BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia memiliki bahasa, sedangkan binatang tidak memiliki bahasa (Verhaar, 1996: 413). Bahasa adalah hal penting yang membedakan manusia dari binatang. Dalam kenyataannya bahasa membuka peluang yang sangat luas untuk berbagai tipe-tipe pengulangan, baik pengulangan yang bersifat leksikal maupun gramatikal. Sering muncul anggapan bahwa pengulangan (repetition atau takrār, selanjutnya disebut pengulangan) adalah sesuatu yang tidak ada gunanya. Pengulangan terkadang juga menunjukkan keterbatasan perbendaharaan bahasa (Leech, 1969: 76 dan 79). Sejalan dengan itu, pengulangan dalam bahasa Arab juga dianggap sebagai salah satu faktor yang menyebabkan sebuah ungkapan bernilai kurang baik, meskipun pengulangan itu sendiri tidak sampai mengurangi nilai oratori (As-Suyūthy, 1986: 2/150). Di sisi lain, menurut kebanyakan kalangan Islam, pengulangan justru menjadi kebiasaan orang-orang Arab dalam perkataannya untuk menguatkan doa-doa atau menyampaikan harapan mereka dan sewaktu AlQur‟an turun dengan menggunakan bahasa mereka, bahasa Arab, pengulangan justru dianggap sebagai salah satu sisi i‟jāz (kemukjizatan) atau kelebihan AlQuran yang tidak dapat mereka tandingi (Az-Zarkasyy, 1991: 3/9). Dalam pandangan kebanyakan kalangan Muslim, pengulangan dalam AlQuran dianggap sebagai bagian dari keindahan bahasa yang dimiliki Al-Quran terutama apabila saling memiliki keterikatan satu dengan yang lainnya (Az1
Zarkasyy, 1991: 3/9). Sejalan dengan pandangan ini, Leech (1969: 76) juga melihat bahwa pengulangan dalam bahasa tentunya memiliki tujuan-tujuan yang artistik. Keraf (1984: 127) juga berpandangan bahwa pengulangan memiliki nilai yang dianggap tinggi dalam oratori, oleh karena itulah para orator menciptakan bermacam-macam pengulangan yang pada prinsipnya didasarkan pada tempat kata yang diulang dalam baris, klausa, atau kalimat. Di dalam ilmu Balāghah, pengulangan (takrār) merupakan salah satu wujud dari al-ithnāb, yaitu cara mengungkapan ide/makna dalam pikiran seseorang yang disampaikan dengan cara panjang lebar. Al-Hāsyimy (1999: 201) menyebutkan bahwa cara mengungkapkan ide dalam berbahasa dibagi menjadi tiga, yaitu al-ījāz (meringkas), al-musāwah (menyetarakan), dan al-ithnāb (memperpanjang). Pengulangan (takrār) merupakan salah satu wujud dari alithnāb (memperpanjang). Tiga macam cara mengungkapkan ide tersebut digunakan sesuai dengan kondisi lawan bicara dan konteks pembicaraan agar terbentuk bahasa yang bernilai oratorik. Keberadaan pengulangan dalam bahasa Arab sebagaimana di atas tidak hanya pada Bahasa Arab Klasik (Classical Arabic) belaka, tetapi bertahan hingga zaman modern ini. Holes (1995: 305-332) melihat bahwa pengulangan merupakan salah satu aspek yang berkembang dalam Bahasa Arab Modern (Modern Standar Arabic) yang masih cenderung bernilai “puitis”. Sebagai kitab suci berbahasa, diakui atau tidak, Al-Quran memiliki ciriciri yang dimiliki oleh teks bahasa pada umumnya, khususnya bahasa Arab. Termasuk ciri-ciri itu adalah pengulangan. Contoh paling mudah ciri pengulangan 2
ini adalah pengulangan bunyi yang membentuk prosa berima (rhymed prose) dalam Al-Quran. Holes (1995: 14-15) menjadikan prosa berima sebagai ciri-ciri yang dimiliki bahasa Al-Quran, yaitu ciri rima dalam bentuk pengulangan bunyi yang sama di akhir Ayat-Ayat Al-Quran. Prosa berima yang merupakan pengulangan bunyi fonem atau sukukata di akhir Ayat Al-Quran hanyalah salah satu bentuk pengulangan di dalam AlQuran. Dalam kenyataannya, selain pengulangan bunyi, pengulangan satuansatuan kebahasaan lain juga banyak sekali terjadi di dalam Al-Quran, seperti pengulangan leksikal dan gramatikal. Sebuah fakta yang tidak terbantah adalah pengulangan satuan bahasa yang lebih besar, seperti pengulangan Ayat ي آَ ََل ِء ِّ َ فَبِأ َربِّ ُك َما تُ َك ِّذبَا ِن/fa bi ayyi ālāi rabbikumā tukaddzibān/ `Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan` dalam Q.S. Ar-Racmān [55] yang terjadi hingga puluhan kali. Bahkan, topik-topik tentang ketauhidan, kerasulan, eskatologi, pahala dan hukuman, merupakan topik yang sering diulang, baik pada level makro (Al-Quran) atau pada level mikro (Surat) (Raof, 2004: 204). Sebagaimana dalam bahasa-bahasa yang lain, kalangan Islam meyakini bahwa pengulangan-pengulangan dalam Al-Quran tersebut tentu tidak terjadi begitu saja, melainkan karena ada tujuan untuk memberikan fungsi-fungsi tertentu (As-Suyūthy, 1986, Az-Zarkasyy, 1991, dan Al-Qaththān, 2000: 123). Dalam ilmu Balāghah, tujuan atau fungsi pengulangan dijelaskan cukup panjang lebar. Hassan (1993: 109) menjelaskan bahwa salah satu tujuan atau fungsi pengulangan, terutama pengulangan leksikal, adalah memberikan kepaduan atau kohesi dalam suatu ungkapan. 3
Surat Al-Baqarah [2] merupakan Surat yang letaknya berada di bagian awal-awal teks Al-Quran seperti yang terlihat dalam Mushhaf. Selain itu, Q.S. AlBaqarah [2] dalam pandangan umat Islam merupakan Surat yang sangat penting. Umat Islam menganggapnya sebagai Surat kebanggaan sekaligus puncak dari seluruh Surat-Surat Al-Quran (Muslim, 2010: 20-21). Dari segi kuantitasnya, Q.S. Al-Baqarah [2] adalah Surat yang paling panjang, memiliki Ayat-Ayat yang juga panjang-panjang, bahkan di dalamnya terdapat Ayat terpanjang dalam seluruh AlQuran.
