1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Warisan budaya (cultural heritage) merupakan hasil kreasi dan daya cipta oleh manusia, yang karena nilainya menjadi penting untuk dilestarikan. Standar umum yang digunakan sebagai rasionalisasi pentingnya melestarikan warisan budaya adalah menggunakan definisi yang diadopsi oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) pada tahun 1972 dari Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage yang kemudian dikenal sebagai World Heritage Convention (WHC). Pada Section I. Defenition of the Cultural and Natural Heritage Article 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud warisan budaya terdiri dari: 1. Monumen: karya arsitektur, karya patung dan lukisan yang monumental, bagian dari struktur sebuah lingkungan arkeologi, prasasti, gua hunian dan kombinasi fitur yang memiliki nilai penting universal (outstanding universal value) dari sudat pandang sejarah, seni dan keilmuan; 2. Kelompok Bangunan: kelompok bangunan baik berdiri sendiri maupun menyatu,
yang
karena
kearsitekturannya,
kemajemukannya,
atau
penempatannya dalam lanskap, yang mengandung nilai penting universal dari sudut pandang sejarah, seni, atau keilmuan; 3. Situs: hasil kreasi manusia atau kombinasi kreasi manusia dengan alam, termasuk situs arkeologi yang mengandung nilai penting universal dari sudut
2
pandang kesejarahan, estetis, etnologis dan antropologis (UNESCO, 2005 Editon:10). Pada definisi UNESCO di atas terlihat bahwa warisan budaya dilihat sebagai karya adiluhung manusia yang memperlihatkan perkembangan arsitektur, desain, perencanaan atau teknologi, perwujudan tradisi kultural yang telah punah, dan mewakili periode yang penting atau aktivitas manusia dalam pembabakan sejarah. Pada tataran nasional, dasar pemikiran pentingnya pelestarian warisan budaya tertuang dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (UUCB), terutama pada bagian konsideran menimbang poin (a) yang menyebutkan bahwa: “..cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan...” (BPCB Makassar, 2011:1-2) Dasar pelestarian seperti yang tertuang dalam UUCB di atas, setidaknya mengandung 4 hal, yaitu (1) karena cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku manusia; (2) memiliki nilai penting bagi pengkerangkaan sejarah; (3) sebagai objek kajian ilmu pengetahuan; dan (4) sebagai penanda pencapaian kebudayaan. Warisan budaya perlu dilestarikan terkait dengan fungsinya untuk memperkuat jatidiri bangsa. Cleere (1990) menyatakan bahwa sumberdaya arkeologi/budaya penting untuk dikelola karena merupakan basis ideologi dalam rangka penguatan identitas budaya, berkaitan dengan fungsi edukasi, memiliki
3
nilai ekonomi berbasis pariwisata, dan memiliki fungsi akademik dalam kerangka pelestarian datanya (Cleere, 1990:10). Tanudirjo (2009) menjelaskan bahwa pada hakikatnya pelestarian warisan budaya dilakukan untuk melestarikan benda cagar budaya dan nilai-nilai budaya luhur yang dikandungnya bagi generasi selanjutnya. Upaya pelestarian tersebut dilakukan melalui kegiatan identifikasi, melindungi, melestarikan, menyajikan, dan meneruskan kepada generasi selanjutnya, sebagai satu kegiatan yang utuh dan terpadu (Tanudirjo, 2009:tanpa halaman) 1. Situs warisan budaya saat ini terancam kelestariannya dengan peningkatan populasi manusia, pariwisata, polusi, pembangunan, pertambangan, tidak berjalannya peraturan perundang-undangan, kekurangan sumber daya manusia (SDM), minimnya pendanaan untuk pelestarian, penjarahan dan perdagangan, bencana alam serta efek perubahan iklim. Perencanaan yang tidak bagus juga menjadi ancaman terutama pada negara-negara yang belum berkembang, yang memberi tekanan yang cukup besar bagi pemusnahan warisan budaya yang kemudian digantikan dengan sesuatu yang lebih moderen. Tempat-tempat yang mengandung tinggalan arkeologis, struktur yang mengandung nilai sejarah, dan lanskap budaya dihancurkan atau diubah sebagai dampak dari kebutuhan lahan atas perluasan area industri, komersil, dan infrastruktur publik. Bahkan tempattempat yang mengandung warisan budaya dan tidak berhadapan langsung dengan upaya penghancuran tersebut, masih menghadapi ancaman kemerosotan bahan
1
Makalah disampaikan dalam Kegiatan Bimbingan Teknis Pelestarian Benda Cagar Budaya di Bukittinggi, 29 Juni – 6 Juli 2009.
4
akibat usia, kelalaian atau karena dibiarkan tanpa penanganan, yang semakin menyebabkan kerusakan atau kehancuran. Fenomena ancaman kelestarian sebagaimana yang diuraikan di atas, perlahan mulai juga terjadi pada situs gua-gua prasejarah kawasan karst 2 antara Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Kawasan Karst Maros-Pangkep yang memiliki luas sekitar 43.750 ha (BPPP Makassar, 2011:5), kondisinya saat ini mulai mengalami kerusakan. Kerusakan itu antara lain degradasi lingkungan yang kemudian berdampak pada degradasi kelestarian situs gua prasejarah yang memiliki banyak tinggalan arkeologis. Salah satu yang dianggap sebagai faktor pemicu degradasi lingkungan dan temuan situs arkeologis di dalamnya adalah maraknya pembukaan lahan tambang di kawasan ini sejak puluhan tahun lalu. Maraknya pembukaan lahan tambang sejak tahun 1960-an, dimulai oleh PT. Semen Tonasa yang melakukan penambangan tanah liat dan batu kapur untuk bahan baku produksi semen di wilayah Minasate’ne Kab. Pangkep (Tonasa I) 3 . PT. Semen Tonasa kemudian terus gencar melakukan ekspansi lahan konsesi, pembangunan pabrik dan
infrastruktur
pendukung
usaha
pertambangannya,
hingga
mampu
menghasilkan produksi semen per tahun sebesar 5.980.000 ton melalui keempat
2
Kawasan karst merupakan istilah bagi bentang alam permukaan dan bawah permukaan pada batugamping yang pembentukannya dipengaruhi oleh proses pelarutan batuan karbonat. Batu gamping sendiri merupakan bagian dari batuan karbonat—selain dolomit—yang merupakan jenis batuan sedimen yang umumnya terbentuk di lingkungan laut dangkal (Samodra, 2001:4). 3
www.sementonasa.co.id, diakses Januari 2015.
5
pabriknya pada tahun 2014 4. Selain untuk bahan baku semen, potensi tambang di kawasan karst Maros-Pangkep adalah berupa marmer, granit, dan tanah timbunan, memiliki nilai ekonomis tinggi. Potensi ekonomis tambang tersebut kemudian membuat semakin banyaknya usaha pertambangan, terutama jenis marmer dan granit, karena dalam penambangan dan pengolahannya tidak membutuhkan modal usaha yang besar. Sejak itu kemudian kawasan karst Maros-Pangkep menjadi semakin terkenal akan potensi ekonomisnya dari sektor pertambangan. Hingga tahun 2014 tercatat ada 119 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diterbitkan di Kab. Maros dan Pangkep. IUP yang diterbitkan tersebut untuk jenis usaha galian marmer, batugamping, batu gunung, clay (tanah urug), sirtu, pasir laut, dan batukapur (lihat Lampiran 1 dan Lampiran 15) (Dinas ESDM Prov. Sulsel, 2015). Degradasi lingkungan akibat aktivitas pertambangan di kawasan karst Maros-Pangkep diyakini kemudian berpengaruh pada kualitas dan tentu saja kuantitas, kelestarian lingkungan dan tinggalan arkeologis pada situs gua-gua prasejarah
di
sekitarnya.
Beberapa
hasil
kajian
dan
penelitian
telah
mengungkapkan bagaimana aktivitas pertambangan yang dilakukan, cenderung merusak lingkungan atau ekosistem karst di kawasan tersebut. Salah satu contohnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Asmunandar (2001). Dari hasil pengukuran kualitas udara di lokasi penambangan dan area pabrik di Biringere pada bulan Februari, Maret, Mei dan Juni 2000 pada 12 Unit Pengambilan Sampel
4
www.sementonasa.co.id, diakses Januari 2015.
