga puluh pasalnya menjelaskan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan yang harus dinikmati manusia di setiap negara. Pengakuan HAM secara universal membenarkan pembebasan bangsabangsa yang tertindas. Menurut Pasal 1 Piagam PBB, salah satu tujuan PBB adalah untuk mencapai kerja sama internasional dalam mewujudkan dan mendorong penghargaan atas HAM dan kemerdekaan yang mendasar bagi semua orang, tanpa membedakan suku, bangsa, kelamin, bahasa maupun agama.
24
United Nations Human Rights. (2010). What is Human Rights. Diakses melalui http://www.ohchr.org/en/issues/Pages/WhatareHumanRights.aspx pada tanggal 23 November 2012
23
HAM dibentuk menjadi sebuah komisi PBB yang dipimpin Eleanor Roosevelt. Pada 10 Desember 1948, komisi tersebut secara resmi diterima PBB. Pada awalnya, deklarasi ini hanya mengikat secara formal dan etis seluruh anggota PBB. Namun, pada tahun 1957 dibuat lagi tiga bentuk perjanjian, yaitu : a. International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR); b. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR); c. Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights. Ketiga dokumen tersebut di atas diterima Sidang Umum PBB pada tanggal 16 Desember 1966, dan kepada anggota PBB diberi kesempatan untuk meratifikasinya. Kedua kovenan berisi ketentuan-ketentuan yang mengikat bagi negara yang meratifikasi dengan maksud memberi perlindungan atas hak-hak dan kebebasan probadi manusia. Hak merupakan perwujudan dari martabat manusia, yang tercermin dari kebebasan berpikir, beragama, dari ketakutan dan kesengsaraan. Secara garis besar, HAM dapat dibedakan menjadi beberapa kategori25, yaitu : a. Hak-hak asasi pribadi atau personal rights, yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak dan sebagainya. b. Hak-hak asasi ekonomi atau property rights, yaitu hak untuk memiliki sesuatu, membeli, menjual, dan memanfaatkannya.
25
Sulaiman Hamid. (2002). HAM dalam Lembaga Suaka Hukum Intrnasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Halaman 29
24
c. Hak-hak asasi politik atau politic rights, yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak untuk dipilih dan memilih dalam suatu pemilihan umum, hak untuk mendirikan partai politik dan sebagainya. d. Hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan atau rights of legal equality. e. Hak-hak asasi sosial dan kebudayaan atau social and culture rights, seperti hak untuk memilih pedidikan dan hak untuk mengembangkan kebudayaan. Hak asasi untuk mendapatkan perlakukan yang sesuai dengan tata cara peradilan dan perlindungan atau procedural rights, seperti peraturan mengenai penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan pengadilan. Dari beberapa defenisi dan penjelasan masalah Hak Asasi Manusia di atas maka karya tulis ilmiah ini menjadikan piagam Uni Eropa sebagai landasan atau tolak ukur terjadi atau tidaknya pelanggaran HAM terhadap imigran muslim di masa pemerintahan Nicholas Sarkozy. Hal ini dikarenakan Uni Eropa berpedoman pada prinsip-prinsip
demokrasi, supremasi hukum,
kesemestaan dan keutuhan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, penghormatan pada martabat manusia, prinsip-prinsip kesetaraan dan solidaritas, dan penghormatan pada prinsip-prinsip Piagam PBB dan hukum internasional pada piagam tersebut.
25
BAB III IMIGRAN MUSLIM DI PERANCIS DAN PEMERINTAHAN NICHOLAS SARKOZY
A. Sejarah dan Dinamika Masuknya Imigran Muslim di Perancis Islam adalah agama yang damai, universal, dan rahmat bagi seluruh alam. Karena dasar itu, agama Islam pun dapat diterima dengan baik di berbagai belahan muka bumi. Mulai dari jazirah Arabia, Asia, Afrika, Amerika, hingga Eropa. Pada abad ke-20, Islam berkembang dengan sangat pesat di daratan Eropa. Perlahan-lahan, masyarakat di benua biru yang mayoritas beragama Kristen dan Katholik ini mulai menerima kehadiran Islam. Perkembangan Islam yang sangat pesat dan jumlahnya yang sangat massive akhnirnya membawa Islam masuk kedalam Negara Perancis di eropa. Fenomena tersebut menjadikan Islam menjadi salah satu agama yang mendapat perhatian serius dari masyarakat Eropa termasuk Perancis. Di Perancis, Islam berkembang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 M. Bahkan, pada tahun 1922, telah berdiri sebuah masjid yang sangat megah bernama Masjid Raya Yusuf di ibu kota Perancis, Paris. Hingga kini, lebih dari 1000 masjid berdiri di Perancis. Di negara ini, Islam berkembang melalui para imigran dari negeri Maghribi, seperti Aljazair, Libya, Maroko, Tunisia, dan Turki. Pada tahun 1960-an,
26
ribuan buruh Arab berimigrasi (hijrah) secara besar-besaran ke daratan Eropa, terutama di Perancis.26 Imigran di Perancis, yang merupakan warga minoritas, harus berjuang keras untuk mendapatkan status yang jelas mengenai keberadaan mereka di Perancis. Pada awal kedatangannya, imigran adalah sekelompok orang yang berfungsi sebagai pengisi kebutuhan akan tenaga kerja menyusul adanya industrialisasi dan perbaikan ekonomi di Perancis. Selain itu, situasi demografis Perancis yang mengalami stagnasi 27 juga terbantu dengan adanya kedatangan para imigran tersebut. Krisis yang terjadi dari negara asal imigran juga menjadi latar belakang kedatangan mereka ke tanah Perancis. Perancis dikenal sebagai negara yang cukup terbuka menerima pendatang dengan tujuan meminta suaka hukum karena situasi negara asal mereka yang tidak aman, terutama mereka yang berasal dari negara-negara Eropa Timur. Perancis menawarkan kemerdekaan dan keadilan bagi semua orang. Ditambah lagi dengan reputasinya sebagai negara yang melahirkan banyak pemikir yang terkenal di seluruh dunia, Perancis menjadi sebuah negara impian yang terletak cukup dekat dibandingkan tanah Amerika yang berada di seberang Samudera Atlantik28. Hal-hal seperti itulah yang membuat Perancis menjadi negara tujuan migrasi yang cukup
26
BBC News. ( 2005). France’s disaffected Muslims Businessman. Diakses melalui http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/4405790.stm pada tanggal 17 Agustus 2012 27 Airin Miranda. (2007). Masalah Integrasi di Perancis. Universitas Indonesia : Jakarta. Halaman 8 28 Ibid. Halaman 9
27
populer, terutama bagi negara-negara tetangganya di Eropa seperti Libya, Aljazair, Maroko, Tunisia dan Negara Maghribi lainnya yang notebene adalah Imigran Muslim.29 Saat ini, jumlah penganut agama Islam di Prancis mencapai tujuh juta jiwa. Dengan jumlah tersebut, Perancis menjadi negara dengan pemeluk Islam terbesar di Eropa. Menyusul kemudian negara Jerman sekitar empat juta jiwa dan Inggris sekitar tiga juta jiwa. Peran buruh migran asal Afrika dan sebagian Asia itu membuat agama Islam berkembang dengan pesat. Para buruh ini mendirikan komunitas atau organisasi untuk mengembangkan Islam.30 Secara perlahan-lahan, penduduk Perancis pun makin banyak yang memeluk Islam. Karena pengaruhnya yang demikian pesat, Pemerintah Perancis sempat melarang buruh migran melakukan penyebaran agama, khususnya Islam. Pemerintah Perancis khawatir organisasi agama Islam yang dilakukan para buruh tersebut akan membuat pengkotak-kotakan masyarakat dalam beberapa kelompok etnik. Sehingga, dapat menimbulkan disintegrasi dan dapat memecah belah kelompok masyarakat. Meski demikian, masyarakat Arab yang ingin berpindah ke Perancis tetap meningkat. Hal tersebut dikarenakan pintu masuk kearah Perancis semakin terbuka akibat aturan mengenai undang-undang keimigrasian yang masih sangat longgar pada masa itu. Pada tahun 1970-an, imigran Muslim kembali mendatangi negara pencetus trias politica itu. Kali ini, para pelajar Muslim yang datang ke Perancis dengan tujuan untuk
29
Ibid Bustaman Ismail. (2012). Menelusuri Islam di Perancis. Diakses melalui http://hbis.wordpress.com/2012/03/19/menelusuri-islam-di-perancis/#more-6370 pada tanggal 08 September 2012 30
28
menuntut ilmu. Kedatangan para pelajar ini menjadi factor yang sangat penting dalam mendorong penyebaran Islam dan berkehidupan Islam di jantung negeri Napoleon Bonaparte tersebut. Selanjutnya pada tahun 1985, diselenggarakan konferensi besar Islam yang dibiayai Rabithah Alam Islami (Organisasi Islam Dunia). Turut serta dalam konferensi itu 141 negara Islam dengan keputusan mendirikan Federasi Muslim Perancis. Peristiwa besar tersebut tidak lepas dari perhatian dunia, mengingat kehadiran umat Islam di salah satu negara Eropa selalu menjadi dilema bagi para penguasa setempat, terutama yang menyangkut ketenagakerjaan (buruh) dan masalah sosial.
31
Hasil konferensi dan
terbentuknya federasi Muslim berhasil mempersatukan sebanyak 540 buah organisasi Islam di seluruh Perancis dan melindungi 1600 buah masjid, lembaga-lembaga pendidikan Islam dan gedung-gedung milik umat Islam. Kebanyakan anggota federasi yang menjalankan roda organisasi justru berasal dari kaum muda-mudi Muslim berkebangsaan Perancis sendiri. Federasi ini bertujuan berperan aktif dalam menyukseskan kegiatan keislaman di Perancis dan memberikan pengetahuan serta pendidikan tentang Islam kepada warga Perancis. Lembaga ini berperan besar dalam menjembatani umat Islam Perancis dengan pemerintah setempat, terutama dalam menyuarakan kepentingan umat Islam. Organisasi itu merupakan gabungan dari tiga
31
Muslim Today. (2012). Perancis: Negeri Minoritas muslim terbesar di Eropa. Diakses melalui http://muslimtoday.net/kabar-dunia-islam/prancis-negeri-minoritas-muslim-terbesar-di-eropa/ pada tanggal 15 September 2012
29
organisasi besar Islam di Perancis, yakni Masjid Paris, Federasi Nasional Muslim, dan Persatuan Organisasi Islam Perancis. 32 Banyak hal yang memengaruhi perkembangan Islam di Perancis. Termasuk salah satu diantaranya adalah Perang Teluk 1991 yang menyebabkan munculnya krisis identitas di kalangan anak muda Muslim di Perancis. Kondisi ini mendorong mereka lebih rajin datang ke masjid. Umat Islam di Perancis memiliki peranan yang sangat penting hampir dalam semua sektor. Mulai dari pendidikan, lembaga keuangan, pemerintahan, olahraga, sosial, dan lainnya. Bahkan, pada Perang Dunia I dan II, umat Islam di Eropa tercatat turut menentang pendudukan Nazi. Keikutsertaan umat Islam dalam menentang pendudukan Nazi menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah perjuangan kemerdekaan Perancis. Perkembangan Islam dan masjid di Perancis juga ditulis oleh seorang wartawan Perancis yang juga pakar tentang Islam, Xavier Ternisien. Dalam buku terbarunya, Ternisien menulis, di kawasan Saint Denis, sebelah utara Perancis, terdapat kurang lebih 97 masjid, sementara di selatan Perancis sebanyak 73 masjid. Ternisien menambahkan, masjid-masjid yang banyak berdiri di Perancis dengan kubah-kubahnya yang khas menunjukkan bahwa Islam kini makin mengemuka di negara itu. Islam di Perancis bukan lagi agama yang di masa lalu bergerak secara diam-diam.33
32
Ibid Muslim Today. (2012). Perancis: Negeri Minoritas muslim terbesar di Eropa. Diakses melalui http://muslimtoday.net/kabar-dunia-islam/prancis-negeri-minoritas-muslim-terbesar-di-eropa/ pada tanggal 15 September 2012 33
30
Perkembangan yang terus meningkat itu membuat sebagian masyarakat Perancis khawatir. Masjid-masjid yang ada sering menjadi sasaran serangan yang berbau rasisme. Masa suram masjid di Perancis terjadi pada tahun 2001. Sejumlah masjid menjadi sasaran serangan dengan menggunakan bom molotov. Bahkan, ada masjid yang dibakar. Bentuk serangan lainnya adalah menggambari dinding-dinding masjid dan dinding rumah imam-imam masjid dengan lambang swastika. Namun, sejauh ini, belum ada organisasi hak asasi manusia atau asosiasi Muslim yang mempersoalkan seranganserangan itu.34 Keberadaan imigran muslim di Perancis semakin terancam akibat terjadinya peristiwa 11 September 2001 yang berdampak sangat luas dan mampu merubah sejarah dunia. Isu demokratisasi berubah menjadi isu terorisme setelah Bush mendeklarasikan perang terhadap teror "Bersama kami atau menentang kami". Terorisme 11 September tidak hanya menjadi permasalahan keamanan domestik Amerika Serikat saja, namun juga telah menjadi suatu masalah dalam keamanan global. Efek dari peristiwa 11 September tersebut tidak hanya merubah politik dunia, namun juga mempengaruhi dunia Islam. Tuduhan yang dilontarkan Bush tentang dugaannya terhadap pelaku atas pemboman WTC adalah orang Islam, tentunya hal tersebut merugikan kaum Muslimin seluruh dunia yang menjadi korban dampak serangan 11 September. Akibatnya di negara-negara Eropa termasuk Perancis, masyarakat Muslim mendapat perlakuan tidak adil yang dilakukan terhadap mereka, berbagai diskriminasi diterima oleh umat Islam
34
Ibid
31
dalam berbagai bidang seperti pendidikan, ekonomi dan lapangan pekerjaan bahkan dalam kehidupan pribadi mereka. Dampak dari war on terror yang Bush anggap dilakukan oleh kaum Muslim seperti yang di ungkapkan badan HAM Uni Eropa, Agency for Fundamental Rights (FRA) yang dikutip dari Al Jazeera bahwa diskriminasi terhadap Muslim di Eropa ternyata lebih luas daripada yang diberitakan. Terbukti, satu dari tiga Muslim di Eropa mengalami diskriminasi. Dalam survei yang dilakukan di 14 negara anggota UE, FRA menyatakan bahwa sepertiga responden ternyata merupakan korban diskriminasi. Selain itu, sebanyak 11 persen responden juga pernah menjadi korban tindak kejahatan yang bermotif rasis. Selain itu FRA juga menemukan kenyataan bahwa sebagian besar insiden itu tak dilaporkan kepada polisi. Sebab, mayoritas Muslim itu yakin tak akan ada yang dilakukan polisi atas laporan yang mereka ajukan. Menurut FRA, tingkat tertinggi diskriminasi terjadi di tempat kerja, bahkan sudah masuk kategori mengkhawatirkan. Direktur FRA, Morten Kjaerum mengatakan lapangan pekerjaan merupakan bagian penting dari proses integrasi bagi Muslim dengan masyarakat secara luas di mana mereka tinggal. Ini merupakan inti kontribusi yang bisa diberikan para migran Muslim kepada masyarakat. Diskriminasi membuat proses integrasi terganggu.35 Dalam hal ini proses integrasi yang dimaksudkan adalah proses pembauran umat muslim yang merupakan imigran didalam kehidupan masyarakat serta mendapat
35
Diakses melalui http://www.khabarIslam.com/uni-eropa-Muslim-eropa-alami-diskriminasi.html, diakses pada 08 September 2012
32
kedudukan yang sama dimata negara dan hukum. Sesuai dengan opini cantle, integrasi merujuk pada beberapa tindakan seperti tindakan tidak mendiskriminasikan, tindakan untuk memberikan kesempatan yang sama dan seterusnya. The American Encyclopedia juga menjelaskan integrasi merupakan proses membawa budaya-budaya yang berbeda dan berjalan bersama dan didasarkan atas persamaan, keadilan dan persamaan perlindugan dibawah hukum.36 Tentunya dampak dari peristiwa 11 September ini mengganggu proses integrasi umat muslim sebagai imigran yang membawa budaya baru di Perancis. Pasca peristiwa 11 September 2001 menimbulkan adanya kebencian terhadap umat Islam di Perancis sehingga terjadi perlakuan rasis tanpa mengetahui asal sumber agama ini terjadi. Islam selalu dikaitkan dengan teroris, agama yang radikal dan tidak mengakui HAM. Di dalam masyarakat Perancis banyak terjadi tindakan kekerasan terhadap warga Muslim. Hal ini karena mereka menganggap Islam sebagai agama yang tidak berprikemanusiaan yang telah melakukan teror dengan menghancurkan gedung WTC. Kemudian melihat tindakan terorisme Afganistan serta melihat gerakan perlawanan di Palestina yang dilakukan oleh orang Islam tanpa mengetahui sebab tindakan tersebut terjadi. Perancis terlihat dalam hal ini berusaha untuk memerangi umat Islam dengan merespon hal ini melalui pembahasan yang agak panjang, mengeluarkan kebijakan yang sangat kontroversial dimata dunia. Pada tanggal 17 Desember 2003 Presiden Jacques 36
Ai Fatimah Nur Fuad. (2009). The Role of Islamic Organization in britain in PromotingIdeas about Muslim Integration, Isolation or Rejection within the British Society: A Comparison between Hizbut Tahrir and Jama‟at Islami, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, vol. V No. 1, Halaman 8
33
Chiraq mengajukan rancangan undang-undang yang melarang pemakaian simbol-simbol agama di sekolah negeri, mencakup penggunaan kerudung (hijab) bagi muslimah, kippa untuk kaum Yahudi, dan tanda salib besar untuk kaum nasrani, yang kemudian di rancang pada Februari 2004 setelah disetujui Majelis Rendah. Presiden Jacques Chiraq yang partainya menguasai Majelis Rendah maupun Majelis Tinggi menyatakan secara tegas bahwa republik Perancis adalah negara tempat lahirnya ide-ide atau prinsip-prinsip besar dan negara yang memiliki warisan kekayaan sejarah dengan pluralitas budaya, suku serta agama, tidak boleh mengkotak – kotakkan masyarakatnya ke dalam berbagai komunitas.37 Dan UU ini diharapkan akan mengukuhkan kembali tradisi sekuler Perancis dimana agama dan negara dipisahkan secara tegas. Isi undang – undang tersebut memang tak secara spesifik diberlakukan kepada komunitas muslim. Namun dasar pijakan dari kebijakan itu sebenarnya memang mengarah kepada komunitas muslim. Konsul budaya Perancis di Jakarta, Gilles Garachon misalnya, mengakui bahwa gagasan untuk melahirkan peraturan ini memang muncul setelah terjadinya serangan 11 September 2001 di New York dan Washington. Pemerintah tengah kanan Jaques Chiraq dan “arsitek” pengintegrasian muslim, Nicolas Sarkozy mengidamkan sebuah konsep bagi muslim Perancis, dimana muslim harus diintegrasikan ke dalam masyarakat Perancis untuk menghindari benturan kebudayaan yang bisa memberikan inspirasi terorisme.38
37
Roosi Rusmawati.( 2009). Undang Undang Laïcité . Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol V No 1, Halaman 132 38 Muchtar Pabotinggi, M. Hamdan Basyar, Dhurosudin Mashad, Afadlal. (2008). Potret Politik Kaum Muslim Di Perancis dan Kanada, Pustaka Belajar: Yogyakarta, Halaman 55
34
Tidak hanya pengajuan UU anti simbol, bahkan pejabat dan media massa negara Perancis juga mengemukakan usulan agar para imam masjid diwajibkan untuk menggunakan bahasa Perancis dalam menyampaikan khotbah serta memasukkan topik budaya dan sejarah Perancis didalam khotbah mereka. Meskipun Perancis selama ini mengklaim diri sebagai tempat lahirnya demokrasi dan kemerdekaan, namun tindakan media massa negara ini, yang menekan dan menghina tujuh juta umat Islam di Perancis, jelas bertentangan dengan klaim tersebut. 39Aksi pemerintah Perancis layaknya disebut sebagai upaya rasisme dan Islamophobhia mengajak bersama-sama memusuhi Islam tanpa bukti nyata.40 Komunitas Islam tengah melawan kekuatan legal yang merampas HAM. Di Negara Perancis sendiri tak hanya masjid yang tumbuh, lembaga pendidikan Islam di negara ini pun turut berkembang. Sejumlah sekolah Islam berdiri di Perancis. Sampai kini, sedikitnya ada empat sekolah Muslim swasta. Awalnya, sebuah sekolah didirikan di Vitrerie, pinggiran selatan Paris. Kurikulumnya disesuaikan dengan kurikulum pendidikan nasional Perancis, namun ada tambahan pelajaran khusus muatan lokal tentang keislaman, seperti bahasa Arab dan agama Islam. Education et Savior adalah sekolah kedua yang dibuka di Paris setelah sekolah Reussite di pinggiran Aubervilliers, utara Paris, dan yang keempat di Perancis. Dua sekolah swasta Islam lainnya adalah Ibn Rushd di Kota Lille, utara Perancis, dan Al-Kindi di Kota Lyon.
39 40
Salwasalsabila Syarifah. (2008). Islam, Eropa, & Logika. O2;Yogyakarta. Halaman 39 Ibid. Halaman 58
35
Selama ini, umat Islam di Perancis ingin memiliki sekolah swasta Islam setelah Paris melarang jilbab dan simbol keagamaan di sekolah negeri. Siswi Muslim yang memakai jilbab akan dikeluarkan dari sekolah dan kondisi ini membuat masa depan mereka suram. Pembukaan Al-Kindi di Lyon mendapat hambatan pada saat ingin dibuka pada tahun 2006. Academy of Lyon, badan pendidikan negara yang tertinggi di kota itu, menolak izin operasional sekolah itu dan menutup sekolah dengan alasan pihak sekolah tidak memenuhi standar kebersihan dan keselamatan. Namun, Pengadilan Administratif di Lyon membatalkan penutupan itu pada bulan Februari tahun 2007. Pada tahun 2010, sebuah studi yang berjudul Apakah Muslim Perancis didiskriminasi di Negara Sendiri? menunjukkan bahwa kesempatan muslim di sana mendapatkan pekerjaan adalah 2,5 kali lebih sedikit dari orang Kristen, padahal mereka memiliki kapabilitas yang sama. Contoh lain dari diskriminasi terhadap imigran Muslim yaitu penghancuran dan pengrusakan kuburan Muslim di Perancis. Hal tersebut dipandang sebagai Islamophobia (ajaran benci terhadap Islam), semua ini berdasarkan sebuah laporan dari Pusat Pemantauan Eropa pada Rasisme dan Xenofobia. Bahkan berdasarkan fakta di lapangan sejumlah masjid juga telah dirusak di Perancis.41 Dan pada tahun 2012 akan diberlakukan kebijakan pengurangan setengah dari jumlah imigran muslim di Perancis oleh Nicholas Sarkozy semakin memperparah masalah penegakan HAM yang terjadi di Perancis.42
41
Diskriminasi Muslim di Perancis. Diakses melalui http://remajaislam.com/dunia-muda/dunia-islam/117diskriminasi-muslim-di-perancis.html pada hari jumat 26 Oktober 2012 42 Imigran di Perancis. Diakses melalui http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2012/03/120307_prancis.shtml pada hari jumat 26 Oktober 2012
36
B. Kebijakan Imigrasi Pemerintah Perancis Nicholas Sarkozy Kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Nicholas Sarkozy tertuang dalam The European Pact on Immigration and Asylum pada tahun 2008. Pakta ini merupakan dokumen politik, dimana Negara Anggota dari Uni Eropa memiliki komitmen satu sama lain antara warga negara mereka dan seluruh dunia. Pakta ini berisi satu set tujuan politik dan pedoman strategis untuk pengembangan kebijakan imigrasi dan suaka Eropa. Alasan mengapa pakta ini dibuat adalah Imigrasi, sebuah fenomena lama yang merupakan bagian integral dari hubungan internasional, dan merupakan salah satu tantangan utama di beberapa dekade ke depan. Tekanan Imigrasi akan selalu ada selama terus ada kesenjangan dalam pembangunan di Negara Eropa. Imigrasi yang terorganisir dan teratur dapat menciptakan sebuah peluang, karena hal tersebut merupakan faktor dalam mempromosikan pertukaran manusia dan pertumbuhan, terutama untuk negaranegara yang mengalami pertumbuhan ekonomi dan populasi untuk menciptakan hukum imigrasi yang baru. Ketika aturan keimigrasian tidak baik maka dapat menimbulkan konsekuensi negatif bagi negara-negara tuan rumah dan para imigran sendiri. Mayoritas negara-negara Eropa harus mengatasi imigrasi ilegal, yang merupakan hambatan bagi integrasi kelancaran hukum para imigran dan penyebab konflik. Selain itu, konstruksi Eropa telah menghasilkan pembentukan daerah yang luas dari pergerakan para imigran, dan merupakan kemajuan luar biasa dalam hal kebebasan, serta merupakan faktor penting untuk kemakmuran. Hal ini mengharuskan perubahan manajemen gabungan dan arus umum migrasi. Keputusan yang diambil oleh Negara Anggota
akan
memiliki
dampak
bagi
semua
negara
anggota
lainnya. 37
Uni Eropa yakin bahwa kebijakan yang adil, seimbang dan efektif harus berurusan dengan semua aspek imigrasi pada saat yang sama seperti : manajemen hukum imigrasi, pengontrolan imigrasi ilegal dan dorongan dari sinergi antara migrasi dan pembangunan. Untuk pertama kalinya, semua kebijakan Eropa pada imigrasi dan suaka didasarkan pada dokumen formal yang telah diadopsi oleh Kepala Negara dan Pemerintah, dan hal tersebut tertuang dalam the European Pact on Immigration and Asylum. Dimana para Negara Anggotanya berkomitmen penuh dalam 5 bidang utama: 1. Untuk mengatur hukum imigrasi dalam mempertimbangkan, kebutuhan prioritas dan penerimaan kemampuan yang ditentukan oleh masing-masing Negara Anggota serta untuk mendorong integrasi; 2. Untuk mengontrol imigrasi ilegal dengan memastikan kembalinya imigran ilegal ke negara asal mereka atau negara transit; 3. Untuk membuat kontrol perbatasan lebih efektif; 4. Untuk membangun sebuah suaka Eropa dan 5. Untuk menciptakan kemitraan yang komprehensif dengan negara asal dan transit agar mendorong sinergi antara migrasi dan pembangunan. Uni Eropa juga memiliki regulasi tersendiri bagaimana aturan tersebut harus ditaati. Pakta tersebut harus dilaksanakan oleh Parlemen Eropa, Dewan Eropa dan Komisi Eropa, serta oleh Negara-negara Anggota. Dewan Kepala Negara Eropa dan Pemerintah akan mengatur “debat” setiap tahun mengenai kebijakan imigrasi dan suaka, berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Komisi berkaitan dengan pelaksanaan Pakta tersebut. Negara anggota akan menginformasikan Dewan Eropa hal 38
yang paling penting mengenai perubahan yang mereka sedang pertimbangkan berkaitan dengan kebijakan imigrasi dan suaka. Komitmen
pertama,
Untuk
mengatur
hukum
imigrasi
dalam
mempertimbangkan, kebutuhan prioritas dan penerimaan kemampuan yang ditentukan oleh masing-masing Negara Anggota, dan untuk mendorong integrasi; Kebijakan imigrasi hukum harus selektif dan terpadu. Imigrasi hukum harus menjadi masalah yang diselesaikan dengan kerjasama antara negara asal dan negara tuan rumah serta harus saling menguntungkan satu sama lain. Hal Ini adalah tanggung jawab dari masing-masing Negara Anggota untuk menerapkan kebijakan migrasi tenaga kerja dan memutuskan jumlah orang yang ingin diterima sesuai dengan kebutuhan individu tenaga kerja. Daya tarik dari Uni Eropa bagi pekerja yang berkualitas harus diperkuat sementara circular migration (yaitu perjalanan kembali) harus dibuat lebih mudah, ketika mencoba untuk menghindari fenomena brain drain dari negara-negara imigran asal. Imigrasi Keluarga
harus terorganisir lebih efektif. Ini harus menghormati
European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms, dan sesuai dengan penerimaan kemampuan negara-negara anggota dan kemampuan integrasi dari keluarga. Negara anggota harus memiliki kebijakan integrasi ambisius, yang didasarkan pada keseimbangan antara hak (akses ke pekerjaan, perumahan, pelayanan sosial) dan tugas imigran (menghormati hukum dan identitas negara tuan rumah). Belajar bahasa
39
negara tuan rumah dan akses terhadap pekerjaan yang dianggap faktor penting untuk integrasi.43 Komitmen Kedua, Untuk mengontrol imigrasi ilegal dengan memastikan kembalinya imigran ilegal ke negara asal mereka atau negara transit; Pakta itu menegaskan tekad negara-negara anggota untuk mengontrol imigrasi ilegal, demi kepentingan suatu Negara dan imigran itu sendiri. Kerjasama antara negara asal dan transit akan diperkuat dalam rangka memerangi international criminal networks dalam perdagangan imigran dan perdagangan manusia. Orang asing yang berada di negaranegara secara ilegal harus meninggalkan wilayah, sebaiknya dari kehendak mereka sendiri. Deportasi merupakan keputusan yang diambil oleh suatu Negara Anggota yang nantinya akan diakui oleh semua negara anggota. Langkah-langkah bantuan untuk mengembalikan dengan sukarela akan direkomendasikan dan harus diperluas di seluruh Negara-negara Anggota. Readmission agreement dengan non-negara anggota akan disimpulkan untuk memfasilitasi prosedur repatriasi. Negara-negara Anggota harus saling bekerja sama secara lebih efektif dan mengambil langkah-langkah bersama untuk menjamin repatriasi imigran ilegal. Mereka akan dengan setia memerangi segala bentuk eksploitasi imigran ilegal. Negara anggota harus membatasi diri untuk regularisations berdasarkan kasus per kasus untuk alasan kemanusiaan atau ekonomi.44
43
European Council (2008). The European Pact and Asylum. Halaman 6 Diakses melalui www.immigration.gouv.fr pada hari jumat 26 Oktober 2012 44 Ibid Halaman 7
40
Komitmen ketiga, Untuk membuat kontrol perbatasan lebih efektif; Setiap negara anggota bertanggung jawab untuk mengendalikan perbatasan eksternal, darat, laut dan udara dari Uni Eropa pada bagian dari perbatasan-perbatasan milik mereka. Kontrol ini juga akan dilakukan dalam kepentingan semua negara anggota. Negara Anggota akan berusaha untuk menggunakan semua sumber daya yang tersedia dan yang dibutuhkan untuk memenuhi tanggung jawab ini secara efektif. Masalah visa yang mengandung identifikasi biometrik (foto digital, sidik jari) akan diperluas di seluruh negara anggota mulai Januari 2012. Sebuah Informasi Visa System (VIS) elektronik menghubungkan semua konsulat dan departemen pemerintah pusat akan dibentuk. Sistem ini akan membantu untuk mengontrol imigrasi ilegal lebih efektif dengan mengidentifikasi pemegang visa dan negara asal mereka secara pasti. Konsulat Negara-negara Anggota harus meningkatkan tingkat kerja sama dan, jika memungkinkan, diusung bersama dan berbagi sumber daya mereka untuk masalah visa. Setiap kali terbukti diperlukan, koordinasi untuk kontrol perbatasan eksternal Uni Eropa akan diberikan oleh Badan Frontex. Sumber daya lembaga harus diperkuat untuk menghadapi situasi krisis. Negara anggota akan berjanji untuk memberikan Frontex dengan sumber daya yang diperlukan. Kerjasama dengan negara asal dan transit akan ditingkatkan untuk memungkinkan mereka meningkatkan kontrol perbatasan mereka sendiri. Negara Anggota yang harus berurusan dengan influxes dan imigran yang tidak proporsional (dalam kaitannya dengan penerimaan kemampuan mereka) harus dapat mengandalkan solidaritas efektif negara-negara
41
anggota lainnya. Pengendalian perbatasan eksternal Uni Eropa membutuhkan alat-alat teknologi modern yang akan dikembangkan bersama-sama.45 Komitmen keempat, Untuk membangun sebuah suaka Eropa; Pakta tersebut menegaskan kembali bahwa setiap orang asing yang dianiaya berhak mendapatkan bantuan dan perlindungan di wilayah Uni Eropa, sesuai dengan nilai-nilai inti dari Uni Eropa dan komitmen internasional dari negara-negara anggota. Pakta ini menyerukan pembentukan sebuah sistem suaka bersama Eropa untuk menghindari kesenjangan yang
masih
ada
di
pemberian
status
pengungsi,
dan
konsekuensinya.
Sebuah Kantor Dukungan Eropa telah dibentuk pada kuartal pertama 2009 untuk memfasilitasi kerjasama praktis antara Negara Anggota dan menyatukan prosedur dan sistem hukum. Sebuah prosedur suaka yang berisi jaminan umum juga telah diperkenalkan pada tahun 2012 ini. Pengungsi dan orang-orang yang diberikan perlindungan dalam bentuk lain juga akan memiliki status yang seragam di Eropa. Solidaritas terhadap Negara-negara Anggota yang dihadapkan dengan influxes besar pencari suaka akan diselenggarakan khususnya melalui persiapan tim Eropa yang bertanggung jawab untuk memeriksa aplikasi. Selain itu, agar lebih efektif distribusi orang dengan pengungsi, status akan diselenggarakan antara Negara-negara Anggota, atas dasar sukarela. Dalam kerja sama yang erat dengan Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (HCR), kebijakan pemukiman kembali akan kembali diluncurkan, memungkinkan orang ditempatkan di bawah perlindungan HCR luar negeri untuk diselesaikan dalam Uni Eropa. Personil yang bertanggung jawab untuk kontrol 45
Ibid
42
perbatasan akan menerima pelatihan sehubungan dengan hak-hak pihak yang membutuhkan perlindungan. Komitmen kelima, Untuk menciptakan kemitraan yang komprehensif dengan negara asal dan transit untuk mendorong sinergi antara migrasi dan pembangunan; Uni Eropa menegaskan kembali komitmennya terhadap "Pendekatan Global untuk Migrasi", yang berkaitan pada saat yang sama dengan organisasi imigrasi hukum, kontrol imigrasi ilegal dan sinergi antara migrasi dan pembangunan. Ini akan menjadi tantangan yang dihadapi oleh imigrasi dengan membentuk kemitraan antara negaranegara tujuan, asal dan transit. Migrasi harus menjadi bagian komponen penting dari hubungan eksternal dari negara-negara anggota dan Uni Eropa. Negara Anggota harus membuat perjanjian dengan negara asal atau transit dengan memperhitungkan semua aspek migrasi. Mereka akan didorong untuk menawarkan warga negara dari negara-negara tersebut, peluang untuk imigrasi hukum yang disesuaikan dengan pasar tenaga kerja mereka. Buruh migran dapat memperoleh pengalaman kerja dan membangun tabungan yang membantu bagi perkembangan negara mereka. Kerjasama dengan negara asal akan dikembangkan untuk mencegah dan memerangi imigrasi ilegal. Pakta ini akan mempromosikan tindakan untuk pengembangan gabungan, yang akan memungkinkan migran untuk mengambil bagian dalam pembangunan negara asal mereka. Instrumen keuangan tertentu harus memfasilitasi transfer yang paling aman dan paling hemat mengenai biaya tabungan
43
migran. Kebijakan pembangunan akan lebih efektif dikoordinasikan dengan kebijakan migrasi untuk manfaat pembangunan negara dan wilayah migrasi asal.46 Meskipun kebijakan imigrasi yang ketat, imigrasi ke Prancis telah meningkat terus-menerus dalam beberapa tahun terakhir, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Gambar 1. Imigrasi di Perancis pada tahun 1994-2003
Sumber : Institute National d‟ Etudes Demographiques ( INED ), 2005. Institute Studi Demografi Nasional Perancis Bentuk dominan dari imigrasi adalah keluarga reunifikasi (2003: 100.590 anggota keluarga), diikuti oleh migrasi karena alasan pendidikan (2003: 52.786 siswa) dan migrasi tenaga kerja (2003: 24.876 pekerja).47 Imigran (imigrasi bersih) telah positif dan relatif stabil pada sekitar 100.000 orang per tahun dalam beberapa tahun terakhir. Dengan demikian migrasi telah memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan penduduk Perancis. Tidak seperti Jerman, bagaimanapun, Perancis memiliki jumlah yang lebih tinggi daripada jumlah
46
Ibid Focus Migration (2012). France. Diakses melalui http://focusmigration.hwwi.de/France.1231.0.html?&L=1 pada hari Minggu 28 Oktober 2012. 47
44
kelahiran dan kematian. Menurut Institut Nasional d'Etudes Démographiques (INED), bertentangan dengan stereotip yang meluas, tingkat kelahiran di kalangan imigran tidak lebih tinggi dibandingkan dengan populasi kelahiran Perancis.48 Menurut angka yang tersedia sampai saat ini, belum ada peningkatan yang signifikan dalam hukum imigrasi dan permanen ke Perancis dari Eropa Timur akibat perluasan Uni Eropa. Pada tahun 2004, bersama-sama dengan sebagian besar negaranegara Uni Eropa, Perancis awalnya membatasi pergerakan bebas pekerja dari Timur Eropa.49 Secara total, ini menyangkut 61 profesi di industri hotel dan katering, industri makanan, perdagangan bangunan, di bidang pertanian dan perdagangan. Hal yang sama berlaku untuk Bulgaria dan Rumania, yang menyetujui Uni Eropa pada Januari 2007. Malta dan Siprus, yang warganya memiliki akses bebas ke pasar tenaga kerja Perancis sejak Mei 2004, tidak terpengaruh oleh pengaturan transisi. Meskipun tidak adanya aliran besar yang membentuk Eropa Timur, kekhawatiran upah dan sosial karena adanya pekerja dari wilayah yang luas di Perancis.50 Dalam statistik Perancis, imigran (immigrés) dan orang asing (Strangers) dicatat secara terpisah. Imigran didefinisikan sebagai orang yang lahir di luar negeri sebagai warga negara asing, dan mereka terus dicatat bahkan ketika mereka telah memperoleh kewarganegaraan Perancis. Pada tahun 2005 ada 4.930.000 imigran yang tinggal di Perancis, setara dengan 8,1% dari jumlah populasi. Dari jumlah ini, 1,97 juta - atau
48
Ibid Ibid 50 European Commission. 2006. Diakses melalui http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/un/unpan023273.pdf pada tanggal 7 September 2012 49
45
40% - telah diasumsikan sebagai warganegara Perancis. Berbeda dengan imigran, orang asing didefinisikan sebagai orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan Perancis. Ada 3,51 juta orang asing yang tinggal di Perancis, yang setara dengan 5,7% dari total penduduk. Sebanyak 550.000 orang asing yang lahir di Perancis. Gambar 2 menunjukkan bagaimana populasi asing dan imigran dapat tumpang tindih. Fokus dari bagian ini, bagaimanapun, akan berada di populasi imigran.51
Gambar 2. Statistik Imigran dan Orang Asing di Perancis Imigran yang mendapatkan kewarganegara an 1.970.000
Orang Asing yang lahir di Perancis 550.000
Sumber : Institut National de la Statistique et des Etudes Economiques, ( INSEE ). 2006
Orang Asing 3.510.000 Orang Asing yang lahir di luar negeri 2.960.000
Imigran 4.930.000
Institute Statistik dan Studi Ekonomi Nasional Perancis
Sejak Perang Dunia II, baik jumlah dan persentase imigran dalam populasi Perancis telah meningkat. Antara pertengahan 1970 dan pergantian milenium, populasi imigran tumbuh pada tingkat yang sama. Proporsi imigran selama periode ini tetap konstan pada 7,4%. Dalam lima tahun terakhir, 960.000 orang telah berimigrasi dan telah menyebabkan populasi imigran tumbuh secara signifikan lebih cepat daripada
51
Focus Migration, Loc. Cit
46
populasi total. Akibatnya, proporsi imigran dalam total populasi terus meningkat untuk pertama kalinya dalam 30 tahun dan sekarang 8,1% 52 Gambar 3. Populasi Imigran di Perancis tahun 1911-2005
Persentase dari total populasi dalam juta
Sumber : Institut National de la Statistique et des Etudes Economiques, ( INSEE ). 2006 Institute Statistik dan Studi Ekonomi Nasional Perancis Bersamaan dengan kenaikan relatif dan absolut dalam populasi imigran adalah perubahan komposisi sesuai dengan negara asal. Setelah Perang Dunia II sebagian besar imigran datang dari Eropa (1962: 79%). Pada saat yang sama, daerah asal pernah lebih jauh dari Perancis. Pada tahun 2005, untuk pertama kalinya ada imigran lebih dari Africa53 tinggal di Perancis (1962: 15,3%; 2005: 42,2%) dibandingkan dari Eropa. Imigrasi dari Asia, juga telah meningkat secara signifikan (1962: 2,4%; 2005: 13,9%). Diukur dalam jumlah absolut, pada tahun 2005 sekitar 1,7 juta imigran tinggal di 52
Diakses melalui http://www.bpb.de/gesellschaft/migration/dossier-migration/56804/newsletter pada tanggal 31 Oktober 2012 53 Ibid
47
Perancis berasal dari Uni Eropa dan 250.000 berasal dari negara-negara non-Uni Eropa. Secara total, 1,5 juta imigran berasal dari wilayah Maghribi.54 Sebanyak 570.000 lebih lanjut datang dari sub-Sahara Afrika, sementara sekitar 690.000 imigran memiliki akar di Asia.55 Masing-masing negara yang paling penting pada tahun 2005 berasal dari Aljazair (677.000), Maroko (619.000), Portugal (565.000), Italia (342.000), Spanyol (280.000) dan Turki (225.000). Namun, imigrasi dari Asia (Cina, Pakistan dan India), serta dari sub-Sahara Afrika (Senegal, Mali) juga mendapatkan peranan penting (lihat Gambar 4) Gambar 4. Populasi Imigran berdasarkan Negara Lahir di Perancis pada tahun 1999 dan 2005 Negara Kelahiran
Perubahan dari tahun 1999 ke 2005
Sumber : Institut National de la Statistique et des Etudes Economiques, ( INSEE ). 2006 Institute Statistik dan Studi Ekonomi Nasional Perancis 54
55
Ibid Diakses melalui http://www.migration-info.de/mub_artikel.php pada tanggal 31 Oktober 2012
48
Distribusi gender di antara para imigran juga telah berubah dalam perjalanan tahun. Setelah Perang Dunia II para pria awalnya datang untuk bekerja di Perancis. Dari tahun 1974, dengan reunifikasi keluarga, imigrasi perempuan kemudian mendominasi. Tingkat pendidikan imigran telah meningkat secara signifikan, namun rata-rata masih sedikit lebih rendah daripada non-imigran. Secara keseluruhan tingkat pendidikan di kalangan imigran secara bertahap mendekati mayoritas penduduk Perancis. Secara regional, imigran ke Perancis terkonsentrasi dalam kota-kota besar. Wilayah dengan proporsi terbesar dari imigran adalah Île-de-France (Greater Paris), di mana 40% dari imigran hidup. Daerah penting lainnya adalah Rhône-Alpes (Lyon) dan Provence-Alpes-Côte d'Azur (Marseille). Menurut pemerintah, sekitar 200.000 hingga 400.000 orang tanpa status kependudukan hukum - sans-Papiers - hadir di wilayah Perancis. Sebagian besar dari mereka diyakini berasal negara-negara Maghribi. Dalam menanggapi fenomena ini, program legalisasi awal dilakukan pada tahun 1982, dengan 132.000 orang yang diberi status kependudukan hukum sebagai hasilnya. Sans-Papiers datang ke pemberitahuan publik khususnya dengan protes mereka pada tahun 1996. Pada tahun itu mereka menduduki dua gereja di Paris menuntut pemberian izin tinggal. Beberapa minggu setelah datang ke kekuasaan pada Juni 1997, pemerintah Lionel Jospin menyusun
49
program legalisasi kedua. Kali ini sekitar 87.000 dari total 150.000 dari pelamar diberi izin tinggal.56 Pada tahun 2006 sejumlah keluarga tanpa surat yang anaknya bersekolah di Perancis disahkan. Dari lebih dari 30.000 pelamar, 6924 imigran akhirnya diberikan izin tinggal. Organisasi bantuan Migran seperti jaringan RESF (Pendidikan Tanpa Batas) menyerukan legalisasi lanjut bagi keluarga yang tinggal di Perancis tanpa authorisation.57 Undang-undang Imigrasi tahun 2006 dihapuskan legalisasi otomatis imigran yang hidup tanpa otorisasi untuk setidaknya sepuluh tahun di France.58 Pada saat Nicolas Sarkozy (Union pour un Mouvement Populaire, UMP) menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri, Sarkozy telah mengumumkan pada beberapa kesempatan mengenai niatnya untuk secara signifikan meningkatkan jumlah yang dideportasi, sesuatu hal yang telah berhasil dilakukan. Pada tahun 2006, menurut Kementerian Dalam Negeri, 23.831 orang dideportasi dari Perancis (2005: 19.841; 2002: 10.067). Sebanyak 23.885 lebih imigran diusir dari wilayah luar negeri Perancis di tahun yang sama (2005: 15,532; 2002: 9,227). Untuk tahun 2007, Sarkozy telah mengumumkan bahwa ia bermaksud untuk melaksanakan 25.000 deportasi.59 Pada akhir tahun 1980-an, jumlah permohonan suaka di Perancis meningkat secara signifikan (1982: 22.500; 1989: 61.400). Hal ini dapat dijelaskan sebagian oleh kenyataan bahwa imigran terpaksa semakin ke hak suaka dalam ketiadaan jalur hukum 56
Diakses melalui http://www.forumrefugies.org/ pada hari minggu 28 Oktober 2012 Ibid 58 Ibid 59 Diakses melalui http://www.migration-info.de/mub_artikel.php pada tanggal 31 Oktober 2012 57
50
lain dari migrasi. Hambatan birokrasi dan kecenderungan tingkat pengakuan yang lebih rendah menyebabkan penurunan jumlah pelamar pada 1990-an. Namun, bertentangan dengan tren Eropa, jumlah permohonan suaka naik lagi pada akhir tahun 1990-an. Jumlah tertinggi dalam beberapa tahun terakhir, dengan 59.770 aplikasi, terlihat pada tahun 2003. Pada tahun 2005 jumlah ini memang jauh lebih rendah lagi (50.050), namun di tahun ini Perancis adalah negara dengan sebagian besar aplikasi untuk suaka worldwide.60 Pada tahun 2006 jumlahnya menurun drastis menjadi sekitar 35.000 aplikasi. Penurunan akhir-akhir ini telah dikaitkan di atas semua untuk tindakan pengendalian perbatasan ditingkatkan sejalan dengan kebijakan pengendalian perbatasan Eropa. Semakin banyak pelamar suaka sekarang datang dari China dan Turki. Sebaliknya, aplikasi suaka dari Afrika menurun. Di antara suaka pelamar asal Afrika di Perancis, jumlah terbesar berasal dari Republik Demokratik Kongo. Gambar 5. Pelamar Suaka di Perancis berdasarkan Negara Asal pada tahun 2004 dan 2005 Negara Asal
Sumber : UNHCR 2006 60
Diakses melalui http://www.migrationinformation.org/Refugees/ pada tanggal 31 Oktober 2012
51
Selain suaka konvensional sesuai dengan Konvensi Pengungsi Jenewa, Perancis telah memiliki status suaka kedua, suaka yang disebut territorial asile sejak 1997,61 status ini menyampaikan hak secara signifikan lebih sedikit, pada awalnya hanya dibuat untuk pengungsi dari Aljazair karena perang saudara, tetapi kemudian ditawarkan kepada semua bangsa setelah tindakan pengadilan yang berhasil dibawa sebelum d'Conseil Etat62 oleh organisasi yang membela hak-hak orang asing. Pemerintah konservatif di bawah Perdana Menteri Jean-Pierre Raffarin (UMP) direformasi hukum suaka sekali lagi pada tahun 2003. Pada dasarnya, waktu pemprosesan permohonan suaka aplikasi diperpendek, definisi baru dari istilah pengungsi diperkenalkan, dan struktur otoritas yang terlibat diatur ulang. Perancis adalah rumah komunitas Islam terbesar Uni Eropa, yang terdiri dari sekitar tujuh juta Muslim. Untuk beberapa tahun, dan sejak serangan teroris di Amerika Serikat pada 11 September 2001, pemerintah Perancis telah berusaha untuk mendorong Islam moderat yang kompatibel dengan konstitusi Perancis. Pada tahun 2003, Dewan Perancis pertama dari Iman Muslim (Conseil du français Culte Musulman, CFCM) terpilih. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan representasi bersatu sebelum pemerintah dari semua Muslim yang tinggal di Perancis dan juga bertanggung jawab untuk pelatihan imam (pemimpin agama Islam).63 Pada saat yang sama telah ada upaya kuat untuk mempertahankan nilai-nilai sekuler republik sebagaimana ditetapkan oleh 61
Ibid Diakses melalui http://www.bpb.de/gesellschaft/migration/dossier-migration/134779/current-developments pada tanggal 31 Oktober 2012 63 Dikases melalui http://www.migration-info.de/projekte_integration.php pada tanggal 31 Oktober 2012 62
52
hukum pada tahun 1905. Untuk tujuan ini hukum yang telah disahkan melarang simbol-simbol agama di sekolah-sekolah, yang mulai berlaku pada 2 September 2004 pada awal tahun ajaran baru. Hukum didahului dengan diskusi panjang tentang sekularitas, dengan kata lain tentang bentuk pembagian antara negara dan gereja / agama. Menurut hukum "conspicuous" tanda-tanda ekspresi keagamaan dilarang di sekolah-sekolah, termasuk pemakaian jilbab oleh siswi Muslim yang telah memicu diskusi. Hal ini mengatur perlakuan terhadap orang-orang yang "menghasut kekerasan terhadap setiap individu," dan memungkinkan dalam kasus tersebut untuk kemungkinan deportasi.
53
BAB IV KEBIJAKAN NICHOLAS SARKOZY TERHADAP IMIGRAN MUSLIM A. Bentuk Kebijakan Nicholas Sarkozy terhadap Imigran Muslim Dalam wilayah Uni Eropa sendiri, Sekitar 1,5 hingga 2 juta imigran yang berdatangan tiap tahunnya secara sah. Setiap tahunnya, terdapat 200 ribu pemohon suaka dari Irak, Rusia, Serbia, Turki dan Afghanistan. Negara Uni Eropa yang memiliki pendatang tertinggi adalah Luxemburg, Spanyol, Irlandia, dan Austria. 64 Ini kemudian menimbulkan polemik bagi beberapa negara anggota Uni Eropa. Hal ini ditandai dengan beberapa negara anggota Uni Eropa seperti Perancis dan Italia mulai memperketat kebijakan imigrasinya. Di tingkatan Eropa sendiri, dalam mengurusi masalah keimigrasian, Komisi Eropa hingga kini berusaha untuk menyelesaikan pakta imigrasi. Pakta ini sebelumnya telah disusun oleh negara-negara anggota Uni Eropa dalam pertemuan puncak di Tampere, Finlandia. Komisi Eropa yang bertugas menyusun rancangan UU Imigrasi ini berencana untuk mewujudkan penyeragaman UU Imigrasi bagi seluruh negara anggota Uni Eropa. Dalam UU Imigrasi ini, Komisi Eropa menawarkan integrasi yang lebih baik bagi para imigran, bantuan lebih bagi negara asal imigran serta deportasi yang konsekuen bagi imigran illegal.
64
DW-World.DE, Uni Eropa Ingin Seragamkan Undang-undang Imigrasi, diupdate 18 Juni 2008, diakses dari http://www.dw-world.de/dw/article/0,,3422015,00.html 30 Agustus 2012
54
Titik balik terjadinya migrasi di Eropa yaitu pasca perjanjian Schengen 65, dimana pada saat itu dibukanya perjalanan gratis antar negara-negara di Eropa. Warga negaranegara anggota Uni Eropa beserta keluarganya dapat memiliki hak untuk hidup dan bekerja di mana saja di Uni Eropa karena mereka yang kewarganegaraan Uni Eropa tetapi warga negara non-Uni Eropa tidak dapat memiliki hak-hak tersebut kecuali jika mereka memiliki Uni Eropa Long Term Residence Permit atau anggota keluarga warga negara Uni Eropa. Namun, semua pemegang izin tinggal yang sah dari negara Schengen memiliki hak tak terbatas untuk perjalanan dalam wilayah Schengen dengan tujuan wisata selama tiga bulan. Disini terjadi suatu fenomena dimana terlihat oleh banyak ahli dijadikan sebagai dorongan untuk bekerja secara ilegal di dalam zona Schengen. Sebagian besar imigran di negara-negara Eropa barat datang dari bekas negara blok Timur, khususnya di Yunani, Italia, Spanyol, Jerman, Britania Raya dan Portugal. Semakin meningkatnya, arus imigrasi ke wilayah negara-negara Uni Eropa, menjadikan Uni Eropa turut mengetatkan kebijakan imigrasinya. Dalam mewujudkan arus imigrasi yang terkontrol dibentuklah European Immigration Pact (EIP) pada 65
Perjanjian Schengen merupakan perjanjian yang memulia Eropa menjadi benua tanpa batas internal. Perjanjian ini mulai berlaku sejak 26 Maret 1995 yang ditandatangani oleh lima Negara Uni Eropa yaitu Belgia, Jerman, Prancis, Luksemburg, dan Belanda. Hingga kini hanya Inggris dan Irlandia yang belum tergabung dalam zona Schengen. Norwegia dan Islandia juga turut menjadi zona Schengen meskipun bukan anggota Uni Eropa. Efek yang paling penting dari perjanjian ini adalah integrasi Eropa. Batas-batas internal dihapus, perubahan dibidang migrasi, pemberian suaka, dan kerjasama kepolisian adalah hal mutlak. Di lain pihak, perjanjian Schengen juga semakin mempersulit masalah migrasi di Uni Eropa. Jerman dan semua negara anggotanya tidak dapat lagi mengawasi siapa yang masuk ke wilayahnya, apakah secara legal atau ilegal. Imigran ilegal yang memasuki kawasan Schengen juga dapat bergerak dengan bebas di dalam Uni Eropa, dan ini telah menimbulkan fenomena di bidang permohonan suaka.
55
Oktober 2008. Adanya EIP ini menghasilkan beberapa perubahan penting sehubungan dengan pergerakan imigran di Eropa. Aturan imigrasi yang tadinya longgar kini menjadi lebih ketat dan restriktif. A.1. Pengaruh Nicholas Sarkozy terhadap pembentukan aturan Imigrasi di Uni Eropa Salah satu negara yang berperan besar dalam pembentukan kebijakan imigrasi UE yang restriktif adalah Perancis dengan Nicholas Sarkozy sebagai Presidennya. Pada waktu kebijakan imigrasi Uni Eropa ini dibuat, Uni Eropa sedang berada dalam masa kepemimpinan Sarkozy yang ketika itu menjabat sebagai Presiden Uni Eropa. Karena itu, adalah hal yang wajar bila timbul masalah mengenai banyak dipengaruhinya kebijakan imigrasi Uni Eropa oleh ambisi Sarkozy untuk menertibkan arus imigrasi di Eropa, serta oleh kondisi domestik Perancis yang sedang mengalami peningkatan arus imigrasi. Berbagai suku bangsa dari berbagai benua pun berdatangan di Perancis. Mulai Aljazair, Maroko, Tunisia, Portugal, Polandia dan Turki yang notabenenya sebagian dari mereka adalah kaum muslim66. Saat ini, jumlah penganut agama Islam di Perancis mencapai tujuh juta jiwa. Dengan jumlah tersebut, Perancis menjadi negara dengan pemeluk Islam terbesar di Eropa. Menyusul kemudian negara Jerman sekitar empat juta jiwa dan Inggris sekitar
66
Murtadin. (2012). Perancis Negara Muslim terbesar di Eropa. Diakses melalui http://murtadinkafirun.forumotion.net/t11228-perancis-negara-umat-muslim-terbesar-di-eropa pada hari selasa pada tangal 29 Mei 2012
56
tiga juta jiwa.67 Para buruh ini mendirikan komunitas atau organisasi untuk mengembangkan Islam. Secara perlahan-lahan, penduduk Perancis pun makin banyak yang memeluk Islam. Karena pengaruhnya yang demikian pesat itu, Pemerintah Perancis sempat melarang buruh migran melakukan penyebaran agama, khususnya Islam. Pemerintah Perancis khawatir organisasi agama Islam yang dilakukan para buruh tersebut akan membuat pengkotak-kotakan masyarakat dalam beberapa kelompok etnik. Sehingga, dapat menimbulkan disintegrasi dan dapat memecah belah kelompok masyarakat. Dengan adanya Perjanjian Imigrasi Uni Eropa ini, diharapkan terjadi perubahan-perubahan signifikan sehubungan dengan pergerakan imigran di Eropa. Aturan imigrasi yang tadinya longgar kini menjadi lebih ketat dan restriktif. Pembentukan aturan imigrasi Perjanjian Imigrasi Uni Eropa yang restriktif ini tidak terlepas dari peran negara-negara anggota UE yang menuntut dilahirkannya aturan spesifik yang lebih restriktif dalam mengatur arus imigrasi di Eropa. Sebagai Ketua Dewan Uni Eropa saat ini, Nicholas Sarkozy merupakan sosok yang ikut berperan atas pembentukan kebijakan imigrasi Uni Eropa yang lebih restriktif. Pengetatan yang menjadi sangat restriktif dilihat sebagai suatu hal yang tidak aneh lagi mengingat sifat Sarkozy sebagai sosok yang keras dan konservatif serta oleh kondisi domestik Perancis yang sedang mengalami peningkatan arus imigrasi.
67
Middle East Forum (2012). Islam in France diakses melalui http://www.meforum.org/337/islam-in-francethe-french-way-of-life-is-in pada hari kamis 25 Oktober 2012
57
Intisari dari European Immigration Pact adalah untuk mengatur lima prioritas: imigrasi legal dan integrasi, pengaturan imigrasi ilegal, pengaturan batas wilayah yang lebih efektif, sistem pemberian suaka Eropa, serta migrasi dan pembangunan. 68 Jika dilihat sebenarnya perjanjian ini perjanjian imigrasi Uni Eropa ini berangkat dari pernyataan yang diakui negara-negara Uni Eropa, yaitu bahwa “the European Union ... does not have the resources to decently receive all the migrants who hope to find a better life here”69 Dalam EU Immigration Pact ini, ada dua poin pokok yang gencar dipromosikan oleh Uni Eropa yaitu kebijakan pengembalian langsung (return directive) dan kebijakan skema Kartu Biru (blue card scheme). A.2. Return Directive Kebijakan return directive dalam EU Immigration Pact bisa dikatakan sebagai kebijakan imigrasi yang paling kontroversial dan paling banyak mendapatkan kritik dari pihak-pihak di luar Uni Eropa, seperti misalnya kritik dari negara asal imigran, maupun dari berbagai Non Governmental Organization (NGO) yang menilai kebijakan ini melanggar hak asasi manusia. Adapun kebijakan return directive ini merupakan bentuk kebijakan pengembalian imigran ilegal ke negara asalnya, seperti yang disampaikan dalam EU Immigration Pact, yaitu bahwa “irregular aliens on member 68
Elizabeth Collett, The EU Immigration Pact—From Hague to Stochkholm, via Paris, diakses dari
http://www.epc.eu/TEWN/pdf/304970248_EU%20Immigration%20Pact.pdf pada 30Agustus 2012 69
Euractiv, The European Pact on Immigration and Asylum, diakses dari
http://www.euractiv.com/en/socialeurope/european-pact-immigration-asylum/article-175489.htm pada 30 Agustus 2012
58
states’ territory must leave that territory”.70Aturan mengenai return directive ini telah ditandatangani dan disetujui oleh Parlemen Eropa sejak 2008 lalu, dan telah menjadi aturan hukum yang legal pada 2010 lalu.71 Walaupun baru menjadi aturan hukum yang legal pada 2010 lalu, kebijakan return directive ini telah diterapkan di berbagai negara anggota Uni Eropa, seperti misalnya di Perancis yang telah dijelaskan pada subbab sebelumnya. Adapun pelaksanaan kebijakan return directive pada EU Immigration Pact memiliki teknis pelaksanaan yang mirip dengan kebijakan return directive di Perancis, yang dilakukan dengan dua cara, yaitu secara sukarela dari imigran itu sendiri, ataupun dengan menggunakan campur tangan pemerintah negara masing-masing. Lebih lanjut lagi, aturan mengenai tata cara pendeportasian kemudian diserahkan kepada pemerintah negara masing-masing. Aturan return directive ini berlaku di setiap negara anggota Uni Eropa, kecuali Irlandia dan Inggris. Irlandia dan Inggris tidak setuju dengan aturan ini karena menurut mereka, kebijakan pengembalian langsung ini tidak akan membuat proses pengembalian seluruh imigran illegal menjadi lebih mudah. A.3. Blue Card Scheme Kebijakan
imigrasi
Uni
Eropa
dalam
EU
Immigration
Pact yang
juga
banyak mendapatkan kritik adalah rencana penggunaan Skema Kartu Biru (Blue Card Scheme) untuk mengatur masuknya tenaga kerja di Eropa. Penggunaan Skema Kartu Biru sendiri sebenarnya belum dilegalkan dalam EU Immigration Pact, akan tetapi 70 71
Ibid. BBC, Q&A: EU Immigration policy. http://news.bbc.co.uk/2/hi/7667169.stm, diakses pada 4 Agustus 2012
59
kebijakan ini termasuk kebijakan yang paling dipromosikan oleh Uni Eropa. Adapun, kebijakan Skema Kartu Biru ini dibuat dengan mengambil contoh dari kebijakan Green Card di Amerika Serikat untuk menarik masuknya tenaga kerja ahli dalam Uni Eropa, seperti misalnya tenaga kerja insinyur dan tenaga kerja kesehatan.72 Kartu Biru ini kemudian akan memberikan pemegangnya kemudahan bertempat tinggal di dalam wilayah negara-negara Uni Eropa, juga kemudahan untuk membawa serta anggota keluarganya untuk tinggal di wilayah Eropa. Kartu Biru ini juga akan memberikan, untuk kondisi tertentu, kemudahan untuk berpindah dan tinggal dinegara kedua Uni Eropa, setelah tinggal menetap secara legal di negara pertama. Mengenai skema Kartu Biru (blue card scheme) sendiri dibuat untuk mengatur masuknya tenaga kerja di Eropa. Skema Kartu Biru ini dibuat dengan mengambil contoh dari kebijakan Green Card di Amerika Serikat untuk menarik masuknya tenaga kerja ahli dalam Uni Eropa, seperti misalnya tenaga kerja insinyur dan tenaga kerja kesehatan. Kartu Biru ini kemudian akan memberikan pemegangnya kemudahan bertempat tinggal di dalam wilayah negara-negara Uni Eropa, juga kemudahan untuk membawa serta anggota keluarganya untuk tinggal di wilayah Eropa. Kartu Biru ini juga akan memberikan, untuk kondisi tertentu, kemudahan untuk berpindah dan tinggal di negara kedua Uni Eropa, setelah tinggal menetap secara legal di negara pertama. Prancis secara tradisional memiliki kebijakan perbatasan yang cukup terbuka, tetapi sejak Juli 2006, diadakan hukum yang melarang imigrasi pekerja yang tidak
72
Ibid
60
memiliki kemampuan dan imigran yang akan menjadi beban bagi negara Prancis 73. Dibawah Undang-undang Prancis dibuatkan suatu perbedaan antara „visa‟ dan „stay document’. Negara-negara selain OECD membutuhkan ijin untuk memasuki Prancis. Pada prinsipnya ada tiga cara untuk mendapatkan (hukum) akses ke suatu negara: suaka, reuni keluarga dan migrasi tenaga kerja. Dalam skala dan signifikansi, pertemuan keluarga dan migrasi tenaga kerja adalah yang paling banyak. Pada tanggal 7 Februari 2006, Menteri Dalam Negeri Perancis Nicolas Sarkozy mengusulkan undang-undang imigrasi baru yang akan memperketat kemungkinan masuknya imigrasi tenaga kerja tidak terampil dalam mendukung imigrasi terampil.Produktivitas pekerja Perancis adalah salah satu yang tertinggi di dunia. Pemerintah Prancis hanya akan memberikan hak tinggal kepada migran yang tidak mengurangi produktivitas rata-rata di Perancis74 Menurut sensus terakhir pada tahun 1999 ada 4,3 juta imigran di Perancis dan 7,4 persen dari seluruh generasi.
Lebih dari sepertiga imigran telah memperoleh
kewarganegaraan Perancis. Laporan pemerintah menyatakan tenaga kerja yang berkualitas memiliki produktivitas yang lebih tinggi dari rata-rata. Mengandalkan pada "teori pertumbuhan endogen" yang disebut (atau "New Growth Theory") yang
73
Visas & Immigration Law in France. 2010. Diakses melalui
http://www.frenchlaw.com/Immigration_Visas.htm pada tanggal 1 Mei 2011 74
Government moves to further tighten immigration laws . Diakses melalui
http://www.france24.com/en/20100401-government-moves-further-tighten-immigration-laws pada 27 Agustus 2012
61
merupakan teori ekonomi atas penjelasan pertumbuhan ekonomi dimana perekonomian suatu negara akan tumbuh lebih cepat jika terdapat akumulasi modal manusia. 75 Dengan demikian, imigrasi pekerja berkualitas (tinggi) akan memberikan kontribusi kekayaan dan pertumbuhan di negara tujuan (Perancis) dan mengakibatkan peningkatan PDB per kapita, laporan itu mengatakan, Dalam 2-3 tahun ke depan, laporan melihat kekurangan dan kebutuhan untuk staf di hotel, perawat, teknis pribadi, koki, tukang daging, roti, teknisi perumahan. Lebih dari itu, laporan tersebut merekomendasikan untuk membuka lahan untuk para guru, manajer perusahaan, TIpekerja dan peneliti. Dalam pandangan efek positif dari imigrasi selektif, Presiden Perancis Sarkozy mengusulkan untuk membentuk sistem poin untuk peringkat imigran potensial berdasarkan negara asal dan kualifikasi mereka. Namun, undang-undang yang diusulkan berisi pembatasan bidang lain, juga. Menurut draft, pemerintah harus diaktifkan untuk mengusir pendatang yang tidak mencari pekerjaan atau yang tidak melakukan upaya untuk mengintegrasikan diri ke dalam masyarakat Prancis. Berdasarkan „Alien Act”, dalam kasus perkawinan dengan imigran Perancis ilegal nasional berhak memperoleh izin tinggal setelah 18 bulan. Menurut proposal Sarkozy, periode ini akan diperpanjang sampai tiga tahun.76
75 76
Ibid Ibid
62
Selain itu, akses anggota keluarga imigran terampil dari luar Uni Eropa akan dibatasi dengan mendirikan prasyarat sarana keuangan yang cukup untuk mempertahankan anggota keluarga di Perancis. Dalam rangka untuk memudahkan akses migran yang sangat terampil, tagihan mengusulkan karya tiga tahun diberikan untuk para profesional terdidik seperti ilmuwan, eksekutif dan akademisi. Mahasiswa asing yang memperoleh gelar master di Perancis akan diberikan izin kerja jika mereka menemukan pekerjaan dalam waktu enam bulan setelah menyelesaikan gelar mereka. Sejak tahun 2007, terjadi perubahan yang cukup signifikan dalam kebijakan imigrasi Perancis. Sejak Perancis dipimpin oleh Presiden Nicholas Sarkozy, Perancis tampak semakin “garang” dengan para imigran. Kebijakan imigrasi Perancis pun menjadi sangat ketat, dimana terdapat beberapa poin yang mengindikasikan bahwa jumlah imigran di Perancis baik untuk imigran lama maupun untuk imigran yang baru akan masuk ke Perancis haruslah dikurangi. Pemerintah Perancis, misalnya, menerapkan kebijakan pemulangan para illegal imigran dengan target yang tinggi setiap tahunnya. Selain pemulangan para imigran gelap, pemerintah juga menetapkan kebijakan untuk langsung memulangkan para imigran yang terbukti melakukan tindak kriminal apapun. Pemulangan imigran berlangsung dengan kesadaran dari imigran itu sendiri maupun atas paksaan negara. Pemerintah dalam hal ini melakukan tindakan persuasif bagi mereka yang memutuskan untuk pulang ke tanah air mereka dengan
63
kesadaran
sendiri,
seperti
misalnya
dengan
menawarkan
sejumlah
uang
untuk membantu mereka.77 Lebih lanjut lagi, para imigran yang dipulangkan tersebut ternyata juga ditarik pajak pendapatan walaupun mereka bukanlah imigran yang memiliki izin tinggal. 78 Kebijakan pemulangan para imigran ini dilakukan pemerintah Perancis dengan serius. Pada tahun 2008, terdapat 26.000 imigran ilegal
yang dipulangkan dari
Perancis.79Pemerintah Perancis juga mengakui bahwa mereka telah mengadakan kerja sama dengan negara-negara Afrika yang merupakan asal imigran terbesar di Prancis dalam rangka menanggulangi masalah imigran gelap.80 Kebijakan Perancis untuk memulangkan para imigran tersebut diterapkan karena Perancis khawatir peningkatan jumlah imigran tidak diikuti dengan integrasi yang baik di Perancis. Selain aturan pemulangan imigran (return directive), kebijakan imigrasi Perancis yang semakin restriktif
juga
ditunjukkan
dengan
semakin
selektifnya
pemberian
status
kewarganegaraan bagi para imigran. Bahkan, Nicholas Sarkozy pernah menyatakan bahwa ia hanya menginginkan imigran skilled workers untuk tinggal di wilayahnya. 81
77
French Immigration Minister Wants To Pay Immigrants To Leave. http://www.workpermit.com/news/ 2007-06-01/france/immigration_minister_pay_immigrants_leave.htm, diakses pada 5 Oktober 2012 78 Internet French Property. France's Tough New Immigration Policies. http://www.french property.com/ newsletter/2008/5/1/france-immigration/, diakses pada 5 Oktober 2012 79 Reuters. Immigration Minister Exceeds Expulsion Target. http://www.france24.com/en/20090114immigration-minister-exceeds-immigrant-expulsion-target-, diakses pada 5 Oktober 2012 80 Ibid 81 Henry Samuel, Sarkozy unveils new laws to expel foreign workershttp://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/europe/france/1509901/Sarkozy-unveils-new-laws-toexpel-foreign-workers.html, diakses pada 5 Oktober 2012
64
Selain itu,kebijakan imigrasi Perancis yang semakin restriktif antara lain ditunjukkan melalui adanya tes bahasa Perancis dan pengetahuan mengenai nilai-nilai Perancis dalam rangka mendapatkan izin tinggal bagi para imigran. Apabila si imigran tidak dapat lulus dari tes tersebut, maka mereka harus kembali ke negara asal dan mengambil pelajaran mengenai Perancis di Negara asal masing-masing. Pada umumnya, tes ini dilakukan untuk para imigran yang ingin bergabung dengan keluarganya yang telah berada di Perancis (family reunification). Bahkan, untuk membuktikan ikatan keluarga, pemerintah Perancis mewajibkan perlu diadakannya tes genetik. Kebijakan imigrasi Perancis menunjukkan bahwa Perancis mencoba untuk melakukan homogenisasi masyarakatnya dengan menggunakan kekuasaannya sebagai pemerintah.82 B. Pengaruh Kebijakan Imigrasi Perancis terhadap Imigran Muslim Perancis adalah Negara yang menganut sekularisme, yang dasar hukumnya berasal dari dua dokumen utama : 1) Konstitusi 4 Oktober 1958 yang menetapkan bahwa Perancis seharusnya menjadi Negara sekuler, demokrasi dan republic. Dari konstitusi ini Perancis diharapkan dapat menerapkan persamaan bagi semua warga negara tanpa membedakan antara ras dan agama. 2) Separation of Church and State Act yang menyatakan pemisahan antara gereja dan tindakan Negara. Dokumen tahun 1905 ini menyatakan bahwa tak ada pengakuan dan jaminan langsung terhadap setiap agama di Perancis. 82
Francis Fukuyama, Identity and Migratio.http://www.prospectmagazine.co.uk/2007/02/ identityandmigration/, diakses pada 5 Oktober 2012
65
Kebijakan pemerintah Perancis terhadap imigran muslim sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari baik itu dalam segi hukum, sosial, ekonomi dan politik. B.1. Segi Hukum Dalam konteks hukum misalnya, hukum di Perancis tidak mengakomodasi kepentingan umat islam. Di Perancis perkawinan bagi pemeluk umat Islam tidak mendapatkan perlindungan hukum, terutama perkawinan poligami. Civil Code sebagai aturan hukum Perancis tak pernah mencantumkan aturan poligami apalagi mengakuinya. Dalam Civil Code pemerintah tidak mengakui perkawinan kedua atau ketiga dan seterusnya bagi warga Perancis. Konsekuensinya, meski dalam Islam poligami disahkan, tetapi Negara Perancis tetap tak pernah akan mengizinkan apalagi mengakui poligami. Bahkan, dalam konteks ini kebijakan Negara pada tahun 1992 menyatakan penolakan kepada jaminan social bagi isteri kedua dari warga muslim Perancis. Dalam peraturan ini dinyatakan bahwa jika istri pertama dari perkawinan poligami telah mendapatakan asuransi kesehatan dan fasilitas lainnya dari Negara, maka istri pertama tidak tinggal di Perancis sedangkan istri kedua yang justru tinggal di Perancis. Aturan tahun 1992 ini disusul dengan aturan baru tahun 1993 yang isinya: muslim yang melakukan poligami tidak boleh lagi membawa istri dan anak dari istri keduanya ke Perancis. Jadi, secara fisik dan hukum, yang boleh tinggal dan mendapatkan perlindungan hukum dari Negara hanyalah istri pertama dan anak dari istri pertama. Selain soal poligami, pada September 2004 pemerintah mengeluarkan peraturan yang kian merepotkan kaum Muslimah. Undang-undang yang dirancang di Majelis 66
Rendah Perancis sejak Februari 2004 ini berisi pelarangan memakai simbol-simbol agama yang “mecolok” di sekolah-sekolah Negara, mencakup penggunaan kerudung (hijab) bagi Muslimah, Kippa untuk kaum Yahudi, dan tanda salib besar untuk kaum Nasrani. Sebuah model Muslim yang “ideal” bagi Perancis adalah mereka yang berbicara bahasa Perancis, tunduk pada aturan Negara, menghormati Konstitusi tahun 1905 yang menegaskan Sekularisme, Muslim yang datang ke Masjid yang dikelola para imam yang memperoleh pelatihan di Perancis, dan menghindari persoalan politik dalam setiap dakwahnya. Strategi inilah yang mendorong pemerintah Perancis akhirnya mengizinkan komunitas Islam mendirikan Dewan Peribadatan Islam Perancis, sebuah institusi yang sudah dimiliki kaum Protestan dan maupun Yahudi Perancis lebih dari 100 tahun lalu. Dengan adanya Dewan ini Pemerintah bisa langsung berdialog dengan perwakilan kelompok Muslim, sekaligus mengontrol perkembangan yang terjadi. Terbukti Perancis bukan saja sebagai Negara pertama yang menerapkan larangan menggunakan jilbab di lingkungan sekolah pemerintah, tetapi tempat yang tidak ada sangkut pautnya dengan lembaga pemerintah juga terkena dampaknya. Pengadilan bahkan telah menolak gugatan pelarangan menggelar pertunjukkan busana muslim. Dan orang yang sangat berperan penting pada waktu itu adalah Jean-Pierre Brard, seorang Gubernur Montreuil yang bersikeras melarang pertunjukan busana muslim yang digagas Sarl Jasmeen Islamic Fashion House. Brad memandang pertunjukkan ini akan menggiring kepada aliran tertentu, serta mengancam kesatuan bangsa. Sami Dabah, pemimpin Kelompok Bersama Anti Islamophobia (CCIF) menilai atuaran itu 67
menandai sejarah kelam bidang hukum yang terlibat anti komunitas islam. Aksi pemerintah Perancis tersebut sebagai upaya rasisme dan islamophobia yang mengajak bersama-sama memusuhi Islam tanpa bukti yang jelas. B.2. Segi Sosial Dalam aspek sosial kebencian dan kekerasan anti islam bahkan menguat seiring dengan diluncurkannya UU anti Jilbab, terlepas apakah ada korelasi UU tersebut dengan perilaku kekerasan anti muslim. Collectif Contre l'Islamophobie en France (CCIF) misalnya, telah merinci aksi kekerasan terhadap muslim sejak tahun 2009 meningkat drastis hingga mencapai 251 persen, dibandingkan dengan data tahun sebelumnya (2008 dan sebelumnya). Kekerasan ini terutama didalangi kelompok sayap kanan Ultra. Sejak tahun 2001 Ultra dan beberapa kelompok lainnya memang senantiasa memicu meningkatnya permusuhan terhadap islam. Berbagai realitas menguatnya kekerasan anti Islam itu, baik dari masyarakat maupun pemerintah mendorong beberapa lembaga mendirikan organisasi antiislamophobia. Di tengah kuatnya “kecurigaan” terhadap Muslim, ternyata masih ada kalangan moderat yang biasa disebut kelompok pro asimilasi. Menurut mereka adalah tidak mungkin mengusir orang yang sejak lahir sudah tinggal di Perancis, mengingat generasi baru Muslim Perancis memang lahir di Eropa. Cara yang lebih bijaksana adalah mengupayakan asimilasi, bagaimanapun sulitnya. Apalagi realitasnya para imigran sendiri telah kehilangan banyak hal, disamping generasi barunya sudah tidak lagi paham bahasa ibunya, bahkan telah melakukan perkawinan dengan suku atau bangsa lain. Jadi, kalaupun ada perbedaan, lama-lama akan terus berkurang. Menurut 68
mereka, kesulitan ekonomi tidak sepantasnya dijadikan titik tolak pengambilan kepututsan yang keliru. Visi seperti ini umumnya bersarang dipemikiran kaum intelektual. Mereka mengusulkan realitas perbedaan di tengah Perancis. Model baru budaya tradisional Perancis di bangun tanpa mematikan hak hidup budaya lain, termasuk Islam. Karena, dalam setiap kehidupan memang ada hak untuk hidup berbeda. Negara-negara Eropa, termasuk Perancis, bahkan mulai mencari cara untuk memulangkan kaum imigran dan membuat aneka perundang-ungdangan yang memperketat masuknya imigran. Namun, bagi Perancis solusi pemulangan kaum imigran tidak gampang, sebab di negeri itu terdapat warga Al Jazair yang berpihak kepada Perancis selama Perang Kemerdekaan. Mereka yang disebut kaum Harkis ini tentu saja tidak dapat kembali ke Al Jazair, karena disana mereka dianggap pengkhianat, sementara di Perancis pun mereka diterima dengan setengah hati. Kekhawatiran di kalangan non Muslim bisa dimaklumi, melihat perkembangan umat Islam di Perancis terhitung sangat pesat. Selain dapat dilihat dari jumlah tempat ibadah, kini bermunculan pula fasilitas-fasilitas umum yang mengatasnamakan Islam. Ada klub olahraga muslim, sekolah khusus Muslim, dan juga real estate Muslim. Pemotongan hewan Muslim hampir pasti ada di setiap wilayah yang memiliki mayoritas muslim lebih banyak. Lalu semakin banyak juga muslimah yang mengenakan Jilbab. Bahkan, kuburan pun kini telah disediakan area tersendiri yang diperuntukkan bagi jenazah Muslim. Ummat Islam juga sedang memperjuangkan hari
69
rayanya untuk dijadikan sebagai hari libur nasional, sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani. Di Perancis telah dibangun restoran cepat saji yang menyediakan makanan halal bagi msulim. Restoran ala Amerika ini secara vulgar dinamakan Beurger King Muslim (BKM). Beur merupakan logat khas warga Afrika Utara di Perancis. Restoran ini berada di sebelah utara kota Perancis, tempat mayoritas komunitas muslim berada. BKM menyediakan makanan untuk muslim dengan berbagai menu seperti Bakon halal dan Double Koull Cheese. Berikutnya muncul Muslim Cola, Zamzam Cola, dan terakhir muncul minuman Muslim Up. Sebenarnya sebagai kebutuhan yang melekat, hal tersebut dapat dikategorikan hal yang biasa saja. Hanya saja, karena terjadi dilingkungan non Islam, lantas menjadi perhatian, hingga ada kekhawatiran berlebihan tentang akan terjadinya re-islamisasi di Perancis khususnya dan Eropa umumnya. Realitas itu ditambah dengan makin maraknya isu terorisme yang dikonotasikan dengan islam. Padahal, dibanding Negara Eropa Barat yang lain, Perancis justru memiliki keunikan tersendiri. Disinilah pelestarian “nilai-nilai” Eropa lebih kelihatan terjaga. Rakyat Perancis dikenal tidak gampang meniru gaya hidup. Masih ada kebanggaan sebagai orang Perancis, yang cara pandang dan sikap hidupnya dijadikan panutan di Eropa. Seperti masih ada kesepakatan untuk menjaga warisan budaya yang diilhami nilai Katolik Roma, sekalipun secara resmi mereka tak memperaktekkan ajarannya. Persoalan muncul karena ternyata kemudian yang paling “sulit” menyeragamkan diri dalam sikap mainstream Perancis adalah kaum Muslim. Artinya, terjadi banyak 70
perbedaan dengan mereka, karena nilai yang dianut komunitas muslim dengan segala nilainya banyak bertolak belakang dari kultur local. Persinggungan antara “nilai-nilai islam” versus “nilai-nilai Perancis” yang didasari paham Laiciete ( sekularisme ) terus mengalami perdebatan, bukan saja oleh perbedaan tradisi, tetapi belakangan ditambah pula oleh perbedaan tingkat social ekonomi. Masalah ekonomi muncul terutama sejak berakhirnya boom ekonomi di Eropa, awal tahun 1970an, yang memaksa kawasan ini menghadapi masalah besar yaitu pengangguran, yang untuk orang Perancis asli diperkirakan mencapai 3 Juta. B.3. Segi Ekonomi Dalam aspek ekonomi imigran muslim sering sekali dianggap sebagai penyebab tingginya angka pengangguran di Perancis. Realitas bahwa terjadi kesenjangan cultural antara komunitas muslim terhadap nilai-nilai Perancis, ditambah makin kuatnya semangat anti imigran di lingkungan sebagian komunitas dan elit Perancis, semua itu akhirnya berpengaruh besar terhadap laju mobilitas sosial ekonomi di kalangan Muslim. Meski banyak warga Muslim yang berpendidikan tinggi dan bekerja di sector professional, namun mayoritas masih berkiprah pada pekerjaan bergaji rendah, seperti buruh bangunan, petugas kebersihan, penjaga toko buahan, dan lain-lain. Realitas kemiskinan ini masih ditimpa lagi oleh beban beberapa kebijakan pemerintah yang kurang akomodatif terhadap kehidupan kaum Muslim. Memang Perancis adalah Negara sekuler yang sama sekali dalam membuat kebijakannya tidak dilandaskan pada pertimbangan keagamaan. Namun, sekularisme tidak sepenuhnya bisa dijadikan alasan, sebab sekularisme ternyata oleh Negara tetangga Perancis bisa 71
ditampilkan
secara
lebih
akomodatif.
Dalam
laporannya,
The
Economist
membandingkan model integrasi masyarakat Muslim di Perancis dengan Inggris. Di Inggris, etnis minoritas bukan saja diberi kebebasan untuk memperaktekkan keyakinannya, bahasa, dan kebudayaannya bahkan Negara pun memberikan dukungan penuh serta subsidi untuk mewujudkan hal tersebut. Selain itu, dengan realitas tingginya tingkat pengangguran yang juga dialami sebagian warga Perancis asli, elit-elit Perancis akhirnya memanfaatkannya sebagai komoditi politik ketika berkampanya. Nicholas Sarkozy secara frontal menyeru dikembalikannya tiga juta pendatang ke negeri asalnya. Itu dikatakannya sebagai cara paling realistis untuk mengurangi pengangguran. “Bagaimana pun kita mesti mengutamakan warga Perancis dalam pekerjaan, kesejahteraan, maupun perumahan” 83 katanya. Apa yang dilakukan Sarkozy hampir sama dengan apa yang dilakukan partai One Nation di Australia pimpinan Pauline Henson. Ini merefleksikan bahwa dikalangan elit Perancis pun sebagian masih melihat warga keturunan (migrant) tetap “tidak diakui sebagai orang Perancis”. Dan hal tersebut sangat bertolak belakang dengan isi serta tujuan yang diinginkan oleh Piagam Uni Eropa. Apapun alasan dibalik kebijakan itu, yang pasti Nasib Komunitas Muslim di Perancis memang sangat ditentukan oleh kebijakan politik, dimana suara Muslim sama sekali tidak terwakili. Keterlibatan kaum Muslim dalam konstelasi politik memang sangat terbatas, sementara perhatian pemerintah dirasa kecil, isu pengusiran kaum imigran yang dikampanyekan Sarkozy, memperoleh sambutan di sebagian public 83
Ibid.
72
Perancis. Mereka menyalahkan kaum migran sebagai faktor penyebab pengangguran yang tinggi dan kriminalitas yang meningkat di Perancis. B.4. Segi Politik Di satu sisi kelompok Muslim menyadari bahwa mereka perlu memiliki akses politik untuk berhubungan dengan pemerintah. Namun, untuk menembus parlemen saja sangat sulit. Meski tak ada data statistic mengenai agama, dari 557 anggota parlemen ( Majelis Rendah yang anggotanya dipilih untuk masa jabatan lima tahun ) tidak seorang pun beragama islam. Memang, ada peraturan melarang seseorang ditanya agamanya, namun diyakini tak ada anggota parlemen yang beragama Islam, sebagaimana dikemukakan Ketua Dewan Demokrat Muslim Perancis, Abdurrahman Dahmane, “kami tak memiliki anggota parlemen yang muslim. Namun kami mulai berjuang kearah sana, berjuang melalui saluran politik agar suara kami didengar”.84 Upaya itu telah sedikit memberikan hasil. Dahmane mengakui bahwa saat ini sudah ada dua Muslimah berhasil menjadi anggota senat ( Semacam Majelis Tinggi ) dan satu orang yang menjadi anggota parlemen Eropa. Ini untuk pertama kali dalam sejarah Eropa, ada warga Muslim di parlemennya. Selain itu, diseluruh Perancis saat ini ada sekitar 200 warga Muslim yang sudah terpilih di tingkat kota praja, dan ini sebuah kemajuan besar. Ketertinggalan peran Muslim dibidang politik tersebut, menurut Dahmanne, selain karena “penolakan” yang ditunjukkan oleh masyarakat Perancis terhadap kandidat-kandidat Muslim, juga karena kelalaian kalangan Muslim itu sendiri. “Pada 84
Myrna Ratna. “Jalan Berliku kearah Integrasi Perancis”, Kompas. 14 Februari 2005.
73
awalnya kita tidak bersikap seperti seorang warga Negara Perancis yang aktif berpartisipasi dalam kegiatan politik. Kalangan Muslim hanya berada di pinggiran dan menonton”.85 Mungkin karena waktu itu kaum imigran tidak berencana untuk menetap selamanya di Perancis, sehingga kehadiran mereka tidak berakar. Barulah pada tahun 1980an muncul kesadaran untuk memperoleh kewarganegaraan. Bahkan pada tahun 1995, pemerintah Perancis menobatkan Soheib Bencheikh, sebagai Mufti Agung Marseille Perancis tak lama setelah menyelesaikan Studi di Universitas Sorbone. Adapun para imam dan mufti, keberadaan mereka bukanlah layaknya seorang pendeta, tapi lebih di posisi pengasuh dan pendidik yang mencoba mengisi pelita bagi orang-orang mukmin, tanpa memaksa ataupun menghakimi mereka. Dalam konteks inilah, Perancis mencoba memperhatikan dan mengatur umat islam melalui Mufti Agung, karena islam telah merupakan agama kedua di negeri ini. Ekstrem kanan yang diwakili Front National mencoba menggambarkan Islam sebagai agama yang mengancam kekristenan Perancis, sedangkan ekstrem kiri mengklaim bahwa islam kini merupakan agama yang dapat membahayakan sekularisme Perancis. Dengan membuat langkah politik seperti pembuatan Undangundang anti simbol keagamaan tersebut, chiraq berharap dapat merebut kembali suara di basis ekstrem kanan dan kiri. Salah satu petinggi di Perancis Jean Claude Barreau, penasehat Imigrasi kementerian dalam negeri Perancis sampai-sampai menyatakan, “Pendatang yang menetap di Perancis mulai sekarang harus memahami bahwa leluhur mereka itu de 85
Ibid
74
Gaul, dan bahwa mereka kini memiliki tanah air baru. Tapi para ekstremis muslim itu datang ke Perancis dengan lagak sebagai penjajah, dengan Tuhan dan bom di tasnya. Sekarang ini ada ancaman serius bagi Perancis dari umat Islam sebagai bagian dari gelombang besar fundamentalisme islam sedunia”.86 Untuk melawannya, pemerintah Perancis berusaha dengan berbagai cara, termasuk salah satunya pelarangan munculnya identitas keagamaan yang arah utamnya tertuju pada Jilbab. Sebenarnya, menyalahkan kaum muslim tidak benar, sebab mayoritas mereka berasal dari Afrika Utara (utamanya Al Jazair) dan selebihnya Turki. Banyaknya orang Al Jazair di Perancis sangatlah wajar, mengingat Perancis memang menjajah negeri ini. Betapa banyak kekayaan yang telah dikeruk Paris hanya dengan modal kecil. Sementara semakin kaya mereka juga semakin membutuhkan tenaga kerja, yang akhirnya diambil dari tanah-tanah jajahan. Namun, munculnya komoditi politik antiimigran ini tidak terlalu mengagetkan, sebab dalam tataran social Perancis masih ada kebencian terhadap kaum kulit berwarna, terutama kulit hitam. Hasil pooling lain juga menyimpulkan, dua pertiga rakyat Perancis setuju bahwa di negaranya sudah terlalu Muslim maupun Arab. Kondisi ini selain merupakan ancaman dalam lapangan pekerjaan sekaligus ancaman bagi identitas bangsa Perancis. Bahkan, dalam beberapa wacana telah sering dimunculkan secara terbuka akan adanya pengambilalihan dari umat Islam di masa yang akan datang, kecuali segera dilakukan tindakan pencegahan. Memang, kebencian terhadap Muslim itu tidak seluruhnya benar. Karena pengisi polling diantaranya masih belum bisa membedakan antara Islam dan Arab. Padahal 86
Diakses melalui http://www.geocities.com/Athens/Academy/8419/naba.htm pada 17 September 2012
75
citra Arab dimata penduduk Perancis memang sangat jelek, yang dikonotasikan dengan suka perang dan sering melakukan tindakan terorisme seperti yang disiarkan oleh berbagai pemberitaan media. Bahkan, sekalipun mayoritas muslim Perancis adalah dari kaum Ai Jazair (keturunan Maghribi) tetap ada keyakinan bahwa kaum Maghribi pun berasal dari Arab. Latar belakang ini mewarnai proses akulturasi Muslim Perancis bahkan sampai kini belum menemukan formula yang tepat. Masalah ini kemudian muncul dalam isu Jilbab. Dalam tataran social misalnya, ketika tiga anak perempuan muslim Perancis dikeluarkan dari sekolah. Kasus ini sempat mengusik perhatian Laila Sabbar, perempuan asal Al Jazair untuk mengemukakan pertanyaan, “Mengapa orang-orang yang berkuasa tidak bisa menerima beberapa anak perempuan menggunakan Jilbab karena sebuah kepercayaan bahwa hal tersebut diwajibkan dalam ajaran agama mereka? Bukankan kerudung tersebut sama saja dengan syal atau selendang yang dipakai oleh anak-anak perempuan lainnya? Isu jilbab ini belakangan bersinggungan dengan pemerintah yang mengeluarkan undang-undang yang disahkan pada September 2004 yang melarang pemakaina atribut-atribut keagamaan yang mencolok di sekolah negeri yang arah utamanya memang pelaranrgan penggunaan jilbab. Sebagai Negara yang menganut paham sekularisme, yang dasar hukumnya berasal dari; konstitusi 1958 dan separation of church and state act tahun 1905, Perancis memang menampilkan kekhasannya. Konsekuensi sebagai Negara sekuler, Negara kemudian tidak mendukung secara resmi imigran dan kaum minoritas agama. Kebijakan tersebut akhirnya tidak memberi ruang bagi kaum muslim disana, sehingga 76
untuk memperkokoh eksistensi mereka, muslim akhirnya mencari kebijakan public untuk pengakuan keberadaan mereka. Usaha tersebut dimulai dengan membangun organisasi islam, yang hingga kini telah ada sekitar 1560 organisasi islam, seperti The Paris Mosque (kelompok Masjid Paris) atau; The Union of Islamic Organization in Paris (Persatuan Organisasi islam Paris).87 Dari berbagai organisasi itulah kaum muslim lantas mengajukan bermacam tuntutan kepada Negara berkaitan dengan keberadaan mereka dalam makna cultural. Hanya saja, tuntutan tersebut belum menyentuh kepada hak-hak perempuan dalam keluarga. Memang ada sebagian muslimah Perancis membentuk Muslim Women Living Under A Polygamous Marriage (MWLUPM) guna melakukan advokasi kepada Negara untuk tetap memberikan perlindungan hukum bagi wanita yang kenyataannya hidup dalam status poligami. Apa yang diperjuangkan wanita muslim Perancis bukanlah menetang poligami, akan tetapi menuntut agar Negara memperlakukan status keamanan social yang sama antara istri pertama dan istri berikutnya. Terkait dengan UU tentang pelarangan menggunakan jilbab organisasi-organisasi Muslim di Perancis terpecah belah. Abdi Mohammed, Sekjen Ni Putes Ni Soummises, organisasi masyarakat yang memberikan advokasi kepada perempuan misalnya justru mendukung UU tersebut. Ketua Dewan Peribadatan Islam Perancis (CFCM) yang juga pemimpin masjid Paris, Dalil Boibakuer, tokoh moderat yang dianggap pro pemerintah juga cenderung akomodatif pada aturan tersebut. Bahkan, dia berupaya agar warga Muslim tidak menentang keputusan pemerintah dengan sikap frontal, seperti 87
Ibid
77
berdemonstrasi besar-besaran. Bagi kalangan islam yang mendukung pemerintah berpendapat bahwa : Perancis memiliki apa yang dinamakan ruang public dan ruang pribadi, dan sekolah adalah ruang public. Mereka berkeyakinan bahwa pada akhirnya dititik tertentu akan muncul “Islam Perancis” yaitu warga Muslim yang tetap mempraktikkan keagamannya tanpa harus secara terang-terangan menunjukkan symbol keagamaannya. Ada dua organisasi besar lain yang bernaung dibawah CFCM yaitu Organisasiorganisasi Islam Perancis (UOIF) dan Federasi Nasional Muslim Perancis (FNMF) yang dianggap lebih mengakar dikalangan muslim, justru mendukung aksi turun ke jalan. Memang, ketika UU “anti Jilbab” mulai diberlakukan tak terjadi hal-hal mengkhawatirkan seperti pemogokan massal pelajar yang berjilbab. Sebagian besar murid yang berjilbab, membuka kerudung ketika memasuki gerbang sekolah dan memakainya kembali ketika keluar dari sekolah. Sikap “akomodatif” ini justru dinasehatkan Sekjen UOIF, Fouad Aloui, bukan karena akomodatif pada kebijakan Negara melainkan sekedar mencegah masalah yang lebih besar. Kemudian, realitas ini disalahpahami Menteri Pendidikan Perancis Francois Fillon yang merasa lega karena di seluruh Perancis hanya 101 murid perempuan yang menolak membuka jilbabnya. Melihat hal ini ada sebuah keyakinan bahwa nantinya akan terjadi titik temu antara dua arus nilai yang bersinggungan tersebut. Titik temu tersebut adalah tunduknya warga Muslim terhadap peraturan Negara.88
88
Diakses melalui http://www.migration-info.de/projekte_integration.php pada tanggal 31 Oktober 2012
78
Problematika yang dihadapi Muslim Perancis ternyata sangat kompleks, karena isu yang dihadapi seringkali langsung terkait erat dengan konstelasi International. Artinya, isu-isu yang berkembang dalam politik global (seperti isu terorisme) sangat mempengaruhi spectrum nasib kehidupan muslim Perancis, tapi pada sisi lain masalah yang dihadapi oleh Muslim di Perancis justru mendapatkan perhatian dan solidaritas dari dunia Internasional. Ketika Perancis sedang merancang UU pelarangan memakai symbol-simbol agama yang mencolok di sekolah-sekolah reaksi negative internasional dari kalangan muslim maupun non muslim segera bermunculan. Selain itu organisasiorganisasi HAM internasional juga ikut angkat bicara maaslh kebebasan beragama yang diterapkan kepada terhadap minoritas Muslim di Perancis tersebut. Pemerintah Perancis, dengan menerbitkan undang-undang imigrasi yang sering berganti-ganti, tidak memberi kesempatan pada para imigran maupun keturunannya untuk benar-benar mengikuti proses integrasi di Perancis. Perubahan undang-undang mengenai kewarganegaraan anak-anak keturunan imigran dilakukan sangat sering, sehingga seringkali imigran dan keturunannya dirugikan karena ketidaktahuan mereka mengenai adanya undang-undang yang baru. Undang-undang terakhir mengenai kewarganegaraan menggunakan prinsip jus soli, yang memberikan kewarganegaraan kepada para keturunan imigran yang lahir di teritori Perancis saat mereka telah berumur 18 tahun dan telah bersekolah di sekolah Prancis sampai tingkat lycée (SMA), serta memanifestasikan keinginannya untuk menjadi warga negara Perancis kepada pihak yang berwenang.
79
Sebelumnya, Perancis pun pernah menerapkan prinsip jus sanguinis. Seringnya berganti-ganti prinsip tersebut membuat para imigran dan keturunannya lengah terhadap hak-haknya. Dan walaupun sekarang Perancis menerapkan prinsip jus soli, namun hal itu juga tidak otomatis berlaku, melainkan memiliki syarat yaitu memanifestasikan keinginan untuk menjadi warga negara Perancis. Tanpa manifestasi keinginan tersebut, anak-anak keturunan imigran tidak mendapatkan kewarganegaraan Perancis, walaupun telah lahir dan mengenyam pendidikan di sekolah Perancis. Jika kita kembali ke istilah “masalah imigran” yang telah dikemukakan sebelumnya, perlu diingat bahwa istilah tersebut tidak hanya dipakai untuk menunjuk pada imigran, tapi juga kepada keturunannya. Penyebutan lain yang lebih populer dalam dunia politik adalah anak-anak keturunan imigran (les enfants issus de l’immigration). Dapat terlihat dari penyebutan itu bahwa meskipun anak keturunan imigran tersebut lahir dan bersekolah di Perancis, identitas “orang asing” tidak otomatis lepas dari dirinya. Dan semakin jelas pula bahwa posisi mereka tidak sama dengan anak-anak asli Perancis. Padahal pendidikan yang diterima di sekolah adalah salah satu modal dari keberhasilan penanaman nilai-nilai kebangsaan dalam proses integrasi mereka. Terbukti di sini bahwa integrasi tersebut belum mencapai hasil yang diharapkan oleh pihak penerima imigran, walaupun imigran atau keturunannya tersebut telah melewati proses yang ditentukan untuk mencapainya.
80
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN A.
Kesimpulan Dari uraian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan mengenai Kebijakan Pemerintah Perancis terhadap Imigran Muslim di Masa Pemerintahan Nicholas Sarkozy yaitu sebagai berikut: 1. Kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Nicholas Sarkozy tertuang dalam The European Pact on Immigration and Asylum pada tahun 2008.
Intisari dari
European Immigration Pact adalah untuk mengatur lima prioritas utama yaitu: imigrasi legal dan integrasi, pengaturan imigrasi ilegal, pengaturan batas wilayah yang lebih efektif, sistem pemberian suaka, serta migrasi dan pembangunan. Dua poin pokok yang gencar dilakukan Pemerintah Perancis yaitu kebijakan pengembalian langsung (return directive) dan kebijakan skema Kartu Biru (blue card scheme). 2. Problematika yang dihadapi Muslim Perancis sangat kompleks, karena isu yang dihadapi seringkali langsung terkait erat dengan konstelasi International. Artinya, isu-isu yang berkembang dalam politik global sangat mempengaruhi spektrum nasib kehidupan muslim Perancis, tapi pada sisi lain masalah yang dihadapi oleh Muslim di Perancis justru mendapatkan perhatian dan solidaritas dari dunia Internasional mengenai persinggungan antara nilai-nilai islam dan nilai-nilai Perancis yang didasari pada paham Laiciete yang terus mengalami perdebatan,
81
bukan saja oleh perbedaan tradisi, tetapi belakangan ditambah pula oleh perbedaan tingkat sosial ekonomi yang berujung pada ranah politik.
B.
Saran – saran 1. Hendaknya Perancis di bawah pemerintahan Nicholas Sarkozy terus mengkawal perkembangan imigrasi terhadap kepentingan Muslim di Perancis. Sehingga Perancis tetap berada dalam keseimbangan kekuasaan dengan Negara-negara adikuasa lainnya di dunia. Dengan demikian, rencana jangka panjang Perancis dalam membangun sistem pertahan Eropa semakin menguat. Di sisi lain, Nicholas Sarkozy hendaknya mampu mengambil peran dan strategi baru untuk menyikapi kepentingan Perancis di Uni Eropa agar kepentingan semua Negara anggota dapat tetap terjaga. 2. Untuk tetap menjaga keseimbangan kekuasaan di Uni Eropa terkait imigrasi, maka Perancis hendaknya mampu mengkawal pembagian kerja dan tanggung jawab di struktur utama kelembagaan Uni Eropa, sekaligus memperjelas pembagian peran dalam setiap pelaksanaan misi operasi yang berhubungan dengan para imigran yang berada di luar keanggotaan Uni Eropa, dengan harapan agar kepentingan Perancis dan semua Negara anggota tetap berjalan sesuai dengan tujuan masingmasing. 3. Perlunya kajian mendalam tentang Imigrasi terkait dengan Kebijakan Pemerintah Perancis terhadap imigran muslim. Hal ini untuk lebih memperjelas dalam memahami keberadaan imigran muslim di Eropa khususnya Perancis terkait 82
dengan integrasi dan perluasan negara anggota Uni Eropa. Dengan demikian, mampu menambah wawasan baru dalam memahami
model intregrasi dan
perluasan keanggotaan Uni Eropa di masa yang akan datang.
83
DAFTAR PUSTAKA
Buku Bali, Sita (2001). Migration and Refugees: London. Palgrave/Macmillan.
Issues in World Politics (2nd Edition),
Banyu, Anak Agung & Yanyan Mochamad (2005). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung. Choplin, William D (1992). Pengantar Politik Internasional: Suatu Telaah Teoritis, Bandung: CV Sinar Baru. Hamid, Sulaiman (2002). Hak Asasi Manusia dalam Lembaga Suaka Hukum Iternasional. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Holsti, K.J (1967). International Politics, a Framework of Analysis. New Jersey. Prentice Hall. Jackson, Robert & Georg Sorensen (2007). Introduction to International Relations: Theories and Approaches. Oxford University Press. New York. Lentner , Howard. (1974). Foreign Policy Analysis: A Comparative and Conceptual Approach. Ohio: Bill and Howell Co. Lovel, Jhon P (1970). Foreign Policy in Perspective: Strategy, Adaptation, Decision Making, Holt, Rinehart and Winston, Inc., New York. Miranda, Airin (2007). Masalah Integrasi Di Prancis. Universitas Indonesia : Jakarta. Pdf Pabotinggi, Muchtar, dkk (2008). Potret Politik Kaum Muslim Di Perancis dan Kanada, Pustaka Belajar: Yogyakarta. Rosenau, James N. Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. (1976). World Politics: An Introduction. New York: The Free Press. Rudy, T May. (2002). Studi Strategis dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Bandung: PT. Refika Aditama. Salwasalsabila, Syarifah (2008). Islam, Eropa, & Logika. O2 : Yogyakarta.
84
Santoso, Muhammad Iman (2004). Perspektif Imigrasi, Dalam Pembangunan Ekonomi dan Ketahanan Nasional. Jakarta : UI Press V. G., Kayne, (2007). Vertical Restraints: Resale Price Maintenance Territorial and Customer Restraint. Practising Law Institute. Yusuf, Supri (1989). Hubungan Internasional & Politik Luar Negeri. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Jurnal Chapelle, Bertrand De La. Automne (2010). “Territoire, Puissance et Gouvernance a l‟ere Numerique”, dalam MONDES; Les Cahiers du Quai D’Orsay, No. 7. D‟Arvor, Olivier Poivre (Winter, 2010). “The Smart Use of Soft Power”, dalam MONDES; Les Cahiers du Quai D’Orsay, No. 2. Fuad, Ai Fatimah Nur (2009). The Role of Islamic Organization in britain in PromotingIdeas about Muslim Integration, Isolation or Rejection within the British Society: A Comparison between Hizbut Tahrir and Jama‟at Islami. Jurnal Kajian Wilayah Eropa, vol. V No. 1. Rusmawati, Roosi (2009). Undang Undang Laïcité (Sebuah Analisis terhadap Disahkannya Undang Undang Pelarangan Pemakaian Simbol-Simbol Keagamaan di Sekolahsekolah Negeri Perancis). Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol V No 1.
Dokumen European Commission. 2006. Diakses melalui http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/un/unpan023273.pdf pada tanggal 7 September 2012 Migration und Bevölkerung. 2010. Diakses melalui http://researcharchive.vuw.ac.nz/bitstream/handle/10063/1750/thesis.pdf?sequence=1 pada tanggal 12 Desember 2012
85
Schengen Agreement. 1995. Diakses melalui http://www.francesmission-un.org/tnc.pdf pada tanggal 12 Desember 2012 The
European Pact On Immigration and Asylum. 2008. Diakses melalui http://www.immigration.gouv.fr/document/eu.pdf pada tanggal 12 Desember 2012
Internet BBC News (2005). France’s disaffected Muslims Businessman. Diakses melalui http://news.bbc.co.uk/2/hi/europe/4405790.stm pada tanggal 17 Agustus 2012 pukul 17.25 WITA BBC
Q&A : EU Immigration policy. Diakses melalui http://news.bbc.co.uk/2/hi/7667169.stm pada tanggal 4 Agustus 2012 pukul 08.44 WITA
Collett, Elizabeth, The EU Immigration Pact From Hague to Stochkholm. Diakses darihttp://www.epc.eu/TEWN/pdf/304970248_EU%20Immigration%20Pact.pdf pada 30 Agustus 2012 pukul 20.10 WITA DW World.DE. Uni Eropa Ingin Seragamkan Undang-undang Imigrasi, diupdate 18 Juni 2008, diakses dari http://www.dw-world.de/dw/article/0,,3422015,00.html pada tanggal 30 Agustus 2012 pukul 20.00 WITA Euractiv. The European Pact on Immigration and Asylum. Diakses melalui http://www.euractiv.com/en/socialeurope/european-pact-immigration-asylum/article175489.htm pada 30 Agustus 2012 pukul 20.30 WITA Euro-Islam (2012). Islam in France. Diakses melalui http://www.euro-islam.info/countryprofiles/france/ pada tanggal 08 Agustus 2012 pukul 21.30 WITA European Council (2008). The European Pact and Asylum. Halaman 6 Diakses melalui www.immigration.gouv.fr pada hari jumat 26 Oktober 2012 pukul 20.30 WITA Focus Migration (2012). France. Diakses melalui http://focusmigration.hwwi.de/France.1231.0.html?&L=1 pada hari Minggu 28 Oktober 2012 pukul 17.30 WITA. Fukuyama, Francis. 2007. Identity and Migratio Diakses melalui http://www.prospectmagazine.co.uk/2007/02/ identityandmigration/, pada 5 Oktober 2012 pukul 13.00 WITA.
86
Henry, Samuel. Sarkozy unveils new laws to expel foreign workers. Diakses melalui http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/europe/france/1509901/Sarkozyunveils-new-laws-to-expel-foreign-workers.html, pada 5 Oktober 2012 pukul 13.00 WITA Info Migration. Diakses melalui http://www.migration-info.de/mub_artikel.php pada tanggal 31 Oktober 2012 pukul 17.30 WITA Internet French Property. France's Tough New Immigration Policies. Diakses melalui http://www.frenchproperty.com/ newsletter/2008/5/1/france-immigration/, pada 5 Oktober 2012 pukul 13.55 WITA Ismail, Bustaman (2012). Menelusuri Islam di Perancis. Diakses melalui http://hbis.wordpress.com/2012/03/19/menelusuri-islam-di-perancis/#more-6370 pada tanggal 08 September 2012 pukul 20.18 WITA Middle East Forum (2012). Islam in France diakses melalui http://www.meforum.org/337/islam-in-france-the-french-way-of-life-is-in pada hari kamis 25 Oktober 2012 pukul 15.30 WITA Migration Current Development. Diakses http://www.bpb.de/gesellschaft/migration/dossier-migration/134779/currentdevelopments pada tanggal 31 Oktober 2012 pukul 20.10 WITA Migration Information (2012). Diakses melalui http://www.migrationinformation.org/Refugees/ pada tanggal 31 Oktober 2012 pukul 17.50 WITA Migration Integration. Diakses melalui http://www.migrationinfo.de/projekte_integration.php pada tanggal 31 Oktober 2012 pukul 17.55 WITA Murtadin (2012). Perancis Negara Muslim terbesar di Eropa. Diakses melalui http://murtadinkafirun.forumotion.net/t11228-perancis-negara-umat-muslim-terbesardi-eropa pada hari selasa pada tangal 29 Mei 2012 pukul 17.45 WITA Muslim Today (2012). Perancis: Negeri Minoritas muslim terbesar di Eropa. Diakses melalui http://muslimtoday.net/kabar-dunia-islam/prancis-negeri-minoritas-muslimterbesar-di-eropa/ pada tanggal 15 September 2012 pukul 17.45 WITA Newsletter of Migration. Diakses melalui http://www.bpb.de/gesellschaft/migration/dossier-migration/56804/newsletter pada tanggal 31 Oktober 2012 pukul 20.20 WITA 87
Piagam Uni Eropa. 2000. Diakses melalui http://www.europarl.europa.eu/charter/pdf/text_en.pdf pada tanggal 25 November 2012 Refugies (2012). Diakses melalui http://www.forumrefugies.org/ pada hari minggu 28 Oktober 2012 pukul 22.30 WITA Reuters. Immigration Minister Exceeds Expulsion Target. Diakses melalui http://www.france24.com/en/20090114-immigration-minister-exceeds-immigrantexpulsion-target-, pada 5 Oktober 2012 pukul 13.00 WITA Suaramedia (2010). Parlemen Perancis resmikan pelarangan jilbab Diakses melalui http://www.suaramedia.com/berita-dunia/dunia-islam/25358-parlemen-perancisakhirnya-resmikan-larangan-jilbab.html pada hari kamis 25 Oktober 2012 pukul 21.00 WITA. Taheri, Amir. “Chirac and The Muslims”, National Review Online, 19 Desember 2003. Diakses melalui http://www.geocities.com/Athens/Academy/8419/naba.htm pada tanggal 7 September 2012 pukul 22.30 WITA United Nations Human Rights. 2010. What is Human Rights. Diakses melalui http://www.ohchr.org/en/issues/Pages/WhatareHumanRights.aspx pada tanggal 23 November 2012 Visas
& Immigration Law in France. 2010. Diakses melalui http://www.frenchlaw.com/Immigration_Visas.htm pada tanggal 1 Mei 2012 pukul 14.00 WITA
_______.http://eeas.europa.eu/delegations/indonesia/key_eu_policies/human_rights/index_i
d.htm pada tanggal 25 November 2012 _______. 2007. Immigration Minister Wants To Pay Immigrants To Leave. Diakses melalui http://www.workpermit.com/news/ 2007-06 01/france/immigration_minister_pay_immigrants_leave.htm, pada 5 Oktober 2012, pukul 13.00 WITA _______. 2010. Government moves to further tighten immigration laws . Diakses melalui http://www.france24.com/en/20100401-government-moves-further-tightenimmigration-laws pada 5 Oktober 2012 _______. 2012. Diskriminasi Muslim di eropa. Diakses melalui http://www.khabarIslam.com/uni-eropa-Muslim-eropa-alami-diskriminasi.html, pada 08 September 2012 pukul 7.30 WITA 88
_______. 2012. Diskriminasi Muslim di Perancis. Diakses melalui http://remajaislam.com/dunia-muda/dunia-islam/117-diskriminasi-muslim-diperancis.html pada hari jumat 26 Oktober 2012 pukul 20.15 WITA ______. 2012. La discrimination des immigrés en France. Diakses melalui www.afrik.com/article7473.html pada hari Sabtu 27 Oktober 2012 pukul 16.20 WITA
89