Bab I Pendahuluan
1.1 .
Latar Belakang Tulisan ini bermaksud ingin melihat pola patron-klien antara Fauzi
Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) dengan Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi) dalam Pemilukada DKI Jakarta 2012, khususnya di kelurahan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Forkabi adalah organisasi masyarakat etnis Betawi yang berdiri karena ketakutan etnis asli Jakarta yaitu etnis Betawi akan luntur karena banyaknya suku pendatang yang ada di Jakarta.1 Pada dasarnya Forkabi itu terbentuk karena kegelisahan masyarakat Betawi karena merasa etnisnya tidak pernah dibicarakan, dimunculkan ataupun dibahas didalam mediamedia di Jakarta. Mereka beranggapan bahwasurat kabar nasional yang terbit di Jakarta itu berkantor di Jakarta, para pegawainyapun hidup di Jakarta dan Jakarta notabene adalah kampungnya orang Betawi, tapi tidak pernah menampilkan cerpen/cerita yang bernuansa Betawi.2 Sehingga mereka merasa bahwa etnis Betawi semakin hari semakin terlupakan.
1
http://forkabi.wordpress.com/about/diakses pada tanggal 19 November 2013 pukul 20.36 WIB.Situs resmi didapatkan dari dr. H. Sibroh Malisi, salah satu Ketua Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Jagakarsa, anggota Forkabi dan juga berprofesi sebagai dokter. 2
ibid
1
Forkabi didirikan oleh H. Husein Sani, beliau adalah salah satu dari tokoh Betawi. Kata Forkabi itu sendiri diusulkan pertama kali oleh H. Salman Muchtar, beliau juga salah satu tokoh Betawi. Forkabi terdiri dari 2 kata, For berarti untuk dan Kabi berarti pukulan. Resmilah pemakaian kata Forkabi pada organisasi yang baru lahir ini yang merupakan kependekan dari Forum Komunikasi Anak Betawi.Forkabi pun lahir dan menjelma menjadi sebuah organisasi kaum Betawi yang bergerak pada multi bidang yang menyangkut kepentingan kaum Betawi sebagai bagian dari pluralism DKI Jakarta.3 Sedangkan Foke adalah Gubernur DKI Jakarta terpilih pada tahun 2007 yang berpasangan dengan Prijanto. Setelah masa baktinya pada tahun 2012 akan usai, Foke mencalonkan diri kembali menjadi kandidat calon Gubernur, kali ini berpasangan dengan Nachrowi Ramli (Nara). Nachrowi Ramli adalah seorang Mayor Jendral Purnawirawan dan juga menjabat sebagai Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat DKI Jakarta. Namun seiring berjalannya waktu, Forkabi mengalami pergeseran. Forkabi menjadi perpanjangan politik dari Foke-Nara selama masa kampanye dalam pemilihan Gubernur Jakarta 2012. Faktanya, Forkabi sangat gencar dalam mengkampanyekan Foke-Nara dalam pilgub tersebut. Di kelurahan Jagakarsa Jakarta Selatan misalnya, para anggota Forkabi mengkampanyekan Foke-Nara dengan cara door to door, dari rumah ke
3
ibid
2
rumah. Mereka menyampaikan segala bentuk visi misi dari cagub tersebut, mulai dari flayers, buku, baju, sticker, hingga kaset cd. Mereka mendatangi rumah warga sekitar seolah-olah mereka tidak mempunyai kesibukan lain selain mengkampanyekan cagub tersebut. Sampai mereka tiba-tiba menjadi sosok yang seakan-akan dekat dengan warga sekitar dengan sering mengadakannya acara-acara seperti pengajian, dangdutan, memberikan sumbangan untuk acara-acara warga sekitar, dan masih banyak lagi hal-hal yang tidak biasa, yang dilakukan oleh anggota Forkabi. Hal itu membuat masyarakat sekitar bertanya-tanya karena hal ini bukanlah fenomena yang biasa yang terjadi di lingkungan warga tersebut. Hubungan antara Forkabi dengan Foke-Nara, kemungkinan dapat dikategorikan sebagai pola patron klien. Patron klien merupakan budaya politik yang berjalan diatas prinsip relasi kuasa yang saling menguntungkan diantara mereka. Ciri-ciri hubungan patron-klien, menurut Scott adalah (1) terdapat suatu ketimpangan (inequality) dalam status dan pertukaran; (2) bersifat tatap muka; dan (3) bersifat luwes dan meluas. 4Dalam hubungan Foke-Nara dan Forkabi, ketiga ciri tersebut kemungkinan mengarah kepada pola patron klien karena hubungan diantara mereka berawal dari kesamaan etnis yaitu etnis Betawi. Hubungan diantara keduanya kemungkinan bisa
4
James Scott. 1972a. “Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia.” The American Political Science Review, Vol. 66, No. 1, pp. 91. Diakses tanggal 30 November 2014, darihttp://www.jstor.org/stable/1959280
3
terwujud dengan adanya hubungan timbal balik diantara mereka dengan pertukaran yang tidak setara seperti dukungan suara yang diberikan oleh Forkabi terhadap Foke-Nara dan meningkatkan eksistensi etnis Betawi di DKI Jakarta yang ditawarkan oleh Foke-Nara terhadap Forkabi. Secara umum, terdapat beberapa literature yang sebelumnya telah mengkaji tentang hubungan patron klien seperti yang telah dikaji oleh Rutinsyah dalam jurnal yang berjudul Hubungan Patron-Klien sebagai Strategi Pengembangan Ternak Sapi Perah di Pedesaan, Ia menjelaskan bahwa pola patron-klien terjadi antara petani dan pemilik ternak, pemilik dan peternak pekerja tetap, peternak dan pembeli dari produk susu dalam koperasi. Pola patron-klien petani dan pemilik umumnya kuat dan tahan lama karena mereka saling membutuhkan. Demikian pula, petani berhubungan dengan koperasi karena monopoli pembelian susu. Namun, hubungan antara pemilik dan pekerja pada umumnya tidak berlangsung lama
karena
para
pekerja
memilki
sarana
independen
untuk
mempertahankan ternak sapiperah mereka, baik milik mereka sendiri atau orang lain. Maka, pola patron klien yang terjadi dalam penelitian tersebut terjadi karena saling membutuhkan satu sama lain.5
5Rutinsyah.
