BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tujuan pembangunan nasional yang termaktub dalam konstitusi adalah menjadikan manusia Indonesia yang seutuhnya. Salah satunya dicapai melalui peningkatan
kualitas insan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa.
Kesadaran akan adanya Sang Khalik Allah SWT akan semakin mendalam melalui pelayanan negara terhadap berbagai kegiatan keagamaan seperti ibadah haji. Namun yang terjadi adalah kualitas pelayanan haji Indonesia tiap tahunnya selalu dibawah sorotan kekecewaan. Masyarakat menilai bahwa masih banyak ketidakadilan, kelemahan dari sisi manejerial, dan besaran biaya haji yang masih tergolong tinggi bila dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia. Tugas dan fungsi negara diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial secara bersama-sama dan untuk mencapai cita-cita sebuah masyarakat. Karena itu pelayanan haji harus memenuhi rasa keadilan masyarakat yang tercermin dalam keprofesionalan penyelenggara haji. Penjabaran prinsip atau
kebijakan
penyelenggaraan haji, adalah penyelenggaraan ibadah haji berdasarkan azas keadilan (berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah atau tidak berpihak dan tidak sewenang-wenang dalam penyelenggaraan haji), azas profesionalitas (harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan keahlian para penyelenggaranya) dan berdasarkan azas akuntabilitas dengan prinsip nirlaba (penyelenggaraan harus dilakukan dengan terbuka/transparan dan dapat dipertanggung-jawabkan secara etika dan hukum dengan prinsip tidak mencari keuntungan).
1
2
Negara dalam hal ini diwakili oleh Kementrian Agama (Kemenag) bertanggung jawab langsung terhadap pengambilan kebijakan dan pengelolaan penyelenggaraan haji. Dalam hal ini panggung hukum yang mengatur tugas pokok Kemenag sebagai penyelenggara haji dan umroh diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2008. Tuntutan ditujukan kepada penyelenggara yakni Kemenag agar bekerja efektif dan efisien dengan penekanan pada pelayanan yang berbasis customer value dan memposisikan diri sebagai public sevice. Namun demikian harapan dan cita-cita tidak selalu sejalan dengan kenyataan dilapangan. Penyelenggraan haji sarat dengan persoalan, salah satunya adalah terusiknya rasa keadilan akibat kebijakan daftar tunggu atau waiting list dalam pengelolaan haji. Tabel 1.1 Sepuluh Besar Antrean Haji Reguler Data Rekapitulasi Setelah Musim Haji 2012 Pendaftar
Kuota
Masa Tunggu
Sulawesi Selatan
100.917
7.221
14 tahun
Kalimantan Selatan
51.407
3.811
13 tahun
Nangroe Aceh Darussalam
46.843
3.924
12 Tahun
Kalimantan Tengah
15.318
1.349
11 tahun
Jambi
28.977
2.634
11 tahun
Kalimantan Timur
31.011
2.819
11 tahun
D.I. Yogyakarta
33.143
3.061
11 tahun
Jawa Timur
358.962
34.165
11 tahun
Bangka Belitung
9.538
913
10 tahun
Nusat Tenggara Barat
46.341
4.494
10 tahun
Provinsi
3
Sejak tahun 2004, Kemenag melalui SK Dirjen hingga diperkuat Permen mulai menggunakan sistem daftar tunggu dalam pendaftaran berangkat haji. Dari tahun ke tahun sistem ini seperti bom waktu yang menebar terror sehingga muncul penumpukan Calon Jemaah Haji (CJH) hingga jutaan orang, padahal sebelum tahun 2004 tidak pernah ada masalah dalam pelaksanaan haji bagi warga negara Indonesia. Faktanya, sebelum pemberlakuan sistem daftar tunggu jumlah jemaah haji Indonesia tidak pernah menembus 210.000 jemaah, karena sistem pendaftaran sangat singkat dan praktis bagi mayoritas ummat Islam, karena jemaah yang berangkat benar-benar berkemampuan sesuai kriteria. Dalam catatan jumlah daftar tunggu pada tahun 2009 sekitar 800 ribu orang, tahun 2010 berjumlah 1,2 juta orang CJH, tahun 2011 berjumlah 1,4 juta orang CJH dan untuk tahun 2012 terhitung 1,9 juta orang CJH sedangkan kuota pertahun adalah 211 ribu jemaah. Tabel 1.2 Jumlah CJH Daftar Tunggu 31 Januari 2014 Kabupaten
Persentase (%)
Denpasar
Jumlah CJH (orang ) 3.087
Buleleng
943
12,38
Jembrana
892
11,71
Kelungkung
247
3,24
Gianyar
227
2,98
Karangasem
315
4,13
Bangli
77
1,01
Badung
1.432
18,80
Tabanan
395
5,19
7.615
100
Total
Sumber: Kemenag Provinsi Bali
40,54
4
Kondisi yang sama juga terjadi dengan CJH Bali khususnya kota Denpasar. Saat ini saja ada kurang lebih tiga ribu CJH Denpasar yang merasakan ketidakpastian keberangkatan mereka. Padahal mereka dengan setia menyetor cicilan Ongkos Naik Haji (ONH). Tabel 1.1 menunjukkan distribusi CJH disetiap kabupaten di mana kota Denpasar merupakan yang terbesar.Rata-rata CJH yang diberangkatkan sejak tahun 2009 sampai tahun 2013 adalah 613 orang (Tabel 1.2) sementara kuota haji bagi provinsi Bali adalah 512 orang. Tabel 1.3 Jumlah CJH yang berangkat tanggal 31 Januari 2014 (2009 s.d 2014)
700
639
639
639
639
639
600
512
500 400 300 200 100 0 2009
2010
2011
2012
2013
2014
Sumber: Kemenag Provinsi Bali Dengan adanya penambahan pendaftaran CJH yang signifikan tapi tidak berbanding lurus dengan kuota yang disiapkan sehingga terjadi penumpukan CJH yang membutuhkan waktu antrian selama 10-15 tahun. Sudah dapat dipastikan konsekuensinya adalah membludaknya jumlah CJH yang mengantre untuk diberangkatkan. Data terkini di Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) saat ini ada 2.288.189 CJH. Padahal sistem ini diklaim sebagai sistem yang dapat
5
mengatasi berbagai kelemahan penyelenggaraan haji. Sistem ini juga oleh Kemenag dianggap solusi bagi pelayanan haji yang manusiawi. (http://hukum.kompasiana.com).
