BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Perihal pemerataan pemberian layanan kesehatan melalui konsep
Universal Health Coverage (UHC) kini tengah menjadi isu penting di bidang kesehatan global (Averill, 2013; Garret, et al., 2009; McIntyre, 2012; Stuckler, et al., 2010). UHC, dalam World Health Report 2010, didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika akses terhadap pelayanan kesehatan dasar (basic health care) yang merata dan berkeadilan dapat diperoleh oleh semua orang tanpa harus mengalami kesulitan finansial (World Health Organization, 2010). Demi ketercapaian tujuan UHC ini, WHO kemudian mensyaratkan terpenuhinya sejumlah daya dukung fungsional, diantaranya berupa suatu sistem pembiayaan layanan kesehatan (health services financing system) yang terintegrasi, ketersediaan tenaga medis yang termotivasi dan memiliki kapasitas pelayanan yang memadai, serta terselenggaranya mekanisme pelayanan kesehatan yang kuat dan efisien (http://www.who.int)1. Dalam konteks sektor kesehatan, terwujudnya aspek efisiensi memang senantiasa memperoleh perhatian karena dipercaya dapat menjadi faktor kunci bagi keberhasilan penyelenggaraan layanan (Chiscolm & Evans, 2010; WHO, 2010; World Bank, 2013). Efisiensi diyakini akan mampu memastikan keberlangsungan,
keberlanjutan
dan
kemajuan
program-program
layanan
kesehatan, termasuk yang dilaksanakan berdasarkan konsep UHC (Kutzin, 2012). 1
Tersedia di: http://www.who.int/universal_health_coverage/en/, [Diakses 12 Januari 2014]
1
Hal ini terutama terkait dengan permasalahan pengelolaan sumberdaya yang tersedia sebagai variabel penting pendukung aspek keluasan cakupan layanan (Chiscolm & Evans, 2010). Konsep efisiensi, pada pemaknaannya yang paling fundamental, memang sangat terkait dengan pencapaian derajat kesehatan tertinggi yang dimungkinkan untuk dicapai melalui pendayagunaan sumberdayasumberdaya yang tersedia. Pada tataran organisasi, ironisnya, para professional medis sebagai pihak yang mendominasi organisasi layanan kesehatan (contohnya rumah sakit) justru kerap bertindak tidak sejalan dengan tujuan-tujuan pengelolaan sumber daya (organization resource management) (Abernethy, 1996; Weiner, et al., 1987). Para tenaga medis pada dasarnya memang diberikan kendali mayor atas pelaksanaan kegiatan operasional inti organisasi, namun seringkali tanpa adanya tanggung jawab terhadap konsekuensi-konsekuensi finansial atas keputusankeputusan klinis yang dibuat (Abernethy & Lilis, 2001). Perilaku-perilaku ‗pemborosan‘ para personel organisasi kesehatan, misalnya berupa penggunaan yang tidak relevan atas sumberdaya organisasi, pemberian layanan kesehatan yang ‗berlebihan‘ (excessive hospitalization), serta keyakinan yang terlalu tinggi terhadap penggunaan obat-obatan bermerk tertentu (brand-name drugs), diyakini memang dapat menjadi sumber inefisiensi utama dalam sektor layanan kesehatan (Chiscolm & Evans, 2010). Beberapa peneliti (mis. Chiscolm & Evans, 2010; Timmermans, 2005; Timmermans & Kolker, 2004) kemudian menganjurkan pemberlakuan suatu medical/clinical practice guidelines atau standard operational procedure
2
(selanjutnya disingkat M/CPG dan SOP) tertentu sebagai solusi atas permasalahan inefisiensi pelayanan kesehatan tenaga medis ini. Guidelines atau SOP yang dimaksud, diakui akan dapat menjadi sebuah mekanisme pengendalian administratif (Abernethy, 1996; Abernethy & Chua, 1996) dalam mengarahkan perilaku-perilaku tenaga medis untuk lebih memperhatikan penggunaan sumber daya organisasi. SOP diyakini dapat menjadi media yang tepat dalam mengendalikan tindakan dan perilaku seseorang atau sekelompok orang (Merchant, 1985) melalui pendeskripsian secara jelas sekumpulan langkah spesifik yang harus dilakukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan (Stup, 2002) atau untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu yang dilekatkan kepadanya (Treville, et al., 2005). Permasalahan kemudian biasanya dapat muncul pada tahap implementasi SOP layanan kesehatan di tingkat