2012. Hubungan Patron-Klien Sebagai Strategi Pengembangan Ternak Sapi Perah di Perdesaan (Studi Kasus Peternak Sapi Perah di Desa Telogosari, Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan Propinsi Jawa Timur),(Mozaik : Jurnal Ilmu Humaniora), Vol. 12, No.2. pp: 92 -209
4
Lain halnya dengan penelitian Moh.Hefni dalam jurnal yang berjudul Patron-client Relationship pada Masyarakat Madura. Ia menjelaskan bahwa patron klien antara pemilik tanah sebagai patron dan petani sebagai klien, terjadi karena adanya ketimpangan ekonomi. Pemilik tanah yang notabene memiliki kondisi ekonomi yang lebih baik memberikan uang sebagai upah dan petani memberikan tenaga untuk menggarap sawah.6 Berbeda dengan kedua penelitian tersebut yang membahas patron klien dalam sector informal, Lande dalam Leaders, Factions and Parties: The Structure of Philippine Politics membahas patron klien dalam konteks formal dalam politik di Filipina. Lande menyebutnya sebagai “big people” dan “little “people”. Menurutnya, hubungan “big people” dan “little people” terjadi karena adanya hubungan antar kelas yang difasilitasi oleh sistem kekerabatan bilateral seperti kekeluargaan dan persahabatan.7 Dari beberapa kajian tersebut, penulis mencoba menelaah lebih dalam mengenai pola patron klien yang terjadi di dalam pemilukada DKI Jakarta, khususnya di Kelurahan Jagakarsa Jakarta Selatan. Jagakarsa kemudian menjadi lokus yang dipilih oleh penulis karena selain Foke-Nara meraih kemenangan di daerah tersebut, kondisi masyarakat Jagakarsa yang memang secara kuantitas jumlah orang Betawinya tidaklah lebih banyak dari 6Moh.Hefni.
1, April
2009. Patron-client Relationship pada Masyarakat Madura.Jurnal KARSA, Vol. XV No.
7Carl
H. Lande. 1966. Leaders, Factions, and Parties: The Structure of Philippine Politics. Journal of Southeast Asian History, Vol. 7, No. 2 (Sep., 1966), pp. 145-149
5
pendatang, justru pada kenyataanya sentimen etnis Betawi justru tetap laku dalam proses politik yang dilakukan oleh tim pemenangan Foke-Nara. Penulis menduga apa yang terjadi di Jagakarsa, merupakan akibat dari membaurnya budaya Betawi ke dalam budaya para pendatang. Misal; adanya beberapa budaya Betawi yang dikombinasikan oleh mereka para pendatang lewat berbagai kegiatan dan tradisi mereka seperti halnya pernikahan, bahasa dan lainnya yang digunakan oleh para pendatang. Ini yang membuat penulis memilih Jagakarsa sebagai tempat penelitiannya. Kondisi sosial masyarakat Jagakarsa yang sedemikian itu, menjadi alasan penulis memilih tempat tersebut. Selain itu, etnis Betawi dikenal sebagai sosok yang loyal terhadap keetnisannya. Meskipun presentase kependudukan etnis Betawi sangatlah minim hanya sekitar 27,65%8 di Jakarta, tetapi pada tahun 2012 Foke-Nara dapat meraih suara diatas 45%, hal ini dikarenakan etnis Betawi sangat loyal dalam mendukung etnisnya dalam hal-hal positif, terutama untuk menjadi orang nomor satu di DKI Jakarta, karena masyarakat Betawi sendiri sudah sangat merindukan dan menginginkan agar Jakarta dipimpin oleh etnis asli Jakarta yaitu Betawi. Oleh karena itu, etnis Betawi bisa dengan mudah mempengaruhi etnis lain yang pastinya sudah lama bermukim di Jakarta dan
8
http://www.jakarta.go.id/v2/search?q=kependudukan+ diakses pada tanggal 28 November 2015.
6
sudah melewati pembauran budaya yang cukup lama, agar memilih kandidat yang beretnis Betawi. Pola patron klien tidak hanya terjadi karena saling membutuhkan, ketimpangan ekonomi dan sistem kekerabatan seperti yang tertuang dalam literature review diatas, melainkan dalam kasus Foke-Nara dan Forkabi pola patron klien diduga berawal dari adanya kesamaan etnis yaitu etnis Betawi. Penulis beranggapan bahwa pola patron klien yang terjadi tidak hanya atas dasar kesamaan etnis semata, melainkan ada hal lain yang ikut menopang terbentuknya pola patron klien diantara keduanya dan penulis juga beranggapan bahwa hubungan antara Foke-Nara dan Forkabi, Foke-Nara sebagai patron tidak hanya menawarkan untuk meningkatkan eksistensi Betawi semata, namun juga ada hal lain yang ditawarkan oleh Foke-Nara terhadap Forkabi dalam pemilukada DKI Jakarta tahun 2012 di Kelurahan Jagakarsa Jakarta Selatan. Maka, hal-hal inilah yang akan penulis gali lebih dalam pada penelitian ini.
1.2.
Rumusan Masalah 1. Bagaimana pola patron klien antara Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) dengan Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi) dalam Pemilukada DKI Jakarta pada tahun 2012 di Kelurahan Jagakarsa Jakarta Selatan?
7
1.3.
Tujuan Penelitian 1. Mengetahui pola patron klien yang dibangun antara Foke-Nara dan Forkabi dalam Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012 di Kelurahan Jagakarsa Jakarta Selatan 2. Mengidentifikasi pertukaran yang terjadi antara Foke-Nara dengan Forkabi dalam Pemilukada DKI Jakarta tahun 2012 di Kelurahan Jagakarsa Jakarta Selatan
1.4. Kerangka Teori a.
Patron Menurut Pelras, “patron” berasal dari kata “patronus” yang
berarti “bangsawan”.9 Patron berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti seseorang yang memiliki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh.10 Karenanya, ia adalah seorang yang dapat memberikan perlindungan dan manfaat serta mendanai dan mendukung terhadap kegiatan orang lain. Dalam
9Christian
Pelras, 1981. “Hubungan Patron Klien pada Masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan” Makalah yang disajikan pada Konferensi Sulawesi Selatan pertama, di Monash University, Melbourne http://sulawesi.cseas.kyotou.ac.jp/lib/pdf/AAhmadYani.pdf 10Sunyoto
Usman. 2004. Sosiologi; Sejarah, Teori dan Metodologi. (Yogyakarta: Center for Indonesian Research and Development), hlm. 132
8
literatur ilmu sosial, patron merupakan konsep hubungan strata sosial dan penguasaaan sumber ekonomi.11 Dalam bahasa Marxian, patron merupakan kelas yang memiliki kekuasaan politik dan ekonomi, sehingga ia dapat melakukan ekploitasi terhadap klien yang banyak menggunakan alat produksi yang dimiliki patron. Marxian melanjutkan bahwa, patron akan mengeluarkan modalnya untuk dua hal, yaitu membeli alat-alat produksi dan sebagian lagi untuk membeli tenaga kerja (klien). Patron berkewajiban untuk menjaga kliennya dari musuh-musuh dan melindunginya dari tuntutan hukum. Di samping itu, patron juga membantu
keluarga
kliennya
dalam
hal
ekonomi,
dengan
memberikan lahan kepada pengikutnya agar dapat menghidupi seluruh anggota keluarganya.12
11Lihat
istilah patron dan client pada Webster, Webster's New Twentieth Century Dictionary, edisi kedua (Oxford:Oxford University Press, 1975) dan Peter Davies (ed), The American Heritage Dictionary of The English Language (New York: Dell Publishing Co., Inc., 1977). 12Pelras,
Op.Cit, hlm. 2
9
b.