Kementrian Agama bukan institusi yang bebas dari kepentingan politik, dan telah lama menjadi arena kontestasi dan pertarungan kekuasaan dari berbagai latar belakang organisasi politik yang hidup di Indonesia (Saidi, 2004: 56). Sejak merdeka, Kemenag, selalu menjadi inceran partai politik tertentu karena dianggap strategis baik untuk mengembangkan partai maupun menjadi sumber keuangan partai. ”Diharapkan sebagai kelanjutannya, Masjumi menguasai politik Indonesia...dalam rangka ini ia teringat pada para jemaah haji. Dasar pemikirannya ialah bahwa para jemaah sudah dipermudah dengan berbagai fasilitas untuk naik haji. Oleh sebab itu, akan lebih bermanfaat bila umat seluruhnya juga memperoleh keuntungan dari para jemaah:dengan menambah dana partai dari kesempatan naik haji hari ini...” (Noer, 1987:68) Secara idiologi dan praktik, partai politik
punya kepentingan dalam
penyelenggaraan haji. Fakta ini ditemukan pada rapat pimpinan Masjumi tahun 1950, yang mana diusulkan cara yang dilakukan oleh Nu‟aim bin Masbud. “Yang perlu diperhatikan ialah kenyataan bahwa Departemen Agama dikuasai oleh NU untuk sebagian besar masa yang kita bicarakan. Dari duapuluh tiga kabinet tahun 1946-1965 hanya tiga kali kursi menteri agama diduduki oleh bukan NU...Yang dua pertama dari Muhammadiyah, yang terakhir independen. Dengan demikian, kementrian itu menjadi alat yang sangat berguna bagi NU dalam menyebarkan pengaruhnya ke segenap penjuru tanah air...”(Noer, 1987:340) Keterlibatan partai politik yang secara ansich ikut sebagai rezim pemerintah menimbulkan persoalan „tarik menarik‟ dari berbagai kepentingan. Dengan demikian kepentingan partai dan golongan lebih mengedepan, tetapi melalaikan tugasnya melayani masyarakat.
6
Kementrian Agama tidak seteril dari campur tangan partai politik sehingga conflict of interest menjadi nuansa bagi pelayanan publik dan umat. Kecenderungan seperti ini rawan akan penyimpangan. Misalnya yang menjadi sorotan masyarakat luas adalah mengenai Laporan Keuangan Penyelenggaraan Ibadah Haji (LKPIH) 2013 yang diterbitkan Kemenag, terungkap nilai outstanding dana haji per Desember 2013 senilai Rp 64,5 triliun. Portofolio investasi untuk pengelolaan dana haji dalam sukuk meningkat hingga Rp 31,10 triliun. Sedangkan, penempatan pada deposito juga meningkat sampai Rp 26,2 triliun (http://www.republika.co.id). Kecenderungan yang terjadi di sini, pengelola ibadah haji selalu berusaha memegang sebanyak mungkin uang dari jamaah. Semakin banyak uang yang dikelola, semakin banyak bunga uang yang didapat. Sistem administrasi haji membuka celah kecurangan. Sistem antrean yang awalnya ditentukan berdasarkan masuknya setoran awal calon jamaah, diserobot oleh oknum tertentu yang bersedia membayar sejumlah uang, atau oknum pejabat yang ingin didahulukan. Hal ini terjadi akibat tumpang tindihnya kekuasaan, dimana posisi pengawasan, pelaksana, sekaligus evaluasi, dipegang oleh satu pihak, yaitu Kementerian Agama. (http://www.antikorupsi.org). Indikasi adanya penyimpangan dalam menejemen dan pengelolaan keuangan haji menjadi sorotan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini melakukan kajian lebih mendalam dengan dukungan undang-undang KPK yaitu sebagai pelaksanaan UU no. 30 tahun 2002 dimana Pasal 6 huruf e, KPK mempunyai tugas melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Sejauh ini KPK melalui temuan nya pada April 2010 memfokuskan pada aspek yang harus ditindaklanjuti yaitu aspek regulasi, kelembagaan, tatalaksan,
7
menejemen SDM dan menejemen kesehatan haji (http://acch.kpk.go.id/kajiansistem-penyelenggaraan-ibadah-haji). Anggito Abimanyu menyuarakan bahwa ada banyak sisa kuota jemaah haji yang selama ini diperjualbelikan melalui transaksi di bawah meja dengan petugas. Kemudian, adanya ketidakpercayaan dari calon jemaah haji karena pengelolaan haji yang tidak transparan. Menurutnya CJH yang sudah daftar dan punya jatah satu kursi, akan tetapi tidak memperoleh kejelasan waktu berangkatnya (http://www.tempo.co). Ini jelas bertentangan dengan ajaran islam yang menekankan kejujuran dan keadilan. Islam melarang praktik jual beli dan taklid (menghitung yang belum jelas) tetapi Islam mengajarkan transparansi dan keterbukaan (Fatwa, 2001:xiii) Rezim Orde Baru menunjukkan sikap yang menempatkan Islam vis a vis dengan negara (Shokheh, 2008:xiii). Dalam banyak kasus, negara menjalankan komunikasi satu arah dalam menjalankan program-programnya. Akibatnya aspirasi masyarakat terabaikan, hal ini menimbukan ketegangan di antara elit pemerintah dan masyarakat yang seharusnya diayomi. Ketaatan berbagai kelompok dalam masyarakat harus dibangun dengan menciptakan keyakinan bahwa sistem yang dibangun oleh pemerintah merupakan yang terbaik untuk mencapai tujuan (Fuad, 2005:147). Kemajuan Indonesia tidak hanya diukur pada tingkat kesejahteraan lahiriah saja tetapi juga mencakup bagaimana aspirasi masyarakat diakomodasi dan pembangunan mental spritual masyarakat terutama dalam menghadapi era “perang antar nilai budaya” sekarang ini (Widminarko dalam Adnan, 1999:vii).
8
Menurut Noer (1987) keterlibatan kepentingan politik dari beberapa latar belakang partai dalam kementrian agama merupakan sumber berbagai penyimpangan. Indikasi penyimpangan kewenangan oleh Kemenag didasari tidak adanya sistem pengelolaan baik secara syariat maupun ekonomis. Adanya penumpukan puluhan triliun dana calon jemaah untuk masa sampai puluhan tahun. Dana haji hingga 25 Juli 2012, total uang setoral awal CJH sebesar Rp 47,5 triliun. diantara yang bisa ditaksir Rp 35 triliun di sukuk, Rp12 triliun deposito, dan Rp 3 triliun di giro atas nama menteri agama dan menghasilkan bunga Rp 2,8 triliun sesuai BI rate tak jelas pertanggung jawabannya. Penyimpangan
pengelolaan
haji
dengan
sistem
daftar
tunggu
memperlihatkan negara telah bertindak sewenang-wenang dan membuka lebar celah-celah ketidak adilan. Hal ini bertentangan dengan konstitusi dan nilai-nilai Islam
dalam bernegara yang mengajarkan prinsip persamaan (musaawah),
keadilan („adaalah) kebebasan (hurriyyah), musyawarah (syuraa) dan konsensus bersama (ijma). (Kamaruzazaman, 2001). Karena itu perlu kiranya membicarakan substansi permasalahan ini lebih mendalam dengan kerangka pemikiran kritis dan berbasis kajian budaya.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan dengan uraian di atas,
rumusan permasalahan penelitian
disusun sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk politik negara dalam kebijakan daftar tunggu pada penyelengaraan haji?
