1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hubungan keluarga yang diikat oleh suatu tali perkawinan yang sah, bila dilihat dari segi kerohanian dan keagamaan merupakan suatu perjanjian yang suci (sakral), yang bukan saja disaksikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, tetapi juga dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Keluarga merupakan satu institusi terkecil dalam suatu masyarakat. Sebuah keluarga terbentuk dengan adanya ikatan perkawinan dan diharapkan ikatan perkawinan dapat bertahan seumur hidup. Artinya, dalam perkawinan yang ideal, perceraian baru terjadi apabila salah seorang (suami atau istri) meninggal dunia. Namun, dalam kenyataannya, tidak selamanya pasangan suami istri akan mengalami kehidupan keluarga yang sakinah.1 Adakalanya, suami atau istri tidak melaksanakan kewajibannya atau terjadi perselisihan yang membahayakan ikatan perkawinan. Kondisi tersebut kadang-kadang masih bisa diselesaikan dengan jalan damai, sehingga di antara keduanya bisa rukun kembali. Adakalanya, perselisihan dan percekcokan tersebut berlarut-larut dan tidak dapat didamaikan kembali. Apabila perkawinan yang demikian dilanjutkan maka pembentukan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera seperti yang disyariatkan agama pasti tidak
1
Ahmad Azlir Basyir. Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1995), hlm. 1.
1
2
akan terwujud, dan lebih ditakutkan lagi apabila terjadi perpecahan antara keluarga kedua belah pihak.2 Umumnya setiap orang yang akan berkeluarga pasti mengharapkan akan terciptanya kebahagiaan dan keharmonisan dalam rumah tangganya. Namun kanyataanya tidak selalu sejalan dengan harapan semula. Ketegangan dan konflik kerap kali muncul, perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, saling mengejek atau bahkan memaki pun lumrah terjadi, semua itu sudah semestinya dapat diselesaikan secara arif dengan jalan bermusyawarah, saling berdialog secara terbuka. Dan pada kenyataannya banyak persoalan dalam rumah tangga meskipun terlihat kecil dan sepele namun dapat mengakibatkan terganggunya keharmonisan hubungan suami istri. Sehingga memunculkan apa yang biasa kita kenal dalam hukum Islam dengan istilah Nusyuz. Apabila suatu ikatan perkawinan sudah tidak mampu lagi untuk dipertahankan, rumah tangga yang mereka bina tidak lagi memberikan rasa damai dan bahagia, upaya telah dilakukan untuk mempertahankan perkawinan tetapi tidak berhasil, maka untuk menjaga hubungan keluarga jangan terlalu rusak dan berpecah-pecah, maka agama Islam mensyariatkan perceraian sebagai jalan keluar bagi suami istri yang telah gagal mendayungkan bahtera rumah tangganya, sehingga dengan demikian,
2
hlm. 38.
Khoirudin Nasution. Hukum Perkawinan (Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2004),
3
hubungan antara orangtua dan anak-anaknya, antara famili dengan famili, demikian pula dengan masyarakat sekeliling tetap berjalan baik. Dalam sebuah pernyataan, meskipun Islam mensyariatkan perceraian, itu bukanlah berarti bahwa agama Islam menyukainya atau sekurangkurangnya bersikap pasif terhadap kemungkinan-kemungkinan terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Akan tetapi, agama Islam tetap memandangnya sebagai sesuatu yang musykil sesuatu yang tidak diingini terjadinya karena bertentangan dengan azas-azas hukum Islam.3 Apabila dipahami dari pernyataan dalam azaz tersebut, baru pada taraf menduga saja seorang suami sudah boleh mengklaim istrinya melakukan Nusyuz, jelas posisi istri dalam hal ini rentan sekali sebagai pihak yang dipersalahkan. Istri tidak memiliki kesempatan untuk melakukan pembelaan diri, apalagi mengkoreksi tindakan suaminya. Sebaliknya, suami mempunyai kedudukan yang sangat leluasa untuk menghukumi apakah tindakan istrinya sudah bisa dikatakan sebagai Nusyuz atau tidak. Dengan mengabaikan hak suami, yang sebenarnya menjadi kewajiban istri, secara otomatis istri mengabaikan dan meninggalkan kewajibannya seperti untuk melakukan hubungan intim atau biologis, artinya dengan secara sengaja istri membiarkan suami berlarut-larut dalam penderitaan batin. Perbuatan istri itu bertentangan dengan kemaslahatan yang menjadi trade mark hukum Islam, dimana suami kecuali kepada istri yang sah adalah dikatakan berzina jika menyalurkan kebutuhan batin kepada wanita lain. Jadi, 3
