1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Studi ini akan menjelaskan bagaimana peran people to people diplomacy dalam mempererat jalinan kerjasama antara negara Indonesia dengan Mesir. Jika kebanyakan orang selama ini melihat hubungan diplomatik antar kedua negara selalu dilihat dari unsur pemerintah dan menafikan peran rakyat, sebaliknya tesis ini akan memaparkan bagaimana signifikasi peran individu-individu nonpemerintah dalam rangka membangun harmonisasi hubungan kedua negara. Harmonisasi hubungan antara Indonesia dengan Mesir, tentunya tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang yang melatar belakangi berdirinya kedua bangsa. Fakta sejarah bahwa Mesir adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia secara de Facto dan de Jure setelah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, telah menjadikan posisi Mesir begitu istimewa di mata Indonesia (Fachir, 2009:31). Dalam lingkup intenasional, pengakuan kedaulatan bagi pemerintahan yang baru dibentuk adalah aspek terpenting untuk memulai Politik Luar Negeri negara. Pengakuan Mesir secara khusus dan beberapa negara-negara Arab secara umum atas eksistensi pemerintah Republik Indonesia, adalah kemenangan politik pemerintah Indonesia. Kondisi inilah yang menjadikan pihak Belanda tidak lagi
1
2
bisa mengingkari perjanjian-perjanjian yang telah mereka tanda tangani dengan pemerintah Indonesia. Keterangan ini disampaikan oleh wakil presiden pertama Indonesia Bung Hatta pada sebuah majalah Akher Sa‟ah di Kairo, pada tanggal 23 Desember 1949 (Pan HUT RI ke-32, 1978:1). Kutipan lengkap dari pernyataan Bung Hatta adalah: “Kemenangan diplomasi Indonesia sesungguhnya berpangkal di Mesir. Karena dengan pengakuan Mesir dan negara-negara Arab lainnya atas Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh, segala jalan telah tertutup bagi Belanda untuk surut kembali atau memungkiri janji, seperti selalu dilakukannya dahulu (Pan HUT RI ke32, 1978:1)”. Fakta sejarah inilah, selanjutnya menjadi pondasi kokoh yang melandasi hubungan antara kedua negara. Uniknya, perjuangan untuk mendapatkan pengakuan atas kedaulatan Indonesia dari negara Mesir dan beberapa negara-negara Arab lainnya, awalnya justru dilakukan oleh kalangan pemuda dan mahasiswa Indonesia, yang saat itu mengenyam pendidikan di Mesir, dan bukan dilakukan oleh utusan resmi pemerintah (Fachir, 2009:24). Kondisi ini bisa dipahami, mengingat keadaan dalam negeri Indonesia yang kurang kondusif untuk mengirimkan utusan resmi. Pemerintah RI tengah disibukkan dengan perjuangan melawan kekuatan Belanda yang berusaha menguasai kembali Indonesia, melalui jalur perundingan ataupun penggunakan kekuatan militer (Leifer, 1983). Para pemuda dan mahasiswa ini tergabung dalam Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, yang disingkat dengan PKI. Cara yang dilakukan adalah dengan melakukan pendekatan khusus kepada beberapa pejabat tinggi dan tokoh-tokoh politik di Mesir. Selain itu, mereka juga
3
gencar meminta media massa Mesir agar memuat berita-berita tentang Indonesia (Fachir, 2009:25). Apa yang telah dilakukan oleh pemuda dan mahasiswa Indonesia di Mesir sesungguhnya adalah perwujudan dari konsep people to people diplomacy, sebab para pemuda dan mahasiswa bukanlah perwujudan dari utusan resmi pemerintah Indonesia. Keberhasilan perjuangan pemuda dan mahasiswa Indonesia di Timur Tengah untuk melakukan diplomasi dengan latar belakang bukan seorang diplomat adalah bukti nyata, bahwa proses diplomasi sejatinya tidak hanya dilakukan oleh utusan resmi pemerintah, melainkan bisa dilakukan oleh kalangankalangan lain. Hal ini sejalan dengan konsep Multi Track Diplomacy yang dijabarkan dalam buku “Multi Track Diplomacy” karya Dr. Diamond dan Ambassador McDonald. Dalam buku tersebut dijelaskan bagaimana keberhasilan sebuah diplomasi dapat tercapai dengan maksimal, jika dilakukan oleh pemerintah dan disokong oleh beberapa aktor-aktor lainnya. Aktor-aktor tersebut meliputi: kalangan professional, pelaku bisnis, masyarakat umum, research/education, para aktifis, kelompok keagamaan, lembaga penyedia dana, dan
media informasi
(Diamond dan McDonald, 1996:4-5). Pertanyaan kemudian, lalu apa yang dimaksud dengan people to people diplomacy? Menurut Diamond dan McDonald (1996): jika pada awal perkembangan ilmu hubungan internasional, proses diplomasi untuk membangun kerjasama di lingkup internasional hanya dilakukan oleh satu aktor saja, yaitu instansi resmi pemerintah, tanpa melihat adanya kemungkinan dilakukan oleh aktor lain. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, peran aktor-aktor non-
4
pemerintah juga mengambil peran yang signifikan dalam proses diplomasi negara. Konsep klasik yang melihat bahwa pemerintah adalah lembaga satu-satunya yang berperan dalam proses diplomasi sering dikenal dengan istilah “Track One Diplomacy”. Tetapi dalam kenyataannya kemudian, seringkali proses diplomasi hanya bersandarkan pada sistem ini, sering menemui jalan buntu, akibatnya suatu permasalahan gagal diselesaikan. Indikasi dari kegagalan track one diplomacy seringkali disebabkan instansi resmi pemerintah dalam menjalankan fungsi diplomasi masih terikat oleh peraturan formil dan birokrasi yang berlapis. Dari sinilah “Track One Diplomacy” dirasa kurang efektif dan diperlukan alternatif pilihan dalam pencapaian tujuan diplomasi. Konsep Multi Track Diplomacy, adalah konsep baru yang ditawarkan sebagai solusi, dengan mengenalkan aktor “baru” dalam proses diplomasi, aktor tersebut adalah pihak-pihak non-pemerintah. Proses diplomasi yang dilakukan oleh pihak-pihak non pemerintah dikenal dengan istilah “Track Two Diplomacy”. Sehingga perpaduan proses diplomasi yang dilakukan oleh kedua instansi; pemerintah dan non-pemerintah dikenal dengan istilah “Track One, Track Two Diplomacy”. Pengistilahan tersebut dikenalkan pertama kali oleh Joseph Montiville pada tahun 1982, untuk menggambarkan bahwasannya pihak pemerintah (track one) bukanlah satu-satunya tokoh yang berperan dalam proses diplomasi, akan tetapi ada aktor non-pemerintah (track two) yang juga ikut berperan. Dalam konteks ini, People to people Diplomacy bisa dipahami sebagai “track two diplomacy” untuk menggambarkan bagaimana sebuah proses diplomasi dilakukan oleh aktor-aktor non-pemerintah.
