BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Kota Yogyakarta merupakan kota dengan berbagai predikat, salah satunya adalah sebagai kawasan urban heritage atau kawasan warisan budaya. Unsur heritage nampak dari adanya urban artifact yang nampak dari bangunan-bangunan, sarana-prasarana serta tata ruang yang dianggap memiliki nilai sejarah yang kuat. Kekuatan heritage dari Kota Yogyakarta muncul karena adanya bekasbekas kerajaan Jawa yang eksistensinya sampai saat ini masih diakui oleh masyarkat Yogyakarta yakni Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman. Namun kekuatan utama heritagenya sebenarnya nampak dari proses sejarah yang pada akhirnya membentuk suatu urban artifact yang membentuk Kota Yogyakarta. Urban artifact Kota Yogyakarta nampak dari morfologi atau bentuk tata ruang dimana didalamnya terdapat ruang-ruang yang memiliki lagi sejarah dan prosesnya tersendiri. Morfologi Kota Yogyakarta memperlihatkan bagaimana kekuatan tradisional yang diwakili oleh Kraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman berhadapan dengan kekuatan kolonial Hindia Belanda. Kota Yogyakarta merupakan kota tradisional yang didirikan atau dibangun dengan konsep tradisional Islam-Jawa yang sarat dengan nilai filosofi dan simbolik, yang terutama nampak pada Kraton Yogyakarta dan lingkungan disekitarnya. Tidak lama setelah Kraton Yogyakarta dibangun, VOC diperkenankan membangun pemukiman awalnya yang pada hakekatnya adalah suatu bentuk pengawasan
2
terhadap kraton sebagai pusat politik dan kekuasaan. Seriring berjalannya waktu kedua kekuatan ini secara perlahan berkembang, namun dalam proses selanjutnya kekuatan dan kepentingan pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, yang menggantikan VOC sejak 1800, mendominasi perkembangan Kota Yogyakarta. Urban artifact sebagai hasil proses di atas nampak pada peninggalanpeningalan fisiknya yang tersebar di berbagai penjuru Kota Yogyakarta, seperti Kawasan Kraton, Kawasan Pakualaman, Malioboro, Bintaran, Jetis, atau Kotabaru. Kawasan Pakualaman termasuk ke dalam kawasan heritage yang memiliki urban artifact dengan latar belakang sejarah dan bentuk peninggalan fisiknya yang menarik dikaji. Pertama, Kawasan Pakualaman memiliki sejarahnya tersendiri sebagai salah satu bekas vorstenlanden atau praja kejawen, yakni kerajaan Jawa di Jawa Tengah yang memiliki pemerintahan dan juga wilayahnya tersendiri. Pakualaman didirikan pada tahun 1813 oleh Pangeran Natakusuma, yang kemudian menjadi penguasa pertama Pakualaman dengan gelar Adipati Paku Alam I. Pada dasarnya Pakualaman merupakan pecahan dari Kasultanan Yogyakarta, dan oleh karenanya memiliki keterkaitan yang erat dengan Kraton Yogyakarta sebagai Kraton “seniornya”. Kerajaan Pakualaman atau sering disebut Kadipaten Pakualaman merupakan kerajaan termuda sekaligus juga terkecil wilayahnya dibandingkan Kraton Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, dan Kadipaten Mangkunegara yang kesemuanya merupakan pecahan dari Kerajaan Mataram Islam yang dibangun oleh Panembahan Senapati di penghujung abad ke16.
