1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi di Indonesia bergulir dari tahun ke tahun kejadian belakangan ini semakin menghawatirkan dan memprihatinkan. Bagaikan kekuatan monster yang akan melibas habis tatanan kehidupan bangsa. Ada tanggapan yang mengandaikan bahwa korupsi terjadi di Indonesia diibaratkan seperti orang yang mengidap penyakit kanker pada kondisi kritis stadium 4 (Empat). Korupsi terjadi
di Indonesia dikait -
kaitkan dengan aspek historis dan budaya bangsa. Korupsi ada yang mensinyalir telah terjadi sejak jaya-jayanya jaman kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Korupsi ketika itu telah ada, dikaitkan dengan sektor pajak atau upeti yang mesti disetorkan kepada kerajaan. Sehingga secara historis korupsi yang terjadi di Indonesia telah melembaga dan membudaya di kalangan masyarakat Indonesia pada tatanan dimulai dari penguasa negeri. Sampai saat ini bahwa fenomena, fakta dan gejala korupsi di Indonesia sudah begitu parah dan meluas dalam masyarakat. Kondisinya semakin memprihatikan dan perkembangannya secara kuantitas dan kualitas terus meningkat dari tahun ketahun. Baik dari jumlah kasus yang terjadi serta jumlah kerugian keuangan negara terus meningkat. Kualitas tindak
pidana yang terjadi semakin sistematis serta lingkupnya telah
merambah seluruh aspek kehidupan serta sektor pemerintahan formal dan kalangan swasta. Melibatkan penyelenggara negara yang terdiri dari 1
2
lembaga Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif justru menjadi sarang pelaku tindak pidana korupsi. Bagi Indonesia dengan terjadinya
tindak pidana korupsi yang
semakin sulit dicegah dan di berantas, dan dapat menggagalkan cita -cita luhur berdirinya negara Indonesia yakni tercapainya masyarakat adil dan makmur. Impian dan harapan bangsa tersebut seperti telah tert uang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yakni seperti tersurat : “Untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia....... dstnya. Cita -cita luhur dari pendiri negara ini akan mengalami kegagalan bila salah satu penyebabnya yakni perbuatan korupsi dari para koruptornya tidak di tanggulanginya dan diberantas secara tuntas berdasarkan sistem serta kebulatan tekad semua komponen bangsa. Karena korupsi telah menimbulkan kerugian keuangan negara yang sangat besar, pada gilirannya berdampak langsung terhadap timbulnya krisis perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional. Untuk itu segala daya dan kemampuan pemerintah bersama masyarakat upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan
dan
menjunjung
tinggi
masyarakat luas.
diintensifkan Hak
Asasi
dengan Manusia
segala
cara,
(HAM)
dan
namun
tetap
kepentingan
3
Pandangan konteks keilmuan hukum, bahwa tindak pidana korupsi sudah dianggapnya tidak lagi tergolong bentuk kejahatan konvensional , seperti pendapat pakar hukum Romli Atmasasmita menyatakan bahwa tindak pidana korupsi sudah tergolong kejahatan inkonvensional dengan modus operandi yang bersifat sistemik dan meluas serta merupakan “extra ordinary crimes” 1. Sejalan dengan doktrin diatas, guru besar UNDIP Semarang Nyoman Serikat Putra Jaya memandang perkembangan tindak pidana korupsi baik dilihat dari sisi kualitas maupun kuantitas dewasa ini menyatakan bahwa korupsi di Indonesia tidak lagi merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes), tetapi sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes) 2. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa “akibat negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa, bahkan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial masyarakat Indonesia. 3” Predikat tindak pidana korupsi bagi Indonesia dengan kualifikasi delik sangat luar biasa (extra ordinary crimes), secara jelas diakui keberadaannya menurut hukum positif yang ada. Pengakuan tersebut tersurat dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada bagian anak kalimat: “…… Tindak pidana korupsi yang 1
Romli Atmasasmita, 2004. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional Dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung, hlm: 13. 2 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008. Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm: 69 3 Ibid
4
meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak -hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai ke jahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa”. Kalau dicermati perumusan kalimat dalam penjelasan Umum UU No. 30 Tahun 2002 diatas, terumus kata-kata: “Kejahatan luar biasa”, tanpa disertai dengan arti istilah asingnya “ extra ordinary crimes”, namun maknanya menurut penulis adalah sama bahwa dalam memberi kualifikasi atau predikat tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sudah tergolong delik atau tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crimes) 4. Terkait dalam penanganan tindak pidana korupsi bagi Indonesia memerlukan pula langkah-langkah kuat (extra ordinary power). Langkah-langkah kuat melalui terobosan-terobosan penal dan nonpenal berupa kebijakan hukum pidana (criminal policy), baik kebijakan hukum pidana materiil maupun kebijakan hukum pidana formal. Kualifikasi delik atas tindak pidana korupsi bagi Indonesia bukan saja dengan klasifikasi extra ordinary crimes, juga dengan klasifikasi delik “transnational crime”, mengandung arti bahwa masalah pencegahan dan pemberantasan korupsi bukan lagi merupakan masalah nasional semata, melainkan sudah merupakan masalah antar negara baik dilihat dari
4
Romli Atmasasmita, Op.Cit, hlm: v.
5
sisi modus operandi, locus delicti maupun dari sisi jurisdiksi kriminal. Sehubungan dengan terjadinya tindak pidana korupsi (locus delicti) cenderung melibatkan jurisdiksi antar negara, akan lebih sulit lagi dalam pelacakan dan pengejaran baik pelaku-pelakunya maupun aset-aset yang dikorup, untuk cenderung dibawa lari atau dicuci (money laundering) atau disembunyikan disuatu negara tertentu oleh koruptor. Kesulitan dalam mengungkap tindak pidana korupsi karena pelaku korupsi dominan dilakukan kalangan pejabat atau memiliki status sosial menengah keatas atau dalam kalangan keilmuan hukum diistilahkan pelaku kaum berdasi (white collar crimes). Sehubungan dengan fenomena ini Indrianto Seno Adji berpendapat bahwa tak dapat dipungkiri korupsi merupakan “white collar crime” dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi, sehingga dikatakan sebagai invisible crime yang penanganannya memerlukan kebijakan hukum pidana. 5 Penulis sependapat dengan pendapat doktrin diatas bahwa dalam penanganan tindak pidana korupsi siapapun pelakunya dan dari pihak kalangan manapun tepat dan perlu untuk menerapkan beberapa kebjikan hukum pidana, khususnya kebijakan pidana dibidang hukum acaranya seperti salah satunya terobosan dibidang pembuktian dalam proses peradilannya.
5
Indrianto Seno Adji, 2006, Korupsi Kebijakan Aparatur Negara dan Hukum/Pidana, Diadit Media, Jakarta, hlm: 374.
6
Karena rumitnya penelusuran dan pengungkapan barang bukti selaku
alat
bukti
dalam
tindak
pidana
korupsi,
maka
substansi
pembuktiannya memerlukan kebijakan khusus. Pembuktian menjadi titik penting dan penentu dalam proses peradilan korupsi, karena tindak pidana korupsi yang terjadi mengandung ciri-ciri khusus seperti digariskan oleh Syed Husein Alatas bahwa ciri-ciri korupsi terdiri dari 9 (sembilan) unsur, yang terpenting menurut penulis adalah “Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan dan menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum” 6. Terkait faktor-faktor hambatan dalam pembuktian, maka terobosan hukum sebagai kebijakan penal dalam proses pembuktian memerlukan urgensitas sistem yang akurat guna memudahkan pengungkapan alat-alat bukti dalam proses persidangan tindak pidana korupsi. Dalam proses peradilan pidana menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 atau KUHAP dapat diinterpretasikan bahwa menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatif wettelijke bewijs theorie). Penerapan sistem pembuktian ini dapat dipahami dari acuan ketentuan Pasal 183 KUHAP dengan menyuratkan : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. 6
Syed Hussein Alatas, 1983, Sosiologi Korupsi sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, LP3ES, Jakarta, hlm: 13
7
Alat bukti dalam KUHAP berpedoman pada ketentuan Pasal 184 ayat (1), alat bukti yang sah ialah : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa Mencermati perumusan Pasal 183 KUHAP dihubungkan dengan sistem pembuktian yang dianut dan diterapkan dalam peradilan pidana pada umumnya, maka menurut pendapat Martiman Prodjohamidjojo bahwa makna dari pada Pasal 183 KUHAP tersebut menunjukkan yang dianut dan diterapkan dalam sistem pembuktian ialah sistem negatif menurut Undang Undang (negatif wettelijke) 7. Berpatokan pada ketentuan Pasal 183 KUHAP penulis dapat menarik hal-hal penting sehubungan proses pembuktian dan sistem pembuktian yang diterapkan seperti hakim dalam memutus terdakwanya bersalah berpedoman pada adanya syarat minimum pembuktian, yakni minimal harus ada 2 (dua) alat bukti yang diakui sah oleh undang-undang (Pasal 184 ayat (1) KUHAP), serta ditambah adanya keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang terbukti bersalah sesuai apa yang telah dituduhkan oleh Jaksa Penuntut Umum. Dalam proses peradilan pidana menurut hukum acara pidana yang bertugas membuktikan kesalahan terdakwa adalah Jaksa Penuntut Umum. Jaksa dalam fungsinya 7
Martiman Prodjohamidjojo (I), 1984, Komentar Atas KUHAP, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 129
8
sebagai penuntut dibebani kewajiban membuktikan dakwaannya didepan persidangan. Tugas dan fungsi jaksa untuk membuktikan dakwaannya sebagai bentuk implementasi asas legalitas formal. Asas legalitas formal pada prinsipnya adalah merupakan kewajiban bagi jaksa selaku penuntut umum untuk menuntut setiap orang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Dalam dakwaan dan tuntutan jaksa mestinya harus dibuktikan alibi dan dasar dakwaan serta tuntutannya tersebut. Sehingga jaksa penuntut umum memikul beban tanggung jawab membuktikan dalam proses pembuktian dipersidangan. Secara teori dan praktek dalam peradilan tindak pidana pada umumnya jaksa selaku penuntut umum secara eksplisit dibebani tanggung jawab pembuktian dalam menginvestigasi terdakwa di depan sidang. Tugas dan kewajiban jaksa untuk membuktikan apa yang didakwakan tersebut, secara implisit diatur dalam Pasal 8 ayat (3) Undang – Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Secara lengkapnya terumus : “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah”. Berdasarkan perumusan Pasal 8 ayat (3) tersebut, diatas jaksa menuntut terdakwa berdasar alat bukti Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menjadi dasar dakwaannya di persidangan. Tugas dan kewajiban jaksa membuktikan alibi dakwaannya yang telah disusunnya itulah secara praktek hukum dalam peradilan disebut dengan “beban pembuktian” atau
9
membuktikan perbuatan terdakwa berdasarkan alat – alat bukti yang telah dipakai dalam surat dakwaannya. Sebagai
konsekuensi
hukum
dari
adanya
jenis
alat
bukti
“keterangan terdakwa” sesuai ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP huruf e, akan berhubungan dan terkait erat esensinya dengan Pasal 189 KUHAP seperti tersurat : (1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. (3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. (4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Makna keterangan terdakwa dalam proses pembuktian di depan persidangan adalah untuk memberikan keterangan apa yang ia alami, lihat atau dengar sendiri terhadap apa yang didakwakan jaksa penuntut umum. Oleh karena demikian jaksa secara aktif bertanya, mencocokkan, membantah keterangan terdakwa, demi mempertahankan dakwaannya. Terdakwa secara bebas dapat memberikan keterangan, bahkan apabila pertanyaan jaksa penuntut umum bila dijawab akan merugikan diri terdakwa, atas hal demikian terdakwa boleh atau dapat tidak menjawab pertanyaan polisi, jaksa, ataupun hakim, atau terdakwa memiliki hak untuk diam (remind silent), hal ini diatur dalam Pasal 52 KUHAP.
