BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
As the nation state descends into paralysis and democratic dysfunction, cities are reemerging as problem solvers going boldly where states no longer dare to go -The Guardian-1 Pada Oktober 2005, Walikota London Ken Livingstone mengumpulkan perwakilan 18 kota besar dunia untuk membuat kesepakatan bersama terkait usaha mengatasi permasalahan perubahan iklim global. Inisiasi tersebut datang dari Walikota London Ken Livingstone melalui pembuatan London Climate Action Plan, program ini merupakan program internal dari London. Namun, Livingstone melihat bahwa program tersebut dapat berjalan dengan efektif jika mereka dapat bekerja sama dengan kota lain untuk melakukan program serupa. Pertemuan ini diakhiri dengan penandatanganan sebuah communiqué yang kemudian menjadi landasan kota-kota besar dunia untuk melakukan kerjasama dalam mengurangi emisi global. Pada tahun 2006, kerjasama ini sudah mencakup 40 kota, yang kemudian melahirkan nama C40 Cities Climate Leadership Group sebagai nama resmi organisasi ini. C40 merupakan sebuah kerjasama transnasional yang terdiri dari kumpulan kota-kota besar dunia (global megacities) yang memiliki agenda untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim global.2 Kota merupakan pusat kegiatan ekonomi, industri dan pusat pemerintahan suatu negara. Dalam beberapa tahun terakhir hubungan antar kota-kota di dunia menjadi semakin intens di dalam beberapa aspek, seperti aspek ekonomi, budaya, lingkungan hidup, dan aspek lainnya yang ditandai dengan dibentuknya beberapa perjanjian kerjasama di antara mereka. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh McKinsey Global Institute, hampir seluruh aktivitas ekonomi dunia diwakili oleh kurang lebih 400 kota di dunia.3 Hal ini membuktikan bahwa kota dan pemimpin lokal saat ini merupakan salah satu aktor penting dalam politik internasional. Globalisasi memberikan ruang kepada pemerintahan kota untuk ikut serta di 1
The Guardian, From US to China: The Fall of Nations and The Rise of Cities (daring)
, diakses pada 11 Oktober 2014. 2 C40 Cities, History of The C40 (daring), , diakses pada 11 Oktober 2014. 3 Quartz, Nations Are No Longer Driving Globalization, Cities Are (daring), , diakses pada 15 Oktober 2014.
1
dalam politik internasional, sehingga menyebabkan peranan kota semakin krusial karena dapat memberikan dampak global melalui kebijakan lokalnya. Isu mengenai lingkungan menjadi salah satu isu penting dalam hubungan internasional. Ekosistem global merupakan sesuatu yang saling berkaitan satu sama lainnya, hal ini menyebabkan perilaku aktor di dalam satu bagian sistem akan mempengaruhi bagian lainnya. Bersama dengan asumsi ini, penulis melihat permasalahan lingkungan global yang terjadi saat ini merupakan ‘collective-action problems’ dan solusi terhadap permasalahan tersebut adalah dengan pembentukan institusi internasional atau rezim internasional. Rezim Perubahan Iklim Internasional
Rezim Perubahan Iklim Internasional
Yang Beranggotakan Negara
Yang Beranggotakan Kota
Protokol Kyoto, UNEP, Long Range Transboundary Air Pollution (LRTAP), Intergovernmental Panel On Climate Change (IPCC), UNFCCC, Montreal Protocol on Substances that Deplete the ozon layer, dll.
C40 Cities Climate Leadership Group, CCP, ICLEI, dll.