organisasi. Pada umumnya, tenaga medis yang memiliki power yang tinggi dalam organisasi akan menunjukkan resistensi terhadap usaha-usaha yang dilakukan pihak manajemen puncak dalam pengimplementasian sistem-sistem pengendalian administratif (Abernethy & Vagnoni, 2004). Power yang dimaksud berasal dari pengakuan terhadap kemampuan alamiah tenaga medis sebagai pengendali utama arus pendapatan serta atas pengetahuan dan keahlian spesifik yang dimiliki yang memang vital bagi fungsionalisasi organisasi. Power ini kemudian termanifestasi dalam suatu bentuk otonomi para tenaga medis untuk mengendalikan sumberdaya-sumberdaya penting organisasi tanpa adanya keharusan untuk bersikap akuntabel atau
3
menerima suatu pengendalian administratif atas penggunaan sumberdaya tersebut (Abernethy & Lilis, 2001; Young, Charns, & Heeren, 2004). Pada organisasi dimana aktivitas-aktivitas inti didominasi oleh para profesional seperti layaknya yang terjadi dalam organisasi rumah sakit, penerapan suatu mekanisme pengendalian administratif memang dirasa akan kurang mendapat sambutan positif. Sebagaimana dijelaskan Abernethy & Stoelwinder (1995), para profesional tenaga medis telah terlatih dan terbiasa untuk melaksanakan serangkaian pekerjaan kompleks secara independen dan mandiri berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Konsekuensinya, akan muncul usaha-usaha sistematis dalam rangka menghindari diterapkannya tipe pengendalian administratif tersebut, karena para tenaga medis sebenarnya secara alamiah tersosialisasi menurut suatu model pengendalian yang lebih menekankan aspek sosial dan pengendalian diri sendiri (social and self-controls). Hal ini tentu dapat berdampak negatif terhadap tujuan pencapaian efisiensi organisasi sebagaimana diharapkan terwujud melalui penerapan sistem pengendalian tersebut. Dalam konteks Indonesia, M/CPG atau SOP layanan kesehatan secara eksplisit telah terintegrasi dalam berbagai bentuk skema pembiayaan layanan kesehatan kepada kelompok masyarakat miskin yang sejak lama dikembangkan di negara ini (BAPPENAS, 2013; Rokx, et al., 2009). Kebijakan pembiayaan yang dimaksud, diselenggarakan baik dalam lingkup nasional melalui pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) semenjak tahun 2005 (World Bank, 2013) maupun berskala lokal atas inisiatif masing-masing
4
pemerintah daerah sebagai dampak diterapkannya mekanisme desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia (DJSN RI, 2012; Prakarsa, 2010). Organisasi rumah sakit, bersama dengan balai kesehatan, berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 tahun 2012 (Permenkes 40/2012) tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, kemudian ditetapkan sebagai pihak penyelenggara program Jamkesmas pada tingkat pelayanan kesehatan lanjutan. Pelaksanaan program jaminan kesehatan di Indonesia, sebagaimana juga dinyatakan dalam Permenkes 40/2012, merupakan suatu upaya untuk menjaga kesinambungan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu dengan mengikuti prinsip-prinsip, salah satunya, pengelolaan pelayanan yang efisien (Republik Indonesia, 2012). Efisiensi terkait mekanisme pelayanan kesehatan, diakui oleh dr. Nuzelly selaku ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Riau, memang diharapkan akan dapat terwujud melalui penyelenggaraan program jaminan kesehatan. Hal tersebut lebih lanjut diyakini tak bisa lepas dari keunggulan prosedural yang ditawarkan oleh SOP layanan kesehatan dalam program ini, sehingga pelayanan kesehatan akan benar-benar mengikuti jalur layanan yang lebih teratur, mulai dari pelayanan di tingkat primer maupun sekunder (http://www.harianhaluan.com).2 Di lain pihak, tentu masih membekas dalam ingatan, kasus dugaan malapraktek tenaga medis yang dikait-kaitkan dengan permasalahan administrasi dan prosedural layanan yang menimpa dokter Dewa Ayu Sasiary serta dua 2
Tersedia di: http://www.harianhaluan.com/index.php/berita/riau-a-kepri/28937-idi-harapkan-dana kesehatan-bisa-sesuai-uu, [Diakses 17 Januari 2014].