10
Ketentuan secara tegas tersurat bahwa telah menjadi tugas dan kewajiban jaksa penuntut umum untuk menggali, mencari, menemukan kebenaran materiil sesuai isi dakwaannya melalui proses pembuktian di depan sidang, atau kewajiban membuktikan kesalahan terdakwa KUHAP telah
mengatur
menyuratkan”,
hal
dimaksud.
tersangka
atau
Pasal
66
terdakwa
KUHAP tidak
secara
dibebani
implisit
kewajiban
pembuktian”. Terhadap pengaturan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, praktisi hukum dari kalangan mantan hakim Martiman Prodjohamidjojo berpendapat bahwa 8 : “Makna dari Pasal 66 KUHAP tersebut, bahwa pembebanan pembuktian diletakkan pada penuntut umum untuk membuktikan terhadap salah atau tidaknya seorang terdakwa. Dalam pasal ini hakim memperkenankan kepada terdakwa memberikan keterangan tentang pembuktian yang tidak merupakan alat bukti menurut hukum, akan tetapi segala sesuatunya dapat lebih memberikan kejelasan dan membuat terang tentang duduk perkaranya, setidak-tidaknya keterangan tersebut dapat dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya. Berpedoman dengan beberapa ketentuan Undang – Undang seperti KUHAP dan Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang tersurat dan tersirat dalam Pasal 183, 184 ayat (1) huru f e, Pasal 189 dan Pasal 66 KUHAP, serta Pasal 8 ayat (3), UU No. 16 Tahun 2004
8
Ibid, hlm. 49
11
tersurat dan tersirat makna bahwa pembuktian atau beban pembuktian dalam tindak pidana umum menjadi tugas, beban dan tanggung jawab Jaksa
Penuntut
Umum
untuk
membuktikan
tindak
pidana
yang
didakwakannya. Karena jaksa selaku wakil negara, badan hukum publik mewakili privat dan sekaligus selaku penegak hukum dan sub unsur struktur dalam sistem peradilan pidana. KUHAP sebagai pedoman dalam beracara pidana dan sebagai payungnya semua ketentuan beracara diluar peradilan umum, seperti Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan Peradilan Mahkamah Konstitusi (MK), akan dihadapkan keberadaannya dengan berbagai jenis peradilan tindak pidana khusus. Salah satunya adalah peradilan tindak pidana korupsi. Peradilan tindak pidana korupsi memiliki beberapa ketentuan hukum acara yang sifatnya khusus ( lex spesialist). Salah satu substansi hukum acara dalam peradilan korupsi dengan ciri khusus adalah substansi pembuktian. Dalam pembuktian tindak
pidana
korupsi
dikenal
dan
diterapkan
pembalikan
beban
pembuktian atau pembuktian terbalik (omkering van de bewijslast / the reversal of the burden of proof) atau sistem pembuktian terbalik. 9 Pembalikan beban pembuktian atau penulis akan mengikuti dan memakai istilah pembuktian terbalik, sesuai pemakaian istilah dalam perundang-undangan tindak pidana korupsi yang berlaku (hukum positif / ius constitutum) Indonesia. Saat ini diatur dalam Pasal 37 ayat (1), (2), 9
Elwi Danil, 2012, Korupsi, Konsep, dan Pemberantasannya, PT. Grafindo Persada , Jakarta, hlm. 201
12
(3), (4) dan ayat (5) Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, secara rincinya tersurat seperti berikut : (1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktian bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya. (3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan (4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal demi pasal atas UU No. 31 Tahun 1999 tersebut penjelasan Pasal 37 menggariskan bahwa : “Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari KUHAP yang menentukan bahwa jaksa yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.
Mencermati pengaturan ketentuan sistem pembuktian yang dianut oleh UU NO. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tampak merupakan penyimpangan dari KUHAP, bahwa KUHAP menerapkan pembuktian negatif wettelijke
13
bewijs theorie atau pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif, yakni yang dibebani pembuktian adalah jaksa dengan mengacu pada alat bukti sah menurut UU (KUHAP) sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang dituangkan dalam surat dakwaannya. Dan jaksa tetap harus membuktikan apa yang telah didalilkannya melalui pembuktian di depan sidang pengadilan. Berbeda halnya dengan pengaturan pembuktian oleh UU tindak pidana pemberantasan korupsi diatas menerapkan sistem pembalikan beban pembuktian, atau sistem pembuktian terbalik. Dalam arti berbeda dengan kelaziman (terbalik), bahwa beban pembuktian sebagian diawal pembuktian dibebankan kepada terdakwa sehingga dikatakan menerapkan pembalikan beban pembuktian atau sistem pembuktian terbalik. Namun setelah terdakwa membuktikan melalui keterangannya bahwa ia tidak bersalah melakukan apa yang dituduhkan jaksa, maka jaksa tetap harus membuktikan dakwaannya, sehingga dikatakan dalam proses pembuktian tindak pidana korupsi dianut sistem pembuktian berimbang. Karena disamping terdakwa dibebani pembuktian juga jaksa tetap dibebani kewajibannya membuktikan terdakwa melalui surat dakwaannya. Setelah mencermati ketentuan pembuktian dalam KUHAP melalui Pasal 66 yang pada intinya bahwa yang dibebani proses pembuktian atau pembebanan pembuktian adalah jaksa penuntut umum. Sedangkan menurut Pasal 37 ayat (1) khususnya bahwa yang dibebani beban pembuktian adalah terdakwa ditambah jaksa selaku penuntut umum, maka dalam 2
14
(dua) aturan terdapat pertentangan norma hukum (konflik norma hukum) dalam pembebanan pembuktian di persidangan. Dalam bahasa keilmuan teori hukum terjadi disharmonisasi norma hukum berupa konflik norma dalam perundang-undangan pidana sebagai dasar acuan proses peradilan pidana, khususnya dalam pembuktian tindak pidana korupsi. Ketentuan perlindungan hukum secara umum terhadap setiap orang diatur dalam konstitusi. Lebih lazimnya dikenal dengan sebutan istilah perlindungan Hak Asas Manusia (HAM). Secara formal perlindungan HAM bagi warga negara Indonesia tersurat dan tersirat dalam Pasal 28A sampai Pasal 28J Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Setiap orang mendapat perlindungan hak asasinya. Apalagi jika posisi seseorang berada statusnya sebagai tersangka, terdakwa ataupun terpidana sudah pasti layak untuk diayomi dan diberi perlindungan akan hak asasinya. Sehubungan dengan seseorang berhadapan dengan hukum Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam beberapa ketentuan pasalnya mengatur pula perlindungan HAM -nya. Terutama peneliti kaitkan ketika seseorang statusnya sebagai terdakwa. Adapun pengaturan perlindungan HAM bagi terdakwa tersurat dan tersirat tampak dalam pasal – pasal Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah : -
Pasal 28 D ayat (1) :
15
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum -
Pasal 28 I ayat (2) : Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
-
Pasal 28 J ayat (1) : Setiap orang wajib menghormati hak asas manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Penjabaran pengaturan akan Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 diatas tertuang pula dalam Undang – Undang Dasar No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) seperti tersurat dalam ketentuan Pasal 3 Undang – Undang ayat (2) No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yakni : “Bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”. Perlindungan hak asasi terdakwa dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang – Undang HAM tersebut lebih terjabar dan diperluas lagi ol eh KUHAP, dapat dihimpun sejumlah 37 buah pasal yang mengatur perlindungan HAM tersangka / terdakwa / terpidana dalam KUHAP (lebih lengkapnya peneliti tuangkan
16
penjabarannya pada Bab III halaman 102 – 105 naskah tesis ini). Namun HAM terdakwa terkait dengan topik dan masalah tesis ini terutama yang menyangkut tentang sistem pembuktian terbalik yang dicanangkan dan diterapkan oleh Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang – Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tampak dalam pasal-pasal KUHAP seperti : -
Hak terdakwa untuk tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP)
-
Hak perlindungan akan asas praduga tidak bersalah (Pasal 66 ayat (2) dan Pasal 8 Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman)
-
Hak terdakwa untuk diam (Pasal 166 KUHAP)
-
Hak
terdakwa
untuk
bebas
memberikan
keterangan
di
depan
persidangan (Pasal 52 KUHAP) -
Hak terdakwa untuk mendapat bantuan hukum (Pasal 54 KUHAP dan Pasal 37 Undang – Undang No. 48 Tahun 2009). Bagi peneliti yang menjadi penekanan bahasan adalah terkait
dengan Pasal 66 KUHAP dan Pasal 66 ayat (2) KUHAP yang diperkuat pula oleh Pasal 8 Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai
pemecahan
atau
solusi
hukum
atas
terdapatnya
pertentangan norma hukum atau konflik norma (conflict of norm / geschijed van normen) antara undang – undang yang satu dengan undang-
17
undang lainnya, baik secara hirarki vertikal maupun horizontal dalam pengaturan substansi atau materi yang sama maka mesti dikembalikan pada posisi asas dalam hukum. Dalam hubungan dimaksud diatas menurut pendapat E. Sumaryono dikembalikan pada asas penyelesaian konflik Undang – Undang, yang disebut asas preperensi. 10 Asas preperensi dalam hukum menurut Dudu Duswara Machmudin terdiri dari 4 (empat) elemen penjabaran makna dari ketentuan aturan yakni : 1. Lex niminem cogit ad impossibilia (undang – undang tidak memaksa seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin) contoh penerapan Pasal 44 KUHP 2. Lex posterior derogat legi priori atau lex posterior derogat legi antireori (undang – undang yang lebih baru menyampingkan undang-undang yang lama). 3. Lex spesialis derogat legi generali (undang-undang yang khusus didahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum) 4. Lex superior derogat legi, inferiori (undang-undang yang lebih tinggi menyampingkan undang-undang yang lebih rendah tingkatkannya). 11
Sebagai solusi hukum dalam mengatasi norma hukum yang bertentangan atau konflik norma hukum antara Pasal 66 KUHAP dengan Pasal 37 Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi khususnya menyangkut pembebanan pembuktian di persidangan menyangkut tindak pidana korupsi, maka dikembalikan pada forsi asas preperensi. Dalam penjabaran asas seperti ada 4 (empat) diatas, yang paling tepat dipakai adalah sub penjabaran berupa lex posterior derogat legi priori dan lex spesialis derogat legi generali. Atau undang10
E. Sumaryono, 1993, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 24 11 Dudu Duswara Machmudin, 2001, Pengantar Ilmu Hukum Sebuah Sketsa, Refika Aditama, Bandung, hlm. 70
18
undang yang lebih baru akan menyampingkan undang-undang yang lama, dan undang-undang yang khusus akan menyampingkan undang-undang yang umum. Dalam arti terkait dengan undang-undang tindak pidana korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001) lebih baru daripada UU No. 8 Tahun 1981 / KUHAP, dan UU Tindak Pidana Korupsi bersifat khusus dan KUHAP sebagai UU payung dalam beracara pidana yang sudah tentu bersifat lebih umum, maka UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi inilah yang lebih tepat diterapkan tentang pengaturan beban pembuktiannya dalam proses pembuktian di persidangan. Karena mengin gat pula sifat dan kualifikasi tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crimes (kejahatan yang luar biasa) tersebut. Terkait dengan kualifikasi tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) sehingga harus pula ditangani dengan cara
–
cara
luar
biasa
(extra
ordinary
efforts).