Klien Klien berasal dari istilah Latin “cliĕns” yang berarti pengikut,
bawahan atau orang yang diperintah dan yang disuruh.13 Para klien sebenarnya adalah orang yang bebas, namun realitasnya mereka tidak
sepenuhnya
merdeka14.
Secara
konseptual,
hubungan
ketergantungan klien kepada patron dapat terlihat dalam kehidupan buruh tani, pengrajin dan majikan atau juragannya.15 Buruh tani atau pengrajin sebagai pihak yang mempunyai kedudukan lebih rendah, dapat tergantung kepada juragan tersebut dalam rangka melakukan kegiatan kerjanya.Dalam usaha mengatasi keterbatasan menguasai sumber daya seperti modal atau biaya produksi, alat-alat produksi dan akses pasar banyak, biasanya klien menempuh dengan menjalin hubungan kerja dengan juragan.16 Klien biasanya membalas patron dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan, termasuk jasa pribadi, kepada patron. Berbeda dengan arus patron ke klien, arus barang dan jasa dari klien ke 13
David Jarry and Julia Jary, 1991. Dictionary of Sociology.(London: Harper-Collins Publishers), hlm. 458 14ibid
Amri Marzali. 1993. “Beberapa Pendekatan dalam Kajian tentang Respon Petani Terhadap Tekanan Penduduk di Jawa”. Dalam Jurnal Ilmu-ilmu Sosial (JIIS) No.4.(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama), hlm. 14 15
16ibid
10
patron, amat sukar untuk digolongkan, karena seorang klien umumnya menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron, apa pun bentuknya. Unsur-unsur tipikal dalam arus hubungan ini, antara lain mencakup jasa pekerjaan dasar (biasanya pekerjaan dalam usaha tani), dan pemberian jasa tambahan berupa bantuan dalam pekerjaan domestik (rumah tangga patron). Maka dapat dikatakan bahwa seorang klien adalah personal yang menjalin hubungan saling tukar menukar benda dan jasa secara tidak seimbang dengan patronnya, dimana dia tidak mampu untuk membalas secara sepenuhnya.17 c.
Patron-Klien Beberapa literatur yang telah dihasilkan oleh beberapa ilmuwan
sosial dan politik mengakui bahwa praktek-praktek kekuasaan patron-klien yang sudah ada pada masa pra-kolonial, tetapi berlangsung pada masa Orde Baru, bahkan hingga saat ini. Pendapat tersebut dibenarkan oleh Eko Sutoro yang melihat adanya ciri khas seperti, kedudukan, tingkah laku dan keseluruhan hirarkhi dalam struktur kekuasaan sebagian besar tergantung pada hubungan
James Scott. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Diterjemahkan oleh Budi Kusworo, et al, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), hlm. 7 17
11
personal kekeluargaan atau antara patron (bapak) dan klien (anak buah).18 Konsep
patron-klien
sebenarnya
berangkat
dari
teori
pertukaran sosial (social exchange theory) yang dikemukakan oleh Blau, bahwa ketidakseimbangan dalam masyarakat terhadap materi dan
keadaan
kekuasaan.19
sosial
adalah
Maksudnya
menghasilkan
struktur
kekuasaan
perbedaan muncul
dalam karena
terjadinya suatu hubungan pertukaran yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan pertukaran melahirkan kesenjangan kekuasaan dan ketidakseimbangan rasa hormat, sehingga menjadi sangat relevan dengan dasar hubungan patron-klien. Dalam konsep pertukaran sosial, mensyaratkan salah satu diantara dua pihak yg melakukan pertukaran harus memiliki sumber daya yang dibutuhkan oleh pihak lainnya, sedangkan pihak penerima (pihak lain tersebut) tidak memiliki sumber daya yang sama nilainya untuk dipertukarkan dengan pihak pemberi. Sehingga satu-satunya cara untuk membalas pertukaran ini adalah dengan memberikan kepatuhan (menerima posisi sebagai subordinasi) kepada pihak pemberi sumber daya tadi.