9
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan pemerintah melakukan kebijakan daftar tunggu pada penyelenggaraan haji? 3. Apa makna politik negara dalam kebijakan daftar tunggu pada penyelengaraan haji?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah memberikan penjelasan bahwa telah terjadi politisasi negara/Kemenag melalui kebijakan daftar tunggu dalam penyelenggaraan haji. Data yang didapat dianalisis secara kritis memposisikan dirinya sebagai panduan kepada pengambil keputusan dalam hal ini Kemenag khususnya Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh dan menjadikannya sebagai pertimbangan sebagai upaya memberbaiki sistem pengelolaan haji yang berkeadilan untuk masyarakat dan umat. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Menjelaskan bagaimana bentuk politik negara dalam kebijakan daftar tunggu dalam penyelengaraan haji. b. Mendiskusikan mengapa pemerintah melakukan kebijakan daftar tunggu dalam penyelenggaraan haji. c. Mengungkapkan makna politik negara dalam kebijakan daftar tunggu dalam penyelengaraan haji.
1.4 Manfaat Penelitian 1.5. 1 Manfaat Teoretis
10
Penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan permasalahan seputar penerapan daftar tunggu dalam penyelenggaraan haji Indonesia. Penelitian ini diharapkan sebagai “pintu masuk” untuk meneliti permasalahan-permasalahan menejerial haji dari perspektif teori-teori kritis yang mengarah pada perubahan sikap pengambil keputusan dan pelaksana operasional penyelenggaraan haji di Indonesia dalam kerangka menegakkan keadilan. 1.5. 2 Manfaat Praktis Dalam tingkat praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1) Memberikan pemahaman kepada pihak pemangku berkepentingan untuk bersikap kritis terhadap pengelolahan penyelenggaraan haji. 2) Masukan bagi pemangku kepentingan untuk memahami dan melaksanakan kebijakan pendidikan secara kritis dan inovatif dengan mempertimbangkan suara-suara yang meneriakkan keadilan dan serta keluh kesah masyrakat khususnya calon jemaah haji Indonesia.
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITITIAN
2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka yang terkait ibadah haji sebagai fokus penelitian sudah ada dalam lingkungan kajian budaya Universitas Udayana. Misalnya tesis Aliffiati (2006) “Representasi Ibadah Haji Orang Madura di Dusun Wanasari Kota Denpasar” menjelaskan representasi pelaksanaan, motivasi dan makna ibadah haji bagi orang Madura di Dusun Wanasari. Objek formal dari penelitian ini hanya menyoal ibadah haji, sebagai jati diri bagi masyrakat Islam di Wanasari. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori praksis dari Bourdieu, teori manusia dan makna dari Blumer, teori pertukaran dari Hotman, dan teori strukturasi dari Gidden. Dalam penelitian ini terungkap bahwa warga Wanasari sangat termotivasi untuk melaksankan ibadah haji karena dorongan internal ingin memperoleh ridha Allah, dan dorongan eksternal sebagai prestise dan gaya hidup. Makna ibadah haji bagi masyarakat tidak saja terkait keimanan dan spritual tetapi juga berhubungan dengan aktualisasi diri, solidaritas sosial dan kesejahteraan. Tesis Aliffiati memiliki objek materi yang sama dengan penelitian ini yakni masalah tentang haji tetapi berbeda dalam hal substansi permasalahan dan fokus penelitian. Baik tesis Aliffiati dan penelitian ini keduanya menggunakan alat analisis teori strukturasi Giddens dan teori praksis Bordieu yang dilengkapai dengan dua alat analisis lain yang berbeda. Penelitian ini berkontribusi membantu
12
penulis dalam menggambarkan representasi umat Islam di Kota Denpasar, karateristik umat Islam, nilai-nilai Islam dan definisi operasional haji. Jurnal ”Peran Negara Dalam Peyelenggaraan Ibadah Haji: Studi Kasus Penyelenggaraan Ibadah Haji di Kota Malang” (2013) oleh Nindia Noer Anisyah memiliki objek materi yang sama tentang penyelenggaraan haji. Dalam penelitian ini Anisyah menggunakan teknik analisis kualitatif dan kuantitatif untuk menganalisis transparansi, akuntabilitas, dan partisipatori terhadap pelayanan publik penyelenggaraan haji. Penelitian ini mengungkap peran negara dalam penyelenggaraan ibadah haji yaitu, Kemenag Kota Malang bertanggung jawab atas 3 (tiga) hal utama, yaitu pelayanan, pembinaan dan perlindungan terhadap jamaah haji. Adanya peran negara ini memberikan dampak yang positif bagi masyarakat dalam hal keagamaan, masyarakat mendapatkan kepastian untuk berangkat beribadah haji serta hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Moeslim Abdurahman dalam buku ”Bersujud di Baitullah: Ibadah Haji, Mencari Kesalehan Hidup” adalah sebuah etnografi intepretatif yang melihat dan menjelaskan kegiatan naik haji, bukan hanya sebagai gejala keagamaan tetapi juga gejala-gejala sosial budaya, ekonomi, dan politik dalam upaya memahami kompleksnya makna-makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu Abdurahman
menggunakan alat analisis semiotika dan hermeneutika
pada
berbagai tingkatan dalam menginterpretasi informasi yang diperolehnya. Semua tindakan, ucapan, keyakinan, tulisan dan benda material yang dibeli oleh jemah haji merupakan fakta-fakta etnografi yang digunakan untuk mengurai makna yang kompleks. Sebagai sebuah karya etnografi intepretatif buku ini berkontribusi
13