Ahmad Azlir Basyir. Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1995), hlm. 1
4
apabila kemaslahatan dalam perkawinan tersebut sudah tidak mungkin dicapai maka perceraian adalah cara terbaik untuk kedua belah pihak.4 Walaupun
maksud
dari
perkawinan
adalah
untuk
mencapai
kebahagiaan dan kerukunan hati masing-masing, namun kebahagiaan itu tidak akan tercapai kalau tidak ada kesesuaian, sebab kebahagiaan itu tidak dapat dipaksakan, dan memaksakan kebahagiaan bukanlah sebuah kebahagiaan, tetapi penderitaan. Di sinilah yang menjadi nilai penting dari penelitian dalam skripsi ini nanti, disamping untuk mengetahui sampai di mana Perlakuan dan Hak-hak Suami dalam memperlakukan istrinya yang Nusyuz sekaligus menegaskan adanya kemungkinan sanksi pidana atas suami yang melampaui batas-batas haknya tersebut. Hal ini dengan tujuan untuk melindungi istri dari tindakan sewenang-wenang suami. Apalagi dengan adanya rencana untuk menjadikan persoalan pidana dalam rumah tangga menjadi wewenang pengadilan agama. Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis berkeinginan untuk mengadakan penelitian tentang “PERLAKUAN DAN HAK-HAK SUAMI DALAM MEMPERLAKUKAN ISTRI SAAT NUSYUZ ” B. Ruang Lingkup Pembahasan atau Pembatasan Masalah Fokus penelitian ini merupakan penentu dalam mewujudkan perumusan masalah. Sesuai dengan judul dan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah terfokus pada batasan hak-hak suami dalam memperlakukan istri yang Nusyuz dan 4
Asyumi, A. Rahman, Kaidah-Kaidah Fiqih (Qawaidul Fiqhiyah), Cet. I Jakarta: Bulan Bintang, 1976, hlm. 75
5
ketentuan sanksi pidana dalam menindak suami yang melampaui batas-batas haknya tersebut. C. Rumusan Masalah Untuk membatasi pembahasan skripsi ini, penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apa batas hak-hak suami dalam memperlakukan istri sedang Nusyuz ? 2. Bagaimana ketentuan Nusyuz dalam kompilasi hukum islam ?. D. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui perlakuan dan hak-hak suami dalam memperlakukan istri sedang Nusyuz. 2. Untuk mengetahui ketentuan Nusyuz dalam kompilasi hukum islam. E. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana ilmu untuk mengembangkan wacana berpikir umat tentang hukum islam, khususnya untuk lembaga dan masayarakat dalam mengetahui Perlakuan dan Hak-hak Suami dalam memperlakukan istri saat Nusyuz. 2. Manfaat Praktis a. Sebagai sumbangan pemikiran dalam persoalan Nusyuz agar lebih dalam tentang pengetahuan hukum islam.
6
b. Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan Islam khususnya dalam bidang keluarga Islam. F. Penegasan Istilah Untuk menghindari istilah perlu diberi penegasan dari penjelasan istilah yang memberi informasi yang jelas tentang arah dan tujuan penelitian. Maka penulis perlu memberi penjelasan tentang arti atau makna dari beberapa istilah tersebut yaitu : 1. Perlakuan dan Hak-Hak Suami Istri Hak Suami Istri adalah wewenang yang dimiliki suami untuk menuntut sesuatu kepada istri yang dikehendakinya sesuai dengan kebenaran menurut hukum yang sah. Hak disini bisa lebih cenderung milik.5 Jadi hak suami merupakan kewajiban istri ataupun sebaliknya hak istri adalah kewajiban suami dalam menjalankan kehidupan rumah tangga. 2. Nusyuz Nusyuz adalah suatu tindakan bangkit melawan suami dengan kebencian dan mengalihkan pandangan dari suaminya.6 Dari penegasan istilah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Perlakuan dan Hak-hak Suami dalam memperlakukan istri saat Nusyuz adalah batas-batas hak wewenang yang dimiliki suami terhadap istrinya untuk melakukan tindakan ketika sang istri sedang membangkang terhadap suami .