Jika kita cermati, sudah banyak perundingan-perundingan dan rezim internasional terbentuk terkait permasalahan perubahan iklim. Dari keseluruhan kerjasama atau rezim internasional yang ada biasanya didominasi dan beranggotakan negara. Namun, semenjak tahun 1990an kerjasama transnasional antar kota semakin berkembang dan bertambah jumlahnya. Penulis tertarik untuk meneliti C40 karena kerjasama ini terdiri dari kota-kota besar dunia (global megacities) yang dalam beberapa tahun terakhir menjadi aktor penting di dalam politik internasional. Selain itu, menurut kalkulasi, kerjasama transnasional yang dipimpin oleh kota ini setara dengan penyumbang emisi terbesar nomor lima di dunia.4 Sejauh ini terhitung tahun 2014, sudah terdapat 8068 climate actions yang sudah dilakukan oleh kota-kota C40. Walaupun terhitung baru berdiri, C40 yang beranggotakan global megacities ini dapat menarik banyak organisasi lain untuk bekerjasama dan berkembang dengan sangat pesat selama beberapa tahun terakhir. Penulis tertarik untuk meneliti peranan C40 Cities di dalam isu perubahan iklim global, dan berusaha menganalisa faktor apa saja yang menyebabkan kota aktif di dalam isu 4
C40, New Research: Cities Have The Potential to Help Close The Emissions Gap (daring), , diakses pada 17 Oktober 2014.
2
perubahan iklim global. Untuk mempermudah analisa, penulis akan menggunakan teori Paradiplomasi dan Multilevel Governance approach untuk melihat bagaimana mereka bisa muncul sebagai aktor penting baru dan kepentingan apa yang dibawa oleh kota-kota di dalam kerangka kerjasama C40 ini.
1.2 Rumusan Masalah Pertanyaan penelitian yang penulis angkat dalam skripsi ini adalah “Mengapa kota ikut berpartisipasi aktif dalam kerangka kerjasama C40 Cities Climate Leadership Group di dalam isu perubahan iklim global?”
1.3 Landasan Konseptual a.
Paradiplomasi Terminologi paradiplomasi digunakan untuk menunjuk aktifitas-aktifitas diplomasi
yang dilakukan oleh aktor subnasional yang bersifat pararel, terkoordinasi, pelengkap terhadap, atau bahkan terkadang bertentangan dengan diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Paradiplomasi sendiri dilakukan oleh pemerintahan lokal yang bekerjasama dengan pemerintah negara lain dan aktor transnasional lainnya dalam rangka mencapai kepentingannya. Berbeda dengan kebijakan luar negeri dari negara, paradiplomasi tidak bertujuan untuk mempertahankan kepentingan yang sifatnya menyeluruh, seperti kepentingan nasional pada negara, melainkan paradiplomasi biasanya fokus pada isu-isu tertentu.5 Berakhirnya perang dingin menyebabkan munculnya banyak aktor non-negara sebagai bagian penting dalam hubungan internasional. Dalam hubungan internasional, nation-states merupakan aktor dominan sebagai akibat dari westphalian system. Sejak berakhirnya perang dunia kedua dominasi negara secara berangsur-angsur mulai tertandingi oleh aktor-aktor lain. Globalisasi menyebabkan persebaran arus informasi, pengaruh dan ancaman terhadap sesuatu bergerak dengan sangat cepat dan melewati batas-batas negara. Hal ini menyebabkan terjadinya diffusion of power di dalam struktur internasional. Diffusion of power sebagaimana diungkapkan oleh Joseph Nye, merupakan peristiwa dimana power yang tadinya didominasi oleh aktor negara mulai bergeser ke aktor non-negara dan 5
. K. Ariadi, Paradiplomasi, Otonomi Daerah, dan Hubungan Luar Negeri (daring), , Perencanaan Pembangunan no. 21 September/oktober 2000, diakses pada 17 April 2015.
