BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Ummi Kulṡūm (1904-1975) adalah penyanyi paling populer di dunia Arab pada abad ke-20. Koleksi rekaman lagunya lebih dari 300 judul, merupakan artis piawai dan otentik yang mendedikasikan talenta dan karyanya demi kemajuan musik dan puisi Arab. Ketika wafat, upacara pemakamannya dilaporkan lebih besar daripada upacara pemakaman Presiden Jamāl „Abdun-Nāṣir (Danielson dalam Manshur, 2011:91). Ummi Kulṡūm dikenal dengan berbagai ejaan Oum Kulthum, Umm Kalthum, Oum Kalthoum, Om Koultoum, Om Kalthoum, Oumme Kalsoum, Umm Kolthoum atau Ümmü Gülsüm, dijuluki juga Kaukab asy-Syarq atau Star of the East. Hingga kini suara Ummi Kulṡūm masih terdengar hampir di seluruh dunia Arab. Lirik cinta, ode nasionalisme, dan nyanyian keagamaan terus mempengaruhi jutaan pendengarnya. Bahkan, Ummi Kulṡūm tidak hanya terkenal di Mesir dan dunia Arab, tetapi juga populer di Indonesia terutama di komunitas pesantren tradisional dan lingkungan pesantren modern karena lagu-lagunya sudah menjadi lagu universal yang mampu menembus semua lapisan masyarakat Islam. Seiring dengan gerakan nasionalisme Arab yang digaungkan Jamāl „Abdun-Nāṣir pasca revolusi tahun 1952, Ummi Kulṡūm menjadi simbol perjuangan bangsa Mesir. Ummi Kulṡūm sering diundang menyanyi oleh para penguasa Mesir mulai dari Raja Fāruk, Presiden Jamāl „Abdun-Nāṣir hingga Anwar Sadat, bahkan ketika Mesir kalah perang atas Israel tahun 1967, Ummi Kulṡūm diminta tampil ke publik secara khusus
1
2
untuk mendendangkan lagu-lagu perjuangan guna menghibur para prajurit serta mendorong semangat dan percaya diri bangsa Mesir untuk mengusir Israel dari Semenanjung Sinai. Dari konser Ummi Kulṡūm tahun 1967 yang diadakan Dewan Nasional Mesir terkumpul 24 ribu pounds yang didepositkan ke Bank of Cairo untuk memenuhi keperluan perang (http://www.sez.ae/vb/archive/index.php/t-133618.htm). Ummi Kulṡūm berkarya dalam lingkungan dan situasi politik yang sedang bergolak. Sebagai seorang artis komersial, karir yang dirintisnya adalah manifestasi keterlibatan budaya pop dalam ekonomi dan politik. Status dan ketenarannya tidak lepas dari dukungan para penggemarnya. Rekaman lagu-lagunya mudah dibawa dan diputar di mana saja, hal ini menjadi fenomena unik pada saat itu di samping muatan makna yang dikandungnya yang menyampaikan pesan tentang keberimanan, nilai-nilai sosial, dan sejarah estetika lagu-lagu Arab (Danielson dalam Manshur, 2011:92). Selama Perang Dunia II, lirik-lirik lagu Ummi Kulṡūm seperti menjadi penguasa bangsa Arab yang terus-menerus disiarkan radio dan televisi Timur-Tengah. Setelah berkuasa di Mesir, Jamāl ‘Abdun-Nāṣir menjalin relasi dengan Ummi Kulṡūm. Suaranya hampir sama pentingnya dengan pidato Nāṣir yang karismatik. Untuk memastikan penonton di seluruh dunia Arab, berita politik disiarkan sebelum konser Ummi Kulṡūm. Oleh karena itu, ada ungkapan bahwa pada tahun 1950 muncul dua pemimpin di Timur-Tengah. Jamāl „Abdun-Nāṣir dan Ummi Kulṡūm diilustrasikan seperti sphinx abadi, menjadi simbol nasional bangsa Mesir. Pada tahun 1950-an dan 1960-an Ummi Kulṡūm menjadi duta besar kesenian Arab, di negara-negara Arab, dia
3
disambut dengan upacara yang sama seperti sambutan pada kepala negara, dan diperhitungkan dalam acara-acara penting kenegaraan (Salloum, 1995). Lagu-lagu Ummi Kulṡūm yang bertema nasionalisme populer pada masa penjajahan Barat atas bangsa Mesir. Beberapa lirik lagu Ummi Kulṡūm yang menggaungkan rasa cinta terhadap tanah air di antaranya lagu Ṣautul Waṭan (Suara Tanah Air), ‘Alā Bābi Miṣra (Di depan Pintu Mesir), Miṣra (Mesir), dan Miṣra tatahaddaṡu ‘an nafsiha (Mesir menceritakan dirinya sendiri). Lagu tentang perlawanan terhadap penjajahan antara lain Manṣūrah Yā Ṡauratu Ahrār (Menanglah Hai Revolusi Kemerdekaan),
dan
Ṡiwār
(Revolusi).
