BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Cerita Prabu Anglingdarma sangat terkenal di kalangan rakyat Jawa
Timur, khususnya di daerah Bojonegoro dan sekitarnya. Selain mengandung banyak petunjuk dan pedoman bagi para calon pemimpin, para prajurit dan para wanita, jalan ceritanya sangat menarik dan tertulis dalam sastra daerah yang baik (Pratomo, 1981:7). Menurut pengamatan penulis, cerita Anglingdarma telah tersajikan dalam dua bentuk yakni sastra tulis dan sastra lisan. Pada awal mulanya, sastra lisan ini berbentuk cerita rakyat di masyarakat Bojonegoro Jawa Timur yang diturunkan secara lisan. Hingga kemudian diteliti oleh Sukari dan Suyami atas permintaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur sebagai proyek dokumentasi potensi daerah. Pada akhirnya hasil penelitian dibukukan dan diberi judul “Penelusuran Jejak Petilasan Anglingdarma di Bojonegoro” (yang selanjutnya disingkat menjadi PJPAB). Buku tersebut dicetak pertama kali pada tahun 2011 oleh pihak Penerbit Lintang Pustaka Grafika Yogyakarta. Dari buku tersebut dijelaskan tentang gambaran umum petilasan Anglingdarma di Desa Wotan Ngare, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro. Cerita mengenai Anglingdarma tersajikan di dalam buku ini. Begitu juga dengan lokasi jejak-jejak petilasan Anglingdarma. Adapun cerita Anglingdarma yang tertuang dalam buku berdasarkan sumber dari koleksi
1
2
Perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta Jawa Tengah yang telah dialihbahasakan oleh Sujadi Pratomo pada tahun 1981. Buku tersebut berjudul Sĕrat Anglingdarma (yang selanjutnya disingkat menjadi SA) terbagi menjadi dua bagian yakni jilid 1 dan jilid 2. Cerita Anglingdarma menurut masyarakat Bojonegoro diperkirakan terjadi setelah tahun 1130 M (Sukari dan Suyami, 2011:20). Pada Sĕrat Purusangkara, kehidupan Anglingdarma diperkirakan setelah tahun Bisma Wiku, tahun 842 tahun Suryasengkala atau tahun 867 tahun Candrasangkala, pada masa Citra. Waktu tersebut merupakan masa kehamilan kedua saudara Dewi Pramesthi yakni Dewi Pramuni dan Dewi Sasanti, sedangkan Dewi Pramesthi saat itu belum hamil (Tedjowirawan, 1985:33). Sumber lain menyebutkan bahwa Anglingdarma hidup pada saat jaman Kala Dwara (814-901) (Any, 1979:94). Pada buku yang berjudul “Penulisan Sejarah Jawa” kehidupan Anglingdarma diperkirakan berlangsung setelah tahun 1157 M. Hal tersebut dikarenakan pada tahun tersebut merupakan masa Jayabaya (Berg, 1974:144). Cerita mengenai Anglingdarma juga disajikan pada karya sastra Jawa lain seperti Sĕrat Kandhaning Ringgit Purwa dan Lakon ketoprak Setyawati Obong. Secara garis besar alur yang terdapat pada kedua karya sastra tersebut hampir memiliki kesamaan dengan alur cerita pada versi 1. Sama halnya dengan Tantri Kāmandaka, karya sastra Jawa Pertengahan ini hanya diceritakan mengenai kisah Ajidarma yang dimulai dari pertemuannya dengan naga betina hingga peristiwa membakar diri istrinya (Nugroho, 2003:182-186).