18
Eko Sutoro. 2003. Transisi Demokrasi Indonesia,(Yogyakarta : APMD Press), hlm. 50
Patrick Spread. 1984. “Blau's Exchange Theory, Support and the Macrostructure.” The British Journal of Sociology, Vol. 35, No. 2, pp.162. Diakses tanggal 12 Februari 2013, dari http://www.jstor.org/stable/590230 19
12
Secara konsep patron-klien lebih spesifik membahas tentang adanya pertukaran sosial. Salah satu ilmuwan sosial dan politik, Scott mengemukakan bahwa hubungan patron-klien sebagai hubungan pertukaran antara dua orang (dyadic) yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, di mana seorang individu yang lebih tinggi status sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimiliki untuk memberikan perlindungan dan/atau keuntungan kepada seseorang dengan status lebih rendah (klien) yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada patron.20 Dalam hubungan patron-klien, ada pihak yang menjadi superior (patron) dengan kelebihan status sosial dan ekonominya, dan pihak yang menjadi inferior (klien) karena status sosial dan ekonominya lebih rendah. Orang-orang berada pada posisi sebagai inferior tidak dapat memenuhi kebutuhannya, sehingga membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada kondisi seperti inilah sang patron membantu memenuhi kebutuhan kliennya dengan status dan sumber dayanya. Pelras menambahkan bahwa hubungan patron-klien digolongkan sebagai hubungan yang tidak sejajar (tetapi tidak mengikat) antara atasan (patron atau pemimpin) dengan 20
James Scott. 1972a. Op.Cit.pp. 92. Diakses tanggal 30 November 2014, darihttp://www.jstor.org/stable/1959280
13
sejumlah bawahan (klien, pelayan, atau pengikut), berdasarkan pertukaran pelayanan yang asimetris, di mana secara de facto patron tergantung kepada para klien yang memberi pelayanan cuma-cuma yang bisa mencakup kewajiban secara ekonomis, tugas-tugas dengan upah atau tidak, menjadi prajurit perang, dukungan politik dan pelayanan lainnya, diimbangi dengan peran patron untuk menjadi figure pemimpin bagi semua klien dan pemberian bantuan, termasuk pinjaman uang dan perlindungan.21 Namun, bila dicermati dalam relasi patron-klien, sulit untuk menentukan siapa yang paling diuntungkan atas pertukaranpertukaran tersebut, sebab bisa saja hal tersebut berlangsung secara seimbang. Patron menyediakan kebaikan, pekerjaan, perlindungan, atau bahkan jabatan, sedangkan klien menawarkan penghormatan dan dukungan politik. Sehingga jika dicermati hubungan semacam ini akan terasa sulit membedakan “siapa yang memanfaatkan siapa” sebab sebenarnya masing-masing pihak mendapatkan sesuatu yang diharapkannya.22
21
Pelras, Op.Cit, hlm. 2-3
22
Yahya Muhaimin. 1990. “Beberapa Segi Birokrasi di Indonesia”. Dalam Ahmad Zaini Abar (ed). Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru: Esei-Esei dari Fisipol Bulaksumur, (Surakarta: CV. Ramadhani), hlm. 25
14
Pelras mengungkapkan ada tiga cara dalam membangun jaringan patron-klien, yaitu23 : 1. Pelindung,
yaitu
dengan
menunjukan
kedermawanan
dan
membangkitkan rasa hormat dari kalangan pengikut dengan melindungi dan menjaga kesejahteraan mereka lebih baik dibanding yang lain. 2. Harapan, yaitu dengan membangkitkan kebanggaan pengikut dan harapan akan masa depan yang lebih baik dengan menduduki jabatan tinggi atau tampak sebagai orang yang paling berpeluang untuk menduduki jabatan tersebut. Pengikut pada gilirannya akan merasa ikut terhormat, dan berharap memperoleh keuntungan dari jabatan pemimpinnya,
karena
dengan
memegang
jabatan
tersebut
meningkatkan peluang patron mereka untuk mendistribusikan kembali kekayaan yang diperolehnya. Terkait dengan pertukaran sumber daya antara patron dengan kliennya, Scott mengklasifikasikannya sebagai berikut24 :
23
Pelras, Op.Cit, hlm. 15-16
James C. Scott. 1972b. “The Erosion of Patron-Client Bonds and Social Change in Rural Southeast Asia.”The Journal of Asian Studies, Vol. 32, No. 1,pp.9.Diakses tanggal 23 November 2014, darihttp://www.jstor.org/stable/2053176. 24
15
1. Sarana dasar subsistensi. Jasa utama yang diberikan oleh patron dapat berupa pekerjaan tetap, jabatan-jabatan di pemerintahan desa atau organisasi desa. 2. Jaminan
krisis
subsistensi.
Umumnya,
patron
diharapkan
memberikan pinjaman pada saat bencana ekonomi, membantu menghadapi krisis, atau membantu pada saat usaha klien dalam keadaan bangkrut. Jadi, patron diharapkan memberikan jaminan “dasar” subsistensi bagi kliennya dengan menyerap kerugiankerugian (dalam usaha atau pekerjaan) yang dapat merugikan kehidupan klien jika tidak dilakukan oleh patron. 3. Perlindungan. Perlindungan ini berarti melindungi klien dari gangguan atau tekanan dari pihak lain. Gangguan atau tekanan bisa saja datang dari musuh pribadi maupun dari pemerintah melalui tentara, pejabat, pengadilan, maupun pemungut pajak). Gangguan atau tekanan tersebut tidak hanya yang mengancam pribadi dan keluarga klien saja, namun mencakup juga ancaman terhadap usaha atau pekerjaannya. 4. Perantara dan pengaruh. Jika patron melindungi kliennya dari perusakan atau intimidasi yang datang dari luar, ia juga menggunakan kekuatan dan pengaruhnya untuk menarik hadiah dari luar untuk kepentingan kliennya. Perlindungan merupakan peran defensive
16