Lagu
yang
menggambarkan
tentang
kepahlawanan yaitu Yā Jamālu Yā Miṡālal Waṭaniyyah (Hai Jamāl Hai Teladan Bangsa), Az-Zaʻīm waṡ-Ṡaurah (Pemimpin dan Revolusi), dan Habībusy-Sy‘abi (Kekasih Bangsa), sedang lirik lagu yang mendeskripsikan tentang Perdamaian di antaranya Yā Salāmu ‘alal-Ummati (Damailah Umatku). Lagu-lagu Ummi Kulṡūm yang bertema nasionalis itu muncul sebagai reaksi terhadap penjajahan Barat terhadap bangsa Mesir. Melalui lagu-lagunya, Ummi Kulṡūm berusaha membangkitkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme. Karya sastra merupakan lahan subur dalam usaha menggali wacana-wacana kolonialisme karena karya sastra merupakan tempat bertemunya ideologi-ideologi. Karya sastra yang ditulis oleh pihak penjajah maupun terjajah dalam prosesnya seringkali menyerap, mengambil, dan menulis aspek-aspek dari budaya lain serta menciptakan genre, gagasan, dan identitas baru. Dengan demikian, karya sastra merupakan sarana penting untuk mengambil, membalikkan, atau menantang sarana-
4
sarana dominan penggambaran dan ideologi-ideologi kolonial (Loomba, 2003:92-93). Said mendefinisikan imperialisme adalah praktik, teori, dan sikap dari suatu pusat metropolitan yang menguasai wilayah yang jauh, sementara kolonialisme merupakan konsekuensi dari imperialisme,yaitu dibangunnya pemukiman-pemukiman di wilayahwilayah yang jauh. Baik imperialisme maupun kolonialisme bukanlah suatu tindakan sederhana mengumpulkan dan mengambil, keduanya didukung ditekan melalui ideologi-ideologi impresif, dengan kata lain wilayah-wilayah dan bangsa-bangsa tertentu didominasi sehingga memunculkan kosakata kebudayaan imperial semacam ras lebih rendah, ras taklukan, ras bawahan, ketergantungan, ekspansi, dan otoritas (Said, 1996:40). Timur adalah hasil representasi dari Barat, yang pertama-tama untuk mendominasinya, namun sesungguhnya juga menyiratkan situasi dan kondisi aktualisasi diri manusia Barat; budaya Eropa memperoleh kekuatan dan identitasnya dengan cara menyandarkan dirinya pada dunia Timur sebagai semacam wali atau pelindung, bahkan diri yang tersembunyi (Said, 2010:4). Studi ketimuran atau orientalisme yang lahir melalui imperialisme Eropa menempatkan Barat sebagai ego yang menjadi subjek dan menganggap non-Barat sebagai the others1 yang menjadi objek. Orientalisme bertolak dari pandangan ego Eropa sebagai subjek pengkaji terhadap the others, non-Eropa
1
Goenawan Mohammad menerjemahkan the other dengan penjelasan ...."tidak mengherankan bila mereka menoleh pada Heidegger, membedakan Gestell dan Gelassenheit.." Gestell adalah menjangkau dan meletakkannya dalam posisi tertentu, membubuhkan cap, memperlakukannya sebagai bahan. Gelassenheit adalah melepas, membiarkan, sikap kita membuka diri kepada liyan, yang hadir sebagaimana adanya dalam kekhususannya, suatu orientasi yang memungkinkan kehadiran sang liyan dalam jamak, bergerak, dan hierarkis (Revolusi dan Praksis dalam Kalam 1/1994, hal.78)
5
sebagai objek yang dikaji. Dalam posisinya sebagai objek, terjadilah pemarjinalan terhadap diri the others, non-Eropa (Hanafi, 2000:26). Dalam The Philosophy of History, Hegel mengatakan bahwa Afrika sama sekali tidak memiliki sejarah, Barat yang datang dengan misi destruktif untuk menumbuhkan sesuatu yang baru; penghancuran masyarakat Asia yang lama dan penumbuhan dasardasar materiil Barat ke dunia Asia (Sinaga, 2004:13). Mesir merupakan negeri Timur di benua Afrika yang berperadaban kuno, berusia lebih dari 8000 tahun. Dua puluh tahun setelah lahirnya Islam, Mesir menjadi pusat keilmuan kaum muslimin (Sihbudi, 1995:143). Pada tahun 1798, tentara Napoleon mendarat di Alexandaria dan sejak itu dimulailah pendudukan Perancis atas Mesir (Brugmann, 1984:4), yang dicatat oleh ilmuan Mesir Al-Jabarti sebagai awal masa yang ditandai peperangan besar, akibat-akibat parah, hal-hal menakutkan, kesengsaraan tanpa henti, kekacauan, dan kerusakan. Perancis menjajah Mesir selama 3 tahun, dilanjutkan penjajahan Inggris selama lebih dari 70 tahun (Mooroo, 1992:63). Pada tahun 1801, pasukan gabungan Inggris dan Turki mengusir Perancis dari Mesir. Pada tanggal 28 Februari 1922, Mesir meraih kemerdekaannya dari penjajahan Inggris dan sekutunya, namun tetap di bawah protektorat Inggris. Pada tahun 1952, Muhammad Najib, Jamāl „Abdun-Nāṣir, dan beberapa perwira Mesir lainnya memimpin kudeta terhadap Raja Fāruk kemudian pada tahun 1953 sistem pemerintahan Mesir diubah dari kerajaan menjadi republik (Sihbudi, 1995:142).