Karena
sulit
pembuktiannya. 12 Cara – cara luar biasa menurut penulis bahwa perlu terobosan – terobosan kebijakan hukum pidana di bidang hukum acaranya, seperti salah satunya pengaturan sistem pembuktian dan terutamanya menyangkut pembebanan pembuktian di persidangan. Hal tersebut perlu dirumuskan dalam ketentuan hukum acara pada undang – undang tindak pidana korupsi ke depannya (ius constituendum).
12
Marwan Effendi, 2005, Kejaksaan Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 138
19
Sistem pembuktian terbalik yang dicanangkan dan telah diterapkan dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi atas dasar praktek peradilan tindak pidana korupsi atas dasar Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tersebut sesuai dengan pertimbangan pembentuk UU ketika merancangnya salah satunya karena sulitnya pembuktian tindak pidana korupsi tersebut. Berkembang pula konsep pemikiran setelah kualifikasi tindak pidana korupsi digolongkan sebagai kejahatan sangat luar biasa (extra ordinary crimes). Sehingga penanganannya pun memerlukan cara – cara yang ekstra luar biasa (extra ordinary efforts). 13 Termasuk pula pertimbangan – pertimbangan lainnya seperti tersurat dan tersirat dalam konsideran UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK bahwa tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia telah terjadi secara sistemik merugikan kerugian keuangan negara yang sangat besar, mengganggu stabilitas perekonomian rakyat, bahkan telah mengganggu stabilitas pembangunan nasional. Serta dampak negatifnya yang lain bagi bangsa sudah memprihatinkan dan mengkhawatirkan bagi kelangsungan keselamatan kehidupan kenegaraan. Dari semua fenomena dan fakta korupsi yang terjadi itu, alasan untuk pemerintah menerapkan kebijakan dengan berbagai bentuk usaha penal dan non penal di bidang memberantas tindak pidana korupsi mesti tetap berpegang dan berorientasi pada batas – batas atau koridor, tanpa dengan melanggar prinsip – prinsip
13
Ibid
20
atau asas – asas hukum umum. Terutama menyangkut asas – asas hukum umum seperti hak-hak asasi tersangka / terdakwa atau hak-hak asasi manusia (HAM) secara umum. Secara khusus tidak melanggar hak sosia l, politik, ekonomi dan hukum serta kebebasan yang dimiliki setiap individu mulai sejak lahir. Melalui acuan pemaparan dalam fenomena dan fakta yuridissosiologis dalam latar belakang diatas, bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini masih sulit diberantas dan menjadi problematika teori dan praktek dalam penegakan hukumnya, maka peneliti tertarik untuk meneliti serta mengkaji dalam ranah karya ilmiah tesis, dengan j udul: “URGENSI SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT HAK ASASI TERDAKWA”.
1.2 Rumusan Masalah Mengacu dan berorientasi dari paparan fenomena latar belakang yang terurai diatas, maka peneliti menyajikan rumusan masalah sepert i berikut: 1. Apakah ada sinkronisasi pengaturan antara sistem pembuktian dalam KUHAP
dengan
sistem
pembuktian
dalam
Undang-undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Indonesia saat ini? 2. Apakah pengaturan sistem pembuktian terbalik dalam peradilan tindak pidana korupsi tidak bertentangan dengan hak asasi terdakwa ?
21
Demikian permasalahan yang mengemuka dan disajikan dalam topik serta judul penelitian tesis ini, yang nantinya dikaji berdasarkan landasan teoritis keilmuan hukum, dengan penelusuran mulai dari as asasas
hukum,
konsep-konsep
hukum,
doktrin,
yurisprudensi,
hasil
penelitian yang ada terdahulu serta teori-teori (hukum) yang relevan dengan pokok atau topik judul serta rumusan masalah yang tersedia.
1.3 Ruang Lingkup Masalah Agar tidak terjadi
pembahasan
yang melebar
dan terdapat
kesesuaian antara pembahasan dengan permasalahan maka perlu diberikan pembatasan seperti berikut: 1. Permasalahan pertama akan membahas tentang pengaturan sistem pembuktian sesuai KUHAP dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 2. Permasalahan
kedua
membahas
tentang
pembuktian
terbalik
dihadapkan dengan esensi azas praduga tak bers alah (presumption of innosence) tersebut terhadap terdakwa dalam peradilan tindak pidana korupsi. 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah sebagaimana tersebut diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
22
1.4.1 Tujuan Umum Penulisan tesis ini bertujuan untuk mengembangkan khasanah keilmuan penulis dalam bidang hukum serta untuk mengembangkan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses), dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg/fin al dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang objeknya masing-masing.
1.4.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui, mengkaji dan menganalisis relevansi penggunaan beban pembuktian terbalik dalam UU Tindak Pidana Korupsi sekarang ini dan dibandingkan sistem pembuktian yang diatur KUHAP. 2. Untuk mengetahui, mengkritisi dan mengkaji asas praduga tak bersalah dikaitkan dengan hak-hak terdakwa dalam persidangan.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis, dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk mengembangkan wawasan dan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana,
khususnya
yang
berkaitan
dengan
pencegahan
dan
pemberantasan tindak pidana korupsi dalam hubungannya dengan pengaturan sistem pembuktian oleh KUHAP dan Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
23
2. Manfaat praktis, dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah terhadap hukum acara pidana Indonesia melalui kajian yuridis terhadap pengaturan serta mekanisme pembuktian tindak pidana
korupsi
dikaitkan
dengan
relevansi
penggunaan
beban
pembuktian terbalik sebagai pembenar terdakwa dibebani pembuktian di depan sidang pengadilan.
1.6 Orisinalitas Penelitian Sesuai dengan penelusuran penulis telah terdapat beberapa tulisan dan riset (penelitian) mengenai penegakan hukum tindak pidana korupsi. Namun kajiannya belum komprehensif membahas pengaturan serta mekanisme pembuktian terbalik dalam membahas pengaturan serta mekanisme
pembuktian
terbalik
dalam
korupsi
dikaitkan
dengan
sinkronisasi pengaturan KUHAP dan Undang – Undang Tindak Pidana Korupsi terkait pembuktian terbalik, serta hak asasi terdakwa , diantaranya ada beberapa penelitian sebagai berikut: 1. Judul Penelitian Tesis: “Analisis yuridis terhadap Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 (Tentang Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Kerangka Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)” Nama peneliti/NIM:Andy Faisal (067005064/HK) Asal Universitas/Tahun:Universitas Sumatera Utara (USU), tahun 2008 Rumusan Masalah Tesis:
24
1. Bagaimana
penerapan
sistem
pembalikan
beban
pembuktian
(menurut ketentuan Pasal 37 dan Pasal 38 UU No. 20 Tahun 2001). Dalam rangka pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? 2. Apakah yang menjadi hambatan maupun kendala dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian yang bersifat terbatas dan berimbang tersebut? 3. Bagaimana pengaturan yang efektif terhadap sistem pembalikan beban pembuktian agar dapat optimal dalam pemberantasan korupsi? 2. Judul Penelitian Tesis: Sistem Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara Korupsi Atas Nama Syarifuddin). Nama Peneliti/NIM: Defid Tri Rizky (1006789122) Asal universitas/tahun:Universitas Indonesia (UI) Jakarta, 2012 Rumusan masalah tesis: 1. Bagaimana pengaturan sistem pembalikan beban pembuktian tindak pidana korupsi menurut ketentuan yang berlaku di Indonesia? 2. Apa hambatan dan kendala yang dihadapi oleh penegak hukum dalam penerapan sistem pembalikan beban pembuktian pada penanganan tindak pidana korupsi? 3. Bagaimana seharusnya pengaturan tentang sistem pembalikan beban pembuktian dalam UU tindak pidana korupsi agar dapat diterapkan secara optimal?
25
3. Judul Penelitian Tesis: “Kajian normatif Terhadap Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Korupsi” Nama Peneliti/Tahun: I Wayan Gde Wiryawan, 2012 Asal Universitas:Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar Rumusan masalah: 1. Bagaimana pengaturan terhadap sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi di Indonesia? 2. Bagaimana formulasi kebijakan pengaturan pembuktian terbalik dimasa yang akan datang? 4. Judul Penelitian Tesis: ”Implementasi Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Peradilan Tindak Pidana Korupsi (Studi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi” Nama Peneliti/NIM:Zainal Muhtar/09340075 Asal Universitas/Tahun:Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga – Yogyakarta, 2013 Rumusan masalah tesis: 1. Bagaimana ketentuan pembalikan beban pembuktian berdasarkan UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi? 2. Bagaimana implementasi pembalikan beban pembuktian dalam praktek peradilan tindak pidana korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Yogyakarta?