5
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak, (Jakarta : Sinar Grafika Offset. 2009), hlm. 124 6 Ibid.,hlm. 128
7
G. Kajian Pustaka Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan menjelaskan tentang “Perlakuan dan Hak-hak Suami Dalam Memperlakukan Istri Saat Nusyuz”.Sebagai bahan acuan dan perbandingan, peneliti telah menemukan 3 skripsi yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, antara lain berjudul : 1. Tinjauan Yuridis Mengenai Perlakukan Suami Terhadap Suami Istri Saat Nusyuz Berdasarkan Hukum Islam”,oleh Dewi Sasmita (Mahasiswa Universitas Jember). Skripsi tersebut membahas tentang Perlakukan Suami Terhadap Suami Istri Saat Nusyuz Berdasarkan Hukum Islam. Perbedaan dengan skripsi ini adalah membahas tentang Perlakuan dan Hak-hak Suami Dalam Memperlakukan Istri Saat Nusyuz.7 2. Nusyuz Suami Terhadap Istri Menurut Fiqih Berperspektif Gender dan Hukum Positif di Indonesia, oleh Rifatun Nikmah (Mahasiswa IAIN Negeri Tulungagung) Tema dalam penelitian ini terfokus pada Pendapat Madzhab Hanafi tentang Hukum Menyentuh Kemaluan Bagi Orang yang Berwudlu, serta istimbath hukum madzhab Hanafi tentang Hukum Menyentuh Kemaluan Bagi Orang yang Berwudlu.8 3. Pandangan Imam Al Syafi’i tentang Nusyuz Dalam Perspektif Gender, oleh Imam Bagus Susanto (Mahasiswa UIN Malang)
7
Dewi Sasmita, Tinjauan Yuridis Mengenai Perlakukan Suami Terhadap Suami Istri Saat Nusyuz Berdasarkan Hukum Islam (Skripsi) Jakarta:Fakultas S1 Syariah Jember, 2008 hlm.61 8 Rifatun Nikmah, Nusyuz Suami Terhadap Istri Menurut Fiqih Berperspektif Gender dan Hukum Positif di Indonesia u. Skripsi : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Riau 2012, h.lm 61
8
Tema dalam penelitian ini terfokus pada Pendapat Imam Syafii tentang Hukum Nusyuz Dalam Perspektif Gender, serta istimbath hukum Imam Al Syafi’i tentang Nusyuz Dalam Perspektif Gender.9 Ketiga skripsi dan jurnal tersebut membahas lebih jauh tentang Nusyuz. Perbedaan dengan skripsi ini adalah Perlakuan dan Hak-hak Suami Dalam Memperlakukan Istri Saat Nusyuz. I. Sistematika Penulisan Skripsi Untuk memudahkan dalam memahami isi maka penulis membagi sistematika penulisan skripsi sebagai berikut : 1. Bagian Muka Terdiri dari: Pada bagian ini akan dimuat halaman, di antaranya ; halaman judul, abstrak penelitian, halaman persembahan, halaman
motto, halaman
pengesahan, halaman nota pembimbing, kata pengantar,daftar isi dan daftar tabel. halaman lampiran-lampiran. 2. Bagian isi. Terdiri dari beberapa bab: Bab I Pendahuluan, yang berisi tentang Latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan peneltian, manfaat penelitian metode penelitian dan sistematika penelitian. Bab II Landasan Teori, berisi tentang
Pertama tinjauan tentang
Nusyuz, yang terdiri dari pengertian Nusyuz, dasar hukum Nusyuz, bentukbentuk perbuatan Nusyuz, akibat hukum perbuatan Nusyuz. Kedua tentang
9
Imam Bagus Susanto, Pandangan Imam Al Syafi’i tentang Nusyuz Dalam Perspektif Gender,. Skripsi : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Malang, h. 61
9
hak suami atas istri Nusyuz dan batasan-batasannya, yang terdiri dari parameter dalam menentukan batasan-Perlakuan dan Hak-hak Suami yang meliputi prinsip dasar pola relasi suami-isteri, substansi hukum perbuatan Nusyuz dan tujuan pemberian sanksi. macam hak suami atas atas istri Nusyuz, yang meliputi hak persuasif dan sanksi fisik, hak mencegah nafkah, hak talak. Ketiga tentang batasan-Perlakuan dan Hak-hak Suami dalam memperlakukan isteri Nusyuz, yang meliputi hak persuasif dan sanksi fisik, hak mencegah nafkah dan hak talak . Bab III Metode Penelitian, berisi tentang jenis penelitian, pendekatan penelitian, jenis data, metode pengumpulan data dan metode analisis data. Bab IV Analisis Hasil Penelitian, berisi tentang analisis tentang batasan hak-hak suami dalam memperlakukan isteri yang Nusyuz dan analisis tentang ketentuan sanksi pidana dalam menindak suami yang melampaui batas-batas haknya tersebut. Bab V Penutup, berisi tentang kesimpulan, saran dan kata penutup. 3. Bagian Akhir Terdiri dari: Daftar pustaka, daftar riwayat pendidikan penulis dan lampiranlampiran.