6
Mesir bukan hanya sekedar koloni sebagaimana koloni-koloni lain, tetapi Mesir menjadi teladan akademis bangsa-bangsa Timur yang umumnya terbelakang, Mesir telah menjadi perlambang kemenangan pengetahuan dan kekuatan (Said, 2010:51). Ashcroft et.al (1995:2) menjelaskan poskolonialisme adalah studi-studi yang didasarkan pada fakta-fakta historis dari kolonialisme Eropa dan efek-efek materialisme kolonialisme. Lo dan Gilbert (1998:5-13) memetakan wilayah-wilayah analisis dalam kajian poskolonialisme menjadi enam aspek;1) bahasa, 2) sejarah atau kesejarahan, 3) nasionalisme, 4) kanonisitas, 5) politik tubuh (body polities), dan 6) ruang atau tempat (space/place). Penelitian ini akan difokuskan pada aspek nasionalisme dalam lirik lagu Ummi Kulṡūm. Menurut Renan (1994:54) nation adalah suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya kesadaran, bahwa orang telah berkorban banyak, dan bersedia untuk berkorban, hal ini mengandung arti adanya sesuatu pada waktu lampau, tetapi terasa pada waktu sekarang sebagai kenyataan yakni sebagai persetujuan, keinginan yang dinyatakan secara tegas untuk melanjutkan hidup bersama. Foulcher (2004:90) menjelaskan nasionalisme adalah kerinduan akan koherensi yang mengejar mereka. Kadang-kadang nasionalisme mengibarkan panji-panji nativisme, kadang-kadang terjun ke jurang masa lalu. Nasionalisme dengan beraneka ragam wujud penampilannya, lahir sebagai respon terhadap kekuatan-kekuatan, sejak revolusi Perancis yang secara revolusioner mentransformasikan imperium Barat menjadi semporium, yang berabad-abad berhasil meluaskan
penetrasinya
hampir
ke
seluruh
permukaan
bumi,
pertama-tama
7
nasionalisme menampilkan diri sebagai suatu gerakan kemerdekaan dari dominasi kolonial (Nasikun, 2000:1). Nasionalisme Arab adalah nasionalisme yang muncul di kalangan bangsa Arab dikarenakan ada beberapa faktor yang membangkitkan dan membinanya, yaitu faktor persamaan bahasa, persamaan sejarah dan tradisi, persamaan kepentingan, persamaan jenis bangsa, dan persamaan agama (Nuseibeh, 1956:63-72). Gagasan nasionalisme dalam karya sastra terrepresentasi dalam dua wacana yaitu; 1) retorika tradisi yaitu visi memandang ke belakang yang mewadahi kepercayaankepercayaan, praktik-praktik kerakyatan, dan gagasan tentang asal-usul untuk melenturkan ikatan-ikatan antar orang yang berbeda demi memperbaiki bangsa poskolonialisme itu, dan 2) retorika pembangunan yaitu visi ke depan yang menganggap pentingnya kemerdekaan dari kontrol penjajah untuk meraih identitas otonom, (Lo dan Gilbert, 1998:8).
1.2. Rumusan Masalah Penjajahan Eropa di Mesir telah meninggalkan jejak-jejak yang dapat ditelusuri, salah satunya melalui karya sastra. Gerakan nasionalisme dalam lirik lagu nasionalisme Ummi Kulṡūm merupakan jejak perlawanan bangsa Mesir yang akan dibahas dalam penelitian ini. Lirik-lirik lagu tersebut menggambarkan proses dan bentuk perjuangan bangsa Mesir melawan penjajahan Eropa. Adapun permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.
8
1) Bagaimanakah keterkaitan lirik-lirik lagu nasionalisme Ummi Kulṡūm dengan kolonialisme ? 2) Bagaimanakah proses dan gagasan nasionalisme Arab Mesir dalam bentuk retorika tradisi dan retorika pembangunan yang diungkapkan Ummi Kulṡūm melalui liriklirik lagunya ?
1. 3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk; a) Menjelaskan keterkaitan lirik lagu Ummi Kulṡūm dengan kolonialisme. b) Menguraikan proses dan gagasan nasionalisme Arab Mesir dalam bentuk retorika tradisi dan retorika pembangunan melalui lirik lagu Ummi Kulṡūm. c) Memperluas wawasan terhadap wacana terbangun dalam lirik lagu populer Mesir sebagai salah satu cara memahami kompleksitas hubungan Mesir dengan Barat pada masa kini. d) Mendorong penelitian-penelitian atau kajian serupa, terutama penelitian sastra populer dengan menggunakan pendekatan teori poskolonialisme.
1. 4. Tinjauan Pustaka Berdasarkan penelusuran penulis terhadap penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini, terdapat penelitian tentang Ummi Kulṡūm dan nasionalisme Arab Mesir. Fadlil Munawwar Manshur (2011) mengungkapkan bahwa Ummi Kulṡūm dikenal luas sebagai penyanyi wanita Mesir paling populer pada abad ke-20 di dunia Arab.
