BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan,
papan. Tanpa hidup yang sehat, hidup manusia menjadi tanpa arti, sebab dalam keadaan sakit, manusia tidak mungkin dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan baik atau seperti keadaan yang normal.1 Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia, serta pengingkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional. Perlindungan dan penegakan hukum di Indonesia di bidang kesehatan terlihat jelas masih sangat kurang. Terdapat beberapa contoh kasus yang terjadi terhadap seorang pasien yang tidak mendapatkan pelayanan semestinya, yang terburuk dan terkadang akan berakhir dengan kematian. Kasus malpraktek di bidang medis yang banyak terjadi dan diekspos di berbagai media hanya merupakan beberapa kasus yang menguap, kasus ini dapat disebut seperti gunung es (iceberg). Salah satu contoh kasus malpraktek di bidang medis yaitu kematian
1
Wila Chandrawila Supriadi, 2001, Hukum Kedokteran,Cet.1, Mandar Maju, Bandung, h. 35.
bayi pasangan kembar putra dari ayah Fadli dan Fika yakni Fadhaln dan Fayyadh disebabkan karena kelalaian pihak rumah sakit. Luka semacam luka bakar dipunggungnya bukanlah disebabkan oleh inkubator melainkan karena virus yang ada pada popok bayi sehingga punggungnya seperti melepuh. Itu bisa terjadi karena pihak rumah sakit kurang kontrol terhadap penggantian baju atau popok bayi.2 Menguapnya kasus-kasus malpraktek tersebut juga merupakan suatu pertanda kemajuan dalam masyarakat, atas kesadarannya akan hak-haknya yang berkenaan dengan kesehatan dan pelayanan medis sekaligus kesadaran akan hakhaknya untuk mendapatkan perlindungan hukum yang sama di bidang kesehatan. Permasalahan malpraktek di bidang kesehatan selama ini terus menerus menjadi pembahasan dan hal ini tidak terlepas dari korban yang ditimbulkan. Permasalahan tindak pidana tidak hanya berkaitan dengan pelaku tindak pidana namun juga berkaitan dengan pembahasan terhadap korban tindak pidana tersebut. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Quinney sebagaimana dikutip dalam bukunya Arief Amrullah dinyatakan bahwa : “semua tindak pidana pasti menimbulkan korban, suatu perbuatan tertentu dikatakan jahat, karena seseorang dianggap telah menjadi korban.3
2
Dewi Agustina, 2014,http://www.tribunnews.com/regional/2014/11/26/bidan-rsia-bunda-jadi tersangka-kasus-bayi-terpanggang-inkubator, diakses pada tanggal 06 Oktober 2015. 3
Arief Amrullah, 2006, Kejahatan Korporasi, Bayumedia Publishing, Malang, h. 130.
Kasus-kasus yang terjadi di bidang kesehatan menggambarkan sikap kurang hati-hati, kurang teliti, kesembronoan, dan kecerobohan dari tenaga medis baik yang dilakukan oleh dokter maupun tenaga medis rumah sakit yang seringkali dikenal dengan istilah malpraktek medis. Pasal 11 ayat (2) UndangUndang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (selanjutnya disebut UU Tenaga Kesehatan) dinyatakan “ bahwa yang termasuk dalam kelompok tenaga medis terdiri atas dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi spesialis”.
Tindakan malpraktek medis menimbulkan kerugian baik materiil
maupun immateriil di pihak pasien atau keluarga pasien sebagai korban. Kasus malpraktek medis yang ada seringkali berujung kepada penderitaan pasien. Kiranya perlu dikaji bagaimana upaya untuk memberikan perlindungan hukum bagi pasien, terutama yang menyangkut masalah hubungan hukum pasien dengan rumah sakit, hak dan kewajiban para pihak, pertanggungjawaban dan aspek penegakan hukumnya. Malpraktek medis dapat diartikan sebagai kelalaian atau kegagalan seorang dokter atau tenaga medis untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang cedera menurut ukuran di lingkungan yang sama.4 Masyarakat sekarang ini banyak yang menyoroti kinerja tenaga medis, baik sorotan yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai induk organisasi para dokter maupun yang disiarkan melalui media cetak
4
Hanafiah, M. Yusuf dan Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Kedokteran EGC, Jakarta, h. 96.