10
BAB II LANDASAN TEORI A. Nusyuz 1. Pengertian Nusyuz Nusyuz secara etimologis berarti tempat yang tinggi. Adapun secara terminologis
maknanya
pembangkangan
seorang
wanita
terhadap
suaminya dalam hal-hal yang diwajibkan Allah untuk ditaatinya. Seakan wanita itu merasa paling tinggi, bahkan lebih tinggi dari suaminya 10. Di dalam kitab Fat-Hul Qarib diterangkan bahwa:
الَ ِق الْ َوا ِجِب َعلَْي َها ْ َوَم ْع ََن نُ ُش ْو ِزَها اِْر تَِفا عُ َها َع ْن اََد ِاء Nusyuz adalah sikap tinggi diri perempuan (istri) tidak bersedia mendatangi (mengerjakan) kebenaran yang wajib baginya. Menurut Slamet Abidin dan H. Aminuddin nusyuz berarti durhaka11. Ali as-Sabuni dalam tafsirnya mengatakan bahwa:
النشزاملكان املرتفع ومنه تل ناسزأى مرتفع12 Sedangkan menurut al-Qurtubi:
( م ا إرتف ع م ن اضرsuatu yang terangkat ke
atas dari bumi).13 Adapun Ahmad Warson al-Munawwir dalam kamusnya memberi arti nusyuz dengan arti sesuatu yang menonjol di dalam, atau dari suatu tempatnya. Jika konteksnya dikaitkan dengan hubugan suami-
10
Syaikh Mahmud Al-Masri, “ Azzawaj al-islami as-Sai’d”, diterjemahkan oleh Iman Firdaus, Perkawinan Idaman, (Cet I ; Jakarta: QISTHI PRESS, 2011), hlm. 359. 11 Tihami, Sohari Syahrani Fikih Munakahat (Jakarta; Rajawali Press, 2009), h. 185. 12 Muhammad 'Ali As-Sabuni, Rowaiul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur'an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2001 H/14), I: 322. 13 Al-Qurtubi, Jami' al-Ahkam al-Qur'an, (Mesir: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1967), III: 170.
10
11
istri maka ia mengartikan sebagai sikap istri yang durhaka, menentang dan membenci kepada suaminya.14 Menurut para fuqaha nusyuz mempunyai beberapa pengertian di antaranya: Menurut fuqaha Hanafiyah seperti yang dikemukakan Saleh Ganim mendefinisikanya dengan ketidaksenangan yang terjadi diantara suami-istri. Ulama mazhab Maliki berpendapat
bahwa nusyuz adalah
saling menganiaya suami istri. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah nusyuz adalah perselisihan diantara suami-istri, Sementara itu ulama Hambaliyah mendefinisikanya dengan ketidak-senangan dari pihak istri atau suami yang disertai dengan pergaulan yang tidak harmonis.15 Menurut Ibnu Manzur, secara terminologis nusyuz ialah rasa kebencian suami terhadap isteri atau sebaliknya.16 Sedangkan menurut Wahbah Az-Zuhaili, guru besar ilmu fiqh dan ushul fiqh pada Universitas Damaskus, mengartikan nusyuz sebagai ketidakpatuhan atau kebencian suami kepada istri terhadap apa yang seharusnya dipatuhi, begitu pun sebaliknya.17 Imam Muhammad Abduh dan sekelompok ahli Fiqih bahwa Nusyuz mencakup seluruh kemaksiatan yang menyebabkan suami minnggat atau menolak18.
14
Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), hlm.
1418. 15
Saleh bin Ganim al-Saldani, Nusyuz, alih bahasa A. Syaiuqi Qadri, cet. VI (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 25-26. 16 Ibid., hlm. 1354. 17 Ibid. 18 MuhammadUtsman al-Khusyt,hlm. 105.