3
Kadipaten Pakualaman memiliki wilayahnya tersendiri yang terdiri dari dua bagian yakni wilayah kota dimana terletak Istana Pakualaman yang sering dikenal dengan Puro Pakualaman, dan wilayah luar kota yakni daerah Adikerto yang saat ini terletak di wilayah Kulon Progo. Sama seperti Kerajaan-kerajaan yang lain, Kadipaten Pakualaman memiliki istananya sendiri sebagai simbol pusat kekuasaaan, kediaman, serta pusat pemerintahan. Istana Pakualaman atau Puro Pakualaman dibangun dengan pola yang berbeda dengan Kraton Yogyakarta, Kraton Kasunanan, dan memiliki beberapa persamaan dengan Istana Kadipaten Mangkunegaran di Surakarta. Sama seperti halnya Istana Kadipaten Mangkunegaran, Puro Pakualaman dibangun lebih sederhana daripada Kraton Yogyakarta dan memiliki arah hadap ke selatan. Hal demikian dikarenakan oleh beberapa sebab, seperti bentang lahannya yang lebih kecil serta bentuk penghormatan Pangeran Natakusuma atau Adipati Pakualam I terhadap Kraton Yogyakarta
yang didirikan oleh ayahandanya, Sultan
Hamengkubuwono I. Walaupun memiliki “kraton” yang lebih sederhana dan lebih kecil tidak berarti Puro Pakualaman dapat disamakan seperti ndalem pangeran-pangeran, seperti yang selama ini diperkirakan. Puro Pakualaman dibangun dengan pola dasar yang sama yakni adanya istana raja, alun-alun, masjid, dan pasar. Unsur-unsur ini adalah unsur utama dari kota-kota lama bercorak Islam yang berkembang baik di kota pesisir maupun kota pedalaman. Selain unsur utama di atas, unsur lainnya yang nampak adalah pemukiman kerabat raja, para abdi dalem sesuai dengan jabatan dan perannya, dan prajurit. Jadi
4
secara garis besar, terdapat beberapa kesamaan antara kraton Yogyakarta dan Puro Pakualaman serta dimensi dan unsur-unsurnya jauh melebihi ndalem-ndalem pangeran. Selain urban artifactnya, hal yang penting berkaitan dengan keberadaan Kadipaten Pakualaman adalah beberapa rajanya yang sangat moderat dan ikut mengikuti perkembangan zaman, salah satunya adalah perkembangan pendidikan barat. Paku Alam V dan VII terkenal sebagai raja-raja yang memiliki kesadaran akan pentingnya dan ikut serta mendorong majunya pendidikan bagi keluarga dan juga para abdinya, jauh sebelum kerajaan-kerajaan lainnya melakukan hal serupa. Keluarga Pakualaman tidak hanya saja disekolahkan pada tingkatan dasar namun juga pada tingkatan-tingkatan yang lebih tinggi bahkan hingga mengeyam pendidikan universitas di Negeri Belanda. Hasilnya sungguh luar biasa, karena dokter, ahli hukum, dan insinyur pertama di Indonesia berasal dari keluarga Pakualaman. Taman Siswa yang merupakan cikal bakal pendidikan nasional di Indonesia, didirikan oleh keluarga Pakualaman, yang juga masih keturunan langsung Paku Alam, yakni Ki Hadjar Dewantara. Kedua, seiring dengan berjalannya waktu Kawasan urban artifact Pakualaman telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan-perubahan. Sejak didirikan oleh Pangeran Natakusuma pada tahun 1813 sampai dengan Sri Pakualaman IX saat ini, kurang lebih 201 tahun, telah terjadi banyak perubahan yang terjadi di dalam kawasan Pakualaman.
5
Kawasan Pakualaman dalam rencana induk (masterplan) kawasan cagar budaya dan benda cagar budaya Kota Yogayakarta tahun 2005 masuk ke dalam kawasan heritage. Sebagai kawasan heritage kawasan ini tentunya memiliki arti penting baik itu bagi ilmu pengetahuan maupun kebudayaan secara luas. Perkembangan wilayah pemukiman padat dan pesat yang terjadi di Kawasan Pakualaman saat ini menyebabkan banyak dari bangunan-bangunan, saranaprasarana, serta toponim-toponim yang berubah bahkan hilang sama sekali keberadaannya. Sebagai kawasan warisan budaya yang memiliki arti penting sejarah terutama bagi sejarah Kota Yogyakarta, hal ini tentunya sangat disayangkan terjadi.
Gambar 1.1 Kawasan Pakualaman 2003 (Sumber: Citra Satelit Google Maps 2003 dengan modifikasi oleh Ari Mukti Wardoyo Adi)
6
Perkembangan yang demikian pesat dimulai pada era tahun 70-an dimana gerakan pembangunan dengan Rencana Pembangunan Nasionalnya mengakibatkan berubahnya orientasi pembangunan, meningkatkan urbanisasi serta pertambahan penduduk yang begitu pesat mengakibatkan pertumbuhan pemukiman yang padat. Gambar 1.1 menunjukkan citra satelit Kawasan Pakualaman pada tahun 2003 dimana tingkat kepadatan kawasan yang didominasi oleh berjejalnya pemukiman penduduk maupun bangunan-bangunan penunjang lainnya. Lahanlahan kosong maupun lahan pertanian telah hilang, dan lebih banyak dipergunakan sebagai hunian.