9
Popularitas Ummi Kulṡūm menyamai bahkan melebihi Presiden Jamāl „Abdun-Nāṣir. Karya-karya musiknya tercipta dalam budaya dan situasi politik yang panas. Ia juga seorang artis komersial yang kariernya dirintis dalam budaya pop, bukan dari budaya religius. Namun rekaman lagu-lagunya tetap banyak yang berisi pesan tentang keberimanan, nilai-nilai sosial, dan estetika lagu-lagu Arab. Yulia Nasrul Latifi (2004) mengungkapkan bahwa adanya gagasan nasionalisme yang terekspresi dalam retorika tradisi dan retorika pembangunan dalam novel AnNidāul Khālid karya Najib Kailani sastrawan Mesir. Konsep nasionalisme yang dinyatakan dalam novel ambivalen sebab gagasan universalitas atau persatuan menyangkal dirinya sendiri. Gagasan universalitas pada tataran peristiwa fisik dialami oleh tokoh utama dalam novel tersebut. Danielson (1997) menjelaskan bahwa Ummi Kulṡūm antusias dengan gerakan revolusi Mesir tahun 1952 dengan ikut serta berdemonstrasi menentang penjajahan melalui media elektronik, melakukan konser amal untuk membiayai perang Mesir dengan Israel, dan mengikuti Jamāl „Abdun-Nāṣir menggalang persatuan bangsa Arab melalui organisasi Liga Arab dengan slogannya Pan-Arabisme. Habeeb Salloum (1995) menjelaskan selama Perang Dunia II lirik lagu Ummi Kulṡūm seperti menjadi penguasa atas bangsa Arab yang terus-menerus disiarkan dalam radio dan Televisi Timur-Tengah. Suaranya menjadi hampir sama pentingnya dengan pidato Nāṣir yang karismatik. Untuk memastikan penonton di seluruh dunia Arab, berita politik disiarkan sebelum konser Ummi Kulṡūm. Oleh karena itu, ada ungkapan bahwa
10
pada tahun 1950 kedua pemimpin muncul di Timur-Tengah, Jamāl „Abdun-Nāṣir dan Ummi Kulṡūm seperti sphinx abadi, menjadi simbol nasional Mesir. Berdasarkan beberapa penelitian di atas, bahwa penelitian mendalam terhadap lirik-lirik lagu nasionalisme Ummi Kulṡūm belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Oleh karena itu, dengan tetap memperhatikan wawasan dari para peneliti di atas, maka penelitian nasionalisme dalam lirik-lirik lagu Ummi Kulṡūm relevan untuk dilakukan.
1. 5. Landasan Teori Penelitian ini menekankan aspek nasionalisme Arab Mesir, terutama retorika tradisi dan retorika pembangunan dalam lirik-lirik lagu Ummi Kulṡūm. Adapun teori yang digunakan adalah
nasionalisme yang merupakan subbagian dari teori
poskolonialisme. Sebagai suatu lapangan produksi dan analisis kultural, Lo dan Gilbert (1998:1-2) memberikan 3 garis besar pemahaman yang melekat pada konsep poskolonialisme, yaitu (1) studi-studi poskolonialisme berurusan dengan kebudayaan-kebudayaan yang pernah takluk pada imperialisme Eropa, baik kebudayaan-kebudayaan yang ada pada masa kolonial maupun sesudah kolonial; (2) studi-studi poskolonialisme berurusan dengan kebudayaan-kebudayaan bekas jajahan, terutama yang menyangkut respon atau perlawanan, masyarakat terjajah terhadap kolonialisme; (3) studi-studi poskolonialisme juga mempelajari kolonialisme sebagai hasil tak terelakkan dari hasil modernisasi dan industrialisasi sehingga studi tersebut dapat mencakup segala bentuk represi dan marginalitas yang diakibatkan oleh kapitalisme.
11
Di sisi lain, Said mengemukakan bahwa poskolonialisme merupakan studi yang berkaitan dengan hubungan antara kebudayaan dan imperialisme, yaitu imperialisme yang dipahami sebagai, teori, sikap pusat metropolitan yang menguasai wilayah yang jauh, sementara kolonialisme merupakan konsekuensi dari imperialisme, yaitu dibangunnya pemukiman-pemukiman di wilayah-wilayah yang jauh (Said, 1996:40). Yang mendasari teori poskolonialisme Said ini adalah gugatannya terhadap wacana Timur. Said menunjukkan bagaimana penjajahan politik dan ekonomi orangorang Eropa khususnya di Timur-Tengah, disertai pula penjajahan kultural berupa representasi dan sekaligus pendefinisian Timur sebagai “Sang lain” dari masyarakat dan kebudayaan penjajah tersebut. Hal ini didasarkan pada asumsinya bahwa Timur bukanlah suatu kenyataan alam yang asli tetapi sebuah ciptaan (Said, 2010:7-8). Teori poskolonialisme mengeksplorasi pengalaman penindasan, perlawanan, ras, gender, representasi, perbedaan, penyingkiran, dan migrasi dalam hubungannya dengan wacana-wacana penguasa Barat mengenai sejarah, filsafat, sains, dan linguistik. Studi poskolonialisme menempatkan dirinya sebagai kajian yang tak ingin terlepas dari segala macam konteks historis tertentu yang menaungi bangsa-bangsa yang merasakan dampak-dampak dari penjajahan. Dampak-dampak tersebut tidak bisa dibilang „usai sudah‟ atau „berakhir‟ begitu diproklamasikannya kemerdekaan suatu negara dari penjajahan, bahkan dampak-dampak tersebut masih dirasakan sampai sekarang. Masyarakat bekas koloni sebagai kesatuan poskolonialisme memiliki luka atau trauma penjajahan yang terus ikut serta dalam setiap proses pembentukan jati diri kebangsaan. Negara-bangsa yang terbentuk pun seolah mengalami krisis identitas atau
