BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Upacara Adat Mapag Panganten merupakan salah satu ritual yang menjadi bagian dari seluruh rangkaian upacara adat perkawinan dalam masyarakat Sunda. Secara etimologi, kata mapag dalam bahasa Sunda berarti menjemput atau menyambut. Maka mapag panganten adalah acara menyambut kedatangan pengantin dan keluarganya. Dalam hal ini yang disambut adalah pihak pengantin laki-laki karena pada umumnya upacara perkawinan masyarakat Sunda dilaksanakan di kediaman keluarga pengantin perempuan. Seluruh rangkaian upacara mapag panganten tersebut diiringi oleh musik yang dimainkan oleh gamelan degung, seperangkat gamelan terdiri dari bonang (15-18 gong-chime set), saron (metallophone), jenglong (8 gong-chime set), goong, kendang (double-sided barrel drum set) dan suling degung (end-blown flutes). Studi tentang musik gamelan degung dalam konteks upacara mapag penganten ini menjadi salah satu bagian pokok dalam penelitian ini. Penelusuran historis yang penulis lakukan untuk mengetahui sejak kapan gamelan degung dipakai untuk mengiringi mapag panganten belum menemui titik terang. Mungkin sama tidak jelasnya dengan sejarah gamelan degung itu sendiri. Tjarmedi, seperti yang dikutip Herdini, meyakini bahwa seni degung lahir sekitar abad ke-14, di mana Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran sebagai yang pertama menciptakannya (Herdini 1992:34). Pendapat ini didukung oleh penelitian
Universitas Sumatera Utara
Kumalasari (1981) bahwa upacara-upacara pada jaman kerajaan Pajajaran diiringi oleh gamelan degung. Pendapat ini didasarkan pada naskah carita pantun Sunda yang menurut sebagian ahli perlu dibuktikan lagi (Herdini 1992:34). Pendapat lain muncul dari Atik Soepandi yang menyatakan bahwa gamelan degung berasal dari perkembangan goong renteng 1 yang direkonstruksi oleh Pak Idi, seorang nayaga, menjadi gamelan degung pada sekitar tahun 1920-an (Soepandi, 1974:8). Pendapat ini didasari oleh kesamaan repertoar pada goong renteng dan gamelan degung. Kang Ade Herdiyat dan Kang Ayi, informan yang penulis wawancarai, sepakat bahwa upacara mapag panganten telah dilaksanakan sejak jaman Kerajaan Pajajaran, sekitar abad ke-14. Waktu itu upacara ini hanya dilaksanakan ketika ada putri raja atau keluarga kerajaan yang akan menikah. Tidak ada rakyat biasa yang boleh melaksanakan upacara ini. Namun setelah keruntuhan kerajaan Pajajaran, upacaraupacara ritual yang tadinya hanya diselenggarakan di lingkungan kerajaan, mulai dilaksanakan oleh masyarakat biasa, meskipun pelaksanaannya terbatas pada orangorang kaya, karena mahalnya biaya upacara. Kang Ayi juga menyakini bahwa gamelan degung telah dipakai dalam mengiringi berbagai upacara sejak jaman kerajaan Pajajaran, termasuk upacara mapag panganten (wawancara Ade Herdiyat, 20 Juli 2007 dan Kang Ayi, 6 Agustus 2007).
1
Istilah goong renteng berasal dari salah satu instrumen berbentuk enam buah gong yang digantung pada sederetan rancak (rak). Ensambel goong renteng terdiri dari kobuang (gong-chimes), saron (metallophones), cecempres (metallophones), beri (gong-chimes), goong alit (gong kecil), dan goong gede (gong besar). Lihat Soepandi (1974), Heins (1977), dan Herdini (1992).