dalam menggali makna, menyeleksi, dan menentukan makna-makna yang paling dominan, memberi informasi tentang konteks sosial budaya, hubungan simbolis para aktor dalam perhajian. Buku ”Haji dari Masa ke Masa” (2012) oleh Kementrian Agama berisi tentang sejarah dan dinamika penyelenggaraan haji di Indonesia sejak masa pra kolonial sampai masa setelah kemerdekaan. Buku ini menjelaskan berbagai sistem dan menejemen penyelenggaraan haji dan juga mengurai berbagai konteks peristiwa yang melatarbelakangi lahirnya sebuah kebijakan dalam menejemen haji diakhiri dengan upaya memberikan masukan bagi penyelenggaraan haji ke depan. Kontribusi buku ini dalam penelitian ini adalah menjelaskan makna ritual haji dan membantu merumuskan konsep operasional penelitian terkait menejemen haji. Direktorat Jendral Penyelenggaraan Haji dan Umroh (2011) dalam “Mengelola Haji dengan Hati” merupakan catatan kerja Slamet Riyanto sebagai dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh. Buku ini berisi tentang gagasan-gagasan dalam mengelola menejemen modern dan aspek spiritual dalam penyelenggaraan haji. Tulisan ini berkontribusi dalam memberikan wawasan tentang prinsi-prinsip pengelolaan haji dan memberikan informasi tentang dinamika menejemen penyelenggaraan haji sesuai konteks yang ada. Jurnal yang berjudul” Wait control: a new system for better waiting list management” Mei 2012 ditulis oleh Rob Findlay dalam Health Service Journal (http://www.hsj.co.uk) memberikan informasi sebuah implementasi penerapan sistem daftar tunggu dalam menejemen rumah sakit yang digagas secara nasional (National Health System). Daftar tunggu akan selalu membengkak dalam jumlah sehingga melebihi kemampuan sistem tunggu 18 hari yang tersedia. Untuk
14
mengurangi rentang waktu harus dilakukan sistem kontrol terhadap daftar tunggu dengan
mengklasifikasi
keaktifan
pasien,
pengobatan,
prioritas
bahkan
kecenderungan pasien untuk melanggar target waktu tunggu. Tulisan ini memberikan wawasan tentang kerumitan mengelolah sistem daftar tunggu. Tulisan berjudul ” A fatal wait: Veterans languish and die on a VA hospital's secret list” dalam warta berita CNN (www.cnn.com) mengungkap kematian beberapa veteran sebgai pasien daftar tunggu. Rumah sakit lazimnya menetapkan batasan waktu 14 sampai dengan 30 hari tunggu, namun sistem tersebut gagal memenuhi tanggung jawabnya sehingga akhirnya memakan korban. Tulisan ini mengungkap kecenderungan adanya tindak kecurangan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu untuk mengambil keuntungan pribadi dalam penerapan sistem daftar tunggu. Objek materi dari penelitian ini adalah sistem daftar tunggu dalam pengelolaan haji. Yang menjadi tekanan pada penelitian ini adalah bentuk-bentuk politik negara dalam konteks penerapan sistem daftar tunggu dalam pengelolaan haji. Dengan objek materi serta lokus dan fokus penelitian yang secara essensial berbeda dengan kajian-kajian yang terdahulu maka tesis ini berharap mampu memberikan sebuah sumbangan pemikiran dalam khazanah kajian budaya.
2.2 Konsep
2.2. 1 Politik Negara Secara etimologis kata politik berasal dari kata bahasa Yunanai yaitu polis yang berarti kota atau negara. Jadi politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Politik juga merupakan kegiatan yang
15
diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat. Dalam konsepsi klasik Plato dan Aristoteles politik digambarkan sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (Rapar, 2001). “Kehidupan yang baik” menjadi raison d’etre dari semua organisasi politik atau polis
untuk menjamin kehidupan semua warga negara. Secara aktuil politik
berkaitan dengan masalah-masalah sehari-hari dalam pemerintahan dan mengingatkan orang akan partai politik (Isjwara, 1999: 23). Senada dengan ini dalam konteks Indonesia politik menurut Pilliang (dalam Pito, 2006: 10 ) adalah seputar aktivitas partai-partai politik. Lebih jauh menurut Pilliang akibat sistem multipartai di Indonesia kinerja pemerintah dalam pelaksanaan program-program tidak maksimal. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah melalui Kemenag berasal dari proses politik. Kemenag menjadi tangan negara untuk mengurus masalah-masalah terkait haji. Dilain pihak, partai politik yang menguasai Kemenag juga dicurigai menjalankan agenda politik partainya. Negara secara eksplisit dipahami sebagai aparatur represif (Althusser, 2008: 13). Dengan demikian negara yang dibangun atas dasar kekuasaan yang ada padanya, merupakan wujud dominasi politik atas masyarakat dan negara selalu ada di atas masyarakat. Politik negara dalam penelitian ini adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik yang menyangkut pengelolaan haji. Dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan tersebut negara memiliki kekuasaan yang sangat kuat untuk memaksakan kebijakan tersebut diterima oleh masyarakat.
16
2.2.2 Penyelenggaraan Ibadah Haji Haji menurut pengertian bahasa berarti sengaja dan ziarah yaitu sengaja menzirahi Baitullah untuk menunaikan ibadah (Muhammad: 94). Haji menurut Hanafi (dalam Simogaki, 2013:21) adalah sebuah peristiwa yang dilakukan oleh umat Muslim setiap tahun dalam rangka mengkaji masalah-masalah penting mereka. Secara esensial ibadah haji ialah melakukan napak tilas pengalaman nabi Ibrahim, Hajar dan Ismail (Hidayat, dalam Madjid, 2001:426). Haji maupun umroh disebut juga istitha’ah sebuah konsep yang bermakna kemampuan atau kesanggupan. Bila diperjelas haji adalah sebuah tindakan melaksanakan perintah agama karena pribadinya mampu secara langsung atau dengan bantuan orang lain. Dalam pengertian theologi Islam haji sebagai salah satu ibadah yang menjadi rukun Islam kelima, hukumnya wajib sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang memenuhi syarat untuk mengadakan perjalanan ke Baitullah. Ibadah haji dalam masa-masa tertentu dan ditempat tertentu pula. Ibadah ini dilakukan dengan niat iklas tanpa pakaian yang terjahit, perhiasan dan barang-barang yang mewah. Menurut Mu‟ti (2004: 37) haji dalam konteks Indonesia memiliki dua pengertian, yang pertama berarti ibadah yang merupakan rukun Islam kelima, yang kedua berarti orang yang telah menunaikan haji, sehingga gelar haji disematkan di depan nama asli. Gelar haji diberikan oleh pemerintah Belanda sebagai bagian dari politik devide et impera. Dalam perkembangannya Haji menjadi komunitas elit
terlebih setelah berdirinya organisasi formal Ikatan
Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) yang mewadai anggota masyarakat yang sudah menunaikan haji di setiap provinsi. Haji menjadi sumber elitisme religious
17