12
krisis percaya diri, tidak memiliki pegangan yang mantap dan jelas sehingga mudah digoyahkan dan diombang-ambingkan oleh relasi ketergantungan. Hal penting yang diungkapkan Bhaba (dalam Ashcroft et.al, 1998:12-13) bahwa salah satu ciri yang ditemukan dalam tiap kajian yang bercorak poskolonialisme adalah adanya ambivalensi-ambivalensi, sikap-sikap yang selalu mendua. Menurut Bhaba (dalam Foulcher, 1999:16) bahwa kalimat anti kolonial mengacu pada perlawanan kaum terjajah yang menentang institusi politik, ekonomi, dan budaya kolonial, maka poskolonialisme lebih memperhatikan sifat-sifat dari, dan alam kolonial serta warisannya di alam poskolonialisme yang ditandai oleh perebutan, ambivalensi, dan ketidakmapanan makna. Dengan ciri ambiguitas yang selalu menyertai kajian poskolonialisme seperti dikemukakan
Bhaba
di
atas,
pemahaman
poskolonialisme
juga
mencakup
pengungkapan operasi kekuasaan dalam sikap, perilaku, dan teori yang seakan-akan merupakan perlawanan terhadap kolonialisme, atau pengungkapan operasi perlawanan terhadap kolonialisme dalam teori, sikap, dan tindakan yang seakan-akan merupakan kepatuhan. Dengan nada yang sama, Lo dan Gilbert mengajukan konsep tentang wacana perlawanan (resistensi) bagi teori poskolonialisme. Hanya saja perlawanan tersebut tidak sederhana dan drastis, yang serta merta menghasilkan wacana alternatif radikal. Akan tetapi, perlawanan tersebut didasarkan pada struktur ganda, seringkali bersikap kontradiktif, tidak selalu mudah dipilah karena tidak lengkap, ambivalen, tidak seutuhnya berisi pemberontakan total (Lo & Gilbert, 1982:2). Hal ini sesuai dengan
13
temuan Fanon tentang ketidakstabilan dalam formasi identitas pada masa pendobrakan kolonial (dalam Ashcroft et.al., 1995:151). Lo dan Gilbert (1998:5-13) memetakan wilayah-wilayah analisis dalam kajian poskolonialisme menjadi enam aspek;1) bahasa, 2) sejarah atau kesejarahan, 3) nasionalisme, 4) kanonisitas, 5) politik tubuh (body polities), dan 6) ruang atau tempat (space/place). Sedangkan kemungkinan studi kolonial yang lain adalah mimikri, hibriditas, dan ambiguitas. Sementara Ashcroft (1995) memasukkan representasi dan resisitensi, etnisitas, feminisme, pendidikan, dan produksi. Berkaitan dengan luasnya wilayah kajian poskolonialisme seperti diungkapkan para teoretikus di atas, penelitian ini akan difokuskan pada aspek nasionalisme yang ada dalam batasan historis Lo dan Gilbert. Hal ini didasarkan akan pentingnya gagasan nasionalisme tersebut dalam lirik lagu negara terjajah dan merupakan salah satu fokus terbesar terhadap penolakan kontrol imperial oleh masyarakat terjajah. Nation berasal dari bahasa Latin natio, dikembangkan dari kata nascor (saya dilahirkan), maka pada awalnya nation (bangsa) dimaknai sebagai sekelompok orang yang dilahirkan di suatu daerah yang sama (group of people born ini the same place) (Ritter, 1986:286). Kata nasionalisme menurut Abbe Barruel pertama kali digunakan di Jerman pada abad ke-15, yang ditujuakan bagi para mahasiswa yang datang dari daerah yang sama atau berbahasa sama, sehingga mereka itu (di kampus baru dan daerah baru) tetap menunjukkan cinta mereka terhadap bangsa atau suku asal mereka (Ritter, 1986: 295). Keragaman makna itu dapat dilihat dari sejumlah pendapat berbeda berikut ini.
14
Nasionalisme pada awalnya terkait dengan rasa cinta sekelompok orang pada bangsa, bahasa dan daerah asal-usul. Rasa cinta seperti itu disebut sebagai semangat patriotisme, jadi pada mulanya nasionalisme dan patriotisme itu sama maknanya. Namun sejak revolusi Perancis meletus 1789, pengertian nasionalisme mengalami berbagai pengertian, sebab kondisi yang melatarbelakanginya amat beragam, antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Nasionalisme bukan lagi produk pencerahan Eropa tetapi menjadi label perjuangan di negara-negara Asia-Afrika yang dijajah bangsa Barat (Adisusilo, 2011:4). Nasionalisme dilihat Lo dan Gilbert (1988:8) sebagai pembangkitan tindakantindakan afiliasi untuk mengumpulkan kelompok-kelompok yang beraneka ragam di bawah simbol politik, pemerintahan, dan ekonomi, yaitu sebuah bangsa. Sebagai konsep sosial, nasionalisme tidak muncul begitu saja tanpa proses evolusi makna melalui media bahasa.