12
Istri yang melakukan nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam didifinisikan sebagai sebuah sikap ketika istri tidak mau melaksanakan kewajibannya yaitu kewajiban utama berbakti lakhir dan batin kepada suami dan kewajiban lainnya adalah menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.19 Para ulama membedakan antara nusyuz dengan syiqaq, karena nusyuz dilakukan oleh salah satu pasangan dari suami-istri. nusyuz berawal dari salah satu pihak, baik dari istri maupun suami bukan kedua-duanya secara bersama-sama, karena hal tersebut bukan lagi merupakan nusyuz melainkan dikategorikan sebagai syiqaq.20 Kamal Muchtar, peminat dan pemerhati hukum Islam dari Indonesia, pengarang buku asas-asas hukum Islam tentang perkawinan, mendefinisikan sebagai perselisihan suami istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam (juru damai)21. Begitu pula mereka membedakan antara nusyuz dan i’radh. Menurut mereka, dengan melihat antara surat an-Nisa’ (4): 34 dengan anNisa’ (4): 128 dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa pengertian kata nusyuz lebih menyeluruh dari pada kata i’radh. Hal ini tentu saja dikarenakan kandungan arti kata nusyuz melingkupi seluruh jenis perlakuan buruk dari suami dan istri dalam hidup rumah tangga.
19
Inpres nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 83 Ayat (1) dan 84
Ayat (1). 20
Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, tt.), IV: 1353. Dahlan Abdul Azis,Ensiklopedi Hukum Islam,(Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hlm. 1708. 21
13
Sedangkan i’radh hanya sebatas beralihnya perhatian suami dari istrinya kepada sesuatu yang lain. Dari pengertian di atas, ternyata para ulama memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda antara satu dengan yang lainya. Dan sebagai kesimpulannya, disamping perbuatan nusyuz selain mungkin saja dilakukan oleh seorang istri, juga mungkin bila dilakukan oleh seorang suami, jika suami tidak mempergauli istrinya dengan baik atau ia melakukan tindakan-tindakan yang melebihi batas-batas hak dan kewenangannya dalam memperlakukan isteri yang nusyuz sebagaimana yang digariskan oleh ajaran agama. 2. Dasar Hukum Nusyuz Namun dalam kehidupan berkeluarga tidak selalu sejalan dengan apa yang telah didamba-dambakan oleh setiap pasangan dan semula. Kerenggangan, ketegangan
harapan
dan konflik kerap kali muncul,
perselisihan pendapat, perdebatan, pertengkaran, saling mengejek atau bahkan memaki pun lumrah terjadi, semua itu sudah semestinya dapat diselesaikan secara arif dengan jalan bermusyawarah, saling berdialog secara terbuka. Pada kenyataannya banyak persoalan dalam rumah tangga meskipun terlihat kecil dan sepele namun dapat mengakibatkan terganggunya
keharmonisan
hubungan
suami
istri.
Sehingga
memunculkan apa yang biasa kita kenal dalam hukum Islam dengan istilah nusyuz
14
Hal ini dapat ditemukan dalam Ayat al-Qur’an: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan Nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.(QS. Surah An Nisa’, 4:34)22
Ayat diatas sering kali dikutip dan digunakan sebagai landasan tentang nusyuznya istri terhadap suami, meskipun secara tersurat tidak dijelaskan bagaimana awal mula terjadinya nusyuz istri tersebut melainkan hanya sebatas solusi atau proses penyelesaiannya saja yang ditawarkan. Atau dapat juga ditarik beberapa pemahaman mengenai kandungan hukum yang terdapat dalam Ayat tersebut yaitu: a. Kepemimpinan rumah tangga b. Hak dan kewajiban suami-istri c. Solusi tentang nusyuz yang dilakukan oleh istri
22
Soenarjo, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 391.
15
Terdapat Ayat lain juga yang biasa dikutip ketika membicarakan persoalan nusyuz yaitu:
”dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Surah An Nisa’, 4:34)23 Ayat di atas sering dikutip sebagai dasar tentang nusyuznya suami, walaupun pada realitanya maupun dalam literatur-literatur kajian fiqh persoalan tentang nusyuznya suami kurang mendapat perhatian dan jarang menjadi obyek kajian secara khusus. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam mengatur masalah nusyuz tampaknya mengikuti alur pikiran jumhur ulama bahwa nusyuz hanya ditujukan kepada istri hal ini terlihat dari bunyi pasal 80 ayat (7) dan pasal 84 ayat (1). Aturan mengenai persoalan nusyuz dipersempit hanya pada nusyuznya istri saja serta akibat hukum yang ditimbulkannya. Mengawali pembahasannya dalam persoalan nusyuz KHI berangkat dari ketentuan awal tentang kewajiban bagi istri, yaitu bahwa dalam kehidupan rumah tangga kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lakhir dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam.
