BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Karet alam merupakan salah satu komoditas
perkebunan yang dapat memberikan
kontribusi dalam devisa negara dari sektor non migas. Karet juga merupakan sumber penghasilan hidup bagi banyak petani. Produksi karet alam Indonesia mengalami peningkatan dari 2.990 juta ton pada tahun 2011 menjadi 3.040 juta ton pada tahun 2012 (Ditjenbun, 2012).
Di Indonesia luas perkebunan karet didominasi oleh perkebunan yang diusahakan oleh petani kecil (small farm). Sebagai contoh luasan perkebunan karet di Provinsi Sumatera Utara didominasi oleh perkebunan rakyat sebesar ± 377.68 ha, sedangkan PTPN sebesar ± 42.023 ha (BPS Sumatera Utara, 2013). Pada umumnya perkebunan rakyat ini masih mengandalkan bahan tanaman tua (berumur 15 tahun ke atas). Kondisi ini tentunya membutuhkan suatu upaya peningkatan produksi melalui rekayasa sistem sadap. Pertumbuhan dan produksi tanaman karet ditentukan oleh banyak faktor antara lain genetik, lingkungan dan sistem eksploitasi. Dari aspek fisiologi, setiap klon karet memiliki tingkat metabolisme yang berbeda. Berdasarkan tingkat metabolismenya, klon-klon karet dapat dibedakan atas 3 tingkat metabolisme yakni rendah, sedang dan tinggi. Klon dengan metabolisme rendah hingga sedang menggambarkan kecepatan pembentukan poliisoprene (lateks) dari bahan dasar karbohidrat berupa sukrosa hasil fotosintesis berlangsung lambat hingga sedang. Klon dengan metabolisme tinggi menggambarkan proses pembentukan poliisoprene (lateks) berlangsung lebih cepat dibandingkan klon metabolisme rendah hingga sedang (Sumarmadji et al., 2006).
Universitas Sumatera Utara
2
Berdasarkan klon unggul yang banyak digunakan di Indonesia yaitu Quick Starter (QS) antara lain PB 235, 260, 280, 340, sedangkan Slow Starter (SS) adalah BPM 24 dan RRIC 100. Saat ini, perkebunan negara maupun swasta lebih memilih klon QS dengan pertimbangan puncak hasil karet dapat dicapai lebih cepat dan produktivitas per tahunnya lebih tinggi (Siregar, 2008).
Namun untuk stabilitas produktivitas dalam jangka waktu yang panjang, suatu kebun perlu pengaturan komposisi klon karena setiap klon mempunyai karakteristik yang berbeda, baik pola gugur daunnya, ketahanan terhadap suatu jenis penyakit, maupun terhadap angin. Ketidak seimbangan komposisi klon dalam kebun, selain mengakibatkan ketidak stabilan produktivitas tahunan, juga akan berisiko tinggi terhadap penurunan hasil akibat gangguan angin, penyakit, atau gugur daun yang serempak. Berdasarkan pola produktivitas lateks dan kayu, pengaturan komposisi klon dapat dilakukan dengan berbagai kombinasi. Beberapa klon karet QS dapat dikombinasikan dengan klon SS dalam komposisi yang seimbang. Hasil penelitian Santoso (1990) menunjukkan bahwa komposisi SS dan QS dalam satu areal kebun dengan perbandingan 80 : 20 menghasilkan produktivas rata-rata 1.733 kgha-1 sedangkan perbandingan SS : QS 20 : 80 produktivas rata-rata 1.994 kgha-1. Disamping itu setiap klon memiliki karakter histologi yang spesifik. Ukuran, jumlah, dan baris dari pembuluh lateks dapat merupakan ciri khas dari klon. Sedangkan parameter fisiologi seperti kadar sukrosa, fospat anorganik, dan tiol merupakan indikator dari potensi produksi. Karena itu karakter histologi dan fisiologi merupakan bahan pertimbangan untuk menentukan sistem sadap yang akan diterapkan.