karena dipandang telah mencapai kesempurnaan menunaikan rukun Islam. Secara politik kultural haji juga menjadi sumber elitisme baru karena tokoh-tokohnya membawa gerakan perubahan dan pembaharuan Islam. Gelar “Haji” membawa konsekuensi politik karena untuk mendapatkan gelar tersebut dibutuhkan modal keagamaan dan modal ekonomi. Penyelenggaraan Ibadah Haji adalah serangkaian proses yang dilakukan oleh CJH yang difasilitasi oleh Kemenag, mulai dari proses mendaftar di kantor Kemenag kabupaten kota domisili sampai pada keberangkatan serta kepulangan jemaah dari ibadah haji ke tanah air. Berdasarkan UU No 13 pasal 2 ayat 1 penyelenggaraan ibadah haji mencakup kebijakan, pelaksanaan dan pengawasan. Proses awalnya dimulai ketika CJH mendaftar kan diri mereka dengan menyetorkan dana deposit awal sebesar Rp. 25.000.000,- untuk mendapatkan nomor porsi atau nomor antrean. Jumlah tabungan yang telah diperoleh porsi dinyatakan sah telah ditransfer kerekening menteri agama, kemudian melapor pada kantor Kemenag kabupaten kota dengan menyerahkan tanda bukti setoran BPIH Kemenag melakukan proses inputan dan melakukan rekapitulasi terhadap data CJH, bila jumlah kuota provinsi dipenuhi maka Kemenag provinsi mengumumkan nomor porsi yang akan diberangkatkan. Penentuan keberangkatan pada tahun berjalan mengacu pada kuota nasional dan porsi provinsi dan dialokasikan melalui keputusan Kemenag. 2.2.3
Sistem Daftar Tunggu Haji. Sistem daftar tunggu atau waiting list dalam ilmu menejemen disebut juga
sistem antrean. A.K. Erlang (1910) dalam bukunya “Solution of Some Problem in the Theory of Probability of Significance in Automatic Telephone Exchange”
18
berpendapat bahwa setiap masalah antrian melibatkan kedatangan, misalnya orang, mobil, atau panggilan telepon untuk dilayani. Kedatangan ini sering dinamakan proses input. Proses input meliputi sumber kedatangan atau biasa dinamakan calling population dan cara terjadinya. Kedatangan pada umumnya merupakan proses random. Menurutnya antrean tidak diperuntukkan untuk kegiatan yang melebihi batas waktu minggu, bulanan, tahunan ataupun puluhan tahun. Sistem tata kelola haji berdasarkan daftar tunggu merupakan sistem pengelolaan keberangkatan haji berdasarkan antrean. Berdasarkan surat keputusan Dirjen Bimbingan masyarakat (bimas) Islam dan Penyelenggaraan Haji disebutkan bahwa daftar tunggu adalah daftar CJH yang telah mendapatkan porsi tetapi tidak masuk dalam daftar yang diberangkatkan pada tahun berjalan.
2.3 Landasan Teori 2.3.1 Teori Wacana Kuasa Pengetahuan Michel Foucault Teori ini memandang bahwa kekuasaan menyangkut ide-ide tentang wacana atau diskursus. Kekuasaan selalu melekat dengan diskursus khususnya diskursus pengetahuan sebagai sumber kuasa dan kuasa itu sendiri. Menurut Foucault kebenaran suatu diskursus tergantung pada apa yang dikatakan, terutama siapa yang menyatakan, kapan dan di mana ia menyatakannya (Foucault dalam Parchiano, 2007: 177). Diskursus merupakan sarana bagi suatu institusi untuk meraih kekuasaan melalui proses definisi dan eksklusi dan formasi diskursif tertentu.
Dengan
diskursus
sebuah
institusi
memiliki
otoritas
untuk
mendefinisikan ‟kebenaran‟ tentang suatu topik. Dalam hubungan diskursus dengan
19
relasi kuasa menurut Foucault dalam The Archaeology of Knowledge (2007),
kekuasaan menciptakan pengetahuan dan pengetahuan dapat menghasilkan kekuasaan secara produktif. Pengetahuan dipandang sebagai dampak dari hubungan kekuasaan-pengetahuan (relasional) dan perubahan-perubahannya dalam sejarah. Foucault membongkar motivasi bagaimana orang-orang mengatur atau meregulasi diri mereka sendiri dan orang lain dengan menciptakan klaim kebenaran yakni sebuah pembakuan atau pemutlakan benar-salah, baik-buruk, indah-jelek, dapat dibuat teratur, tetap, dan stabil. Kuasa menjelma ke dalam pengetahuan agar ia operatif dan efektif merasuki alam bawah sadar setiap orang melalui kebudayaan yang memikat, nilai-nilai yang memukau, dan kebijakankebijakan yang baik. Oleh karena itu, Foucault meyakini bahwa kuasa tidak bekerja melalui represi, tetapi melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak bekerja secara negatif dan represif, tetapi melainkan dengan cara positif dan produktif. Kemenag adalah institusi resmi negara yang membidangi bimbingan masyarakat dalam keagamaan. Sebagai pemegang kuasa formal dalam agama, kementrian agama didukung oleh tokoh agama yang juga mungkin bagian dari depattemen ini. Mereka-mereka ini adalah pemegang kuasa pengetahuan dalam keagamaan. Sejak awal Kemenag didirikan sebagai sebuah proses politik yang mengakomodasi keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia. Partai politik berbasis agama tentunya menganggap posisi Kemenag bersifat strategis sehingga lembaga ini menjadi arena kontestasi. Posisi menteri dalam Kemenag dengan demikian adalah elit-elit partai yang memenangkan pertarungan. Dengan
20
demikian setiap kebijakan juga sedapat mungkin adalah pengejahtawanan visi dan misi partai yang berkuasa. Teori wacana kuasa pengetahuan Michel Foucault digunakan untuk menganalisis pertanyaan penelitian mengenai bentuk dan faktor penyebab dalam politik negara dalam kebijakan penyelenggaraan haji pada bab 5 dan bab 6.
2.3.2 Teori Ideological State Apparatus (ISA) oleh Louis Althuser Teori ISA mengarah pada ideologi yang masuk ke dalam setiap kehidupan manusia. Ideologi ini terangkum dalam aspek keagamaan, pendidikan, hukum, keluarga, politik, komunikasi, serta moralitas (Bertens, 2002: 197). Teori ini menganalisis hubungan antara pemilik kuasa ideologis dalam hal ini pemerintah, Kemenag dan partai politik dan sasaran ideologis yaitu calon jemaah haji. Menurut Althusser, Ideologi memiliki kemampuan untuk melancarkan kekuasaan dan pengaruh dengan caranya sendiri terhadap basis ekonomi dan arah perkembangan perubahan sosial (Takwin, 2009: 83-84). Negara menjalankan ideologinya melalui dua cara; yang pertama Repressive State Apparatus (RSA) bekerja dengan cara represif dengan memakai kekerasan melalui apparatus/alat negara
seperti
polisi,
militer,
pengadilan,
penjara.