1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas dapat diketahui bahwa pengulangan dalam AlQuran adalah kenyataan yang masih menuntut penelitian lebih jauh untuk menjelaskan dan menganalisisnya, terutama berkaitan dengan bentuk dan fungsinya sesuai ilmu bahasa yang lebih menyeluruh. Keberadaan Q.S. AlBaqarah [2] tersebut juga menarik untuk dilakukan penelitian. Berdasarkan keterangan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ragam bentuk pengulangan yang terdapat di dalam AlQuran (Q.S. Al-Baqarah [2]) sesuai satuan-satuan kebahasaan (lingual units) dalam ilmu bahasa (linguistik) serta bagaimana tipe-tipe bentuk satuan-satuan pengulangan tersebut 2. Mengapa Al-Quran (Q.S. Al-Baqarah [2]) menggunakan pengulangan di dalamnya; apakah keberadaan semua pengulangan itu terjadi karena 4
sistem bahasa ataukah mempunyai fungsi; jika mempunyai fungsi, maka apakah fungsi-fungsi tersebut Permasalahan pertama dalam rumusan masalah ini mempertanyakan bentuk-bentuk pengulangan yang ditemukan di dalam Surat Al-Baqarah [2]. Hal ini akan dijawab dengan mengeksplorasi semua ragam pengulangan di dalam Surat
Al-Baqarah
[2]
lalu
menganalisis
semua
ragam
itu
untuk
mengklasifikasikannya dalam bentuk satuan-satuan kebahasaan ilmu bahasa melalui berbagai aspeknya, baik aspek bunyi; aspek gramatikal yang mencakup aspek morfem, kata, frasa, dan kalimat; dan aspek topik atau tema dalam teks Surat Al-Baqarah [2]. Permasalahan kedua mempertanyakan fungsi keberadaan bentuk-bentuk pengulangan seperti yang ditemukan melalui permasalahan pertama. Apakah keberadaan pengulangan itu memang sudah menjadi bagian dari sistem struktur bahasa Arab ataukah disebabkan fungsi yang menjadi tujuan atau alasan pengulangan, baik fungsi itu berkaitan dengan sistem bahasa itu sendiri, balāghah (retorika), maupun gaya bahasa (stilistika). Apakah fungsi-fungsi itu dan bentuk pengulangan apa saja yang memiliki fungsi-fungsi tersebut.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Sebuah penelitian harus dilakukan berdasarkan alasan yang jelas. Berdasarkan penjelasan di dalam Latar Belakang dan Rumusan Masalah yang telah disebutkan, maka penelitian tentang pengulangan dalam Q.S. Al-Baqarah [2]
5
ini dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan dan untuk memberikan manfaat bagi masyarakat.
1.3.1 Tujuan Penelitian Secara teoretis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan teori baru yang berkaitan dengan ilmu kebahasaan dan pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mempermudah penafsiran Al-Quran terutama di dalam Q.S. Al-Baqarah [2]. Penelitian ini bertujuan memformulasikan kajian Al-Quran dengan kajian kebahasaan yang berkaitan langsung dengan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, yaitu untuk mengembangkan tema pengulangan yang menjadi pembahasan dalam studi Al-Quran dan juga paradigma keilmuan bahasa dan sastra. Pengembangan ini dilakukan dengan memformulasikan teori linguistik dalam mengklasifikasikan berbagai ragam pengulangan dalam Q.S. Al-Baqarah [2].
Selain
itu,
pengembangan
pengulangan
berkaitan
fungsi-fungsinya
berdasarkan klasifikasi satuan kebahasaan sekaligus dengan melihat beragam fungsi pengulangan dalam linguistik, gaya bahasa, dan tafsir Al-Quran. Penelitian ini juga merupakan usaha pengembangan dalam kajian linguistik Arab dan studi Al-Quran. Dalam kajian linguistik Arab, Al-Quran merupakan sumber penting bahasa Arab yang mampu mempertahankan eksistensinya hingga bertahan dan menyebar seperti sekarang ini (Holes, 1995: 14). Dengan demikian, penelitian terhadap pengulangan dalam Q.S. Al-Baqarah [2] ini akan mejadi prototipe pengulangan yang lebih terperinci dari pengulangan yang sudah ada selama ini. Dalam studi Al-Quran, khususnya Surat Al-Baqarah 6
[2], pengulangan tidak lagi harus selalu dipahami sebagai pengulangan Ayat, potongan Ayat, atau pengulangan redaksi saja, melainkan pengulangan yang bersifat hierarki linguistik berupa pengulangan satuan-satuan kebahasaan (lingual units). Secara praktis, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi beragam pengulangan dalam Q.S. Al-Baqarah [2] dan menganalisisnya sesuai hierarki satuan-satuan linguistik (lingual units) dalam tataran-tataran tertentu sebagai batasan dalam pengumpulan data sebagai tataran minimal yang menunjukkan keragaman bentuk dan fungsi pengulangan kemudian mengklasifikasikan bentukbentuk itu dalam tipe-tipe bentuk pengulangan yang bersifat fonologis, gramatikal, dan tekstual. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menemukan berbagai fungsi-fungsi pengulangan dalam Q.S. Al-Baqarah [2] dan efek-efek kebahasaan yang muncul bersamaan dengan pengulangan satuan kebahasaan, baik berkaitan dengan sistem bahasa, gaya bahasa, maupun retorika bahasa.
1.3.2 Manfaat Penelitian Penelitian ini memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya umat Islam, dalam membantu mempermudah dalam memahami dan menafsirkan Q.S. Al-Baqarah [2]. Selanjutnya, masyarakat juga dapat memanfaatkan hasil penelitian untuk memahami bermacam-macam bentuk pengulangan dan fungsifungsinya yang terdapat di dalam teks Surat-Surat Al-Quran yang lain.