6
(UPS), diketahui kandungan senyawa kimia berupa karbon monoksida (4-17 Ppm), sulfur dioksida (0,010-0,075 Ppm), nitrogen dioksida (0,000-0,004 Ppm) dan hidrogen sulfida (0,000 Ppm). Asmunandar kemudian berkesimpulan bahwa polusi asap yang dihasilkan membahayakan kelestarian lukisan dinding gua di kawasan tersebut. Kerusakan dipicu karena adanya proses reaksi antara polutan dengan lukisan dinding, dimana terjadi ionisasi (tarik menarik) antara polutan unsur non logam (karbon, sulfur, nitrogen, dan hidrogen) dan unsur logam (besi atau ferrum dan timbal atau plumbum). Kondisi ini kemudian melarutkan hematite—sebagai bahan dasar lukisan dinding, yang membuat materialnya retak. Kondisi itu juga memicu perubahan warna yang membuat terlepasnya lukisan dinding dari medianya (Asmunandar, 2001:23-49). Hasil penelitian Asmunandar tersebut, memperlihatkan angka rata-rata polutan yang jauh di atas ambang batas maksimal Canadian Conservation Institute (CCI) untuk kualitas udara di situs warisan budaya. Kadar sulfur dioksida untuk area bukan perkotaan, seperti lokasi penelitian Asmunandar tersebut di atas, CCI menetapkan batas rata-rata antara 0,1-30 Parts per billion (Ppb), hidrogen sulfida 0,01-1 Ppb, sementara nitrogen dioksida 0,2-20 Ppb (Tétreault, 2013) 5. Meskipun relatif jauh di atas angka ratarata maksimum, namun untuk paparan jangka panjang tentu saja dapat menimbulkan dampak negatif bagi kelestarian tinggalan arkeologis, terutama lukisan dinding di kawasan ini.
5
www.cci-icc.gc.ca, diakses 4 Desember 2015.
7
Hasil kajian terbaru terkait kondisi temuan arkeologis—terutama lukisan gua—di kawasan ini dilaporkan oleh pihak BPCB Makassar pada tahun 2013 yang melakukan kajian keterawatan lukisan dinding situs gua prasejarah MarosPangkep. Kajian keterawatan lukisan dinding tersebut difokuskan pada 44 situs gua yang memiliki tinggalan lukisan gua, 24 gua berada di wilayah Kab. Maros dan 20 gua berada di Kab. Pangkep. Fokus utama kegiatan tersebut diarahkan untuk mengetahui tingkat keterawatan situs gua prasejarah kawasan ini melalui identifikasi kerusakan dan faktor penyebabnya. Meliputi kerusakan dan pelapukan secara fisik (retak, pecah, dan aus), pelapukan biologis (pertumbuhan algae, moss, dan lichen), pelapukan kimiawi (penggaraman dan sementasi), serta identifikasi titik-titik kebocoran dinding gua pada musim kemarau dan musim hujan. Hasil kajian tersebut mengindikasikan kondisi keterawatan lukisan di wilayah MarosPangkep berada pada 4 level, yaitu parah, sedang, bagus, hingga sangat bagus. Level sedang atau tingkat keterawatan lukisan yang tidak terlalu mengalami kerusakan parah berjumlah 25 situs dan merupakan jumlah yang paling banyak dari hasil kajian ini. Kondisi keterawatan lukisan pada level yang dianggap parah terjadi pada 12 situs. Situs yang kondisi keterawatannya berada pada level bagus sebanyak 6 situs. Hanya 1 situs, Gua Kado, yang dianggap memiliki kondisi keterawatan sangat bagus (selengkapnya bisa dilihat pada Lampiran 2) (BPCB Makassar, 2013). Balai Konservasi Peninggalan (BKP) Borobudur juga melakukan kajian konservasi lukisan gua prasejarah di Maros-Pangkep. Kegiatannya dilaksanakan selama 3 tahap (tahun 2008, 2009 dan 2011). Studi konservasi yang dilakukan
8
dimulai dengan mengidentifikasi dan menganalisis faktor yang menyebabkan kerusakan lukisan gua, identifikasi bahan lukisan, hingga merumuskan upaya untuk mempertahankan atau melestarikannya. Menurut peneliti BKP Borobudur, kerusakan lukisan gua sebagian besar disebabkan proses pembentukan gua yang masih aktif, proses eksogenik (pelapukan, pengkerakan, pengelupasan, erosi) dan kerusakan gua akibat fluktuasi suhu dan perubahan iklim yang relatif ekstrim, serta kerusakan akibat manusia (antropogenik) berupa degradasi ekosistem karst dan vandalisme (BKP Borobudur, 2011:72-73). Salah satu yang faktor yang dominan berkontribusi adalah aktivitas manusia dalam memanfaatkan dan mengolah alam di sekitar kawasan karst, baik untuk kepentingan pemukiman, pertanian dan pertambangan. Berkurangnya pohon di sekitar situs untuk pembukaan lahan, dianggap sebagai faktor yang menyebabkan kerusakan lukisan gua semakin parah. Selain itu, destruksi bentang lahan akibat pembukaan lahan pertambangan juga memberi kontribusi pada rusaknya lukisan gua. Menurut hasil studi tersebut, coretan pada dinding gua dan pemanfaatan gua (situs) sebagai kandang ternak dan tempat menyimpan jerami dan alat pertanian, semakin memperparah kondisi yang ada (BKP Borobudur, 2011:42-52). Pemanfaatan gua sebagai kandang ternak dianggap memiliki kontribusi pada kerusakan lukisan dinding sebagaimana yang diuraikan dalam laporan tersebut, tidak didukung oleh pembuktian yang cukup ilmiah. Kondisi di lapangan memperlihatkan kerusakan lukisan dinding pada gua yang menjadi tempat menyimpan ternak, kondisinya hampir sama dengan gua yang tidak dijadikan kandang ternak.