3
Anglingdarma diyakini sebagai tokoh legendaris yang sakti. Hal tersebut dibuktikan melalui versi 1 dan Sĕrat Purusangkara yang dinyatakan bahwa Anglingdarma merupakan titisan dewa Wisnu (versi 1; Sukari dan Suyami, 2011:21-22, Sĕrat Purusangkara; Tedjowirawan, 1985:37). Selain itu, kesaktian Anglingdarma juga dibuktikan dengan keahlian Anglingdarma yang dapat berbicara dengan hewan (versi 1; Sukari dan Suyami, 2011:25-26, versi 2; Pratomo, 1981:34-36, versi Tantri Kāmandaka; Mardiwarsito, 1983:108). Menurut masyarakat Bojonegoro, khususnya masyarakat Kecamatan Kalitidu meyakini petilasan Anglingdarma yang terdapat di Desa Wotan Ngare dianggap suatu tempat yang sakral. Di tempat petilasan tersebut diadakan sebuah ritual berupa sedekah bumi yang dilakukan di sekitar lokasi yang dianggap sebagai petilasan Anglingdarma tersebut (Sukari dan Suyami, 2011:13-14). Selain itu, juga ditemukan beberapa benda yang diyakini sebagai benda keramat dan masih berhubungan dengan kisah Anglingdarma. Peristiwa yang bersifat herois juga sering terjadi meski hanya dialami oleh orang-orang tertentu (Sukari dan Suyami, 2011:43-65). Pemerintah Bojonegoro berusaha mengembangkan lokasi petilasan Anglingdarma atau yang dikenal sebagai situs Mlawatan sebagai salah satu objek pariwisata daerah. Lokasi tersebut dijadikan aset pariwisata sebagai objek wisata terpadu yakni wisata air, ilmu pengetahuan, budaya, dan spiritual (Sukari dan Suyami, 2011:65-66). Sejauh pengamatan penulis, hingga kini Legenda Anglingdarma di Masyarakat Bojonegoro (PJPAB) dan SA tersebut belum pernah diteliti
4
perbandingan cerita dari segi alur dan tokoh. Oleh karena itu, penulis menggunakan objek tersebut untuk dijadikan sebagai bahan penelitian ini.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas maka rumusan permasalahan yang akan diteliti
adalah: 1. Bagaimanakah cerita Anglingdarma menurut versi masyarakat Bojonegoro dalam buku PJPAB dengan SA koleksi Perpustakaan Sasana Pustaka Surakarta? 2. Bagaimanakah perbandingan alur cerita dan penokohan Anglingdarma menurut versi masyarakat Bojonegoro dalam buku PJPAB dengan SA koleksi Perpustakaan Sasana Pustaka Surakarta?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini juga mempunyai beberapa tujuan, antara lain: 1. Menyajikan cerita legenda Anglingdarma yang berkembang di masyarakat Bojonegoro dalam buku PJPAB dengan serta SA koleksi Perpustakaan Sasana Pustaka Surakarta. 2. Membandingkan alur cerita dan penokohan Anglingdarma menurut masyarakat Bojonegoro dalam buku PJPAB dengan serta SA koleksi Perpustakaan Sasana Pustaka Surakarta.
5
1.4
Ruang Lingkup Penelitian Untuk menghindari pembahasan yang meluas, penelitian ini dibatasi.
Pembatasan tersebut dalam aspek objeknya adalah cerita lisan Anglingdarma di masyarakat Kota Bojonegoro Kecamatan Kalitidu Desa Wotan Ngare yang sudah direkonstruksi. Hasil rekonstruksi cerita lisan tersebut diterbitkan dengan judul PJPAB oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bojonegoro. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bab III Cerita Anglingdarma di Kabupaten Bojonegoro, khususnya bagian cerita Anglingdarma di Desa Wotan Ngare sebagai versi satu (1). Adapun objek versi dua (2) digunakan cerita Anglingdarma dari SA. Pada penelitian ini, data cerita dari SA hanya digunakan sebatas hasil transliterasi, sedangkan terjemahan dikerjakan oleh penulis. Kedua versi tersebut akan dibandingkan dengan fokus perbandingan nama tokoh, penamaan latar tempat, serta alur cerita. Selanjutnya hasil perbandingan tersebut akan dilengkapi dengan perbandingan dari Sĕrat Purusamgkara, Sĕrat Pustakaraja Madya, dll. secara sekilas.
