BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Setiap individu dalam kehidupannya tidak bisa hidup sendiri, sehingga membutuhkan interaksi dan bantuan orang lain. Dalam hubungan antar sesama individu tersebut terbentuklah menjadi sesuatu yang kita kenal sebagai kelompok masyarakat. Masyarakat tersebut yang bagaimanapun sederhananya memerlukan kaedah untuk mengatur ketertiban dan keamanannya. Masyarakat yang terus menerus berkembang semakin meluas dan modern diikuti pula oleh perkembangan-perkembangan kaedah yang mengaturnya sehingga terbentuklah negara-negara dengan ketentuan hukum nasionalnya masing-masing. Diantara negara-negara ini kemudian terjalinlah hubungan-hubungan yang semakin meningkat sehingga
terbentuk
masyarakat
negara-negara
yang
akhirnya
disebut
masyarakat
internasional.1 Masyarakat internasional yang berada di setiap negaranya masing-masing berhak mendapatkan perlindungan dari acaman dan bahaya yang mengancam baik yang ancamannya berasal dari luar maupun dalam negeri. Ancaman yang berasal dari luar negara misalnya perang, intervensi, dan sebagainya. Sedangkan ancaman yang berasal dari dalam negeri misalnya pemberontakan dalam negeri, maupun perang saudara. Ancaman yang datang dari dalam dan laur negera tersebut akan menimbulkan akibat atau dampak terhadap warga negara suatu negara, akibat dan dampak yang seringkali terjadi adalah perpindahan penduduk dalam jumlah besar ke negara lain dengan tujuan mencari perlindungan dari ancaman yang ada. Perpindahan penduduk dari suatu negara menuju ke negara lain telah menjadi fenomena kompleks yang turut menyumbang peran yang signifikan terhadap perubahan 1 Sulaiman, 1985, Studi Kasus Hukum Internasional (Case Study of Internatonal Law), Medan, Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat, hlm. 230.
1 Universitas Sumatera Utara
2
demografi suatu negara. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan populasi sebesar 45% yang terjadi di wilayah dunia yang lebih berkembang yang disebabkan oleh migrasi internasional selama kurun waktu 1990-1995. Fenomena migrasi internasional itu sendiri sebenarnya telah muncul dan berkembang seiring dengan perkembangan manusia di dunia. Namun setelah berakhirnya Perang Dunia II, migrasi internasional baru mulai mendapat perhatian serius dari dunia internasional yang ditandai dengan dibentuknya United Nations High Commissioner of Refugee pada tanggal 14 Desember 1950, yang kemudian menghasilkan Convention Relating to the Status of Refugees 1951 atau yang sering disebut dengan Konvensi Pengungsi 1951 atau Konvensi Jenewa 1951.2 Pasal 1 Konvensi Pengungsi 1951 menyatakan bahwa istilah pengungsi berlaku pada setiap orang yang mengalami ketakutan sehingga berada di luar negara tempat mereka sebelumnya berada. Sementara itu status pengungsi dapat diberikan terhadap orang-orang yang memenuhi syarat-syarat yang dimuat menurut konvensi ini pada Pasal 2 yakni sebagai akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan yang disebabkan oleh kecemasan yang sungguh-sungguh berdasar akan persekusi karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan, pada kelompok sosial tertentu atau politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat atau, karena kecemasan tersebut, tidak mau memanfaatkan
perlindungan
negara
itu,
atau
seseorang
yang
tidak
mempunyai
kewarganegaraan dan berada di luar negara di mana ia sebelumnya biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat peristiwa-peristiwa termaksud, tidak dapat atau karena kecemasan tersebut, tidak mau kembali ke negara itu.3 Masalah pengungsi sesungguhnya sudah timbul sejak umat manusia mengenal adanya konflik dan peperangan, karena umumnya yang menjadi pengungsi adalah korban dari aksi 2
Muhammad Rifqi Herdianzah, Kebijakan Pemerintah Austrlia Terkait Permasalahan Irregular Maritime Arrivals Periode Kepemimpinan Perdana Menteri Julia Gillard Tahun 2010-2012, Jurnal Analisis Hubungan Inernasional UNAIR, Vol.2 No.3, September 2013, hlm.2 3 Majda El Muhtaj, 2008, “Dimensi-dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 290
Universitas Sumatera Utara
3
kekerasan atau mereka yang melarikan diri dari ganasnya perang yang terjadi di wilayahnya atau di negaranya. Selama berabad-abad, masalah pengungsi ini hanya menimbulkan keprihatinan dan belas kasihan, tanpa ada upaya untuk melindungi secara hukum baik status maupun hak-hak para pengungsi yang notabene merupakan korban tindak kekerasan yang harus dilindungi hak-haknya sebagai manusia yang tertindas. Satu sisi pengungsi memang menjadi masalah besar pada suatu negara, tetapi disisi lain pengungsi tetap harus mendapatkan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya sebagai manusia. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, masalah pengungsi telah menggugah masyarakat internasional karena melihat penderitaan yang dialami oleh para korban kekerasan yang tidak jelas statusnya di sejumlah negara yang menampung atau yang terpaksa menampungnya untuk sementara waktu. Dengan disponsori oleh Pererikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tanggal 28 juli 1951 diselenggarakan United Nation Conference of Plenipotentiaries the Status of Refugees and Stateless Persons berdasarkan resolusi Majelis Umum nomor 429(V) tanggal 14 Desember 1950 yang menghasilkan Konvensi tentang Status Pengugsi (Convention Relating to the Staus of Refugees) yang dinyatakan mulai berlaku padatanggal 22 April 1954. Untuk mendukung pelaksanaan konvensi ini, PBB mempunyai badan khusus yang bernama Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi (United Nations High Commission on Refugees–UNHCR) yang dibebani tugas mengawasi konvensi-konvensi internasional yang mengatur perlindungan pengungsi dan melakukan koordinasi efektif terhadap langkah-langkah yang diambil untuk menangani masalah melalui kerjasama dengan negara-negara.4 Dalam konvensi yang berkaitan dengan status pengungsi (convention relating to the status of refugees) tahun 1951 tersebut, juga didapatkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
4
Pasal 35 Convention Relating to the Status Refugees 1951, Chapter VI