5
rekannya, Hendy Siagian dan Hendry Simanjuntak di akhir tahun 2013 silam. Para profesional medis tersebut dituduh lalai dalam menangani proses persalinan bedah caesar yang berujung pada kematian pasien. Hal ini diduga terjadi karena pemberian penanganan yang terkendala sejumlah persyaratan administrasi dan akibat
pelanggaran
terhadap
prosedural
medis
yang
telah
ditetapkan
(http://health.detik.com).3 Kasus ini dapat menjadi bukti indikatif praktis adanya
resistensi para tenaga medis terhadap pembatasan-pembatasan prosedural atas kewenangan penanganan medis yang dimiliki sehingga perlu kemudian dilakukan pengujian dan konfirmasi lebih jauh secara empiris. Penelitian kali ini merupakan pengembangan dari riset yang telah dilakukan oleh Abernethy & Vagnoni (2004) terkait pengaruh aspek power terhadap bentuk sistem pengendalian manajemen yang diterapkan pada sebuah rumah sakit pendidikan publik di Italia. Penelitian tersebut berhasil menemukan bukti eksistensi power tenaga medis dalam suatu bentuk otonomi profesional yang secara signifikan berpengaruh negatif terhadap aspek efisiensi organisasi. Pengembangan akan dilakukan dengan menawarkan sumber power lain, yaitu kekuatan yang berasal dari lingkungan eksternal organisasi. Hal ini sebagaimana juga dianjurkan Abernethy & Vagnoni (2004) kepada para peneliti selanjutnya untuk lebih mengembangkan cakupan pengujian terhadap kompleksitas hubungan yang terjadi antara power, sistem informasi Akuntansi dan lingkungan-lingkungan institusional tertentu suatu organisasi.
3
Tersedia di: http://health.detik.com/read/2013/11/11/191415/2409921/763/POGI-keberatan-dr-ayu ditangkap-terkait-dugaan-malpraktik-di-manado, [Diakses 20 Januari 2014].
6
Pertimbangan terhadap kekuatan (tekanan) eksternal, sebagaimana dijelaskan oleh Teori Institusional, memang sangat relevan ketika berbicara dalam konteks organisasi sektor publik. Teori ini secara umum berbicara mengenai variabilitas tindakan-tindakan individu maupun organisasi yang disebabkan oleh faktor-faktor eksogen (Dacin, 1997) dengan asumsi perilaku kepatuhan sebagai respon tunggal atas tekanan-tekanan tersebut guna memelihara hubungan yang stabil dengan lingkungan eksternalnya (Scott, 2004; Oliver, 1992). Dalam domain sektor publik, tekanan eksternal bagi organisasi dapat berupa kekuatan paksaan (coercive power) yang berasal dari pemerintah, peraturan, atau lembaga lain untuk mengadopsi suatu sistem atau struktur tertentu (Ashworth, et al., 2007). Pada kebanyakan kasus, organisasi sektor publik biasanya akan senantiasa tunduk pada otoritas formal atau peraturan hukum yang ditetapkan pemerintah (Akbar, dkk., 2010) sebagai manifestasi norma-norma atau harapan masyarakat yang terlembaga ke dalam organisasi (DiMaggio & Powell, 1983). Sayangnya, sebagaimana diungkapkan oleh Abernethy & Chua (1996), Teori Institusional bukanlah merupakan sebuah teori keorganisasian yang kemudian dapat terimplementasi tanpa menyisakan permasalahan. Pengabaian terhadap isu-isu mengenai eksistensi power dan kepentingan kolektif yang dapat muncul dari lingkungan internal organisasi dikatakan justru menjadi permasalahan yang kadang luput dari pertimbangan teori ini. Tak jauh berbeda, Oliver (1991) juga menyatakan bahwa kritik terbesar yang dapat dialamatkan pada Teori Institusional adalah terkait asumsi-asumsi kepasifan organisasi (organizational passivity) serta kegagalannya dalam menangkap potensi munculnya respon-respon
7