maupun media elektronik. Kebanyakan orang kurang dapat memahami bahwa sebenarnya masih banyak faktor lain di luar kekuasaan tenaga medis yang dapat mempengaruhi hasil upaya medis, seperti misalnya stadium penyakit, kondisi fisik, daya tahan tubuh, kualitas obat dan juga kepatuhan pasien untuk mentaati nasehat dokter. Faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan upaya medis (yang terbaik sekali pun) menjadi tidak berarti apa-apa. Tidaklah salah jika kemudian dikatakan bahwa hasil suatu upaya medis penuh dengan ketidakpastian (uncertainty) dan tidak dapat diperhitungkan secara matematik.5 Pengertian dari pasien menurut ketentuan Pasal 1 angka 4 UndangUndang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (selanjutnya disebut dengan UU Rumah Sakit) adalah : “setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit.” Tindak pidana malpraktek tidak diatur dengan jelas dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Pengaturan di dalam KUHP lebih kepada menekankan pada akibat dari perbuatan malpraktek tersebut. Di atur dalam Pasal 360 ayat (1) dan (2) KUHP . Isi dari Pasal 360 KUHP Ayat (1) berbunyi : “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun”.
Sedangkan isi dari Pasal 360 KUHP Ayat (2)
berbunyi :
5
S. Sutrisno, Tanggungjawab Dokter di Bidang Hukum Perdata, Segi-Segi Hukum Pembuktian, Makalah dalam Seminar Malpraktek Kedokteran, Semarang, 29 Juni 1991, h. 22.
“Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4.500,-“. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut dengan UU Praktik Kedokteran) tidak mengatur mengenai ketentuan tentang ganti rugi yang dapat diberikan kepada pasien apabila terjadi tindak pidana di bidang medis atau malpraktek kedokteran. Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran berbunyi : “setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.” Pasal 66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran mengandung aturan mengenai kesalahan yang terjadi pada praktik kedokteran, namun tidak ada ketentuan yang secara spesifik mengatur mengenai penuntutan ganti rugi yang dapat diajukan oleh pasien maupun keluarga pasien korban malpraktek di bidang medis. Pasal ini hanya menentukan dasar hukum untuk melaporkan dokter kepada organisasi profesinya apabila terindikasi melakukan tindakan yang menimbulkan kerugian bagi pasiennya. Besarnya dampak kesehatan dalam perkembangan nasional menuntut adanya perhatian untuk kesehatan di Indonesia. Gangguan kesehatan akan menimbulkan kerugian ekonomi negara. Upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara. Upaya peningkatan kesehatan tersebut harus berdasarkan pengetahuan yang luas tentang kesehatan
demi peningkatan kesejahteraan (kesehatan) masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman aturan mengenai kesehatan yang terdahulu yakni UndangUndang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, kebutuhan hukum, maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU Kesehatan) yang lebih sesuai dengan kebutuhan hukum saat ini. Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 UU Kesehatan mengatur mengenai kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan yaitu : “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi.” Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan bahwa : “mediasi dilakukan bila timbul sengketa antara tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan dengan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Mediasi dilakukan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan oleh mediator yang disepakati oleh para pihak.” Pasal ini juga tidak mengatur mengenai pemberian ganti kerugian bagi pihak pasien. Hukum kedokteran di Indonesia hingga saat ini belum dapat merumuskan secara mandiri batasan-batasan mengenai malpraktek sehingga isi, pengertian dan batasan-batasan malpraktek kedokteran belum seragam tergantung dari sisi mana orang memandangnya.6 Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 46 UU Rumah Sakit menyatakan bahwa : “Rumah Sakit bertanggungjawab atas semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan
6
Crisdiono M. Achdiat, 2004, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman, Buku Kedokteran, Jakarta, h. 21.