Universitas Sumatera Utara
4
1. Bagi negara yang telah meratifikasi konvensi tersebut maka berkewajiban memberikan hak legalitas sebagai pengungsi; 2. Bagi negara yang belum meratifikasi diharapkan dapat menampung dan menjamin hak tinggal sementara/transit ke negara tujuan.5 Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, semua negara baik yang telah meratifikasi dengan otomatis mempunyai kewajiban untuk menerima dan melindungi pengungsi, maupun yang belum sebaiknya menerima dan memberikan perlindungan yang sama pula. Hingga pada akhirnya baik negara yang telah meratifikasi maupun yang belum sama-sama mempunyai kewajiban untuk terlibat dalam memberi perlindungan hukum terhadap pengungsi. Terjadinya pengursiran terhadap para pengungsi, baik oleh negara yang telah menjadi pihak pada Konvensi 1951 maupun negara-negara yang belum menjadi pihak pada Konvensi tersebut, telah meningkatkan penderitaan pengungsi menjadi semakin berkepanjangan. Pengusiran yang dimaksud berlawanan dengan prinsip yang dikenal umum dalam hukum internasional dan dimuat dalam ketentuan Pasal 33 Konvensi 1951 mengenai larangan pengusiran terhadap pengungsi. Larangan pengusiran yang terkenal dengan istilah prinsip non refoulment merupakan suatu tonggak dalam hukum internasional. Pasal tersebut menetapakan bahwa Negara-negara Pihak pada konvensi ini tidak boleh mengusir atau mengembalikan seorang pengungsi, dengan cara apapun, ke perbatasan wilayah negara yang akan mengancam kehidupan maupun kebebasan pengungsi karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu ataupun karena opini politiknya. Pasal 33 yang berisi ketentuan prinsip non refoulment ini termasuk dalam Pasal-Pasal yang tidak dapat direservasi dan prinsip ini pun mengikat negara-negara bukan peserta Konvensi 1951. Sehingga dapat dikatakan prinsip ini telah berkembang menjadi norma Jus Cogens. 5
Majda El Muhtaj, Op cit, hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
5
Lebih lanjut, norma jus cogens merupakan norma atau prinsip yang dikenal dalam hukum internasional yang berarti norma atau prinsip yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional, dan negara-negara secara keseluruhan sebagai suatu norma yang tiada penyimpangan darinya itu diperbolehkan dan yang dapat dirubah oleh norma sesudahnya dari hukum internasional umum yang mempunyai karakter yang sama.6 Beberapa contoh klasik pengusiran pengungsi yang dikenal baik yang diceritakan dalam ajaran-ajaran agama, seperti pengusiran Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat ke Madina. Terusirnya Nabi Adam dan Hawa dari surga ke dunia ini, juga di anggap pengungsi yang pertama di dunia.7 Selanjutnya, pada abad ke 21 saat ini sering kita dengar dan lihat berita yang berkembang di media Elektronik maupun Surat Kabar telah terjadi fenomena gelombang pengungsi besar-besaran baik yang berasal dari Suriah maupun yang berasal dari Myanmar. Gelombang pengungsi yang berasal dari Suriah ditengarai terjadi akibat pergolakan politik yang kian memanas. Hal ini dibuktikan dengan besarnya gelombang demostrasi yang terjadi terhadap pemimpin yang berkuasa selama kurang lebih lima dekade yakni Bashar AlAssad. Para demonstran melakukan protes terhadap pemerintahan dan peyiksaan yang terjadi yang telah dilakukan oleh pemerintah. Hingga kondisi baru-baru ini yang semakin memperparah dan berlanjutnya pengungsi yang semakin banyak karena terkait dengan konflik jaringan teroris Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Berdasarkan laporan yang telaah diperbarui pada 4 September 2015 oleh Amnesty International PBB, setidaknya sebanyak empat juta warga Suriah terpaksa meninggalkan
6
Arif, Bahan Kuliah Hukum Laut Internasional, Fakultas Hukum USU, Medan, 16 Juni 2015 Achmad Romsan, 2003, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional; Hukum Internasional dan Prinsip-Prinsip Perlindungan Internasional, Sanic Offset, Bandung, hlm. 55 7
Universitas Sumatera Utara
6
negaranya untuk mengungsi ke negara lain.8 Negara Eropa merupakan tujuan utama pengungsi Suriah untuk mengungsi. Para pengungsi yang memilih negara-negara eropa sebagai tujuan mencari perlindungan bukan tanpa alasan. Negara teluk sebagai negara terdekat dengan Suriah belakangan malah mengambil sikap dengan menolak para pengungsi. Beberapa negara dimaksud misalnya Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Mesir, Iran, dan beberapa negara lainnya Hal ini sungguh disayangkan mengingat sebagai sesama negara teluk dan berkeyakinan sama harusnya saling terbuka dan tolong menolong. Penolakan juga datang dari negara maju lainnya seperti Amerika Serikat yang disampaikan oleh calon presiden Donald Trump dan beberapa gubernur negara bagian. Negara lain yang juga termasuk misalnya Hungaria yang bahkan membangun pagar kawat untuk mengahalau pengungsi yang datang. Kasus penolakan terhadap pengungsi lain yang juga menjadi sorotan adalah pengungsi Etnis Rohingya yang berasal dari Myanmar, mereka seakan-akan tidak diinginkan kedatangannya di Negara-negara tempat mereka meminta perlindungan. Padahal kondisi mereka sangat tidak memungkinkan dan segera membutuhkan pertolongan. Negara Myanmar adalah negara yang heterogen seperti Indonesia, banyak sekali Etnis di Myanmar. Namun, ada 8 etnis besar yang ada di Myanmar diantaranya adalah Kayah, Kayin, Kachi, Burma, Chin, Shan, Rakhine dan sisanya lagi adalah beberapa Etnis kecil minoritas di Myanmar dan salah satunya adalah Etnis Rohingya. Etnis rohingya merupakan kaum minoritas di Myanmar dan mereka telah menetap disana selama beberapa generasi. Kebanyakan dari mereka tidak memiliki kewarganegaraan yang sah. Jumlah populasinya menurut taksiran PBB mencapai sekitar 1,3 juta orang dan kebanyakan bermukim di negara bagian Rakhine, yaitu salah satu negara bagian di Myanmar yang berbatasan dengan Bangladesh. 8 Erwin Alwazir, “Jangan Salahkan Negara Arab Soal Pengungsi Suriah”, sebagaimana dimuat dalam https://m.kompasiana.com/erwinalwazir/jangan-salahkan-negara-arab-soal-pengungsisuriah_55edaf1202b0bd530e2a716c, yang diakses pada tanggal 15 Maret 2016, pukul 16.09 wib.