strategis dan pengimplementasian pengaruh (exercise of influence) dalam konsepkonsep institusionalisasi yang dimilikinya. Ditambahkan lagi, kepatuhan memang bukan satu-satunya pilihan yang dapat diambil organisasi untuk dapat bertahan dari tekanan-tekanan institusional yang ada di lingkungannya. Dugaan defisiensi implementasi konsep-konsep Teori Institusional tersebut bisa saja terjadi pada area organisasi layanan kesehatan, contohnya rumah sakit. Organisasi ini memang bersifat kompleks serta didominasi oleh para profesional dengan berbagai tujuan dan rutinitas-tutinitas yang telah terstruktur dengan baik (Weiner, et al., 1987). Resistensi—bukannya kepatuhan absolut sebagaimana diasumsikan dalam Teori Institusional—diduga akan ditampilkan oleh organisasi layanan kesehatan tersebut sebagai respon strategis atas tekanan perubahan eksternal yang diasumsikan dapat mengancam hubungan-hubungan dan nilai-nilai preferensi internal yang telah lama dianut elemen-elemen organisasi. Potensi terjadinya benturan dua aspek power (eksternal dan profesional) pada lingkungan penerapan SOP layanan kesehatan di organisasi sektor publik ini, dengan demikian, merupakan sebuah fenomena menarik yang akan menjadi perhatian khusus dalam penelitian ini. Merujuk pada pertimbangan penelitian-penelitian sebelumnya, aspek power
diakui
memang memegang peran
yang
sangat
penting
dalam
operasionalisasi harian organisasi rumah sakit (Abernethy & Vagnoni, 2004; Bolon, 1998; Brinkerhoff, 2003; Wax, 1971). Organisasi rumah sakit kerap menampilkan karakteristik-karakteristik yang memungkinkan eksistensi power menjadi aspek yang begitu mendominasi logika keperilakuan elemen-elemen di
8
dalamnya. Organisasi ini cenderung memiliki tujuan-tujuan yang tidak jelas dan saling bertentangan, ambiguitas informasi dalam rangka pembuatan keputusan, pembagian fungsionalisasi kerja yang bersifat kompleks, dan persepsi-persepsi ketidakpastian—atau bahkan ketidakpahaman—atas hubungan kausalitas antara tindakan yang telah dilakukan dan hasil yang akan diperoleh. Perluasan juga dilakukan dengan menambahkan aspek Akuntabilitas sebagai variabel yang diduga akan memediasi hubungan antara mekanisme pengendalian administratif dan efisiensi organisasional. Dalam penelitian yang dilakukan Abernethy & Vagnoni (2004), memang diperoleh temuan bahwa peran pengendalian yang terkandung dalam informasi-informasi Akuntansi tidak berpengaruh signifikan terhadap aspek ‗kesadaran biaya‘ para profesional tenaga medis. Hal ini diakui karena secara umum, informasi-informasi tersebut tidak merefleksikan secara sempurna kinerja aktual perseorangan atau unit klinis organisasi. Variabel Akuntabilitas kemudian digunakan pada penelitian kali ini untuk memperjelas pendefinisian konsep informasi-informasi kinerja yang memang berperan dalam mekanisme pengendalian organisasional sebagaimana pula merupakan prinsip dalam penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Masyarakat yang diselenggarakan di Indonesia (Permenkes RI No. 903/2011). Untuk kepentingan dan tujuan-tujuan praktikal, penelitian akan dilakukan dalam batasan lingkup pelaksanaan suatu program jaminan kesehatan daerah di Provinsi Bali, yaitu Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM), yang telah dimulai sejak tahun 2010. Konteks program jaminan kesehatan dipilih karena dirasa tepat untuk menguji variabel-variabel antecedents dan consequences dari penerapan
9
suatu mekanisme penggendalian administratif, dalam hal ini berupa SOP layanan kesehatan pada program jaminan kesehatan tersebut. Di lain pihak, area lokal (Provinsi Bali) dipilih dengan memperhatikan anjuran WHO dalam World Health Report 2013, terkait potensi pengaruh konten-konten lokal, berupa norma-norma budaya, sosial serta politik, dan perilaku-pengelolaan layanan kesehatan pada masing-masing daerah unik di suatu negara terhadap ketercapaian tujuan program UHC (World Health Organization, 2013). Di sisi lain, salah satu dimensi kultural masyarakat, yaitu berupa konsep power distance (Hofstede, 2001), juga akan dipertimbangkan sebagai faktor yang diduga dapat berpotensi memfasilitasi reformasi struktural pada organisasi sektor publik (Grafton, et al., 2011). Aspek kultural diakui memang memegang peran penting dalam menjelaskan variabilitas reaksi pekerja dalam merespon berbagai aspek dalam lingkungan pekerjaannya (Gelfand, et al., 2007; Kirkman, et al., 2006; Tsui, et al., 2007). Mempertimbangkan pengaruh aspek kultural, diharapkan akan mampu memberikan gambaran mengenai kondisi-kondisi spesifik yang mempengaruhi besaran derajat konflik profesional/birokratik, yang memang menjadi fokus perhatian pada penelitian-penelitian keperilakuan dalam lingkup organisasi yang didominasi oleh para profesional (Abernethy & Stoelwinder, 1995). Spesifikasi