Namun
perkembangan
nasionalisme
sebagai
sebuah
konsep
yang
merepresentasikan sebuah ideologi politik bagaimanapun jauh lebih kompleks dari transformasi semantik yang mewakilinya. Dalam mengurai epistemologi nasionalisme, salah satu pendekatan yang dipakai adalah dengan melacak jejak-jejak etnik suatu bangsa ke masa sebelum nasionalisme berbentuk seperti sekarang ini. Dari sudut pandang etnonasionalisme berawal dari asumsi bahwa fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis. Dalam sudut pandang ini, nasionalisme dilihat sebagai konsep alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut etnie (Smith, 2003:7) yaitu suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi
15
memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme. Dalam argumen Smith etnie merupakan sumber inspirasi yang mendefnisikan batas-batas budaya yang memisahkan satu bangsa dengan bangsa lain seperti sekarang. Hans Kohn (1955:11) mendefinisikan bangsa adalah himpunan komunitas yang memiliki persamaan bahasa, ras, agama, dan peradaban. Mereka hidup dalam wilayah yang sama dan tumbuh karena adanya akar-akar sejarah yang mendukungnya. Implikasi titik pandang ini, bahwa nasionalisme lebih sebagai fenomena budaya daripada fenomena politik karena berakar pada etnisitas dan budaya pramodern. Ketika nasionalisme bertransformasi menjadi gerakan politik hal tersebut bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis. Sementara itu Benedict Anderson mendefinisikan nation (bangsa) sebagai suatu komunitas politis yang dibayangkan sekaligus sebagai sesuatu yang secara inheren terbatas dan berdaulat (an imagined political community and imagined as both inherently limited and sovereign). Istilah dibayangkan (imagined) ini penting, menurut Anderson, mengingat bahwa anggota dari nasion itu kebanyakan belum pernah bertemu satu sama lain, tetapi pada saat yang sama di benak mereka hidup suatu bayangan bahwa mereka berada dalam suatu kesatuan komunitas tertentu. Oleh karena terutama hidup dalam bayangan (dalam arti positif) manusia yang juga hidup dan berdinamika, nasionalisme di sini dimengerti sebagai sesuatu yang hidup, secara dinamis mengalami proses pasang surut, naik turun. Pandangan demikian ini mengandaikan bahwa nasionalisme merupakan sesuatu yang hidup, yang berkembang dinamis serta mencari bentuk-bentuk baru sesuai dengan perkembangan dan tuntutan jaman.
16
Imagined communities itu berujung pada sebuah tatanan sosial terbatas disebabkan adanya batas-batas teritorial dengan bangsa lain di sekitarnya sekaligus berdaulat sebagai aspirasi yang diimpikan para anggotanya, dan akhirnya dibayangkan sebagai sebuah komunitas (sebuah bentuk persaudaraan yang egaliter, bebas dari ketidakadilan dan penindasan). Dikatakan sebagai sebuah komunitas karena dipahami sebagai sebuah perserikatan yang dalam, horizontal, dan membangun hubungan semacam persaudaraan antar anggotanya. Bersifat terbatas disebabkan bangsa-bangsa lainpun memiliki garis-garis perbatasan, berdaulat sebab konsep ini lahir dengan ditopang akar kultural yang kuat. 2 Konsep yang ditawarkan Anderson di atas memberi suatu pemahaman bahwa bangsa yang selama ini diukir dengan konsep historis-romantis sebenarnya tidak lain hanya sebuah imajinasi sekelompok masyarakat yang lahir dalam kurun waktu yang pencerahannya dan revolusinya memporak-porandakan dinasti berjenjang yang diatur oleh kekuatan amat luas. Dengan demikian sikap penyakralan terhadap konsep nasionalisme dengan jelas ditolak Anderson berkaitan dengan pengagungan keutuhan bangsa karena menurutnya, ada gejala-gejala tidak aman dalam konsep bangsa dan dapat menjadi ideologi baru di tingkat interaksi duniawi. Bila konsep nasionalisme tradisional yang kaku tersebut masih dipertahankan, maka gejala peperangan, pembunuhan, serta pembantaian dalam bangsa sendiri seakan dibenarkan saja.