7
Melalui penelitian ini, masyarakat tidak akan menganggap pengulangan sebagai keterbatasan dan kekurangan dalam berbahasa melainkan membawa makna dalam bahasa dan sebagai sebuah gaya yang tetap dipertahankan. Di sisi lain, penelitian ini dapat merubah paradigma sebagian kalangan yang masih raguragu menggunakan pendekatan linguistik terhadap teks suci Al-Quran yang sakral. Bagi masyarakat pengkaji Tafsir, pembahasan pengulangan topik-topik Surat Al-Baqarah [2] dalam penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam upaya dan proses untuk memahami Al-Quran, khususnya Surat Al-Baqarah [2], secara lebih menyeluruh. Dengan kata lain, sebagian penelitian ini merupakan salah satu upaya penafsiran atau pemahaman terhadap sejumlah topik-topiknya secara menyeluruh, karena secara langsung, penelitian ini terkait dengan penafsiran, khusunya penafsiran dengan metode yang belakangan ini dikenal dengan istilah metode Tafsir Maudhū‟ī atau Tafsir Tematik.1 Bagi masyarakat pengkaji bahasa Arab, temuan penelitian ini dapat menjadi modal dalam penguasaan terhadap stuktur-struktur bahasa Arab, khususnya struktur yang memiliki pengulangan satuan kebahasaan sehingga mampu mengetahui struktur bahasa Arab yang menggunakan pengulangan sesuai dengan sistem yang berlaku. Temuan-temuan penelitian ini juga bermanfaat dalam memperkaya pilihan-pilihan dalam berbahasa Arab, yaitu dengan tersedianya pilihan susunan yang mempergunakan pengulangan di dalam
1
Tafsir Maudhū`ī adalah penafsiran yang membahas Ayat-Ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan
tema atau judul yang telah ditetapkan sekaligus dengan memperhatikan Asbabun-Nuzul, kosa kata dan sebagainya sebagaimana yang dijelaskan langkah-langkahnya di sana (Al-Bidāyah Fī At-Tafsir Al-Maudhū‟i, 1977: 52)
8
strukturnya atau susunan yang tidak mempergunakannya sehingga terbentang pilihan-pilihan yang variatif bagi para pengguna bahasa Arab dalam tindak berbahasa mereka.
1.4 Tinjauan Pustaka Sebagai kitab suci umat Islam di seluruh penjuru dunia, Al-Quran telah dikaji oleh banyak sekali para ahli dan pemikir dari berbagai sudutnya, termasuk tentang pengulangan di dalam Al-Quran. Akan tetapi, kajian-kajian tersebut belum perhatian terhadap apa yang menjadi permasalahan dan tujuan dalam penelitian ini.
1.4.1 Pendekatan Mutasyābih 1.4.1.1 Al-Iskafy (W.1029 M) dan Al-Kirmāny (W. 1107 M) Pada awalnya, perhatian kajian tentang pengulangan (takrār) dalam AlQuran adalah untuk mengumpulkan Ayat-Ayat atau bagian Ayat yang mirip dalam segi redaksinya, seperti yang dilakukan oleh Al-Iskafy (w. 1029 M) dalam “Durratut-Tanzīl wa Ghurratut-Ta‟wīl”. Pembahasannya tentang takrār dalam Al-Quran difokuskan untuk menjelaskan pengulangan Ayat dan perubahan atau perbedaannya yang bernuansa retorika (balāghah). Al-Kirmāny (w. 1107 M) dalam “Asrārut-Takrār fī Mutasyābihil-Qur‟ān” juga telah melakukan pengumpulan Ayat-Ayat atau bagian Ayat Al-Quran yang memiliki kemiripan (mutasyābih) dalam Al-Quran. Dalam karyanya ini, AlKirmāny menekankan terhadap perbedaan yang terjadi antara Ayat yang terulang 9
dan Ayat pengulang lalu memberikan alasan retorik tentang perbedaan-perbedaan dalam pengulangan itu jika ditemukan. Pengulangan (takrār) dalam pendekatan ini lebih berbentuk pengulangan kisah-kisah (takrār qashash) dengan perubahan yang bersifat retorika seperti mendahulukan (taqdīm, mengakhirkan (ta`khīr), penyebutan (dzikr), dan penghilangan (hadzf) yang dilakukan dengan membandingkan antara Ayat dengan Ayat lain.
1.4.1.2 Al-Math’iny (1992) dan As-Sāmirā’iy (2006) Pendekatan mutasyābih, yaitu dengan mengumpulkan Ayat-Ayat yang memiliki kemiripan ini terus berlanjut hingga masa-masa sekarang, seperti yang dilakukan oleh Al-Math‟iny (1992), dan As-Sāmirā‟iy (2006) dalam sejumlah karyanya. Meskipun tidak hanya murni untuk mengumpulkan Ayat atau bagian Ayat yang sama dan disusun sesuai surat-surat Al-Quran, namun analisisnya terhadap kemiripan Ayat dan perubahannya tetap menggunakan bernuansa retorika (balāghah) khususnya dalam menjelaskan alasan terjadinya perubahanperubahan redaksi di dalam Ayat-Ayatnya yang berupa (taqdīm, mengakhirkan (ta`khīr), penyebutan (dzikr), dan penghilangan (hadzf). Karya-karya yang disebutkan di atas belum memberikan perhatian terhadap besar-kecil satuan kebahasaan yang diulang. Pengulangan (takrār) yang dimaksudkan mungkin berupa satu kalimat atau satu topik dan bahkah tidak dijelaskan. Pembahasan dimaksudkan untuk mengumpulkan Ayat-Ayat Al-Quran
10
yang mempunyai kemiripan dan menekankan terhadap perbedaan-perbedaan di antara Ayat yang terulang dan Ayat yang menjadi pengulang. Dalam sebuah penelitian, Atabik (2006) menulis telah berusaha menulis penelitian berjudul “Repetisi Redaksi Al-Quran”. Pengulangan yang dimaksud juga masih berkisar pada pengulangan redaksi Ayat yang sama atau yang mirip. Bentuk pengulangan redaksi yang ditemukan mencakup pengulangan kisah para nabi, penciptaan manusia, dan anjuran bertakwa. Meskipun penelitian ini telah mengelompokkan pengulangan menjadi: pengulangan lafaz (isim, fi‟il, isim fi‟il, huruf) dalam satu Ayat; pengulangan lafadz pada Ayat yang berbeda; dan pengulangan Ayat di beberapa Surat, tetapi pengelompokan itu tidaklah berdasarkan atas besar kecil satuan kebahasaan yang terdapat dalam ilmu bahasa sesuai dengan subsistem-subsistemnya. Fungsi pengulangan juga hanya dijelaskan melalui pendekatan balāghah seperti fungsi menekankan pesan dalam hati pembaca atau pendengar dan fungsi retorik yang lain.