pemilihan
dimensi
power
distance,
didasarkan
atas
pertimbangan (1) relevansinya pada variabel antecedent penelitian kali ini yaitu aspek power; dan (2) kompatibilitasnya untuk digunakan pada lingkup wilayah penelitian yang direncanakan, yaitu wilayah Provinsi Bali. Sebagaimana
10
dinyatakan Djiwatampu (2009) dan Mangundjaya (2010), sistem sosial yang mendasari nilai-nilai budaya lokal masyarakat Bali umumnya memang bercirikan aktivitas-aktivitas ritual dan seremonial yang didasarkan pada kepatuhan terhadap otoritas dengan derajat dimensi power distance yang tinggi. Di samping itu, generalisasi hasil akan lebih memungkinkan untuk dilakukan, mengingat karakteristik budaya Indonesia terkait dimensi power distance yang juga relatif tinggi (Hofstede, 2011). 1.2.
Perumusan Masalah Perwujudan aspek efisiensi yang diakui memegang peran penting bagi
keberhasilan pelayanan kesehatan tampaknya justru mendapat berbagai tantangan dari para penyedia layanan itu sendiri. Resistensi dari tenaga medis yang mendominasi organisasi-organisasi penyedia layanan kesehatan ini terutama muncul terkait dengan adanya inisiatif-inisiatif penerapan suatu bentuk pengendalian administratif formal berupa medical practice guidelines atau standard operational procedure (SOP) tertentu terkait layanan kesehatan. Hal ini diduga kuat akibat adanya otonomi power yang dimiliki serta status otonomi dan independensi dalam pelaksanaan fungsi pekerjaan yang dilekatkan kepada para profesional medis tersebut. Power ini memberikan hak istimewa kepada para tenaga medis untuk dapat mengendalikan sumberdaya-sumberdaya penting organisasi tanpa adanya keharusan untuk bersikap akuntabel atau menerima suatu pengendalian administratif atas penggunaan sumberdaya tersebut (Abernethy & Lilis, 2001; Young, Charns, & Heeren, 2004).
11
Sementara itu, Teori Institusional memberikan pemahaman bahwa pada kebanyakan kasus, organisasi sektor publik biasanya akan senantiasa tunduk pada otoritas formal atau peraturan hukum yang ditetapkan pemerintah (Akbar, dkk., 2010). Menurut teori ini, variabilitas tindakan-tindakan individu maupun organisasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor eksogen (Dacin, 1997) dan terdapat kecenderungan munculnya motivasi operasional organisasi yang lebih ditujukan untuk pencapaian legitimasi dibanding peningkatan kinerja internal (Cavalluzo & Ittner, 2004; Frumkin & Galaskiewicz, 2004). Selanjutnya, organisasi sektor publik yang memang termotivasi oleh pencapaian legitimasi akan berusaha menyesuaikan diri pada harapan eksternal atau lingkungan sosialnya, salah satunya dapat terkait dengan penggunaan suatu sistem pengendalian manajemen yang tepat agar terlihat modern, rasional, dan efisien untuk pihak eksternal (Akbar dkk., 2010; Cavalluzzo & Ittner, 2004). Pada prakteknya di Indonesia, mekanisme pengendalian administratif berupa suatu SOP layanan kesehatan telah terintegrasi dalam program-program jaminan kesehatan yang dimandatkan oleh pemerintah selaku pihak regulator. Terkait dengan hal tersebut, isu penerapan mekanisme pengendalian administratif pada organisasi layanan kesehatan ini akan menjadi semakin relevan untuk ditelaah lebih jauh di era operasionalisasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial– Kesehatan (BPJS-Kesehatan) yang terhitung mulai efektif pada tanggal 1 Januari 2014. Di samping itu, meskipun penyelenggaran sistem jaminan kesehatan kini memang telah berada pada pengelolaan level nasional, keterlekatan yang sinergis antara pemerintah pusat dan daerah masih saja tetap harus diperhatikan sebagai
12
suatu hal yang krusial. Dengan mempertimbangkan hal ini, perhatian khusus juga patut diberikan terhadap konten-konten lokal terutama aspek kultural yang relevan dengan tema sentral penelitian. Berdasarkan uraian di atas, dengan membatasi ruang lingkup penelitian pada organisasi rumah sakit umum daerah penyelenggara Program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) di wilayah Provinsi Bali, pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah aspek power (institusional, profesional, dan kultural) berpengaruh terhadap penerapan sistem pengendalian administratif berupa suatu medical practice guideline atau SOP layanan kesehatan tertentu? 2. Apakah penerapan sistem pengendalian administratif berupa suatu medical practice
guideline
atau
SOP
layanan
kesehatan
tertentu
dapat
meningkatkan akuntabilitas dan efisiensi pelayanan organisasi? 1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menemukan bukti empiris mengenai
pengaruh aspek power terhadap penerapan sistem pengendalian administratif berupa suatu medical practice guideline atau standard operational procedure tertentu dalam rangka meningkatkan akuntabilitas dan efisiensi layanan organisasi, khususnya pada rumah sakit umum daerah terkait program Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) di wilayah Provinsi Bali. 1.4.
Kontribusi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai
berikut:
13
1) Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan teori, terutama dalam bidang akuntansi sektor publik, spesifik pada organisasi sektor publik penyedia layanan kesehatan. Penelitian ini diharapkan dapat menyediakan tambahan pemahaman literatur mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sistem pengendalian
manajemen
serta
konsekuensinya
berupa
outcome
keorganisasian 2) Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak manajemen organisasi rumah sakit dan para pembuat keputusan (pihak regulator) dalam rangka menetapkan kebijakan-kebijakan manajerial yang hendak diterapkan kepada para profesional tenaga medis, yang memiliki karakteristik berbeda dari karyawan organisasi sektor publik lainnya. 3) Hasil penelitian diharapkan dapat berkontribusi secara praktikal terkait perwujudan kesejahteraan sosial (social welfare) masyarakat dalam hal pemberian layanan kesehatan yang adil, efisien dan akuntabel pada era pengelolaan jaminan kesehatan secara nasional melalui penyelenggaraan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial-Kesehatan (BPJS) di Indonesia dewasa ini. 1.5.
Sistematika Penulisan Penulisan penelitian ini disajikan dalam 5 (lima) bab sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan Bab ini menyajikan gambaran umum yang mendasari dilaksanakannya penelitian, yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan pene-
14
litian yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II: Landasan Teori dan Penyusunan Hipotesis Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan teoritis mengenai beberapa konsep yang berkaitan dengan sistem pengendalian manajemen, teori institusional, teori power, teori dominansi profesional, konsep budaya, akuntabiltas dan efisiensi keorganisasian terutama pada organisasi penyedia layanan kesehatan. Disertakan pula penelitian-penelitian sebelumnya sebagai landasan dalam penyusunan hipotesis serta kerangka pemikiran teoritis yang mendasari penelitian ini. Bab III: Metoda Penelitian Bab ini menjelaskan mengenai metoda penelitian yang digunakan untuk menjawab masalah penelitian. Metoda penelitian ini berisi rincian mengenai desain penelitian, populasi, sampel, besarnya sampel dan teknik pengambilan sampel, variabel dan definisi operasional variabel penelitian, instrumen penelitian, prosedur pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bab IV: Analisis Data dan Pembahasan Bab ini menjelaskan mengenai data penelitian, hasil pengolahan data penelitian, serta pembahasannya. Bab V: Kesimpulan, Implikasi, Keterbatasan dan Saran Penelitian Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan penelitian ini. Bab ini berisikan kesimpulan, implikasi penelitian, diskusi, keterbatasan dan saran-
15
saran bagi peneliti-peneliti berikutnya yang tertarik untuk mengembangkan penelitian ini dan pihak-pihak lain yang terkait.
16