26
Setelah dicermati judul-judul tesis diatas, begitu juga rumusan masalahnya, tidak ada kesamaan dengan judul dan masalah dari penelitian penulis. Memang topiknya sama menyangkut substansi pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi. Masalah penelitian, peneliti menyajikan tentang masalah sinkronisasi pengaturan pembuktian terbalik oleh UU No. 8 tahun 1981 (KUHAP) dengan UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta masalah penerapan sistem pembuktian terbalik dihadapkan dengan hak asasi terdakwa di dalam peradilan pidana. Kesemua penelitian tesis yang ditelusuri dari beberapa Universitas tersebut di atas judul dan rumusan masalahnya masing-masing tidak ada menunjukkan kesamaan dengan penelitian tesis penulis. Kebaruan penelitian penulis menyangkut hal prinsip dalam substansi pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi terhadap asas universalnya yakni, praduga tak bersalah (presumption of innocence) terkait dengan hak-hak terdakwa yang mesti tidak boleh dilanggar
oleh
penerapan
hukum
itu
sendiri,
serta
kebaruannya
membandingkan pengaturan pembuktian terbalik yang diatur KUHAP (Pasal 66 KUHAP) dengan pengaturan oleh Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori -teori hukumumum/khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan
27
aturan hukum, doktrin hukum, yurisprudensi dan hasil penelitian terdahulu, yang akan digunakan sebagai landasan untuk membahas masalah penelitian. Dalam penelitian ini, penulis memaparkan secara singkat landasan teoritis yang digunakan untuk membahas masalah penelitian.
1.7.1 Asas-asas Hukum Asas hukum adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma hukum 14.J.J.H. Bruggink dalam terjemahan Arif Sidhartha menyatakan bahwa, "Asas hukum adalah kaidah yang memuat ukuran(kriteria) nilai" 15. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, asas-asas hukum sangatlah penting yang menjadi landasan
berpijak
serta
pedoman
yang
menjiwai
suatu
Peraturan
Perundang-undangan. Asas-asas hukum yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi asas-asas seperti asas due process of law (proses hukum yang adil), asas preperensi hukum, asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), dan asas non self incrimination.
1.7.1.1 Asas due process of law (Asas proses hukum yang adil) Pada dasarnya, pembicaraan mengenai proses hukum yang adil (due process of law) tentu tidak bisa lepas dengan sistem peradilan 14
Manwan, M. dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Compelte Edition, Cetakan Pertama, Reality Publisher, Surabaya, hlm. 56. 15 Bruggink, J.J.H., 1999, Refleksi Tentang Hukum, Terjemahan Arief Sidharta, cetakan kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.123.
28
pidana, dan juga terkait dengan perlindungan hukum terhadap tersangka, terdakwa dan terpidana. Mengenai hal ini Heri Tahir menyatakan bahwa: "... sistem peradilan pidana merupakan wadah dari proses hukum yang adil, sehingga tidak mungkin membicarakan proses hukum yang adil tanpa adanya sistem peradilan pidana. Demikian sebaliknya, proses hukum yang adil pada hakikatnya merupakan roh dari sistem peradilan pidana itu sendiri yang ditandai dengan adanya perlindungan terhadap hak -hak tersangka dan terdakwa" 16.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, dalam proses hukum yang adil (due process of law) terdapat perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa. Dalam mencapai proses hukum yang adil (due process of law), peradilan pidana juga harus mencerminkan perlindungan terhadap hak-hak tersangka dan terdakwa sebagai persyaratan terselenggaranya proses hukum yang adil. Asas huku m ini relevan untuk membahas permasalahan pertama yang terkait dengan mekanisme dari tindakan penegak hukum melakukan pembuktian terbalik di depan persidangan. Due process of law dapat diartikan sebagai proses hukum yang adil dan tidak memihak, layak, serta merupakan proses peradilan yang benar, yang telah melalui mekanisme atau prosedur-prosedur yang ada, sehingga dapat diperoleh keadilan substantif. Yesmil Anwar dan Adang mengemukakan bahwa:
16
Heri Tahir, 2010, Proses Hukum Yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, cetakan pertama, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hlm. 7.
29
Due Process of Law pada dasarnya bukan semata-mata mengenai rule of law, akan tetapi merupakan unsur yang esensial dalam penyelanggaraan peradilan yang intinya adalah ia merupakan "...a law which hears before it condemns, -which proceeds upon inquiry, and reders judgement only after trial...". Pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah perlindungan hak-hak asasi individu terhadap arbitrary action of the government) 17
1.7.1.2 Asas Preferensi Hukum Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vague van normen) atau norma tidak jelas. 18 Dalam menghadapi konflik antar norma (antinomi hukum), maka berlakulah asas preferensi yaitu : 1. Lex superiori derogate legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah; 2. Lex specialist derogate legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus didahulukan; 3. Lex posteriori derogate legi priori, yaitu peraturan yang baru mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama. 19
Disamping itu ada langkah praktis untuk menyelesaikan konflik tersebut
17
antara
lain
pengingkaran
(disavowal),
reinterpretasi,
Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana; Konsep, Komponen, & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, cetakan pertama, Widya Padjajaran, hlm. 113-114. 18 Rifai, Ahmad, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h lm. 89. 19 Mertokusumo, Sudikno, 2002, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Cetakan Ketiga, Liberty, Yogyakarta, hlm. 85-87.
30
pembatalan (invalidation),dan pemulihan (remedy) 20. Menurut P. W. Bouwer sebagaimana dikutip oleh Phillipus M. Hadjon, dalam menghadapi konflik antar norma hukum, dapat dilakukan langkah praktis penyelesaian konflik tersebut Asas hukum ini relevan dipergunakan untuk membahas masalah pertama mengenai disharmonisasi norma hukum yang berlaku yaitu konflik norma terkait sistem pembuktian menurut KUHAP dengan sistem pembuktian menurut Undang-Undang dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
1.7.1.3 Asas Praduga Tak Bersalah atau Presumption of Innocence Pasal 8 ayat (1) UU RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tak bersalah sebelum ada putusan kesalahannya Ketentuan
ini
dan
telah
dikenal
pengadilan
yang
memperoleh kekuatan dengan
asas presumption
menyatakan hukum
tetap.
of innocence
sebagai asas umum hukum acara, berlaku dalam setiap proses berperkara di Pengadilan yaitu dengan adanya kata : "dihadapkan di depan pengadilan". Asas hukum ini relevan dipergunakan untuk membahas masalah kedua mengenai penyimpangan dan pemberlakuan asas praduga tidak
20
Hadjon, Phillipus, M., dan Djamiati, Sri Tatiek, 2009, Argumentasi Hukum, Get. Keempat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h lm. 31.
31
bersalah dalam pembuktian tindak pidana korupsi, sebagai beban pembuktian terbalik, sehingga terdakwa dibebankan untuk melakukan pembuktian dalam penanganan perkara korupsi.
1.7.1.4 Asas Non-Self In crimination Asas Non-Self Incrimination di Indonesia diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi : "Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri". Adnan Paslyadja mengatakan hal tersebut berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri. Yahya Harahap menyatakan bahwa apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B begitu juga sebaliknya . Setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah. Asas hukum ini relevan dipergunakan untuk membahas masalah kedua mengenai asas praduga tak bersalah yang seringkali dilanggar secara tidak logis oleh penegak hukum dengan dasar pembenar adanya beban pembuktian terbalik dalam penanganan perkara korupsi
32
1.7.1.5 Asas Unnus Testis Nullus Testis Makna asas ini bahwa dalam pembuktian harus didukung oleh minimal 2 (dua) alat bukti. Unnus Testis Nullus Testis secara arti kata berarti 1 (saksi) bukan saksi. Maka dalam pembuktian bila alat bukti kurang dari 2 (dua), maka kesaksian dianggap tidak sah, asas ini diatur dalam Pasal 163 HIR atau Pasal 306 RBG
1.7.1.6 Asas Actory Incumbit Onus Probandi Makna asas ini bahwa siapa yang menuntut dialah yang wajib membuktikan.
Dalam
konteks
hukum
pidana
yang
melakukan
penuntutan adalah jaksa penuntut umum sehingga jaksa penuntut umumlah yang diwajibkan membuktikan kesalahan terdakwa. 21
1.7.2 Konsep Kepastian Hukum Menurut konsepsi yang dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa kepastian hukum terdiri dari komponen-komponen seperti berikut: 1. Kepastian aturan hukum yang akan diterapkan; 2. Kepastian proses hukum, baik dalam penegakan hukum maupun pelayanan hukum; 3. Kepastian kewenangan, yaitu kepastian lingkungan jabatan atau pejabat yang berwenang menetapkan atau mengambil suatu keputusan hukum; 4. Kepastian waktu dalam setiap proses hukum; dan 5. Kepastian pelaksanaan, seperti kepastian eksekusi putusan hakim, atau keputusan administrasi negara. 22
21
Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, hlm. 43 22 Bagir Manan, 2007, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004, FH UII, Jakarta, hlm : 20.
33
Terkait dengan kewenangan pembuktian dalam tindak pidana korupsi oleh pejabat/ yang berwenang untuk itu, maka konsepsi kepastian hukum yang dikonsep oleh Bagir Manan tersebut di atas, akan berkorelasi dengan konsep butir (1), (2), dan (3) tersebut yang terurai di atas. Dan untuk kepastiannya pihak siapa saja yang pantas dibebani pembuktian.
1.7.3 Konsep Hak Asas Manusia (HAM) Pembuktian Terbalik dipandang bertentangan bahkan bertolak belakang dengan konsep HAM terutama HAM Generasi I menyangkut salah satunya HAM sipil dan politik. HAM sipil didalamnya adalah hakhak individu yang paling asasi adalah “hak kebebasan” bagi tiap orang, terutama bila dihadapkan pada proses hukum seperti individu dalam status sebagai tersangka atau terdakwa. Status tiap orang bila posisinya sebagai tersangka / terdakwa mesti dilindungi haknya oleh negara. Dalam proses peradilan hak tersangka / terdakwa seperti hak untuk tidak dibebani pembuktian sesuai dengan Pasal 66 KUHAP mesti dihormati dan ditegakkan. Bila hal ini diterobos, tidak mustahil negara melalui penegak hukumnya sendiri cenderung dianggap telah melanggar HAM individu atau melanggar asas legalitas bahkan secara
operasional
praktik
melanggar
asas
praduga
tak
bersalah
(presumption of innosence). Beberapa konsep HAM dimaksud diantaranya adalah sebagai berikut :
34
a. Menurut Leach Levin, bahwa konsep HAM ada 2 (dua) konsepsi yaitu : 1. Natural Right (Hak Alamiah atau Hak Moral), yakni HAM tidak bisa dipisahkan dan dicabut, karena merupakan hak manusia karena ia seorang manusia, maka kewajiban oleh negara menjaga martabat setiap manusia 2. Hak menurut hukum, hak-hak individu menurut hukum dibentuk melalui proses pembentukan hukum oleh negara, maka hukum diciptakan untuk melindungi hak-hak setiap orang 23. b. Piagam Perjanjian Yang Agung (Magna Charta) Tahun 1215 “Bahwa tersurat salah satunya adanya larangan bagi polisi, jaksa tidak boleh menuduh dan menuntut seseorang tanpa saksi yang dapat dipercaya, serta melarang penahanan penghukuman, dan perampasan benda dengan sewenang-wenang. 24 c. Natural Right (Hak – Hak Alamiah) dari Konsep John Locke (1632 – 1704) “Bahwa negara harus menghargai dan menjunjung tinggi hak -hak individu. Kepentingan negara atas dasar alasan apapun tidak bisa menghilangkan hak-hak individu, bahwa setiap manusia atau individu mempunyai hak-hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. 25 Konsep natural rights inilah yang melahirkan hak-hak sipil dan politik sebagai pembela dan pelindung hak-hak sipil selaku individu, salah 23
Ny. Nartono, 1987, Hak – Hak Asasi Manusia Tanya Jawab, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 3 24 Ibid 25 Aryanto Ignatius, 2000, Convenant International, Hak Sipil dan Politik, LSPP, Jakarta, hlm. 198.