patron dalam menghadapi dunia luar; keperantaraan adalah peran agresifnya. 5. Pelayanan kolektif patron. Secara internal, patron sebagai kelompok dapat melakukan fungsi ekonomi kolektif. Mereka bisa mengelola dan memberikan bantuan berupa subsidi untuk badan amal setempat, menyumbangkan tanah untuk kepentingan komunal, mendukung pelayanan public lokal dan sebagainya. Arus barang dan jasa dari klien ke patron, menurut Scott pada umumnya sangat sulit untuk mengkarakterisasikannya, karena seorang klien umumnya menyediakan tenaga dan keahliannya untuk kepentingan patron apa pun bentuknya, termasuk melayani sebagai anggota setia dari faksi patron lokal. Bagi klien, unsur kunci dari evaluasi ialah perbandingan antara jasa yang diterimanya dengan yang diberikannya. Makin besar nilai yang diterimanya dari patron dibanding biaya yang harus ia kembalikan, maka makin besar kemungkinannya ia melihat ikatan ini sebagai sah.25 Penjelasan diatas menunjukan bahwa baik patron maupun klien masing-masing memiliki sumber daya berupa materi atau jasa yang dapat dipergunakan dalam sebuah hubungan pertukaran. Artinya, pertukaran dapat terjadi ketika sumber daya yang diberikan oleh
25
Ibid, hlm. 9-10
17
patron dapat diterima oleh klien dan sebaliknya patron dapat pula menerima sumber daya yang diberikan oleh kliennya. Dengan demikian, walaupun di awal disebutkan bahwa hubungan patronklien merupakan hubungan pertukaran yang tidak seimbang, namun kenyataannya hubungan yang terjalin bersifat saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Perlu diperhatikan bahwa hubungan patron-klien bukanlah hubungan bersifat permanen dan tertulis, artinya sewaktu-waktu salah satu pihak dapat memutuskan hubungan tersebut. Hal tersebut bisa disebabkan oleh baik patron maupun klien sudah merasa tidak nyaman lagi dengan hubungan tersebut karena berbagai alasan, atau kondisi klien yang mengalami peningkatan hidup sehingga tidak membutuhkan bantuan patronnya lagi. Terkait dengan pernyataan tersebut, Ahimsa- Putra menyatakan bahwa hubungan patron-klien juga perlu didukung oleh normanorma dalam masyarakat yang memungkinkan pihak yang lebih rendah
kedudukannya
(klien)
melalukan
penawaran,
artinya
bilamana salah satu pihak merasa bahwa pihak lain tidak memberi
18
seperti yang diharapkannya, dia dapat menarik diri dari hubungan tersebut tanpa terkena sanksi masalah.26 Pendapat di atas menunjukkan bahwa karir politik patron sangat tergantung kepada dukungan para kliennya. Patron harus mampu menampilkan diri sebagai kandidat yang paling layak dipilih, berupa distribusi berbagai sumber daya sebelum maupun setelah pemilihan dilaksanakan. Apalagi dalam sebuah kontestasi politik, kandidat lainnya (lawan politik) juga menawarkan berbagai sumber daya kepada para pemilih, termasuk kepada klien dari seorang patron. Kondisi ini memaksa patron harus bisa membaca sumber daya apa yang cocok untuk diberikan kepada kliennya. Secara umum ikatan patronase mempunyai karakteristik tersendiri, ada 3 ciri khas yang paling menonjol. Pertama, relasi terbentuk antara dua orang atau dua pihak antara aktor-aktor dengan status kekuasaan dan level kepemilikan sumberdaya yang berbeda. Kedua, dilandasi atas dasar hubungan timbal-balik diantara kedua belah pihak yang terlibat. Ketiga, hubungan patron-klien cenderung bersifat partikular dan private. Kesepakatan yang terjadi antara patron-klien cenderung fleksibel dan lancar dalam tataran praktiknya
26
Heddy Shri Ahimsa- Putra. 2007. Patron dan Klien di Sulawesi Selatan, (Yogyakarta : Keppel Press), hlm. 4-9
19
lebih dikenakan karena adanya suatu ikatan pribadi atau personal yang sebelumnya terjalin diantara aktor-aktor tersebut.27 Dalam konteks studi ini politik patronase yang bekerja dalam politik kekuasaan disini dilihat sebagai praktek hubungan dari dua orang atau lebih (kelompok) yang di dalamnya mengandung praktekpraktek kolusi diantara kedua belah pihak yang berelasi. Selain itu, diantara pihak yang berelasi tidak selamanya memiliki perbedaan dan ketidaksetaraan dan perbedaan status bisa terjadi hanya dalam hal sumberdaya ekonomi, sedangkan dalam hal status politik bisa memiliki kedudukan yang setara. Gejala patron-klien merupakan gejala yang banyak ditemui di daerah.
Fenomena
tersebut
terjadi
karena
adanya
pola
menggantungkan hidup.28 Para klien menggantungkan hidupnya pada para patron. Patron dalam hal ini tidak mengalami kerugian apabila dilihat pada hubungan yang lebih jauh. Pemberian yang dilakukan oleh para klien merupakan balasan apa yang diberikan oleh para patron mereka. Para patron menerima keuntungan dari apa yang diberikan kepada kliennya baik dalam bentuk jasa maupun loyalitas. Pada pandangan ini juga diketahui bahwa hubungan yang ada tidak
27
James Scott. 1972a. Op.Cit. hlm. 91-113
28
ibid, hlm. 22
20
hanya berhenti pada hubungan ekonomi semata melainkan juga berdampak pada hubungan sosial-politik. Pola hubungan ini merupakan hubungan timbal-balik antara keduanya dan menjadi sebuah sistem yang berulang. Hal ini begitu terlihat pada aktivitas ekonomi berupa pembangunan. Lamanya hubungan
yang
telah
berjalan
tidak
lantas
selalu
berhasil
mempertahankan pola yang sama. Perubahan terjadi baik secara komoditas maupun akses terhadap kapital membuat hubungan ini mengalami pergeseran nilai. Salah satunya dengan masuknya swasta yang mampu membuka keterbatasan terhadap global. Gejala partonase pada patron dan klien memang tidak hanya tampak dan berpengaruh pada sistem masyarakat secara general. Sebab tidak bisa dihindari bahwa ada kepentingan para aktor yang berperan di dalam system tersebut. Oleh karenanya aktor menjadi penting dalam hubungan ini tidak hanya dalam kesatuan sistem melainkan pada tingkat antar individu. Ahimsa menyebutnya sebagai actor-oriented yang terpusat pada tingkah laku dan tindakan yang dilakukan oleh individu. Upaya untuk memenuhi kepentingan ini memunculkan perilaku dan tindakan melalui strategi-strategi untuk bertahan. Strategi ini sering dimenangkan oleh mereka yang memiliki akses lebih banyak.