Gambar 1..2: Kawasan Pakualaman 1925 (Sumber: Topograpische Dienst 1925 dengan modifikasi oleh Ari Mukti Wardoyo Adi)
Hal ini sangat berbeda dengan gambaran Kawasan Pakualaman di paruh pertama abad ke-20 masehi (tahun 1925). Seperti terlihat pada gambar 1.2, walaupun secara kuantitas tidak nampak secara langsung, namun penggunaan lahan
7
masih tidak sepadat pada tahun 2003, hal ini salah satunya ditandai dengan adanya areal persawahan di sebelah timur Pakualaman (sebelah timur Kali Buntung) yang saat ini telah menjadi pemukiman yang padat. Berdasarkan observasi langsung di Kawasan Pakualaman kemudian membandingkan dengan peta-peta lama berkaitan dengan Kawasan Pakualaman, maka nampak banyak perkembangan dan juga perubahan-perubahan yang terjadi. Perubahan tata ruangnya, baik itu penggunaan lahan, hilangnya bangunanbangunan lama serta muncunya bangunan baru, perubahan dan penambahan jalan merupakan perkembangan yang menarik untuk dikaji lebih mendalam.
B. Rumusan Masalah Morfologi atau bentuk tata ruang Kawasan Pakualaman saat ini terbentuk dalam proses waktu yang panjang. Dalam proses tersebut terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan maupun perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya. Penelitian ini merupakan kajian yang memfokuskan pada morfologi Kawasan Pakualaman dengan memperhatikan perkembangan serta perubahanperubahan yang terjadi sejak didirikannya Pura Pakualaman pada tahun 1813. Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 13. Bagaimanakah morfologi Kawasan Pakualaman sejak awal didirikannya hingga periode tahun 1942?
8
14. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi perkembangan dan perubahan morfologi Kawasan Pakualaman? Penelitian ini memfokuskan pada periode antara tahun 1830 hingga 1946. Batasan atau fokus penelitian didasarkan pada cakupan sumber sejarah yang dipergunakan pada penelitian ini. Batas 1830 dipakai berdasarkan peta dengan tahun tertua yang dapat ditemukan hingga saat ini. Sedangkan 1946 berdasarkan peta tahun 1946 yang sekaligus menandakan berakhirnya pengaruh langsung pemerintahan Kolonial Hindia Belanda berakhir pada tahun 1942-an ketika tentara Jepang menduduki Kota Yogyakarta. Tahun 1940-an, adalah masa-masa dimana aktivitas kolonial terhenti akibat adanya pendudukan Jepang, dengan asusmsi bahwasannya kegiatan perkembangan kawasan yang didasarkan atas kebijakan kolonial juga berhenti sehingga tidak menampakkan lagi adanya suatu perkembangan atau perubahan yang berarti. Batas awal tahun 1830 memang didasarkan atas pemakaian sumber sejarah tertua yang ada, namun tidak menutup kemungkinan pada masa-masa lebih awal tercakup dalam peta tahun 1830 tersebut. Hal ini dikarenakan penyusunan peta merupakan suatu proses yang panjang dan tidak berlangsung dalam waktu yang singkat. Sehingga terdapat kemungkinan besar pada kondisi dan situasi pada tahuntahun sebelum 1830 dapat tergambarkan pada peta tahun 1830 tersebut. Antara tahun 1813 hingga 1946 terdapat rentang waktu kurang lebih 133 tahun, dimana dalam masa-masa tesebut tentunya terjadi berbagai dinamika seperti pergantian raja atau pemimpin Pakualaman atau perkembangan dan perubahan
9
kebijakan kolonial yang diasumsikan memiliki dampak pada morfologi atau tata ruang Kawasan Pakualaman. Selain pembatasan waktu tema penelitian, tesis ini membatasi wilayah penelitian menekankan pada Kawasan Pakualaman wilayah kota, yang saat ini meliputi Kecamatan Pakualaman. Sedangkan wilayah Adikerto atau wilayah Pakualaman yang saat ini merupakan bagian dari Kabupaten Kulon Progo tidak termasuk dalam pembahasan dalam tesis ini.
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan di atas maka terdapat dua tujuan penelitian yaitu: 1.
Mengetahui perkembangan dan perubahan morfologi atau bentuk tata ruang Kawasan Pakualaman sejak awal didirikannya yakni 1813 hingga periode tahun 1946 sehingga nampak perkembangan atau perubahan-perubahan Kawasan dari waktu ke waktu.
2.
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dan perubahan morfologi Kawasan Pakualaman sejak awal didirikannya hingga periode tahun 1940-an.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, Pertama, manfaat teoritis yang terkait dengan sejarah perkembangan kawasan perkotaan khususnya perkembangan morfologi atau bentuk tata ruang Kadipaten Pakualaman
10
dari sejak awal berdirinya pada tahun 1813 hingga tahun 1946. Kedua, manfaat praktis yaitu merekonstruksi gambaran Kawasan Pakualaman pada masa lampau dan suatu masukan bagi stakeholder dalam penyusunan kebijakan dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan Kawasan Pakualaman sebagai urban artifact atau kawasan warisan budaya yang memiliki nilai sejarah yang penting bagi Kota Yogyakarta secara umum. Selain itu, Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan studi sejarah, terutama dalam kajian sejarah perkotaan.