9
Siapa sajakah yang harus bertanggungjawab dalam pelestarian warisan budaya? Secara teoritik sebenarnya tiap anggota masyarakat adalah pihak yang berkepentingan terhadap warisan budaya dan harus bertanggungjawab dalam pelestariannya. Dalam International Charter for the Conservation and Restoration of Monuments and Sites (the Venice Charter 1964) yang diadopsi oleh International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) tahun 1965, pada bagian pembukaan menyebutkan: “Imbued with a message from the past, the historic monuments of generations of people remain to the present day as living witnesses of their age-old traditions. People are becoming more and more conscious of the unity of human values and regard ancient monuments as a common heritage. The common responsibility to safeguard them for future generations is recognized. It is our duty to hand them on in the full richness of their authenticity.” (ICOMOS, Tanpa Tahun:2) Venice Charter (1964) di atas menyebut monumen kuno sebagai warisan budaya dan menegaskan bahwa sudah menjadi tanggungjawab masyarakat (internasional) untuk menjamin kelestariannya bagi generasi mendatang. Sebagai individu kita juga wajib memelihara warisan budaya untuk mengangkat maknanya dari tataran lokal hingga global. Perusahaan atau organisasi berskala besar pada prinsipnya sama dengan pribadi individu yang melekat di dalamnya (kewajiban hukum dan kewajiban moral), sehingga idealnya juga harus berbagi tanggung jawab dalam pelestarian warisan budaya. Perusahaan atau sektor privat saat ini cakupan skalanya tidak lagi dalam tataran lokal atau nasional, namun telah mencapai tataran multinasional yang tidak lagi berpatokan pada batas-batas wilayah negara. Perusahaan-perusahaan multinasional tersebut seharusnya beroperasi dengan tetap tunduk pada peraturan perundang-undangan dimana
10
mereka membuat usaha. Dapat diargumentasikan bahwa meskipun perusahaanperusahaan tersebut memiliki tanggung jawab secara global terhadap keuntungan pemegang sahamnya, tanggung jawab pelestarian warisan budaya yang memiliki nilai penting secara global seharusnya bisa dipertimbangkan. Tanggungjawab bisa melalui dukungan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Bahkan undang-undang tersebut mewajibkan terutama perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam, seperti yang terlihat pada Bab V Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Pasal 74 berikut ini: 1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. 2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian yang membahas TJSL dalam UUPT No.40 Tahun 2007, kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (TJSLPT). Secara eksplisit tujuan tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan (perusahaan) adalah mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan untuk
11
meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi komunitas setempat dan masyarakat pada umumnya maupun perseroan (perusahaan) itu sendiri. Lebih lanjut diatur bahwa perseroan (perusahaan) dalam memenuhi TJSL-nya wajib menganggarkan dan memperhitungkannya sebagai biaya perseroan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Beberapa hal yang patut dicermati dari undang-undang dan peraturan pemerintah yang mengatur tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan adalah bagaimana mekanisme pelaksanaan dan minimal persentase pendanaan dari keuntungan yang wajib dikeluarkan oleh setiap perusahaan. Untuk memenuhi tanggung jawab sosial tersebut kemudian bisa menjadi dilema dalam penerapannya, karena perusahaan-perusahaan tersebut bisa saja mengalokasikan dana CSR seminimal mungkin karena tidak adanya pembatasan minimal persentase pendanaan tersebut. Hal lain yang patut dicermati adalah komponen pembiayaan program CSR diperhitungkan sebagai bagian dari biaya perseroan, bukan dari keuntungan. Jadi pembiayaan program CSR termasuk biaya yang tentunya akan diperhitungkan dalam menentukan harga jual produk oleh perusahaan. Selain itu konsep CSR pada perkembangannya beberapa tahun terakhir
ini sudah mulai menuai
kontroversi atau kritikan. Ada yang memandang bahwa CSR justru mengecoh masyarakat setempat. Perusahaan mengambil banyak dan seakan “sah” apabila sudah memberikan “sesuatu” walaupun sangat sedikit, karena CSR dianggap hanya bersifat satu arah saja. Perusahaan sebagai pemberi dan masyarakat atau
12
lingkungan sekitar sebagai penerima. Realisasi yang terlihat hanya semacam ganti rugi oleh perusahaan kepada masyarakat dan lingkungan, atas eksploitasi yang dilakukan oleh perusahaan di sekitar mereka. Saat ini telah berkembang sebuah pendekatan kemitraan yang mulai diterapkan untuk mengimbangi konsep CSR yang telah menuai banyak kritikan. Konsep tersebut dikenal sebagai Public-Private Partnerships (PPP). PPP sendiri telah dikenal sejak masa Kekaisaran Romawi di Eropa, sekitar 2000 tahun yang lalu, ketika pembangunan pos pemantauan untuk mengiringi ekspansi besarbesaran sistem jalur cepat di bawah legion Romawi. Pos pemantauan tersebut merupakan sebuah komunitas kecil yang mengelilingi barak militer, hotel, gudang, bengkel, kandang, yang dibangun dan dikelola oleh swasta per lima tahun melalui kontrak. Kontraknya sendiri akan diperbaharui atau dilelang setiap lima tahun. Sistem ini kemudian menghilang sejalan dengan runtuhnya Kekaisaran Romawi. Pelibatan swasta kemudian muncul lagi pada Abad Pertengahan ketika pembangunan benteng kota dan pengokupasian lahan baru di bagian barat daya Perancis sepanjang abad ke-12 dan ke-13. Sepanjang abad ke-16 dan ke-17 wilayah Eropa, khususnya Perancis, mulai menerapkan program konsesi (kontrak swasta) pekerjaan fasilitas publik secara besar-besaran, seperti misalnya pekerjaan konstruksi kanal, jalan, lampu, pos, pengumpulan sampah, dan transportasi umum. Pada abad ke-19 merupakan masa keemasan konsesi di Eropa melalui proyek pembangunan transportasi umum yang terkoneksi, fasilitas air, limbah serta energi. Amerika sendiri baru mulai menerapkan PPP sejak abad ke-19 melalui pekerjaan pembangunan kanal dan jalur kereta. Pembangunan jalur cepat
13
pada tahun 1930-an dan 1940-an dilakukan oleh perusahaan umum yang dikelola oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (negara bagian). Periode 1980-an hingga 1990-an kemudian menjadi tahun penyebaran PPP di berbagai belahan dunia, seiring dengan peningkatan perekonomian secara global (PPIAF, 2009:3436). PPP yang pada awalnya hanya sebagai alternatif penyediaan infrastruktur— seperti yang diuraikan di atas, kini telah berkembang secara luas mencakup segala sektor dalam pembangunan. PPP dapat meningkatkan hubungan antara publik (pemerintah) dan sektor privat (swasta) untuk bekerjasama dalam pembangunan. Beberapa negara memiliki berbagai pertimbangan dalam mengadopsi PPP. Amerika
mengadopsi
PPP
karena
menginginkan
peningkatan
efisiensi
operasional. Inggris yang menginginkan peningkatan kompetisi, sedangkan Korea Selatan untuk mengakses teknologi baru yang sudah teruji. India untuk menciptakan lapangan kerja. Thailand untuk menyediakan layanan yang sebelumnya tidak ada. Filipina untuk menciptakan transparansi pengadaan, dan Afrika Selatan untuk mengerahkan dana investasi tambahan (Djunaedi, 2006:tanpa halaman). Secara singkat bisa dikatakan bahwa PPP merupakan sebuah kemitraan antara publik, dalam hal ini masyarakat dan pemerintah, dengan sektor privat atau swasta melalui pembagian peran yang jelas dalam pembangunan di segala bidang. Harapannya dengan kemitraan ini, dapat pula diterapkan pada upaya pelestarian warisan budaya sebagai milik bersama. Kebijakan mengintegrasikan pengelolaan sumberdaya budaya baik yang berupa bendawi maupun non-bendawi, untuk tataran internasional, sudah mulai
14
