BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Komitmen pemerintah dalam menjalankan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah secara nyata ditunjukkan oleh besarnya dana APBN yang mengalir ke daerah. Dalam kurun waktu 2005 hingga 2011, transfer dana APBN ke daerah meningkat lebih dari dua kali lipat dari Rp150,5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp411,3 triliun pada tahun 2011 (Budget in Brief APBN, 2015). Besarnya dana APBN yang dialokasikan untuk daerah sejalan dengan optimalisasi peran pemerintah daerah dalam membina dan mengkoordinasi penyelenggaraan pemerintahan, termasuk dalam pengelolaan keuangan, baik antara provinsi dengan instansi vertikal, antarinstansi vertikal, dan antarkabupaten atau kota (PP No. 19 Tahun 2010). Dalam hal ini, pemerintah pusat hanya menyediakan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah tanpa ada aturan terperinci mengenai pengelolaannya (Ritonga, I., Clark, C. & Wickremasinghe, G., 2012a). Sebagai hasilnya, setiap daerah memiliki program dan kegiatan yang berbeda, disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi masing-masing daerah. Selanjutnya, Ritonga et al. (2012a, 2012b) menyebutkan bahwa program dan kegiatan yang berbeda dari setiap daerah akan menyebabkan perbedaan dalam pengalokasian anggaran. Misalnya, Bambang Brodjonegoro mengungkapkan bahwa sampai saat ini 45% pemerintah daerah di Indonesia
1
menghabiskan anggaran untuk belanja pegawai sampai dengan 50%, sementara sisanya tidak cukup untuk belanja modal dan pembangunan (Purnomo, tribunnews.com, 24 Mei 2015). Akibatnya, perbedaan alokasi anggaran tersebut akan menghasilkan kondisi keuangan yang berbeda-beda antarpemerintah daerah (Ritonga et al., 2012a; 2012b). Dalam hal ini, para pemangku kepentingan perlu mengukur kondisi keuangan masing-masing daerah dan membandingkan dengan daerah lain untuk memastikan apakah pemerintah daerah berhasil dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Ritonga et al. (2012a) menjelaskan bahwa sebuah kondisi keuangan yang baik akan menjamin keberlanjutan pemerintah daerah dalam memenuhi kewajiban pelayanan kepada warganya dan sekaligus memainkan peran penting dalam perekonomian. Mengingat pentingnya mengetahui kondisi keuangan, dibutuhkan alat ukur yang tepat untuk memonitor kondisi keuangan pemerintah daerah. Model pengukuran kondisi keuangan pemerintah daerah yang berkembang hingga saat ini telah melibatkan berbagai indikator dalam konteks yang beragam (Brown, 1993; 1996; Hendrick, 2004; Kloha, Weissert, & Kleine., 2005; Wang, Dennis, & Tu., 2007; Maher, C.S, & Nollenberger, K., 2009; Rivenbark, Roenigk, & Allison., 2009; Zafra-Gómez, J. L., LópezHernández, A. M. & Hernández-Bastida, A., 2009a; 2009b; Ritonga et al., 2012a; 2012b). Namun demikian, terdapat kesepakatan di antara peneliti dan praktisi bahwa literatur yang ada kurang memiliki teori dasar (principle theory) untuk
2
mengevaluasi kondisi keuangan (Ramsey, 2013). Selain itu, Hendrick (2004) dan Wang et al. (2007) mengungkapkan bahwa kesepakatan mengenai serangkaian standar dan indikator yang dapat digunakan untuk mewujudkan konsep kondisi keuangan secara keseluruhan masih belum memadai. Beberapa peneliti menyatakan kritikan tentang sulitnya mengukur perbandingan kinerja keuangan antarpemerintah daerah karena setiap daerah memiliki perbedaan karakteristik yang luas, termasuk dalam hal sifat, analisis keuangan, praktik akuntansi kota (Maher & Nollenberger, 2009), ruang lingkup, dan kualitas layanan (Rivenbark et al., 2009; Zafra-Gómez et al., 2009b). Sebuah model yang dikembangkan Brown (1993) di New York, 10point test, menggunakan data keuangan dari Government Finance Officers Association (GFOA) sebagai sumber dalam menentukan 10 rasio untuk mengevaluasi kondisi kesehatan fiskal pemerintah daerah relatif terhadap perbandingan nasional berdasarkan ukuran populasi. Menurut Brown (1993), pemerintah daerah memiliki kemampuan terbatas untuk menginterpretasikan kondisi keuangan selain melalui perbandingan dengan ukuran kota yang sama. Artinya, ketika analisis kondisi keuangan antarpemerintah daerah tidak dibandingkan berdasarkan ukuran populasi atau kota yang sama, maka akan sulit untuk menginterpretasikan kondisi keuangan pemerintah daerah. Wang et al. (2007) menambahkan bahwa selain faktor demografi, terdapat karakteristik sosial dan ekonomi yang dapat mempengaruhi kondisi keuangan suatu daerah. Pertimbangan karakteristik sosioekonomi sebagai indikator pengukur kondisi keuangan akan mempermudah perbandingan
3