Termasuk
juga
penculikan/penangkapan para aktivis. Yang kedua Ideological State Apparatus (ISA) bekerja dengan cara persuasif „memasukkan‟ ideologi kepada individu melalui pendidikan (sekolah), agama, media, keluarga, industri budaya, dan sebagainya. Pada rezim Orde Baru kedua cara ini digunakan. Bentuk ideologi ISA merupakan ideologi yang dipakai negara untuk memperkuat represi dan penindasan terhadap rakyat. Piranti yang ideologis ini dibedakan dari piranti
21
negara yang bersifat fisikal, Ideological State Apparatus tampil dalam bentuk institusi pendidikan, keagamaan, penataran-penataran, film yang dibuat negara, acara televisi dan sebagainya. Ideological state apparatus bisa berkembang setelah ada piranti yang bersifat fisikal dan sering digunakan untuk melanggengkan penindasan fisik (Takwin, 2009: 85). Teori Ideological State Apparatus (ISA) oleh Louis Althuser dalam penelitian ini menganalisis bentuk dan faktor penyebab dalam politik negara dalam penyelenggaraan haji. 2.3.3 Teori Strukturasi Giddens Teori strukturasi mengajarkan konsep tentang aktor (agency) yang memiliki peran untuk memproduksi dan mereproduksi struktur dalam tatanan sosial yang mapan. Jadi agen mampu untuk merubah dan menghasilkan strukturstruktur baru jika tidak menemukan kepuasan dari struktur yang sudah ada sebelumya. Struktur merupakan seperangkat aturan (rule) dan sumber daya (resource) atau seperangkat hubungan transformasi yang diorganisasikan secara rekursif sebagai sifat-sifat sosial. Menurut Giddens, struktur lahir atas beberapa kesadaran sebagai hasil dari pengaruh kejadian sehari-hari dalam konteks tindakan sosial yang dilakukan secara terus menerus (rekursif)). Kita mengenal keadaran praktis dan diskursif serta keadaan tidak sadar. Kesadaran praktis sendiri terdiri atas semua hal yang aktor-aktor mengetahui secara diam-diam tanpa dapat memberi mereka pernyataan diskursif secara langsung. Jadi apa yang aktor ketahui (percayai) tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Namun hal itu tidak bisa diekspresikan si aktor secara diskursif. Sementara itu, kesadaran diskursif (diskursive conciousnes) berarti
22
kemampuan meletakkan sesuatu dalam kata-kata. apa yang mampu dikatakan atau diberi ekspresi verbal oleh para aktor, tentang kondisi-kondisi sosial, khususnya tentang kondisi-kondisi dari tindakannya sendiri. Kesadaran diskursif adalah suatu kemawasdirian (awareness) yang memiliki bentuk diskursif. Sedangkan tidak sadar (unconciousnes) dalam konteks teori psikoanalisis memiliki referensi pada lawan dari kesadaran diskursif atau memiliki pengertian sebagai tidak dapat memberikan ungkapan verbal pada ketepatan tindakan. Motif atau kognisi tak sadar (unconscious motives/cognition lebih merujuk ke potensial bagi tindakan, ketimbang cara (mode) tindakan itu dilakukan oleh si agen. Motif hanya memiliki kaitan langsung dengan tindakan dalam situasi yang tidak biasa, yang menyimpang dari rutinitas. Sebagian besar dari tindakan-tindakan agen sehari-hari tidaklah secara langsung dilandaskan pada motivasi tertentu. Rezim penguasa memamfaatkan struktur yang sudah terbangun melalui kehidupan beragama sehari-hari masyarakat. Ketaatan masyarakat terhadap agama juga ditunjukkan kepada pemimpin-pemimpin keagamaan karena dipandang memiliki kesalehan dan teladan yang baik.
Aktor-penguasa dalam Kemenag
dalam hal ini memiliki posisi yang sama dengan tokoh agama, sehingga lebih mudah mengendalikan dan menuntut ketaatan masyarakat. Teori Strukturasi Giddens dalam penelitian ini sebagai alat analisis yang akan menjawab masalah penilitian tentang bentuk dan makna politik negara dalam penyelenggaraan haji melalui sistem daftar tunggu Hasil analisis dijelaskan dalam bab 5 dan bab 7.
23
2.3.4 Teori Praksis Bordieu Dalam rumusan Bordieu praktik kekuasaan terjadi apabila penguasa modal (budaya, ekonomi, pendidikan, dan religi) yang berinteraksi dengan habitus dan ranah. Atau kalau diformulasikan secara matematis; Praktik = (Habitus x Modal) + Ranah. Habitus diterjemahkan sebagai kebiasaan (habitual), penampilan diri (appearance), atau bisa pula merujuk pada tata pembawaan yang terkait dengan
kondisi tipikal tubuh. Selain itu, istilah habitus juga menunjukan aspek perlengkapan bagi substansi tertentu. Menurut Ritzer (2009), yang menguraikan konsep habitus
Bourdieu, juga mengungkapkan habitus sebagai “akal sehat” (common sense) yang merefleksikan pembagian objektif dalam struktur kelas seperti kelompk usia, jenis kelamin, dan kelas sosial. Dalam hal ini, habitus bisa jadi merupakan fenomena kolektif, dia memungkinkan orang untuk memahami dunia sosial, namun keberadaan berbagai habitus berarti bahwa dunia sosial dan strukturnya tidak menancapkan dirinya secara seragam pada setiap aktor. Ranah atau arena (field) adalah pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal, seperti modal ekonomi, kultural, sosial dan simbolis. Ranah lebih befokus pada relasi antarposisi objektif di dalamnya, yang menduduki posisi bisa jadi merupakan aktor atau institusi, dan mereka dihambat oleh struktur ranah. Dalam penelitian ini pemerintah (partai politik) memiliki modal politik yang memberikan kekuasaannya melalui legitimasi pemilihan umum. Kemenag sebagai bagian dari kekuasaan sendiri memiliki modal politik budaya sebagai institusi formal yang mengatur agama dan kepercayaan masyarakat. Teori praksis Bordieu digunakan untuk menjawab masalah penelitian tentang faktor penyebab, dan makna politik negara dalam peyelenggaraan haji.