dianggap sebagai kebutuhan dan menjadi strategi serta kebijakan jangka panjang pada beberapa perusahaan, seperti misalnya yang dilakukan oleh Rio Tinto Group. Rio Tinto Group adalah perusahaan tambang yang berbasis di Brasil dan beroperasi di 50 lebih negara di seluruh dunia. Rio Tinto Group menambang dan mengolah bahan tambang seperti aluminium, tembaga, intan, batu bara, bijih besi, uranium, emas, industri mineral lainnya. Sebagai bagian dari kebijakan yang telah diadopsi perusahaan, Rio Tinto Group telah merancang sebuah panduan bagaimana mengintegrasikan manajemen warisan budaya ke dalam budaya kerja perusahaan di Rio Tinto. Panduan tersebut disusun karena warisan budaya dianggap sebagai sesuatu yang sangat fundamental bagi identitas masyarakat setempat dan merupakan bagian integral pada setiap lanskap yang perusahaan eksplorasi, kembangkan atau tempati beroperasi. Rio Tinto Group meyakini bahwa upaya mengelola dan melindungi warisan budaya yang dimiliki masyarakat setempat akan berdampak pada kualitas hubungan, efektivitas keterlibatan masyarakat yang lebih luas, serta bagi keberlanjutan dan pewarisan perusahaan dalam beroperasi di masa yang akan datang. Kebijakan ini telah dilakukan oleh Rio Tinto Group selama lebih dari satu dekade pada lokasi-lokasi seperti, Australia, Serbia, Afrika Selatan, Kanada, Zimbabwe, Mongolia, dan Amerika (Rio Tinto Group, tanpa tahun: 17). Contoh lain yang lebih spesifik menunjukkan penerapan CSR perusahaan untuk konservasi warisan budaya seperti yang diulas oleh Starr (2013) pada kompleks candi Preah Khan, situs warisan dunia Angkor di Kamboja. World Monuments Fund (WMF) melibatkan American Express sebagai sponsor utama
15
dalam memberikan bantuan dana yang digunakan untuk konservasi jangka panjang dan proyek pelatihan konservasi bagi pegawai dan masyarakat lokal. Keuntungan yang diperoleh melalui kerjasama tersebut adalah tersedianya pendanaan dan tenaga konservasi yang berbasis staf lokal dan masyarakat sekitar yang berdampak langsung pada konteks sosial-ekonomi secara luas, serta bagi perusahaan. Dampaknya adalah peningkatan reputasi karena dianggap sudah peduli pada upaya-upaya pelestarian warisan budaya (Starr, 2013:81). Fenomena kurangnya dukungan terhadap pelestarian warisan budaya oleh sektor privat/swasta (perusahaan), juga terjadi di kawasan karst Maros-Pangkep yang di dalamnya mengandung tinggalan arkeologis berupa gua-gua prasejarah. Harus diakui bahwa upaya pelestarian yang telah telah dilakukan di gua-gua prasejarah Maros-Pangkep hingga saat ini masih dikerjakan sepenuhnya oleh pemerintah. Dalam hal ini pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal (Dirjen) Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Republik Indonesia, yang ditangani langsung oleh Unit Pelaksana Teknis-nya (UPT) di daerah yaitu Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar. Pemerintah daerah (Pemda), baik itu Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Maros maupun Pemkab Pangkep, kontribusinya hingga saat ini masih minim. Terlebih lagi pelibatan perusahaan dalam pelestarian situs gua-prasejarah melalui program dukungan CSR-nya, hampir tidak pernah dilakukan. Pemerintah melalui BPCB Makassar merupakan satu-satunya pihak yang berperan dalam pelestarian situs gua-gua prasejarah di Maros Pangkep. Padahal untuk wilayah Kab. Maros dan Pangkep terdapat 119 perusahaan
16
pemegang IUP (Dinas ESDM Prov. Sulsel, 2015), yang juga bisa menjadi pihak yang dapat dilibatkan dalam membantu pelestarian cagar budaya. Dalam ranah pelestarian alam, kantor Balai Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung menjadi lembaga utama pengelola kawasan dengan ditetapkannya sebagian kawasan karst di Maros-Pangkep menjadi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul). 1.2. Rumusan Masalah Gambaran singkat pada bagian latar belakang di atas secara eksplisit telah menyebutkan kurangnya pelibatan perusahaan dalam segala bentuk aktivitas pelestarian warisan budaya. Peranan pemerintah, baik sebagai regulator maupun sebagai pelaksana teknis, masih sangat dominan atau masih “mendominasi” dan “memonopoli”. Permasalahan tersebut kemudian menjadi topik dalam penelitian ini, yaitu merancang model pelibatan perusahaan tambang dengan menggunakan konsep PPP dalam mendukung pendanaan atau program pelestarian cagar budaya. Fokus utamanya adalah bagaimana menyeimbangkan secara “etis” dan “diterima publik” antara aktivitas yang berorientasi pada profit perusahaan tambang dan upaya pelestarian nilai warisan budaya yang melekat pada gua-gua prasejarah kawasan karst Maros-Pangkep. Permasalahan tersebut di atas kemudian dirumuskan dalam pertanyaan di bawah ini: 1. Bagaimana upaya pelestarian Situs Gua-Gua Prasejarah Kawasan Karst Maros-Pangkep sampai saat ini?
17
2. Model pelibatan perusahaan tambang seperti apa yang cocok untuk diterapkan pada Situs Gua Prasejarah Kawasan Karst Maros-Pangkep? 1.3. Tujuan Penelitian Tulisan ini bertujuan merancang model pelibatan perusahaan tambang dalam mendukung pelestarian warisan budaya yang selama ini belum pernah dilakukan pada situs gua-gua prasejarah kawasan karst Maros-Pangkep. 1.4. Tinjauan Pustaka Eksplorasi berupa survei dan penelitian murni (pure scientific) untuk tujuan rekonstruksi sejarah budaya, cara-cara hidup dan proses budaya pada gua-gua prasejarah Sulawesi Selatan setidaknya telah dimulai oleh Paul dan Fritz Sarasin, dua orang naturalis berkebangsaan Swiss, yang melakukan kunjungan pertama kali ke Gua Cakondo, Ululeba dan Balisao pada tahun 1902. Meskipun kemudian banyak yang meragukan dan menilai laporan mereka spekulatif, namun setidaknya mereka telah berhasil mengundang minat peneliti-peneliti lain untuk meneliti gua-gua prasejarah di kawasan ini. Tercatat kemudian penelitian secara intensif pada gua-gua prasejarah Sulawesi Selatan mulai dilakukan oleh Van Stein Callenfels, H.D. None dan A. A. Cense pada tahun 1933, W. J. A. Willems dan F. D. McCarthy pada tahun 1936, serta H. R. van Heekeren yang sangat intensif meneliti pada tahun 1936, 1937, 1947, dan 1950. Pada tahun yang sama (1950), H. C. M. Heeren-Palm kemudian melanjutkan penelitian, D. J. Mulvaney dan R. P. Soejono pada tahun 1969, serta I. C. Glover pada tahun 1973 dan tahun 1975 (Heekeren, 1972: 106-118, Sumantri, 2004: 21-22).
18
Sejak tahun 1980-an, penelitian gua-gua prasejarah di Sulawesi Selatan mulai dilakukan oleh peneliti Indonesia, terutama dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan mahasiswa Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin (FS-UH) Makassar (Sumantri, 2004: 24-25). Pada tahun 2007, Morwood memimpin sebuah tim yang memadukan peneliti Indonesia dan Australia, melakukan penggalian pada situs Leang Burung 2 untuk melanjutkan penggalian yang dilakukan oleh Glover pada tahun 1981. Penelitian kerjasama Indonesia-Australia tersebut kemudian berlanjut pada tahun 2011-2014, bahkan direncanakan hingga 2015 (proyek 5 tahun), dengan melakukan ekskavasi pada situs Leang Burung 2 (2011-2013) dan Leang Bulu Bettue (2013-2014) Kabupaten Maros. Proyek ini dilakukan atas kerjasama Universitas Wollonggong dan Universitas Griffith Australia dengan Pusat Arkeologi Nasional, Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar dan Balai Arkeologi Makassar. Berhubung masih dalam tahap penelitian, hasil ekskavasi baru akan dipublikasikan pada tahun 2015. Namun salah satu bagian dari penelitian tersebut yang dipublikasikan di jurnal bergengsi internasional, Nature, berhasil menyita perhatian dunia. Hasil analisis usia gambar dinding gua prasejarah yang dilakukan oleh Maxime Aubert (Peneliti Universitas Griffith Australia) dan timnya dengan menggunakan metode Uranium Series dari beberapa sampel corraloid speleothem (kalsit), yang “tumbuh” di atas gambar dinding pada 7 situs gua prasejarah di wilayah Maros. Pertanggalan tersebut menghasilkan usia paling tua 39.900 tahun yang lalu untuk gambar cap tangan
19
dan 35.400 tahun yang lalu untuk gambar babi-rusa (Aubert, et al., 2014:223226). Upaya penelitian untuk tujuan pelestarian pada gua-gua prasejarah kawasan karst Maros-Pangkep tercatat baru dimulai awal tahun 2000-an oleh Said (2000), yang menulis tesis dengan judul “Pemintakatan Arkeologi: Suatu Upaya Pelestarian Kawasan Gua Prasejarah Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan”. Melalui penelitiannya, Said membuat pemintakatan atau yang saat ini dikenal dengan “Zoning” pada 89 situs gua prasejarah menggunakan sistem blok dan sel tergantung pada posisi sebaran masing-masing situs. Situs yang mengelompok atau terkonsentrasi dimasukkan menjadi satu blok mintakat, sementara situs yang berjauhan dan berdiri sendiri dibuat menjadi mintakat sel (Said, 2000: 144-145). Pemintakatan sendiri merupakan salah satu upaya perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi melalui penentuan batas-batas wilayah yang terdiri atas wilayah inti, wilayah penyangga, dan wilayah pengembangan pada setiap situs, dengan mempertimbangkan karakter situs beserta situs dan lingkungannya serta faktor keamanan (Said, 2000: 129). Tulisan Said tersebut meskipun hanya merupakan salah satu bagian dari pengelolaan sumberdaya budaya atau arkeologi, telah meletakkan pondasi atau dasar bagi penelitian selanjutnya tentang bagaimana bentuk pelestarian yang perlu dilakukan pada kawasan gua-gua prasejarah Maros-Pangkep. Penelitian untuk membuat sebuah model pengelolaan sumberdaya budaya baru mulai dilakukan oleh Supriadi pada tahun 2008 di wilayah gua prasejarah Bellae, Kelurahan Biraeng, Kecamatan Minasate’ne, Kab. Pangkep. Penelitian