2
Dirangkum dari tulisan Benedict Anderson. Imagined Communities:Komunitas-komunitas Terbayang terjemahan Omi Intan Naomi, (Yogyakarta:Insist & Pustaka Pelajar. 2001, hal. 8-11)
17
Keterkaitan antara nasionalisme dengan bangsa dan negara amat jelas. Salah satu tujuan perjuangan kaum nasionalis yang terutama adalah pembentukan negara bangsa (nation state) (Adisusilo, 2011:8). Hertz berpendapat (1996:47) bahwa nasionalisme merupakan ideologi negara dan satu bentuk tingkah laku dari suatu bangsa. Nasionalisme sebagai ideologi dibentuk berdasarkan gagasan bangsa dan membuatnya untuk memberi fondasi kokoh bagi negara. Sebagai ideologi, nasionalisme dapat memainkan tiga fungsi, yaitu mengikat semua kelas warga bangsa, menyatukan mentalitas warga bangsa, dan membangun atau memperkokoh pengaruh warga bangsa terhadap kebijakan yang diambil oleh negara. Nasionalisme merupakan salah satu alat perekat kohesi sosial untuk mempertahankan eksistensi negara dan bangsa. Semua negara dan bangsa membutuhkan nasionalisme sebagai faktor integratif. Bangsa Arab yang tinggal di beberapa negara berbeda memiliki nasionalisme yang cukup kuat. Ada beberapa faktor yang membangkitkan dan membina nasionalisme Arab, yaitu faktor persamaan bahasa, persamaan sejarah dan tradisi, persamaan kepentingan, persamaan jenis bangsa, dan persamaan agama (Nuseibeh, 1956:63-72). Bahasa Arab merupakan bahasa nasional bagi bangsa Arab yang berasal dari satu keturunan Sam, anak nabi Nuh, terkenal dengan sebutan bangsa Sam. Yang termasuk dalam jenis suku bangsa ini adalah Babilonia, Assyiria, Ibrani, Funisia, Arami, dan Saba (Nuseibeh, 1956:7). Meskipun Islam lahir dan berkembang di Arab, tetapi tidak semua orang Arab beragama Islam, dan agama Islam juga menjadi faktor yang membangkitkan kesadaran nasional berbangsa dan bernegara.
18
Gagasan nasionalisme dalam karya sastra terrepresentasi dalam dua wacana yaitu; 1) retorika tradisi yaitu visi memandang ke belakang yang mewadahi kepercayaankepercayaan, praktik-praktik kerakyatan, dan gagasan tentang asal-usul untuk melenturkan ikatan-ikatan antar orang yang berbeda demi memperbaiki bangsa poskolonialisme itu, dan 2) retorika pembangunan yaitu visi ke depan yang menganggap pentingnya kemerdekaan dari kontrol penjajah untuk meraih identitas otonom, (Lo dan Gilbert, 1998:8). Faruk (1995:2-3) mengistilahkan nasionalisme bergerak ke dua arah;pertama yang bergerak ke masa lalu (Timur), menganggap dunia itu sudah ada sebelumnya dan dapat ditemukan kembali disebut sebagai nasionalisme sentripetal, kedua yang bergerak ke masa depan, menganggap dunia itu sebagai sebuah bangunan yang akan atau sedang dalam proses pembentukan (Barat, sintesis antara Timur dengan Barat) disebut sebagai nasionalisme sentrifugal.
1.6. Metode Penelitian Dalam penelitian ini, metode yang digunakan terdiri dari metode pengumpulan data dan metode analisis data yang diuraikan sebagai berikut. 1.6.1. Metode Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data utama penelitian yaitu lirik-lirik lagu Ummi Kulṡūm. Oleh karena objek penelitian secara keseluruhan bersifat populasi sistemik serta jamak atau general, maka prosedur penentuan sampel perlu dilakukan demi mendapatkan data primer.
19
Penentuan sampel dari populasi lirik-lirik lagu Ummi Kulṡūm dilakukan dengan menggunakan teknik purpossive sampling atau sampel bertujuan (Moleong, 2006:224). Sasaran utama dari penerapan teknik penarikan sampel ini adalah untuk memperoleh variasi sebanyak-banyaknya melalui penentuan dan analisis terhadap satuan-satuan yang ditentukan sebelumnya dan disesuaikan secara berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan penelitian. Proses penentuan jumlah sampel dari populasi akan mencapai batas maksimal sehingga dapat dihentikan oleh peneliti jika sudah terjadi pengulangan atau homogenitas data. Penggunaan teknik penarikan sampel bertujuan atau purpossive sampling mengisyaratkan perlu ditentukannya persyaratan atau prakondisi yang menjadi acuan dalam menentuakan sampel dari keseluruhan populasi lirik lagu populer tersebut. Dalam penentuan sampel, syarat-syarat yang ditetapkan meliputi;
a. Lirik-lirik lagu Ummi Kulṡūm yang diteliti terdapat dalam buku kumpulan lirik lagu An-Nuṣūṣ Al-Kāmilah li Agāni Kaukab asy-Syarq Ummi Kulṡūm yang disusun oleh Khalīl al-Ḥaṣrī dan Mahmūd Kāmil b. Lirik-lirik lagu yang diteliti adalah lagu-lagu Ummi Kulṡūm yang bertema nasionalisme dan populer pada kurun waktu 1926-1970 dimulai ketika kemunculan Ummi Kulṡūm sampai akhir pemerintahan Jamāl „Abdun-Nāṣir c. Lirik-lirik lagu Ummi Kulṡūm yang diteliti menggunakan bahasa Arab Fusha (bahasa Arab baku) dan Amiyah (bahasa Arab nonbaku)
20
