1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengaturan kepailitan di Indonesia sebelum tahun 1945, diatur dalam Wetboek Van Koophandel (WvK), buku Ketiga yang berjudul Van de Voordieningen in Geval van Onvermogen van Kooplieden (Peraturan tentang Ketidakmampuan Pedagang). Peraturan ni termuat dalam pasal 749 sampai dengan Pasal 910 Wvk, tetapi telah dicabut
berdasarkan
Pasal
2
Verordening
ter
Invoering
van
de
Failissemmentsverordening (Stb. 1906-348). Peraturan ini berlaku untuk pedagang saja. Sedangkan kepailitan untuk bukan pedagang (pengusaha) diatur dalam Reglement op de Rechtsvordening atau disingkat Rv (Stb. 1847-52 jo 1849-63), buku Ketiga, Bab ke Tujuh yang berjudul Van den Staat van Kennelijk Onvermogen (Tentang Keadaan Nyata-nyata Tidak Mampu) , dalam Pasal 899 sampai Pasal 915 yang kemudian dicabut oleh Stb. 1906-348. Adanya dua peraturan ini telah menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, diantaranya banyak formalitas yang harus ditempuh, biaya tinggi, terlalu sedikit kreditor yang ikut campur dalam proses Kepailitan, dan pelaksanaan kepailitan memakan waktu yang lama.
2
Karena adanya kesulitan-kesulitan tersebut maka timbul keinginan untuk membuat peraturan kepailitan yang sederhana dengan biaya yang tidak banyak, agar memudahkan dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, pada tahun 1905 telah diundangkan Failissementsverordening (S. 1905-217) yang terdiri atas Bab I Tentang Kepailitan Pada Umumnya, dan Bab II Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Peraturan ini lengkapnya bernama: Verordening op het Failisemment en de Surceance, van Betaling voor de European in Nederlands Indie (Peraturan untuk Kepailitan dan Penundaan Pembayaran untuk orang-orang Eropa). Berdasarkan Verordening ter invoering van de Failissementsverordening
(Stb. 1906-348),
failissementsverordening (S. 1905-217) itu dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 November 1906. Dengan berlakunya Failissementsverordening tesebut, maka dicabutlah seluruh Buku HI dari WvK dan Reglement op de Rechts verordening, Buku III, Bab Ketujuh, Pasal 899 sampai Pasal 915. Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, adanya penekanan pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan : “Segala badan Negara dan peraturan yang masih ada masih berlangsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang Undang Dasar ini”.
3
Berdasarkan Aturan Peralihan tersebut, seluruh perangkat hukum yang berasal dari zaman Hindia Belanda diteruskan berlakunya setelah proklamasi kemerdekaan, kecuali jika bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pada Tahun 1947, pemerintah Belanda di Jakarta menerbitkan Peraturan Darurat Kepailitan 1947 (Noodregelimg Failissement 1947). Tujuannya untuk memberikan dasar hukum bagi penghapusan putusan kepailitan yang terjadi sebelum jatuhnya Jepang. Tugas ini sudah lama selesai sehingga Peraturan Darurat Kepailitan 1947 itu sudah tidak berlaku lagi.1 Disempurnakannya FV menjadi Perpu No. 1 Tahun 1998 dan dikuatkan menjadi Undnag-Undang No. 4 Tahun 1998 tidak terlepas dari kelemahan yang terkandung dalam FV tersebut. Dari segi substansi, terdapat beberapa kelemahan dalam FV 1905: 2
Pertama, tidak jelasnya time frame yang dapat diberikan untuk menyelesaikan
kasus kepailitan. Akibatnya, untuk menyelesaikan sebuah kasus kepailitan dibutuhkan jangka waktu yang lama. Kedua, jangka waktu penyelesaian utang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) juga sangat lama, yaitu memakan waktu 18 bulan. Ketiga, apabila pengadilan menolak PKPU, maka pengadilan tersebut tidak diwajibkan untuk menetapkan debitur dalam keadaan pailit. Keempat, kedudukan kreditor masih lemah. Misalnya dalam hal pembatalan 1
Adrian Sutedi,2009,“Hukum Kepailitan”, Cetakan Pertama, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, hlm 1-2. 2 Erman Radjagukguk, 2002, “Perkembangan Peraturan Kepailitan Indonesia”, Bahan Kuliah E Learning, hal 2-3, dalam buku Adrian Sutedi, 2009, “Hukum Kepailitan”, Cetakan Pertama, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor.