5
Yang perlu menjadi catatan kemudian, dalam proses diplomasi mutlak dibutuhkan sebuah power sebagai instrumen dalam pencapaian tujuan utama diplomasi. Dalam studi HI (Hubungan Internasional), power dibagi menjadi dua, yaitu: hard power dan soft power. Hard power identik dengan kekuatan ekonomi dan militer negara, sejatinya hanyalah dimiliki dan digunakan oleh utusan resmi pemerintah. Sedangkan unsur-unsur selain pemerintah, dalam berdiplomasi hanya menggunakan pendekatan soft power(Nye, Jr., 2004: 5). Tesis ini akan mengangkat topik hubungan antara Indonesia dengan Mesir oleh aktor-aktor non-pemerintah, menggunakan pendekatan konsep soft power sebagai media perekat hubungan kedua negara yang teraktualisasikan melalui peran aktif People to people Diplomacy. Jika selama ini hubungan antar negara di lingkup internasional selalu dilandasi pencapaian kepentingan nasional negara di luar negeri, sebagai implementasi dari pemahaman teori neo-realis ataupun liberalis atas terjalinnya kerjasama internasional, dengan meletakkan kepentingan materi sebagai tujuan utama. Sehingga keeratan hubungan antar kedua negara selalu diukur dari keuntungan materi yang diperoleh oleh kedua negara. Maka penelitian ini akan mengetengahkan isu yang berbeda, berupa pemaparan adanya fenomena unik tentang keharmonisan hubungan antar negara yang terjalin tidak hanya berlandaskan kepentingan materi tetapi lebih disebabkan adanya faktor-faktor lain, berupa: norma, identitas, dan pemilihan cara yang benar dalam menjalankan sebuah kepentingan politik (Reus-Smit, 2004:5).
6
Sedangkan alasan penulis untuk memilih topik peran people to people diplomacy menggunakan pendekatan konsep Soft Power dalam meneliti hubungan Indonesia-Mesir, dilatar belakangi keyakinan penulis bahwa selama ini peran masyarakat Indonesia di Mesir dalam rangka merekatkan hubungan kedua negara dirasa sangat signifikan. Bahkan jika kita melihat sejarah hubungan ke dua negara semenjak turunnya presiden Soeharto dan digantikan dengan Habibie (pasca reformasi), hubungan diplomatik resmi antar kedua pemerintah hanya berjalan sewajarnya saja, bahkan terkesan stagnan. Hal ini ditandai dengan minimnya kunjungan resmi pemerintah Mesir ke Indonesia. Tetapi di sisi lain, pada tataran grass roots hubungan masyarakat Indonesia dengan masyarakat Mesir terbukti tetap berjalan dengan baik. Bahkan dari tahun ke tahun (1998-2011) hubungan tersebut semakin meningkat. Kenyataan inilah yang melatar belakangi keyakinan penulis bahwa peran people to people diplomacy dalam hubungan IndonesiaMesir cukup signifikan dan menarik untuk dibahas. Sedangkan alasan penulis menggunakan pendekatan soft power sebagai media pendudukung terlaksananya proses people to people diplomacy, dilatar belakangi oleh kondisi politik luar negeri Indonesia pasca reformasi 1998, yang lebih didominasi oleh pemaksimalan fungsi Soft Power dibandingkan kemampuan Hard Power. Selain itu, suatu yang mustahil, jika proses diplomasi dilakukan oleh aktor-aktor non-pemerintah menggunakan pendekatan hard power.
7
1.2 Rumusan Masalah Fungsi diplomasi yang dilakukan masyarakat Indonesia di Mesir sebagai media perekat hubungan antara kedua negara memunculkan sebuah pertanyaan: Bagaimanakah peran masyarakat Indonesia dalam proses tersebut, dan apakah dalam pelaksanaan proses diplomasi ini terdapat faktor-faktor yang pendukung dan juga menghalangi? Dari pertanyaan-pertanyaan itulah maka rumusan masalah yang penulis ajukan dalam tesis ini: 1. Bagaimanakah peran people to people diplomacy dalam mempererat hubungan antara Indonesia dan Mesir? 2. Faktor-faktor apakah yang mendukung dan menghambat proses people to people diplomacy antara kedua negara? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Menjelaskan bagaimana signifikasi peranan masyarakat non-pemerintah dalam menopang keeratan hubungan diplomasi antara Indonesia dan Mesir. 2. Mengetahui faktor – faktor yang mendukung dan menghambat berjalannya people to people diplomacy di Mesir.