20
yang dilakukan Supriadi untuk penulisan tesis yang berjudul “Pemanfaatan Kompleks Gua Prasejarah Bellae” ini berangkat dari upaya untuk mengetahui persepsi, harapan dan keinginan setiap pihak yang berkepentingan terhadap sumberdaya budaya, serta untuk melakukan evaluasi program pelestarian dan pemanfaatan yang telah dilakukan pada Kompleks Gua Prasejarah Bellae (Supriadi, 2008: 9-12). Supriadi kemudian mengusulkan model pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae sebagai laboratorium alam dan museum terbuka dengan menekankan aspek pengelolaan vegetasi dan pengontrolan aktivitas penelitian untuk menjamin kelestarian sumberdaya di dalamnya (ibid:148). Nur (2009) juga melakukan penelitian dalam kerangka pengelolaan sumberdaya budaya pada gua prasejarah, dengan lokasi penelitian mencakup kompleks gua prasejarah Leang-Leang, Kabupaten Maros. Penelitian untuk penulisan tesis yang berjudul “Pelestarian Kompleks Gua Leang-Leang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan” ini bertujuan untuk merumuskan manajemen pelestarian kompleks gua Leang-Leang dengan fokus utama pada identifikasi ancaman dari faktor budaya dan pengungkapan nilai penting untuk menjadi bahan evaluasi dan merumuskan model manajemen pelestariannya (Nur, 2009: 5-8). 1.5. Keaslian Penelitian Meskipun tulisan ini memiliki kesamaan tema dan lokasi penelitian dengan dua tulisan terakhir, Supriadi (2008) dan Nur (2009), yaitu pengelolaan sumberdaya budaya dan berlokasi di wilayah gua prasejarah Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep, namun terdapat perbedaan jelas terkait luaran dan pendekatan yang digunakan. Supriadi (2008) menawarkan sebuah model
21
pemanfaatan kompleks gua prasejarah Bellae Pangkep sebagai laboratorium alam dan museum terbuka, dan Muhammad Nur (2009) menawarkan model manajemen pelestarian pada kompleks gua Leang-Leang Maros. Sementara tulisan ini berupaya untuk merancang kemitraan (partnership) antara sektor privat/swasta (perusahaan tambang) dengan pihak terkait dalam pelestarian warisan budaya melalui pendekatan PPP. Tujuannya untuk memaksimalkan peran serta perusahaan tambang agar tercipta manajemen pelestarian cagar budaya yang kolaboratif, sehingga penelitian ini lebih menekankan bagaimana bentuk pelibatan perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah karst Maros-Pangkep. Wilayah penelitian juga lebih diperluas yang mencakup sebaran seluruh situs yang ditemukan di kawasan karst Maros-Pangkep, tidak parsial-parsial seperti yang dilakukan oleh dua penelitian sebelumnya. 1.6. Landasan Teori Penelitian ini mengangkat tema pelibatan perusahaan tambang dalam mendukung pelestarian warisan budaya sebagai bagian dari proses pengelolaan sumberdaya budaya atau Cultural Resource Management (CRM). CRM pada awalnya mulai dikenal di Eropa, tepatnya di Swedia pada tahun 1666, yang kemudian diikuti oleh beberapa negara Eropa (Tanudirjo, 1998:14). Legalisasi formal dalam peraturan kemudian mulai dilakukan oleh Amerika pada tahun 1906 dengan membuat Antiquity Act, sebagai respon atas keterancaman sumberdaya arkeologi (Schiffer dan Gummerman, 1977:3). Dalam dunia arkeologi, istilah CRM sendiri memiliki banyak variasi pada beberapa negara. Inggris menggunakan istilah Archaeological Resource Management (AHM), Australia
22
menggunakan Cultural Resource Management (CRM), sementara Amerika menggunakan istilah Cultural Heritage Management (CHM) dan Public Archaeology (Tanudirjo, 2004b:1) 6 . Akibatnya kemudian terdapat tiga istilah yang berbeda, yaitu Archaeological Resource (sumberdaya arkeologi), Cultural Resource (sumberdaya budaya), dan Cultural Heritage (warisan budaya). Supriadi (2008) kemudian mencoba merangkum perbedaan mendasar terkait istilah-istilah tersebut dari beberapa ahli, konvensi internasional, dan peraturan perundangan. Istilah sumberdaya arkeologi dalam penerapannya hanya mencakup situs, fakta-fakta fisik yang mencakup lanskap dari masyarakat masa lampau, serta semua fakta fisik perilaku manusia masa lampau yang dapat digunakan untuk merekonstruksi cara-cara hidup masyarakat masa lampau. Istilah warisan budaya seringkali digunakan pada objek yang telah terdaftar dan memiliki perlindungan secara hukum. Sementara istilah sumberdaya budaya mencakup segala hasil-hasil proses aktivitas manusia berupa budaya material (tangible) dan budaya nonmaterial (intangible) (Supriadi, 2008:16-21). Dalam tataran legal nasional sendiri terdapat istilah “cagar budaya”. Istilah ini mengacu pada definisi UUCB No.11 Tahun 2010. Definisi ini tertuang dalam Pasal 1 Ayat (1), sebagai berikut: “Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting
6
Makalah disampaikan pada kegiatan Pelatihan Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi, di Trowulan, Mojokerto, 27 Agustus – 1 September 2004.
23
bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan” (BPCB Makassar, 2011:5) Selanjutnya penggunaan istilah-istilah tersebut dalam tulisan ini, akan digunakan secara bervariasi dan tergantung pada konteks kalimat yang menyertainya. Dalam pengertian yang luas, CRM dikenal sebagai Conservation Archaeology (konservasi arkeologi), yang memiliki dua tahapan utama, yaitu mengumpulkan informasi yang relevan dengan situs dan areanya, dan pelaksanaan konservasi itu sendiri dengan tata cara perlindungan secara wajar (Renfrew dan Bahn, 1991:470). Konservasi sumberdaya arkeologi menjadi penting untuk dilakukan karena mempunyai nilai yang sangat berharga, sifat yang langka, dan tidak dapat diperbaharui (Pearson and Sullivan, 1995:21). Dengan demikian sumberdaya arkeologi membutuhkan pengelolaan yang tepat, sesuai dengan jenis dan kondisi keberadaannya, agar tetap terlindungi dan terjaga kelestariannya. Upaya pelestarian ini dianggap penting mengingat sumberdaya arkeologi adalah bukti-bukti fisik atau sisa budaya yang ditinggalkan oleh manusia dari masa lalu pada bentang alam tertentu. Bukti-bukti ini akan sangat berguna dalam menggambarkan, menjelaskan, serta memahami tingkah laku dan interaksi manusia sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perubahan sistem budaya dan alamnya (Tanudirjo dan Nayati, 1988:4 7). Pengkajian nilai penting (significance assessment) menurut Tanudirjo (2004) merupakan salah satu tahap yang paling penting dalam serangkaian proses pengelolaan sumberdaya budaya, karena hasilnya akan menjadi dasar dalam
7
Makalah disampaikan dalam Seminar Sehari Balai Arkeologi Yogyakarta, 1988.
24
menentukan langkah-langkah yang akan dihasilkan dalam proses pengelolaan pada tahap selanjutnya (Tanudirjo, 2004a:tanpa halaman
8
). Pentingnya
melestarikan nilai penting (significance assessment)--sebagaimana tertuang dalam Burra Charter, karena tempat-tempat yang mengandung nilai penting secara kultural merefleksikan keberagaman umat manusia serta menjelaskan asal usul dan bagaimana masa lalu membentuk manusia dan lingkungannya saat ini. Sifatnya yang tidak dapat dikembalikan—bila rusak—dan sangat berharga, mewajibkan kita harus melestarikannya untuk masa kini dan bagi generasi mendatang (Australia ICOMOS, 1999:1). Hingga saat ini tidak ada definisi mengenai PPP yang diterima secara universal. Namun beberapa lembaga berskala internasional dan nasional pada beberapa negara telah mendefiniskan PPP. Seperti misalnya lembaga United Nations Economic Commission for Europe (UNECE) mendefinisikan PPP sebagai berikut: “Public-Private Partnerships (PPPs) aim at financing, designing, implementing and operating public sector facilities dan services. Their key characteristics include: 1. Long-term (sometimes up to 30 years) service provisions; 2. The transfer of risk to the private sector; and 3. Different forms of long-term contracts drawn up between legal entities and public authorities.” They refer to (innovative methods used by the public sector to contract with the private sector, who bring their capital and their ability to deliver
8
Makalah disampaikan dalam Rapat Penyusunan Standardisasi Kriteria (Pembobotan) Bangunan Cagar Budaya di Rumah Joglo Rempoa, Ciputat, Jakarta, 26-28 Mei 2004.