Universitas Sumatera Utara
7
Hingga perkembangan terkahir telah terjadi kerusuhan pada tahun 2012 dan 2014 berkenaan dengan diskriminasi yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap Etnis Rohingya. Pada tahun 2015 pemerintah Myanmar mencabut status kewarganegaraan Etnis Rohingya. Dan lebih dari 25.000 warga Myanmar diusir dengan menggunakan perahu, 200 orang lebih tewas dan hal inilah yang menyebabkan suku Etnis Rohingya berbondongbondong mengungsi dari Myanmar.9 Beberapa organisasi internasional dimana Myanmar adalah anggotanya seperti organisasi PBB dan ASEAN bahkan telah mendesak Myanmar agar menghentikan pertikaian yang terjadi dan memberikan status terhadap mereka, memberi perlindungan kepada mereka. Bahkan, atas usul kementrian luar negeri Indonesia, Malaysia, dan Thailand telah dicoba dilaksanakan KTT darurat, namun tidak juga membuahkan hasil.10 Diantara pengusiran terhadap Etnis Rohingya yang dilakukan oleh Myanmar diperparah pula dengan pengusiran yang dilakukan oleh beberapa negara tempat mereka meminta perlindungan terakhir. Australia dan Thailand adalah contoh negara yang secara terang-terangan menyatakan menolak pengungsi Etnis Rohingya memasuki wilayah kedaulatan mereka. Pernyataan Australia yang menolak pengungsi Etnis Rohingya disampaikan langsung oleh Perdana Mentri Australia Tony Abbott dan Mentri Luar Negeri Australia Julie Bishop. Diantara beberapa alasan yang disampaikan adalah dengan menyebutkan bahwa hal ini sebagai masalah ASEAN dengan Myanmar sebagai sumber persoalannya, selain itu juga menjelaskan bahwa ini jelas merupakan tanggung jawab regional dan negara yang harus bertanggung jawab adalah negara yang paling dekat dengan sumber masalah, dan mengatakan bahwa Myanmar-lah pelakunya karena di Myanmar
9
Asnida Riani, “Fakta Miris Suku Rohingya Bikin Kamu Berurai Air Mata”, Sebagaimana dimuat dalam https://m.bintang.com/lifestyle/read/2238916/fakta-miris-suku-rohingya-bikin-kamu-berurai-air-mata. Yang diakses pada tanggal 30 Januari 2016. Pukul. 09.20 wib 10 Sutiarnoto, Bahan Kuliah Hukum Organisasi Internasional, Fakultas Hukum USU, Medan, 27 Mei 2015.