23
Ibid., hlm. 451.
16
Istri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajibankewajiban sebagaimana dimaksud tersebut. Walaupun dalam masalah menentukan ada atau tidak adanya nusyuz istri tersebut menurut KHI harus di dasarkan atas bukti yang sah.24 3. Bentuk Perbuatan Nusuz Berkenaan pada pasal 84 Kompilasi Hukum Islam sebagai salah satu pedoman/kaidah tertulis dalam hal perkawinan, telah mengatur tentang nusyuz istri yang menyatakan bahwa : a. Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajibankewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah. b. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya. c. Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz. d. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.Pasal 84 Kompilasi Hukum Islam tersebut di atas menegaskan bahwa kewajiban suami itu akan dan atau dapat dilaksanakan suami bila si istri telah melaksanakan kewajibannya, (tamkin sempurna dari istri) yaitu memberikan hak suami. Akan tetapi, di dalam Kompilasi Hukum Islam tidak ada ditegaskan mengenai nusyuznya suami
24
KHI, Pasal 83 Ayat 1 dan Pasal 84 Ayat (1) dan (4).
17
secara tegas seperti pada istri. Dengan kata lain, jika suami nusyuz tidak ada dinyatakan akan gugurlah hak suami terhadap istri, atau kewajiban istri terhadap suami, sebagai konsekuensi. Demikian juga menurut beberapa ahli fikih, ada yang berpendapat bahwa istilah nusyuz itu hanya melekat pada diri istri dan tidak dilekatkan pada diri suami, padahal secara logika suami itu juga adalah manusia biasa, yang tidak mungkin akan terlepas dari sikap lalai, khilaf dan salah. Bentuk-bentuk perbuatan nusyuz sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Hukum Islam dapat berupa perkataan maupun perbuatan. Bentuk perbuatan nusyuz, yang berupa perkataan dari pihak suami atau istri adalah memaki-maki dan menghina pasanganya, sedangkan nusyuz yang berupa perbuatan adalah mengabaikan hak pasanganya atas dirinya, berfoya-foya dengan orang lain, atau menganggap hina atau rendah terhadap pasanganya sendiri.25 Dari pengertian nusyuz sebagaima yang telah dijelaskan di atas yaitu sebagai sikap pembangkanggan terhadap kewajiban-kewajiban dalam kehidupan perkawinan,26 sebenarnya para ulama telah mencoba melakukan klasifikasi tentang bentuk-bentuk perubuatan nusyuz itu sendiri. Dan diantara tingkah laku maupun ucapan yang dapat dianggap sebagai perbuatan nusyuz istri. 1) Apabila istri menolak untuk pindah kerumah kediaman bersama tanpa sebab yang dapat dibenarkan secara syar’i. Sebagaimana dalil: 25 26
81.
Ensiklopedi, hlm. 1354-1355. Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UUI Press, 1995), hlm.