25
projects on time and to budget, while the public sector retains the responsibility to provide these services to the public in a way that benefits the public and delivers economic development and an improvement in the quality of life)”. (UNECE, 2008:1) PPP menurut The National Council for Public-Private Partnerships (NCPPP) Amerika: “A public-private partnership (P3) is a contractual arrangement between a public agency (federal, state or local) and a private sector entity. Through this agreement, the skills and assets of each sector (public and private) are shared in delivering a service or facility for the use of the general public. In addition to the sharing of resources, each party shares in the risks and rewards potential in the delivery of the service and/or facility”. 9 Definisi PPP oleh pakar juga memiliki banyak versi secara global. Salah satu definisi PPP yang banyak digunakan adalah definisi yang dibuat oleh Marc B. Mihaly (2006), bahwa PPP sebagai kolaborasi lintas-sektoral dalam pembagian sumberdaya, resiko, atau segala aktivitas atau peran dan tanggungjawab, yang biasanya berbasis pada kemampuan, kompetensi atau lainnya, untuk mencapai tujuan bersama dari publik dan sektor privat atau swasta (Mihaly, 2006, dalam Iglesias, 2010:18). Willian J. Parente dari USAID Environmental Service Program menjelaskan definisi PPP sebagai sebuah perjanjian atau kontrak, antara komponen publik (masyarakat dan pemerintah) dengan sektor privat atau swasta (perusahaan), dimana (a) sektor swasta menjalankan fungsi pemerintah untuk jangka waktu tertentu, (b) sektor swasta menerima kompensasi dalam menjalankan fungsinya tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung, (c) sektor swasta bertanggungjawab terhadap segala resiko yang timbul dari
9
www.ncppp.org, diakses Februari 2015.
26
pelaksanaan fungsi tersebut, dan (d) fasilitas publik, lahan dan sumberdaya lainnya dapat ditransfer atau disediakan bagi sektor swasta (Djunaedi, 2006:tanpa halaman). Secara umum, PPP hadir dalam beberapa jenis, antara lain: a) Kontrak Servis (Service Contract) merupakan kontrak antara pemerintah dan pihak swasta untuk melaksanakan tugas tertentu, misalnya jasa perbaikan, pemeliharaan atau jasa lainnya, umumnya dalam jangka pendek (1-3 tahun), dengan pemberian kompensasi/fee. b) Kontrak Manajemen (Management Contract) adalah kontrak kerjasama dimana pemerintah menyerahkan seluruh pengelolaan (operation and maintenance) suatu infrastruktur atau jasa pelayanan umum kepada pihak swasta, dalam masa yang lebih panjang (umumnya 3-8 tahun), biasanya dengan kompensasi tetap/fixed fee. c) Kontrak Sewa (lease) adalah kontrak dimana pihak swasta membayar uang sewa (fixed fee) untuk penggunaan sementara suatu fasilitas umum, dan mengelola, mengoperasikan, serta memelihara, dengan menerima pembayaran dari para pengguna fasilitas (user fees). Penyewa/pihak swasta menanggung resiko komersial. Masa kontrak umumnya antara 8-25 tahun. d) Konsesi (Consession) adalah wujud kerjasama dimana Pemerintah memberikan tidak saja tanggung jawab pengelolaan, tetapi juga aset dan investasi baru. Konsesi adalah pengembangan dari leasing. Dalam hal ini, pihak privat tidak hanya menyewa aset tapi juga dapat mengembangkan aset baru. Resiko kerugian semua ditanggung oleh privat. Konsesi Tepat dilakukan jika investasi
27
skala besar diperlukan untuk pengembangan atau perbaikan pelayanan. Masa kontraknya 25-30 tahun. e) Build Operate Transfer (BOT) dan Build Operate Operation (BOO) adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan usaha/swasta (special purpose company), dimana badan usaha bertanggung jawab atas desain akhir, pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan (O&M) sebuah proyek investasi bidang infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya dengan transfer aset pada akhir masa kontrak. Umumnya, masa kontrak berlaku antara 20 sampai 30 tahun. Perbedaan BOT dan BOO adalah jika BOT setelah masa kontrak habis aset akan dikembalikan ke pemerintah dan jika BOO setelah masa kontrak habis tidak dikembalikan ke pemerintah. f) Divestasi merupakan penjualan aset atau saham atau pengambilalihan manajemen dimana pemerintah tetap berperan sebagai fungsi regulasi dan kontrol sedangkan pembangunan, pengelolaan, dan maintenance sudah ditanggung oleh privat. (World Bank Group, 2014:18-19) Adapun manfaat atau keuntungan yang bisa diperoleh dari penerapan konsep PPP antara lain: a) penghematan biaya, b) pembagian risiko (risk sharing), c) perbaikan atau mempertahankan tingkat pelayanan, d) peningkatan pendapatan dari layanan, e) pelaksanaan yang lebih efisien, dan
28
f) manfaat ekonomi yang lebih luas (efek pengganda, penciptaan lapangan kerja) (World Bank Group, 2014:19-21) Sementara beberapa resiko atau yang berpotensi menjadi resiko dari penerapan konsep PPP antara lain: a) hilangnya kontrol pemerintah, b) penambahan biaya (jika tidak tepat penetapan tarif dan biaya sosial lain), c) risiko finansial berupa arus kas dalam pelaksanaan, d) risiko politis berupa instabilitas, e) tingkat akuntabilitas yang tidak bisa diterima, f) pelayanan yang kurang prima, g) ketidakmampuan memanfaatkan kompetisi yang disediakan, h) berkurangnya kualitas/efisiensi pelayanan, dan i) bias dalam proses seleksi (World Bank Group, 2014:21-24) Penerapan PPP dalam sektor budaya sendiri masih tergolong baru. Banyak negara belum memiliki aturan yang memadai dalam mengimplementasikan PPP dalam sektor budaya. Bahkan beberapa negara termasuk lalai dalam menyediakan kebijakan administrasi dan peraturan tentang PPP. Ditambah PPP kemudian dipandang sebagai alat untuk privatisasi/ swastanisasi layanan atau aset publik, atau dipandang sebagai pelepasan tanggung jawab dan tugas pemerintah demi keuntungan sektor swasta. Pandangan ini kemudian masih menjadi rintangan utama dalam penerapan PPP dalam sektor budaya. Namun pengalaman penerapan PPP oleh Historical Cities Programme (HCP) dari Aga Khan Trust for Culture (AKTC), memperlihatkan kesuksesan di beberapa negara yang berbeda.