35
satunya hak kebebasan setiap orang, tidak dapat dipaksa oleh siapapun termasuk oleh negara. Maka pula dalam proses peradilan setiap hak hak individunya seperti hak untuk diam, hak untuk tidak dibebani pembuktian, hak untuk tidak dilanggar hak asasi kehormatannya seperti hak tidak dituduh bersalah sebelum ada putusan oleh haki m yang bersifat tetap (inkracht) bahwa ialah yang bersalah atas tuduhan trahdap dirinya. Atau jangan bersalah (presumption of innocence) tersebut. d. Konsep HAM dari prosedur Amerika Serikat Teodore Roosevelt Dalam amanat tahunannya tahun 1948 di muka Kongres Amerika Serikat, mengemukakan ajakan membangun satu dunia yang didasarkan atas 4 (empat) kebebasan dasar manusia yaitu : 1. Kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat di seluruh dunia 2. Kebebasan setiap orang menyembah Tuhan menurut caranya masing-masing 3. Kebebasan dari ketakutan, yang mengandung arti bebas dari segala bentuk ancaman kekerasan bagi perorangan maupun bagi suatu bangsa 4. Kebebasan dari kemiskinan yang berarti kewajiban negara untuk memberi jaminan kepada semua orang untuk hidup dengan sejahtera. 26 Dalam konsep dari Teodore Roosevelt tersebut menekankan salah satunya kebebasan setiap individu untuk tidak diancam denga kekerasan, dalam artian lebih jauh ada tekanan pada individu baik fisik maupun psikis, terutama bila terkait dengan proses hukum dalam peradilan. 26
Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia di Penegakan Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 45.
36
e. Konsep HAM dalam pengelompokan generasi HAM. Perkembangan HAK sejak awal muncul abadi 17 dan 18, pada awal abad ini dianggap sebagai kemunculan Generasi HAM I, yakni HAM sipil dan politik (liberte), Generasi HAM II muncul pada abad 19, merupakan generasi kedua menyangkut kelahiran perjuangan hak -hak sosial, ekonomi dan budaya (egalite). Dan HAM Generasi ke III (ketiga) muncul perjuangannya diabad 20 (dua puluh), HAM Generasi III merupakan usaha perjuangan penindasan kelompok berkuasa terhadap kelompok minoritas, juga perjuangan hak atas perdamaian, pembangunan, hak atas lingkungan hidup dimasa mendatang dan lain lain. 27 Dalam konsep HAM Generasi I tampak secara jelas akan konsepsi HAM dibidang hak sipil dan politik. Artinya ketika abad 17 dan 18 penguasa adalah raja, jadi negara dibawah raja, kemudian ada kelompok khusus seperti bangsawan, gereja-gereja dengan hak-hak khusus pula, barulah kelompok rakyat banyak hak -haknya tertindas oleh kedua kelompok sebelumnya terutama oleh kelom pok penguasa yakni raja. Hak-hak sipil dan politik inilah terutama kebebasan individu mulai diperjuangkan.
27
hlm. 37
Meriem Budiardjo, 1990, Dasar – Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta,
37
1.7.4. Teori Hukum Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, "Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan" 28. Lebih lanjut, mengutip pendapat Gijssels, menyatakan bahwa, "Kata teori dalam Teori Hukum dapat diartikan sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat, dan pengertian-pengertian
yang
sehubungan
dengan
kenyataan
yang
dirumuskan sedemikian, sehingga memungkinkan menjabarkan hipotesishipotesis yang dapat dikaji" 29. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, teori hukum adalah teori-teori mengenai hukum yang merupakan suatu pernyataan atau pandangan yang untuk sementara ini disepakati kebenarannya dan merupakan suatu teori baku yang disepakati para ahli hukum. Penelitian ini mempergunakan teori-teori yaitu Teori Kebijakan Hukum Pidana, Teori Harmonisasi Hukum, Teori Keadilan, dan Teori Hukum Pembuktian, Teori Kewenangan dan Teori HAM Klasik, yang terurai secara pokok-pokok sebagai berikut:
1.7.4.1 Teori Keadilan Tujuan penegakan hukum adalah untuk mencapai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Terkait dengan keadilan, maka John Rawls berpendapat keadilan itu adalah suatu fairness. Namun keadilan tidak sama dengan fairness itu. Rawls menguraikan teori 28
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cetakan Keenam, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, hlm. 4. 29 Ibid, hlm. 5
38
keadilan sebagai fairness itu sebagai berikut: "I then present the main idea of justice as fairness, a theory of justice that generalized and carries to a higher level of abstraction the traditional conception of the social contract". Selanjutnya Rawls mengatakan "the primary subject of justice is the basic structure of society, or more exactly, the way in which the major social institutions distribute fundamental rights and duties and determine the division of advantage from social cooperation" 30 Teori Keadilan relevan untuk membahas permasalahan kedua dimana tindakan pembuktian sebagai bagian wewenang yang dimiliki penuntut, sangat strategis kedudukannya baik untuk kepentingan pembuktian suatu perkara juga untuk penghormatan hak asasi terdakwa dalam perkara tindak korupsi, agar tidak merugikan hak-hak asasi terdakwa. Namun demikian sebagai salah satu tindakan yang bersifat "upaya paksa" maka pelaksanaannya harus dalam koridor hukum acara yang berlaku, sehingga tidak menjadi sarana bagi penegak hukum untuk berbuat sewenang-wenang, atau melanggar asas-asas hukum.
1.7.4.2. Teori Kebijakan Hukum Pidana Dalam konteks kebijakan hukum pidana (penal policy) menurut Marc Ancel, penal policy adalah :
30
Rawls, John, 1997, A Harvard University Press, hlm. 27.
Theorie of Justice,
Cambridge, Massachusset,
39
"Both science and art, of which the practical purposes ultimately are to anable the positive rules better formulated and to guide not only the legislator who has to draft criminal statutes, but the court by which they are applied and the prison administration which gives practical effect to the court's decision. 31 (Suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang, dan kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan).
A. Mulder menyatakan kebijakan hukum pidana dipadankan dengan strafrechtspolitiek, yang artinya sebagai garis kebijakan untuk menentukan : 1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah dan diperbaharui. 2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. 3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan 32.
Sejalan dengan pandangan Marc Ancel dan Mulder, Sudarto menyatakan bahwa '''penal policy dapat diartikan sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 33 Pada sumber lain juga Sudarto menyatakan "bahwa
menjalankan
politik
(kebijakan)
hukum
pidana
juga
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan 31
Marc Ancel, 1965, Social Defense A Modern Approach Problem, Routledge & Kegan Paul, London, hlm. 209. 32 Arief Barda Nawawi, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan danPengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 3. 33 Sudarto, 1993, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hlm. 9
40
pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. 34 Esensi teori kebijakan pidana yang dikemukakan Marc Ancel, A. Mulder dan Sudarto menunjukkan bahwa betapa luasnya ruang lingkup dari kebijakan (politik) hukum pidana (penal policy) secara sistematis dapat dirangkum menjadi tahapan seperti: 1. Kebijakan legislative (formulasi) 2. Kebijakan yudikatif (aplikasi) 3. Kebijakan eksekutif (eksekusi) 35
Teori ini relevan untuk membahas masalah pertama mengenai pengaturan dan mekanisme beban pembuktian yang sampai saat ini belum jelas keberadaannya dalam penerapannya untuk perkara korupsi sementara ini pengaturannya tidak sinkron antara KUHAP dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedepannya diharapkan kebijakan
legislatif
memformulasi
suatu
(formulasi) peraturan
sebagai
langkah
awal
perundang-undangan
dalam
mengenai
pembuktian tindak pidana korupsi sehingga pada pelaksanaannya tidak lagi menimbulkan kerancuan.
34
Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 19. Arief, Barda Nawawi, 2001, Makalah Penegakan Hukum Kebijaksanaan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya, Bandung, hlm. 74. 35
dan
41
1.7.4.3.Teori Harmonisasi Hukum Harmonisasi hukum telah muncul dalam ilmu hukum di Jerman pada tahun 1992. Penggagasnya Rudolf Stammler (1856-1938). Harmonisasi hukum dikembangkan dalam ilmu hukum yang digunakan untuk menunjukkan bahwa dalam dunia hukum, kebijakan pemerintah dan hubungan diantara keduanya terdapat keanekaragaman yang dapat mengakibatkan disharmoni. Rudolf Stammler mengemukakan suatu konsep fungsi hukum, bahwa tujuan atau fungsi hukum adalah harmonisasi berbagai maksud, tujuan, dan kepentingan antara individu dan antara individu dengan masyarakat. Dikatakan oleh Stammler "a justlaw aims at harmonizing individual purposes with that of society". 36 Istilah harmonisasi berasal dari bahasa Yunani, asal kata "harmonia" yang artinya : "terlibat secara serasi dan sesuai". Secara filsafat dapat diartikan kerjasama antara berbagai faktor yang sedemikian
rupa,
sehingga
faktor-faktor
tersebut
menghasilkan
kesatuan yang luhur. Dalam perspektif psikologi diartikan sebagai keseimbangan dan kesesuaian, segi-segi alam, perasaan, alam pikiran, dan perbuatan individu, sehingga tidak terjadi hal -hal ketegangan yang berlebihan. 37
36
Goesniadhi S, Kusni, 2010, Harmonisasi Sistem Hukum, Mewujudkan Tata Pemerintahan Yang Baik, NusaMedia, Malang, hlm. 2. 37 Sadzily, Hasan, dkk, 1995, Ensittopedi Indonesia, Ihtiar Baru, Jakarta, hlm. 1262.