21
Strategi-strategi yang sering digunakan yaitu dalam wujud politik distributif dan politik transaksional yang sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari hubungan patron-klien. Pola hubungan patronase yang ada dalam masyarakat kerap dinilai jadi penghambat bagi pemenuhan unsur demokratis dalam pemilu, sehingga kerap kali politik distributif menjadi solusi. Salah satu penerapan distribusi kekuasaan berkaitan dengan pemanfaatan program-program negara atau program pemerintah untuk meraih kemenangan dalam pemilu.29 Oleh sebab itu, politik distribusi dalam hal ini akan cenderung lebih menguntungkan partai penguasa dalam pemerintahan. Apabila didasarkan pada teori politik distribusi, maka aliran anggaran tersebut tidak hanya diwujudkan secara langsung dalam bentuk uang namun juga dalam wujud yang lain. Pemerintah
melalui
program-program
sosial,
pemberian
bantuan uang tunai kepada masyarakat, penciptaan lapangan pekerjaan kredit ringan, serta upaya pendistribusian sumber daya lain pada masyarakat. Pajak dan pendistribusian pendapatan juga dilakukan dari masyarakat kaya pada masyarakat miskin. Upaya tersebut dapat dikatakan sebagai upaya pejabat menarik perhatian konstituennya. Sehingga pendistribusian berbagai sumber daya 29
Verdi Hadiz & Robinson R. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The Political Oligarchy in an Age of Market. London: Routledge, hlm. 22
22
dilakukan untuk mendapatkan dukungan. Hal demikian dikenal pula sebagai politik distributif karena adanya sumber daya yang di distribusikan. Oleh karena itu politik distribusi dalam hal ini akan cenderung akan menguntungkan pemerintah dan partai penguada. Hal demikian dikarenakan partai pemerintah lebih memiliki kontrol secara eksklusif dalam memanfaatkan keberhasilan programprogram pemerintah. Hal ini di istilahkan sebagai political monopoli sementara lawan politiknya merupakan economics monopolist. Secara garis besar penerapan politik distributif dapat dibagi menjadi dua yaitu: programmatic dan non-programmatic. Penerapan politik distributif secara programatik berkaitan dengan pemanfaatan program pemerintah untuk meningkatkan elektabilitas. penerapan harus didasarkan pada dua hal utama, yaitu: Sasaran distribusi yang dilakukan adalah publik dan kriteria formal distribusi haruslah benarbenar berbentuk sumber daya. Penggunaan
program-program
pemerintah
membuat
diperlukannya yang jelas antara mekanisme yang legal dan menyalahi ketentuan hukum. Hal ini dapat mencegah adanya praktik jual beli suara dalam pemilu. Pada pokoknya, upaya yang dilakukan tersebut bertujuan untuk mengubah pendirian masyarakat melalui publikasi keberhasilan program-program. Namun pada sisi lain terdapat pula
23
penerapan politik distributif secara non-programmatic. Menurut Stokes beberapa bentuk programmatic adalah sebagai berikut :30 a. Unconditional partisan bias Penerapan politik distribusi ini berkaitan dengan pemahaman bahwa pendistribusian sumber daya pada individu-individu dalam masyarakat dapat meningkatkan dukungan individu kepada pejabat yang melakukan distribusi sumberdaya. Misalnya dalam bentuk hadiah yang langsung diberikan oleh pejabat atau elit. Kemudian, apabila distribusi sumber daya tersebut dilakukan dengan sasaran publik atau masyarakat secara kolektif, maka penerapannya di kenal sebagai istilah pork barrel. b. Clientism Penerapan politik distributif dapat pula dilakukan dengan menawarkan keuntungan materi apabila masyarakat memberikan suaranya kepada kandidat. Berbeda dengan unconditional partisan bias maupun pork barrel yang tidak memberikan konsekuensi apabila
penerima
sumber
daya
tidak
memilih
kandidat
bersangkutan, pada clientism terdapat adanya ketakutan apabila tidak
memberikan
suara
pada
kandidat
yang
telah
mengalokasikan sumber dayanya. 30
Susan Stokes. 2013. Brokers, Voters and Clientalism: The Puzzle of Distributive Politics. Cambridge University Press, hlm. 11
24
c. Patronage vs Vote and Turnout Buying Terdapat penerapan politik distribusi non programmatik dengan sasaran anggota dari pejabat. Sementara itu ada pula upaya untuk mempengaruhi pendirian masyarakat. Politik transaksional sering dimaknai sebagai politik jual beli jabatan atau barang, atau juga sering disebut sebagai politik kesepakatan yang dibuat oleh elit birokrasi dengan elit lainnya. Politik transaksional sangatlah berbahaya dan sering melahirkan pemimpin dan politisi korup31 dan gayanya seperti racun yang sangat mematikan bagi demokrasi. Karena sifat dan pedoman terhadap nilainilai ekonomi dan transaksi yang berujung pada keuntungan pribadi. Realitas tersebut berkembang di tengah masyarakat, bahwa dunia itu adalah sarat dengan tukar-menukar jasa. Artinya, terdapat tukar menukar jasa antara politikus dengan konstituen yang diwakili maupun dengan partai politik. Dalam politik transaksional terdapat politik praktis berupa kesepakatan lelang jabatan atau upaya memperlancar jalannya pemilu. Munculnya sosok pejabat yang tidak jelas kredibilitasnya, kapasitan maupun kompetensinya yang justru juga sebagai ladang KKN sebagai upaya mengembalikan modal awal yang dikeluarkan seseorang dalam mengincar suatu jabatan. Dalam
31
Michello Loebuis. 2014. Governing From Belows. Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 5
25
konteks berdemokrasi, suatu golongan akan mencari kawan untuk memuluskan jalannya. Namun di sisi lain suatu kelompok yang mempunyai kepentingan akan mencari kawan kepentingannya yang sejalan. Dalam politik transaksional yang paling membahayakan adalah terjadinya cost politics yang mahal.32 Bahwa dalam transaksi politik akan menimbulkan biaya politik, maka sudah sewajarnya dalam transaksi itu muncul uang pengganti. Artinya, untuk menjalankan rencana kerja dari transaksi politik itu, diperlukan biaya yang tidak sedikit. Hal tersebut tidak bisa dihindari, bahwa yang paling umum dalam praktek politik transaksional adalah pengajuan permohonan secara individual maupun kelompok dalam parlemen atau dalam lembaga eksekutif untuk mencapai tujuan kedua belah pihak. Dalam melakukan transaksi politik biasanya dilakukan melalui beberapa saluran untuk mencapai kesepakatan dalam transaksional. Sejalan dengan hal itu, dunia politik adalah panggung transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan). Bahwa puncak kesuksesan politik adalah mampu meraih kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi ekonomi yang dapat mensejahterakan politikus dan kelompoknya. Dalam bertransaksi, harga barang tidak 32
Hempri Suyatna. 2013. Dominasi Elit dalam Arena Pengembangan Industri Kecil di Era Desentralisasi. LP3ES, hlm. 32
26
mengenal ideologi, transaksi hanya ditentukan oleh besarnya harga yang disepakati bersama. sekalipun pembelinya adalah orang yang tidak dikenal dan bahkan musuh sekalipun. Puncak kekuasaan bukan untuk
meraih
kemakmuran,
kekuasaan melainkan
dan
untuk
mengakses
sumber-sumber
memperjuangkan
kepentingan
publik.33 Meski demikian, mewaspadai politik transaksional merupakan keharusan bagi seluruh warga negara yang mempunyai hak otoritas suara dalam pesta demokrasi. Boissevain mengatakan bahwa transaksional digunakan untuk menjelaskan hubungan pertemanan dan persaudaraan dalam setiap pendekatan untuk memenuhi permintaan. Pada kondisi tertentu, politik transaksional meletakkan peran individu lebih dominan dan tidak terikat kepada peraturan atau sistem.34 Persaingan dalam hubungan transaksional hanya boleh berjalan apabila semua peraturan telah ditentukan, dipahami dan disetujui. Fokus dalam hubungan transaksional adalah perilaku yang bersifat pragmatis dan berada di luar peraturan yang sewajarnya.
33
Jeremy Boissevain. 1966. Patronage in Sicily. Vol 1 No.1, hlm 18-33
34
ibid
27
1.5.