Universitas Sumatera Utara
8
masalah ini berasal.11 Ditambahnya lagi, jika mereka menerima pengungsi Rohingya saaat ini, maka yang lainnya pun akan datang, sehingga wilayah Australia tidak akan muat. Apalagi Australia merupakan salah satu negara pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951, yang mana menurut ketentuan hukum internasional konvensi mengikat negara pihak peserta konvensi, sehingga merupakan tanggung jawab Australia sebagai negara pihak untuk bertanggung jawab melaksanakan ketentuan konvensi tersebut, meratifikasikannya menjadi hukum positif di Australia, bermitra negara pihak terkait dalam penanganan pengungsi. Disisi lain, Thailand adalah negara yang juga dengan tegas menolak pengungsi Etnis Rohingya yang datang memasuki wilayah Thailand. Pengusiran dilakukan dengan dihadang oleh aparat perbatasan Thailand di Phuket. Tetapi walaupun menolak memberikan izin masuk kepada pengungsi rohingya, aparat Thailand tetap memberikan perbekalan bagi pengungsi tersebut agar mereka sanggup melanjutkan perjalanannya. Aparat Thailand memberikan bahan bakar untuk perahu yang mereka gunakan dan menyediakan bahan makanan kepada para pengungsi.12 Namun, berita terakhir menyebutkan bahwa Pemerintah Thailand telah mengirim pulang secara paksa sekitar 1.300 pengungsi muslim Rohingya ke negara asal mereka, Myanmar.13 Thailand memang bukan negara pihak pada Konvensi Pengungsi 1951 dan telah menolak pengungsi dengan cara yang tidak pantas dan tidak berprikemanusiaan dengan mengusir mereka yang memasuki perairan Thailand dan dipaksa menjauh tanpa memikirkan kehidupan dan keselamatan mereka yang terancam diperairan luas. Dengan berlakunya prinsip non refoulment secara jus cogens, perlindungan terhadap pengungsi merupakan keniscayaan bagi semua negara di dunia, tanpa terkecuali. Sehingga pengusiran 11 “Australia Tolak Pengungsi Rohingya”, Sebagaimana dimuat dalam https://bangka.tribunnews.com/2015/05/23/australia-tolak-pengungsi-rohingya. Yang diakses pada tanggal 30 Januari 2016. Pukul. 09.25 wib 12 “Thailand Tolak Masuk Pengungsi Rohingya”, Sebagaimana dimuat dalam htps://internasional.sindonews.com/read/703070/40/Thailand-tolak-masuk-pengungsi-rohingya1357144166.com Yang diakses pada tanggal 30 Januari 2016, pukul 10.01 wib. 13 “Thailand Telah Deportasi 1300 Pengungsi Rohingya” Sebagaimana dimuat dalam https://SINDOnews.com/read/Thailand-telah-deportasi-1300-pengungsi-Rohingya, yang diakses tanggal 10 Februari 2016 pukul 17.55 wib.
Universitas Sumatera Utara
9
terhadap pengungsi merupakan tindakan yang jelas bertentangan dengan hukum internasional. Ada beberapa alasan yang kemudian dibenarkan secara Internasional dalam menolak pengungsi, meskipun akhirnya diterjemahkan sangat sempit, alasan penolakan inipun harus benar-benar
diteliti
secara
mendalam
serta
disertai
alasan-alasan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Diantara alasan yang dimaksud yakni negara pihak hanya boleh menolak pengungsi apabila dilakukan atas pertimbangan keamanan nasional dan ketertiban umum, serta pihak bersangkutan telah terbukti berdasarkan putusan pengadilan telah melakukan suatu kejahatan sehingga dikhawatirkan dapat mengungsi stabilitas negara dimaksud.14 Permasalahannya adalah apakah penolakan terhadap pengungi Etnis Rohingya yang dilakukan Australia dan Thailand dibenarkan secara internasional seperti yang termuat dalam alasan pengecualian atas pengungsi. Berdasarkan uraian diatas, maka dianggap penting untuk dilakukan peninjauan dan pengkajian yang lebih mendalam yang ditinjau dari perspektif Hukum Internasional terhadap penolakan pengungsi Etnis Rohingya yang dilakukan oleh Australia dan Thailand yang dihubungkan dengan prinsip Non Refoulment. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan sebelumnya maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan skripsi ini yaitu: 1. Bagaimanakah kebijakan penanganan pengungsi oleh Australia dan Thailand? 2. Bagaimana penerapan prinsip Non Refoulment dalam penanganan terhadap pengungsi?
14
Wagiman, 2012, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hlm.35.
Universitas Sumatera Utara
10
3. Apakah penolakan pengungsi Etnis Rohingya yang dilakukan oleh Australia dan Thailand melanggar ketentuan Hukum Internasional khususnya prinsip non refoulment?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan dan manfaat yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Penulisan Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam tulisan ini yaitu: a. Untuk mengetahui apa itu prinsip non refoulment dan penerapan prinsip Non Refoulment dalam menangani pengungsi. b. Untuk mengetahui pengecualian yang dibenarkan menurut Hukum Internasional dalam penerapan prinsip Non Refoulment ini. c. Untuk mengetahui penolakan pengungsi Etnis Rohingya oleh Australia dan Thailand dibenarkan menurut Hukum Internasional sesuai dengan prinsip non refoulment atau tidak.
2. Manfaat Penulisan Adapun manfaat dalam penulisan ini adalah: a. Manfaat teoritis: 1. Memberikan tambahan literatur sebagai bahan pustaka Hukum Internasional tentang Hukum Pengungsi Internasional. 2. Memberikan dasar bagi penelitian selanjutnya mengenai Hukum Pengungsi maupun yang berhubungan dengan Hukum Pengungsi. b. Manfaat praktis:
Universitas Sumatera Utara
11
Untuk masyarakat luas, agar dapat memberikan gambaran/uraian dan pemahaman tentang Hukum Pengungsi.
