BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Eropa mulai masuk ke Nusantara sejak perdagangan rempahrempah melonjak naik di pasaran Eropa, sehingga bangsa Eropa berlombalomba
untuk
mendapatkan
daerah-daerah
penghasil
rempah-rempah.
Perdagangan di Asia berawal sejak berabad-abad sebelum Portugis tiba dan Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) 1 didirikan. Sejarah telah mencatat bahwa kepulauan Nusantara menjadi incaran pedagang-pedagang Eropa karena terkenal subur akan jenis tanaman apapun termasuk rempahrempah. 2 VOC hadir di Nusantara dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen dengan merebut Jayakarta dari Pangeran Wijayakrama yang memerintah sebagai wakil dari kerajaan Banten. 3 VOC yang berkantor di Batavia membangun benteng-benteng beserta pegawai dan tentaranya, mempunyai suatu hubungan surat-menyurat yang aktif dan laporan-laporan yang lengkap antara pejabat di daerah dengan pusat di Batavia dalam sistem 1
Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) merupakan serikat kongsi dagang milik Belanda di Asia Timur yang didirikan pada 20 Maret 1602. Kerjasama antar kongsi ini dianggap perlu untuk menentang bersama-sama kekuasaan Spanyol-Portugis, lihat Dr. D. H. Burger dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia Jilid Pertama. Djakarta: Pradnjaparamita, 1962, hlm. 51. 2
Capt. R. P. Suyono, Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial: Penelusuran Kepustakaan Sejarah. Jakarta: Grasindo, 2005, hlm. 1. 3
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2009, hlm. 30.
1
2
perdagangannya. Pada awalnya VOC berkonsentrasi pada perdagangan rempah-rempah di Timur, namun perdagangannya berkembang dengan pesat hingga ke sutera, katun, kopi, nila, tembaga dan timah. 4 Perdagangan
yang
semakin
maju
mengakibatkan
direksi
VOC
menghendaki adanya pangkalan rendez-vous 5, bukan sebuah markas besar bagi kapal-kapalnya. Jayakarta yang menjadi Batavia pada 30 Mei 1619 dipilih Pieter Both 6 sebagai rendez-vous atas perintah dari De Heeren XVII. Dalam perkembangnnya, Both tidak pernah menyangka bahwa Batavia akan melebihi fungsinya sebagai rendez-vous bahkan menjadi pusat kekuasaan Belanda di Nusantara selama 350 tahun, dan karena itu menjadi tungku masak bagi pembangunan kebangsaan (nation-building) Indonesia. 7 Sejak Batavia dijadikan pusat pemerintahan VOC, maka pegawaipegawai pun banyak didatangkan dari negeri Belanda untuk bekerja di tanah kolonial Belanda ini. Tidak hanya orang luar yang berkepentingan sebagai pegawai di Batavia saja yang didatangkan, namun juga penduduk luar Nusantara seperti orang China. Melihat perkembangan kota Batavia yang
4
Reggie Baay, Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, Jakarta: Komunitas Bambu. 2010, hlm. 1. 5
Rendez-vous adalah sebutan untuk pangkalan tetap bagi kapal-kapal dagang VOC. 6
Gubernur Jenderal VOC yang pertama, diangkat pada 27 November 1609. De Heeren XVII-lah yang menyuruh Pieter Both menjadikan Jayakarta sebagai tempat rendez-vous itu, lihat Parakitri T. Simbolon dalam Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm. 36. 7
Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006, hlm. 36.
3
pesat, VOC mengeluarkan kebijakan yang melarang penduduk pribumi untuk hidup di Batavia sehingga VOC memerlukan lebih banyak orang. Kelompok penduduk lain dari luar Nusantara yang dibawa masuk adalah serdadu sewaan asal Jepang dan budak-budak. 8 Sejak para pegawai laki-laki VOC banyak didatangkan di Nusantara itu lah awal kemunculan para nyai di Hindia Belanda. Nyai adalah perempuan pribumi yang tidak hanya mengurus rumah tangga orang kolonial tetapi juga tidur dengannya dan pada banyak kasus menjadi ibu dari anak-anaknya. 9 Sebutan nyai adalah bagi mereka perempuanperempuan pribumi yang dijadikan gundik para orang Eropa di Hindia Belanda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, gundik berarti istri tidak resmi, perempuan piaraan, bini gelap, sedangkan nyai berarti panggilan untuk perempuan yang belum atau sudah kawin, panggilan untuk orang perempuan yang usianya lebih tua daripada orang yang memanggil, atau juga beraryi gundik orang asing (terutama orang Eropa). Kata ‘Nyai’ sendiri didapat dari bahasa Bali, bahasa Sunda, dan bahasa Jawa dengan pengertian perempuan (muda), adik perempuan, dan juga dianggap sebagai istilah panggilan.10 Istilah-istilah Belanda untuk seorang gundik ialah huishoudster, bijzit, menagere, dan meid. Di tanah Melayu, istilah gundik atau munci umum
8
Ibid., hlm. 42.
9
Reggie Baay, loc.cit.
10
Tineke Hellwig, Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007, hlm. 36.
4
digunakan. 11 Pada awalnya sebutan nyai tersebut hanya digunakan untuk menyebut perempuan simpanan laki-laki Eropa saja namun di masa selanjutnya sebutan tersebut juga digunakan bagi gundik dari kelompok lain, misalnya bangsa Cina. Sebutan nyai dan gundik memunculkan istilah kata kerja pernyaian, yang juga dapat disebut pergundikan, untuk seterusnya penulis akan menggunakan kata pernyaian dalam penulisan ini. Laki-laki Eropa “memuaskan” diri bersama perempuan-perempuan pribumi dalam penantiannya terhadap calon istri Eropa yang diidamkan. Seorang nyai dapat disuruh pergi kapan pun sang lelaki menginginkannya, meskipun hubungan itu telah menghasilkan seorang anak. Pada masa VOC, perempuan-perempuan yang dijadikan nyai ialah budak-budak perempuan di rumah tangga Eropa yang kebanyakan melakukannya dengan terpaksa. Seorang nyai berbeda dengan pelacur, walaupun terkadang sukar untuk menunjukkan garis pemisah antara pergundikan dan pelacuran. Menurut Encyclopedia Britania (1973-74) seperti yang dijelaskan oleh Thanh dan Dam Truong, pelacuran dapat didefinisikan sebagai praktik hubungan seksual sesaat, yang kurang lebih dilakukan dengan siapa saja (promiskuitas), untuk imbalan berupa upah. Pelacuran dikarakteristikkan oleh tiga unsur utama: pembayaran, promiskuitas, dan ketidakacuhan emosional.12 Sedangkan dalam pernyaian, terdapat rentang waktu yang cukup lama antara si perempuan dengan lelaki dalam hal pemuas kebutuhan biologis bagi sang 11 12
Ibid.