42
Esensi pengertian dan makna harmonisasi hukum tersebut diatas,
dikembangkan
keterkaitannya
dengan
oleh
para
fungsi
ahli
hukum
dengan
menghubungkan
dalam
berbagai
aspek
kepentingan hukum antara individu-individu dengan negara atau pemerintah
sehingga
menampakkan
teori
harmonisasi
hukum.
Pendapat para ahli tersebut memberikan konsepsi pemikirannya tentang harmonisasi hukum, diantaranya : 1. L.M. Gandhi, memaknai harmonisasi hukum adalah mencakup penyesuaian peraturan perundang-undangan, keputusan pemerintah, keputusan hakim, system hukum, dan asas-asas hukum, dengan tujuan peningkatan kesatuan hukum, kepastian hukum, keadilan dan kesebandingan, kegunaan dan kejelasan hukum tanpa mengaburkan dan mengorbankan pluralisme hukum. 38 2. Kusnu Goesniadhie berpendapat bahwa harmonisasi hukum adalah upaya atau proses yang hendak mengatasi batasanbatasan perbedaan, hal-hal yang bertentangan dan kejanggalan dalam hukum. Upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum dalam suatu kesatuan kerangka system hukum nasional. 39 3. Wicipto Setiadi menyatakan pengharmonisasian adalah upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan, dan membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan, dengan peraturan perundangundangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat maupun yang lebih rendah dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan sehingga tersusun secara sistematis,
38
Gandhi, L.M., 1980, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Respon sif, (Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap, FH UI, dalam Mohammad Hasan Warga Kusumah, Ensiklopedia Umum. Kanisius, Yogyakarta, hlm. 88 39 Goesniadhie, S., Loc.Cit.
43
tidak saling (overlapping). 40
bertentangan
atau
tumpang
tindih
4. Juniarso Ridwan menyatakan harmonisasi merupakan suatu upaya
atau
proses
melakukan
pembatasan-pembatasan
perbedaan yang berkenaan dengan adanya kejanggalan dan bertentangan dengan hukum-hukum 41 5. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman memberikan pengertian harmonisasian hukum sebagai kajian ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian hukum tertulis yang mengacu baik pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis maupun yuridis, pengkajian terhadap rancangan peraturan perundang-undangan dalam berbagai aspek, apakah telah mencerminkan keselarasan dan kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lain, hokum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat,... dstnya 42
Teori ini relevan digunakan untuk membahas permasalaha n kedua
mengenai
dualisme
dasar
hukum
apabila
mencermati
pengaturan beban pembuktian terbalik dalam penanganan tindak pidana
korupsi
relevan
dipergunakan
sebagai
dasar
untuk
membenarkan beban pembuktian dimana terdapat pertentangan atau konflik norma antara KUHAP (Pasal 66) dengan norma pada Pasal 37 ayat (1), UU Tipikor, yang belum ditegaskan penyelesaian konflik dalam ketentuan yang berlaku tersebut.
40
Setiadi, Wicipto, 2007, Proses Pengharmonisasian Sebagai Upaya Untuk Memperbaiki Kualitas Perundang-undangan, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No. 2, Juni 2007, hlm. 48. 41 Ridwan, Juniarso, 2009, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung, hlm. 219-220 42 Ibid, hlm. 223
44
1.7.4.4 Teori Hukum Pembuktian Proses pembuktian adalah mengenai benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan sehingga merupakan bagian yang terpenting dalam proses hukum acara pidana, dan bertujuan untuk mencari kebenaran materiil. Sebagaimana dinyatakan oleh Ansorie Sabuan
bahwa
"pembuktian
merupakan
masalah
yang
pelik
(ingewikkeld) dan justru masalah pembuktian menempati titik sentral dalam Hukum Acara Pidana. Adapun tujuan dari pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, dan bukan mencari kesalahan seseorang. 43 Van Bemmelen mengaitkan pencarian dan penemuan kebenaran oleh Hukum Acara Pidana melalui proses pembuktian dengan maksud sebagai berikut: "Rewijsen is derhalie door onderzoek en redenering van de rechter eenredelijke mate van zekerheid te vershaffen" : a. Omfrent de vraag of bepaalde feiten hebben plaats gevonden. b. Omtr de vraag waarom dit het geval is geweest. Bewijzen bestaat du suit: a. Het wijzen op waarnembare feiten. b. Medewerkingenwengenomen feiten c. Logiseh denken "Maka pembuktian ialah usaha untuk memperoleh kepastian yang layak dengan jalan memeriksa dan penalaran dari hakim : a. Mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu sungguh pernah terjadi. b. Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa ini telah terjadi.
43
Sabuan, Ansorie; Pettanase, Syariffudin; dan Ahmad, Ruben, 1990, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, hlm. 185.
45
Dari itu pembuktian terdiri dari : a. Menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh panca indera. b. Memberikan keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah diterima tersebut. c. Menggunakan pikiran logis.
Teori
pembuktian
mengenal
adanya
4
(empat)
sistem
pembuktian sebagai berikut : 1. Teori Pembuktian atas keyakinan belaka (conviction in time). 2. Teori Pembuktian atas alasan yang logis (conviction raisonee} atau Teori Pembuktian Bebas 3. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (Positive Wettelijke Bewijstheorie) 4. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara Negatif (NegatiefWettlijke Bewfistheorie) 44
1.7.4.5 Teori Kewenangan Guna menjastifikasi tindakan hukum yang dilakukan seseorang atau oleh kelembagaan karena jabatannya maka dilakukanlah tindakan yang namanya "wewenang". Secara keilmuan wewenang merupakan konsep inti dalam ranah hukum tata negara dan hukum administrasi negara. Wewenang yang dalam konsep keilmuan hukum telah pula diakui menjadi sebuah teori yang lazimnya disebut dengan "teori kewenangan". Secara etimologi kewenangan berasal dari kata wenang, dengan variasi imbuhan yang menjadi'wewenang, kewenangan, berwenang dan sebagainya. Wewenang berarti hak dan kekuasaan untuk bertindak.
44
186.
Sabuan, Ansorie; Pettanase, Syariffudin; dan Ahmad, Ruben, Op.Cit, hlm.
46
Kewenangan
berarti
hak
dan
kekuasaan
yang
dipunyai
untuk
melakukan sesuatu, berwenang artinya mempunyai/mendapat hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu 45. Kalangan doktrinal memberikan pengertian sebagai perumusan makna wewenang tersebut. Para ilmuan hukum di bidangnya seperti: 1. H.D. Stout, wewenang adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subyek hukum publik dalam hubungan hukum publik. 2. FPCL. Tonnaer, kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara 46. 3. Indoharto, wewenang sebagai suatu kemampuan yang diberikan oleh
suatu
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang sah 47. 4. Bagir Manan, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban 48.
Kalau dicermati dari beberapa pendapat dan rumusan pengertian dan wewenang tersebut, maka mengandung unsur-unsur seperti:
45
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm : 1128. 46 Lukman Hakim, 2010, Kedudukan Hukum Komisi Negara di Indonesia, Program Pasca Unibra, Malang, hlm 52. 47 Indoharto, 2004, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 94. 48 Bagir Manan, 2007, (Dalam Sadjijono : Memahami Beberapa Bab Pokok Hukimi Administrasi Negara), Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, hlm 51.
47
1.
Adanya tindakan hukum yang sifatnya hukum publik.
2.
Dilakukan oleh subyek hukum publik.
3.
Adanya kemampuan bertindak.
4.
Untuk melakukan hubungan-hubungan hukum publik.
5.
Diberikan oleh undang-undang.
6.
Mengandung hak dan kewajiban.
7.
Menimbulkan akibat hukum yang sah Wewenang dengan unsur-unsur di atas, tidak secara otomatis
diperoleh atau melekat di setiap pejabat pemerintahan. Secara teori terdapat tiga cara untuk memperoleh wewenang pemerintah seperti yang dikemukakan oleh HD Van Wijk/Willem Konijnembelt melalui cara atributif, delegatie dan mandat. Yang masing-masing dimaknai sebagai berikut : Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan, delegasi adalah
pelimpahan
wewenang
pemerintahan
dari
satu
organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, mandat adalah terjadi
ketika
organ
pemerintahan
mengijinkan
wewenangnya
dijalankan oleh organ lain atas namanya 49. Kewenangan (atribusi)
secara
yang jelas
bersumber dinyatakan
dari
perundang-undangan
diberikan
kepada
organ
penterintahan. Dalam SPP salah satu sub sistem struktur yang tergolong ke dalam aparat penegak hukum termasuk pula organ 49
HD. Van Wijk/Willem Konijnenbelt, 2008, Dalam : Sadjijono; Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Laks Bang Pressindo, Yogyakarta, hlm. 58
48
pemerintahan dalam hukum publik adalah jaksa. Peran jaksa adalah sebagai pejabat hukum publik selaku penuntut umum guna mengemban misi due process of law. (mendakwa, membuktikan, menuntut dan mengeksekusi putusan hakim) Jaksa penuntut umum sebagai pejabat negara sekaligus badan hukum publik dan aparat penegak hukum (Pasal 1 ayat (1) UU No. 15 Tahun 1961 jo UU No. 5 Tahun 1991 jo UU No. 16 Tahun 2004, tentang Kejaksanaan RI) yang mengemban tugas penuntutan dan eksekusi. Landasan tugas dan wewenang bagi Jaksa Penuntut Umum tersebut mulai dari amanat konstitusi berupa UUD N egara Republik Indonesia
Tahun
1945,
UU
Kekuasaan
Kehakiman,
dan
UU
Kejaksaan RI.
1.7.4.6 Teori Hak Asasi Manusia (HAM) Klasik Menurut Paul Sieghart bahwa dalam kerangka teori HAM klasik hak-hak kolektif bukanlah merupakan HAK, lebih lanjut dinyatakannya teori klasik tentang HAM menyebutkan bahwa hanya hak -hak yang dimiliki oleh manusia individu yang dapat disebut sebagai Hak Asas i Manusia (HAM). Sedangkan hak-hak yang dimiliki oleh sebuah entitas atau
jenis-jenis
tertentu
perusahan-perusahaan,
seperti
badan-badan
negara-negara, perdagangan
gereja-gereja,
dan
sebagainya
bukanlah hak asasi manusia dalam pengertian yang sebenarnya. 50
50
Suharto, Rakhmat Bowo, 2001, Perlindungan Hak Dunia Ketiga Atas Sumber Daya Alam, Mata Wacana, Yogyakarta, hlm. 21
49
Sehubungan dengan esensi inti teori HAM klasik
yang
memberikan forsi hak-hak yang diakui sebagai HAM adalah hak-hak seorang individu sebagai manusia, maka akan terkait esensi teori HAM klasik dengan perkembangan lahirnya HAM Generasi I (Pertama) yang lahir pada abad 17 dan 18 didalamnya mengakomodir hak-hak individu di bidang hak-hak sipil dan politik sebagai HAM. Hak sipil atau individu tiap orang diakui sebagai HAM yang paling mendasar salah satunya
adalah
dijaminnya
serta
dilindunginya
hak
kebebasan.