1.5
Tinjauan Pustaka Cerita mengenai Anglingdarma juga diulas oleh G.W.J. Drewes pada
tahun 1975 dengan judul bukunya The Romance of King Ańliń Darma in Javanese Literature. Buku ini mengenai kisah Anglingdarma yang terdapat di berbagai karya sastra baik karya pada zaman Jawa Pertengahan maupun zaman Jawa Klasik. Contoh-contoh karya sastra yang diulas pada buku ini adalah Kidung Aji
6
Darma, Hikayat Shah Mardan, Hikayat Bayan Budiman, Sĕrat Kanda, Tantri Kāmandaka, dan karya sastra karangan Ranggawarsita. Pengalihbahasaan juga pernah dilakukan oleh Sujadi Pratomo dengan judul “Sěrat Anglingdarma” yang bekerja sama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah pada tahun 1981. Buku ini merupakan hasil dari alih bahasa sebuah naskah asli koleksi Perpustakaan Sasana Pustaka, Keraton Surakarta, Jawa Tengah yang terbagi menjadi dua bagian yakni jilid 1 dan jilid 2. Kemudian hasil penelitian ini menjadi objek penelitian versi 2. Begitu juga dengan Karsono H. Saputra yang pernah melakukan penelitian berjudul “Sěrat Anglingdarma Suntingan Teks dan Analisis Motif Kutukan”. Penelitian ini merupakan skripsi S1 Program Studi Sastra Daerah/Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia pada tahun 1988. Dari penelitian ini dijelaskan tentang kutukan yang diucapkan oleh seorang tokoh yang mempunyai ‘kasekten’ yakni ‘kutukan yang diucapkan secara tiba-tiba tanpa direncanakan lebih dahulu ketika sang tokoh disakiti hatinya’. Kutukan tersebut menimpa tokoh lain yang menyakiti hati tokoh pengucap kutukan. Peran kutukan yang terdapat pada SA adalah berfungsi sebagai penyebab terjadinya alur cerita. Kun Zachrun Istanti juga meneliti sebuah hikayat yang alur ceritanya hampir memiliki kesamaan dengan legenda Anglingdarma. Hikayat tersebut berjudul Hikayat Sahi Mardan yang kemudian berganti menjadi Syeh Begenda Mardan. Penelitian ini terdapat dalam jurnal Humaniora Nomor 9 Edisi Bulan November-Desember 1998 ISSN:0852 – 0801 dengan judul “Dari Hikayat Sahi
7
Mardan ke Syeh Begenda Mardan, Sebuah Transformasi:Penyimpangan atau Kewajaran?”. Pemikiran mengenai Anglingdarma juga dijelaskan oleh Akhmad Nugroho melalui Jurnal Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada yang berjudul Humaniora volume XV, No. 2/2003 ISSN:0852-0801 (tahun 2003). Judul tulisan tersebut adalah “Inovasi dalam Cerita Ketoprak Anglingdarma”. Tulisan ini menjelaskan perkembangan ketoprak khususnya ketoprak dengan tokoh Anglingdarma. Perkembangan ketoprak dengan tokoh Anglingdarma tersebut ditinjau melalui tiga buah cerita yakni Tantri Kāmadaka, Sĕrat Kandhaning Ringgit Purwa, dan lakon ketoprak Setyawati Obong. Ketiga buah cerita tersebut yang secara berurutan merupakan hasil karya sastra zaman Sastra Jawa Pertengahan, Sastra Jawa Klasik, dan Sastra Jawa Modern. Cerita Anglingdarma secara lisan juga pernah diteliti dan dibukukan oleh Sukari dan Suyami berjudul PJPAB. Buku ini membahas tentang gambaran umum wilayah petilasan Anglingdarma di desa Wotan Ngare baik dari letak geografi hingga sosial masyarakat, isi cerita Anglingdarma menurut lisan masyarakat Bojonegoro, serta menyajikan lokasi jejak petilasan tersebut. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan permintaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini digunakan sebagai tindak lanjut pengembangan Desa Wotan Ngare untuk menjadi daerah tujuan wisata. Hasil penelitian ini yang pada akhirnya menjadi objek penelitian versi 1. Hendy Yuniarto pernah melakukan penelitian tentang sasmita těmbang Dhandhanggula pada SA alih bahasa Sujadi Pratomo. Analisis penelitian ini
8
mengenai analisis morfologis, sintaksis, dan semantis khususnya komponen makna. Penelitian ini berjudul “Analisis Struktur dan Komponen Makna Sasmita Těmbang Dhandhanggula dalam Sěrat Anglingdarma”. Penelitian tersebut merupakan skripsi S1 yang dipublikasikan pada tahun 2011 oleh Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
1.6
Landasan Teori Karya sastra dianggap sebagai produk sosial dan fakta sosial yang dengan
sendirinya dipecahkan atas dasar kenyataan yang sesungguhnya (Ratna, 2012:11). Karya sastra tersusun atas dasar seperangkat sistem simbol, sedangkan sistem simbol itu sendiri memiliki arti apabila dipahami melalui konvensi institusi (Culler, 1997:5 dalam Ratna, 2012:337). Ilmu sastra meneliti sifat-sifat yang terdapat di dalam teks-teks sastra (Luxemburg, 1984:2). 1.6.1
Sastra Lisan Endraswara mengemukakan bahwa sastra lisan adalah karya yang
penyebarannya disampaikan dari mulut ke mulut secara turun temurun. Menurutnya ciri-ciri sastra lisan antara lain:(1) lahir dari masyarakat yang polos, belum melek huruf, dan bersifat tradisional; (2) menggambarkan budaya milik kolektif tertentu, yang tak jelas siapa penciptanya; (3) lebih menekankan aspek khayalan, ada sindiran, jenaka, dan pesan mendidik; (4) sering melukiskan tradisi kolektif tertentu. Di samping ciri-ciri tersebut, ada ciri lain yang agak umum, yakni:(a) sastra lisan banyak mengungkapkan kata-kata atau ungkapan –ungkapan klise dan (b) sastra lisan sering bersifat menggurui (Endraswara, 2003:151).