Definisi Konsep Agar fokus penelitian lebih jelas dan terarah, maka penulis membuat pembatasan dan penegasan terhadap definisi konsep, yaitu sebagai berikut : 1.
Patron adalah seseorang yang memiliki kekuasaan (power) dan status (sosial, ekonomi, politik) yang lebih sehingga ia dapat memberikan perlindungan dan manfaat serta mendanai kegiatan kliennya.
2.
Klien adalah seseorang yang memiliki kekuasaan (power) dan status (sosial, ekonomi, politik) yang lebih rendah, sehingga dapat dikatakan sebagai pengikut, bawahan atau orang yang diperintah dan yang disuruh oleh patronnya serta mendukung kegiatan patronnya.
3.
Patron-Klien adalah hubungan pertukaran antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seorang individu yang lebih tinggi status sosial ekonomi politiknya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang
dimiliki
untuk
memberikan
perlindungan
dan/atau
keuntungan kepada seseorang dengan status lebih rendah (klien) yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan dukungan dan bantuan, termasuk jasa pribadi kepada patron.
28
1.6.
Definisi Operasional Untuk memudahkan pengumpulan data, maka defenisi konseptual yang ada dioperasionalkan ke dalam indikator-indikator agar mampu menggambarkan dan menjelaskan gejala-gejala yang dapat diuji kebenarannya. Adapun operasionalisasi konsep dalam penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Patron Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi patron dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Kekuasaan (power). Power yang dimiliki oleh Foke-Nara pada saat itu yaitu tepatnya pada tahun 2012 sangat menonjol, dimana pada masa itu Foke masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dan akan mencalonkan diri kembali sebagai kandidat Gubernur DKI Jakarta untuk periode selanjutnya. Oleh sebab itu, Foke-Nara dapat menggunakan kekuasaannya untuk meraih dukungan. b) Status. Dalam konteks pemerintahan daerah yaitu DKI Jakarta, Foke-Nara jelas memiliki status (ekonomi, sosial, politik) yang lebih tinggi dibandingkan dengan Forkabi, karena pada saat itu Foke adalah orang nomer satu di DKI Jakarta dan Forkabi adalah salah organisb asi masyarakat
29
yang ada di DKI Jakarta. Hal ini jelas menunjukkan bahwa keberadaan Forkabi ada dibawah naungan dari Foke. 2. Klien Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi klien dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a)
Kekuasaan (power). Power yang dimiliki oleh Forkabi pada
tahun 2012 mungkin tidak sebanding dengan power yang dimiliki oleh Foke, terlihat dari masih banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui organisasi masyarakat Forkabi itu sendiri. b)
Status. Status Forkabi di ranah DKI Jakarta, jelas berada di
bawah Foke, karena Foke adalah orang nomer satu di DKI Jakarta pada saat itu. Sehingga kemungkinan apa yang diinginkan oleh Foke akan diwujudkan oleh Forkabi. 3. Patron-Klien. Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi pola patronklien dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a) Pelindung. Bagaimana Foke-Nara sebagai patron mampu menunjukkan kedermawanannya dan bagaimana Foke-Nara juga mampu membangkitkan rasa hormat di kalangan Forkabi dengan melindungi dan menjaga kesejahteraan Forkabi.
30
b) Harapan. Bagaimana Foke-nara sebagai patron mampu membangkitkan rasa bangga Forkabi sebagai klien dan sukses menanamkan harapan akan masa depan yang lebih baik dengan menduduki jabatan tinggi/penting. 1.7.
Kerangka Pikir Penelitian Konsep patron dan klien dapat membantu untuk menjelaskan pola patron klien antara Foke-Nara dan Forkabi yang didalamnya terdapat proses terbentuknya patron klien serta pertukaran yang terjadi diantara keduanya. Untuk memperjelas hubungan tersebut maka akan disajikan dalam bagan berikut : Bagan 1.1 Patron
Terbentuknya Patron-Klien : - Pelindung - Harapan
Pertukaran Sumber Daya
Klien
31
1.8.
Metode Penelitian Metode penelitian dapat diartikan sebagai cara peneliti melakukan penelitian sesuai aturan-aturan yang telah ditentukan untuk memperoleh hasil yang dapat diuji ketetpan dan kebenaran. Pada bagian ini akan dipaparkan mengenai metode penelitian yang akan digunakan dalam pelaksanaan penelitian ini. Berturut-turut akan dibicarakan secara rinci mengenai jenis penelitian, unit analisis, informan, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.
1. Jenis Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian “kualitatif” yaitu merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati35. Sejalan dengan hal tersebut, Strauss dan Corbin mengartikan sebagai prosedur untuk menghasilkan temuan yang diperoleh dari data yang dikumpulkan dengan berbagai sarana, meliputi dan wawancara, namun bisa juga mencakup dokumen, buku bahkan data yang telah dihitung untuk tujuan lain.36 Sedangkan Kenneth mendefinisikan kepada penelitian yang
35
Moleong J. Lexy. 2004. Metode penelitian Kualitatif. (Bandung:Remaja Rosdakarya), hlm. 12
36Strauss
A. dan Corbin J. 2003.Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teorisasi Data, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 23
32
bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suatu fenomena yang secara detail atau untuk menggambarkan tentang apa yang terjadi.37 Dengan metode kualitatif ini dapat menghantarkan penulis untuk mengenal lebih dalam para informan yang berkaitan dengan pola patronklien. Melalui pendekatan ini akan disampaikan uraian-uraian mengenai pola patron klien antara Forkabi dan Foke-Nara secara mendalam dan sistematis, berupa analisis dari hasil wawancara, catatan lapangan, dokumen-dokumen lainnya yang berasal dari sumber yang dapat dipercaya. Sedangkan jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian studi kasus. Penelitian studi kasus melibatkan kajian isu yang dieksplorasi melalui satu atau lebih kasus dalam sistem yang terikat.38 Penelitian studi kasus adalah pendekatan kualitatif dimana peneliti mengeksplorasi sebuah sistem yang terikat (kasus) atau sistem majemuk yang terikat (kasus-kasus) dalam suatu waktu melalui koleksi data yang detail dan mendalam, melibatkan sumber informasi majemuk (misalnya, observasi, wawancara, materi audiovisual, dokumen, dan laporan).