1.4.2 Pendekatan Linguistik 1.4.2.1 Machmūd Al-Qādhi (2009) Pengulangan
dalam
Al-Quran
mulai
dilihat
sebagai
fenomena
kebahasaan, seperti yang telah dilakukan Al-Qādhi (2009) ketika membahas pengulangan (takrār) dan membaginya menjadi pengulangan kalimat yang tidak memiliki perbedaan/perubahan sama sekali dan pengulangan yang mengalami perbedaan/perubahan. Setidaknya,
Al-Qādhī (2009) telah membahas 58
pengulangan (takrār) dalam Al-Quran sekaligus makna-makna yang harus 11
dipahami
dan
ditafsirkan
berdasarkan
konteks
dan
koteksnya
dengan
menggunakan teori yang dikemukakan Stephen Ulmann dan Joseph Vendryes. Dalam karyanya yang berjudul “Al-Mutasyābihul-Lafdhī Fīl-Qur‟ān” ini, Al-Qādhi melihat bentuk pengulangan dengan didasarkan pada bentuk struktur kalimat yang sama, dan lebih menekankan pada perbedaan-perbedaan makna semantik dari pengulangan itu, khususnya pengulangan yang disertai perubahan. Pengulangan yang dibahas Al-Qādhi (2009) bertujuan untuk menjelaskan tentang rahasia makna dari pengulangan-pengulangan, baik berkaitan makna tekstual maupun berkaitan dengan makna kontekstual. Peneliti menilai bahwa karya ini belum memperhatikan besar kecil satuan-satuan kebahasaan yang diulang seperti dalam struktur ilmu bahasa. Dengan kata lain, bentuk dan fungsi dalam kajian Al-Qādhi tidak beranjak jauh dari kajian pengulangan dengan pendekatan mutasyabih, hanya saja Al-Qādhi telah berhasil memberikan penjelasan mengenai pengulangan berdasarkan makna tekstual maupun makna kontekstual berupa kondisi diturunkannya Al-Quran dan kondisi makna dalam Al-Quran.
1.4.2.2 Salwa El-Awa (2003) dan Haggar (2010) Salwa El-Awa (2003) melakukan penelitian tentang pengulangan dalam Al-Quran yang difokuskan terhadap pengulangan dalam Al-Quran berdasarkan letak atau posisinya dalam kalimat. Dengan teori pengulangan Deborah Tannen tentang dimensi repeitisi, El-Awa (2003) mengelompokkan bentuk-bentuk pengulangan menjadi empat: exact immediate (pengulangan yang sama persis dan 12
langsung tanpa pemisah), exact delayed (pengulangan sama persis namun dipisah oleh unit bahasa lain), paraprasa yang langsung, dan parafrasa tidak langsung. Fungsi pengulangan yang ditekankan El-Awa dalam penelitiannya itu adalah fungsi memberikan relevansi dalam sebuah ujaran sebagaimana teori yang dikemukakan A.H. Jucker. Dalam penelitiannya, El-Awa menemukan bahwa pengulangan memberikan relevansi tidak hanya dalam Al-Quran sebagai ujaran komunikatif, namun juga dalam Al-Quran sebagai sebuah teks. Sejalan dengan El-Awa (2003) yang telah menjelaskan struktur, relevansi, dan makna yang timbul karena pengulangan di dalam Al-Quran, Haggar (2010) mengkaji tiga Surat dalam Al-Quran; Surat Al-A‟rāf, Yūnus, dan Hūd. Habib (2013) juga mengkaji Surat Al-A‟rāf dan Yūnus. Dalam penelitiannya, pengulangan tidak difokuskan kepada bentuknya berdasarkan susbsistemsubsistem bahasa atau unit-unit lingualnya, melainkan kepada posisi dan letak pengulangan serta fungsi pengulangan sebagai alat membentuk struktur Surat AlQuran kemudian bagaimana pengulangan itu membantuk koherensi atau relevansi dalam Surat atau Ayat-Ayat (intratekstual) dan secara lebih luas antar Surat-Surat Al-Quran
(intertekstual).
Berdasarkan
teori
bentuk-bentuk
dan
fungsi
pengulangan dari Jarome Walsh dalam mengkaji pengulangan narasi Bible, Haggar (2010) dan Habib (2013) menemukan empat bentuk pengulangan sebagai pembentuk struktur, yaitu: bentuk simetri ke belakang; simetri ke depan; asimetri; dan simetri parsial. Juga wujud pengulangan dalam tiga bentuk lain, yaitu: alur; link; dan konjungsi sebagai alat konjungtif dalam Surat dan antar Surat.
13
Tiga penelitian di atas (El-Awa 2003, Haggar 2010, dan Habib 2013) adalah penelitian yang bermaksud menjawab pertanyaan apakah Al-Quran yang tersusun dalam Mushhaf seperti sekarang ini adalah teks yang memiliki sistematika dan pembahasannya yang teratur, bukan teks yang tersusun rancu. Penelitian itu secara umum telah menjawab dan memberikan penjelasan bahwa pengulangan-pengulangan dalam Al-Quran merupakan pembentuk kepaduan, keterkaitan, dan relevansi yang terdapat antara Surat-Surat Al-Quran melalui pengulangan-pengulangan di dalam Mushhaf yang ada seperti sekarang ini. Dengan demikian, maka bentuk-bentuk pengulangan yang dimaksudkan dalam kajian-kajian dan penelitian-penelitian di atas belum memusatkan perhatiannya terhadap besar-kecil atau panjang-pendek unit kebahasaan yang diulang dalam struktur bahasa Arab, bahasa Al-Quran, padahal kenyataannya bentuk-bentuk pengulangan yang dimaksudkan tersebut sangat beragam dan perlu untuk diidentifikasi agar dapat diklasifikasikan sesuai satuan-satuan kebahasaan sebagai terdapat dalam linguistik. Dengan identifikasi ragam pengulangan dan klasifikasi itu, pengulangan dalam Al-Quran dapat diperlakukan secara lebih tepat dalam kajian linguistik Arab, khususnya pada saat mengkaji pengulangan dalam Al-Quran. Pengulangan dalam karya dan penelitian di atas juga masih melihat rahasia pengulangan secara parsial yang muncul sebagai alat pembentuk relevansi dalam Surat sebagai sebuah sebuah unit atau lintas Surat-Surat Al-Quran. Fungsifungsi pengulangan perlu untuk dilihat secara lebih menyeluruh dan holistik sebab penjelasan tentang rahasia, makna, dan fungsi dari pengulangan dalam penelitian 14
juga perlu didasarkan terhadap besar-kecil atau panjang-pendek unsur satuan lingual yang memberikan fungsi tersebut, baik unsur pengulangan dalam kalimatkalimat, Ayat-Ayat, maupun Surat-Suratnya. Penelitian disertasi yang peneliti lakukan ini adalah usaha untuk menjelaskan bentuk-bentuk pengulangan dan fungsi-fungsinya dari segi subsistem-subsistem linguistik sebagai usaha untuk melengkapi dan memenuhi kekurangan dalam melihat pengulangan dalam Al-Quran secara linguistik atau kebahasaan, yaitu dengan mengidentifikasi satuan-satuan kebahasaan yang mengalami pengulangan dan mengklasifikasikannya sesuai bentuk dan tipenya dan kemudian menjelaskan fungsi-fungsi atau efek-efek kebahasaan yang muncul dari pengulangan satuan-satuan tersebut secara holistik dan lebih variatif.