29
Pengalaman di Kairo (Mesir), Delhi (India), Kabul (Afganistan), dan Mali, yang bekerjasama dengan pemerintah setempat dalam mengimplementasikan proyek konservasi,
yang
didesain
dengan
tujuan
untuk
mempromosikan
dan
meningkatkan kondisi sosial ekonomi, telah memperlihatkan manfaat PPP dalam mencapainya (Monreal, 2013:1). Macdonald dan Cheong (2014) dalam laporan penelitian mereka menjabarkan beberapa contoh sukses peran PPP dan pihak ketiga dalam mendukung konservasi terhadap warisan budaya (bangunan, situs, dan kawasan kota bersejarah) di negara Amerika, Inggris, dan Australia. Dalam definisi operasional yang mereka buat, PPP merupakan penjanjian kontraktual yang mengarahkan sektor privat dalam mengelola fasilitas atau layanan publik, melalui pendanaan atau sebagai pihak yang memimpin (leading sector). Terdapat tiga sektor yang bergabung dalam PPP yaitu, pertama sektor publik yang merupakan unsur pemerintah di segala tingkatan administrasi, kedua sektor privat yang merupakan perusahaan atau investor, sedangkan sektor ketiga adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), masyarakat (individu), komunitas, serta orang-orang yang tinggal dekat dengan situs (Macdonald and Cheong, 2014:2). Topik PPP sendiri sejak tahun 2012 telah mulai dibahas oleh Asia-Europe Meeting (ASEM), melalui forum pertemuan ahli yang melibatkan lebih dari 25 negara. Pada pertemuannya yang kelima di Yogyakarta, yang berlangsung pada bulan September 2012, membahas PPP dalam mengelola kawasan kota bersejarah. Sebuah forum diskusi publik dan ahli juga telah diadakan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada tanggal 12 Juli 2012, yang
30
digelar atas kerjasama Asia-Europe Foundation (ASEF
10
) dan Centre for
Heritage Conservation (Pusat Konservasi Warisan Budaya) Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Tehnik, UGM. Pertemuan tersebut kemudian menghasilkan rekomendasi yang dipresentasikan pada pertemuan “The 5th Culture Minister’s Meeting of the Asia-Europe Meeting (5th ASEM CMM)” 11 . Fokus utama pertemuan kelima tersebut adalah pengelolaan kota bersejarah yang berkelanjutan. Pertemuan tersebut terbagi atas empat diskusi utama yaitu, memperkuat pemerintahan yang baik terhadap kota bersejarah, lanskap kota bersejarah dalam merespon tantangan dan bencana, kota bersejarah sebagai potensi ekonomi kreatif, dan kota bersejarah dalam membangun pemahaman lintas budaya 12. UNESCO baru sejak tahun 2013 mulai melihat peluang penerapan PPP dalam sektor budaya. Peluang ini dianggap sebagai sebuah tawaran menarik dan potensi yang belum dieksplorasi secar lebih jauh untuk menjalin kerjasama. UNESCO kemudian menyelenggarakan sebuah kongres internasional di Hangzhou, Cina, pada tanggal 15-17 Mei 2013, dengan mengusung tema “Budaya: Kunci Pembangunan Berkelanjutan”. Kongres ini merupakan kongres internasional pertama yang diadakan oleh UNESCO—sejak Konferensi
10
ASEF adalah sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Singapura dan telah berdiri sejak 1997. Pesertanya merupakan anggota Asia-Europe Meeting (ASEM). ASEF ditujukan untuk mempromosikan kesepahaman dan kerjasama antara Asia dan Eropa melalui pengetahuan, budaya dan pertukaran sumberdaya manusia. (www.europanostra.org, diakses Mei 2015). 11
www.asef.org, diakses Mei 2015.
12
www.aseminfoboard.org, diakses Mei 2015.
31
Stockholm pada tahun 1998, yang memfokuskan pada hubungan budaya dan pembangunan berkelanjutan, yang dihadiri oleh komunitas global internasional. PPP sendiri menjadi salah satu topik bahasan dalam kongres tersebut. PPP dalam sektor budaya dianggap dapat menjadi jembatan atas kesenjangan pendanaan untuk entitas publik, menyediakan peluang investasi yang menarik bagi sektor privat, namun membutuhkan pendekatan sosial dan lingkungan yang menghargai dan menguntungkan komunitas lokal. Kerjasama itu kemudian membutuhkan perangkat peraturan perundang-undangan pada tataran nasional, lembaga, dan penyediaan kebijakan dan tata administrasi. Di sisi lain, PPP dianggap mampu menyediakan
peluang
peningkatan
kapasitas,
transfer
pengetahuan
dan
keterampilan, serta mendorong wirausaha 13. Para pihak yang berkepentingan di dalam penelitian ini disebut sebagai pihak terkait atau stakeholder. Istilah stakeholder sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Standford Research Institute (SRI) pada tahun 1963 (Freeman, 1984:31). Freeman kemudian mengembangkan eksposisi teoretis mengenai stakeholder pada tahun 1984 dalam bukunya yang berjudul Strategic Management: A Stakeholder Approach. Freeman mendefinisikan stakeholder sebagai berikut: “..any group or individual who can affect or be affected by the achievement of an organization’s objective.” (Freeman, 1984:25) Secara singkat Freeman menyatakan bahwa stakeholder merupakan kelompok maupun individu yang dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh proses pencapaian tujuan suatu organisasi. Pengertian yang hampir sama dikemukakan 13
www.unesco.org, diakses Maret 2015.
32
oleh Bryson (2011), yang mendefinisikan stakeholder sebagai individu, kelompok, atau organisasi apapun yang dapat melakukan klaim atau perhatian terhadap sumberdaya atau hasil organisasi atau dipengaruhi oleh hasil itu (Bryson, 2011:16). Berdasarkan acuan definisi ahli tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa stakeholder merupakan semua pihak, baik perorangan maupun berkelompok (lembaga/institusi), yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan serta pencapaian tujuan kegiatan. Untuk selanjutnya istilah stakeholder ini akan digunakan dalam menyebut semua pihak (kumulatif) yang terkait, berkepentingan, hingga menerima dampak dari keberadaan situs gua prasejarah di kawasan karst Maros-Pangkep. 1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Penentuan Lokasi dan Sampling Wilayah yang menjadi cakupan tulisan ini adalah kawasan karst MarosPangkep yang membentang di wilayah utara Kota Makassar (ibukota Prov. Sulsel). Kawasan karst Maros-Pangkep masuk dalam wilayah administrasi Kab. Maros pada bagian selatan dan Kab. Pangkep pada bagian utara. Pemilihan wilayah penelitian ini berdasarkan pada potensi sebaran sumberdaya arkeologi berupa situs gua prasejarah dan perusahaan tambang di kedua wilayah kabupaten ini. Perusahaan tambang pada penelitian ini dianggap sebagai potensi dan pihak yang penting untuk dilibatkan dalam mendukung upaya pelestarian di sekitar area eksploitasi mereka.
33
Perusahaan tambang yang terdaftar memiliki IUP di Kab. Maros dan Kab. Pangkep diseleksi menggunakan metode purposive sampling 14 . Perusahaan tambang tersebut diklasifikasi terlebih dahulu ke dalam 3 kategori utama, yaitu perusahaan besar, perusahaan menengah, dan perusahaan kecil. Pembagian ini didasarkan pada besarnya permodalan, luas area konsesi dan skala perusahaan (internasional, nasional, lokal). Mengingat jumlah perusahaan tambang yang memiliki IUP untuk wilayah Kab. Maros dan Kab. Pangkep sebanyak 119 perusahaan (lihat Lampiran 1). Penulis memilih PT. Semen Tonasa di Pangkep sebagai sampel perusahaan besar, PT. Murante Utama sebagai sampel perusahaan menengah, dan PT. Aimil Insan Marmer di Maros sebagai sampel perusahaan kecil. Pemilihan PT. Semen Tonasa sebagai sampel perusahaan besar mengacu pada kapasitas perusahaan tersebut yang termasuk salah satu perusahaan besar nasional yang tergabung dalam Grup Semen Indonesia. PT. Murante Utam dipilih sebagai perusahaan kelas menengah mengacu pada luasan area konsesi yang dimiliki seluas 50 hektar. PT. Aimil Insan Marmer dipilih dengan pertimbangan kapasitas perusahaan yang termasuk perusahaan dengan investasi dari investor lokal dan luasan area konsesi 25 hektar.
14
Purposive Sampling termasuk sebagai bagian dari non-probability sampling, yang pengambilan samplenya didasarkan pada kriteria tertentu seperti misalnya judgment, status, kuantitas, kesukarelaan dan sebagainya (Sugiyono, 2009:53).
34
1.7.2. Pengumpulan Data 1.7.2.1. Studi Pustaka Data kepustakaan yang dimaksud berasal dari laporan-laporan hasil penelitian, kajian, serta tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang mengambil lokasi penelitian maupun kajian di wilayah Maros-Pangkep baik dari instansi penelitian maupun instansi pelestarian dan akedemisi yang relevan dengan tema dan objek. Selain itu juga dikumpulkan data terkait program-program CSR perusahaan tambang yang melakukan eksploitasi pada kawasan karst Maros-Pangkep. Data kepustakaan ini kemudian disebut sebagai sumber data tertulis yang mencakup buku, laporan penelitian, laporan kegiatan, karya ilmiah baik yang berupa skripsi maupun tesis, daftar IUP, serta informasi yang terdapat di internet. Sumber data tertulis berasal dari instansi-instansi pemerintah, perpustakaan, maupun koleksi pribadi. Sumber data berupa foto dibedakan atas dua kategori, yaitu foto koleksi pribadi dan foto yang dihasilkan oleh instansi atau lembaga resmi. Data berupa gambar atau peta sebagian besar diperoleh dari kantor BPCB Makassar dan website resmi pemda, baik Pemkab Maros maupun Pemkab Pangkep. Untuk datadata kependudukan, sosial, dan ekonomi kawasan, berasal dari Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Kab. Maros dan Pangkep. Data potensi budaya kawasan berupa atraksi seni budaya dan event budaya berasal dari kantor Dinas Kebudayaan dan Kepariwisataan (Disbudpar) Prov. Sulsel, Disbudpar Kab. Maros dan Pangkep. Data IUP dan potensi tambang diambil dari kantor Dinas ESDM Prov. Sulsel, Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kab. Maros dan Kab.