24
2.3 Model Penelitian
NEGARA
Umat / Calon Jemaah Haji
Kemenag
Peyelenggaraan Haji dan Umroh Nasional
*UU no 17/ 1999
*UU no 13/2008
* Pemberangkatan
* Keadilan
Politik Negara dalam Kebijakan Daftar Tunggu Haji di Kota Denpasar
Bentuk
Faktor-Faktor
Makna
*Keterangan : hubungan langsung
: variabel penelitian
: hubungan timbal balik
: fokus kajian
Penjelasan Model Penelitian Berdasarkan Undang-undang No. 17 tahun 1999 dan Undang-undang No. 13 tahun 2008, pemerintah menjadi atau bertindak sebagai regulator sekaligus operator dan eksekutor pengelolahan haji dan umroh. Negara dalam hal ini diwakili oleh Kemenag merupakan bagian dari sebuah rezim pemerintahan yang
25
terpilih melalui mekanisme atau proses politik. Dengan demikian ada partai politik yang melatarbelakangi setiap kebijakan sebuah rezim yang berkuasa. Jumlah calon jemaah haji Indonesia termasuk yang terbesar. Tetapi tidak semua CJH dapat diberangkatkan karena adanya batasan kuota yang diterapkan oleh negara tujuan haji. Sebagai sebuah solusi, pemerintah sebagai pelaksana pengelolaan haji menerapkan sistem daftar tunggu untuk menggilir CJH berangkat haji. Selama ini masyarakat merasakan adanya ketidakadilan dalam penerapan sistem daftar tunggu ini. Negara sebagai satu-satunya pihak yang memonopoli regulasi dan operasional haji merupakan sebuah bentuk arogansi kekuasaan. Penelitian ini menganalisis bentuk-bentuk politik negara, faktor penyebab dan makna yang terungkap dibalik pengelolahaan haji melalui sistem daftar tunggu.
26
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini dibuat berdasarkan permasalahan penelitian yakni menjelaskan bentuk hubungan negara dengan umat atau calon jemaah haji dalam bentuk pengelolaan haji yang menampilkan wajah kekuasaan pemerintah. Sebagai bagian dari penelitian humaniora dan sosial keagamaan Assegaf (2007:17) berpendapat bahwa penelitian ini mencakup
rangkaian peristiwa,
institusi, organisasi, dan pola prilaku dalam kehidupan umat Islam, wilayahnya bersifat aktual, empiris, dan deskriptif yang menekankan perhatiaannya pada agama sebagai sistem atau sistem keagamaan sedang sasarannya adalah “agama sebagai gejala sosial”. Walaupun terkait dengan isu-isu sosial keagamaan, penelitian ini tidak termasuk dalam katagori penelitian agama, karena penelitian agama menggunakan objek material prilaku masyarakat yang dipengaruhi oleh kepercayaan agamanya dan kepercayaan agama yang dipengaruhi oleh pertumbuhan masyarakat (Sumardi,1982:53). Kajian ini berdasarkan keadaan di lapangan (field research) oleh karena itu menuruti kaidah-kaidah teori sosial secara umum. Alat analisis yang dikembangkan adalah alat analisis yang umum digunakan dalam kajian budaya yang bersifat bersifat “eklektif”: dekonstruktif, analitis-interpretatif, dan intuitif. Penelitian kualitatif menurut Bogdan dan Biklen (1992) lebih memperhatikan proses dari pada produk. Hal ini disebabkan oleh cara peneliti mengumpulkan dan memaknai data, setting atau hubungan antar
27
bagian yang sedang diteliti akan jauh lebih jelas apabila diamati dalam proses. Data yang dikumpulkan lebih banyak kata-kata atau gambar-gambar daripada angka. Penelitian kualitatif mencoba menganalisis data secara induktif. Peneliti tidak mencari data untuk membuktikan hipotesis yang mereka susun sebelum mulai penelitian, namun untuk menyusun abstraksi. Selain itu penelitian kualitatif lebih menitikberatkan pada makna bukan sekadar perilaku yang tampak. Fokus penelitian ini adalah menjelaskan politik negara, sikap pengambil keputusan dan pengelolah operasional pengelolaan haji Indonesia. Manejerial haji masih jauh dari harapan. Kepuasan masyarakat tak kunjung dapat diwujudkan selama sistem pelayanan haji bertumpu pada sistem daftar tunggu. Karena itu objek material dari penelitian ini adalah penyelenggaraan haji dimana kajiannya memfokuskan pada kebijakan daftar tunggu dalam penyelenggaraan haji. Sebagai objek formalnya adalah cara pandang terhadap objek material tersebut (Bakhtiar, 2007:1), yakni pendekatan deduktif dalam perspektif teori-teori kritis terhadap permasalahan penelitian (objek material).
3.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di lembaga-lembaga perhimpunan haji dan umroh di kota denpasar, kelompok pengajian dan kantong-kantong masyarakat muslim di Kota Denpasar. Data yang diperoleh diverifikasi terlebih dahulu dan dicocokkan dengan informasi yang tersedia di bimas haji dan umroh kantor dinas kementrian agama Kota Denpasar. Penentuan lokasi penelitian ini mempertimbangkan beberapa hal diantaranya adalah Kota Denpasar secara administratif merupakan pusat berbagai
28
pengambilan keputusan pada tingkat provinsi Bali, dan secara demografi jumlah jemaah haji dan calon jemaah haji terbesar seprovinsi Bali berada di Kota Denpasar. Selain itu Kota Denpasar dianggap memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi sehingga sumber data yang akan diperoleh mewakili keberagaman latar belakang sosial budaya dari informan. Kota Denpasar juga memberikan kemudahan akses untuk memperoleh baik data primer dan sekunder mengingat fasilitas yang ada masih lebih baik dari pada daerah kabupaten se Bali lainnya.
3.3 Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data yaitu data kualitatif dan data kuantitatif dengan sumber data yaitu sumber data primer dan sekunder. Data dan informasi yang diperoleh akan membantu dalam keakuratan penulisan. 3.3.1
Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif
dan data kuantitatif. Data kualitatif didapatkan langsung dari sumber primer (informan), merupakan data yang berupa keterangan-keterangan didapatkan dengan rinci yaitu gambaran umum lokasi penelitian, serta partisipasi dan aspirasi yang berhubungan dengan pengelolaan haji di Kota Denpasar. Data kuantitatif adalah data yang berbentuk angka-angka berupa tabulasi sederhana berisikan informasi yang mendukung dan memberi penjelasan yang lebih mendetail dan lengkap. Data kuantitatif sederhanan ini hanya membutuhkan intepretasi tanpa pengolahan matematis statistik.
29
3.3.2 Sumber Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari dua sumber sebagai berikut : 1. Data primer yang diperoleh secara langsung dari narasumber. Adapun yang menjadi informan dan responden dalam penelitian antara lain calon jemaah haji, anggota persaudaraan haji dan masyarakat umum sebagai responden sambil lalu. 2. Data sekunder data diperoleh dari sumber-sumber lain yang menunjang penelitian ini yang bukan merupakan pihak pertama. Sumber data sekunder dapat diperoleh dari sumber kepustakaan, hasil riset maupun jurnal, majalah, laporan statistik, foto, arsip dan media massa online dan cetak.