18
27
َ َوتَ ْرُك إِ َجابَتِهِ إِل الْ َم ْس َك ِن الّلئِ ِق ِبَا الن ُش ْوُز َ
“Keengganan istri untuk menempati rumah tempat tinggal yang layak yang telah disediakan oleh suami adalah termasuk sikap nusyuz”. 2) Keluar dari tempat tinggal bersama tanpa seizin suaminya. Akan tetapi mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa apabila keluarnya istri itu untuk keperluan suaminya maka tidak termasuk nusyuz, akan tetapi jika keluarnya istri itu bukan karena kebutuhan suami maka istri itu dianggap nusyuz.28 3) Istri menolak untuk ditiduri oleh suaminya. Dalam suatu hadis dijelaskan tentang kewajiban seorang istri kepada suaminya, untuk tidak menolak apabila diajak oleh suaminya untuk melakukan hubungan suami-istri, yaitu:
ِِ ِ ِ ِ ِإِ َذا دعا الَرجل إمرئَتَه إ ضبَا َن َعلَْي َها لَ َعنَْت َها ْ ات َغ َ َل فَراشه فَلَ ْم تَأْته فَب َ ُ َْ ُ ُ َ َ 29
ِ ِ صبِ َح ْ ُالْ َم َّلئ َكة َح َّت ت
“Jika seorang suami mengajak istrinya untuk berhubungan suamiistri, kemudian si istri menolaknya, maka malaikat akan melaknatnya hingga pagi” Istri yang menolak untuk ditiduri oleh suaminya, tanpa suatu alasan yang sah maka ia dianggap nusyuz, sesuai dengan dalil yang berbunyi:
27
Abdurrahman Ba'lawi, Bugyah al-Musytarsyidin, (Bandung: L. Ma'arif, t.t.), hlm. 272. Imam Taqiyu ad-Din Abi Bakr ibn Muhammad al-Husaini ad-Dimasqi asy-Syafi'i, Kifayat al-Akhyar, (tnp., Dar al-Fikr, t.t.), II: 148. 29 Abi Daud Sulaiman ibn as-Yas asy-syajastani, Sunan Abi Daud, "Kitab an-Nikah", "Bab fi haqqi az-Zawj 'ala al-Mar'ah", (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), II: 212. hadis nomor 2141, hadis diriwAyatkan dari abi Hurairah. 28
19
ِ ِ ِ ِ مّت إِمتَ نَ ع: الن ُشوز ت ِم ْن َمْن ِزلِِه بِغَ ِْي إِ ْذنِه ْ ت م ْن فَراشه أَْو َخَر َج ْ َ ْ َ َ ُْ
30
“Nusyuz itu ialah apabila si istri tidak mau seranjang atau keluar rumah tanpa ijin suami”. 4) Membangkangnya seorang istri untuk hidup dalam satu rumah dengan suami dan dia lebih senang hidup di tempat lain yang tidak bersama suami. Hal ini sebagaimana dijelskan dalam kitab Tafsir Al-Bahrul Muhit dengan ungkapannya yaitu bahwa perbuatan nusyuz adalah:
اْلن ُش ْوُز ُه َو اِ ْمتِنَاعُ َها ِم َن الْ َم َق ِام ِف بَْيتِ ِه َواِقَا َمتُ َها ِف َم َكان َل ُُِرُْ ُد اَِل قَ َامة فِْيه
31 ِ
“Nusyuz adalah lalainya istri dalam menjalankan kewajiban dirumah suaminya dan keluarnya istri dari rumah tanpa keinginan atau tanpa seijin suami” Untuk mengenali bentuk-bentuk perbuatan nusyuz dapat juga mengkaitkanya dengan kata yang artinya menghilangkan, dalam arti perempuan yang hilang rasa kasih sayangnya terhadap suami baik dzakhir maupun batinnya, sehingga seorang istri tersebut selalu meninggalkan kehendak dan kemauan perintah suami, sehingga suami merasa benci dan tiada kepedulian kepadanya.32 Secara lebih khusus Wahbah al-Zuhaili mengemukakan bahwa, nusyuz istri adalah lebih pada relasi seksual. Artinya ketika istri tidak disibukkan oleh perbagai alasan yang menjadi kewajibannya, atau tidak 30
Muhammad Sarbini al-Katib, Mugni al-Muhtaj, (Mesir: Mustafa al-bab al-Halabi, t.t.),
VI: 295. 31
Muh. Yusuf Asy-Syahir al-Jamal, Tafsir Al-Bahr al-Muhit, cet. II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1413 H/1993 M), II: 251. 32 Ibid., II: 452.
20
terbayang-bayangi oleh kekerasan yang mungkin dilakukan oleh suaminya.33 Sedangkan Muhammad Yusuf Musa berpendapat bahwa ciri-ciri nusyuz istri adalah: a. ia menolak untuk diajak pindah ke rumah suami tanpa alasan yang sah. b. istri mau untuk tinggal di rumah kediaman bersama, tetapi kemudian dia pergi dan tidak kembali tanpa alasan yang dibenarkan syara’. c. keduanya tinggal di rumah istri, tetapi istri melarang sang suami untuk memasuki rumahnya.34 Bentuk-bentuk ucapan yang bisa dimasukkan dalam kategori nusyuznya istri sehingga suami diperbolehkan memukulnya diantara mencaci maki orang lain, mengucapkan kata-kata yang tidak pantas seperti bodoh, kepada suami meskipun suami mencaci lebih dulu.35 Menurut Saleh bin Ganim, bentuk-bentuk perbuatan nusyuz yang berupa perkataan atau ucapan adalah seperti tutur sapa seorang istri kepada suaminya yang semula lembut, tiba-tiba beruba menjadi kasar dan tidak sopan. Bila dipanggil suami, istri tidak menjawab, atau menjawab dengan nada terpaksa, atau pura-pura tidak mendengar dan mengulur-ulur jawaban, berbicara dengan sura keras dan nada tinggi, berbicara dengan laki-laki lain yang tidak mahramnya, baik langsung maupun tidak (lewat 33
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, cet. IV, (Bairut: Dar al-Fikr, 1997), IV: 6851. 34 Muhammad Yusuf Musa, Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah fi Fiqh al-Islami, cet. I, (Mesir: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1956), hlm. 222. 35 Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah Baru Relasi Suami-isteri., hlm. 26.