9
Sastra lisan merupakan salah satu bagian dari folklor. Kata folklor berasal dari bahasa Inggris yaitu folklore. Kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Kata folk memiliki arti yang sama dengan kata kolektif. Menurut Alan Dundes, ‘folk’ adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Sedangkan ‘lore’ adalah ‘tradisi folk’, yaitu ‘sebagian kebudayaannya yang diwariskan secara turun temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device)’. Definisi folklor secara keseluruhan adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun di antara berbagai macam kolektif, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1984:1-2). Dari semua bentuk atau genre folklor yang paling banyak diteliti para ahli folklor adalah cerita prosa rakyat. Menurut Willian R. Bascom, cerita prosa rakyat dapat dibagi dalam tiga golongan besar, yaitu:1) mite (myth), 2) legenda (legend), dan 3) dongeng (folktale) (Bascom, 1965b:4 dalam Danandjaja. 1984:50). Menurut Bascom, mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benarbenar terjadi serta dianggap suci dengan tokoh dewa atau makhluk setengah dewa. Legenda adalah prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci dengan tokoh manusia. Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi dan tidak terikat waktu maupun tempat (Bascom, 1965b:3-20 dalam Danandjaja, 1984:50)
10
1.6.2
Struktur Cerita Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini
berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual’ cerita (Stanton, 2007:22). Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal. Peristiwa kausal merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan. Hal tersebut dikarenakan akan berpengaruh tidak hanya pada hal-hal yang fisik seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap karakter kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya (Stanton,2007:26). Robert Stanton (2007:28) menjelaskan bahwa alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen lain, alur dapat membuktikan dirinya sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis. Sebuah cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa
yang
mempertautkan
alur,
hubungan
kausalitas,
dan
keberpengaruhannya. Dua elemen dasar yang membangun alur adalah konflik dan klimaks. Setiap karya fiksi setidaknya memiliki ‘konflik internal’ (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang karakter atau seorang karakter dengan lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu ‘konflik utama’ yang bersifat eksternal maupun internal. Konflik utama selalu bersifat
11
fundamental, membenturkan sifat-sifat dan kekuatan-kekuatan tertentu seperti kejujuran dengan kemunafikan, kenaifan dengan pengalaman, atau individualitas dengan kemajuan beradaptasi. Klimaks adalah saat konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan (Stanton, 2007:31-32).
1.7
Metode Penelitian Metode berasal dari bahasa Latin yakni methodos yang berasal dari akar
kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah, sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah. Dalam pengertian yang lebih luas metode dianggap sebagai cara-cara, strategi, untuk memahami realitas, langkahlangkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya. Sebagai alat, sama dengan teori, metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah, sehingga lebih mudah dipecahkan dan dipahami (Ratna, 2012:34). Secara etimologis metodologi berasal dari methodos dan logos, yaitu filsafat atau ilmu mengenai metode. Metodelogi membahas prosedur intelektual dalam totalitas komunitas ilmiah. Prosedur yang dimaksudkan terjadi sejak peneliti menaruh minat terhadap objek tertentu, menyusun proposal, membangun konsep dan model, merumuskan hipotesis dan permasalahan, mengadakan pengujian teori, menganalisis data, dan akhirnya menarik kesimpulan. Berbeda dengan metode, metodologi tidak berkaitan dengan teknik-teknik penelitian, melainkan dengan konsep-konsep dasar logika secara keseluruhan. Metode
12
deskripsi, komparasi, struktural, dan sebagainya digunakan dalam kedua bidang ilmu, tetapi dasar dan cara pemahamannya serta prosedur pemahaman tersebut dibangun berbeda (Ratna, 2012:34-35). Metode penelitian bidang ilmiah menyangkut cara-cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran penelitian yang bersangkutan (Hasan dalam Koentjaraningrat, 1977:7-8). Menurut Sudaryanto (1993:5) dalam upaya penelusuran masalah, terdapat tiga tahapan upaya strategis yang berurutan, yakni:penyediaan data, penganalisisan data yang telah disediakan, dan penyajian hasil analisis data yang bersangkutan. Sesuai dengan teori yang digunakan, tahaptahap penelitian yang dilakukan antara lain: 1.7.1
Tahap Penentuan Objek Penelitian Sebelum menentukan data penelitian, dilakukan pengamatan dan
penelusuran, salah satunya adalah dengan wawancara salah satu tokoh masyarakat. Berdasarkan wawancara terebut didapatkan data yang berkaitan dengan tujuan umum
penelitian
yakni mengenai
Legenda Masyarakat
Anglingdarma yang berkembang di Masyarakat Bojonegoro. Data tersebut berupa sebuah buku PJPAB yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sukari dan Suyami pada tahun 2011. Selanjutnya buku tersebut menjadi salah satu objek penelitian ini. Penelusuran di perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada juga dilakukan oleh penulis. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan objek yang akan dibandingkan dengan objek lain yang berkembang di masyarakat Bojonegoro. Dari penelusuran tersebut ditemukan Sĕrat Anglingdarma alih
13
bahasa Sujadi Pratomo jilid 1 dan 2. Objek ini kemudian menjadi objek kedua dalam penelitian ini.