4
perbuatan debitur yang dapat merugikan kreditur, jangka waktu yang diberikan hanya selama 40 hari sebelum pailit berbeda dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 jangka waktu yang diberikan bisa sampai 4 tahun. Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 merupakan Undang-Undang yang dibentuk akibat adanya gejolak moneter yang terjadi pada pertengahan 1997. Sedemikian pentingnya, hingga International Monetary Fund
turut mensponsori pengkajian
Peraturan Kepailitan, yang pada akhirnya melahirkan Perpu No. 1 Tahun 1998 yang menyempurnakan FV tersebut.3 IMF berpendapat bahwa upaya untuk mengatasi krisis moneter di Indonesia tidak dapat terlepas dari keharusan penyelesaian utang luar negeri dan upaya menyelesaikan kredit-kredit macet perbankan Indonesia.4 Pada tanggal 22 April 1998 oleh pemerintah Republik Indonesia secara resmi telah mengeluarkan sebuah peraturan pengganti Undang-Undang atau PERPU No. 1 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang kepailitan. Perpu No. 1 tahun 1998 ini mulai berlaku setelah 120 hari sejak tanggal diundangkan, yaitu 120 hari sejak tanggal 22 April 1998 tersebut. Perpu Kepailitan tersebut kemudian telah
3
Aria Suyudi, dkk., 2003,Analisis Hukum Kepailitan “Kepailitan di Negeri Sendiri”, Cetakan 1, Penerbit Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia, Jakarta, hlm 25. 4 Adrian Sutedi, Op.cit.,hlm 5.
5
diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi undang-undang dengan UndangUndang No. 4 Tahun 1998.5 Setelah diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kepailitan yang tadinya nyaris tidak pernah dilirik oleh praktisi hukum, dalam waktu singkat mengalami lonjakan permohonan,. Dalam 3 (tiga) tahun pertama, Pengadilan Niaga rata-rata menerima 72 permohonan tiap tahunnya. Hanya dalam tiga bulan beroperasi Pengadilan Niaga pada tahun 1998, menerima 31 permohonan pailit, tahun kedua jumlah tersebut meningkat menjadi 100 permohonan, yang merupakan rekor terbanyak yang diajukan dalam satu tahun. Pada tahun ketiga jumlah tersebut sedikit menurun menjadi 84 permohonan. Baru pada tahun keempat kuantitas permohonan yang masuk ke Pengadilan mengalami penurunan. Pada pertengahan tahun keempat Pengadilan Niaga hanya menerima 34 Permohonan pailit.6 Erman Radjagukguk menyebutkan bahwa setelah Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 mulai berlaku, ternyata dalam praktik timbul beberapa permasalahan, baik yang bersumber dari kelemahan Undang-Undang Kepailitan itu sendiri maupun dalam praktik di pengadilan.7
5
Munir Fuady, 2002 “Hukum Pailit 1998 dalam Teori dan Praktek”, Cetakan ke 2, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. 6 Aria Suyudi, Dkk.,Op., Cit, hlm 22. 7 Erman Radjagukguk, Perkembangan Peraturan Kepailitan di Indonesia, bahan ELearning“Bankruptcy Law” , hlm 5-7, dalam buku Adrian Sutedi, 2009,“Hukum Kepailitan”, Cetakan Pertama, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, hlm 7.
6
1. Banyak hal yang tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kepailitan sehingga menimbulkan interpretasi yang bermacam-macam. 2. Adanya interpretasi yang berbeda-beda terhadap ketentuan dalam UndangUndang Kepailitan tersebut mengakibatkan timbulnya ketidak-konsistenan dalam putusan hakim dalam kasus-kasus kepailitan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. 3. Jangka waktu 30 hari yang diberikan Undang-Undang Kepailitan untuk menyelesaikan satu perkara kepailitan dipandang dalam praktik sukar dilaksanakan, karena terlalu cepat. 4. Adanya kecenderungan menurunnya jumlah perkara kepailitan yang ditangani Pengadilan Niaga di Jakarta Pusat. Dalam perkembangannya, Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 diganti dengan Undang-Undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Undang-Undang ini lahir karena perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini. Juga, mengingat umumnya modal yang dimiliki oleh para pengusaha merupakan pinjaman yang berasal dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi, maupun cara lain yang diperbolehkan, telah menimbulkan banyak permasalahan penyelesaian utang-piutang.8
8
Adrian Sutedi, Op.Cit.,hlm 8.
7
Dalam kasus Kepailitan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia, kepailitan diajukan oleh PT. Crown Capital Global Limited (CCGL).PT. Crown Capital Global Limited merupakan perusahaan asal British Islands. Persidangan perkara No. 31/pailit/2009/PN.Niaga.JKT.PSTini dilaksanakan pertama kali pada tanggal 20 Oktober 2009. Kasus bermula dari adanya utang antara TPI dengan CCGL sebesar AS$53 juta. Utang tersebut timbul dari perjanjian jual beli utang yang ditandatangani CCGL dengan Fillago limited. Fillago sendiri merupakan pemilik dari Subordinated Bones (obligasi yang disubordinasi) yang diterbitkan oleh TPI. Obligasi itu diterbitkan pada tanggal 24 Desember 1996 dan jatuh tempo pada tanggal 24 Desember 2006. Pada 27 Desember 2004, Fillago mengalihkan kepemilikan obligasi itu pada Crown Capital yang diperjanjikan dalam Debt Sale and Purchase. Ketika jatuh tempo pada 24 Desember 2006, TPI tidak juga melunasi utangnya.9 Dalam permohonannya, Crown Capital menyebut Asian Venture Finance Limited selaku kreditur lain. TPI berutang pada Asian Venture sebesar AS$10,325 juta, belum termasuk denda dan bunga.10 Pada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan memutus TPI pailit pada tanggal 14 Oktober 2009, yang berarti terbukti bahwa bukti
9
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol22456/tpi-dimohonkan-pailit , diakses pada tanggal 8 November 2012. 10 Ibid,.
8
utang yang diajukan oleh CCGL adalah benar adanya dan TPI dinyatakan pailit dengan segala akibatnya. Namun, pihak TPI kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung karena merasa keberatan atas keputusan pailit pada Pengadilan Niaga. Pada tanggal 15 Desember 2009, hakim pun memutuskan menolak untuk memailitkan TPI, yang berarti bahwa TPI tidak jadi pailit dan kedudukan nya sebagai debitur kembali seperti semula. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang “ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PUTUSAN PAILIT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 834 K/Pdt. Sus/2009 TENTANG PEMBATALAN
KEPAILITAN
PT.
CIPTA
TELEVISI
PENDIDIKAN
INDONESIA)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut di atas, dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah pembatalan putusan pailit yang dijatuhkan oleh majelis hakim pada tingkat kasasi terhadap PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia telah sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
9
2. Apa langkah-langkah hukum yang dilakukan kreditur untuk pemenuhan piutangnya dengan adanya pembatalan putusan pailit pada tingkat kasasi PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia menurut UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
C. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis berdasarkan hasil penelusuran di perpustakaan UGM, penulisan hukum atau tesis dengan judul ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN PUTUSAN PAILIT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 834 K/Pdt. Sus/2009
TERHADAP
KASUS
PT.
CIPTA
TELEVISI
PENDIDIKAN
INDONESIA) ini belum ditulis oleh siapapun dan penulisan ini merupakan hasil karya penulis bukan merupakan hasil duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya lain. Adapun Penulisan Hukum atau tesis yang memiliki kemiripan dalam substansinya yaitu: 1. Analisis Yuridis Putusan Kasasi Mahkamah Agung tentang Pembatalan Kepailitan (Studi Kasus CV. Sari Pati Idaman), ditulis oleh R. Yoes Hartyarso, tahun 2010. Perbedaannya yakni terletak pada rumusan masalah yang mana permasalahan yang diangkat oleh penulis di atas adalah: a. Bagaimana status hukum para kreditur yang lain di peradilan umum terhadap pembatalan putusan kepailitan dalam tingkat kasasi?
10
b. Bagaimana pertanggungjawaban kurator yang telah melaksanakan putusan sertamerta (uit voorbaar bij voorad) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung tersebut?
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian hukum tersebut yakni: a. Status hukum para kreditur lain di peradilan umum mempunyai hak yang sama, terhadap semua harta kekayaan debitur. Dalam putusan pembatalan kepailitan pada tingkat kasasi kedudukan kreditur preferen sebagai pemegang hak istimewa harus didahulukan daripada kreditur separatis dan kreditur konkuren. Kreditur separatis dalam pembagian harta pailit dari debitur lebih diutamakan yang mempunyai hak tanggungan, dimana telah dikurangi biaya pajak, biaya lelang, serta biaya perkara dan ditambah dengan biaya kurator. b. Pertanggungjawaban kurator yang telah melaksanakan putusan serta merta (uit voorbaar bij vooraad) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung tersebut adalah sesuai dengan pasal 189 Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam hal ini kurator menyusun suatu daftar pembagian untuk dimintakan persetujuan Hakim Pengawas, maka kurator memperoleh persetujuan hakim pengawas terlebih dahulu sebelum melakukan perbuatan hukum sehingga perlu mendapat ijin dari Hakim Pengawas. c. Kemudian menurut Pasal 199 Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang apabila pembagian telah dilaksanakan kepada kreditur yang memegang hak yang didahulukan tersebut, lalu diadakan
11
pembagian lagi, maka hasil penjualan benda tersebut akan dibayarkan kepada mereka sebesar paling tinggi nilai hak yang didahulukan setelah dikurangi jumlah yang diterima sebelumnya. Segala perbuatan yang telah dilakukan oleh kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang Putusan Pembatalan sebagaimana dimaksud pasal 17 Undang-undang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang memberi sifat serta merta kepada Putusan Pengadilan Niaga tidak mempunyai arti yuridis apapun.
D. Manfaat Penelitian 1. Segi Teoritikal Dilihat dari segi teoritikal diharapkan dapat memberikan suatu masukan bagi perkembangan ilmu hukum di masa yang akan datang, khususnya bidang hukum Kepailitan yang menjadi fokus penulisan hukum ini. 2. Segi Praktikal Penulisan hukum ini dari segi praktikal dapat memberikan pemikiran yang berarti bagi para praktisi hukum di Indonesia, khususnya yang menangani hukum kepailitan di Indonesia.Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para praktis hukum khususnya bagi Hakim Pengadilan Niaga untuk lebih cermat dan berhati-hati dalam memutuskan perkara-perkara kepailitan. Selain itu, penulisan ini juga diharapkan
12
dapat memberi gambaran tentang status hukum para kreditur dengan dibatalkanya putusan pailit pada tingkat pengadilan Kasasi.
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan beberapa permasalahan pokok yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain: 1) Tujuan Objektif Tujuan objektif dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui kesesuaian antara pembatalan putusan pailit yang dijatuhkan oleh majelis hakim pada tingkat kasasi terhadap PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia dengan ketentuan yang ada di dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. b. Untuk mengetahui langkah-langkah hukum yang dilakukan kreditur untuk pemenuhan piutangnya dengan adanya pembatalan putusan pailit pada tingkat kasasi PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia menurut UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 2) Tujuan Subjektif Penelitian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan bahan penulisan tesis penulis, guna memenuhi persyaratan kelulusan Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada dalam Program Studi Magister Hukum bidang Hukum bisnis