E. Tinjauan Pustaka Jika dibandingkan dengan Kasultanan Yogyakarta, fokus perhatian, penelitian, atau
studi yang telah dilakukan berkenaan dengan Kadipaten
Pakualaman dapat dikatakan masih minim. Tidak dapat dipungkiri bahwasannya kompleksitas aspek-aspek dalam Kraton Yogyakarta lebih mendominasi dan diperhatikan daripada “junior”nya Kadipaten Pakualaman yang dibangun kurang lebih 60 tahun setelah Kraton Yogyakarta terbentuk. Jika sebagian besar khalayak berbicara atau memfokuskan perhatian pada Yogyakarta maka konotasinya adalah Kraton Yogyakarta. Hal ini tidak dapat dihindari karena Kraton Yogyakarta adalah “pusat” atau Ibukota Kota Yogyakarta. Dominannya perhatian terhadap Kraton Yogyakarta beserta aspekaspeknya, tidak berarti terabaikannya perhatian terhadap Kadipaten Pakualaman. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuka “sejarah” Kadipaten Pakualaman yang seakan-akan termaginalkan.
11
Tulisan tentang Pakualaman secara umum yang berkaitan sebagai satu kesatuan utuh Kota Yogyakarta bersama-sama dengan Kasultanan ditulis oleh Darmosugito (1956). Dalam tulisan ini disinggung secara ringkas tentang Kadipaten Pakualaman serta beberapa aspeknya seperti pendidikan, pemerintahan, dan kebudayaan. Juga karya Selo Sumarjan (2009) tentang perubahan sosial di Yogyakarta secara tidak langsung berkenaan dengan kawasan Pakualaman namun menggambarkan keadaan Kota Yogyakarta dan beberapa aspek sosial dan perubahan-perubahannya. Tulisan yang lebih terfokus pada wilayah Pakulaman ditulis oleh Filet (1985) tentang beberapa riwayat raja Pakualam serta sistem pemerintahannya. Kemudian Soedarisman Poerwokoesoemo (1985) menjelaskan secara runtun riwayat raja-raja Pakualaman sejak Paku Alam I sampai dengan Paku Alam VII baik dari biografi raja, silsilah, dan pembahasan beberapa aspek seperti pendidikan, pemerintahan, ekonomi, dan kondisi sosial secara ringkas. Cakrasumarta (1987) menulis silsilah raja-raja Pakualaman sejak Paku Alam I hingga Paku Alam VIII. Anggar Kaswanti (1996) mengkaji secara khusus tentang peranan politik Pangeran Notokusumo di Kadipaten Pakualaman. G Moedjanto (1996) melakukan kajian terhadap Kadipaten Pakualaman secara ringkas dan peran Pakualaman dalam terbentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri Margana (2000) membahas tentang permasalahan petani dan pajak dari sisi kajian sosial ekonomi di Kabupaten Pakualaman. Kemudian tulisan Saktimulya (editor) (2012) dalam Warnasari Sistem Budaya Kadipaten Pakualaman, membahas berbagai aspek Kadipaten Pakualaman, seperti permasalah tata pemerintahan, seni, naskah-naskah dan arsip, masakan
12
tradisional, serta berbagai adat istiadat yang ada dan dilangsungkan di Kadipaten Pakualaman. Tulisan Sri Margana dan kawan-kawan (2013) tentang berbagai aspek terutama pada masa pemerintahan Paku Alam V yang memerintah 1878-1900. Selain kajian yang berkaitan dengan riwayat raja, sistem pemerintahan, serta permasalahan sosial-ekonomi, Studi tentang Pakualaman juga dilakukan terkait dengan tinggalan-tinggalan fisik di wilayah kota Pakualaman dan luar kota Pakualaman. Ilmi albiladiyah (1985-1986) membahas tentang selayang pandang bangunan-bangunan yang ada di Puro Pakualaman beserta perkembangan dan fungsi-fungsinya. Sambung Widodo (1989) membahas fungsi bangunan di Puro Pakualaman serta perbandingannya dengan Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, dan Kadipaten Mangkunegara. Kemudian Irna Saptaningrum (1994) melakukan studi tentang perkampungan lama di wilayah kota Pakualaman. Yuni Budi Astuti (2003) membahas tentang perkembangan ragam hias di Pura Pakualaman yang mengkaji secara khusus tentang keragaman, fungsi, dan maknanya. Kajian di wilayah luar kota Pakualaman tertumpu pada latar belakang dibangunnya Komples Makam Pakualaman Girigondo di Kulon Progo dilakukan oleh Swedi Hananta (2001). Bekaitan dengan peninggalan fisik di Kawasan Pura Pakualaman yang memiliki nilai sejarah kajian komprehensif telah dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyaqkarta (2005) terutama penetapan serta pengharkatan wilayah dan bangunan sebagai basis rencana induk (masterplan) Kawasan Cagar Budaya dan Benda Cagar Budaya.