Thanh dan Dam Truong, Seks, Uang dan Kekuasaan: Pariwisata dan Pelacuran di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES, 1992, hlm. 15.
5
lelaki. Ada interaksi yang cukup intensif antara keduanya, bahkan hampir seperti selayaknya suami istri. Tak jarang ditemui pasangan laki-laki Eropa dengan perempuan pribumi dalam hubungan pernyaian tetapi saling mencintai. Praktik pernyaian banyak terjadi dalam beberapa tempat yang memang pada saat itu menjadi pusat-pusat pemerintah atau perekonomian pemerintah Hindia Belanda. Setiap tempat mempunyai karakteristik praktik pernyaian yang berbeda, baik itu dalam pengambilan seorang nyai atau perlakuan terhadap nyai sehingga berpengaruh terhadap peranan nyai itu sendiri. Tempat-tempat tersebut antara lain di Batavia sebagai pusat pemerintahan Belanda di Hindia Belanda, di perkebunan-perkebunan swasta sebagai pusat perekonomian pemerintah Hindia Belanda, serta di tangsi-tangsi militer yang menjadi basis keamanan dan pertahanan pemerintah Hindia Belanda. Seiring dengan perkembangan perekonomian sejak diberlakukan Politik Liberal di Hindia Belanda dan perkembangan pendidikan sejak Politik Ethis menyebabkan semakin besarnya arus modernisasi di Hindia Belanda dan menimbulkan banyak perubahan dalam berbagai bidang kehidupan di dalam masyarakat. Modernisasi berasal dari kata “modern” yang berarti terbaru, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, modern mempunyai definisi sikap dan cara berpikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan modernisasi berarti proses pergeseran sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan tuntutan masa kini. Budaya bangsa Eropa yang datang ke Hindia Belanda inilah yang djadikan
6
ukuran dalam menentukan modern, bisa dalam hal pemutakhiran transportasi, mata uang yang beredar, bahasa, bangunan, budaya, serta gaya hidup. Modernisasi ini terjadi melalui proses perubahan yang tidak mudah, dengan didukung oleh beberapa kelompok dalam masyarakat. Modernisasi ini ditransformasikan dengan berbagai cara dan media secara disengaja maupun secara alami oleh beberapa masyarakat pendukungnya, termasuk nyai diantaranya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia transformasi berarti perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dsb), atau perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya. Seorang nyai berperan di dalam transformasi modernisasi di Jawa pada khususnya, transformasi modernisasi yang penulis maksud adalah proses perubahan kebiasaan atau budaya masyarakat Jawa yang termodernkan oleh budaya masyarakat Eropa yang datang ke Hindia Belanda. Modernisasi tersebut terjadi di berbagai bidang kehidupan masyarakat, hingga membentuk suatu akulturasi budaya. Penulis mencoba untuk meneliti bagaimana peranan nyai dalam perubahan atau transformasi modernisasi di Jawa. Saat ini, sosok nyai tidak begitu diketahui oleh masyarakat Indonesia pada khususnya. Banyak masyarakat yang masih menganggap bahwa praktik pernyaian ini sama dengan pelacuran. Pelacuran ini hingga sekarang masih ada di setiap wilayah Indonesia dan masyarakat menyamakannya dengan
7
praktik kumpul kebo 13 yang dianggap sebagai perbuatan zina oleh sebagian besar kaum muslim maupun masyarakat luas. Masyarakat masih memandang sebelah mata tentang pernyaian tanpa mengkritisi lebih dalam bagaimana peranan nyai tersebut dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia hingga kini. Bagaimana asal-mula keelokan perempuan dan laki-laki berwajah Indo-Eropa yang saat ini menjadi idola publik dan menjadi lahan yang menguntungkan di dalam dunia hiburan, tidak banyak orang tahu bahwa seorang nyai ini merupakan nenek moyang mereka. Tidak banyak yang mengetahui bagaimana peranan seorang nyai dalam pertukaran budaya Jawa dengan budaya tuannya. Peranannya dalam proses perubahan modernisasi yang saat itu sedang berkembang di negara-negara jajahan. Beberapa budaya yang kini diklaim sebagai budaya asli Indonesia pun sebenarnya terdapat benang merahnya dengan keberadaan nyai. Maka, penulis ingin meneliti dan mengeksplor bagaimana peranan nyai ini dalam transformasi modernisasi di Jawa. Agar masyarakat Indonesia dapat mengetahui, dan lebih menghargai nyai-nyai yang pada zamannya hidup dalam tekanan di negeri asalnya sendiri, karena dianggap sebagai antek-antek kompeni. Batasan temporal skripsi ini adalah antara tahun 1870 hingga 1942, dimana pada tahun 1870 modernisasi mulai dirasakan oleh rakyat Jawa. Hal
13
Kumpul kebo merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam menyebut pasangan laki-laki dan perempuan yang hidup bersama selayaknya suami istri, tetapi tidak ada ikatan pernikahan yang sah secara hukum maupun agama.