Kebebasan termasuk dalam hak individu dihadapan hukum ketika seseorang dihadapkan pada proses peradilan. Dalam proses peradilan ketika seseorang dihadapkan pada tahapan pembuktian wajib hak-hak seseorang dalam status sebagai terdakwa untuk dihormati hak-hak asasi individunya, seperti hak untuk dianggap belum bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van geweijsde). Maka asas praduga tak bersalah (presumption of innosence) tetap dijunjung tinggi dan ditegakkan dalam proses peradilan pidana demi terwujudnya proses hukum yang berkeadilan (due process of law). Maka terkait dengan penerapan sistem pembuktian terbalik dalam peradilan pidana mesti selektif dan hati-hati melaksanakannya untuk menghindari penyerobotan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) selaku individu dihadapan proses hukum.
50
Adanya 6 (enam) jenis teori hukum sebagai pisau analisis terhadap permasalahan yang disajikan akan memperjelas kegunaan teori masing-masing. Adapun teori-teori tersebut : 1. Teori keadilan, 2. Teori Kebijakan Hukum Pidana, 3. Teori Harmonisasi Hukum, 4. Teori Hukum Pembuktian, 5. Teori Kewenangan dan 6. Teori Hak Asasi Manusia (HAM) Klasik. Sebaran masing-masing teori tersebut diatas akan diterapkan dalam mengkaji dan menganalisis 2 (dua) buah permasalahan seperti : 1. Apa ada sinkronisasi pengaturan dalam pembuktian menurut KUHAP dengan pembuktian dalam UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ? 2. Apakah pengaturan sistem pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku sekarang (ius constitutum / ius operatum) tidak bertentangan dengan hak asasi terdakwa ? Terhadap
permasalahan
pertama
diatas
akan
dikaji
dan
dianalisis berdasar teori 1, 2 dan 3 (teori keadilan, teori kebijakan hukum pidana, dan teori hamonisasi hukum). Teori keadilan dalam hubungan ini dimaksudkan dalam penerapannya terdakwa mesti diperlakukan
secara
adil
dalam
proses
pembuktian,
meski
kedudukannya sebagai terdakwa secara esensi jangan dilanggar hak hak yang prinsip dimiliki terdakwa bahwa belum ada putusan hakim yang inkracht sudah seolah-olah dianggap bersalah melakukan tindak pidana korupsi, hal ini sangat bertentangan dengan prinsip asas praduga tak bersalah. Terdakwa mesti dianggap belum bersalah dan
51
dihormati hak-haknya sebagai terdakwa untuk tegaknya asas praduga tak bersalah tersebut (keadilan proforsional dan substansive). Terkait teori kebijakan hukum pidana yang digunakan disini adalah bahwa mengingat sifat dan kualifikasi tindak pidana korupsi sebagai kejahatan sangat luar biasa (extra ordinary crime) yang sulit pembuktiannya maka perlu terobosan diciptakan sistem pembuktian terbalik dalam pembuktian korupsi bagi terdakwanya, hal tersebut sebagai bentuk kebijakan penal – formulatif bagi pihak legislatif. Dan dipakainya teori harmonisasi hukum untuk mengharmonisasikan norma konflik antara Pasal 66 KUHAP dengan Pasal 33 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bagi pembagian beban pembuktian antara Jaksa dengan terdakwa korupsi di persidangan. Dalam mengkaji dan menganalisis masalah kedua penulis memakai dasar acuan teori No. 2. Teori Keadilan, 4. Teori Pembuktian, 5. Teori Kewenangan dan 6. Teori HAM Klasik diatas, bahwa dalam pembuktian perkara pidana yakni negative wettelijke beweijs theorie, untuk diperoleh fakta, fakta yang sebenar-benarnya dari terdakwa korupsi dipakai dasar bagi hakim menentukan terbukti atau tidaknya kesalahan yang dituduhkan jaksa. Begitu halnya pemakaian teori kewenangan, jaksa secara kewenangan atributif menurut UU No. 16 Tahun
2004
tentang
Kejaksaan
tetap
memiliki
kewenangan
membuktikan dakwaannya dalam proses pembuktian, juga hakim secara kewenangan atributif menurut UU No. 48 Tahun 2009 tetnang
52
Kekuasaan
Kehakiman
diberi
wewenang
untuk
memeriksa
dan
memutus terdakwa berdasarkan alat-alat bukti sah menurut UU disertai keyakinannya guna memutus salah tidaknya terdakwa atas dakwaan dan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum setelah menilai proses pembuktian di persidangan, sehingga terkait dengan teori kebija kan hukum
pidana,
penggunaan
sistem
pembuktian
terbalik
dalam
pembuktian terdakwa korupsi tidak bertentangan atau tidak melanggar hak asasi terdakwa, mengingat bahaya korupsi sangat menyengsarakan masyarakat luas dan dikualifikasi sebagai kejahatan sangat luar biasa , walaupun sedikit terjadi penerobosan terhadap esensi Teori Hak Asasi Manusia (HAM) Klasik.
53
Kerangka Berpikir JUDUL PENELITIAN TESIS URGENSI SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI TERKAIT HAK ASASI TERDAKWA Latar Belakang Masalah
Korupsi terjadi sangat mengkhawatirkan secara kualitas dan kuantitas terus meningkat Korupsi sangat merugikan keuangan dan kondisi kenegaraan Korupsi sulit diberantas karena dilakukan secara sistemik Korupsi sebagai kejahatan luar biasa, maka perlu pemberantasan secara luar biasa Dalam UU(KUHAP dan UU PTPK terjadi konflik norma PS 66 KUHAP dengan Pasal 37 UU PTPK) Solusi dalam PTPK terkait norma konflik – kembali pada asas hukum – asas preperensi
Rumusan Masalah 1.
2.
3. 4.
5.
Jenis penelitian : Yuridis normatif Jenis pendekatan Perundangundangan Konseptual Kasus Komparatif Sumber bahan hukum : Teknik pengumpulan bahan hukum dengan studi dokumen (mengumpulkan, menginventarisir mencatat bahan hukum) Teknik analisis bahan hukum : teknik deskripsi, interprestasi, evaluasi, argumentasi
1.
sinkronisasi pengaturan antara pembuktian dalam KUHAP dengan
2.
UU PTPK ? 2.
Apakah penerapan sistem pembuktian
3.
terbalik dalam TPK 4. tidak bertentangan dengan hak asasi terdakwa ?
Metode penelitian 1.
Apa ada
Landasan Teoritis Asas – asas hukum : Due process of law Preferensi hukum Persumption of innocence Non-self incrimination \ Unnus Testis Nullus Testis Konsep – konsep hukum : Pembuktian Tindak pidana Korupsi Pembuktian terbalik Konsep HAM Doktrin – doktrin hukum : Bahaya korupsi Tipe korupsi Teori-teori hukum : a. Keadilan b. Kebijakan Hukum Pidana c. Harmonisasi Hukum d. Pembuktian e. Kewenangan f. Hak Asasi Manusia Klasfik
SIMPULAN DAN SARAN
1.
2.
Simpulan a. Dalam pengatuan antara sistem pembuktian menurut KUHAP dengan sistem pembuktian menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Indonesia saat tidak adanya sinkronisasi dan harmonisasi pengaturan tentang sistem pembuktiannya menyangkut pihak yang dibebani tanggung jawab pembuktian. b. Pengaturan sistem pembuktian terbalik dalam peradilan tindak pidana korupsi saat ini pada prinsipnya adalah bertentangan dengan hak – hak asasi terdakwa dan cenderung melanggar asas praduga tak bersalah Saran a. Agar legislatif merevisi Pasal 66 KUHAP dengan menambah klausula bahwa dalam pembuktian kasus korupsi diterapkan pembuktian terbalik b. Agar pembuktian terbalik jangan dianggap melanggar asas praduga tak bersalah, mengingat TPK sifatnya extra ordinary crime
54
1.8. Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Metode yuridis normatif yang sering juga disebut sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu merupakan suatu penelitian yang mengacu pada analisis hokum, baik dalam arti law as it is written in the book, maupun dalam arti law as it isdecided by judge through judicial proces's. 51 Penelitian merupakan suatu sarana atau upaya pencarian untuk mengembangkan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi
dengan
cara
menemukan, dan mengemukakan suatu kebenaran dengan melakukan suatu analisa. Menurut Peter Mahmud Marzuki, "Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum gunamenjawab isu hukum
yang dihadapi. 52
Menurut Morris L. Cohen dan Kent C. Olson mengemukakan bahwa "Legal research is an essential component of legal practice. It is the process of finding the law that governs an activity and materialsthat explain or analyze that law" 53 Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa, "dalam ilmu hukum terdapat dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian
51
Dworking, Ronald, 1973, Legal Research, (dalam Yenti / Garnasih,2003, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 40 52 Mahmud Marzuki, Peter, 2005, Penelitian Hukum, Cetakan ke-1, Kencana, Jakarta, hlm. 35. 53 Cohen, Morris, L. dan Olson, Kent, C., 2000, Legal Research In A Nutshell, Seventh Edition, ST. Paul, Minn, West Group, hlm. 1 .
55
hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris. 54 Penelitian hukum normatif disebut juga sebagai penelitian hukum doktrinal dan juga disebut
penelitian hukum perpustakaan. Disebut penelitian hukum
doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan pada peraturanperaturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum lain, sedangkan disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan perpustakaan atau studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan. 55
1.8.2 Jenis Pendekatan Adapun metode penelitian dalam penulisan tesis ini menggunakan beberapa metode pendekatan seperti pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis
(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) 56 Pendekatan digunakan
dalam
penelitian
adalah
yang
yang berkorelasi dengan
pembuktian terdakwa dalam perkara korupsi dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik, yaitu :
54
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (Ul) Press), Jakarta, hlm. 51. 55 Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 31. 56 Mahmud Marzuki, Peter, Op. Cit., hlm. 93.
56
a.
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan pembuktian terbalik dalam perkara korupsi dikaitkan dengan hak terdakwa dalam KUHAP.
b. Pendekatan
konseptual
(conceptual
approach)
beranjak
dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrindoktrin tersebut, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu pembuktian terbalik dalam perkara korupsi dikaitkan dengan hak-hak terdakwa. c.
Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus terkait dengan isu yang dihadapi serta telah menjadi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Kasus itu banyak berupa kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
d. Pendekatan komparatif (comparative approach) dilakukan dengan membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain guna memperoleh persamaan dan perbedaan di antara undang-undang tersebut. Dalam penelitian ini dibandingkan antara undang-undang terkait pembuktian terbalik dalam
57
perkara korupsi uang dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik dengan undang-undang terkait di beberapa negara.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum Penelitian hukum Normatif, menggunakan bahan hukum primer, sekunder,dan tersier mencakup : a.
Bahan
hukum
primer
merupakan
bahan
hukum
yang
bersifat
autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim, yang berkorelasi dengan pembuktian terdakwa dalam perkara korupsi dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik terdiri dari :
United Nation Convention Against Corruption/UNCAC
yang
diratifikasi dalam UU RI No. 1 Tahun 2006.
United
Nation
Convention
AgainstTransnational
Organized
Crime/UNCATOC yang diratifikasi dalam UU RI No. 5 Tahun 2009.
UU RI No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU RI No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
b. Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi yang berkorelasi dengan pembuktian terdakwa tersangka dalam perkara korupsi dikaitkan
58
dengan beban pembuktian terbalik. Publikasi tentang hukum meliputi bahan hukum yang terdiri dari karya ilmiah yang berupa buku teks (textbook), jurnal hukum, karya tulis dan makalah hukum baik yang ditulis dari para sarjana di Indonesia maupun di luar negeri dan baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa asing yang dimuat di media cetak, media massa maupun media elektronik yang menyangkut dan berhubungan dengan materi pembuktian terdakwa dalam perkara korupsi dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik, dan komentarkomentar atas putusan pengadilan. Selain itu rancangan undang undang, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, dan lain-lain yang berkaitan dengan topik penelitian. c.
Bahan hukum tersier, yakni: bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia yang memberi batasan pengertian secara etimologi/arti kata atau secara gramatikal untuk istilah-istilah tertentu terutama yang terkait dengan komponen variabel judul dalam hal ini yakni terkait dengan istilah-istilah yang berkorelasi dengan pembuktian terdakwa dalam perkara korupsi dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik dan lain-lain. 57
57
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13
59
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan data pada tesis ini menggunakan studi dokumen yang dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara mengumpulkan dan menginventarisasi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berkaitan dengan permasalahan yang diteliti yang selanjutnya dilakukan pencatatan dengan menggunakan sistem kartu. Dalam sistem kartu ini dilakukan suatu telaah kepustakaan dengan mencatat dan memahami informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum penunjang lainnya yang berkaitan dengan permasalahan pembuktian terdakwa dalam perkara korupsi dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik yang dibahas.
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu setelah bahan-bahan hukum mengenai sistem pembuktian dalam perkara korupsi dikaitkan dengan beban pembuktian terbalik dikumpulkan, kemudian diolah dan dianalisis secara hukum. Dalam menganalisis bahan bahan hukum yang telah terkumpul dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik analisis bahan hukum yaitu : 1. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi -proposisi hukum atau non hukum.
60
2. Teknik interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran gramatikal, histori, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain. 3. Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sa h oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder. 4. Teknik argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Dalam pembahasan permasalahan hukum kian banyak argumen makin menunjukkan kedalaman penalaran hukum. 58
Pendekatan
kasus
(cases
approach)
sebagai
bahan
hukum
penunjang penelitian hukum normatif, peneliti menyertakan beberapa buah kasus tindak pidana korupsi. Hanya saja penyajian kasus tersebut terbatas pada penekanan beban pembuktian. Pembebanan beban pembuktian dimaksud adalah terhadap para terdakwanya yang dibebani beban pembuktian terbalik. Sistem pembuktian terbalik adalah khusus diberlakukan bahwa proses persidangan dengan agenda pembuktian mendapat giliran yang diperintahkan hakim untuk menerangkan asal – usul dan perolehan harta miliknya terkait indikasi tindak pidana korupsi sesuai apa yan g dituduhkan jaksa selaku penuntut umum. Tidak
seperti
biasanya
bahwa
dalam
proses
pembuktian
persidangan bahwa dalam pembuktian kesempatan pertama adalah merupakan forsi dan kewenangan jaksa selaku penuntut dalam kasus yang 58
Program Studi Magister Ilmu Hukum, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar, hlm. 34-35.
61
disidangkan untuk membuktikan dakwaannya. Kewajiban demikian adalah merupakan aplikasi dari asas actori incumbit onus probandi (siapa yang menuntut dialah yang wajib membuktikan). Terlepas dari keharusan makna asas hukum tersebut, dalam setiap pembuktian tindak pidana korupsi terdakwan ya semua dalam proses pembuktian dipersidangan dibebani beban pembuktian. Peneliti dalam hubungan ini menyajikan beberapa kasus sebagai sampel penunjang dalam mengkaji dan menganalisis sistem pembuktian terbalik. Sebagai fakta hukum pula bahwa dalam proses pembuktian peradilan tindak pidana korupsi diterapkan sistem pembuktian terbalik bagi terdakwanya. Adapun sajian beberapa kasus tindak pidana korupsi dengan para terdakwanya
dibebani
pembuktian
terbalik
terangkum
pula
tabel
berikut :
Tabel 1 Persidangan Tindak Pidana Korupsi Yang Menarik Perhatian Publik di Bali Dengan Para Terdakwa Dibebani Pembuktian Terbalik di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar Dalam Periode Tahun 2012 – 2015
No. 1
Nama Terdakwa I Wayan Sukaja, S.Sos
Jenis Putusan Pengadilan Yang Dijatuhkan Hakim
Pidana Penjara 4 tahun, denda 200 juta subsider 1 bulan kurungan pengganti denda dan wajib membayar kerugian keuangan negara sebesar 431 juta, sub pid penjara 3 bulan
No. Perkara / Putusan 1/PID.SUS/TPK /2013/PN.DPS
Keterangan Dari kalangan legislatif - Dana BANSOS - Ketua DPRD Tabanan
62
No. 2
3
4
5
Nama Terdakwa Gede Budiasa, alias Jero Tapakan Gede Budiasa
Dewa Gede Ramayana
Drs. I Nyoman Mudjarta, M.Pd
I Nengah Arnawa, S.Sos
Jenis Putusan Pengadilan Yang Dijatuhkan Hakim
Pidana Penjara 5 tahun 6 bulan
Denda 200 juta, sub. Kurungan 5 bulan
Uang pengganti 1 milyar, 863 juta, 26 ribu, 650 rupiah sub 1 bulan kurungan sub penyitaan atas harta terdakwa, sub 4 tahun pidana pengganti
Pidana penjara 1 tahun 3 bulan
Denda 50 juta, sub. Kurungan 1 bulan
Pidana tambahan uang pengganti Rp. 62.745.000 sub pengganti harta benda dilelang, bila tidak membayar sub 3 bulan penjara
Tidak terbukti bersalah
Dibebaskan dari dakwaan
Memulihkan hak terdakwa
Pidana penjara 6 tahun
Denda 300 juta rupiah
Pidana kurungan sub. Pengganti 2 bulan kurungan
Uang pengganti 1 milyar 395 juta
No. Perkara / Putusan 9/PID.SUS/TPK /2013/PN.DPS
Keterangan Dari kalangan swasta (korupsi dana LPD)
7/PID.SUS/TPK /2013/PN.DPS
Dari kalangan eksekutif - Korupsi gaji guru honorer
16/PID/SUS/TPK /2013/PN.DPS
Dari kalangan pendidik - Korupsi uang komite
13/PID/SUS/TPK /2014/PN.DPS
TPK mantan Bupati Bangli
63
No. 6
7
Nama Terdakwa Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D
Dr. I Wayan Candra, SH., MH
Jenis Putusan Pengadilan Yang Dijatuhkan Hakim
Pidana penjara 2,5 tahun denda 50 juta, subdair 1 bulan
Pidana penjara 12 tahun denda 1 milyar, subidair 6 bulan (Putusan banding diperberat 3 tahun menjadi 15 tahun)
No. Perkara / Putusan No. 13 / Pid.Sus/ TPK/2014/PN. DPS Tgl. 2 Oktober 2014 Kasus Tindak Pidana Korupsi Proyek IHDN Denpasar No. 7/Pid.Sus/ TPK/2015/PN. DPS Tgl. 24 Juni 2015 Tindak Pidana Korupsi dan TPPU – Proyek Dermaga Nusa Penida
Keterangan Dari kalangan Pendidik (Rektor IHDN Denpasar)
Dari kalangan Eksektuif (Mantan Bupati Klungkung)
* Data diambil peneliti di Pengadilan Negeri Denpasar dan dioleh versi peneliti
Berdasarkan temuan penelitian semua kasus tindak pidana korupsi tersebut diatas, ternyata dalam proses dipersidangan
TIPIKOR
Denpasar.
pembuktian para terdakwa
Kesemuanya
dibebani
beban
pembuktian oleh hakim. Para terdakwa terlebih dahulu diwajibkan menerangkan asal-usul perolehan harta yang dimilikinya terkait dengan tuduhan jaksa masing-masing Kewajiban yang dibebankan hakim kepada para terdakwa atas dakwaan melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan pengaturan Pasal 37 ayat (1) dan ayat (3) Undang – Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang – Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
64
Korupsi. Namun demikian setelah selesai terdakwa membuktikan dirinya sesuai tuduhan jaksa, jaksapun dibebani beban pembuktian untuk membuktikan dakwaannya sesuai dengan esensi Pasal 66 KUHAP. Oleh karena demikian tampak bahwa sistem pembuktian yang diterapkan dalam peradilan tindak pidana korupsi adalah sistem pembuktian terbalik berimbang. Pendekatan perbandingan (comparative approach) yang peneliti lakukan
membandingkan
dengan
beberapa
negara
seperti
Inggr is,
Singapura dan Malaysia, khususnya dengan penerapan sistem pembuktian terbalik yang juga dianut di negara – negara tersebut. Negara Indonesia dengan keluarga hukum Civil Law atau Eropa Kontinental yang merupakan sistem hukum induknya dari Belanda, bahwa di Belanda -pun menetapkan
pula
sistem
pembuktian
terbalik,
bahkan
lebih
luas
jangkauannya bukan saja terhadap perbuatan dengan indikasi korupsi, juga terhadap tindak pidana tertentu seperti pencemaran melawan keamanan negara. Serta pula di Belanda tindakan perampasan, terhadap harta milik terdakwa sejak ditetapkan sebagai tersangka sudah dapat dilakukan. Di Indonesia perampasan dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan.