BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa, terdiri dari fase prasenium yaitu lanjut usia yang berusia antara 55-65 tahun, danfase senium yaitu lanjut usia yang berusia lebih dari 65 tahun (Nugroho, 2000). Menua adalah suatu proses menghilangkan secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat berlahan terhadap infeksi dan kerusakan yang diderita (Nugroho, 2000). Menurut oraganisasi kesehatan dunia (WHO), lanjut usia meliputi : usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun, Lanjut usia (elderly) antara 60 – 74 tahun, Lanjut usia tua (old) antara 75 – 90 tahun, Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun. Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa anak, masa dewasa dan masa tua (Nugroho, 1992). Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis maupun psikologis. Memasuki masa tua berarti mengalami kemuduran secara fisik maupun psikis. Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut memutih, penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat, kelainan berbagai fungsi organ vital, sensitivitas emosional meningkat dan kurang gairah.
6
7
Masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia berbeda dari orang dewasa, yang menurut Kane dan Ouslander sering disebut dengan istilah 14 I, yaitu immobility (kurang bergerak), instability (berdiri dan berjalan tidak stabil atau mudah jatuh), incontinence (beser buang air kecil dan atau buang air besar), intellectual impairment (gangguan intelektual/dementia), infection (infeksi), impairment of vision and hearing, taste, smell, communication, convalescence, skin integrity (gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan, dan kulit), impaction (sulit buang air besar), isolation (depresi), inanition (kurang gizi), impecunity (tidak punya uang), iatrogenesis (menderita penyakit akibat obat-obatan), insomnia (gangguan tidur), immune deficiency (daya tahan tubuh yang menurun), impotence (impotensi). Ketidakmampuan bersosialisasi pada lansia dalam lingkungan yang berbeda dari kehidupan sebelumnya merupakan suatu stressor yang cukup berarti bagi lansia.Lansia yang tinggal dalam suatu panti werdha sangat perlu mendapatkan intervensi keperawatan khususnya yang berkaitan dengan masalah hubungan social dengan
psikososial. Ketidakmampuan lansia dalam melalukan hubungan social
secara baik dengan orang lain
dapat mengakibatkan lansia mengalami stress
psikososial. (Stuart, dkk, 2007). Badan Pusat Statistik memprediksikan persentase penduduk lanjut usia akan mencapai 9,77% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2010 dan menjadi 11,34% pada tahun 2020.3 Sedangkan persentase penduduk lanjut usia di Jawa Tengah pada tahun 2010 adalah 7,5% dan diproyeksikan menjadi 11,3% pada tahun 2025.
8
Sejauh ini, prevalensi stress pada lansia di dunia berkisar 8-15 persen dan hasil meta analisis dari laporan negara-negara di dunia mendapatkan prevalensi ratarata stress pada lansia adalah 13,5 persen dengan perbandingan wanita-pria 14,1: 8,6. Adapun prevalensi stress pada lansia yang menjalani perawatan di RS dan panti perawatan sebesar 30-45 persen. Penanganan terhadap tingkat stres pada lanisa bisa dilakukan dengan berbagai cara, bisa dengan menganjurkan pada lansia untuk bersikap realistis, jangan terlalu idealis, tidak memendam masalah sendirian, berolahraga , atau melakukan kegiatan yang disukai. Dalam dunia kesehatan terapi komplementer juga efektif digunakan dalam mengatasi tingkat stres pada lansia seperti terapi herbal, terapi nutrisi, relaksasi progresif, meditasi, terapi tawa, akupuntur, akupresur, aromaterapi, terapibach flower remedy, dan refleksologi (Sustrani, 2005). Terapi tawa merupakan salah satu betuk terapi yang dapatdiberikan pada lasia untuk mengurangi stress mereka, selama lebih dari dua dekade terakhir telah dilakukan penelitian yang membuktikan bahwa tawa berdampak positif bagi berbagai sistem di tubuh kita. Tawa adalah semacam antivirus yang ampuh membasmi virus yang merupakan pembunuh nomor satu di dunia dewasa ini, apalagi kalau bukan stres. Lebih dari 70% penyakit, seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, kecemasan, depresi, batuk-batuk-batuk dan flu, gangguan percernaan, insomnia, berbagai alergi, asma, gangguan haid, sakit kepala, sakit perut, dan bahkan kanker, mempunyai hubungan dengan stres (Sustrani, 2005).