8
tersebut didukung dengan kebijakan Politik Pintu Terbuka 14 dan Politik Ethis 15 yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda. Hindia Belanda tidak hanya didatangi oleh pengusaha-pengusaha asing, namun masyarakat pribumi juga diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan walaupun sekedar mengenal tulisan. Dampak dari politik balas budi ini ternyata bukan hanya dirasakan oleh kalangan elite saja, justru seorang nyai yang dipandang sebelah mata mempunyai peran yang sangat penting dalam transformasi modernisasi di Jawa khususnya. Para nyai inilah perempuan-perempuan maju di zamannya. 16 Hal ini dikarenakan intensitas interaksinya yang banyak dengan tuan-tuan Eropa-nya. Sedangkan di tahun 1942 adalah masa berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda dengan ditandai perebutan kekuasaan oleh pemerintah Jepang. Pernyaian atau pergundikan ala kolonial berangsur-angsur lenyap ketika perempuan bangsa Belanda dan Eropa lainnya berimigrasi ke Hindia dalam skala besar. 17 Pada masa ini banyak terjadi kebimbangan para
14
Politik ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria pada masa liberal yang isinya antara lain diperbolehkan menyewakan tanah oleh orang-orang Indonesia kepada orang-orang bukan Indonesia, lihat Dr. D. H. Burger dalam Sedjarah Ekonomis Sosiologis Indonesia Jilid Pertama. Jakarta: Negara Pradnjaparamita, 1962, hlm. 220-221. 15
Politik Ethis dicetuskan oleh salah seorang kaum ethis bernama Van Deventer. Politik ini menggunakan tiga sila sebagai slogannya, yaitu Irigasi, Edukasi, dan Emigrasi, lihat Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme Jilid 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm. 30-32. 16
Linda Christanty, “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda”, Prisma No. 10, 1994, hlm. 34. 17
Elsbeth Locher-Scholen, dalam Linda Christanty, “Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda”, Prisma No. 10, 1994, hlm. 35.
9
nyai dan anak-anaknya. Kebimbangan antara pilihan untuk tetap di negeri asalnya atau mengikuti tuan-tuan Eropa-nya kembali ke negeri Belanda, karena di negeri sendiri mereka dicela, di masyarakat Belanda pun mereka tidak diterima. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka rumusanrumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mengapa muncul praktik-praktik pernyaian di Jawa? 2. Bagaimana model-model pernyaian di Jawa? 3. Bagaimana peranan nyai dalam transformasi modernisasi di Jawa pada tahun 1870-1942? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum a. Menjadi bahan kajian untuk meningkatkan dan mengembangkan daya pikir analitis, kritis, logis, obyektif, dan sistematis dalam penelitian sejarah. b. Melatih menyusun karya tulis sejarah yang berpegang pada metodologi sejarah dan diharapkan mampu menghasilkan penelitian yang berkualitas. c. Menambah khasanah ilmu pengetahuan dan koleksi sejarah untuk pengembangan ilmu sejarah lebih lanjut. 2. Tujuan Khusus
10
a. Memaparkan penyebab kemunculan praktik-praktik pernyaian di Jawa. b. Menganalisa dan mengetahui model-model pernyaian di Jawa. c. Menganalisa dan mengetahui peranan nyai dalam transformasi modernisasi di Jawa pada tahun 1870-1942. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Pembaca a. Diharapkan pembaca menjadi lebih mengerti dan mendapatkan gambaran yang jelas, benar, dan obyektif tentang kehidupan perempuan-perempuan pribumi yang dijadikan gundik-gundik orang Eropa yang bekerja di Hindia Belanda. b. Menambah wawasan kesejarahan pembaca tentang model-model pernyaian yang ada di Hindia Belanda. c. Mengetahui peranan nyai dalam transformasi modernisasi di Jawa pada tahun 1870-1942. 2. Bagi Penulis a. Guna memenuhi persyaratan memperoleh gelas Sarjana Pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta. b. Menambah pengetahuan bagi penulis tentang nyai dan pergundikan di Jawa, latar belakang pernyaian, model-model pernyaian yang ada di Jawa, peranan nyai dalam transformasi modernisasi di Jawa tahun 1870-1942. c. Sebagai tolak ukur bagi penulis untuk mengetahui seberapa besar pengetahuan dan kemampuan penulis dalam menganalisa suatu
11
peristiwa sejarah serta dapat menyajikannya dalam suatu karya ilmiah yang objektif. E. Kajian Pustaka Kajian pustaka adalah telaah terhadap pustaka atau literatur yang menjadi landasan pemikiran dalam penelitian. 18 Kajian pustaka sangat penting dan diperlukan dalam suatu penulisan karya ilmiah. Melalui kajian pustaka penulis mendapatkan literatur atau beberapa pustaka yang akan digunakan dalam penelitian sejarah. Praktik pernyaian sudah dimulai sejak penjajahan bangsa asing di Hindia Belanda dan berkembang pesat ketika banyak pegawai-pegawai laki-laki banyak didatangkan di negeri-negeri jajahan. Jumlah laki-laki Eropa dan wanita Eropa di Hindia Belanda yang tidak sesuai, dimana laki-laki Eropa lebih banyak dari jumlah wanita Eropa semakin memperbanyak fenomena sosial ini. Pernyaian sebenarnya tidak selalu didukung oleh pemerintah Hindia Belanda, karena sejak awal bangsa Belanda memandang orang-orang pribumi adalah orang-orang kotor. Mengangkat seorang nyai dari kalangan rakyat pribumi masih menjadi hal tabu bagi pihak Belanda maupun pihak pribumi sendiri. Sebut saja J. P. Coen, salah satu Gubernur Jenderal VOC yang melakukan berbagai hal untuk melarang dan menekan pertumbuhan pernyaian oleh orang-orang Belanda di Hindia Belanda, namun pernyaian justru tumbuh pesat bak jamur di musim hujan. 18
Jurusan Pendidikan Sejarah, Pedoman Penulisan Tugas Akhir Skripsi. Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta, 2006, hlm. 3.
12
Permasalahan di atas, dapat penulis temukan jawabannya dari beberapa literatur antara lain, buku karya Reggie Baay berjudul Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda yang merupakan terjemahan dari buku De Njai: Het Concubinaat in Nederlands-Indië. Buku ini merupakan buku utama yang digunakan oleh penulis untuk penulisan karya ilmiah. Buku setebal 297 halaman ini mengungkap sejarah perempuan-perempuan pribumi yang hidup bersama laki-laki Eropa selama penjajahan Belanda. Perempuan-perempuan inilah yang kemudian menjadi ibu dari orang-orang Mestizo 19. Penulis buku ini menginginkan adanya perhatian terhadap sejarah para perempuan yang selalu dibelakangkan dan dilupakan, baik di Belanda maupun Indonesia. Kebanyakan dari keluarga Indo bahkan melupakannya, padahal perempuan Indonesia ini, sang nyai merupakan nenek moyang mereka. Kemunculan nyai dimulai sejak para pegawai VOC tiba di Nusantara sekitar tahun 1600-an. Pegawai-pegawai Eropa yang ditugaskan ke Hindia Belanda biasanya tidak dibersamai dengan keluarganya. Bagi pegawai yang belum mempunyai istri, dalam penantiannya terhadap calon istri Eropa yang sesuai mereka pun “memuaskan” diri bersama perempuan pribumi muda. Pada masa VOC, perempuan-perempuan tersebut biasanya berasal dari budak-budak perempuan yang diperjualkan sebagai pelayan rumah tangga. Dalam banyak kasus, mereka tidak hanya mengurusi rumah tangga orang kolonial tetapi juga tidur dengannya, bahkan menjadi ibu dari anak-anaknya.