1.5 LandasanTeori Penelitian ini adalah penelitian kebahasaan yang berangkat dari beberapa teori sebagai landasan membentuk konsep. Teori adalah seperangkat hipotesis yang dipergunakan untuk menjelaskan data bahasa. Teori bahasa ini berperan sebagai pembimbing dalam penelitian bahasa
yang akan membantu untuk
menentukan arah penelitian dan membantu peneliti untuk menemukan konsepkonsep pembentukan (Mastoyo, 2007: 37). Teori-teori yang menjadi landasan menyusun model konseptual dalam mengkaji pengulangan dalam Surat AlBaqarah [2] antara lain teori tentang pengulangan (repetition atau takrār), satuansatuan kebahasaan (lingual units), dan fungsi bahasa.
15
1.5.1 Pengulangan (Takrār Atau Repetisi) Pengulangan (takrār) dalam balāghah adalah penyebutan sesuatu dua kali atau lebih karena ada aghrādh (tujuan-tujuan). Apabila pengulangan tanpa ada alasan atau tujuan, maka bukanlah pengulangan (takrār), melainkan disebut sebagai tathwīl (memperpanjang) atau hasyw (periphrastic) (Al-Hāsyimī, 1999: 202). Kridalaksana (1993: 165) mendefinisikan pengulangan sebagai penggunaan unsur bahasa beberapa kali berturut-turut sebagai alat stilistis atau untuk tujuantujuan ekspresif. Unsur bahasa dapat berupa unit leksikal (kata) sebagaimana yang dimaksudkan Halliday dan Hasan (1976: 278). Keraf (1984: 127) secara lebih terperinci menjelaskan unsur bahasa itu dapat berupa bunyi, sukukata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting. Dalam pengertian Al-Fiqī (2000: 20) pengulangan adalah penyebutan kembali unsur bahasa yang meliputi huruf, kata, frasa dan klausa (ibārat), kalimat, paragraf/kisah-kisah (faqrah/qashash). Dari penjelasan di atas, penulis mengajukan pengertian pengulangan, yaitu penyebutan kembali satuan-satuan kebahasaan (fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dan tema wacana) yang sama untuk memberikan fungsi tertentu. Dengan kata lain, pengulangan di sini adalah pengulangan yang berdasarkan bentuk satuan-satuan kebahasaan (lingual units) yang dikenal dalam Linguistik modern yang memberikan fungsi atau penggunaan tertentu.
1.5.2 Satuan Kebahasaan (Lingual Unit) Kedudukan wacana atau teks dalam hierarki satuan kebahasaan menempati posisi yang paling besar dan paling tinggi. Pike dan Pike (1977: 3) 16
menyatakan: “hierarchy is seen when small units are found within largers ones, and these in turn in still larger units.” Dalam teorinya, hierarki satuan-satuan kebahasaan itu dapat digambarkan dalam gambar yang membentuk piramida terbalik. Hierarki satuan-satuan kebahasaan dari yang paling besar sampai yang paling kecil dapat digambarkan seperti berikut:
Tabel 1.1 Hierarki Satuan Kebahasaan W a c a n a / T e k s K a l i m a t K l a u s a F r a s a Kata Morfem Fonem
Terlihat dalam tabel ini, hierarki satuan kebahasaan tidak hanya berhenti pada satuan kebahasaan kalimat, melainkan juga wacana. Masing-masing satuan kebahasaan itu masuk dalam bidang kajian bahasa yang beragam yang meliputi bidang ilmu fonologi, morfologi, dan sintaksis (Kridalaksana, 1993: 231, Mulyana, 2005: 6, dan Chaer, 2007: 36). Wacana adalah satuan kebahasaan dari unsur-unsur bahasa yang membentuk satu kesatuan yang digunakan dalam pemakaian, lebih tinggi dari klausa dan kalimat dan bersifat semantis (Halliday dan Hasan, 1976: 1-2, Crystal, 1997: 429 dan Chaer, 2007: 274). Moeliono, 1988: 334 menjelaskan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lainnya dalam kesatuan makna. Dilihat dari media penyampainya, wacana dapat dibagi menjadi wacana tulis 17
(written discourse) dan wacana lisan (spoken discourse). Wacana tulis sering dipertukarkan dengan istilah teks (Mulyana, 2005: 51-52). Aspek yang sangat erat terkait dengan memahami wacana adalah tema dan topik terutama dalam wacana tulis atau teks (Mulyana, 2007: 37). Tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis melalui karangan (Keraf, 1971: 121). Topik adalah proposisi yang menjadi bahan utama pembicaraan atau percakapan di bawah tema (Mulyana, 2005: 40). Bagian yang lebih kecil dari topik disebut judul. Judul menjabarkan topik secara lebih sempit dan menjurus (Moeliono, 1988: 437). Satuan kebahasaan kalimat adalah susunan kata-kata yang teratur yang berisi pikiran yang lengkap. Kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa serta disertai dengan intonasi final yang mengungkapkan pikiran yang utuh (Alwi et.al. (1998: 311 dan Chaer, 2007: 232 dan 240). Klausa adalah satuan gramatikal berupa kelompok kata yang sekurang-kurangnya terdiri dari subjek dan predikat, dan mempunyai potensi menjadi kalimat (Kridalaksana, 1993: 124 dan Chaer, 2007: 231). Dalam istilah Arab, kalimat disebut kalām atau jumlah mufīdah, sedangkan klausa disebut jumailah (kalimat kecil) atau jumlah ghairu mufīdah (Ma‟ruf, 2002: 65). Frasa adalah satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat non-predikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis dalam kalimat (Kridalaksana, 1993: 66 dan Chaer, 2003: 222). Kata adalah satuan kebahasaan yang dapat terdiri dari satu morfem, dua, atau tiga, bahkan empat morfem. Kata adalah satuan bebas yang paling kecil. Dengan kata lain, setiap satuan-satuan bebas merupakan kata (Kridalaksana, 1993: 110 dan Ramlan, 18
2012: 33-34). Morfem adalah satuan terkecil yang mempunyai arti yang relatif stabil dan yang tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil (Alwasilah, 2011: 116, Kridalaksan, 1993: 158, dan Chaer, 2007: 149). Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang mampu menunjukkan kontras makna (Kridalaksana, 1993: 62 dan Al-Khūlī, 1982: 209). Dalam realita berbahasa fonem dibunyikan dalam satuan sukukata, yaitu satuan ritmis terkecil dari hasil bunyibunyi bahasa dalam arus udara (Verhaar, 1996: 59, Chaer, 2007: 123).
1.5.3 Al-Quran Sebagai Teks Al-Quran yang menjadi objek penelitian ini adalah Al-Quran sebagai wacana tulis (written discourse) atau teks (text), yaitu teks bahasa yang menjadi pusat kajian Arab dan Islam (Zaid, 1990: 9-11). Sebagai wahyu, Al-Quran turun dari langit dalam bentuk teks lisan, tetapi kemudian ditulis dalam lembaranlembaran dalam urutan tertentu lalu disebarkan secara masif pada masa khalifah Utsmān Ibn Affān dalam wujud teks tulis. Pada waktu itulah, Al-Quran telah menjadi sebuah teks tulis yang harus dikaji sebagai teks tulis (Arkoun, 1985: 23). Selain teori Al-Quran secara keseluruhan sebagai wacana/teks, teori lain mengatakan bahwa setiap Surat Al-Quran adalah sebuah wacana atau teks yang memiliki tali yang mengikat dan memadukan bagian-bagiannya sehingga membentuk sebuah kesatuan. Quthub (1966) menyebut tali pengikat unsur-unsur bagian yang membentuk sebuah Surat dengan istilah michwar atau pusaran, Ishlāchi (1981) menyebutnya „amūd atau tiang, dan Ath-Thaba’thabā‟ī (1981) menyebutnya dengan istilah gharadl atau tujuan (Mir, 1986: 67). Tali tidak lain 19
adalah tema wacana/teks yang menjadi pesan utama dan pusat amanat keseluruhan Surat Al-Quran. Secara umum objek penelitian adalah Al-Quran sebagai teks, yaitu AlQuran yang ada dalam wujud Mushhaf dan secara khusus adalah Surat AlBaqarah [2]. Surat Al-Baqarah [2] sebagai sebuah wacana tulis atau teks terdiri dari satuan-satuan kebahasaan yang lebih kecil yang membentuk strukturnya dan teks yang memiliki tema pokok yang menjadi sentral dari pembahasan yang terdapat di dalam keseluruhannya. Tema sentral Surat Al-Baqarah [2] adalah tentang ummatan wasathan atau umat yang moderat (Robinson, 2003: 201). Tema sentral itu kemudian dijelaskan dalam topik-topik dan kalimat-kalimat, dan begitu seterusnya. Di sisi lain, Surat Al-Baqarah [2] adalah Surat yang panjang yang terdiri dari 286 Ayat. Bagian-bagian Al-Quran lebih dikenal melalui bagianbagian Ayat-Ayat ini daripada satuan kalimat-kalimatnya. Pengulangan satuan kebahasaan dalam penelitian ini menjadikan topik, Ayat, atau kata (kalimah) sebagai batasan analisis dengan menyesuaikan data dalam Surat. Pengulangan tema tentang manusia, alam, kerasulan, eskatologi terjadi dalam banyak surat di dalam Al-Quran (Rahman, 1979, Shihab, 1996, Al-Ghazali, 2000, dan Raof, 2004). Secara hierarkial, pengulangan tema atau topik tersebut membuka peluang terjadinya pengulangan satuan kalimat, pengulangan kalimat membuka peluang terjadinya pengulangan satuan kebahasaan klausa, pengulangan klausa membuka peluang pengulangan satuan kebahasaan yang lebih kecil di bawahnya, dan begitu juga seterusnya.
20
1.5.4 Fungsi Pengulangan Istilah fungsi digunakan dalam dua pengertian yang berbeda, meskipun saling berkaitan. Pertama, fungsi diartikan sebagai fungsi gramatikal atau fungsi sintaktik yang merujuk kepada unsur-unsur stuktur bahasa seperti pelaku, tujuan, subjek, objek, tema dan rema. Kedua, istilah fungsi dipahami sebagai penggunaan bahasa secara menyeluruh yang mencakup fungsi representasional, konatif, ekspresif dan lain-lain (Halliday, 1981: 326). Berkaitan dengan istilah fungsi yang pertama, Kridalaksana (2002: 29) menjelaskan, fungsi yaitu hubungan saling tergantung antara unsur-unsur dari suatu perangkat sedemikian rupa sehingga perangkat itu merupakan keutuhanan membentuk sebuah struktur. Lebih lanjut dikatakan bahwa fungsi dapat bermakna secara intern dan ekstern. Fungsi secara intern yaitu hubungan ketergantungan di dalam bahasa itu sendiri. Fungsi intern bahasa meliputi fungsi sintaktis, fungsi semantis dan fungsi pragmatis (Kridalaksana, 2002: 49-72). Fungsi inilah yang dimaksud oleh Veerhar (1996, 165-167) tentang fungsi sintaktik yang berupa subjek, predikat, objek, dan komplemen, atau keterangan dan fungsi semantik yang berupan peran, yaitu segi semantik dari peserta-peserta verba. Berkaitan dengan istilah fungsi yang kedua, yaitu fungsi bahasa secara eksternal yaitu fungsi bahasa dikaitkan dengan aspek-aspek kehidupan manusia lainnya (Kridalaksana, 2002: 49-72). Fungsi bahasa secara tradisional adalah sebagai alat komunikasi manusia untuk menyampaikan ide atau pikiran, baik dalam secara tulis maupun lisan (Chaer, 2004: 15). Berkaitan dengan ini, Pranowo (1996: 93) dan Chaer (2004: 14-17) menjelaskan bahwa Malinowski (1923) telah 21
mengelompokkan fungsi bahasa ke dalam dua fungsi besar, yaitu pragmatik dan magis. Buhler (1934) membagi fungsi bahasa ke dalam fungsi ekspresif, konatif, representasional. Roman Jakobson (1960) menambah tiga fungsi lain, yaitu fungsi poetik, fungsi transaksional, fungsi metalinguistik. Sedangkan James Britton (1970) telah membagi fungsi bahasa ini menjadi fungsi transaksional (mencakup informatif dan konatif), ekspresif, dan poetik. Teori-teori tentang fungsi bahasa yang bersifat internal dan bersifat eksternal tersebut akan dijadikan sebagai landasan dalam melihat fungsi pengulangan satuan-satuan kebahasaan dalam penelitian ini. Secara internal, pengulangan dilihat sebagai bagian dari sistem bahasa sehingga mencakup fungsi gramatikal, fungsi semantik (peran), fungsi kohesi. Fungsi sintaktik terjadi dengan adanya unsur-unsur dalam klausa yang memiliki kedudukan yang khas, yaitu sebagai subyek, predikat, obyek, komplemen, dan keterangan. Fungsi semantis didasarkan hubungan antara dua unsur utama dalam sebuah klausa, yaitu argumen dan predikator. Hubungan setiap argumen dan predikator disebut peran. Predikator memiliki makna perbuatan cara, proses, posisi, relasi, lokasi, arah, keadaan, kuantitas, kualitas, atau identitas, yang berupa verba, nomina ajektival, preposisi, numeral, atau zero (Kridalaksana, 2002: 49). Fungsi pengulangan sebagai peranti kohesi leksikal dalam teks. Teks atau wacana yang baik harus memiliki keutuhan(kohesi). Peranti-peranti yang dapat membentuk kohesi dapat dibagi menjadi dua, yaitu peranti kohesi gramatikal dan peranti kohesi leksikal. Peranti pembentuk kohesi leksikal mencakup reiteration (reiterasi)
dan
collocation
(kolokasi). 22
Reiterasi
dapat
berupa
repetisi
(pengulangan),
sinonim,
sinonim-dekat
(near-sinonim),
atau
subordinat.
Pengulangan yang dimaksud di sini adalah pengulangan kata yang sama, baik tanpa perubahan maupun disertai perubahan inflektif maupun derivatif. (Halliday dan Hasan, 1976: 274, Beaugrande, 1980: 302, dan Al-Fiqī, 2000, 212). Fungsi pengulangan dalam membentuk kohesi leksikal itu terjadi melalui proses terbawanya memori pendengar atau pembaca untuk kembali pada unsur yang telah disebutkan sebelumnya sehingga proses pemaknaan dapat terjadi dengan mudah sehingga terjadilah kepaduan makna di dalam ungkapan/teks. Kohesi yang dibentuk dengan ikatan kembali ke belakang ini banyak berfungsi dalam pembentukan kohesi teks (Al-Fiqī, 2000: 19). Secara eksternal, pengulangan dilihat dalam penggunaannya dalam sebuah tuturan sebagai bagian dari gaya bahasa (preferensi struktur tertentu). Berkaitan dengan fungsi eksternal ini, Johnstone (1994: 140) menyatakan “the functions of repetition may be the same as the functions of discourse”. Dengan kata lain, fungsi pengulangan sangat beragam sebab pengulangan dapat memberikan fungsi apapun yang dapat diberikan oleh teks/wacana sebagai wujud bahasa di dalam aktifitas manusia atau hubungan interpersonal. Pengulangan dapat berfungsi sebagai bagian dari gaya bahasa (Leech 1969: 93, Keraf, 1984: 127, dan Qalyubi, 2008). Dengan kata lain, pengulangan berfungsi dalam penggunaannya sebagai seni dalam berbahasa yang didasarkan pada strukturnya atau efektifitas dan efesiensi maknanya. Efektif artinya terarah kepada apa yang ingin dihasilkan antara penulis dan pembaca dan efesian artinya tidak perlu berlebih-lebihan menggunakan bahasa (Keraf, 1984: 17-18). Berkaitan dengan penggunaan bahasa 23
secara efesien ini, retorika (balāghah) membagi tindak bahasa menjadi tiga: ījāz (bahasa yang digunakan lebih ringkas dibandingkan makna/pesan yang disampaikan), ithnāb/periphrastic (bahasa yang digunakan melebihi makna/pesan yang ingin disampikan), dan musāwāh (seimbang antara bahasa dan makna/pesan).
Pengulangan termasuk dalam
penggunaan bahasa secara
ithnāb/periphastic (Al-Hāsyimī, 1999: 197). Dalam retorika itu, pengulangan memiliki fungsi-fungsi yang mencakup: fungsi taukīd (penekanan); ta‟dhīm (mengagungkan); tachqīr (merendahkan); taladzdzudz (merasakan nikmat); ziyādah al-tanbīh (menambahan peringatan); wa`īd (mengancam dan menakuti); ta`ajjub (merasa heran); dan ta`addud al-muta`alaq (menunjukkan referensi berbeda) (Al-Hasyimy, 1999: 203, Az-Zarkasyy, 1991: 3/11 dan As-Suyuthy, 1984: 2/179). Fungsi pengulangan bunyi pada jarak dan posisi tertentu berupa rima, aliterasi dan asonansi juga dapat memberikan musikalitas bunyi dan tatanan bunyi yang artistik (Qalyubi, 2008: 107-108, dan Siswantoro, 2010: 130)
1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian ini adalah penelitian linguistik singkronis, yaitu penelitian yang dilakukan terhadap objek keadaan bahasa, bukan terhadap fase evolusi bahasa itu (Samsuri, 1987: 70). Penelitian dilakukan terhadap teks Surat Al-Baqarah [2] seperti yang terdapat dalam Mushhaf Al-Quran. Sifat penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif. Penelitain diskriptif dalam bahasa dibedakan dari penelitian yang bersifat komparatif atau penelitian yang bersifat normatif (Samsuri, 1987: 24
71). Penelitian deskriptif adalah penelitian yang digunakan untuk memerikan, menggambarkan, menguraikan, dan menjelaskan fenomena objek penelitian seperti adanya (Mulyana, 2005: 83). Penelitian ini juga bersifat kualitatif, maksudnya penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan peneliti secara simultan dengan kegiatan analisis terhadap data (Mahsun, 2005: 257). Penelitian ini mengambil objek formal berupa pengulangan satuan kebahasaan (repetition of lingual units) dan objek material Surat Al-Baqarah [2] sebagai Surat yang paling panjang sehingga memungkinkan terjadinya pengulangan yang sangat bervariasi. Selain itu, dari segi isi dan kandungannya, Surat Al-Baqarah [2] merupakan fusthātul-Qur‟ān (kompilasi Al-Quran), sehingga berbagai fungsi pengulangan pun diharapkan dapat ditemukan melalui beragam bentuk pengulangan di dalamnya.
1.6.2 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilaksanakan melalui tiga tahapan, yaitu penyediaan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis (Mahsun, 2005: 85). Dalam tahapan pengumpulan data dan tahapan analisis data, terdapat beberapa langkah-langkah prosedural yang harus dilaksanakan sebagai wujud dari metode dan teknis dalam tahapan tersebut. Data dari Surat Al-Baqarah [2] dikumpulkan dengan metode simak, dengan teknik dasar sadap, dan teknik lanjutan catat serta teknik bebas cakap. Setidaknya terdapat 3 langkah yang ditempuh sebagai langkah dalam pengumpulan data ini (Sudaryanto, 1993: dan Mahsun, 2005: 21):
25
1.
Peneliti membaca teks Surat Al-Baqarah [2] sebagaimana yang tertulis di dalam mushhaf Al-Quran. Pembacaan ini dilakukan terhadap kata-kata, Ayat-Ayat, dan teks Surat Al-Baqarah secara keseluruhan
2.
Dalam pembacaan itu, peneliti menggunakan teknik penyadapan sebagai wujud dari penyimakan terhadap objek penelitian
3.
Peneliti kemudian melanjutkannya dengan teknik bebas libat cakap dan teknik catat. Hal ini dikarenakan sumber datanya berupa bahasa tulis atau teks tertulis. Pencatatan ini dilakukan bersamaan dengan klasifikasi bentukbentuk pengulangan sehingga relevan untuk dianalisis lebih lanjut
4.
Data-data dari surat Al-Baqarah [2] yang telah terklasifikasikan tersebut selanjutnya dianalisis secara natural, objektif, dan faktual serta apa adanya. Banyaknya bentuk-bentuk pengulangan mengharuskan peneliti untuk mengontrol data tanpa mengesampingkan perbedaan yang ada.
1.6.3 Metode Analisis Data Analisis data dilakukan dengan metode distribusional, yaitu metode analisis yang alat penentunya adalah bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Teknik dasar berupa teknik BUL (bagi unsur langsung atau segmenting immediate constituents) dan teknik lanjutan berupa teknik lesap (deletion), teknik ganti (subtitution), serta teknik ubah ujud (paraphase) (Sudaryanto, 1993: 31, 41-48, 83 dan Mastoyo, 2007: 54-55). Alat penggerak analisis menggunakan intuisi, yaitu daya bagi yang bersifat intuitif pada peneliti dengan alat penentu jeda, penutup Ayat, dan tanda waqaf (berhenti) 26
serta karya Tafsir Al-Quran para ulama yang otoritatif sebagai pendukung. Teknik-teknik di atas dilakukan berdasarkan kesesuaian dan kegunaannya sebagai berikut: 1.
Dalam klasifikasi pengelompokan dilakukan berdasarkan unsur satuansatuan kebahasaan yang terulang (repeated) dan unsur pengulang (repeater), meksipun satuan pengulang dapat dipertimbangan sebagai satuan terulang untuk berikutnya
2.
Klasifikasi berdasarkan katagori satuan kebahasaan. Untuk itu, peneliti melakukan pengelompokan secara fonologis terhadap pengulangan fonem dan sukukata; analisis secara gramatikal terhadap pengulangan morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat; dan analisis tekstual terhadap pengulangan tema atau topik
3.
Untuk mengetahui kadar keintian satuan kebahasaan dalam struktur yang mengalami pengulangan, pertama-tama peneliti menganalisis bentuk-bentuk pengulangan tersebut dengan menggunakan teknik lanjutan berupa teknik lesap (deletion), yaitu dengan menghilangkan satuan pengulang (repeater). Apabila satuan pengulang itu dapat dilesapkan dari struktur maka pengulangan tersebut bersifat gaya bahasa (stilistik)
4.
Apabila satuan pengulangan (repeater) tidak dapat dilesapkan karena menyebabkan tidak gramatikal (ungramatical), maka analisis dilanjutkan dengan
menggunakan
teknik
ganti
(subtitution)
atau
ubah
ujud
(paraphrase). Jika hasilnya dapat diterima (gramatikal) maka pengulangan
27
itu juga bersifat gaya bahasa (stilistik), namun jika hasilnya menjadi tidak gramatikal (ungrammatical), maka pengulangan tersebut bersifat sistemik. Dengan kata lain, pengulangan yang bersifat sistemik adalah pengulang yang berfungsi sistemik dan pengulangan yang bersifat stilistik adalah pengulangan yang merupakan preferensi atau pengulangan yang berfungsi stilistik atau sebagai gaya bahasa yang dipilih berdasarkan penggunaannya atau letak dan posisi satuan-satuan kebahasaan yang membentuk gaya tertentu. Secara umum, langkah-langkah dalam analisis dapat digamparkan dalam diagram berikut: Tabel 1.2 Langkah Penelitian
1.6.4 Sistematika Pembahasan Tahapan penyajian hasil analisis diuraikan dan dijelaskan secara deskriptif dalam sistematika pembahasan. Bentuk-bentuk satuan kebahasaan dan tipe-tipe yang mengalami pengulangan kemudian dikelompokkan menjadi tiga 28
bagian: yaitu pengulangan fonologis, pengulangan gramatikal dan pengulangan tekstual. Begitu juga jenis-jenis pengulangan dan fungsi-fungsi yang ditemukan akan dijelaskan dan diuraikan secara jelas hingga akhirnya ditarik kesimpulankesimpulan. Sistematika pembahasan dalam penyajian hasil penelitian ini mencakup beberapa bab dan sub-bab serta bagian-bagian lain sebagaimana berikut: Bab pertama, Pendahuluan, yang di dalamnya menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Teoretis Penelitian dan Manfaat atau Tujuan Praktis Penelitian. Tinjauan mengenai penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pengulangan dalam Al-Quran dan landasan teori yang dijadikan acuan untuk melakukan penelitian, Metode Penelitian yang meliputi Jenis dan Sifat Penelitian, Metode Pengumpulan Data dan Metode Analisis Data; tahapann serta langkah-langkahnya, dan Sistematika Pembahasan. Bab kedua, pendahuluan tentang Surat Al-Baqarah [2], Membahas temuan-temuan dalam data penelitian yang berkaitan dengan bentuk-bentuk pengulangan di dalam Surat Al-Baqarah [2]. Temuan bentuk yang meliputi bentuk pengulangan fonologis, pengulangan gramatikal, dan pengulangan tekstual. Di dalam bab ini akan diketengahkan bentuk pengulangan yang ditemukan dalam penelitian ini sesuai satuan kebahasaan pada level-level yang beragam. Bab ketiga, membahas jenis pengulangan yang terdiri dari fungsi sitemik pengulangan serta temuan dari jenis pengulangan sistemik dalam Surat AlBaqarah [2]. Sistem yang mencakup sistem gramatikal maupun sistem dalam teks yang harus memiliki kohesifitas. 29
Bab keempat, membahas fungsi gaya bahasa pengulangan yang muncul dari bentuk-bentuk pengulangan yang telah ditemukan di dalam Surat Al-Baqarah [2] sebagaimana yang telah ditemukan pada Bab sebelumnya. Dengan klasifikasi ke dalam dua bagian: gaya bahasa pengulangan berdasarkan penggunaannya dan gaya bahasa berdasarkan letak dan posisi pengulangan itu. Bab kelima, kesimpulan, yang menguraikan tentang hasil dari penelitian dilengkapi dengan lampiran-lampiran dan terakhir adalah Daftar Pustaka.
30