D. Keaslian Penulisan Judul skripsi ini adalah “Tinjauan Yuridis Prinsip Non Refoulment Terhadap Penolakan Pengungsi Etnis Rohingya Oleh Australia dan Thailand Menurut Hukum Internasional”. Skripsi ini ditulis berdasarkan ide, gagasan serta pemikiran Penulis dengan menggunakan berbagai referensi. Sehingga, bukan hasil dari penggandaan karya tulis, skripsi, thesis bahkan disertasi orang lain dan oleh karena itu keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan. Dalam proses penulisan skripsi ini Penulis juga memperoleh data dari buku-buku, jurnal ilmiah, media cetak dan media elektronik. Jika ada kesamaan pendapat dan kutipan, hal itu semata-mata digunakan sebagai referensi dan penunjang yang Penulis perlukan demi penyempurnaan penulisan skripsi ini. Adapun beberapa skripsi mempunyai profil yang sama dengan judul skripsi ini namun berbeda pada permasalahannya serta intinya dan hasil skripsi pada umumnya yakni: Septiana Tindaon (2009) Dengan judul “Perlindungan Atas Imigran Rohingya Dalam Pelanggaran HAM Berat di Myanmar Dari Aspek Hukum Internasional dan Hukum Nasional”, dimana permasalahan dalam tulisan ini adalah: a. bagaimana bentuk-bentuk pelanggaran HAM berat dan pengaturannya ditinjau dari hukum internasional dan nasional, b. bagaimana status etnis minoritas Rohingya yang berada di negara asal dan keluar dari negara asal untuk mencari perlindungan menurut UNHCR dan Konvensi 1951. Samitha Andimas (2011) Dengan judul “Aspek Perlindungan Pengungsi Dilihat Dari Hukum Nasional dan Hukum Internasional (Studi Kasus Pengungsi Rohingya Di Kota Medan)”, dimana permasalahan dalam tulisan ini adalah; a. Aspek perlindungan terhadap pengungsi dilihat dari Hukum Nasional, b. Aspek perlindungan terhadap pengungsi dilihat
Universitas Sumatera Utara
12
dari Hukum Internasional, c. Penerapan kedua hukum tersebut terhadap kasus yang terjadi Indonesia (Studi Kasus Pengungsi Rohingya Di Kota Medan). M. Ridha Thanthawi (2011) Dengan judul “Tinjauan Yuridis Mengenai Status Kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar Berdasarkan (Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954), dimana permasalahan dalam tulisan ini adalah; a. Eksistensi Etnis Rohigya di Myanmar, b. Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) yang terjadi pada Etnis Rohingya di Myanmar, c. Status kewarganegaraan Etnis Rohingya di Myanmar berdasarkan (Convention Relating to the Status of Stateless Persons 1954).
E. Tinjauan Pustaka 1. Jus Cogens Jus cogens merupakan norma atau prinsip yang dikenal dalam hukum internasional yang berarti norma atau prinsip yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional, dan negara-negara secara keseluruhan sebagai suatu norma yang tiada penyimpangan darinya itu diperbolehkan dan yang dapat dirubah oleh norma sesudahnya dari hukum internasional umum yang mempunyai karakter yang sama. Suatu prinsip hukum yang diterima menjadi norma Jus Cogens biasanya selain dapat timbul dari Hukum Internasional itu sendiri, dapat pula digali dari norma-norma yang berasal dari hukum nasional yang derajatnya akan naik apabila norma-norma nasional ini diterima dan kemudian diakui sebagai suatu norma yang mengikat dalam masyarakat internasional.15 Istilah jus cogens juga sering disebut dengan premptory norm yakni kekuatan memaksa. Sehingga pemberlakuan norma jus cogens yang merupakan bersifat mutlak atau absolut bagi semua negara, pelaksanaan ketentuan jus cogens tersebut juga bersifat memaksa. Sehingga sudah menjadi kewajiban mutlak setiap negara untuk mematuhinya tanpa terkecuali. Sebagai contoh Deklarasi Universal tentang HAM, 15
Arif, Loc cit.
Universitas Sumatera Utara
13
prinsip non refoulment, prinsip pata sunt servanda, dan sebagainya juga dapat dikatakan mengandung norma-norma yang menjadi jus cogens. Sebuah norma bisa menjadi norma jus cogens jika norma tersebut disepakati dan diakui oleh dunia internasional baik melalui hukum kebiasaan internasional maupun diadopsi ke dalam hukum nasional suatu negara.16 Pada tahun 1969, konsep jus cogens diinkorporasikan dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian. Para ahli hukum sepakat bahwa prinsip jus cogens tidak hanya diterapkan dalam kerangka perjanian internasional saja, tetapi juga pada setiap tindakan atau aksi negara-negara, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 53 Konvensi Wina 1969. Jus cogens bersifat mengikat secara hukum semua negara tanpa ada pengurangan sedikitpun dari norma-norma yang diatur di dalamnya. Semua negara wajib melaksanakan dan menghormati jus cogens. Sebuah negara tidak perlu meratifikasi atau mengesahkan sebuah instrumen yang berisi norma-norma jus cogens untuk mematuhi ketentuan hukumnya karena secara otomatis norma-norma jus cogens mengikat secara hukum semua negara.17 Lebih lanjut, di dalam hierarki hukum internasional, norma-norma jus cogens menempati posisi paling atas dari semua hukum internasional yang ada. Artinya, semua jenis instrumen internasional yang mengatur norma-norma jus cogens juga menjadi sumber hukum tertinggi di dalam hierarki hukum internasional.18
2. Kewajiban Negara Terhadap Orang Asing Secara garis besar, berkaitan dengan tanggung jawab negara terhadap orang asing terbagi dalam dua periode. Pertama, periode hukum internasional tradisional. Kedua, periode hukum internasional modern. Pada era hukum internasional tradisional hanya mengakui 16
Aulia Rosa Nasution, 2012, Terorisme Sebagai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia, Kencana, Jakarta, hlm. 197 17 Ibid. hlm. 198 18 Ibid. hlm. 200
Universitas Sumatera Utara
14
kewajiban negara terhadap orang asing sebatas standar minimum peradaban dan keadilan. Dasar yang digunakan karena individu tidak mempunyai hak berdasar hukum internasional. Hal demikian berimplikasi pada terjadi pelanggaran atas hak-hak individu secara internasional. Jika terjadi pelanggaran terhadap individu, maka hanya melalui negaranyalah dapat dilakukan tindakan terhadap negara pelanggar tersebut. Hukum internasional modern bercirikan pada pengakuan dan pemberian pengakuan pada individu dengan tidak memperhatikan kewarganegaraannya. Setiap individu ditempatkan pada kedudukan serta memiliki hak-hak dasar yang harus dihormati dimanapun individu itu berada. Pelanggaran suatu negara terhadap norma-norma dasar tersebut dapat dijadikan sebagai dasar gugatan. Setiap individu memiliki hak-hak asasi yang diakui secara internasional. Termasuk mereka yang merupakan anggota dari suatu bangsa yang minoritas yang tidak memiliki kedaulatan teritorial sekalipun.19 Berkenaan dengan perlakuan terhadap orang asing, terdapat dua pendapat tentang bagaimana suatu negara memperlakukan orang asing tersebut.20 a. International Minimum Stadard Standar ini berasal dari negara-negara barat (maju). Arti standar di sini bukan saja berarti standar hukumnya (yaitu hukum internasional), tetapi juga standar dalam perlindungan yang efektif menurut ketentuan hukum internasional. b. National Treatment Standard Standar ini dikemukakan oleh negara-negara berkembang yang lahir sebagai reaksi dari standar minimum internasional. Menurut standar ini, orang asing harus diperlakukan sama seperti halnya negara memperlakukan warga negaranya (national treatment standard). Amador merumuskan dua prinsip perlakuan terhadap orang atau warga negara asing, yaitu:
19 20
Wagiman, Op cit, hlm.63 Huala Adolf, 2002, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Raja Grafindo Persada, hlm.