kondisi keuangan antarpemerintah daerah (Zafra-Gómez et al., 2009b). Selanjutnya, apabila model pengukuran kondisi keuangan dilengkapi dengan penerapan analisis klaster, yaitu mengelompokkan pemerintah daerah ke dalam karakteritik sosioekonomi yang mirip, maka hasil evaluasi kondisi keuangan akan jauh lebih efektif (Zafra-Gómez et al., 2009a; 2009b). Mengacu pada model pengukuran kondisi keuangan Brown, perlu dilakukan penyesuaian atau modifikasi terhadap indikator 10-point test karena adanya perbedaan jenis, standarisasi data, dan informasi keuangan daerah yang ada di negara lain dengan penelitian Brown di New York. Lebih lanjut, penerapan analisis klaster dalam model pengukuran kondisi keuangan Brown juga harus mempertimbangkan karakteristik sosioekonomi yang relevan dari negara yang bersangkutan. Oleh sebab itu, penelitian ini akan menggunakan model pengklasteran yang telah dikembangkan Priyambodo, Victoria. K. & Ritonga, I. (2014) dalam konteks pemerintah daerah di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah Bagian latar belakang telah menjelaskan bahwa model pengukuran kondisi keuangan Brown akan jauh lebih efektif bila analisis perbandingannya dilengkapi dengan pengklasteran pemerintah daerah ke dalam kelompok sosioekonomi yang serupa. Di sisi lain, model pengukuran kondisi keuangan Brown (1993) telah digunakan sebagai dasar analisis realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2011 dan 2012 oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Namun, model tersebut tidak
4
melibatkan
analisis
klaster
sehingga
pengukuran
kondisi
keuangan
antarpemerintah daerah belum dapat dikatakan apple to apple. Sejauh
pengetahuan peneliti, belum terdapat penelitian yang
mengembangkan model pengukuran kondisi keuangan Brown dengan turut melibatkan analisis klaster pada pemerintah daerah di Indonesia. Situasi ini memotivasi peneliti untuk menganalisis kondisi keuangan pemerintah daerah di Indonesia dengan melakukan penyesuaian terhadap indikator 10-point test Brown (1993) dan hasil pengklasteran yang dikembangkan Priyambodo & Ritonga (2014). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana kondisi keuangan antara pemerintah kabupaten dan kota, dan antarpemerintah daerah di wilayah Jawa dan Bali berdasarkan model Brown?”
1.3 Tujuan Penelitian Kekuatan dari modifikasi model pengukuran kondisi keuangan ini terletak pada indikator keuangan yang disesuaikan dengan informasi dalam laporan keuangan pemerintah daerah di Indonesia dan tolok ukur perbandingan
yang
dilengkapi
dengan
hasil
analisis
klaster
untuk
meningkatkan daya banding evaluasi kondisi keuangan pemerintah daerah. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pengukuran kondisi keuangan pemerintah daerah yang didasarkan pada informasi laporan keuangan dan pengklasteran pemerintah daerah.
5
1.4 Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai berikut: 1. Kontribusi Akademis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan literatur akuntansi sektor publik, khususnya mengenai model pengukuran kondisi keuangan daerah. 2. Kontribusi Praktis Model pengukuran kondisi keuangan dengan pertimbangan analisis klaster ini memungkinkan para pemangku kepentingan untuk membuat evaluasi yang lebih efektif dan komprehensif. Hasil dari penilaian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pemerintah daerah beserta para pemangku kepentingan dalam meningkatkan daya saing pemerintah daerah, meningkatkan akuntabilitas publik, serta mempertimbangkan kebijakan yang berkaitan dengan keuangan daerah.
1.5 Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan dalam lingkup Pemerintah Daerah di wilayah Jawa dan Bali. Pemilihan lingkup penelitian disesuaikan dengan hasil pengklasteran pemerintah daerah yang dikembangkan oleh Priyambodo & Ritonga (2014). Data yang digunakan adalah Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI atas Laporan Keuangan (Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan), data publikasi Badan Pusat Statistik (BPS), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD),
6
dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) di 121 Pemerintah Daerah (30 Pemerintah Kota dan 91 Pemerintah Kabupaten) pada tahun 2010-2013, serta hasil pengklasteran pemerintah daerah pada tahun 2010.
1.6 Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN: berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, lingkup penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA: berisi landasan teori terkait konsep kondisi keuangan pada Pemerintah Daerah, model pengukuran kondisi keuangan beserta teknik analisisnya, penjelasan variabel yang digunakan dalam analisis, dan penelitian terdahulu. BAB III METODA PENELITIAN: berisi jenis penelitian, sampel dan data penelitian, jenis dan sumber data, dan metoda/ tahapan analisis data. BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN: berisi data penelitian yang telah diolah beserta analisis dan pembahasannya. BAB V KESIMPULAN: berisi kesimpulan penelitian, keterbatasan penelitian, dan saran bagi penelitian selanjutnya.
7