3
pemerintah lokal.6 Munculnya aktor-aktor baru, seperti MNCs, NGOs, aktor supranasional (EU, NAFTA), dan aktor subnasional menjadi salah satu topik penting dalam hubungan internasional. Pemahaman yang komprehensif terkait perubahan dan munculnya aktor baru dalam hubungan internasional dapat memudahkan kita dalam memahami sebuah fenomena secara utuh. Berbeda dengan MNC dan NGO yang merupakan aktor non-negara, kota merupakan aktor yang karakteristiknya mirip dengan negara. Kota atau aktor subnasional tadinya hanya dilihat sebagai objek dalam politik internasional. Jika kita lihat sekarang kota mulai bertransformasi menjadi salah satu aktor penting dalam politik internasional. Diplomasi yang dilakukan oleh sub-state actor dalam hubungan internasional sendiri disebut sebagai paradiplomasi. Terdapat dua pertanyaan penting untuk memahami paradiplomasi, pertama faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya praktek paradiplomasi dan kedua apa kepentingan dari aktor subnasional ikut serta di dalam politik internasional. Untuk pertanyaan pertama, terdapat faktor eksternal dan internal yang menyebabkan terjadinya paradiplomasi. Faktor eksternal tersebut meliputi:7 a.
Globalisasi Globalisasi merupakan fenomena besar yang bisa dibilang mempengaruhi segala aspek di dalam politik internasional maupun politik domestik. Globalisasi dalam hal ini dianggap sebagai faktor eksternal utama yang menyebabkan hilangnya batas-batas negara dan memberikan aktor subnasional kesempatan lebih untuk ikut serta dalam beberapa aspek seperti aspek ekonomi, budaya, dan politik sebagaimana globalisasi juga menyebabkan munculnya aktor lain selain negara.
b.
Demokratisasi Gelombang demokratisasi dunia menyebabkan transformasi politik dari rezim otoriter ke rezim demokrasi. Fenomena paradiplomasi sendiri merupakan fenomena pembuatan kebijakan yang sifatnya plural karena melibatkan banyak aktor dari berbagai level pemerintahan yang tentunya tidak mungkin terjadi jika negara masih menggunakan sistem yang otoriter. Sehingga, beberapa ahli melihat ada korelasi
6
J.S. Nye. The Future of Power, Public Affairs, New York, 2011. Hlm. 118. A.S. Kuznetsov, Theory and Practice of Paradiplomacy: Subnational Governments in International Affairs, Routledge, New York, 2015, hlm 102‐104. 7
4
antara demokratisasi dan paradiplomasi. Hal ini digambarkan oleh keadaan aktor subnasional di Rusia. Pasca runtuhnya rezim komunis pada tahun 1991, aktor-aktor subnasional di Rusia mulai lebih aktif dan memiliki peranan yang besar di dalam politik domestik maupun politik internasional.
c.
Foreign policy domestication and internalization of domestics politics Penyebab eksternal lain dari munculnya fenomena paradiplomasi adalah mulai kaburnya antara permasalahan domestik dan internasional dan permasalahan low politics dan high politics. Maksudnya di sini adalah banyak sekali beberapa permasalahan domestik yang sekarang ini memberikan dampak terhadap politik internasional atau bahkan menjadi salah satu permasalahan utama di dalam politik internasional karena disebabkan oleh berbagai faktor. Kaburnya beberapa permasalahan tersebut menyebabkan aktor subnasional pada akhirnya sering terlibat aktif di dalam politik internasional.
Faktor Internal:8 a. Federalisasi dan desentralisasi Federalisasi dan desentralisasi di beberapa negara menyebabkan kewenangan dari aktor subnasional menjadi lebih besar. Sebagai contoh, mulai munculnya aktivitas paradiplomasi yang dilakukan oleh aktor subnasional di Amerika Serikat disebabkan oleh strategi “new federalism” yang dibuat oleh Presiden Nixon pada tahun 1970-an. Proses pemberian wewenang yang lebih kepada aktor subnasional dianggap sebagai faktor penting terjadinya paradiplomasi.
b. Ketidakefektivan kinerja pemerintah pusat dalam menjalankan politik luar negeri Faktor internal lainnya adalah kurangnya atau buruknya performa pemerintah pusat dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Dalam beberapa permasalahan yang ada aktor subnasional terkadang memiliki pengalaman, pengetahuan, serta sumber daya yang lebih dibandingkan dengan pemerintah pusat. Hal ini menyebabkan banyak aktor subnasional yang aktif dalam politik internasional pada isu-isu tertentu.