293
Universitas Sumatera Utara
15
a. Bahwa orang asing harus menikmati hak-hak serta jaminan yang sama dengan warga negara yang bersangkutan. Perlakuan yang diberikan tersebut adalah penghormatan terhadap hak-hak asasi atau fundamental manusia yang diakui dan diterapkan dalam hukum internasional. b. Tanggung jawab internasional suatu negara akan timbul apabila hak-hak asasi atau fundamental manusia tersebut dilanggar. Menurut Huala Adolf adanya perbedaan kedua standar tersebut sebenarnya tidak perlu. Prinsip hukum internasional tidak mengatur masalah ini. Hukum internasional tidak mengatur tindakan-tindakan atau perilaku yang bagaimana harus dilakukan oleh warga negara asing di suatu negara. Hukum Internasional hanya mengatur bahwa negara wajib melindungi setiap subjek hukum yang berada di wilayahnya. Sedangkan subjek hukum tersebut harus menghormati hukum yang diterapkan negara di wilayah mana ia berdomisili. Pelanggaran terhadap hukum akan terkena sanksi dari negara, dan hal ini merupakan norma hukum dasar yang berlaku dimanapun juga.21
3. Hak Asasi Manusia Secara umum Hak Asasi Manusia seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan kebendaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.22 Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hal yang relatif baru. Sejak perjanjian Westpalia tahun 1964 sampai lahirnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1945 belum menjadi agenda internasional. Batu tonggak hukum hak asasi manusia terhitung 21
Jazim Hamdi/Charles Christian, 2015, Hukum Keimigrasian Bagi Orang Asing di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 54 22 Edi Murya, 2012, Hukum dan Hak Asasi Manusia, Buku Ajar Universitas Sumatera Utara, Medan, hlm. 10
Universitas Sumatera Utara
16
sejak disahkannya Piagam PBB serta Deklarasi Universal HAM tahun 1948. Deklarasi ini bukanlah merupakan hukum yang mengikat, namun demikian Deklarasi HAM tersebut telah melandasi pembentukan norma-norma HAM internasional yang diwujudkan dalam berbagai bentuk perjanjian internasional yang secara hukum mengikat negara-negara pihak. Esensi hukum hak asasi manusia internasional mengatur kemanusiaan universal tanpa terikat atribut ruang dan waktu tertentu. Hal tersebut penting mengingat setiap negara tidak tertutup kemungkinan membicarakan hukum hak asasi manusia dalam konteks domestiknya. Hak asasi manusia dalam konteks hukum pengungsi setidaknya berhubungan dengan tiga hal. Pertama, perlindungan terhadap penduduk sipil akibat konflik bersenjata. Kedua, perlindungan secara umum yang diberikan kepada penduduk sipil dalam keadaan biasa. Ketiga, perlindungan terhadap pengungsi baik IDP’s (Internal Displaced Persons)23 maupun pengungsi lintas batas.24 Setiap pengungsi berhak mendapatkan perlindungan baik dalam hukum nasional maupun internasional. Hak-hak yang dimiliki oleh para pengungsi sama dengan hak-hak yang dimiliki oleh warga negara di tempat mereka mencari perlindungan, seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak mendapat penyiksaan, hak untuk mendapatkan status kewarganegaraan, hak untuk bergerak, hak mendapatkan pendidikan, mendapatkan pekerjaan, hak dalam bidang kesehatan, hak untuk menjalankan perintah agama untuk anak-anak mereka, hak untuk tidak dipulangkan secara paksa. Serta masih banyak hak lainnya, sejauh hak itu melekat kepada diri mereka sebagai individu manusia, maka berlaku juga bagi pengungsi. Permohonan pengungsi merupakan bagian dari hak asasi manusia. Seperti misalnya Pasal 13 Paragraf 2 Deklarasi HAM PBB 1948 menyebutkan “Everyone has the right to leave any country, including his own, and to return to his country”. Hak atas kebebasan untuk 23
Orang-orang yang karena konflik bersenjata internal terpaksa meninggalkan kampung halamannya ketempat lain, tetapi masih dalam wilayah negara mereka sendiri. 24 Koesparmo Irsan, 2007, Pengungsi Internal dan Hukum Hak Asasi Manusia, Komisi HAM, Jakarta, hlm.6-7.
Universitas Sumatera Utara
17
memilih tempat tinggal atau negara ini kemudian dipertergas dalam Declaration of Territorial Asylum 1967.