1.7.2
Tahap Pengumpulan Data Tahap pengumpulan data merupakan suatu proses pengumpulan data
sebelum dilakukan penganalisisan. Setelah data terkumpul dan ditetapkan sebagai objek penelitian, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengumpulan data dengan cara studi pustaka. Data yang didapat untuk penelitian tersebut antara lain PJPAB dan SA.
1.7.3
Tahap Analisis Data Tahap analisis data merupakan proses penganalisisan setelah data
terkumpul. Tahap analisis data dilakukan dengan cara studi pustaka dari kedua data yang telah ditentukan. Untuk penelitian ini, metode penganalisisan data dilakukan dengan cara metode deskriptif analisis (Faruk, 2012:53). Metode deskriptif analisis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta cerita yang kemudian disusul dengan analisis. Mula-mula data dideskripsikan, dengan maksud untuk menemukan unsur-unsurnya, kemudian dianalisis. Selanjutnya dilakukan metode deskriptif komparatif yang digunakan untuk membandingkan legenda Anglingdarma menurut kedua versi. Deskriptif komparatif pada penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel. Hal tersebut digunakan untuk mempermudah peneliti dalam membandingkan data yang digunakan.
14
Oleh karena itu sesuai dengan teori Ratna (2012:42-45), penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis komparatif. Metode tersebut merupakan penggabungan metode deskriptif analisis dan metode deskriptif komparatif. Penggabungan kedua metode terebut sesuai dengan proses penganalasisan penelitian ini. Untuk teknik penulisan disesuaikan dengan teori yang telah dikembangkan oleh Panuti Sudjiman dan Dendy Sugono.
1.7.4
Menarik Kesimpulan Hasil akhir dari penelitian ini berupa kesimpulan yang diperoleh dari BAB
I hingga BAB V. Penarikan kesimpulan bertujuan untuk mengetahui hasil yang diperoleh selama penelitian.
1.8
Sistematika Penyajian Sistematika penyajian dalam penelitian ini akan diuraikan dalam lima Bab.
Keterangan Bab tersebut antara lain: Bab I
Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta sistematika penyajian. Bab II Rangkuman Legenda Anglingdarma Versi Cerita Rakyat Masyarakat Bojonegoro dan Versi Sěrat Anglingdarma Koleksi Perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta. Bab ini berisi tentang isi rangkuman cerita Legenda Anglingdarma sesuai dengan kedua versi.
15
Bab III Perbandingan Isi Legenda Anglingdarma Versi Cerita Rakyat Masyarakat Bojonegoro dan Versi Sěrat Anglingdarma Koleksi Perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta. Bab ini berisi tentang perbandingan kedua versi karya sastra yang disajikan dalam bentuk tabel beserta keterangannya. Bab IV Analasis Perbandingan Legenda Anglingdarma Versi Cerita Rakyat Masyarakat Bojonegoro dan Versi Sěrat Anglingdarma Koleksi Perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta. Bab ini berisi tentang analisis dan penjelasan tentang perbedaan kedua versi. Bab V Penutup yang berisi kesimpulan hasil pembahasan Bab I – Bab V dan saran. Pada bagian akhir penelitian ini disajikan daftar pustaka.