3.4 Penentuan Informan Penentuan informan dalam penelitian ini adalah upaya mencari narasumber yang tepat dan memiliki informasi yang dibutuhkan. Subjek penelitian, responden penelitian, dan informan (narasumber) penelitian merespon atau menanggapi pertanyaan yang mana mereka (subjeknya) adalah si pemilik “sesuatu” yang akan diteliti. Jadi teknik penentuan informan yang digunakan adalah teknik purposive yakni peniliti dengan sengaja memilih narasumber sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Menurut Sugiyono (2009:221), penentuan sampel atau informan dalam penelitian kualitatif berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum, karena itu orang yang dijadikan sampel atau informan sebaiknya yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
30
1. Mereka menguasai atau memahami permasalahan haji di Denpasar, 2. Mereka sedang berkecimpung atau terlibat dalam organisasi atau institusi pengelolaan haji. 3. Mereka adalah calon jemaah haji dan umroh atau anggota atau pengurus persaudaraan haji. 4. Mereka mempunyai cukup waktu untuk diwawancarai. Selain itu untuk mendapatkan data yang menyeluruh, peneliti juga melengkapi informasi yang berasal dari informan sambil lalu. Riduwan (2007:62) mengatakan
siapa saja yang ditemui peneliti asalkan mereka memiliki
karakteristik yang sama maka orang tersebut dapat digunakan sebagai responden.
3.5 Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, instrumen yang utama adalah peneliti sendiri (Bogdan dan Biklen,1992). Dalam penelitian kualitatatif fungsi peneliti adalah melihat langsung, merasakan, dan mengalami apa yang terjadi pada subjek yang ditelitinya. Dengan demikian, peneliti akan lambat laut memahami makna-makna apa saja yang tersembunyi di balik realita yang kasat mata (verstehen). Selain itu peneliti juga melakukan pengumpulan data, menganalisanya, melakukan refleksi secara terus menerus, dan secara gradual membangun pemahaman yang tuntas tentang sesuatu hal. Selain
peneliti
sebagai
instrumen
penelitian
utama,
penelitian
membutuhkan alat bantu pendukung berupa pedoman wawancara untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang sistem daftar tunggu dalam pengelolaan haji. Penelitian juga membutuhkan beberapa alat bantu dokumentasi
31
berupa kamera untuk merekam gambar-gambar data yang dibutuhkan baik berupa perekam audiovisual dan alat tulis menulis untuk melakukan pencatatan.
3.6 Teknik Pengumpulan Data Kholil (2006) mengemukakan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam proses pengumpulan data kualitatif, yaitu (1) Meringkaskan data hasil kontak dengan sumber, (2) Pengkodean dengan menggunakan simbol atau ringkasan, (3) Pembuatan catatan objektif, klasifikasi dan mengedit data, (4) Membuat catatan reflektif, (5) Membuat catatan marginal untuk komentar, (6) Penyimpanan data, (7) Membuat analisis dalam proses pengumpulan data, (8) Analisis antar lokasi. Untuk mendapatkan data yang sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini, maka dipergunakan beberapa teknik pengumpulan data seperti berikut : 1. Observasi Teknik ini dilakukan dengan cara mengadakan pengamatan di lapangan yaitu menemukan bentuk politik negara dan dampaknya yang dirasakan umat dalam pengelolaan haji khususnya melalui sistem daftar tunggu
Dalam melakukan
pengamatan, peneliti berperan sebagai pengamat partisipatif, yaitu terlibat dalam kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian (Sugiyono, 2009:145). 2. Wawancara Mendalam Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview)
dengan cara tanya jawab sambil
32
bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara.. Hal ini dilakukan untuk memperoleh keterangan untuk tujuan penelitia mendapatkan informasi yang lengkap dan menyeluruh. Daftar pertanyaan dibuat sebagai alat bantu dalam pengumpulan data baik data kualitatif maupun kuantitatif (Daniel, 2005:135). 3. Dokumentasi Metode dokumen adalah pengumpulan data melalui sumber-sumber tertulis atau dokumen yang ada pada informan dalam bentuk peninggalan budaya, karya seni dan karya pikir (Satori & Komariah, 2009:148). Dokumentasi disini adalah mengumpulkan data terkait dengan penyelenggaraan haji dengan mengambil beberapa dokumen sekarang atau catatan terdahulu.
3.7 Teknik Analisis Data Analisis data kualitatif sesungguhnya sudah dimulai saat peneliti mulai mengumpulkan data, dengan cara memilah mana data yang sesungguhnya penting atau tidak. Ukuran penting dan tidaknya mengacu pada kontribusi data tersebut pada upaya menjawab fokus penelitian. Menurut Sugiyono (2009:244) analisis data adalah proses mencari dan menyusun data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain secara sistematis sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu dengan memberikan ulasan atau interpretasi terhadap data yang
33
diperoleh sehingga menjadi lebih jelas dan bermakna. Langkah-langkahnya adalah reduksi data, penyajian data dengan bagan dan teks, kemudian penarikan kesimpulan. Lewat data akan diperoleh informasi yang lebih bermakna. Untuk bisa menentukan kebermaknaan data atau informasi ini diperlukan pengertian mendalam, kecerdikan, kreativitas, kepekaan konseptual, pengalaman dan expertise peneliti. Langkah terakhir dalam penelitian adalah mengambil kesimpulan secara induktif, yaitu berdasarkan informasi atau data yang diperoleh dari berbagai sumber yang bersifat khusus dan individual, diambil kesimpulan yang bersifat umum atau general.
3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian Hasil dari data yang telah dianalisis akan disajikan secara formal, dalam bentuk gambaran yang jelas dan mendalam tentang penelitian dalam bentuk bagan, tabel, dan gambar, maupun informal dalam bentuk narasi dan interpretasi, sesuai dengan teori dan kerangka pikir sehingga dalam penyajiannya akan didapatkan hasil yang akurat dan jelas tentang penelitan yang dilakukan. Hasil analisis data disajikan secara deskriptif, artinya hasil analisis dipaparkan sebagaimana adanya dan pada bagian tertentu diinterpretasikan sesuai dengan teori dan kerangka pikiran yang berlaku umum. Dengan penyajian secara formal dan informal dengan demikan akan diperoleh gambaran yang lebih jelas dan mendalam tentang penelitian yang dilakukan.
34
3.9 Kendala Penelitian Penelitian ini membutuhkan informan yang berasal dari kader partai poltik, pengurus partai dan bahkan meduduki jabatan tertentu dalam kepengurusan partai di Bali khususnya di Kota Denpasar. Hal ini sekaligus
menjadi
sebuah
peluang dan tantangan karena sikap kehati-hatian yang ditunjukkan oleh informan dalam memberikan informasi. Kendala ini menyebabkan peneliti sulit mendapatkan konfirmasi yang tegas terhadap sebuah isu dan transparasi data. Disamping itu peneliti berusaha keras untuk mendapatkan jawaban dari informan yang dianggap sebagai pertanyaan-pertanyaan sensitif. Informan selalu berusaha untuk menghindar atau mengalihkan jawaban, atau menjawab dengan jawaban diplomatis dan abu-abu.