13
Selain sisi fisik bangunannya, studi terhadap Pakualaman juga nampak pada perkembangan seni dan sastra serta pendidikan. Sebuah artikel tentang perkembangan tradisi sastra di Pakualaman ditulis oleh Ki Hadjar Dewantara (2003) menunjukkan adanya tradisi seni dan sastra yang kuat di Pura Pakualaman. Studi tentang pembentukan dan perkembangan Tari Bedhaya di Pura Pakualam ditelaah oleh Kusmayati (1988). Studi tentang pewayangan di Pura Pakualaman dibahas oleh Agung K. Pradipta yang secara spesifik menelaah seni hias pada atribut kerisnya. Sisi Pendidikan dalam Kadipaten Pakualaman dibahas oleh Sedianto (1983) menelaah tentang kerabat pakualaman dalam aspek pendidikan pada tahun 1864-1931. Karya-karya sastra yang dihasilkan oleh pujangga-pujangga sastra Pakualaman, dimana sebagian besar karya-karya tersebut tersimpan di perpusatakaan Pura Pakualaman, telah menjadi inspirasi kajian kesusastraan oleh beberapa peneliti. Sekar Damarjati (2011) dan Ike Niken Salindri (2012) menelaah Babad Palupyan mengenai penamaan sentana di Pura Pakualaman serta deskrispi ekspresi cinta dalam suntingan babad. Novi Tesa Artha (2011) mengkaji Serat Tladha Slawatan berkaitan dengan tokoh pandawa. Ilma Frisky (2011) mengkaji pesan-pesan moral dalam naskah Asthabrata, Pancadra, dan Saha dongeng kancil. Berdasarkan tinjauan pustaka di atas, kajian ilmiah yang menekankan pada sejarah perkembangan morfologi atau bentuk tata ruang Kawasan Pakualaman sejak didirikannya pada tahun 1812 hingga periode 1942 belum pernah dilakukan. Disamping itu penelitian ini mempergunakan data peta-peta lama Kota Yogyakarta dimana didalamnya terdapat gambaran kawasan-kawasan termasuk Kawasan
14
Pakualaman. Kajian mengenai sejarah morfologi kawasan dengan mempergunakan peta-peta lama umumnya dilakukan oleh para arsitek atau perencana tata kota, seperti dilakukan oleh Ikaputra (1995) mengenai sejarah ndalem-ndalem pangeran di Yogyakarta serta Markus Zand (2008) tentang kawasan Malioboro dan Kauman di Yogyakarta.
F. Landasan Teori Kota adalah lingkungan binaan manusia yang didalamnya segala aktivitas manusia berlangsung baik sosial, ekonomi, budaya, politik maupun pertahan dan keamanan. Kota dicirikan dengan adanya heterogennya struktur-struktur yang ada dan senantiasa selalu berubah mengikuti perkembangan waktu. Sebagai binaan manusia, kota tidaklah dibangun dalam masa yang singkat, namun dalam waktu yang panjang dan pertumbuhan atau perubahan-perubahan didalamnya sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek yang bersumber dari jamaknya aktivitas manusia yang menaunginya. Pertumbuhan dan perubahan-perubahan pada kota akibat dari jamaknya aktivitas manusia dapat diamati melalui keragaman bangunan, sarana dan prasarana lainnya yang dibangun untuk mendukung aktivitas manusia tersebut. Wujud akumulasi aktivitas manusia dan berbagai rupa bangunan nampak sebagai adanya rupa-wajah kota atau sering disebut sebagai bentuk ruang kota atau sering dikenal dengan istilah morfologi kota atau kawasan. Kata morfologi berasal bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yakni morphos yang berarti bentuk dan logos yang berarti ilmu. Jadi morfologi adalah
15
ilmu tentang bentuk. Jika dikaitkan dengan kota atau sebuah kawasan maka morfologi berkaitan dengan bentuk-bentuk fisik dari kota atau kawasan. Morfologi merupakan salah satu pendekatan yang sering dipergunakan dalam bidang geografi, arsitektur dan perencanaan kota, khususnya untuk menelaah produk bentuk-bentuk fisik kota/kawasan dengan tujuan pengelolaan dan perancangan tata ruang. Morfologi merupakan pendekatan untuk memahami bentuk logis sebuah kota/kawasan sebagai produk perubahan sosio-spatial (Weishaguna, 2005: 60).