35
Pangkep. Data program CSR diambil dari masing-masing perusahaan yang menjadi sampel penelitian. 1.7.2.2. Wawancara Narasumber atau informan yang diwawancarai dalam penelitian terdiri dari berbagai pihak, disesuaikan dengan posisi dan kepentingannya pada kawasan karst Maros-Pangkep. Wawancara yang digunakan menggunakan teknik indepth interview (wawancara mendalam) dengan format pertanyaan semi terstruktur (Fontana dan Frey, 2000, dalam Denzin dan Lincoln, 2000:507), dimana poinpoin pertanyaannya telah disusun sebelumnya (lihat Lampiran 3). Wawancara dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran mengenai stakeholder yang terkait atau berkepentingan (interest), pengaruh (power), serta perannya dalam pengelolaan kawasan karst Maros-Pangkep. Stakeholder yang diidentifikasi terdiri dari kalangan pemerintah seperti, Pemprov. Sulsel, Pemkab Maros, Pemkab Pangkep (terutama Disbudpar), BPCB Makassar, Balar Makassar, Balai TN Babul, akademisi (Jurusan Arkeologi, Geologi, dan Kehutanan Unhas), LSM budaya,
unsur
pimpinan
masing-masing
perusahaan,
serta
masyarakat.
Wawancara dengan masyarakat diseleksi dari unsur tokoh masyarakat dan tokoh pemuda (karang taruna) per kecamatan dimana situs gua prasejarah berada. Untuk Kab. Maros terdapat 3 kecamatan yang memiliki situs dalam wilayahnya, yaitu Kec. Bantimurung (47 situs), Kec. Bontoa (13 situs), dan Kec. Simbang (5 situs). Kab. Pangkep memiliki 5 kecamatan yang memiliki situs dalam wilayahnya, yaitu Kec. Balocci (5 situs), Kec. Bungoro (13 situs), Kec. Labakkang (8 situs), Kec. Tondong Tallasa (2 situs), dan Kec. Minasate’ne (34 situs) (lihat Lampiran
36
4). Penyeleksian ini ditujukan untuk memperkecil jumlah narasumber dari kalangan masyarakat yang sangat luas pada wilayah penelitian. Pertimbangan lain adalah tingkat kedekatan dengan situs gua prasejarah, dimana narasumber yang tinggal dekat situs gua prasejarah dianggap bisa lebih memahami dan mengalami dampak secara langsung dari rencana pengelolaan situs gua prasejarah dibanding mereka yang tinggal jauh dari situs. 1.7.3. Analisis Data yang telah dikumpulkan, baik hasil penelusuran pustaka maupun wawancara, kemudian diolah dan dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif 15. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk menjabarkan riwayat pelestarian dan evaluasinya, yang telah dilakukan pada kawasan karst Maros-Pangkep. Riwayat pelestarian dan evaluasinya menyesuaikan komponen atau variabel dalam definisi pelestarian sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1 ayat (22) UUCB No.11 Tahun 2010, yang berbunyi: “Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.” (BPCB Makassar, 2011:10) Sebagaimana terlihat pada definisi di atas, pelestarian merupakan upaya dinamis yang bertujuan mempertahankan keberadaan cagar budaya beserta nilai
15
Analisis deskriptif kualitatif merupakan analisis yang memberikan ulasan atau interpretasi terhadap data yang diperoleh sehingga menjadi lebih jelas dan bermakna dibandingkan dengan sekedar angka-angka. Langkah-langkahnya adalah reduksi data, penyajian data dengan bagan dan teks, kemudian penarikan kesimpulan.
37
yang dikandungnya. Pelestarian cagar budaya sebagai upaya dinamis dapat dilakukan melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Pelindungan sebagai bagian dari pelestarian, dilakukan sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan cagar budaya dari kerusakan, kehancuran atau kemusnahan, melalui kegiatan penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran. Pengembangan cagar budaya yang bertujuan untuk meningkatkan potensi nilai, informasi, promosi, atau memanfaatkannya, dilakukan melalui kegiatan penelitian, revitalisasi, serta adaptasi. Pemanfaatan cagar budaya sebagai bagian dari pendayagunaannya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, serta pariwisata, dengan tetap mengedepankan aspek kelestariannya. Komponen-komponen dalam pelestarian sesuai UUCB No.11 Tahun 2010 tersebut di atas, juga menjadi variabel dalam mengevaluasi kesesuaian kegiatan pelestarian yang telah, sedang dan akan dilaksanakan (rencana program) oleh stakeholder terkait di wilayah penelitian. Secara ringkas, keseluruhan komponen pelestarian di atas dirangkum dalam Tabel 1 di bawah ini:
38
Tabel 1 Komponen Pelestarian Versi UUCB No.11 Tahun 2010 Pelestarian Pelindungan
Pengembangan
Pemanfaatan
Penyelamatan
Penelitian
Agama
Pengamanan
Revitalisasi
Sosial
Zonasi
Adaptasi
Pendidikan
Pemeliharaan
Ilmu Pengetahuan
Pemugaran
Teknologi Kebudayaan Pariwisata
Pada penelitian ini juga digunakan analisis stakeholder yang tahapan kerjanya dimulai dengan mengidentifikasi stakeholder terkait. Setelah stakeholder teridentifikasi, kemudian dilanjutkan dengan membuat peta keterkaitan di antara stakeholder. Proses selanjutnya melakukan penilaian terhadap peta hubungan stakeholder terkait peluang dan ancamannya. Selanjutnya mengidentifikasi asumsi-asumsi stakeholder dan peranannya masing-masing. Pada bagian terakhir dari analisis stakeholder ini, dilakukan penilaian kepentingan (interest) dan kekuatan (power) terhadap asumsi-asumsi stakeholder tersebut. Hasil pemetaan berdasarkan kepentingan (interest) dan pengaruh (power) kemudian digunakan sebagai dasar dalam melakukan pembobotan atau scoring menggunakan Skala Likert 16. Skoring dilakukan terhadap kepentingan (interest) dan pengaruh (power)
16
Skala Likert adalah suatu skala psikometrik yang umum digunakan dalam kuesioner. Nama skala ini diambil dari nama Rensis Likert, yang menerbitkan suatu laporan yang menjelaskan penggunaannya. Biasanya disediakan lima pilihan skala dengan format seperti: Sangat tidak setuju, Tidak setuju, Netral, Setuju, Sangat setuju (Bertram, tanpa tahun:1) .
39
setiap stakeholder dengan menggunakan 5 parameter yaitu, 1) kelestarian kawasan, kebijakan (model) pengelolaan, pemanfaatan, partisipasi masyarakat, dan partisipasi sektor swasta (perusahaan tambang). 1.7.4. Sintesis Hasil analisis kemudian diintegrasikan dengan pendekatan PPP sebagai bahan dalam menyusun model pelibatan perusahaan tambang dalam mendukung pelestarian di situs gua prasejarah kawasan karst Maros-Pangkep. Secara umum, penelitian ini memiliki bagan alir sebagai berikut: Pengumpulan Data
Pengolahan Data
Analisis
Sintesis
-
Studi Pustaka Wawancara
-
Identifikasi Pelestarian Kawasan Identifikasi Stakeholders
-
Evaluasi Pelestarian Analisis Stakeholders Konsep PPP
Model Pelibatan Perusahaan Tambang dalam Mendukung Pelestarian Situs Gambar 1 Bagan alir penelitian