4. Pengertian Pengungsi Internasional Pada kamus besar Bahasa Indonesia juga diartikan pengungsi sebagai “orang yang mencari tempat yang aman ketika daerahnya ada bahaya yang mengancam”.25 Dalam Black’s Law Dictionary pengungsi diartikan sebagai “A person who arrives in a country to settle there permanently; a person who immigrates.26 Beberapa ahli yang ikut mendefinisikan pengungsi misalnya: 1. Pietro Verri Pengungsi adalah orang-orang yang meninggalkan negaranya karena adanya rasa ketakutan akan penyiksaan atau ancaman penyiksaan. 2. Sulaiman Hamid Pengungsi (refugee) yaitu orang yang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya karena rasa takut yang berdasar-mengalami persekusi (persecution) dan tidak mungkin kembali lagi.27 3. S. Prakash Sinha Pengungsi yakni mereka yang terlibat atau terkena akibat dari permasalahan politik yang timbul antara negara dan warga negaranya, adanya keadaan yang mengharuskan orang tersebut meninggalkan negaranya atau tempat tinggalnya, baik secara sukarela maupun terpaksa serta tidak dimungkinkan untuk kembali ke negaranya atau tempat tinggalnya karena
25 26
Yus Badudu, 1994, Kamus Bahasa Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 54 Bryan A. Garner, 1999, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, Thomson West, St. Paul Minn, hlm.
27
Sulaiman Hamid, 2002, Lembaga Suaka Dalam Hukum Internsional, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1307 hlm.47.
Universitas Sumatera Utara
18
dapat membahayakan dirinya, dan mereka yang meminta status sebagai pengungsi dari negara lain tanpa kewarganegaraan.28 Sedangkan
pengertian
pengungsi
yang
termuat
dalam
konvensi-konvensi
internasional misalnya: 1. Menurut Statuta UNHCR Pengungsi adalah orang yang terpaksa memutuskan hubungan dengan negara asalnya, karena rasa takut yang berdasar mengalami persekusi, seberat apapun situasinya dan juga orang lain yang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Karena pengungsi tidak dapat mengandalkan perlindungan dari negara yang seharusnya memberi perlindungan kepada mereka, maka untuk menggapai situasi menyedihkan yang dihadapi pengungsi, persiapan khusus dibuat oleh masyarakat internasional.29 2. Menurut Konvensi Tahun 1951 Tentang Status Pengungsi (The 1951 Convention Relating to the Status of Refugees) Dalam pembukaan pasal 1 dikemukakan definisi dari kata “pengungsi”, yakni: pengungsi adalah mereka yang ada sebagai akibat dari kejadian sebelum 1 Januari 1951 dan seorang yang oleh kaena rasa takut yang wajar akan kemungkinan dianiyaya berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada suatu kelompok sosial tertentu, atau pandangan politik, berada diluar negeri kebangsaannya, dan tidak bisa atau, karena takut itu, tidak berkehendak berada di dalam perlindungan negeri tersebut. Bagi yang tidak memiliki warga negara, mereka berada di luar negara di mana meeka bertempat tinggal sebelumnya, sebagai akibat dari suatu peristiwa, dan tidak dapat, atau karena adanya rasa takut yang sedemikian rupa dan tidak bermaksud untuk kembali ke negara tersebut. 28
Atik Krustiyati, Kebijakan Penanganan Pengungsi Di Indonesia: Kajian Dari Konvensi Pengungsi
Tahun 1951 dan Protokol 1967, Jurnal Law Review Universitas Surabaya, Volume XII No. 2 November 2012, hlm. 171 29
Ibid, hlm. 10
Universitas Sumatera Utara
19
3. Menurut Protokol tentang Status Pengungsi (Protocol Relating to the Status of Refugees of 31 January 1967). Dalam protokol 1967 terlihat dalam Pasal 1 ayat 2 pengungsi yakni adanya perluasan mengenai pengungsi seperti yang dibuat dalam Konvensi tahun 1951 sebagai akibat adanya kelompok pengungsi baru yang terjadi karena itu negara yang ikut dalam protokol ini menerapkan definisi pengungsi menurut konvensi 1951, namun tanpa adanya batasan waktu. Apabila dalam konvensi 1951 ada pembatasan waktu, yaitu sebelum tanggal 1 Januari 1951, maka dalam protokol ini pembatasan waktu tidak lagi diterapkan. 4. Menurut Deklarsi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1967 Tentang Asilum Teritorial (UN Declaration on Territorial Asylum 1967) Pengungsi adalah mereka yang terpaksa meninggalkan daerah asal (negara) mereka untuk mencari bantuan atau perlindungan kepada negara lain dikarenakan bahaya yang mengancam baik yang memang karena kondisi alamiah (natural disaster) yakni bencana alam seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus, kekeringan, dan fenomena alam lainnya yang memaksa seseorang tersebut segera mencari perlindugan terhadap diri mereka sendiri. Maupun kondisi buatan (non-natural disaster) atau sering disebut bencana buatan manusia seperti konflik bersenjata, pergantian rezim politik, penindasan kebebasan fundamental, pelecehan hak asasi manusia, dan sebagainya.