37
Kenneth D. Bailey. 1982. Methods of Social Research, (New York: Free Press), hlm. 38
38
Creswell, John W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Approaches. Thousand Oaks : Sage, hlm. 73
33
Penelitian kasus/studi kasus (case study) penelitian yang dirancang khusus untuk mempelajari secara rinci dan mendalam sebuah kasus khusus. Penelitian studi kasus memusatkan perhatian pada satu objek tertentu yang diangkat sebagai sebuah kasus untuk dikaji secara mendalam sehingga mampu membongkar realitas di balik fenomena sebab yang kasat mata hakikatnya bukan sesuatu yang rill (realitas), itu hanya pantulan dari yang ada di dalam.Sebagaimana lazimnya perolehan data dalam penelitian kualitatif, data studi kasus dapat diperoleh dari semua pihak yang bersangkutan, baik melalui wawancara maupun dokumentasi. Tujuan dipilihnya studi kasus dalam penelitian ini karena studi kasus dianggap mampu membongkar kasus yang dipilih dengan komprehensif. Untuk menjawab kasus ini, maka penulis akan mengupas pertanyaan besar yang menjadi karakter studi kasus yaitu pertanyaan “bagaimana” berkaitan dengan bagaimana pola patron klienantara FokeNara dan Forkabi. 1.9.
Teknik Pengumpulan Data Dalam pelaksanaan pengumpulan data, menurut Yin39 ada enam bukti atau data untuk keperluan studi kasus.Bisa berasal dari dokumen,
rekaman
arsip,
wawancara,
pengamatan
langsung,
39
Robert K. Yin. 2006. Studi Kasus: Desain dan Metode, (Jakarta: Rajawali Press), hlm. 101
34
observasi partisipan dan perangkat-perangkat fisik. Sehingga bila mengarah
pada
enam
sumber
data
tersebut,
maka
tehnik
pengumpulan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan tehnik studi literature, observasi dan wawancara. a. Studi Literature Merupakan langkah awal yang dilakukan oleh peneliti terkait dengan fenomena patron klien yang terjadi dalam Pemilukada DKI Jakarta 2012. Studi Literature juga dilakukan dalam rangka mencari jawaban teoritik atas informasi–informasi yang diperlukan. Data melalui studi literature ini merupakan data sekunder yang didapat melalui buku, jurnal, dokumentasi, laporan penelitian, majalah, agenda, maupun data media massa. Data yang dicari secara umum adalah informasi mengenai organisasi masyarakat Forum Komunikasi Anak Betawi dan secara khusus adalah mengenai pembentukan pola patron klien antara Forkabi dengan Foke-Nara. b. Observasi Merupakan langkah lanjutan yang dilakukan oleh peneliti dalam rangka mencari sumber primer di lapangan. Observasi ini juga memungkinkan peneliti untuk melihat dan berinteraksi secara
35
langsung dengan realitas yang ada di lapangan. Menurut Yin40, bukti observasi
sangat
bermanfaat
untuk
memberikan
informasi
tambahan tentang topic yang akan diteliti. Ia melanjutkan bahwa observasi lingkungan sosial atau unit organisasi akan menambah dimensi baru untuk pemahaman konteks maupun fenomena yang akan diteliti. c. Wawancara Wawancara ini dilakukan secara mendalam pada anggota organisasi masyarakat Forkabi yang menjadi objek penelitian. Wawancara ini berfokus mulai dari individu anggota ormas tersebut dan kemudian meluas pada tim sukses dari Foke-Nara dalam Pemilukada DKI Jakarta 2012, khususnya di kelurahan Jagakarsa Jakarta Selatan. Hal ini kemudian akan dikontraskan dengan fakta yang terjadi dilapangan, yang dialami oleh masyarakat sekitaran kelurahan Jagakarsa Jakarta Selatan. Oleh karena itu maka wawancarapun
tidak
bersifat
formal.
Peneliti
berusaha
mengarahkan wawancara ke arah informal dan tidak berstruktur sehingga informan tidak merasa harus memberikan jawabanjawaban yang idealis tetapi diharapkan jawaban tersebut benarbenar menggambarkan fakta/kenyataan yang ada.
40ibid,
hlm. 112-113
36
1.10. Teknik Analisa Data Pada penelitian kualitatif, analisa data dapat dilakukan selama proses pengumpulan data. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam analisa adalah teknik triangulasi data. Proses triangulasi data ini dilakukan dengan cara mengkroscek informasi yang diberikan oleh seorang informan pada imforman maupun media massa. Sehingga pendapat yang didapat pun bukanlah pendapat subyektif seseorang saja. Secara garis besar, proses analisa data yang akan dilakukan dapat dibagi dalam 3 tahapan.41 Pertama adalah merangkum, dan memilih data-data pokok, berfokus pada informasi yang dibutuhkan dan membuang data-data yang dianggap tidak perlu untuk menghindari semakin meluasnya analisa yang dilakukan. Kedua, data yang sudah ada ini ke kemudian disusun untuk memudahkan memahami apa yang terjadi di lapangan. Ketiga, proses penarikan kesimpulan dimana peneliti akan memahami makna, pola, penjelasan dan alur. Kesimpulan yang diambil dapat diuji kembali dengan melihat realitas di lapangan. Produk akhir yang diharapkan dari penelitian ini adalah potret sebuah kelompok yang di dalamya disisipi pandangan peneliti sebagai partisipan.
41
Creswell.Op.Cit, hlm. 53
37
1.11. Sistematika Bab Dalam upaya memberikan pemahaman mengenai isi dari penelitian, maka tesis ini dibagi menjadi lima bab yang terdiri dari bab dan sub-bab yang berkaitan satu sama lain. Bab-bab tersebut antara lain : Bab I
Pendahuluan Dalam bab ini penulis menjelaskan latar belakang, identifikasi masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, kerangka dasar pemikiran dalam penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan yang akan digunakan dalam penelitian.
Bab II
Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), Foke-Nara dan Pilkada DKI Jakarta 2012 Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang organisasi masyarakat Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi) dan FokeNara sebagai aktor patron klien serta menceritakan tentang bagaimana Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2012.
Bab III
Pertukaran Sumber Daya antara Patron-Klien Dalam bab ini penulis akan menguak pertukaran sumber daya yang terjadi antara Foke-Nara dan Forkabi dalam Pemilukada DKI Jakarta 2012, khususnya di Kelurahan Jagakarsa Jakarta Selatan
38
Bab IV
Pola Patron-Klien Dalam bab ini penulis akan mengungkapkan pola patron-klien yang terjadi antara Foke-Nara dan Forkabi dalam Pemilukada DKI Jakarta 2012, khususnya yang terjadi di kelurahan Jagakarsa Jakarta Selatan.
Bab V
Penutup Dalam bab ini merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah dilakukan.
39