9
Terapi tertawa merupakan tertawa yang dimulai dengan tahap demi tahap. Sehingga efek yang dirasakan bagi yang tertawa benar-benar bermanfaat. Terapi tertawa untuk mengurangi stres sudah banyak dilakukan orang. Tertawa 5-10 menit bisa merangsang pengeluaran endorphin dan serotonin, yaitu sejenis morfin alami tubuh dan juga melatonin. Ketiga zat ini merupakan zat baik untuk otak sehingga kita bisa merasa lebih tenang. Terapi tertawa merupakan teknik yang mudah dilakukan, tetapi efeknya sangat luar biasa, bahkan dapat menyembuhkan pasien dengan gangguan mental akibat stres berat. Tertawa dalam dunia medis, merupakan obat mujarab gangguan stres atau gangguan penyakit jiwa lainnya. Tertawa dapat juga mengurangi peredaran dua hormon dalam tubuh, yaitu efinefrin dan kortisol, yang bisa mengalangi proses penyembuhan penyakit baik fisik maupun mental, Menurut penelitian terbaru yang diterbitkan dalam jurnal Geriatrics dan Gerontology International, para peneliti menemukan terapi tawa bisa mengurangi depresi pada pasien usia lanjut (Lee Berk, 2005). Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Panti Werda Hisosu Binjai pada tanggal 22 April 2013, dari adminstrasi panti diperoleh data jumlah lansia yang tinggal di panti werda tersebut sebanyak 27 orang. Dari hasil wawancara peneliti dengan 15 orang lansia, mereka mengatakan bosan, mereka juga merasa tidak berguna, tidak berdaya, kesepian karena jauh dari keluarga, susah tidur pada malam hari karena terlalu banyak pikiran, dan malas mengikuti aktivitas dengan lansia lainnya. 15 orang dari 27 lansia mengalami berbagai penyakit seperti diabetes mellitus, serangan jantung, hipertensi, stroke dan kelumpuhan. Hasil observasi juga
10
menunjukkan lansia lebih banyak berdiam diri di tempat tinggal masing-masing, tanpa melakukan aktivitas atau komunikasi dengan sesamanya. Pada saat melakukan survey lapangan peneliti melihat tidak adanya penanganan terhadap masalah untuk mengatasi tingkat stress yang dialami lansia tersebut. Sehingga peneliti merasa tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui Pengaruh Terapi Tertawa Terhadap Tingkat Stress Pada Lansia di Panti Werda Binjai Tahun 2013. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah pada penelitian ini adalah “apakah ada pengaruh terapi tertawa terhadap tingkat stres pada lansia ?” 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui pengaruh terapi tertawa terhadap tingkat tingkat stres pada lansia. 1.3.2. Tujuan Khusus a) Untuk mengetahui tingkat stres pada lansia sebelum dan sesudah melakukan terapi tertawa. b) Untuk mengetahui perbedaaan tingkat stres. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Lansia Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu menurunkan tingkat stress pada lansia.
11
2. Bagi Panti Werdha Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu intervensi dalam membantu lansia menurunkan tingkat stres dengan pemberian terapi tertawa. 3. Bagi Perawat Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu intervensi mandiri perawat dalam penatalaksanaan tingkat stres pada lansia. 4. Peneliti selanjutnya Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi tambahan maupun data awal untuk pengembagan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan terapi tertawa pada lansia.