Universitas Sumatera Utara
3
Sistem sadap pada budidaya karet terdiri dari intensitas sadap,
panjang irisan sadap,
frekuensi sadap dan stimulan (Junaidi dan Kuswanhadi, 1998). Sebagai contoh, panjang irisan sadap S/2 d/3 umum digunakan untuk klon PB 235, PB 260, RRIM 203, RRIM 527 dan PB 255 (Hong ,1989; Sumarmadji, 2000). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Siregar et al., (2007) yang menyatakan bahwa untuk klon QS dirancang dengan panjang irisan S/4U ET 2.5%, sedangkan untuk klon SS dengan penyadapan irisan ganda (double cut) 2x S/4DU d3.ET2.5%. Dalam hal arah sadapan dianjurkan bahwa, sadap ke arah atas (SKA) pada bidang sadap bawah dapat meningkatkan produksi sampai 54%, jika arah sadapan berubah ke arah bawah (SKB) akan menyebabkan rendahnya produksi karet (Zarin 1982). Hal yang sama disampaikan Sivakumaran et al., (1985) bahwa SKB semakin dekat ke sambungan okulasi areal drainase semakin kecil. Hal ini disebabkan areal drainase lateks hanya sampai batas ke sambungan okulasi saja. Bibit atau bahan tanaman yang berasal dari biji memiliki areal drainase lateks yang tidak dibatasi oleh sambungan okulasi. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian Lukman (1994) yang menyatakan bahwa SKA menghasilkan produksi yang lebih tinggi bila dibanding dengan SKB karena pada SKA jarak antara bidang sadap dengan tajuk tanaman lebih dekat. Selain itu, pada SKA aliran lateks meningkat karena didukung oleh gaya gravitasi. Keuntungan lain dari SKA dengan irisan pendek menurut Junaidi et al., ( 2010) dapat mengurangi konsumsi kulit, potensi terjadinya (KAS) dan mengoptimalkan potensi produksi tanaman. Pada SKB, sebagian besar lateks mengalir dari bawah ke atas, sehingga kecepatan alirannya ditahan oleh gaya gravitasi ( Sutardi et al., 1993). Junaidi dan Junaidi dan Kuswanhadi (1997) menyatakan bahwa
SKB diduga menyebabkan terputusnya hubungan antara bidang sadap
dengan tajuk, karena arah sadap dari bawah ke atas. Penggunaan stimulan cair biayanya relatif murah, mudah diaplikasikan, dan stres terhadap tanaman lebih rendah dibandingkan dengan gas. Kelebihan penggunaan stimulan gas
Universitas Sumatera Utara
4
adalah produksi lebih tinggi. Penggunaan stimulan gas akan menyebabkan aliran lateks lebih lama. Bila stimulan gas menghasilkan aliran lateks 8 - 12 maka stimulan cair hanya sekitar 4 jam. Penggunaan stimulan gas di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan biaya penggunaanya dinilai relatif cukup mahal. Disamping itu, stimulan akan memberikan stres fisiologis lebih tinggi. Hal tersebut sejalan dengan Tistama et al., (2009) dan Junaidi et al., (2011) yang menyebutkan bahwa penggunaan stimulan yang berlebihan juga mengakibatkan berhentinya aliran lateks, disebabkan oleh koagulasi partikel karet. Pemilihan sistem sadap pada klon karet metabolisme rendah maupun tinggi sangat menentukan keberlanjutan produktivitas karet. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas karet disebabkan klon karet yang dikelola saat ini belum disertai dengan paket teknologi sadap yang spesifik. Masalah utama adalah penyadapan klon QS yang sering dijumpai antara lain KAS pada panel kulit perawan sehingga panel B0-I, sering tidak tuntas disadap. Diiringi dengan konsumsi kulit yang tinggi menyebabkan umur ekonomis tanaman lebih pendek (Siregar et al.,1997). Hasil penelitian Karyudi et al.,(2006), Herlinawati dan Kuswanhadi (2012) serta Junaidi, (2013) menunjukkan bahwa penggunaan panjang irisan sadap yang rendah dan penggunaan stimulan gas dapat meningkatkan produksi karet, namun penelitian mengenai penggunaan stimulan gas pada tanaman tua serta pada kulit pulihan masih sedikit dilakukan pada klon QS dan SS. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pendekatan untuk meningkatkan produktivitas karet pada tanaman pulihan pada klon QS dan SS. Dari uraian di atas maka dinilai perlu untuk mengetahui informasi ilmiah dari klon metabolisme rendah
dan tinggi dalam mengoptimalkan produksi . Penelitian ini disusun
berdasarkan pemikiran bahwa peningkatan produksi lateks dengan resiko kesehatan tanaman sekecil mungkin.