d. Lirik-lirik lagu Ummi Kulṡūm yang menurut pengamatan penulis tidak mengandung persoalan kolonial tetapi digunakan sebagai contoh dan pembanding dalam menentukan kecenderungan perubahan tema secara diakronik. Dari 286 judul lirik lagu yang terdapat dalam buku kumpulan lirik lagu Ummi Kulṡūm, 52 judul di antaranya bertema nasionalisme. Adapun penelitian ini mengambil sampel 15 judul lirik lagu Ummi Kulṡūm yang merupakan karya dari para penyair populer Mesir. Pemilihan sampel tersebut dengan pertimbangan agar bisa mewakili tema lirik lagu nasionalisme Ummi Kulṡūm yang berjumlah 200-an. Adapun judul lagu tersebut adalah Saʻad Zaglūl Bāsya, Ṣautul Waṭan, Manṣūrah Yā Ṡauratu Ahrār, Ṡiwār, Bis-Salām wa bil Mahabbah, Yā Jamālu Yā Miṡālal Waṭaniyyah 1, Yā Jamālu Yā Miṡālal Waṭaniyyah 2, Az-Zaʻīm waṡ-Ṡaurah, ‘Alā Bābi Miṣra, Mautu Baladinā, Yā Salāmu ‘alal Ummati, Habībusy-Sy‘abi, Miṣra, Miṣra tatahaddaṡu ‘an nafsiha, AlJaisyu, dan Risālah. Selanjutnya pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi kepustakaan, penelusuran referensi tertulis untuk menunjang analisis data yang dilakukan. Sumbersumber tertulis tersebut antara lain buku, artikel-artikel ilmiah, laman internet, hasilhasil penelitian lain, serta data-data pendukung lain yang dapat melengkapi uraian mengenai efek kolonialisme Barat terhadap bangsa Mesir. 1.6.2. Metode Analisis Data Aktivitas penggunaan bahasa dalam puisi berbeda dengan ragam bahasa pada umumnya. Di dalam puisi terdapat tanda-tanda yang disembunyikan. Oleh karena itu, untuk menemukan bentuk nasionalisme serta retorika tradisi dan retorika pembangunan
21
dalam lirik lagu Ummi Kulṡūm dilakukan pemaknaan dengan cara membongkar tandatanda di dalam teksnya dengan metode dekonstruksi. Metode dekonstruksi digunakan untuk mengungkap operasi kekuasaan penjajah dan efek-efeknya bagi bangsa terjajah yang ada di balik sikap dan praktek tekstual (Faruk, 2007:17). Dalam hal ini, analisis dilakukan terhadap wacana terjajah untuk mengetahui kecenderungan perubahan tematis dalam kurun waktu tertentu, serta asumsi-asumsi dasarnya, dalam kaitan dengan aspek nasionalisme yang terkandung dalam teks-teks masyarakat terjajah. Hal ini dilakukan bertolak dari asumsi yang telah dikemukakan sebelumnya adanya dikotomi oposisi biner antara Barat dan Timur, penjajah dan terjajah, zalim dan dizalimi. Analisis seperti itu merupakan sebuah proses pencarian efek-efek kolonialisme dalam teks (Allen, 2004:208). Dekonstruksi menurut Derrida merupakan sebuah metode membaca teks secara sangat cermat hingga pembedaan konseptual hasil ciptaan penulis yang menjadi landasan teks tersebut tampak tidak konsisten dan paradoks dalam menggunakan konsep-konsepnya dalam teks secara keseluruhan. Dengan kata lain, teks tersebut gagal memenuhi kriterianya sendiri;standar atau definisi yang dibangun teks digunakan secara reflektif untuk mengguncang dan menghancurkan pembedaan konseptual awal teks itu (Sarup, 2008:49). Spivak menjelaskan bahwa dekonstruksi adalah upaya untuk menemukan teks marginal yang menjanjikan, menyingkap, membongkar momen yang tidak dapat dipastikan dengan alat penanda yang positif, membalikkan hierarki yang ada, agar dapat diganti untuk dapat membangun kembali apa yang selalu telah tertulis. Metode ini
22
dipahami dalam pengertian poststrukturalis, artinya relasi unsur-unsurnya tidak dipahami dalam kerangka kesatuan, tetapi dalam kerangka keberagaman dan ketersebaran. Cara kerja metode ini terfokus pada oposisi biner yang ada dalam teks, lalu bagaimana teks itu sendiri mendekonstruksi pemahaman yang oposisional tersebut dengan menunjukkan kontradiksi atau mengaburkan batas antara keduanya, sesuai dengan prinsip dekontruksi. Satu hal lagi yang penting dalam dekonstruksi menurut Derrida adalah penolakannya terhadap pusat. Dekonstruksi menolak pemusatan tersebut dengan cara terus-menerus berusaha melepaskan diri sekaligus mencoba menemukan pusat-pusat yang baru. Menurut Derrida, dalam usaha menemukan pusat-pusat yang baru sesungguhnya subjek juga akan selalu terlibat dengan adanya satu pusat. Dalam hubungan ini yang perlu diperhatikan adalah, di satu sisi pusat itu adalah plural, bukan tunggal (Sarup, 2004: 85-86).
1.7. Sistematika Penyajian Sistematika penyajian ini terdiri atas empat bab. Bab satu merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab dua menjelaskan jejak-jejak kolonialisme Eropa di Mesir dan gerakan nasionalisme Ummi Kulṡūm. Bab tiga menjabarkan pembahasan mengenai gagasan nasionalisme Arab Mesir dalam lirik-lirik lagu Ummi Kulṡūm. Bab empat merupakan penutup yang merupakan kesimpulan dari penelitian. Pada bagian akhir dicantumkan daftar pustaka yang menjadi referensi penelitian dilengkapi dengan lampiran-lampiran.
23
1