19
Sebutan bagi anak dari perkawinan campuran antara orang Eropa dengan pribumi, biasa disebut juga Indo-Eropa atau Eurasia.
13
Buku ini selain menceritakan bagaimana awal fenomena pergundikan, kisah kehidupan para gundik-gundik Eropa, juga memaparkan bagaimana pergundikan itu sempat ditolak dan diberantas keras oleh beberapa Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sebut saja Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-4, Jan Pieterszoon Coen, ia mengeluarkan larangan untuk memelihara seorang atau lebih gundik di rumah, tempat tinggal atau tempat lain, dengan penjagaan apapun yang terjadi. Larangan ini mulai berlaku pada 11 Desember 1620. 20 Meskipun demikian, pergundikan tetap bertahan kuat selama masa kolonial. Buku yang kedua berjudul Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda karya Tineke Hellwig. Literatur kedua ini memberikan gambaran penulis tentang posisi kaum perempuan pribumi pada masa penjajahan Belanda. Keberadaan nyai dipaparkan cukup detail, serta bagaimana usaha-usaha Coen dalam menentang hubungan pegawai-pegawai Eropa dengan para perempuan pribumi. Tidak hanya didukung atas fakta-fakta, tetapi pengarang juga memaparkan kisah-kisah tentang perempuan Hindia Belanda yang ada pada waktu itu, sehingga penulis dapat membandingkan antara fakta dengan kisah fiktif yang ada pada novel-novel tentang perempuan Hindia Belanda khususnya nyai. Semakin lama pernyaian menjadi hal yang biasa ditemui di tanah jajahan. Orang Eropa mempunyai seorang nyai yang diambil dari kalangan pribumi menjadi pemandangan yang biasa masyarakat lihat sehari-hari. Bahkan status 20
Reggie Baay, op. cit., hlm. 2.
14
nyai digunakan beberapa golongan masyarakat pribumi untuk menaikkan status sosialnya. Pernyaian tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat umum atau sipil, tetapi juga terjadi di pusat-pusat kegiatan ekonomi pemerintah Hindia Belanda dan di kalangan militer Hindia Belanda, tepatnya di tangsitangsi militer tentara Hindia Belanda. Pernyaian yang terdapat di ketiga tempat tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda, baik dalam hal pengambilan nyai maupun perlakuan kepada para nyai tersebut. Permasalahan di atas penulis dapatkan jawabannya dari sebuah literatur terjemahan berjudul Perkotaan, Masalah Sosial dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial karya John Ingleson. Buku ini lebih banyak memaparkan praktik pergundikan di kota-kota dan perkebunan. Pergundikan dilihat sebagai sebuah masalah sosial yang terjadi akibat dari perkembangan masyarakat atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Hindia-Belanda sendiri. Khususnya setelah tahun 1870 ketika perekonomian kolonial terbuka bagi perusahaan swasta. Perluasan perkebunan, khususnya di wilayah yang berpendudukan sedikit di Jawa Barat, dan pertumbuhan industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah menyebabkan terjadinya perpindahan laki-laki di wilayah tersebut. 21 Masalah juga tidak hanya terjadi di kalangan buruh pribumi, terdapat proporsi yang tinggi untuk jumlah laki-laki Eropa yang belum menikah, baik penduduk sipil maupun militer, sedangkan jumlah wanita diantara mereka hanya sedikit. Hal tersebut akhirnya menyebabkan
21
John Ingleson, Perkotaan, Masalah Sosial dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial. Jakarta: Komunitas Bambu, 2004, hlm. 214.
15
adanya praktik pernyaian dan prostitusi di dunia sipil, perkebunan, dan tangsi-tangsi militer. Keberadaan nyai bukan tidak ada artinya sama sekali bagi pihak kolonial Belanda atau pun dari pihak bangsa Indonesia. Keberadaan seorang wanita yang hidup bersama lelaki Eropa menjadi salah satu perjalananan sejarah bangsa hingga terbentuk satu bangsa Indonesia dengan ciri khas budayanya. Nyai dimanfaatkan lelaki Eropa untuk bisa bertahan hidup di negara tropis, bagaimana meramu obat, bagaimana beradaptasi dengan suhu yang lebih panas dari negara asalnya, sampai cara berinteraksi dengan rakyat pribumi. Interaksi yang intensif dengan tuan Eropanya menjadi awal kemajuan bagi sang nyai. Nyai diharuskan mampu berbahasa Belanda, membantu tuannya menyesuaikan diri dengan budaya pribumi, hingga mengimbangi penampilan tuan Eropanya. Akhirnya, ada satu ciri khas tersendiri dari sang nyai yang membuatnya mudah dikenali sebagai seorang nyai, baik dari gaya berbusana, gaya hidup, maupun cara mengasuh anak-anaknya. Peranan nyai dalam transformasi modernisasi di Jawa secara garis besar penulis dapatkan dari beberapa buku, antara lain buku terjemahan yang berjudul Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda, 19001942 oleh Dr. Frances Gouda. Pada bagian awal buku ini lebih menekankan bagaimana budaya orang-orang Eropa khususnya Belanda yang hidup di Hindia Belanda bercampur dengan budaya-budaya pribumi di Hindia Belanda. Bahkan setelah mereka kembali ke negeri Belanda sejak Perang Dunia ke-2. Terkadang di rumah Eropa, ibu-ibu masih sering menggunakan
16