8
A.S. Kuznetsov. Hlm. 105‐108.
5
c. Asymmetry of constituent units Hal yang menarik dari munculnya paradiplomasi adalah disebabkan oleh munculnya beberapa aktor subnasional yang secara kekuatan ekonomi ternyata sama atau bahkan lebih besar dari negara. Sebagai contoh, California jika dihitung secara GDP ternyata sama dengan negara besar seperti Italia. Aktor subnasional menjadi pusat ekonomi dan perdagangan dunia sehingga menyebabkan mereka memiliki peranan lebih di dalam politik internasional.
d. Peran pemimpin kota/daerah Faktor internal terakhir adalah kuatnya peranan dari pemimpin daerah dalam proses paradiplomasi. Beberapa pemimpin kota, terutama kota-kota besar biasanya memiliki jaringan dengan pemimpin di kota lain yang menyebabkan jaringan antara pimpinan pemerintah kota memiliki peranan yang besar dalam politik internasional. Sedangakan, terdapat setidaknya empat kepentingan yang mendorong aktor subnasional untuk ikut serta di dalam politik internasional:9 a. Kepentingan ekonomi Kepentingan ekonomi ini adalah keinginan dari aktor subnasional untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal dari ekonomi bebas dunia saat ini dengan cara menjalin kerjasama dengan aktor lain di dalam politik internasional. b. Kepentingan budaya Kepentingan ini muncul akibat keinginan dari aktor subnasional untuk menjalin kerjasama dengan negara yang memiliki kemiripan budaya ataupun berbeda budaya agar terjadi proses pertukaran nilai-nilai budaya yang mereka miliki. c. Kepentingan politik Kepentingan politik biasanya dimiliki oleh aktor-aktor subnasional yang ingin memisahkan diri dari negaranya dengan cara menjalin hubungan dengan aktor di dalam politik internasional agar mendapat dukungan atas kemerdekaan yang mereka cita-citakan. d. Outside stimulus Selain tiga hal tersebut, terdapat kepentingan yang sifatnya dari luar sebagai akibat dari kejadian di tempat lain yang mempengaruhi keadaan kota tersebut. 9
A.S. Kuznetsov. Hlm. 109‐110.
6
Sebagai contoh, permasalahan-permasalahan cross border seperti, lingkungan, transportasi, imigrasi, dan lain-lain membutuhkan peranan aktor subnasional dalam mengatasinya di level internasional. b.Multilevel Governance Approach Pendekatan Multilevel Governance melihat hubungan antar level pemerintahan mengalami perubahan dalam beberapa tahun terakhir. Desentralisasi menyebabkan negara tidak lagi menjadi aktor tunggal yang memiliki kuasa dan akses penuh dalam proses pembuatan kebijakan. Akibatnya pemerintah lokal memiliki kuasa yang lebih dalam memformulasikan kebijakan baik keluar maupun ke dalam. Perubahan ini menyebabkan pemerintahan (governance) menjadi lebih kompleks sebagai akibat dari keikutsertaan banyak stakeholders dari berbagai level pemerintahan.10 Lisbet Hooghe and Gary Marks berpendapat terdapat dua tipe pendekatan multilevel governance. Pertama, (Tipe I) terjadi persebaran kewenangan (authority) kepada beberapa level (tiers of governance). Di dalam pendekatan tipe pertama ini, terdapat hirarki antar masing-masing tingkatan kewenangan dengan meletakkan negara tetap menjadi central authority dalam pembuatan kebijakan baik itu di tingkat domestik maupun internasional. Sehingga, posisi governance yang terbentuk tetap dibawah negara.11 Tipe kedua pendekatan multilevel governance melihat dalam suatu isu terdapat beberapa governance dan aktor lain yang sama-sama bekerja untuk mengatasi suatu isu