Universitas Sumatera Utara
Upacara mapag panganten dimulai ketika pengatin laki-laki serta rombongan telah datang ke tempat upacara. Pengantin laki-laki didampingi orang tua dan kerabat dekatnya datang beriringan. Rombongan harus menunggu kesiapan pihak keluarga pengantin perempuan yang akan mapag (menyambut, Ind.). Setelah semuanya siap, Ki Lengser 2 (penetua adat) yang bertindak sebagai pemimpin upacara memberi tanda kepada para panayagan 3 (pemain musik), pager ayu (penari), punggawa (prajurit penjaga), dan pihak keluarga pengantin perempuan yang akan menyambut kedatangan pengantin laki-laki, bahwa upacara akan segera dilaksanakan. Repertoar gending bubuka menandai dimulainya upacara. Kemudian Ki Lengser mempersilahkan para punggawa untuk mengawal pengantin laki-laki beserta rombongan. Setelah terjadi percakapan antara Ki Lengser dengan ketua rombongan, para pager ayu (penari) yang terdiri dari enam orang kemudian menyambut kedatangan rombongan dengan tarian dan tabur bunga. Di depan rumah sudah menanti mempelai perempuan beserta keluarga. Setelah berhadap-hadapan, ibu mertua menyambutnya dengan mengalungkan bunga. Kemudian kedua mempelai berhadapan dan bersiap akan melaksanakan ritual nincak endog (menginjak telur). Pengantin laki-laki menginjak sebutir telur dan pengantin perempuan mencuci kaki pengantin laki-laki sebagai tanda pengabdian. Selanjutnya,
2
Ki Lengser merupakan jelmaan Ki Semar, seorang tokoh pawayangan yang mengabdikan hidupnya untuk melayani umat manusia (wawancara Ade Herdiyat, 20 Juli 2007) 3 Panayagan adalah bentuk jamak dari nayaga (pemain gamelan, Ind.)
Universitas Sumatera Utara
kedua pengatin membakar harupat 4 dan memecahkan kendi yang berisi air bunga sebagai tanda bahwa segala sifat buruk harus dibakar dan semua masalah yang muncul dalam kehidupan harus dipecahkan bersama-sama. Setelah itu selesai, maka kedua mempelai diiring ke depan pintu guna melaksanakan ritual buka pintu. Buka pintu adalah satu ritual yang melambangkan bahwa pengantin laki-laki akan memasuki rumah dengan tatakrama seperti mengucapkan syahadatain (dua kalimat syahadat) dan salam. Dengan begitu sahlah pengantin laki-laki menjadi pemimpin rumah tangga di keluarganya. Dengan berakhirnya buka pintu tersebut, maka berakhir pula rangkaian upacara mapag panganten. Kemudian kedua mempelai masuk ke rumah dan disandingkan di pelaminan untuk sungkeman kepada keluarganya. Masyarakat Sunda sebagai pendukung upacara mapag panganten, terus melaksanakan ritual ini sampai sekarang. Termasuk juga masyarakat Sunda yang telah berpindah tempat dari Tanah Sunda 5 ke pulau Sumatera. Wilayah penelitian akan penulis batasi hanya pada komunitas Sunda di Sumatera Utara, khususnya di Kota Medan. Catatan-catatan mengenai perpindahan orang Sunda ke Sumatera Utara yang penulis dapatkan, menyebutkan bahwa orang Sunda datang pertama kali pada sekitar 4
Harupat adalah batang lidi pohon enau. Ada satu ungkapan bahasa Sunda yang berbunyi: getas harupateun, yang artinya putus harapan. Masyarakat Sunda percaya dengan membakar harupat, maka sifat putus asa (yang disimbolkan oleh harupat yang rapuh) dalam menjalani kehidupan rumahtangga akan hilang dan perceraian pun bisa dihindari. 5 Tanah Sunda sebagai tempat asal orang Sunda sering juga disebut parahyangan (tempat para hyang, dewa, Ind.) atau pasundan (pa-Sunda-an, tempat tinggal orang Sunda). Sekarang menempati wilayah administratif Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten dan sebagian kecil wilayah DKI Jakarta.