rumah sakit.” Ditetapkannya undang-undang ini memberikan dasar hukum bagi pihak pasien khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meminta tanggung jawab dari pihak rumah sakit atas kerugian yang dideritanya akibat dari tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit tersebut. Bidang pengobatan, dokter dan pasien menyadari bahwa tidak mungkin dokter menjamin upaya pengobatan akan selalu berhasil sesuai dengan keinginan pasien atau keluarganya. Dokter hanya berupaya secara maksimal secara hati-hati dan cermat berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalamannya dalam menangani penyakit dalam rangka mengusahakan kesembuhan penyakit pasiennya. Sedangkan, Pasien mempunyai kewajiban memeriksakan diri sedini mungkin tentang penyakit yang dideritanya dengan memberikan informasi yang benar dan lengkap berkaitan dengan penyakitnya. Pasien juga wajib mematuhi petunjuk dan nasehat yang dianjurkan dokter berkaitan dengan makan, minum maupun istirahat yang cukup. Selain itu pasien harus merasa yakin kalau dokter akan berupaya maksimal dalam mengobati penyakitnya sehingga pasien harus kooperatif dan tidak menolak apabila diperiksa dokter. Pasien rumah sakit sebagai konsumen juga berhak mendapatkan perlindungan melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UU Perlindungan Konsumen). Undang-undang ini, memberikan upaya hukum bagi pasien yang menjadi korban sebagai pengguna jasa atas tindak pidana di bidang medis untuk menuntut keadilan bagi mereka baik melalui pengadilan maupun luar pengadilan. Pasal 19 Ayat (1) UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa kerugian yang diderita korban malpraktek sebagai konsumen jasa akibat tindakan medis yang
dilakukan oleh dokter sebagi pelaku usaha jasa dapat dituntut dengan sejumlah ganti rugi. Ganti kerugian yang dapat dimintakan oleh korban malpraktek menurut Pasal 19 Ayat (2) UU Perlindungan Konsumen dapat berupa pengembalian uang penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Aborsi merupakan perbuatan yang dilarang, aborsi juga merupakan suatu malpraktek karena merupakan praktek kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik. Ketentuan mengenai aborsi menjadi di legalkan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (selanjutnya disebut PP Kesehatan Reproduksi). Terjadi pertentangan di kalangan masyarakat dan juga dari Ikatan Dokter Indonesia. Peraturan Pemerintah ini disahkan demi melaksanakan ketentuan Pasal 74 ayat (3), Pasal 75 ayat (4), Pasal 126 ayat (3) dan Pasal 127 ayat (2) UU Kesehatan. Permasalahan timbul karena Pasal 31 ayat (2) PP Kesehatan Reproduksi mengatur mengenai kebolehan aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat perkosaan, sesuai materi Pasal 75 UU Kesehatan. Indikasi kedaruratan medis meliputi kehamilan yang mengamcam nyawa dan kesehatan ibu dan/atau janin, termasuk yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan, sedangkan aborsi akibat perkosaan dibolehkan dengan alasan dapat menimbulkan trauma psikologis
bagi korban. Hal ini bertentangan dengan Pasal 11 Kode Etik Kedokteran Tahun 2002 dan Sumpah Dokter butir 6 Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 1960, tindakan aborsi untuk indikasi selain medis jelas bertentangan dengan Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran. Tujuan PP Kesehatan Reproduksi bertujuan untuk pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, dan dapat dipertanggungjawabkan. PP Kesehatan Reproduksi mengatur pengecualian tindakan aborsi dengan syarat dan ketentuan yang sangat ketat. Dengan demikian selain Ibu, dan Bayi, dokter sebagai pemberi layanan kesehatan justru akan terlindungi dengan adanya PP Kesehatan Reproduksi ini.7 Keberadaan UU Praktik Kedokteran, UU Kesehatan, dan UU Rumah Sakit belum memberikan batasan-batasan yang jelas atas tindak pidana malpraktek di bidang medis, pemberian ganti kerugian yang dialami oleh pihak pasien juga belum ada yang mengatur secara spesifik. Tidak jelasnya aturan dan terperinci mengenai tindak pidana (malpraktek) di bidang medis merupakan kelemahan dari sistem hukum di Indonesia, yang menimbulkan adanya kekaburan norma pada penelitian ini. Ketentuan mengenai kompensasi bagi korban tercantum dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang berbunyi : “Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara
7
Anjarisme, 2014, Meluruskan Persepsi Salah Atas Pengaturan Aborsi di PP Kesehatan Reproduksi, http://anjaris.me/category/malpraktik/, diakses pada 5 September 2015.
karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya kepada korban atau keluarganya.” Namun dalam ketentuan UU Perlindungan Saksi dan Korban ini juga tidak mengatur secara spesifik mengenai perlindungan bagi korban tindak pidana malpraktek di bidang medis.Permasalahan sebagaimana diuraikan diatas, menarik untuk dibahas lebih lanjut dalam skripsi ini dengan judul “KEBIJAKAN PEMBERIAN GANTI KERUGIAN KEPADA KORBAN MALPRAKTEK MEDIS SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA”.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka
permasalahan yang hendak diangkat dalam penulisan skripsi ini yaitu: 1.
Bagaimanakah kebijakan hukum pidana dalam pengaturan korban malpraktek di bidang medis?
2.
Perlindungan hukum apakah yang dapat diberikan bagi korban malpraktek di bidang medis dalam pemberian ganti rugi?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Untuk menghindari agar pembahasan dalam skripsi ini tidak keluar atau
melenceng dari pokok permasalahan, maka diperlukan adanya batasan-batasan terhadap permasalahan yang akan dibahas yaitu sebagai berikut: Pada permasalahan pertama dibahas mengenai kebijakan hukum pidana dalam pengaturan korban malpraktek di bidang medis dan pada permasalahan
kedua membahas mengenai perlindungan hukum yang dapat diberikan bagi korban malpraktek di bidang medis dalam pemberian ganti rugi.
1.4
Tujuan Penelitian
a.
Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah dalam kerangka
pengembangan ilmu hukum sehubungan dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai suatu proses). Paradigma ilmu tidak akan berhenti dalam penggaliannya atas kebenaran dalam bidang hukum viktimologi yakni ganti kerugian terhadap korban malpraktek, berupa kompensasi maupun restitusi khususnya yang berkaitan dengan Kebijakan Pemberian Ganti Kerugian Kepada Korban Malpraktek Medis Sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Pidana.
b.
Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus yang hendak dicapai dari penelitian skripsi ini
yaitu sebagai berikut: 1. Untuk memahami lebih lanjut mengenai kebijakan hukum pidana dalam pengaturan korban malpraktek di bidang medis. 2. Untuk
mengetahui
dan
menganalisa
lebih
lanjut
mengenai
perlindungan hukum yang dapat diberikan bagi korban malpraktek di bidang medis dalam pemberian ganti rugi.
1.5
Manfaat Penelitian
a.
Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
positif bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya bidang Hukum Pidana terutama yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang medis.
b.
Manfaat Praktis Manfaat praktis bagi masyarakat yakni hasil penelitian ini diharapkan
dapat menambah referensi bagi masyarakat pada umumnya agar mengetahui dasar hukum apabila hendak melakukan penuntutan ganti rugi baik kepada pihak rumah sakit maupun pihak dokter dan tenaga medis yang bersangkutan yang diduga telah melakukan malpraktek di bidang medis yang merugikan pihak keluarga maupun pasien itu sendiri.
1.6
Landasan teoritis Menurut pendapat Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, teori adalah suatu
penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.8 Untuk meneliti mengenai suatu permasalahan hukum, maka pembahasan adalah relevan apabila dikaji menggunakan teori-teori hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum.
8
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, h. 134.
Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.9 Teori cabang ilmu
hukum adalah
hukum yang membahas atau menganalisis tidak sekedar
menjelaskan atau menjawab pertanyaan atau permasalahan secara kritis ilmu hukum maupun hukum positif dengan menggunakan interdisipliner. Jadi, tidak hanya menggunakan metode sinskripsi saja. Dikatakan secara kritis karena pertanyaan-pertanyaan atau permasalahan teori hukum tidak cukup
dijawab
secara “otomatis” oleh hukum positif karena memerlukan argumentasi atau penalaran.10 Landasan
Teoritis
atau
Kerangka
Teori
adalah
upaya
untuk
mengidentifikasi teori hukum umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asasasas hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan
untuk
membahas
permasalahan
penelitian.
Untuk
membahas
permalasahan yang diangkat dalam skripsi ini maka digunakan beberapa teori hukum, diantaranya yaitu: a.
Teori Kebijakan Hukum Pidana Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat. Usaha dan kebijakan untuk
9
Salim H.S., 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali, Jakarta, h. 54.
10
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum (edisi revisi), Cahaya Atma Pusaka, Yogjakarta,h. 87.
membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian "kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana". Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional, pendekatan ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai.11 Kebijakan penegakan hukum
pidana
merupakan
serangkaian proses
yang terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu : a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang; b. Tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan; c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.12 Pada tahap kebijakan legislatif ditetapkan sistem pemidanaan, maka pada hakekatnya sistem pemidanaan itu merupakan sistem kewenangan/ kekuasaan menjatuhkan pidana. Pidana tidak hanya dapat dilihat dalam arti sempit/ formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti luas/ material. Dalam arti sempit/formal, penjatuhan pidana berarti kewenangan menjatuhkan/ mengenakan sanksi pidana menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim). Sedangkan dalam
11
Barda Nawawi Arief, 1994, Kebiiakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Penerbit: Universitas Diponegoro Semarang, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I) h. 61. 12
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pemngembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II) h. 30.
arti luas/material, penjatuhan pidana merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana. Hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral. Oleh karena itu keseluruhan sistem/ proses/ kewenangan penegakan hukum pidana itupun harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral. Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini jika dikaitkan dengan teori kebijakan hukum pidana, maka akan menjawab rumusan permasalahan pertama dari penulisan ini. Kebijakan hukum pidana disini berkaitan dengan kebijakan formulatif yaitu dalam perumusan perundang-undangan yang berkaitan dengan malpraktek di bidang medis, kemudian kebijakan aplikatif dimana peranan aparat penegak hukum dalam menerapkan aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan oleh undang-undang, baik itu penegakan hukum maupun penjatuhan sanksi nya, hingga kebijakan administratif yaitu pelaksanaan dari aturan-aturan perundangundangan dan juga penerapan atas sanksi-sanksi yang telah dijatuhkan apabila terbukti terjadi pelanggaran tindak pidana di bidang medis (malpraktek). b.
Teori Perlindungan Hukum Teori perlindungan hukum pada awal mulanya bersumber dari teori
hukum alam atau aliran hukum alam yang dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato) dan Zeno. Menurut pendapat Fitzgerald, menyatakan bahwa: “teori pelindungan hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan
dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.”13 Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.14 Menurut pendapat Satjipto Rahardjo, “perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.”15
13
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,h. 53.
14
C.S.T Kansil, 2000, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 23. 15
Satjipto Rahardjo, Op.cit,h. 54.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini jika dikaitkan dengan teori perlindungan hukum, maka akan menjawab rumusan permasalahan kedua yaitu mengenai perlindungan hukum dalam hal pemberian ganti kerugian baik bagi pasien maupun keluarga pasien yang menjadi korban dari dugaan terjadinya malpraktek di bidang medis yang diduga telah dilakukan baik oleh dokter maupun tenaga medis yang menangani pasien tersebut.
1.7
Metode Penelitian
a.
Jenis Penelitian Jenis
penelitian
yang
akan
digunakan
dalam
penelitian
ini
dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif. Hukum normatif dapat dibagi menjadi norma kabur, norma kosong dan norma konflik.Adapun penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.16Tidak jelasnya aturan dan terperinci mengenai tindak pidana (malpraktek) di bidang medis merupakan kelemahan dari sistem hukum di Indonesia, yang menimbulkan adanya kekaburan norma. Penelitian hukum normatif dalam skripsi ini berangkat dari norma kabur yang tidak menerangkan secara spesifik mengenai ganti kerugian yang berhak diperoleh oleh pihak pasien apabila menjadi korban dari malpraktek di bidang medis. Adanya kekaburan norma dirasa perlu untuk dikaji kembali mengenai aturan-aturan serta sanksisanksi yang dapat dijatuhkan.
16
Soerjono Soekanto, 2000, Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta, h. 51.
b.
Jenis Pendekatan Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan sebagai dasar sudut
pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti didalam melakukan analisis. Secara teoritis, dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, namun yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) hal ini dimaksudkan bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan, normanorma hukum yang berhubungan dengan tindak pidana malpraktek sebagai dasar awal melakukan analisis. Peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai bahan hukum dalam penulisan skripsi ini antara lain adalah: a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana c) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. e) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran f) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan g) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit h) Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
2014
tentang
Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban i) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
j) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. 2. Pendekatan analitis konsep hukum (Analytical & Conseptual Approach ), pendekatan ini dilakukan dengan mencari makna pada istilah-istilah hukum yang terdapat didalam perundang-undangan berupa aspek hukum malpraktek di bidang medis dengan begitu peneliti memperoleh pengertian atau makna baru dari istilah-istiah hukum dan menguji penerapannya secara praktis dengan menganalisis putusan-putusan hukum. 3. Pendekatan kasus (case Approach), pendekatan kasus dalam penelitian hukum bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.17
c.
Sumber Bahan Hukum Mengenai sumber bahan hukum dari penelitian hukum normatif ini
merupakan hasil penelitian melalui penelitian kepustakaan (Library Research).18 Adapun bahan hukum yang dimaksudkan terdiri dari : 1.
Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas tertentu. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
17
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Op.cit, h. 185-190.
18
Ronny Hanitiyo Soemitro, 2000, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
h. 24.
perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dipergunakan sebagai bahan hukum dalam penulisan skripsi ini antara lain adalah: a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana c) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. e) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran f)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
g) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit h) Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
2014
tentang
Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban i)
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
j)
Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
2.
Bahan Hukum sekunder Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi.19 Bahan hukum sekunder sebagai pendukung yang digunakan dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini.
19
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 13-14.
3.
Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier merupakan bahan yang dapat memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedi dan seterusnya.20 Adapun kamus yang dimaksudkan seperti Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, serta ensiklopedi bidang hukum terkait.
d.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah melalui studi kepustakaan. Bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan pertama-tama dilakukan pemahaman dan mengkaji isinya secara mendalam untuk selanjutnya dibuat catatan sesuai permasalahan yang dikaji baik langsung maupun tidak langsung. 21 Dalam pengumpulan bahan-bahan hukum dipergunakan teknik studi dokumen, yaitu menelaah peraturan-peraturan yang relevan, buku-buku atau bahan-bahan bacaan atau, karya ilmiah para sarjana dan hasilnya dicatat dengan sistem kartu.
e.
Teknik Analisis Bahan Hukum Mengenai tehnik analisis bahan hukum yang diterapkan dalam penelitian
ini diawali dengan pengumpulan dan sitematisir bahan-bahan hukum yang diperoleh untuk kemudian dianalisis. Analisis dilakukan dalam rangka untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada dengan menggambarkan apa yang
20
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23.
21
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 58.
menjadi masalah (deskripsi), menjelaskan masalah (eksplanasi), mengkaji permasalahan dari bahan-bahan hukum yang terkait (evaluasi) dan memberikan argumentasi dari hasil evaluasi tersebut, sehingga didapat kesimpulan mengenai persoalan yang dibahas pada penelitian ini.