Universitas Sumatera Utara
5
Perumusan Masalah 1. Rendahnya produksi perkebunan karet karena belum tepat menerapkan sistem sadap dan stimulan. 2. Masing masing klon memiliki karakter histologi, fisiologi, anatomi, dan morfologi yang berbeda. 3. Penerapan sistem sadap yang belum tepat dan tidak mempertimbangkan karakter dari klon (QS dan SS) sehingga pemakaian kulit boros.
Universitas Sumatera Utara
Potensi : 1.
85% Perkebunan karet di Indonesia adalah perkebunan rakyat.
Permasalahan : 1. 2.
Masing-masing klon karet memiliki karakter histologi, morfofisiologi yang berbeda Ketidaksesuaian sistem sadap dengan tipologi klon.
Upaya Alternatif Peningkatan Produktivitas karet Pemilihan sistem eksploitasi yang sesuai dengan karakter klon (histologi, morfofisiologi, dan metabolisme) terkait dengan curah hujan 1. 2. 3. 4.
Pemilihan panjang alur sadap (irisan pendek atau panjang) Arah sadapan (ke arah bawah atau atas) Panel sadap (kulit perawan atau pulihan) Jenis stimulan (cair atau gas)
Hasil : 1. 2. 3.
Peningkatan produksi karet umur 15 tahun Temuan sistem sadap sesuai dengan tipologi klon Pemilihan Stimulan gas atau cair yang sesuai dengan tipologi klon
Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Universitas Sumatera Utara
7 1.3. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan: 1. Mempelajari perbedaan sifat anatomi, morfologi, fisiologi dan produktivitas lateks antara klon metabolisme rendah (BPM 1) dengan tinggi (PB 260). 2. Mendapatkan sistem sadap yang tepat sesuai dengan tipologi klon berbasis anatomi, fisiologi, produksi 1.4. Manfaat penelitian
:
Penelitian ini bermanfaat untuk :
1. Untuk mendapatkan paket teknologi eksploitasi dalam meningkatkan produksi tanaman karet. 2. Salah satu alternatif untuk memperpanjang umur ekonomi tanaman melalui penerapan sistem eksploitasi
yang tepat
sehingga produksi yang tinggi dapat diperoleh secara
berkesinambungan.
3. Pertimbangan dalam rekomendasi aplikasi stimulan gas untuk dikembangkan secara luas.
1.5. Kebaruan Penelitian Temuan arah dan panjang irisan sadap, jenis dan frekuensi stimulan pada karet umur 15 tahun yang sesuai dengan tipologi klon dan dikaitkan dengan kondisi curah hujan.
Universitas Sumatera Utara
8
FISIOLOGI DAN PRODUKSI KARET DENGAN BERBAGAI SISTEM SADAP DAN PENGGUNAAN STIMULAN GAS Gambar 1
ALTERNATIF PENINGKATAN
Curah Hujan Umur tanaman 15 tahun
PENELITIAN 2
FISIOLOGI DAN PRODUKSI KLON BPM 1 DENGAN PERBEDAAN SISTEM EKSPLOITASI DAN CURAH HUJAN Output:
Perbedaan fisiologi dan produksi klon BPM 1 sebagai akibat perbedaan sistem ekploitasi
1. Pemilihan panjang alur sadap (irisan pendek atau panjang) 2. Arah sadapan (ke arah bawah atau atas) 3. Panel sadap (kulit perawan atau pulihan) 4. Jenis stimulan (cair atau gas)
PENELITIAN 2
FISIOLOGI DAN PRODUKSI KLON PB 260 DENGAN PERBEDAAN SISTEM EKSPLOITASI DAN CURAH HUJAN Output :
Perbedaan fisiologi dan produksi klon BPM 1 sebagai akibat perbedaan sistem ekploitasi
PERCOBAAN 1
IDENTIFIKASI ANATOMI HISTOLOGI DAN MORFOFISIOLOGI DUA KLON KARET
Gambar 1. Bagan Alir Penelitian.
Universitas Sumatera Utara