Pendekatan morfologi tidak saja berguna untuk
menjelaskan perubahan kota/kawasan, tetapi juga berkaitan dengan ekspresi ruang atau pola tata ruang kota serta eksistensi ruang perkotaan yang diamati berdasarkan penampilan fisiknya (Zaidulfar, 2002: 18). Morfologi tidak saja berhubungan dengan wujud fisikal semata, tetapi juga menerangkan fenomena-fenomena yang melatarbelakangi terjadinya, ideologi, serta faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya bentuk-bentuk tersebut (Zaidulfar, 2002: 20). Dengan kata lain, cakupan pendekatan morfologi tidak terbatas pada aspek fisiknya saja, melainkan aspek-aspek non-fisik (sejarah, politik, sosial, ekonomi, militer, atau kebudayaan). Morfologi juga menelaah sejarah terbentuknya pola tata ruang, mempelajari perkembangan suatu kota/kawasan dari mulai awal terbentuknya hingga bentuknya yang paling kini, sehingga akan didapatkan gambaran secara diakronis mengenai sejarah pembentukan, perkembangan, dan perubahan suatu kota/kawasan dari bentuk-bentuk fisiknya.
16
Dalam morfologi, bentuk fisik kota atau kawasan tidak terbentuk serta merta begitu saja. Suatu kota atau kawasan terbentuk dari jalinan atau penggabungan elemen atau unsur-unsur fisik yang beragam. Unsur-unsur fisik kota adalah basis dari terbentuknya kota dan menjadi dasar pendekatan morfologi. Dalam kajian morfologi, unsur-unsur fisikal penyusun bentuk kota disebut sebagai unsur morfologi kota atau kawasan. Unsur morfologi sebagai dasar pengamatan morfologi kota beragam antara satu ahli dengan ahli yang lain, namun secara garis besar kajiannya menekankan pada beberapa aspek (Sabari Yunus, 2012: 107-114; Weisguna, 2005: 56-67) yakni: 1.
City/Area Shape atau Ekspresi keruangan, yakni bentuk-bentuk kota atau kawasan dilihat secara makro, baik itu bentuk-bentuk geometri seperti bujur sangkar, persegi panjang, lingkaran, bentuk tidak berpola, atau bentuk terbelah serta berbagai bentuk lainnya. Termasuk dalam unsur ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya bentuk-bentuk kota atau kawasan seperti faktor geografis atau bentang lahan, sejarah sosio-ekonomi, dan regulasi serta kebijakan-kebijakan.
2.
Land use atau tata guna lahan yakni pengaturan mengenai penggunaan lahan baik itu untuk kawasan bangunan atau kawasan terbuka/ tak terbangun.
3.
Linkage atau pola-pola jalan, yakni garis-garis semu yang menghubungkan antara elemen satu dengan lainnya, kawasan dengan kawasan lainnya dalam bentuk jaringan jalan atau ruang terbuka berbentuk segaris.
4.
Buildings atau bangunan-bangunan, yakni tipe-tipe bangunan, gaya arsitektur, serta fungsi-fungsinya.
17
JIka unsur-unsur morfologis di atas diamati secara individual akan didapatkan informasi mengenai karakteristik ataupun tipologi unsurnya secara mikro. Namun jika unsur-unsur tersebut ditelaah sebagai satu kesatuan maka akan diperoleh gambaran hubungan antar unsurnya sehingga dapat diketahui karakteristik sebuah kota atau kawasan. Dengan kata lain, unsur-unsur morfologi merupakan dasar analisa dalam kajian morfologi kota. Pendekatan morfologi dapat ditelaah baik secara sinkronis maupun diakronis. Kajian secara sinkronis menekankan pada pengamatan dan analisa unsurunsur morfologi untuk melihat bentuk kota pada satu waktu. Kajian ini pada umumnya dipakai untuk mengevaluasi tata kota kekinian untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan tata ruang yang ada. Kajian secara diakronik menekankan pada pengamatan dan analisa terhadap unsur-unsur morfologi kota atau kawasan dari waktu ke waktu. Kajian ini melihat proses perkembangan kota atau kawasan sejak awal terbentuknya hingga saat ini. Selain dipakai sebagai dasar evaluasi problematika serta perancangan tata ruang, sudut pandang diakronis akan menghasilkan sejarah perkembangan kota dan proses-proses yang terjadi didalamnya, hasilnya adalah identitas sebuah kota atau kawasan. Morfologi kota atau kawasan dan unsur-unsur morfologinya secara visual dapat diamati dilapangan maupun melalui peta. Peta pada dasarnya adalah gambaran atau representasi keletakan objek-objek di muka bumi pada sebuah bidang datar (2 dimensi) dengan skala atau perbandingan yang diperkecil. Dengan
18
demikian objek-objek yang ada di dalam peta merupakan gambaran sesungguhnya yang ada di muka bumi. Peta berkaitan dengan objek-objek di muka bumi oleh karenanya berkaitan dengan aspek keruangan. Dalam kajian keruangan dikenal salah satu teknik yang disebut teknik overlay (tumpang susun). Teknik overlay merupakan salah satu analisa dasar dalam Kajian Sistem Informasi Geografis (SIG) atau sering dikenal dengan penyebutan lain Geographical Information System (GIS). SIG adalah suatu sistem untuk mengumpulkan dan menyimpan, mengelola, menganalisis, dan menyajikan sekumpulan data keruangan yang memiliki referensi geografis (geographic reference) atau acuan lokasi (Susetyo, 2007: 81-102). Secara ringkas SIG memiliki proses kajian berupa input (mengumpulkan, menyimpan (registering dan digitasi)), mengelola (mengelompokkan hasil digitasi), menganalisis ( seperti overlay, buffer, network, spatial joint, dll), dan output atau presentasi dengan salah satu bentuknya berupa peta tematik (Susetyo, 2007: 81-102). Teknik overlay adalah teknik menumpang tindihkan beberapa peta (peta kota yogyakarta) yang berbeda tahun pembuatannya. Hasil overlay ini diharapkan memberikan gambaran secara visual mengenai perubahan, perkembangan Kota Yogyakarta.
G. Sumber Data Penelitian ini berkaitan dengan sejarah Kawasan Pakualaman dari tahun 1830 hingga 1946 dengan tema perkembangan kawasan melalui pendekatan
19
morfologi kota atau kawasan serta analisis spasial dengan menggunakan teknik overlay GIS. Data yang digunakan terutama adalah peta-peta lama yakni peta sketsa atau gambar artis yang terdapat dalam manuskrip-manuskrip dan peta rupa bumi serta peta tematik yang dikeluarkan oleh Topograficshe Dients, Batavia. Data berupa peta-peta Kota Yogyakarta lama dipergunakan untuk melihat perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi. Penelitian ini memakai delapan (8) peta lama, yakni: 1.
Peta Kota Yogyakarta tahun 1830 (Platte grond van de hoofdplaats Jogjakarta: omstreeks 1830). Tanpa skala. Sumber: Dokumen KITLV, Netherlands. Peta berukuran 63 x 45 cm.
2.
Peta Kraton Yogyakarta dan daerah sekitarnya sekitar tahun 1833 (Platte grond van de Benteng Kraton en de verdere Kota Jogjakarta ± 1833). Tanpa skala. Sumber: Dokumen KITLV, Netherlands. Peta berukuran 70,5 x 49,5 cm dalam sebuah manuskrip yang ditulis oleh G.P Rouffaer.
3.
Peta Situasi Kota Jogjakarta Tahun 1833 (Situatie der Ommestreeken van Djocjakarta – 1833). Tanpa skala. Sumber: Dokumen KITLV, Netherlands.
4.
Peta Kota Yogyakarta 1872 (Kaart van de Hoofdplaats Djokjakarta en Omstreken/ Topographisch Bureau, Batavia 1872). Skala 1: 20.000. Sumber: Dokumen KITLV, Netherlands. Peta dengan ukuran 32,5 x 32,5 cm.
5.
Peta Kota Yogyakarta tahun 1903 (Platte grond van de hoofdplaats Jogjakarta 1903). Tanpa skala. Sumber: Dokumen KITLV, Netherlands. Peta berukuran 43 x 35 cm dalam sebuah manuskrip.
20
6.
Peta Kota Yogyakarta tahun 1925 (Jogjakarta en Omstreken, Topografische Dients. Weltevreden 1925) Skala 1: 10.000. Sumber: Dokumen KIT. Netherlands.
7.
Peta Kota Yogyakarta tahun ± 1927 (Hoofdplaats Djokjakarta, Aangeboden door NILLMIJ agenschap Djokjakarta). Tanpa skala. Sumber: Dokumen KIT. Netherlands.
8.
Peta Kota Yogyakarta tahun 1946 (Jogjakarta Maps, Survey Production Centre South East Asian; Printed in Kodalines by 71 Reproduction Section RE June 1946). Skala 1: 10.000. Sumber: Dokumen KITLV. Netherlands. Peta berukuran 41,4 x 41 cm. Informasi-informasi yang digambarkan di dalam peta-peta tersebut di atas
tidak sepenuhnya memberikan penjelasan mengenai situasi yang berkembang pada saat itu. Oleh karena itu, penelitian ini juga mempergunakan data yang mengandung informasi mengenai tata ruang serta peristiwa-peristiwa yang terjadi Kawasan Pakualaman baik itu arsip-arsip Belanda atau naskah tradisional Jawa. Selain menggunakan arsip atau naskah, Observasi di lapangan juga dilakukan terhadap jejak-jejak fisikal atau tinggalan baik itu bangunan, struktur dengan fungsi tertentu, serta toponimi-toponimi di Kawasan Pakualaman. Tujuannya adalah untuk memperbandingkan antara informasi yang disajikan di peta dengan tinggalan fisiknya di dunia nyata. Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan Kawasan Pakualaman juga dipergunakan untuk menambahkan informasi baik itu secara langsung berkaitan dengan perkembangan atau perubahan Kawasan, atau secara
21
tidak langsung perkembangan atau perubahan yang secara umum terjadi di Kota Yogyakarta namun memiliki dampak bagi perkembangan dan perubahan yang terjadi pada Kawasan Pakualaman.
H. Cara Penelitian Penelitian dilakukan melalui langkah-langkah yang disusun agar dapat memecahkan permasalahan penelitian yang diajukan. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Studi Pustaka. Studi Pustaka dilakukan untuk memperoleh konsep, teori atau pendekatan serta data yang diperlukan dalam penelitian. Dalam penelitian ini teori tentang morfologi kota dan analisa spasial dengan teknik overlay dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan pendekatan yang sangat diperlukan dalam penelitian. Pencarian data seperti peta-peta kuno, arsip, dan naskah juga merupakan bagian dari studi pustaka.
2.
Pengumpulan Data. Pengumpulan data dilakukan meliputi pengumpulan data kesejarahan dan arkeologis. Data kesejarahan meliputi peta-peta kuno sebagai data utama, kemudian arsip dan naskah. Sumber-sumber tersebut diteliti otensitas dan kredibilitasnya kemudian dilakukan interpretasi dan dikaitkan dengan sumber-sumber pustaka untuk disintesakan. Data arkeologis meliputi observasi terhadap tinggalan-tinggalan fisik berupa bangunan, artefak, toponim, lingkungan, serta unsur tata ruangnya lainnya yang dipergunakan sebagai data pembanding unsur tata ruang yang ada di peta-peta kuno, atau menganalisa kredibilitas penggambaran dalam peta.
22
3.
Pengolahan Data. Pengolahan data dilakukan terhadap data peta kuno dengan menggunakan proses kerja dalam SIG dengan tujuan agar dapat memisahkan unsur-unsur morfologi kota atau kawasan sehingga dapat di tumpang susunkan ke dalam peta dasar atau citra satelit sebagai peta pembanding kondisi tata ruang. Proses pengolahan data menggunakan hardware berupa personal computer (PC) desktop dan juga mobile computer (Notebook) serta software SIG, yakni ArcGis 10.0. (ArcGis adalah software yang dibuat secara khusus untuk keperluan analisa SIG). Proses utamanya adalah langkah registering dan digitalisasi (proses input) peta-peta kuno agar peta-peta tersebut memiliki georefrence atau acuan lokasi digital yang sama berupa titik atau poligon agar dapat dianalisa unsur keruangannya dengan teknik overlay dengan menggunakan software ArcGis. Peta-peta lama yang telah memiliki georefrence dapat dibandingkan dengan peta apapun dengan mudah termasuk peta atau citra satelit Kawasan Pakualaman yang lebih modern. Adapun proses pengolahan data dapat dilihat pada bagan alur pengolahan data dibawah ini.
23
Gambar 1 0.3 Bagan Alur proses analisa overlay peta-peta lama Kawasan Pakualaman. (dibuat oleh Ari Mukti Wardoyo Adi)
4.
Analisa Data. Analisa data merupakan proses penelaahan unsur morfologi kota atau kawasan Pakualaman secara terperinci baik itu city shape, linkage, buildings, maupun land use. Pendeskripsian unsur-unsur tersebut dalam kurun
24
waktu yang tertera dalam peta maupun perbandingannya dengan citra satelit atau peta-peta lainnya, sehingga akan didapatkan penambahan atau penghilangan unsur-unsur yang ada. Melalui perbandingan tersebut juga akan diperoleh proses atau sejarah perkembangan kawasan dari waktu ke waktu. 5.
Sintesa. Tahapan sintesa merupakan usaha untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan dan perubahan yang terjadi di Kawasan Pakualaman, dengan mengamati fakta-fakta sejarah penting yang terjadi dalam kurun waktu penelitian yakni sejak 1812 sampai dengan 1942. Melalui sintesa ini akan diperoleh kesimpulan penyebab adanya perkembangan dan perubahan yang terjadi.