F. Metode Penelitian 1. Jenis dan Sifat Penelitian Penelitian hukum adalah suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari satu atau beberapa gejala
Universitas Sumatera Utara
20
hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.30 Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dan sifat penelitian adalah deskriptif yakni menggambarkan dan menguraikan
sumber
hukum
terkait
dan
menghubungkannya
dengan
pengungsi
internasional.31 Metode penelitian yuridis normatif disebut juga penelitian doctrinal research yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum yang tertulis di dalam peraturan perundangundangan maupun putusan hakim di pengadilan.32 Metode ini juga dilakukan dengan meneliti bahan pustaka maupun sumber-sumber hukum internasional sebagai pedoman yang kemudian dikenal dengan metode library research. Penelitian ini dilakukan untuk mencari dan menemukan informasi seputar pengungsi, hukum pengungsi internasional, sumbersumber hukum internasional yang mengatur mengenai pengungsi, prinsip-prinsip dalam menangani pengungsi khusunya prinsip non refoulment, termasuk penerapannya, sejarah pengungsi rohingya, serta pengusiran pengungsi etnis rohingya yang dilakukan oleh Australia dan Thailand. Penelitian ini juga bersifat deskriptif yaitu penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, dalam hal ini adalah seputar penerapan prinsip non refoulment dalam pengusiran terhadap pengungsi Etnis Rohingya yang dilakukan oleh Australia dan Thailand.
2. Sumber Data Sumber data yang diperoleh dalam penulisan ini adalah data sekunder. Dimana data sekunder adalah data yang diperoleh dalam bentuk yang telah jadi, dikumpulkan dan diolah menjadi data yang siap pakai.33 Data sekunder dalam penulisan ini terdiri dari: 30
Bambang Sunggono. 2009. Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.
38 31
Zainuddin Ali. 2010. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 12. Amiruddin, dkk. 2006. Pengantar Metode Penelitian, PT. Elexmedia, Jakarta, hlm. 118. 33 Zainuddin Ali. Op.cit. hlm. 22 32
Universitas Sumatera Utara
21 a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat secara yuridis yang akan
digunakan dalam penelitian ini, yakni berupa Convention Relating to the Status of Refugees 1951 (yang selanjutnya disebut dengan Konvensi Pengungsi 1951 atau Konvensi Jenewa 1951); Protocol Relating to the Status of Refugees 1967 (yang selanjutnya disebut dengan Protokol Pengungsi 1967); Statuta UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees); United Nations Declaration of Territorial Asylum 1967 (Deklarasi PBB Tahun 1967 Tentang Asilium Teritorial), dan sebagainya. b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua dokumen yang merupakan tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, thesis, disertasi, jurnal, makalah, surat kabar, majalah, artikel, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah penelitian ini. c. Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu semua dokumen yang berisi konsepkonsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan lain-lain baik di bidang hukum maupun di luar bidang hukum yang digunakan untuk melengkapi data penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis dalam menyusun skripsi ini adalah Library Research, yakni dengan mencari, menemukan dan mempelajari bahan-bahan studi kepustakaan yang berkaitan dengan judul yang penulis bahas dan dapat dijadikan bahan dan rujukan serta diperoleh dari berbagai sumber yang dapat dipercaya baik langsung seperti buku, peraturan yang berkaitan, jurnal, artikel, dokumen, catatan, majalah, koran, maupun tidak langsung seperti internet.
Universitas Sumatera Utara
22
4. Metode Analisa Data Analisis data yang penulis gunakan dalam skripsi ini yakni dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif adalah proses kegiatan yang meliputi mencatat, mengorganisasikan, mengelompokkan dan mensintesiskan data selanjutnya memperhatikan setiap kategori data, mencari dan menemukan pola, hubungan-hubungan, dan memaparkan temuan-temuan dalam bentuk deskripsi naratif yang bisa dimengerti dan dipahami oleh orang lain. Analisis data kualitatif merupakan metode untuk mendapatkan data yang mendalam dan suatu data yang mengandung makna dan dilakukan pada obyek yang alamiah.34 Dan sesuai dengan data yang dianalisa dalam skripsi ini yakni data dalam bentuk kalimat dan tidak ada unsur angka.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan merupakan upaya atau cara untuk mempermudah dalam melihat dan memahami isi dari tulisan ini secara menyeluruh. Dalam sistematika penulisan ini dibagi kedalam 5 (lima) bab. Setiap bab menguraikan pembahasan-pembahasan tersendiri secara sistematis dan saling terkait antara bab satu dan bab lainnya. Setiap bab terdiri dari sub bab untuk menjelaskan kesistematisan dan penjabaran lebih lanjut dari bab yang ada dengan tujuan agar lebih memudahkan dalam hal pemahaman dan terarahnya penulisan skripsi ini. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini yaitu: BAB I:
Merupakan bagian pendahuluan yang membahas mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.
BAB II:
Membahas mengenai kebijakan penanganan pengungsi oleh Australia dan Thailand yang dibagi lagi pembahasannya yakni sejarah pengungsi internasional dan organisasi internasional yang menangani pengungsi, sumber
34
Sugiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian. Alfabeta: Bandung. Hlm.13.
Universitas Sumatera Utara
23
hukum internasional terkait pengungsi, dan kebijakan penanganan pengungsi oleh Australia dan Thailand. BAB III:
Membahas mengenai tinjauan yuridis mengenai prinsip non refoulment yang dibagi dalam beberapa fokus pembahasan yakni pengertian prinsip non refoulment, pengecualian dalam prinsip non refoulment, dan penerapan prinsip non refoulment.
BAB IV:
Membahas penerapan prinsip non refoulment terhadap penolakan pengungsi Etnis Rohingya yang dilakukan oleh Australia dan Thailand, yang dibagi lagi kedalam beberapa fokus pembahasan yakni sejarah pengungsi etnis rohingya, alasan penolakan pengungsi etnis rohingya yang dilakukan oleh Australia dan Thailand, serta tinjauan yuridis penerapan prinsip non refoulment terhadap Australia dan Thailand.
BAB V:
Merupakan bagian penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan penulis serta saran yang mungkin bermanfaat.
Universitas Sumatera Utara