Universitas Sumatera Utara
awal 1900-an ketika perusahaan perkebunan Deli Matschapij kekurangan pekerja, maka didatangkanlah kuli dari Jawa 6 yang saat itu sedang menderita kemiskinan dan pengangguran (Buiskool 2005:274-5). Sebagian kecil kuli dari Jawa itu adalah orang Sunda. Setelah kontraknya habis, kuli-kuli itu tidak kembali ke Jawa, namun tetap tinggal dan menetap di Sumatera Utara (Hartono 2005:433) Setelah Kemerdekaan, kebanyakan orang Sunda yang datang ke Sumatera Utara adalah aparat keamanan (TNI/POLRI) dan pegawai negeri. Namun ada juga yang datang untuk berwiraswasta. Seperti industri sepatu di Cibaduyut, Bandung yang melakukan pemasaran dari-pintu-ke-pintu yang menyebabkan para penjualnya datang ke Kota Medan untuk berjualan sepatu. Komunitas (penjual sepatu) ini tinggal di Medan Selayang dan Medan Polonia. Semakin banyaknya orang Sunda yang datang ke Sumatera Utara, menimbulkan usaha untuk tetap menjaga identitas ke-Sunda-annya. Untuk memenuhi kebutuhan itu, maka dirintislah satu institusi adat yang kemudian dikenal dengan nama Paguyuban Wargi Sunda. Sedikit sekali informasi mengenai kapan dan siapa yang berperan dalam pembentukan paguyuban yang dapat ditampilkan dalam tulisan ini, karena sebagian besar informasi tersebut dituturkan secara lisan, tanpa ada catatan resmi. Beberapa tokoh yang berperan dalam pendirian paguyuban pada masa sebelum kemerdekaan,
6
Selain dari Jawa, Deli Matschapij juga mengimpor kuli orang Cina dan orang India dari P. Penang dan Singapura. Ini dilakukan karena penduduk Sumatera (Melayu dan Batak) tidak tertarik dengan kerja perkebunan. Diperkirakan tiga ratus ribu orang Cina telah didatangkan ke Sumatera antara tahun 1870 s.d. 1930, dan dua puluh ribu orang Jawa didatangkan pada awal 1900-an (Buiskool 2005: 275).
Universitas Sumatera Utara
sempat penulis temui pada tahun 2006 lalu, namun karena usianya yang telah uzur, mereka tidak dapat lagi mengingat kapan tepatnya paguyuban dibentuk. Informasi terakhir yang penulis dapatkan dari informan lain, bahwa paguyuban didirikan pada sekitar tahun 1936. Namun informasi tersebut tidak sempat dikonfirmasikan kebenarannya karena tokoh tersebut telah meninggal dunia pada tahun 2007. Namun dalam Anggaran Dasar Paguyuban yang direkonstruksi pada bulan September 2007, menyebutkan bahwa Paguyuban Wargi Sunda didirikan pertamakali pada 27 Juni 1936 dan “disempurnakan dan diperbaharui” pada tanggal 9 April 2005 (PWS, 2007). Jadi, paguyuban inilah yang melayani dan memelihara keberlanjutan tradisi Sunda selama tujuh dekade terkahir, termasuk upacara adat perkawinan. Literatur mengenai upacara perkawinan adat Sunda pun telah lama dilakukan oleh para penulis dan peneliti. RH. Hasan Mustafa, seorang tokoh adat, mungkin yang pertama menulis hal-hal mengenai adat perkawinan dalam bukunya yang terkenal Bab Adat-adat Oerang Priangan Djeung Oerang Soenda Lian ti éta (1913) yang kemudian diterjemahkan oleh Maryati Sastrawijaya menjadi Adat Istiadat Sunda (1996). Buku tersebut merupakan kumpulan adat-adat dalam daur hidup orang Sunda, termasuk adat perkawinan. Peneliti lain yang lebih spesifik membahas adat perkawinan adalah Prawirasuganda (1950) dan Tim Peneliti dalam Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud yang dipimpin oleh Bambang Suwondo (1975). Keduanya menjelaskan secara rinci hal-hal mengenai adat perkawinan orang Sunda.
Universitas Sumatera Utara
Buku terbaru yang membahas adat perkawinan Sunda secara praktis adalah buku Perkawinan Adat Sunda oleh Artati Agoes (2003). Buku ini berisi kiat-kiat bagaimana menyelenggarakan upacara perkawinan adat Sunda pada masa sekarang. Penulis mendapat banyak pengetahuan dari keempat buku hasil penelusuran pustaka yang penulis lakukan tersebut. Baik Mustafa (1913), Prawirasuganda (1950), Suwondo (1975) maupun Agoes (2003) menjelaskan secara komprehensif detil-detil upacara perkawinan adat Sunda. Namun begitu, tak satupun dari keempatnya menjelaskan musik yang mengiringi upacara perkawinan, khususnya upacara mapag panganten. Mustafa bahkan tidak menyinggung upacara mapag panganten, meskipun ritual-ritual setelah akad nikah yang dijelaskannya merupakan bagian dari upacara mapag panganten. Begitu juga dengan Prawirasuganda dan Suwondo. Sedangkan Agoes secara tegas memisahkan upacara sebelum perkawinan, akad nikah, dan upacara mapag panganten sebagai bagian dari acara resepsi perkawinan. Namun tak satupun yang menjelaskan fenomena musikal dalam upacara itu. Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa musik yang digunakan untuk mengiringi upacara mapag panganten adalah repertoar gamelan degung. Repertoarrepertoar tersebut merupakan keberlanjutan tradisi yang terus dipertahankan oleh masyarakat Sunda yang ada di Sumatera Utara, meskipun pada kenyataannya upacara mapag panganten khususnya, dan upacara adat perkawinan Sunda umumnya, telah berubah seiring dengan perubahan masyarakat, terkhusus lagi pada dua dekade terakhir yang menjadi perhatian utama skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
Perubahan-perubahan tersebut meliputi adat-adat sebelum perkawinan yang semakin “diperpendek”, di mana beberapa ritualnya tidak lagi dilaksanakan. Hal ini juga terjadi dalam upacara mapag panganten yang meliputi materi, waktu dan tempat upacara yang disesuaikan dengan kebiasaan lokal dan pengaruh interaksi sosial dengan suku lain. Meskipun begitu, aspek-aspek musikal dan ekstra musikal tetap dipertahankan secara konseptual. Oleh karenanya penulis tertarik membahas upacara adat perkawinan Sunda, khususnya upacara mapag panganten dari perspektif etnomusikologi. Penelitian skripsi ini akan melihat mapag panganten dengan pendekatan deskripsi-analisis untuk melihat musik pada upacara tersebut dalam hubungannya dengan konteks budaya masyarakat Sunda. Pendekatan musikologis dilakukan untuk menganalisis fenomena bunyi musikal yang terjadi, dan pendekatan sosio-antropologis ditujukan untuk mendapatkan pengetahuan mendalam tentang latarbelakang budaya Sunda yang menjadi pendukung mapag panganten. Pendekatan-pendekatan tersebut dilakukan secara sinergis dalam rangka mendapatkan pemahaman mengenai upacara mapag panganten secara komprehensif.
I.2. Pokok permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka ada beberapa hal pokok yang menjadi perhatian utama dalam skripsi ini, antara lain bagaimana fenomena musikal yang terjadi dalam upacara tersebut, apakah terjadi perubahan, -mengingat orang Sunda yang ada di Kota Medan merupakan orang Sunda yang tidak
Universitas Sumatera Utara
berada di wilayah kebudayaannya— aspek-aspek apa saja yang berubah dan apa saja yang tetap dipertahankan, dan faktor-faktor apa yang menjadi penyebabnya.
I.3. Tujuan penelitian Pada dasarnya, penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang fenomena musikal dalam upacara mapag panganten dan mendapatkan pengetahuan tentang aspek-aspek apa saja yang tetap bertahan --setelah kepindahan—dan unsurunsur apa yang berubah. Lebih jauh lagi penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan jawaban mengapa fenomena ini terjadi dalam kebudayaan masyarakat Sunda di Kota Medan. Pendekatan analisis musikologis dilakukan untuk mendeskripsikan musiknya, dan pendekatan antropologis untuk membahas konteks sosialnya dan penulis akan melihat hubungan antara keduanya. Penelitian ini direalisasikan dalan bentuk skripsi yang menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi di Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara.
I.4. Manfaat penelitian Selain sebagai skripsi, penelitian ini juga menjadi penelitian lanjutan dari apa yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti budaya Sunda sebelumnya. Juga untuk memperdalam pengetahuan tentang adat perkawinan Sunda dan menambah referensi dan dokumentasi budaya Sunda. Itulah beberapa manfaat dari penelitian skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
I.5. Konsep Untuk mendapatkan pengetahuan mendasar tentang objek penelitian dan untuk menghindari ambiguitas, maka diperlukan definisi-definisi terhadap terminologi yang menjadi pokok bahasan. Definisi ini merupakan kerangka konsep yang mendasari batasan-batasan makna terhadap topik-topik yang menjadi pokok penelitian. Musik 7 yang dimaksudkan di sini adalah repertoar gamelan degung yang mengiringi tarian penyambutan pengantin yang terdiri dari repertoar Gending Bubuka, Rajah, Payung Agung, Umbul-Umbul Punggawa, Ki Lengser Midang dan Tari Pager Ayu. Repertoar-repertoar ini menjadi inti dari upacara mapag panganten. Mapag panganten sendiri berasal dari kata mapag yang berarti menyambut (Ind.), dalam hal ini yang disambut (dipapag) adalah pengantin laki-laki serta rombongan keluarganya oleh pihak keluarga pengantin perempuan. Upacara penyambutan ini merupakan bagian dari rangkaian upacara adat perkawinan Sunda. Pengertian masyarakat dapat dipahami sebagai suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi dan bertingkah laku menurut suatu sistem adat tertentu yang bersifat kontinu, di mana setiap anggotanya terikat oleh satu rasa identitas bersama (Koentjaranigrat 1986:160). Masyarakat Sunda yang penulis maksud adalah masyarakat Sunda yang telah bermigrasi dari Tanah Sunda dan menetap (termasuk juga yang lahir dan tumbuh) di
7
Masyarakat Sunda tidak memiliki istilah musik secara khusus untuk menyebut fenomena musikal dalam budaya musiknya. Yang ada hanya istilah sekar untuk menyebut seni suara (musik vokal) dan waditra yang merujuk pada musik instrumenal. Terminologi musik sendiri (seperti pada kebudayaan musik lain) datang dari Barat.
Universitas Sumatera Utara
Kota Medan. Mengingat hal ini, perlu dipahami bahwa budaya Sunda telah berinteraksi dengan budaya lain di Sumatera Utara seperti Melayu, Batak, Karo dan sebagainya selama lebih dari satu abad. Kondisi ini menyebabkan persinggungan antar-budaya dan perilaku saling mempengaruhi 8. Keberlanjutan yang penulis maksudkan adalah keberlanjutan unsur-unsur budaya yang dibawa oleh masyarakat Sunda yang bermigrasi ke Kota Medan. Keberlanjutan ini meliputi keberlanjutan material sebagai produk budaya dan keberlanjutan yang menyangkut konsep dan nilai-nilai budaya Sunda di tengah interaksi sosial dengan budaya lain di Kota Medan. Sedangkan perubahan yang dimaksud adalah perubahan unsur kebudayaan yang diakibatkan oleh persebaran secara geografis (difusi), adaptasi dan interaksi sosial. Perubahan yang dicakup dalam tulisan ini meliputi perubahan struktur upacara, materi upacara dan perubahan konsep dan sistem nilai dalam konteks upacara mapag pangantén.
I.6. Kerangka teori Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas permasalahan. Untuk itu penulis mencoba mengambil beberapa teori yang dianggap perlu sebagai referensi atau acuan dalam penulisan skripsi ini. Koentjaraningrat (1986:377-8) memberikan pengertian upacara sebagai suatu kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku sesuai 8
Lihat Human Society (Davis, 1960), The Western Impact (Nettl, 1985)
Universitas Sumatera Utara
dengan komponen keagamaan. Komponen keagamaan itu dapat dilihat dari : tempat upacara, waktu upacara dilaksanakan, benda-benda atau alat-alat upacara, orang yang melaksanakan dan pemimpin upacara. Teori tentang upacara tersebut relevan digunakan dalam meneliti rangkaian pelaksanaan upacara mapag panganten. Untuk membahas perpindahan unsur-unsur budaya Sunda di Sumatera, Koentjaraningrat menyarankan teori difusi, yaitu proses persebaran kebudayaan secara geografis. Ada beberapa jenis teori difusi antara lain; (a) difusi yang masingmasing unsur kebudayaannya tidak berubah, (b) difusi stimulus yang meliputi jarak yang besar melalui suatu rangkaian pertemuan antara suatu deretan suku bangsa, (c) difusi hirarki yang menyebar dari satu pihak yang dianggap penting ke pada masyarakat lain, dan (d) difusi yang disebabkan perdagangan yang menimbulkan dampak yang lebih besar dari difusi jenis (a). Berdasarkan teori tersebut, kebudayaan Sunda yang ada di Sumatera bisa digolongkan pada difusi stimulus, di mana unsur-unsur kebudayaan Sunda berinteraksi melalui serangkaian pertemuan dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang telah ada di Sumatera, seperti Melayu dan Batak. Pertemuan kebudayaan ini mempengaruhi pola hidup orang Sunda, yang juga berimplikasi pada pelaksanaan upacara mapag panganten.
Universitas Sumatera Utara
Kingsley Davis berpendapat bahwa pertemuan-pertemuan kebudayaan ini terjadi karena hubungan secara fisik antar dua masyarakat 9 sehingga terjadi perilaku saling mempengaruhi (Davis 1960: 622-3). Pada tahap selanjutnya, perilaku saling mempengaruhi ini mengakibatkan perubahan sosial yang dicirikan dengan perubahan unsur kebudayaan seperti berubahnya struktur dan fungsi masyarakat. Perubahan sosial juga terjadi pada unsur-unsur material di mana masyarakat pendatang harus mengadaptasi ketersediaan materi-materi budaya di tempat baru. Namun demikian, konsep-konsep nilainya tetap dipertahankan (Cowell 1959: 40). Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka masyarakat Sunda yang ada di Sumatera Utara, khusunya di Kota Medan telah berinteraksi secara sosial dengan masyarakat lain seperti Melayu dan Batak. Interaksi sosial ini menimbulkan perubahan budaya secara material sebagai akibat dari adaptasi terhadap ketersediaan materi-materi budaya di luar wilayar budaya Sunda. Meskipun demikian, nilainilainya tetap dipertahankan secara konseptual. Kerangka berpikir teoretis di atas penulis gunakan dalam rangka menganalisis musik pada upacara mapag panganten dalam hubungannya dengan konteks sosial masyarakat Sunda di Kota Medan.
9
Conrad Philip Kottak mengistilahkannya dengan inter-ethnic-contact sebagai akibat dari persinggungan antara dua masyarakat yang berbeda tingkat dominasi, daya tahan, dan modifikasi terhadap kebudayaan asalnya (Kottak 2002: 615).
Universitas Sumatera Utara
I.7. Metode Penelitian Dalam hal metode penelitian, penulis memakai metode penelitian kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penekanan kajian diarahkan pada latar dan individu tersebut secara utuh. Suatu penelitian kualitatif memungkinkan kita memahami masyarakat secara personal dan memandang mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya (Bogdan dan Taylor 1975:4-5). Pendekatan emik dan etik 10 juga menjadi penting karena penulis adalah ’orang dalam’ (insider). Hal ini membuat penulis mendapatkan kemudahan untuk mengakses informasi. Pada dasarnya, dalam penelitian lapangan, pendekatan emik merupakan identifikasi fenomena budaya menurut pandangan pemilik budaya tersebut, sedangkan etik adalah identifikasi menurut peneliti yang mengacu pada konsepkonsep sebelumnya (Kaplan dan Manners 1999:256-8). Dalam hal ini penulis bisa memandang budaya Sunda dengan pendekatan emik maupun etik. Kedua pendekatan ini dilakukan untuk medapatkan data yang objektif. Dalam upaya untuk mendapat gambaran tentang fenomena musikal dalam upacara, maka dilakukan transkripsi terhadap musik yang dipakai dalam upacara tersebut. Nettl (1964:99-103) menganggap transkripsi merupakan cara yang baik untuk dapat mempalajari aspek-aspek detail pada suatu musik dengan dua pendekatan; pertama menganalisa dan mendeskripsikan apa yang didengar, dan kedua 10
Pendekatan emik dan etik merupakan pendekatan di bidang linguistik. Namun kemudian diadaptasi dalam studi-studi ilmu budaya.
Universitas Sumatera Utara
mendeskripsikan apa yang dilihat dan menuliskannya di atas kertas dengan suatu cara penulisan
tertentu. Pendapat ini sejalan dengan May yang menganggap penting
transkripsi untuk memvisualisasikan apa yang didengar sehingga peneliti mampu mempelajari musik secara komparatif dan detail, serta untuk membantu mengkomunikasikannya pada pihak lain tentang apa yang dipikirkan dari apa yang didengar (May 1978:109).
I.7.1. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan penelitian sebelumnya, dan lain-lain. Dengan melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini. Penelusuran kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh pengetahuan awal mengenai apa yang akan diteliti. Dalam hal ini penulis mempelajari buku-buku tentang upacara adat perkawinan orang Sunda yang telah ditulis oleh peneliti-peneliti sebelumnya (Mustafa 1913, Prawirasuganda 1950, Suwondo 1975, Agoes 2003). Studi kepustakaan juga dilakukan terhadap topik-topik lain yang berkaitan dengan penelitian skripsi ini, seperti pengetahuan tentang urbanisasi, etnografi, sejarah, musikologi, dan lain-lain.
Universitas Sumatera Utara
I.7.2. Penelitian lapangan Dalam kerja lapangan penulis melakukan pengamatan dan pengambilan data melalui perekaman dan mencatat jalannya upacara secara keseluruhan, serta melakukan berbagai wawancara dengan beberapa tokoh adat, pemain musik, dan juga informan lainnya. Teknik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara berfokus (focus interview) yaitu melakukan pertanyaan selalu berpusat pada pokok permasalahan. Selain itu juga melakukan wawancara bebas (free interview) yaitu pertanyaan tidak selalu berpusat pada pokok permasalahan tetapi pertanyaan dapat berkembang ke pokok permasalahan lainnya dengan tujuan untuk memperoleh data yang beraneka ragam namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan. Perekaman
audio-visual
juga
dilakukan
selama upacara berlangsung.
Perekaman audio menggunakan mixer yang disediakan penyelenggara upacara untuk menangkap gelombang suara yang masuk ke mixer. Selain itu juga ada rekaman di luar untuk menangkap sinyal yang keluar dari loudspeaker dan merekam ambiences yang muncul selama upacara berlangsung. Keduanya direkam pada pita kaset SONY C60. Rekaman luar menggunakan alat perekam SONY TCM150. Kedua rekaman ini dilakukan bersama-sama. Selain itu ada juga rekaman yang dibuat di luar upacara. Rekaman ini dimaksudkan untuk memperjelas detil-detil yang tak terekam dengan baik pada saat upacara. Rekaman ini dilakukan secara digital. Gelombang suara yang muncul—dari repertoar yang dimainkan sesuai dengan yang penulis minta—direkam secara
Universitas Sumatera Utara
langsung dari microphone ke hardisk melalui perangkat audiocard di komputer dan perangkat lunak CoolEdit Pro2. Semua hasil rekaman ini kemudian dianalisis, di-edit, dan dirangkai kembali untuk menghasilkan rekaman yang memadai untuk ditranskripsi. Sedangkan rekaman audiovisual untuk mengabadikan adegan-adegan yang terjadi dalam upacara dilakukan dengan menggunakan kamera video Panasonic dan kamera foto Nikon E5500 dan Canon EOS20D.
I.7.3. Kerja laboratorium Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskripsian dan selanjutnya dianalisis. Pada akhirnya, data-data hasil pengolahan dan analisis disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan. 1.7.4. Metode Transkripsi Proses memindahkan bunyi dari apa yang didenganr menajdai simbol visual disebut transkripsi. Pekerjaan mentranskripsi bunyi musik adalah salah satu upaya uantuk mendeskripsikan musik, yang merupakan bagian penting dalam disiplin etnomusikologi. Seperti yang dikemukakan Phillys (1991:1) bahwa pentranskripsian musik suatu bunyi musik adalah penting dilakukan karena musik memiliki dimensi waktu, sehingga musik tidak pernah dipresentasikan secara keseluruhan pada suatu saat
Universitas Sumatera Utara
tertentu pula. Ini berarti bahwa deskripsi dan analisis yang didasarkan pada suara adalah penting, namun deskripsi juga harus selalu dilengkapi dengan analisis yang didasarkan atas tulisa/notasi (Nettl 1964:98). Jadi suatu transkripsi dibutuhkan utnuk memvisualisasikan apa yang didengar apa yang didengar untuk memkomunikasikan tentang apa yang dipikirkan dari apa yang didengar kepada orang lain (Phillys 1991:1). Dalam mentranskripsi gamelan degung yang digunakan dalam upacara mapag pangantén, penulis melakukan beberapa tahapan; tahap perekaman, pengukuran frekuensi, pentranskripsian, dan penotasian. Pada tahap perekaman, penulis merekam bunyi gamelan degung menggunakan rekaman digital dengan bantuan computer dan perangkat lunak CoolEditPro 2.0. Perekaman dilakukan dalam upacara (in-context) dan di luar upacara. Rekaman dalam upacara bertujuan untuk merekam seluruh ambience (suara lingkungan) pada saat terjadinya upacara dan rekaman di luar upacara dilakukan dengan meminta pemain gamelan untuk memainkan repertoarrepertoar yang dimainkan pada saat upacara di luar konteks upacara yang bertujuan utnuk merekam bunyi yang tidak jelas terekam pada saat upacara. Tahap berikutnya adalah mengukur frekuensi masing-masing nada dalam gamelan. Penulis mengambil sampel suara saron karena instrumen ini adalah instrumen yang membawa melodi dan penentu jalannya komposisi (master instrumen). Dari pengukuran yang penulis lakukan, dihasilkan informasi bahwa nada 1 (da) pada saron frekuensi suaranya sebesar 762,05 Hz atau hampir sama dengan
Universitas Sumatera Utara
nada g -49 pada sistem musik Barat. Nada-nada berikutnya dapat dilihat pada table berikut. Tabel 1. Frekuensi nada saron
Nada Frekuensi (Hz) Nada Barat
da
mi
na
ti
la
762,05
727,57
573,14
510,78
485,5
g -49
f# -29
d -42
c -41
b -29
(lihat Lampiran 1) Berdasarkan penghitungan frekuensi di atas, maka penulis menyusun tangganada berdasarkan sistem musik Barat. Tangga nada yang dihasilkan dpat dilihat sebagai berikut: -49
-29
-42
-41
-29
da
mi
na
ti
la
Tangganada inilah yang penulis gunakan untuk mentranskripsikan musik dalam upacara mapag pangantén, karena penulis berasumsi bahwa dengan memakai analogi sistem musik Barat, maka pembaca akan lebih mudah melihat musik dalam upacara mapag pangantén. Tahap berikutnya adalah mentranskripsikan musik dalam upacara. Penulis mengambil sampel instrumen saron dan bonang untuk ditranskripsi karena kedua instrumen ini merupakan instrumen pokok yang membawa melodi dan menentukan jalannya komposisi. Repertoar yang ditranskripsi antara lain Gending Bubuka, Rajah, Gending Punggawa, Léngsér Midang, Pajajaran, dan Bagja Diri. Kemudian hasil
Universitas Sumatera Utara
transkripsi tersebut dinotasikan dalam sistem notasi musik Barat agar lebih mudah dibaca.
I.7.4. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang penulis lakukan adalah di tempat-tempat komunitas Sunda tinggal di Kota Medan. Desa Pematang Johar Kec. Sampali Kab. Deli Serdang merupakan tempat sebagian besar orang Sunda menetap. Selain itu juga orang Sunda banyak tinggal di Kampung Banten Medan Helvetia, Jalan Angkasa Medan Polonia, dan selain itu Sanggar PWS di kawasan Setiabudi Pasar IV juga menjadi tempat penulis mengumpulkan data. Wawancara penulis lakukan di rumah Ketua PWS di Komp. Johor Indah I dan di rumah masing-masing informan; Kang Ade di jalan Darmawan no. 1 dan kang Ayi di Pematang Johar Sampali. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara bebas pada saat acara riung mungpulung (pertemuan) rutin di Wisma Kartini Jl. T. Cik Ditiro Medan. Untuk perekaman upacara, penulis lakukan di tempat upacara mapag panganten berlangsung; di Kawasan Gaperta (perkawinan Yayat-Ina) dan di Asr. Singgasana Glugur (perkawinan Rizal-Nining). Perekaman tambahan (untuk merekam bagianbagian yang tak jelas terekam ketika upacara) juga penulis lakukan dengan meminta para pemusik memainkan repertoar-repertoar sesuai yang dimainkan pada saat upacara. Perekaman ini dilakukan di rumah informan dan di rumah penulis di Asr. Singgasana Glugur Medan.
Universitas Sumatera Utara