kosakata-kosakata pribumi yang biasa dibicarakan dengan orang-orang pribumi. Begitulah yang terjadi pada masa kecil sang penulis, terkadang sang ibu mengucap kata-kata yang tidak ia pahami. Barulah ketika dewasa ia tahu bahwa itu bahasa yang dibawa dari Hindia Belanda. Orang-orang Eropa itu tak pernah sedikitpun mau mengakui budaya Eropa mereka yang telah terkontaminasi budaya pribumi. Benturan budaya ini sangat wajar terjadi, karena orang-orang Eropa yang tinggal di Hindia sedemikian lamanya harus selalu berinteraksi dengan pribumi dalam berbagai bidang kehidupan setiap harinya. Pembahasan mengenai kehidupan perempuan-perempuan pribumi secara detail dipaparkan dalam Bab 5, yaitu Jender, Ras, dan Seksualitas. Bab pada halaman 276-343 ini tidak hanya memaparkan kisah para gundik orang Eropa saja, tapi juga kehidupan wanita-wanita Eropa di Hindia Belanda yang hidup dalam lingkaran kemalasan. Dalam buku ini digambarkan bahwa mereka berjalan mondar-mandir dengan bertelanjang kaki dan membungkus tubuhnya hanya dengan sehelai kain sarung tanpa korset, menghabiskan hari-harinya dikelilingi anak-anak mereka seperti seekor beruang, menggerutu dalam kemalasan, bergunjing, atau membodohi pelayan-pelayan Melayu. Kegiatan rumah tangga semuanya dikerjakan oleh pelayan-pelayan pribumi, namun kedekatan fisik dengan para pelayan membuat mereka takut dan tidak nyaman. Di buku-buku panduan perempuan berkulit putih seringkali juga menggambarkan para pelayan sebagai sosok yang misterius, tidak dapat dipercaya atau kotor, bahkan terkadang keras kepala dan tidak
17
dapat diatur di rumah mereka sendiri. Tidak hanya di buku panduan domestik, seringkali penggambaran bahwa pemilik kulit coklat merupakan suatu kegagalan umat manusia bahkan berbahaya ditemui di buku-buku fiksi, seperti novel. Hal terbalik justru terjadi ketika seorang perempuan pribumi dinikahi atau menjadi pasangan seorang pejabat tinggi, status sosialnya bahkan bisa melebihi dan mengalahkan perempuan Eropa di Hindia Belanda. Misalnya, ada sebuah cerita di wilayah perkebunan Deli di Pantai Timur Sumatra, seorang perempuan Belanda yang memiliki garis keturunan sempurna atau latar belakang yang kaya, dapat mengalah dari seorang mantan gadis pasar yang diam-diam ia hina dengan sebutan murahan dan vulgar, hanya karena suami gadis itu dapat lebih cepat naik jabatan di perkebunan karet. Berjalannya waktu yang panjang mengakibatkan pernikahan orang-orang Belanda dengan perempuan pribumi asli maupun berdarah campuran merupakan hal yang dianggap biasa dan normal. Tidak hanya ras kulit putih dan kulit berwarna yang bersatu, budaya kedua ras tersebut juga saling silang. Seperti yang digambarkan Frances Gouda berikut: Pertautan antar ras berkembang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bentangan budayanya, pertautan antar-ras menjadi bagian dari moral dan adat kebiasaan di wilayah tersebut adalah laki-laki lajang baik dari kelas atas maupun kelas bawah hidup bersama dengan perempuan simpanannya. 22
22
Frances Gouda, Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 1995, hlm. 291.
18
Jadi dapat dijelaskan bahwa penyatuan antara dua ras dalam hubungan biologis tidak hanya berdampak pada lahirnya golongan masyarakat baru, yakni percampuran antar dua gen yang berbeda, tetapi juga berakibat pada terbentuknya suatu adat kebiasaan baru. Kebudayaan baru ini kemudian berkembang dalam masyarakat sehingga semakin memperkaya sejarah dan budaya suatu bangsa. Buku kedua adalah karya Leonard Blusse, yang berjudul Persekutuan Aneh: Pemukiman Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC. Persekutuan aneh yang dimaksud dalam buku ini adalah telah terjadi apa yang disebut sebagai ‘hubungan-persetubuhan’ yang melibatkan antara masyarakat Belanda dengan Cina di Batavia. Hubungan itu baik bersifat pribadi atau golongan. Persekutuan aneh ini menjadi pertanda, tidak sedikit dari para perempuan Cina yang dipaksa menjadi perempuan-perempuan pelayan tidur para kompeni atau pegawai-pegawai Eropa di Hindia Belanda, meskipun di buku ini lebih menekankan pada perempuan etnis Cina, bukan perempuan pribumi. Peranakan-peranakan yang lahir dari perempuan Cina dengan para serdadu Belanda ini memberikan sumbangsih akan perubahan sosial di Hindia Belanda mengingat bahwa kelompok etnis terbesar di antara penduduk sipil merdeka di Batavia. Perlu diketahui juga bahwasanya sebutan ‘Nyai’ bukan hanya ditujukan untuk perempuan-perempuan pribumi yang dijadikan gundik orang Eropa, namun semua perempuan baik itu dari kalangan pribumi, atau bukan (semisal etnis Cina, Jepang, atau Filipina). Tuan-tuan yang mengambil seorang nyai
19
untuk melayaninya juga tidak hanya di kalangan tuan Eropa saja, tetapi juga di kalangan laki-laki Cina kaya, Arab, bahkan beberapa kaum bangsawan pribumi. Di dalam bab 7 buku ini mengutarakan bagaimana usaha-usaha Jan Pietersz Coen memberantas praktik-praktik pergundikan yang dilakukan pegawai-pegawainya di Hindia Belanda, walaupun akhirnya tetap tidak membuahkan
hasil yang diinginkan. Praktik pergundikan masih tetap
bertahan kuat di kalangan pegawai kompeni di Hindia Belanda. Percampuran budaya antara Belanda dengan budaya pribumi terdapat dalam buku karya Djoko Soekiman yang berjudul Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Tidak hanya tentang seni bangunan saja, di dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana budaya Belanda telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat pribumi, begitu pula sebaliknya budaya pribumi juga telah mempengaruhi gaya hidup orang-orang Belanda, baik orang Belanda totok 23, orang keturunan Belanda yang lahir di Hindia Belanda ataupun anak-anak Indo-Belanda. Sejak awal kehadiran bangsa Belanda telah terjadi kontak budaya yang kemudian menghasilkan perpaduan budaya. Kebudayaan campuran yang didukung oleh segolongan masyarakat Hindia-Belanda itu disebut “Kebudayaan Indis”. Percampuran budaya tersebut meliputi berbagai unsur kebudayaan. Kebudayaan Belanda yang dating memperkaya Kebudayaan Indonesia dalam konteks tujuh unsur budaya universal, yaitu: (1) Bahasa, (2) Peralatan dan perlengkapan hidup manusia,
23
Totok digunakan untuk orang Belanda atau orang Eropa asli.