1.4 Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini, penulis menemukan beberapa buku dan literatur yang relevan sebagai penunjang penelitian. Tulisan pertama yang penulis anggap relevan adalah Tesis yang berjudul “Diplomasi Republik Indonesia di Mesir
8
(1947-1948) yang disusun oleh Suranta Abd. Rahman pada tahun 2003. Tesis ini membahas tentang diplomasi yang dilakukan misi diplomatik RI dan para mahasiswa Indonesia di Mesir untuk meyakinkan negara-negara Arab guna mengakui kemerdekaan Indonesia. Tesis ini juga memuat bagaimana dukungan besar telah dilakukan negara Mesir dan organisasi Liga Arab untuk membantu proses pengakuan tersebut.Pemilihan rentang waktu yang amat singkat (terbatas dalam rentang waktu 1947-1948) menurut hemat penulis adalah kelemahan tesis ini. Walaupun dasar pemilihan rentang waktu tersebut mengacu pada fakta bahwa tahun 1947 adalah tahun dimana diplomasi RI dalam mencari pengakuan dan dilakukan secara terbuka. Tapi, alasan ini sangat mudah untuk dibantah. Kembali ke fakta sejarah hubungan Indonesia-Mesir, sesungguhnya pemerintah Mesir telah memberikan pengakuan de facto atas kemerdekaan Indonesia sejak tanggal 22 Maret 1946. Yang disampaikan Sekjen Kemlu Mesir Abdurrahim Bey kepada pengurus Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia. Ditandai telah dilepaskannya perwalian kedutaan Besar Belanda atas warga Indonesia di Mesir untuk kemudian diserahkan seluruhnya kepada pengurus Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia. Untuk selanjutnya, membatasi penelitian pada tahun 1948, didasari argumen bahwa tahun tersebut adalah tahun dimana perjuangan diplomasi Indonesia mencapai puncak keberhasilan dengan ditandai pengakuan de Jure negara Mesir atas kemerdekaan Indonesia, telah meninggalkan sebuah persepsi akan mudahnya perjuangan untuk mendapatkan pengakuan tersebut. Padahal setelah membaca dan menelaah beberapa buku/tulisan yang menceritakan proses dalam mendapatkan pengakuan, perjuangan tersebut adalah proses yang sangat
9
panjang dan penuh pengorbanan serta telah dimulai jauh-jauh hari semenjak proklamasi Indonesia dibacakan bahkan sebelum proklamasi dikumandangkan. Terbatasnya rentang waktu yang dipilih dalam tesis tersebut menjadikan isi dari tesis sangatlah singkat, juga hanya terbatas bagaimana perjuangan yang dilakukan instansi resmi pemerintah saja dengan tidak banyak mengangkat aktoraktor lain (non pemerintah), padahal dalam perjuangan sebelumnya (sebelum tahun 1947) peran serta mahasiswa Indonesia di Mesir dalam meyakinkan pemerintah Mesir adalah faktor terpenting suksesnya perjuangan rakyat Indonesia dalam mendapatkan pengakuan de Facto & de Jure pemerintah Mesir. Melengkapi kelemahan dari tesis tersebut, penulis menemukan sebuah buku yang berjudul “Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri (Perjoangan Pemuda/Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah)” yang ditulis M. Zein Hasan, Lc. Lt. mantan ketua Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia (sebuah perkumpulan yang didirikan untuk menyebar luaskan kemerdekaan Indonesia di Timur Tengah dan Dunia Internasional) dan diterbitkan pada tahun 1980 oleh penerbit Bulan Bintang Jakarta, adalah jawaban atas keinginan untuk kembali melihat dan mengetahui bagaimana proses pencapaian pengakuan tersebut. Buku yang mengulas secara lengkap terkait proses perjuangan para pemuda dan mahasiswa Indonesia dalam mencari pengakuan akan kedaulatan pemerintah Indonesia di Mesir, diceritakan dengan lengkap. Lingkup analisa buku yang lebih terfokus dalam proses pembuatan kebijakan (the decission making process), semakin menambah kedalaman muatan isi buku dan meletakkan para pemuda dan mahasiswa benar-benar menjadi tokoh „heroik‟. Secara umum penjelasan dalam
10
buku ini semakin memperkuat asumsi penulis, akan pentingnya peran masyarakat dalam proses hubungan diplomatik Indonesia dengan Mesir. Namun, tiada gading yang tak retak, sebuah buku yang ditulis langsung oleh pelaku sejarah seringkali sangat dibatasi oleh prespektif pribadi penulis dalam memandang sebuah peristiwa. Hal inilah yang mendasari bagaimana analisa mendalam dari pembaca sangat dibutuhkan sebagai filter. Terlebih buku ini diterbitkan pada tahun 1980, yang menjadikan buku ini benar-benar produk sejarah yang terlepas dari isu kekinian. Padahal aspek „kekinian‟ dalam penelitian mutlak sangat dibutuhkan. “Jauh di Mata Dekat di Hati, Potret Hubungan Indonesia-Mesir” adalah judul buku yang diterbitkan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Cairo pada tahun 2009. Buku yang ditulis oleh beberapa diplomat Indonesia yang pernah bertugas di Cairo dan juga beberapa mahasiswa Indonesia yang belajar di Mesir adalah jawaban atas kebutuhan aspek „kekinian‟ yang dibutuhkan. Secara umum isi buku merekap dokumentasi lengkap perjalanan panjang hubungan diplomatik kedua negara, bahkan dalam buku tersebut diceritakan bagaimana hubungan rakyat nusantara (sebelum terbentuknya negara Indonesia) dengan bangsa Mesir sudah terjalin jauh sebelum Islam masuk dan menjadi agama mayoritas di kedua negara. Pada zaman Islam, pengaruh bangsa Mesir bagi wilayah Nusantara semakin terasa tentunya, hal itu bisa dilihat bagaimana aliran Syi‟ah pernah dianut oleh rakyat Nusantara disebabkan dinasti yang menguasai Mesir pada zaman itu menganut aliran Syi‟ah, untuk kemudian berubah seratus persen menjadi aliran Sunni saat wilayah Mesir dikuasai oleh Dinasti beraliran Sunni (Fachir, 2009:2). Rentang waktu yang panjang dalam mendokumentasikan
11
hubungan kedua negara menjadikan kelebihan dan juga kekurangan dalam buku ini. Kelebihannya karya ini terkesan lengkap, sebab hampir semua peristiwa diplomatik terekam dalam isi buku. Rekaman peristiwa-peristiwa penting dalam hubungan kedua negara yang juga disertai salinan dokumen-dokumen diplomatik, sesungguhnya bisa digunakan sebagai data utama dalam penelitian. Sedangkan kelemahannya, buku ini sangat minim analisa yang menyertainya. Hal ini dapat dipahami, mengingat buku ini ditulis oleh beberapa penulis sekaligus, dengan rentang waktu panjang dalam penyusunannya. Selain buku-buku di atas, penulis juga menemukan sebuah tesis yang berjudul “Peran Mahasiswa dan Alumni al-Azhar dalam Hubungan IndonesiaMesir” yang ditulis oleh M. Arif Ramadhan, seorang alumni Universitas al-Azhar. Penulis akui, ada sedikit kemiripan pembahasan tesis ini dengan penelitian yang penulis lakukan. Dalam tesis ini, penulis sudah menemukan beberapa data yang membahas interaksi masyarakat Indonesia dengan masyarakat Mesir. Namun, setelah penulis perhatikan kembali, meskipun terlihat mirip, ternyata terdapat perbedaan signifikan perihal subtansi tesis tersebut dengan penelitian yang sedang penulis lakukan. Perbedaan terbesarnya terletak pada pemilihan aktor-aktor yang diteliti. Jika dalam tesis yang ditulis oleh Arif Ramadhan (2011), aktor yang berperan hanya difokuskan kepada Mahasiswa dan Alumni al-Azhar saja, sedangkan penelitian ini mencoba untuk melihat seluruh elemen masyarakat Indonesia yang berperan. Mereka terdiri dari: para agamawan, pengelola pesantren, civitas lembaga pendidikan, beberapa pelaku bisnis, pedagang, jurnalis
12
dan tentunya juga melihat peran kalangan pelajar dan mahasiswa Indonesia yang berdomisili di negeri tersebut. Tentunya, penelitian ini akan bertumpu pada literatur-literatur dan hasil penelitian di atas. Namun penulis akan tetap mempersembahkan suatu hal yang baru sebagai sumbangsih terhadap ilmu pengetahuan.
1.5 Kerangka Pemikiran 1.5.1 Teori Konstruktivisme Dalam penelitian ini, penulis menggunakan prespektif konstruktivisme sebagai pendekatan untuk memahami eratnya jalinan hubungan Indonesia–Mesir. Keyakinan penulis bahwa teori realis dan liberalis belum menjawab beberapa pertanyaan utama terkait keeratan hubungan antar negara dilihat dari faktor nonmeterial adalah alasan utama mengapa teori konstruktivis lebih sesuai untuk digunakan. Keyakinan kaum konstruktivis bahwa tatanan dunia bukanlah sesuatu yang given (tercipta secara alami) tetapi suatu yang terkonstruk atau terbangun dari proses interaksi sosial sesama manusia. Menurut Nicholas Onuf (2002), perbedaan mendasar dari teori konstruktivisme dengan teori lain adalah keyakinan bahwasannya manusia (human beings) adalah mahluk sosial (social beings), dan manusia sesungguhnya belum benar-benar menjadi manusia tanpa melalui proses bermasyarakat. Masih menurut konstruktivis, manusia secara individu (people) adalah elemen yang membentuk suatu masyarakat (society), sedangkan dilain waktu kehidupan bermasyarakat juga akan mempengaruhi pembentukan karakteristik (identitas) individu manusia. Hal ini sering dikenal dengan istilah
13
two way process dikarenakan terjadi secara terus menerus dan berkelanjutan. Oleh sebab itu, agar proses interaksi ini bisa berjalan dengan baik, maka dibutuhkanlah elemen lain yang berfungsi sebagai sarana perekat dan sarana pengatur, elemen tersebut sering dikenal dengan istilah Rules. Dalam proses interaksi masyarakat (human being, Society, Identity, Rules) inilah akhirnya memunculkan sebuah keyakinan atas kebenaran bersama (intersubjektif), yang sering dikenal dengan istilah norma (norm). Dengan alasan norma itulah seringkali sebuah kebijakan yang diambil seorang aktor terkesan “tidak rasional”, inilah yang membedakan teori konstruktivisme dibandingkan teori lain. Teori ini sesungguhnya yang menjawab pertanyaan dasar mengapa negara Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Adanya persamaan kondisi masyarakat Mesir secara individual ataupun sosial dengan masyarakat Indonesia, telah memudahkan proses pengakuan tersebut. Bangsa Mesir yang berpenduduk mayoritas Muslim seperti halnya Indonesia, semakin mendorong terciptanya perasaan satu identitas. Logikanya kemudian, adanya persamaan identitas inilah yang menciptakan perasaan senasib dan seperjuangan. Sehingga proses pencapaian pengakuan internasional akan kemerdekaan RI bukan lagi menjadi beban yang harus dipikul oleh masyarakat Indonesia saja, akan tetapi secara tidak langsung juga telah menjadi kewajiban masyarakat Mesir untuk mewujudkannya. Hal ini bisa terlihat bagaimana perjuangan para pejabat pemerintahan Mesir yang ikut berperan aktif dalam memperjuangan kepentingan masyarakat Indonesia di kancah internasional dalam mencari pengakuan dunia.
14
Dalam buku “Jauh di Mata Dekat di Hati” (Fachir: 2009) diceritakan bagaimana pada hari Rabu, tanggal 31 Oktober 1945, untuk pertama kalinya surat dari Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia dibacakan dalam sidang Liga Arab di Kairo, Mesir. Sidang yang bertempat di Qasr Za‟faran yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mesir Mahmoud Fahmi Nokrasyi yang datang mewakili delegasi Mesir. Bunyi dari surat tersebut adalah: “Situasi di Indonesia semakin gawat. Sehubungan dengan digelarnya Sidang Liga Arab, kami menantikan dukungan konkret dari negaranegara Arab dan pengakuan terhadap Republik Indonesia yang merdeka. Kami juga mengharap negara-negara Arab membantu meyakinkan Inggris agar tidak membantu Belanda dan tidak ikut campur urusan Indonesia…” Bantuan dari pemerintahan Mesir tidak Berhenti di sini, Abdurrahman Azzam tidak menunggu waktu terlalu lama. Segera ia menghubungi Pemerintah Inggris melalui kedutaannya di Kairo. Ia meminta kepada pemerintah Inggris untuk tidak ikut campur membantu Belanda. Bahkan Azzam menegaskan kepada salah seorang diplomat Inggris di Kairo, bahwa ia tidak ragu-ragu meminta negara-negara Arab untuk mengirim sukarelawan guna berjuang bersama para pejuang Indonesia (Fachir, 2009:29). Setelah Mesir mengakui kedaulatan Republik Indonesia, kedekatan negara Indonesia dengan Mesir samakin erat, saat kedua pimpinan negara (Soekarno dan Gamal Abd Nasser) sama-sama bertekad dan berjuang untuk melepaskan beberapa negara yang masih terbelenggu kolonialisme menuju sebuah negara yang merdeka dan berdaulat, melalui Gerakan non-Blok. Masih dalam buku “Jauh di Mata Dekat di Hati” dijelaskan bahwasannya Presiden Soekarno
15
dan Presiden Nasser kembali bertemu pada KTT Non-Blok I setelah sebelumnya mereka juga bertemu dalam sidang umum PBB di New York pada 29 September 1960. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok yang terselenggara pada tanggal 1-6 September 1961 di Beograd Yugoslavia semakin mempererat jalinan dua pemimpin negara ini (Fachir, 2009:85). Adanya persamaan keyakinan bahwa penjajahan dan kolonialisme adalah bentuk ketidak adilan. Sehingga kemerdekaan adalah hak semua bangsa selanjutnya menjelma menjadi norma yang diyakini bersama, untuk terus diperjuangan. Proses inilah (manusia, masyarakat, identitas, rules, norma) telah menjadikan hubungan kedua negara semakin dekat. Hal serupa juga disampaikan Christian Reus-Smit (2004:21-24). Ia melihat bahwa sebuah kebijakan dalam hubungan internasional, sesungguhnya tidak lahir semata-mata dilandasi oleh faktor kepentingan materi (material environment), melainkan ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Singkatnya, dalam hubungan internasional seorang aktor tidak hanya bertindak untuk merespon lingkungan material mereka semata, akan tetapi sang aktor juga memiliki keyakinan-keyakinan intersubjektif yang kemudian membentuk identitas aktor itu sendiri, yang pada gilirannya membentuk kepentingan mereka. Sehingga, kalau kita ingin memahami prilaku seorang aktor, kita juga perlu untuk melihat kembali dan memahami identitas sosial mereka, dimana identitas sosial itulah yang mengkondisikan kepentingan dan prilaku aktor. Proses yang digunakan teori konstruktivisme menurut Christian ReusSmit (2004:21-24) dalam melihat fenomena adalah; manusia hakekatnya akan selalu berinteraksi, dari interaksi-interaksi inilah akan membentuk sebuah
16
keyakinan. Dari keyakinan-keyakinan ini pulalah identitas sang aktor akan terbentuk. Identitas sang aktor selanjutnya akan mempengaruhi kepentingan, yang akhirnya atas adanya kepentingan, sang aktor akan bertindak. Selanjutnya Christian Reus-Smit (2004:25) berargumen bahwa politik merupakan
sebuah
bentuk
tindakan
dan
pertimbangan
manusia
yang
multidimensi. Ada empat alasan yang melatar belakangi kebijakan politik: pertama: idiographic, yang membentuk identitas aktor (siapa saya?), kedua: purposive, sebagai proses pembentuk kepentingan/preferences (apa yang saya inginkan), ketiga: ethical, norma sosial yang malatar belakangi (bagaimana saya harus bertindak?), terakhir, instrumental, metode/cara yang dilakukan (bagaimana saya bisa memperoleh apa yang saya inginkan?).
Dari sinilah penulis bisa
melihat, bahwa dalam hubungan internasional, kepentingan meteri sesungguhnya bukanlah satu-satunya aspek terkuat yang mempengaruhi sebuah kebijakan negara, tetapi ada aspek-aspek lain yang bersifat non-meterial ikut berpengaruh. Pada titik ini pulalah sebenarnya alasan utama mengapa penulis tidak menggunakan prespektif realis ataupun liberalis, padahal kedua teori ini adalah teori utama (grand theory) yang seringkali digunakan peneliti-peneliti lain dalam menjelaskan kedekatan hubungan antar negara. Selanjutnya, penulis akan berusaha mendiskusikan tentang alasan mengapa teori realis dan liberalis dianggap „lemah‟ dalam menjelaskan fenomena ini? Jika prespektif realis menyakini bahwa dalam hubungan internasional negaranegara dimotivasi oleh sebuah dorongan untuk kekuasaan serta mengejar „kepentingan nasional‟ (Morgenthau,1948). Dalam konteks terjalinnya hubungan
17
Indonesia dengan Mesir, teori ini benar-benar tidak dapat direalisasikan. Merujuk kembali ke proses pengakuan Mesir atas kemerdekaan Indonesia yang diikuti dengan dibangunnya hubungan diplomatik kedua negara, sesungguhnya sulit untuk dijelaskan menggunakan logika ini. Jika faktor „keuntungan meteril‟ dan „kepentingan nasional‟ adalah motivasi utama pengakuan Mesir terhadap kemerdekaan Indonesia, pertanyaan selanjutnya sejauh mana keuntungan yang didapatkan pemerintah Mesir dari pengakuan ini? Bukankah alasan utama yang melatar belakangi mengapa Mesir begitu cepat memberikan pengakuan, adalah alasan norma, bahwa sesungguhnya kemerdekaan adalah hak asasi manusia yang harus dibela dan diperjuangkan, dan juga adanya persamaan identitas antara kedua negara, yang sama-sama mayoritas muslim. Dimana konsep Islam mengajarkan bahwa sesama muslim adalah saudara, yang wajib untuk saling bantu dan tolong menolong? Disini kepentingan nasional dan keuntungan materi benar-benar bukanlah landasan utama terjalinnya hubungan antar negara. Sebagaimana Realis, teori Liberalisme sesungguhnya juga tidak bisa terlepas dari kepentingan materi sebagai landasan utama munculnya sebuah kerjasama. Setidaknya ada lima poin-poin utama teori liberalisme menurut Jill Stean dan Lloyd Pettiford (2009: 111): (1) rasionalitas merupakan ciri universal yang tegas dari umat manusia; (2) secara rasional orang-orang mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri, tetapi ada satu keselarasan kepentingan yang potensial di antara masing-masing orang; (3) kerjasama adalah ciri utama dari semua hubungan manusia, termasuk hubungan internasional; (4) pemerintah diperlukan, tetapi sentralisasi kekuasaan tidaklah baik; (5) kebebasan individu
18
merupakan kepentingan politik yang utama. Dari poin-poin tersebut kita bisa melihat bagaimana faktor keuntungan yang bersifat „meterialistik‟ masih sangat mendominasi hubungan antar negara. Meskipun kepentingan untuk mendapatkan keuntungan „materi‟ dalam sebuah kerjasama, realitanya tidak dapat dilepaskan seratus persen sebagai motivasi dalam hubungan diplomatik, tetapi keinginan penulis untuk lebih melihat fenomena kerjasama antara Indonesia dengan Mesir tidak hanya dibangun semata-mata untuk kepentingan meteri semata, melainkan banyak faktor-faktor lain yang melatar belakangi. Sehingga dalam melihat sebuah hubungan internasional hanya terbatas pada sitematika untung rugi (rasionalitas) adalah penyederhanaan dalam melihat fenomena. Sebab banyak hal-hal lain diluar aspek rasionalitas juga turut mempengaruhi terjalinnya sebuah kerjasama. Dari beberapa keterangan di atas, penulis yakin bahwa prespektif konstruktivis
sesungguhnya bisa menjelaskan fenomena mengapa hubungan
antara Indonesia dan Mesir begitu dekat. Kedekatan hubungan antar negara ini menjadi pondasi utama munculnya interaksi antar masyarakat di kedua negara. Proses interaksi antar masyarakat ini nantinya akan penulis paparkan secara jelas dan mendetail dalam bab-bab selanjutnya, sebagai perwujudan dari people to people diplomacy. 1.5.2 Konsep Soft Power (Joseph S. Nye, Jr) Untuk mencapai kepentingan negara, dibutuhkan sebuah power sebagai instrumen. Sebab itulah Joseph Nye, Jr. (2004:1) mendefinisikan power sebagai kemampuan untuk mengubah prilaku orang lain agar memperoleh hasil yang
19
diinginkan. Lebih lanjut, Joseph Nye, Jr menjelaskan dalam buku yang berjudul Soft Power the Means to Success in World Politics, bahwa untuk mencapai keinginan tersebut ada beberapa pilihan cara yang bisa dilakukan. Dengan menggunakan paksaan ataupun ancaman, atau sering menggunakan pendekatan militerlistik. Atau melalui bujukan ataupun rayuan dengan memberikan imbalan, atau sering dikenal menggunakan pendekatan economic power (Nye, Jr., 2004: 5). Kedua cara tersebut dalam studi Hubungan Internasional (HI) lebih sering dikenal dengan istilah penggunaan Hard Power. Tetapi dalam perkembangan nya kemudian, penggunaan Hard Power sering kali dianggap kurang efektif. Dalam buku yang berjudul “World Disorder; Troubled Peace in The Post Cold War Era”, sang penulis; Stanley Hoffmann menjelaskan jika dahulu efektifitas diplomasi memerlukan dukungan politik ataupun ekonomi ataupun kekuatan militer yang riil, namun pada era sekarang „pamaksaan‟ diplomasi menggunakan kekuatan politik, ekonomi dan militer dalam hal-hal tertentu justru kurang efektif. Stanley Hoffmann memberikan contoh, bahwa sejak awal tahun 1960-an adanya tendensi akan ketidak efektifan penggunaan kekuatan militer Amerika Serikat dalam pelaksanaan politik luar negerinya terhadap negara-negara berkembang, sehingga diperlukan faktor-faktor lain sebagai pilihan alternatif (Muhaimin: 2007). Cara alternatif ini selanjutnya dikenal dengan istilah Soft Power. Soft Power adalah kemampuan untuk membuat negara lain bertindak ke tujuan yang diinginkan dengan cara membuat negara tersebut kagum dan tertarik dengan menggunakan nilai filosofi dan kebudayaan yang kuat. Untuk selanjutnya,
20
penggunaan kebudayaan sebagai alat penunjang diplomasi lebih dikenal dengan istilah Diplomasi Kebudayaan. Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah yang dimaksud dengan Kebudayaan itu sendiri? Dalam buku yang berjudul “Diplomasi Kebudayaan” yang ditulis oleh Tulus Warsito & Wahyuni Kartika Sari dijelaskan, bahwa pengertian kebudayaan bisa dilihat secara makro maupun mikro. Kebudayaan secara makro ataupun pengertian umum berarti segala hasil dan upaya budi daya manusia terhadap lingkungan. Ada pula yang mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistim gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Jika pengertian kebudayaan dilihat dari definisi di atas dan dikaitkan dengan diplomasi, maka akan dipahami bahwa segala sesuatu bentuk diplomasi yang dilakukan oleh manusia, baik itu menggunakan sarana ekonomi, militer ataupun media lain akan termasuk ke dalam ketegori kebudayaan. Tetapi pengertian diplomasi kebudayaan secara mikro adalah diplomasi yang menggunakan pendekatan pendidikan, kesenian, ilmu pengetahuan ataupun olah raga (Warsito dan Kartika, 2007:3). Singkatnya, pengertian soft power di sini bisa dipahami dengan penggunaan sarana pendidikan, kesenian, ilmu pengetahuan, olah raga dan lain-lain sebagai sarana diplomasi. Konsep soft power sebagai pendekatan yang digunakan oleh pemerintah RI, pada awal berdirinya negara Indonesia untuk mencari pengakuan dunia internasional atas kedaulatan Indonesia terlihat sangatlah jelas. Sejarah mencatat, bagaimana perjuangan masyarakat Indonesia dalam mencari simpati negara-
21
negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab melalui penggunaan pendekatan kesamaan Identitas Agama. Hal tersebut terlihat jelas dalam nota panjang yang dikirimkan oleh Perhimpunan Indonesia Raya dalam Sidang Pan Arab yang kemudian menjelma menjadi Liga Arab saat mengadakan kongresnya yang pertama di Iskandaria. Bunyi mukaddimah surat tersebut: “Diketika tuan-tuan berkumpul untuk memperbincangkan soal „Pan Arabia‟ dan di waktu kami memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar segala usaha tuan-tuan itu mendapat taufik untuk keselamatan bangsa Arab terutama dan Kaum Muslimin seanteronya, diketika saat yang berbahagia ini, kami pemuda Indonesia yang berlindung di bawah “Perhimpunan Indonesia Raya” mengambil kesempatan untuk menyampaikan kepada tuan-tuan suatu memorandum yang bersangkut dengan soal Indonesia yang diami oleh 70 milyun diantara mana 90% tersusun dari kaum muslimin, dengan maksud agar tuan-tuan mengetahui aliran soal negeri Islam Timur ini semenjak ditimpa malapetaka penjajahan…(Hassan, 1980: 41-44).” Tidak dapat dipungkiri, setelah Mesir mengakui kemerdekaan Indonesia, negara-negara Arab lain yang tergabung dalam Pan Arab selanjutnya ikut memberikan pengakuan atas kedaulatan Indonesia. Dari sinilah kita simpulkan, bahwa peran soft power sangat signifikan dalam upaya diplomasi Indonesia pada awal-awal kemerdekaan. Bahkan setelah kepemimpinan Soekarno digantikan dengan Soeharto dan Indonesia memasuki zaman orde baru, signifikasi fungsi soft power
sebagai
media diplomasi Indonesia di luar negeri juga semakin terlihat dan ditingkatkan. Salah satu contoh dari pembangunan citra baik bangsa Indonesia adalah dengan membangun Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Masih dalam buku “Diplomasi Kebudayaan” yang ditulis oleh Tulus Warsito dan Wahyuni Kartikasari(2007:161)
22
dijelaskan bahwa tujuan awal pembangunan Taman Mini Indonesia adalah untuk mempresentasikan keseluruhan
budaya
yang dimiliki bangsa Indonesia.
Mengenalkan kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia, melalui TMII diharapkan mampu meningkatkan citra Indonesia yang positif di luar negeri. Jika pada masa Soekarno politik Luar Negeri Indonesia lebih dikenal dengan politik luar negeri Marcusuar; dengan kebijakan merebut Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia (Warsito dan Kartikasari, 2007:74). Maka pada masa orde baru, politik luar negeri Indonesia lebih menampilkan citra Indonesia yang positif. Hal ini didasari asumsi bahwa dengan terbentuknya citra Indonesia yang positif akan mempermudah pencapaian tujuan nasional Indonesia, yaitu meningkatkan persahabatan dan kerjasama internasional dan regional melalui forum multilateral dan bilateral. 1.5.3 Multi Track Diplomacy (Dr. Louise Diamond & Ambassador John McDonald) Multi-Track Diplomasi adalah sistem yang bertujuan menciptakan perdamaian dalam hubungan Internasional. Sistem ini dikenal dengan multi-track disebabkan adanya beberapa unsur yang saling terkait antara satu dengan lainnya, unsur tersebut bisa meliputi (individu, kelompok, institusi ataupun komunitas). Untuk selanjutnya beberapa unsur ini saling bekerjasama dan saling menopang demi sebuah tujuan bersama, yaitu terciptanya kehidupan dunia yang harmonis. Singkatnya, konsep yang ditawarkan di dalam Multi Track Diplomacy adalah: dalam diplomasi diperlukan kesatuan antara aktor-aktor elit negara dengan
23
aktor-aktor non-negara. Aktor-aktor negara adalah para diplomat yang dikirim khusus oleh pemerintahan sebuah negara, sedangkan aktor-aktor non-negara adalah semua elemen masyarakat sebuah negara yang memiliki kemampuan untuk melakukan interaksi dan komunikasi dengan pihak pemerintah negara lain ataupun pihak non pemerintah. Proses interaksi inilah yang kemudian memberikan kontribusi positif terhadap hubungan kedua negara, baik dirasakan secara langsung ataupun tidak. Penggunaan konsep multi track diplomacy dalam penelitian ini berdasarkan keyakinan penulis bahwasannya dalam proses diplomasi keberadaan aktor resmi negara bukanlah satu-satunya aktor yang bertanggungjawab terhadap kelangsungan kerjasama internasional. Akan tetapi keberadaan aktor-aktor nonnegara juga dianggap memiliki fungsi yang signifikan. Penggunaan konsep ini juga bertujuan untuk melihat kerjasama Internasional antar negara sebagai aspek yang komplek dengan aneka ragam aktor. Jika dalam buku multi track diplomacy disebutkan ada sembilan elemen yaitu: instansi pemerintah, professional, pelaku bisnis, masyarakat umum, research/education, para aktifis, kelompok keagamaan, lembaga penyedia dana, danmedia informasi. Dalam penelitian ini penulis hanya membatasi kepada beberapa elemen saja, yaitu: Pertama: Kelompok Agamawan, yang sering diwakili oleh beberapa pimpinan Pesantren dan pengelola lembaga pendidikan agama. Kedua, Pengelola Lembaga Pendidikan di Perguruan Tinggi ataupun Mahasiswa. Ketiga, kalangan pembisnis, pedagang dan investor. Terakhir, kelompok jurnalis. Penulis sengaja tidak mencantumkan secara khusus peran instansi pemerintah,
24
sebab fokus penelitian ini memang hanya difokuskan kepada elemen-elemen non pemerintah. Sedangkan keberadaan pemerintah di sini hanyalah sebagai fasilitator terbangunnya komunikasi antar kedua masyarakat. 1.6 Argumen Utama Kedekatan hubungan diplomatik antara pemerintah Indonesia dengan negara Mesir tentunya tidak terlepas dari faktor historis yang melatar belakangi kedua negara. Fakta sejarah bahwa Mesir adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, menjadikan posisi Mesir begitu istimewa di mata Indonesia. Sebaliknya posisi Indonesia sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, juga telah menjadikan Indonesia “istimewa” di mata negaranegara yang berpenduduk mayoritas muslim seperti halnya Mesir. Tetapi pasca reformasi Indonesia 1998, hubungan kedua negara terlihat stagnan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa semenjak reformasi Indonesia sampai terjadinya revolusi di Mesir, hampir tidak ada kunjungan resmi perwakilan pemerintah Mesir ke Indonesia. Namun uniknya, semenjak reformasi 1998 sampai dengan revolusi Mesir 2011, intensitas hubungan antara masyarakat Indonesia dan rakyat Mesir semakin tahun semakin meningkat. Kedekatan hubungan masyarakat Indonesia dan rakyat Mesir tentunya dilatar belakangi adanya kesamaan ideologi, kemiripan budaya juga peran serta lembaga pendidikan di kedua negara.
25
1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Tehnik Pengumpulan Data Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data diambil dari berbagai literatur,
yang
penulis
anggap
sesuai
dengan
tema
dan
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara dengan beberapa elemen masyarakat, untuk mengorek lebih dalam bagaimana proses dan peranan apa yang telah dilakukan oleh elemen-elemen tersebut, dalam berinteraksi dengan masyarakat Mesir. Lebih dari itu, penulis juga menyebarkan angket jejaring pendapat kepada Masyarakat Indonesia yang sedang/pernah di Mesir. Tujuan dari penyebaran angket tersebut adalah untuk melihat dan menguji asumsi peneliti terkait beberapa hal pokok yang menjadi fokus penelitian. Langkah yang dilakukan selanjutnya adalah mengelola data-data tersebut dan mendeskripsikan serta menganalisa, untuk dapat mengambil beberapa kesimpulan. Terkhusus untuk angket yang penulis sebarkan, hasil dari jejaring pendapat tersebut, penulis konversikan menjadi grafik, dari grafik itulah penulis mengambil kesimpulan dan menguji validasi data untuk kemudian ditafsirkan menggunakan pendekatan kualitatif (Sugiyono, 2008:93). 1.7.2 Tehnik Analisa Data Tehnik analisa dalam penelitian ini berdasarkan langkah-langkah yang terdapat dalam penelitian kualitatif, antara lain: mengumpulkan,memilih, menilai dan menafsirkan data tersebut untuk kemudian diambil kesimpulan.
26
Dalam buku “Metodologi Penelitian Kualitatif” yang ditulis oleh Prof. Dr. Lexy J. Moleong, M.A. dijelaskan bahwa proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, pengamatan yang dituliskan dalam catatan-catatan pribadi, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Setelah data-data tersebut terkumpul langkah yang dilakukan selanjutnya adalah mereduksi data dengan jalan melakukan abstraksi (Moleong, 2012: 247). Nantinya, dari abstraksi tersebut data bisa digunakan untuk memperkuat argumen penulis, yang akan dipaparkan di dalam pembahasan. Untuk selanjutnya bisa diambil kesimpulan diakhir tulisan. 1.8 Jangkauan Penelitian Untuk memudahkan penelitian, penulis membatasi penelitian ini dari masa kejatuhan Soeharto dan digantikan dengan Habibie pada tahun 1998 atau sering dikenal dengan era Reformasi Indonesia sampai dengan jatuhnya rezim pemerintahan Mubarak pada tahun 2011 atau sering dikenal dengan Revolusi Mesir. Alasan dipilihnya waktu disebabkan keyakinan penulis bahwa kedua tahun tersebut adalah defining moment yang dramatis bagi kedua negara. Defining moment adalah istilah yang digunakan Rizal Sukma, seorang peneliti CSIS, untuk mengemukan bahwa sesungguhnya tatanan dunia (world order) sering kali berubah dikarenakan adanya momen-momen fenomenal dan dramatis yang mendahuluinya (Winarno, 2011:166).
27
Reformasi 1998 bagi bangsa Indonesia bukan hanya sekedar moment turunnya presiden Soeharto dari kursi jabatannya yang sudah ia duduki selama 32 tahun. Akan tetapi penulis lebih melihat bahwa moment 1998 adalah moment dimana negara Indonesia benar-benar berada di titik terendah dalam lingkup ekonomi. Jatuhnya ekonomi Indonesia, secara otomatis sangat berpengaruh bagi kebijakan politik luar negeri Indonesia. Adanya perubahan-perubahan kebijakan politik luar negeri inilah, penulis anggap menarik untuk dilihat dan diteliti. Jika pada era Soekarno kemampuan militer adalah sarana utama penunjang diplomasi Luar Negeri Indonesia, sedangkan di era kepemimpinan Soeharto, Indonesia tidak hanya menonjolkan kekuatan militer akan tetapi juga diikuti peningkatan ekonomi. Tetapi semenjak terjadinya Global Financial Crisis (GFC) pada tahun 1997 dan Indonesia termasuk negara yang terimbas krisis. Dari dalam negeri, kondisi ekonomi Indonesia berada dalam titik terendah, terhitung dari tahun 1960an. GDP Indonesia menurun secara signifikan sedangkan inflasi meningkat cukup tinggi. Hal inilah yang menjadikan semakin banyaknya pengangguran, akibat hilangnya pekerjaan.1 Citra Indonesia di lingkup internasional juga dalam kondisi yang kurang menguntungkan. Isu pelanggaran HAM yang dilakukan militer Indonesia pada masa Orde Baru, juga adanya isu terorisme berefek pada pemberlakuan embargo senjata yang dilakukan pemerintah Amerika. Hal ini menjadikan kemampuan 1
Sumber: Asia Pacific Economic Group, Asia Pacific Profiles 1998 (Canberra, 1990).
28
militer Indonesia turun drastis. Krisis ekonomi dan embargo senjata adalah dua faktor utama penyebab runtuhnya kemampuan hard power yang dimiliki Indonesia. Sehingga terjadi perubahan kebijakan Politik Luar Negeri dengan lebih memaksimalkan instrumen soft power (Agussalim, 2012). Seperti halnya Indonesia, revolusi (2011) di Mesir adalah momen terpenting perubahan perpolitikan di dalam dan luar negeri Mesir. Turunnya presiden Mubarok yang telah menjabat semenjak 14 Oktober 1981 sampai dengan 11 Februari 2011, juga diawali kondisi ekonomi Mesir yang memburuk. Meningkatnya harga barang-barang pokok tanpa diikuti peningkatan standar hidup rakyat adalah hal yang sangat memprihatinkan. Meningkatnya populasi di Mesir yang pada 1966 berjumlah 30.083.419 jiwa, sedangkan pada tahun 2008 meningkat menjadi 79.000.000 jiwa tanpa diikuti tersedianya lahan pekerjaan yang memadai telah menjadikan angka pengangguran semakin meningkat. Menurut Peterson Institute for Internasional Economics, masalah terbesar Mesir adalah tingginya pengangguran kaum muda: jumlah angkatan kerja yang terserap hanya 4 persen pertahun, pengangguran di Mesir hampir 10 kali lebih tinggi untuk lulusan perguruan tinggi. Kondisi ini semakin diperburuk dengan adanya korupsi yang terjadi di dalam tubuh Kementerian Dalam Negeri. Faktor-faktor inilah yang memicu gejolak revolusi (Tamburaka, 2011:69-74). Atas alasan-alasan inilah, penulis memilih rentang waktu penelitian sejak tahun 1998 sampai dengan 2011. Walaupun dalam pembahasannya nanti penulis akan menyajikan beberapa data yang berada di luar batasan waktu tersebut, dengan harapan menyajian data di luar rentang waktu diharapkan lebih bisa
29
memaparkan kondisi mengapa pertalian hubungan antar dua negara begitu erat dilihat dari faktor historis. Tentunya pemaparan terebut tidak menjadikan Tesis ini melebar, tetapi justru Tesis ini semakin lengkap untuk menerangkan sebab dan akibat sebuah peristiwa. Sedangkan dari sudut aktor yang diteliti, penulis lebih memfokuskan kepada peran aktor-aktor non pemerintah, dengan menggunakan pendekatan soft power, yang dilakukanoleh masyarakat Indonesia terhadap masyarakat Mesir. 1.9 Sistematika Penulisan Tulisan ini dibagi menjadi lima bab pembahasan. Pertama, penulis akan menjelaskan latar belakang permasalahan tentang bagaimana peran people to people diplomacy dalam rangka mempererat jalinan kerjasama antara negara Indonesia dengan negara Mesir pada tahun 1998 sampai dengan 2011. Dilanjutkan dengan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,dan tinjauan pustaka. Hal-hal tersebut dibutuhkan untuk melihat permasalahan yang ada dalam kerangka pemikiran, untuk kemudian menghasilkan argumen utama. Setelah pemaparan argumen utama, penulis menjelaskan tentang penggunaan metode penelitian, lingkup jangkauan penelitian dan ditutup dengan pemaparan sistematika tulisan. Pada Bab kedua, penulis akan memaparkan sejarah hubungan diplomatik Indonesia – Mesir. Diawali dengan pemaparan tentang kondisi masyarakat Indonesia dan kondisi masyarakat Mesir sebelum dan sesudah kedatangan Islam. Untuk selanjutnya, penulis paparkan secara detil kondisi masyarakat Indonesia
30
yang berdomisili di Mesir sebelum dan sesudah proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Hal ini dianggap penting sebab dengan memberikan pemaran umum tentang kondisi masyarakat Indonesia yang ada di Mesir, diharapkan pembaca bisa memahami mengapa proses diplomasi yang dilakukan oleh aktor-aktor non pemerintah bisa berjalan lancar di Mesir dan mungkin belum bisa dilakukan di negara-negara lainnya. Bab ini ditutup pemaran kharismatika Soekarno dan Soft Power Indonesia di mata rakyat Mesir. Bab tiga, berisi pemaparan tentang dinamika hubungan masyarakat Indonesia dengan masyarakat Mesir. Pembahasan dalam bab ini penulis awali dengan mengkelompokkan beberapa elemen masyarakat ke dalam beberapa kelompok. Elemen-elemen masyarakat tersebut penulis bagi menjadi empat kelompok: Pertama: kelompok agamawan, yang meliputi para ulama, kyai, pimpinan pondok pesantren serta tokoh-tokoh agama. Kedua: Kaum Pelajar, Mahasiswa dan Pengelola lembaga pendidikan/perguruan tinggi. Ketiga: para pelaku bisnis, pedagang dan kalangan pekerja. Keempat: Kalangan Jurnalis. Selanjutnya, penulis paparkan proses pelaksanaan people to people diplomacy dalam bentuk interaksi antara kedua masyarakat yang tertuang dalam kerjasama pendidikan antara kedua negara, pengenalan dan kerjasama kebudayaan, pemanfaatan kerjasama dibidang ekonomi dan bisnis, serta publikasi kerjasama antar kedua negara melalui media massa. Bab empat berisi tentang pemaparan keberadaan faktor-faktor yang turut mendukung terjalinnya proses people to people diplomacy dan juga menjadi
31
penghambat. Sedangkan kesimpulan dan saran penulis cantumkan pada bab terakhir.