melalui tingkatan pemerintahannya masing-masing. Jika pendekatan tipe pertama fokus pada perubahan pada tingkatan kewenangan (authority), yakni persebaran kewenangan kepada supranational dan subnational. Tipe kedua pendekatan ini melihat governance yang terbentuk sebagai new spheres of authority yang terlepas dari tingkatan kewenangan karena tidak terdapat hirarki di dalamnya. Governance baru yang terbentuk nantinya tidaklah berada di bawah pemerintah pusat tetapi berada di wilayah kewenangan yang berbeda.12 Hooghe and Marks melihat pendekatan tipe pertama dapat digunakan untuk menggambarkan persebaran kewenangan di dalam federal states, seperti Amerika Serikat dan Australia. Sedangkan, pendekatan tipe kedua melihat bahwa pemerintah lokal dan network 10
OECD, Multilevel Governance and Public Finance (Daring), diakses pada 17 Oktober 2014. 11 L. Hooghe and G. Marks, Types of Multi‐level Governance, European integration Online Papers Vol 5, No 11, 2001, p. 4. 12 L. Hooghe and G. Marks, p. 4.
7
yang terbentuk di antara mereka dapat bergerak sebagai aktor transnasional yang independen.13 Sehingga penulis akan menggunakan tipe kedua dari pendekatan multilevel governance untuk menganalisa C40 sebagai transnational network yang bergerak secara independen dari kota-kota besar di dunia dalam politik lingkungan global.
1.4 Argumen Utama Tidak efektifnya rezim lingkungan Internasional yang dipimpin oleh negara menyebabkan kota-kota mulai aktif terlibat di dalam kerangka kerjasama global untuk secara kolektif berusaha mengatasi permasalahan perubahan iklim. Ditambah lagi, sebagaimana menurut kaum functionalist, kepentingan ekonomi menjadi alasan kota semakin berperan aktif di dalam kerangka kerjasama C40 dalam usaha mengatasi permasalahan perubahan iklim.
1.5 Metode Penelitian Penulis akan menggunakan metode penelitian kualitatif untuk menganalisa permasalahan yang akan diteliti. Analisa akan bertumpu pada penggunakan dua teori utama, yakni teori paradiplomasi dan multilevel governance approach untuk berusaha menjawab fenomena munculnya kota sebagai aktor penting di dalam politik lingkungan global saat ini. Hal tersebut akan didukung oleh data-data mengenai peran dan kontribusi kota-kota dunia dalam kerjasama transnasional C40 dalam mengatasi permasalahan perubahan iklim global. Analisa terkait faktor-faktor pendukung penyebab terjadinya kerjasama antar kota dalam isu perubahan iklim global serta kepentingan kota ikut serta di dalam isu tersebut juga akan mendukung analisa di dalam skripsi ini.
1.6 Sistematika Penulisan Di dalam skripsi ini penulis akan membaginya menjadi empat bab, yakni: Bab I: Penulis akan menjelaskan tentang latar belakang munculnya C40 sebagai salah satu aktor dalam Politik Lingkungan Global. 13
M.M. Betsill and H. Bulkeley, Cities and the Multilevel Governance of Global Climate Change, Global Governance, Vol.12 , No. 2, Apr‐June 2006, p. 141‐159.
8
Bab II: Pembahasan akan berfokus pada peran kota-kota besar dunia (global megacities) di dalam formasi kerjasama internasional antar kota C40 Cities Climate Leadership Group dalam upayanya mengatasi permasalahan perubahan iklim global Bab III: Pembahasan akan berfokus pada analisa faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kota dapat aktif di dalam praktek politik lingkungan global dan faktor apa yang mendorong kota untuk aktif di dalam isu tersebut. Bab IV: Penutup
9