20
(3) Mata pencaharian hidup dan system ekonomi, (4) system kemasyarakatan, (5) Kesenian , (6) Ilmu pengetahuan, (7) Religi. 24 F. Historiografi yang Relevan Historiografi merupakan rekonstruksi sejarah melalui proses pengujian dan menganalisis secara kritis dari peninggalan masa lampau. 25 Tulisan sejarah sebagai suatu karya ilmiah perlu didukung oleh historiografi yang relevan. Secara harfiah historiografi berarti pelukisan sejarah, gambaran sejarah tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Secara terminologi, historiografi berarti representasi tentang masa lalu dalam bentuk karya ilmiah. 26 Sedangkan historiografi yang relevan memiliki pengertian kajiankajian historis yang mendahului sebuah penelitian dengan tema atau topik yang hampir sama. Kegunaan dari historiografi yang relevan adalah untuk menunjukkan keaslian
dari
sebuah
karya
ilmiah,
sehingga
karya
tersebut
bisa
dipertanggungjawabkan sebagai sebuah karya yang asli, bukan plagiat dari karya lain yang telah ada sebelumnya. Historiografi yang relevan dapat berupa buku,
skripsi,
tesis,
maupun
disertasi
yang
keasliannya
dapat
24
Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis: Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Jakarta: Komunitas Bambu, 2011, hlm. 20. 25
Ankersmith, Refleksi tentang Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1984, hlm. 268. 26
Helius Sjamsudin dan Ismaun, Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta: Depdikbud, 1996, hlm. 16.
21
dipertanggungjawabkan. Adapun historiografi yang relevan dari skripsi ini antara lain: Pertama, skripsi berjudul “Kesetiaan dan Resistensi: Pernyaian di Batavia, 1880-1900” oleh Angger Tondo Asmoro, seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada 2012. Penelitian ini membahas mengenai realitas sosial yang dihadirkan para nyai dalam keluarga Eropa atau Tionghoa. Sejak awal kemunculan nyai di Batavia pada masa VOC, nyai telah memberikan sumbangan besar bagi terbentuknya masyarakat Hindia Belanda. Gelombang migrasi yang didominasi oleh laki-laki semakin besar ke Hindia Belanda pada masa liberalisme yang tidak diikuti oleh para imigrasi perempuan berdampak pada ketidakseimbangan antara laki-laki Eropa dengan perempuan Eropa. Bagi laki-laki Eropa, mengambil perempuan pribumi untuk dijadikan nyai lazim dilakukan. Dalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga Eropa ataupun Tionghoa nyai memiliki kisah suka dan duka, kekerasan diterima apabila nyai tidak melayani tuannya dengan baik. Kekerasan yang diterima oleh nyai pada suatu waktu tidak direspon dengan biasa saja, namun terkadang terdapat resistensi dari nyai. Hubungan pernyaian pada masa tersebut, perempuan memiliki posisi yang rawan, tidak hanya direndahkan dalam status rasnya tetapi juga dari gendernya. Seorang nyai sewaktu-waktu dapat diusir keluar rumah tuannya dan kehilangan tumpuan ekonominya. Perbedaan skripsi yang akan penulis susun dengan skripsi di atas adalah penulis mencoba menulis eksistensi seorang nyai di suatu wilayah yang lebih luas, yaitu di Jawa. Penulis juga akan memaparkan peranan nyai dalam
22
perubahan budaya yang ada di Jawa, perubahan yang disebut-sebut sebagai transformasi modernisasi. Walaupun hidup dalam ketidakpastian, eksistensi seorang nyai ini telah terbukti dalam berbagai wujud modernisasi khas seorang nyai pada waktu itu. Wujud modernisasi inilah yang akan dibahas secara mendalam oleh penulis. Kedua, tesis karya Lukitaningsih, mahasiswa pascasarjana Universitas Gadjah Mada tahun 2003 yang berjudul “Buruh Perempuan di Perkebunan Karet Sumatra Timur 1900-1940”. Tesis yang terdiri dari 4 bab ini bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai perempuan yang bekerja sebagai buruh di perkebunan karet Sumatra Timur, serta bagaimana peran seorang perempuan sebagai tenaga buruh dalam proses produksi. Pada bab 4 tentang kondisi buruh perempuan ini memaparkan bukan hanya kondisi ekonomi, akan tetapi juga kondisi sosial budaya para buruh perempuan tersebut. Bagaimana praktik-praktik pergundikan banyak terjadi antara pegawai-pegawai perkebunan dengan buruh perempuan perkebunan baik yang berasal dari luar Hindia Belanda maupun dari Jawa. Tidak hanya buruh perempuan lajang yang diambil sebagai gundik, namun tidak jarang buruh perempuan yang sudah mempunyai suami pun diambil para pegawai Eropa di perkebunan jika mereka menginginkannya. Buruh laki-laki Jawa hanya pasrah menyerahkan istrinya tanpa bisa berbuat apa-apa. Bentuk pernyaian adalah cara yang umum untuk memenuhi kebutuhan seks di perkebunan dan mendapat toleransi dari masyarakat kulit putih, sedangkan para buruh pribumi tidak berdaya untuk mencegahnya.
23
Perbedaan skripsi yang akan penulis susun dengan tesis di atas adalah penulis mencoba menulis bagaimana peranan gundik atau nyai dalam menstransferkan budaya pribumi kepada budaya Eropa tuan mereka, maupun sebaliknya sebagai mediator dalam memperkenalkan budaya Eropa orangorang kolonial kepada orang pribumi. Penulis memasuki ranah sosial budaya saja, dimana pernyaian yang awalnya merupakan hal yang masih tabu dan sempat dilarang keras justru berakibat positif bagi perempuan-perempuan Jawa dalam hal status sosial mereka yang naik mengingat pada saat itu perempuan Jawa hanya dipandang sebelah mata oleh laki-laki apalagi yang hanya rakyat pribumi biasa atau bahkan berasal dari seorang budak. Perempuan-perempuan Jawa erat kaitannya dengan fungsinya yang hanya sebagai konco wingking laki-laki, tidak berhak mengenyam pendidikan dan harus rela dipingit pada usia 12 tahun. Pada masa yang sama para nyai justru bisa banyak belajar dari tuan Eropanya mengenai berbagai hal, baik itu bahasa, budaya, ekonomi, bahkan politik. Ketiga, skripsi karya Siti Utami Dewi Ningrum yang berjudul “Perempuan-prempuan Dalam Kehidupan Sosial Tentara Kolonial di Jawa, 1830-1942”. Tulisan mahasiswa Universitas Gadjah Mada tahun 2013 ini menjelaskan mengenai kekerasan terhadap perempuan yang terjadi pada masa kolonial, lebih khususnya ialah terhadap Sarina 27. Tulisan ini bertujuan untuk merekonstruksi dan menginterpretasikan apa yang dialami oleh para Sarina 27
Sarina merupakan sebutan bagi para pelayan perempuan yang berada di dalam tangsi untuk mengurusi keperluan hidup tentara kolonial, dan sering disebut sebagai pasangan mereka.
24
yang kemudian dapat direfleksikan sebagai pembelajaran dan pemberdayaan bagi para perempuan agar memiliki kekuatan lebih sehingga tidak lagi menjadi korban budaya patriarki. Sarina ini merupakan salah satu wajah pergundikan yang ada di Hindia Belanda. Awal pernyaian dalam tangsi dipicu oleh kecemburuan tentara kolonial Eropa dan Afrika atas pemberian izin kepada tentara kolonial pribumi untuk membawa serta keluarga mereka ke dalam tangsi. Akibatnya mereka kemudian mengikuti jejak yang sama yaitu membawa teman kencan mereka masuk ke dalam tangsi. Tangsi militer pun menjadi tempat yang penuh dengan skandal seks. Skripsi ini banyak memaparkan bagaimana realitas kehidupan “Nyai tangsi”, kehidupan yang serba tidak pasti. Walaupun pengangkatan seorang nyai untuk para tentara kolonial tetap melewati berbagai persyaratan yang diberlakukan oleh pemerintah militer, namun pada akhirnya tidak ada jaminan kehidupan yang lebih baik di masa depan mereka. Sarina tidak dapat menuntut apapun dari hubungan pernyaian yang dijalaninya bersama tentara kolonial, baik ia ditinggal mati atau ditinggal pasangannya kembali ke negeri asalnya. Perbedaan skripsi penulis dengan skripsi di atas adalah pada fokus pembahasannya. Skripsi karya Siti Utami Dewi Ningrum di atas lebih memfokuskan pada realitas kehidupan dari sang nyai yang menyakitkan dan, penuh kekerasan di dalam tangsi-tangsi militer, sedangkan skripsi yang akan penulis susun memfokuskan pada hasil daripada perjuangan hidup sang nyai. Tidak hanya tentang kisah yang menyedihkan, namun penulis ingin
25
mengungkapkan sisi lain dari kisah nyai yang ada di Jawa yaitu peranannya memberikan sumbangsih dalam pembentukan budaya yang hingga sekarang menjadi salah satu ciri khas budaya dari Indonesia. Penulis juga tidak hanya memaparkan pernyaian di tangsi-tangsi militer saja, tetapi juga di dalam dunia sipil dan perkebunan-perkebunan. G. Metode Penelitian Metode sejarah digunakan untuk hasil penelitian yang sistematis dan kritis. Dalam penerapannya metode sejarah memiliki lima langkah yaitu pemilihan tema, heuristik, kritik sumber (verifikasi) yang dibedakan menjadi dua kritik intern dan ekstern, interpretasi, dan penulisan. 28 Pemilihan tema adalah langkah pertama, tema yang dipilih dapat dipilih sesuai dengan ketertarikan atau penguasaan tema. Tema apa yang paling dikuasai atau yang diminati penulis. Tahap heuristik diawali dengan mengumpulkan sumber-sumber yang relevan dengan penelitian yang dilakukan di berbagai tempat seperti Pusat Studi Wanita UGM, Perpustakaan Daerah Yogyakarta, Perpustakaan Kota Yogyakarta, Perpustakaan Collese Ignatius, Laboratorium Sejarah FIS UNY, Perpustakaan FIS UNY, Perpustakaan pusat UNY, Perpustakaan FIB UGM, Perpustakaan pusat UGM, Pusat Studi Kependudukan UGM, Perpustakaan Tembi Rumah Budaya, Perpustakaan Karta Pustaka, Perpustakaan Mangkunegaran, Perpustakaan Museum Radyapustaka, dan Museum Pers. Sumber yang dikumpulkan
28
Nugroho Notosusanto, Norma-Norma dan Penulisan Sejarah. Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan, 1971, hlm. 17.
26
meliputi sumber primer dan sekunder. Sumber primer yang penulis gunakan adalah Staatsblad atau surat resmi negara. Sedangkan sumber sekundernya meliputi buku-buku yang relevan, disertasi, tesis, skripsi, jurnal, atau majalah. Setelah sumber dikumpulkan kemudian dilakukan kritik sumber yang terdiri dari kritik intern dan kritik ekstern. Kritik ekstern dilakukan dengan mengkaji sumber dari segi luarnya, yaitu usaha meneliti semua sumber yang telah didapat untuk diperiksa dan diselidiki keasliannya, Tujuannya untuk memperoleh fakta sejarah. Kritik intern merupakan kelanjutan dari proses kritik ekstern bertujuan untuk meneliti keaslian sumber (kritik ekstern) maka penelitian dilanjutkan dengan meneliti apakah sumber dapat dipercayai kebenarannya (kredibilitas). Untuk menguji kebenaran isi data dilakukan dengan
menghubungkan
faktor-faktor
yang
berhubungan
dalam
pembuatannya. Langkah selanjutnya adalah interpretasi fakta atau sintesa, yaitu menetapkan makna yang berhubungan dari fakta-fakta sejarah yang diperoleh setelah diterapkannya kritik intern maupun ekstern dari data-data yang dikumpulkan. 29 Fakta-fakta yang ada di dalam sumber berusaha dikumpulkan kemudian dihubung-hubungkan sehingga fakta-fakta yang satu dengan fakta yang lain dapat berkaitan. Tahap ini juga menggunakan pendekatan dari berbagai aspek untuk mempertajam analisis dan dilakukan pengujian silang dari fakta-fakta yang diperoleh agar dapat ditentukan suatu makna.
29
Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer. Jakarta: Departemen Pertahanan dan Keamanan, 1978, hlm. 36.
27
Tahap selanjutnya adalah penulisan atau historiografi, yaitu menyusun atau menyampaikan fata-fakta sejarah menjadi karya sejarah. Tahap ini digunakan untuk menyimpulkan sintesa dari fakta-fakta yang menjadi satu kesatuan dalam bentuk suatu karya sejarah. 30 H. Pendekatan Penelitian Sejarah merupakan suatu peristiwa masa lampau yang bersifat kompleks artinya menyangkut segala aspek kehidupan manusia, oleh sebab itu dalam mengkaji suatu permasalahan sejarah sangat diperlukan sudut pandang yang bersifat multidimensional. 31 Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini meliputi
pendekatan
sosiologis,
pendekatan
antropologi,
pendekatan
psikologis, dan pendekatan politik. Pendekatan sosiologis merupakan suatu pendekatan yang mementingkan peranan sosiologis di dalam menjelaskan perilaku manusia. 32 Dalam penulisan skripsi tentang nyai ini, pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui bagaimana praktik-praktik pernyaian telah mengubah status sosial seorang perempuan pribumi. Baik status sosial di kalangan masyarakat pribumi maupun status sosial di kalangan masyarakat Eropa di Hindia Belanda. Pendekatan ini juga digunakan ketika menganalisa bagaimana kondisi masyarakat saat itu hingga praktik pergundikan dapat muncul merajalela di 30
Ibid.
31
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 87. 32
Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali, 1987, hlm. 464.
28
tanah Hindia Belanda. Jadi, suatu gejala sosial sangatlah wajar dan relevan untuk dipelajari dengan pendekatan sosiologis. 33 Pendekatan antropologi merupakan pendekatan secara menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia. Misalnya dalam menulis tentang suatu kelompok manusia, seorang ahli antropologi mungkin juga menggambarkan suatu bagian sejarah daerah manusia itu, lingkungan hidup, cara kehidupan keluarga, pola pemukiman, sistem politik dan ekonomi, agama, gaya kesenian dan berpakaian, segi-segi umum bahasa, dan sebagainya. 34 Di dalam ilmu antropologi mencakup juga ilmu kebudayaan yang mencakup cara berfikir dan cara belaku yang menjadi ciri khas suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Arti budaya sendiri menurut Koentjaraningrat merupakan sistem sosial yang memuat nilai-nilai, norma-norma, kepercayaan dan adat istiadat yang memiliki
pengaruh
besat
dalam
kontruksi
kepribadian
seseorang.35
Kebudayaan yang terdiri dari hal-hal seperti bahasa, ilmu pengetahuan , hukum-hukum, kepercayaan, agama, kegemaran makanan tertentu, musik, kebiasaan pekerjaan, dan sebagainya digunakan untuk membantu proses analisa terkait gaya hidup para nyai, wujud-wujud modernisasi nyai, serta peranannya dalam transformasi modernisasi di Jawa, karena seorang Nyai dituntut untuk berinteraksi dengan orang-orang di rumah tuan Eropa-nya setiap hari. 33
Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 144.
34
Ihromi, T.O., Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hlm. 3. 35
Ibid.
29
Pendekatan psikologis dalam sebuah studi sejarah dimaksudkan untuk mengungkapkan fakta-fakta yang tidak tampak di permukaan dan lebih jauh menembus ke dalam kehidupan kejiwaan, sehingga dapat dengan lebih baik untuk memahami perilaku manusia dan masyarakatnya di masa lampau. Pendekatan psikologis dalam skripsi ini dimaksudkan untuk menyelami sosok nyai secara utuh. Bagaimana kehidupan seorang nyai yang awalnya dipaksa untuk memenuhi kebutuhan biologis tuan Eropa-nya, bagaimana nyai-nyai itu begitu mudahnya dibuang secara sepihak oleh tuan-nya, tekanan seorang nyai dalam menyandang status gundik Eropa di mata masyarakat, serta bagaimana kehidupan nyai dengan anak-anak hasil hubungan dia dengan tuan Eropanya. Seorang nyai tidak berhak atas anak-anaknya sehingga begitu mudah untuk dipisahkan dengan anak-anaknya. Pendekatan politik menyoroti struktur kekuasaan, etnis, kepemimpinan, hierarki sosial, pertentangan kekuasaan dan lain sebagainya. 36 Pendekatan politik dalam skripsi ini digunakan untuk mengetahui bahwa praktik pernyaian justru dipakai untuk mengubah status sosial perempuan pribumi. Nyai kemudian berusaha keras untuk mengimbangi pemikiran-pemikiran tuan Eropanya hingga ia tak begitu mudah untuk dibuang. Anak-anak hasil hubungan dua ras yang berbeda itu dijadikan alat untuk menjunjung jabatan dengan dinikahkan dengan pejabat-pejabat tinggi Eropa di Hindia Belanda. Pendekatan politik juga digunakan penulis untuk menganalisa beberapa
36
Ibid., hlm. 4.
30
kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda untuk menekan pertumbuhan pergundikan di Hindia Belanda. I.
Sistematika Penulisan Untuk memperoleh gambaran yang jelas, tepat dan menyeluruh, penelitian ini terdiri lima bab dengan garis besarnya sebagai berikut : Bab pertama membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, historiografi yang relevan, metode penelitian, sumber penelitian, pendekatan penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua akan menjelaskan mengenai kedatangan pegawai-pegawai Eropa ke Hindia Belanda yang menjadi awal mula pernyaian di daerah koloni, latar belakang timbulnya praktik pernyaian, dan sebutan nyai bagi para gundik-gundik
orang
Eropa
di
Hindia
Belanda
serta
usaha-usaha
pemberantasan pernyaian di Hindia Belanda oleh beberapa Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Bab ketiga ini mengulas model-model pernyaian di Jawa, antara lain pernyaian di perkebunan-perkebunan, pernyaian dalam dunia sipil, dan pernyaian dalam tangsi-tangsi militer. Pada bab ini juga akan diulas bagaimana peranan nyai dalam tiap-tiap praktik pernyaian. Bab keempat memaparkan peranan nyai dalam transformasi modernisasi di Jawa pada tahun 1870-1942. Peranan nyai sebagai mediator budaya Jawa dan Eropa yang terjadi di berbagai bidang, antara lain dalam bidang kebiasaan
31
makan, bahasa, gaya hidup, gaya berbusana, maupun gaya asuhan terhadap anak-anaknya. Bab kelima berisi kesimpulan dari bab-bab sebelumnya dan merupakan jawaban atas permasalahan yang telah dicantumkan dalam rumusan masalah.