21
telepon atau bersurat-suratan), dengang tujuan tidak dibenarkan syara’, mencaci-maki, berkata kotor dan melaknat, menyebarkan berita keburukan suami dengan tujuan melecehkannya di hadapan orang lain, tidak menepati janji terhadap suami, menuduh suami berbuat mesum dan meminta cerai tanpa alasan yang jelas.36 Sebagaimana istri, nusyuz suami pun dapat berupa ucapan, perbuatan atau juga dapat berupa kedua-duanya sekaligus. Sebagaimana diuraikan secara rinci oleh Saleh bin Ganim sebagai berikut:37 a. Mendiamkan istri, tidak diajak bicara. Meskipun bicara tapi selalu menggunakan kata-kata yang kasar dan menyakitkan. b. Mencela dengan menyebut-nyebut keaiban jasmani atau jiwanya. c. Berburuk sangka terhadap istri, dan tidak mengajak istri tidur bersama. d. Menyuruh istri melakukan maksiat dan melangar larangan Allah. Sementara itu, bentuk nusyuz yang berupa perbuatan dapat berupa: a. Tidak mengauli istrinya tanpa uzur atau sebab-sebab yang jelas. b. Menganiaya istri, baik dengan pukulan, hinaan, atau celaan dengan tujuan hendak mencelakakan istri. c. Tidak memberi nafkah sandang, pangan dan lain-lain. d. Menjahui istri karena penyakit yang dideritanya. e. Bersenggama dengn istri melalui duburnya.
4. Akibat Hukum Perbuatan Nusyuz 36 37
Saleh bin Ganim, Nusyuz., hlm. 31-32. Ibid., hlm. 33-34.
22
Menurut Muhammad 'Ali al-Sabuni, apabila terjadi nusyuz yang dilakukan oleh istri maka Islam memberikan cara yang jelas dalam mengatasinya adalah sebagai berikut : a. Memberikan nasihat dan bimbingan dengan bijaksana dan tutur kata yang baik. b. Memisahi ranjang dan tidak mencampurinya (mengaulinya). c. Pukulan yang sekiranya tidak menyakitkan, misalnya dengan siwak dan sebagainya, dengan tujuan sebagai pembelajaran baginya. d. Kalau ketiga cara diatas sudah tidak berguna (masih belum bisa mengatasi istri yang nusyuz), maka dicari jalan dengan bertahkim (mengangkat hakim) untuk menyelesaikannya.38
e. ُدا َ َوإِ ْن ِخ ْفتُ ْم ِش َق َ اق بَْينِ ِه َما فَابْ َعثُوا َح َكما ِم ْن أ َْهلِ ِه َو َح َكما ِم ْن أ َْهلِ َها إِ ْن ُُِر f. اَّللَ َكا َن َعلِيما َخبِيا َ اَّللُ بَْي نَ ُه َما ۗ إِ َن َ ص َّلحا ُُ َوفِ ِق ْ ِإ
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
Mengenai tiga tindakan yang harus dilakukan suami terhadap istri yang nusyuz berdasarkan pada surat an-Nisa' Ayat 34 di atas tersebut, ulama fiqh berbeda pendapat dalam pelaksanaanya, apakah harus berurutan atau tidak. Menurut jumhur, termasuk mazhab Hambali, tindakan tersebut harus berurutan dan disesuaikan dengan tingkat dan kadar nusyuznya. Sedangkan mazhab Syafi’i, termasuk Imam Nawawi, 38
Muhammad 'Ali as-Sabuni, Rawaiu al-Bayan., hlm. 370-371.
23
berpendapat bahwa dalam melakukan tindakan tersebut tidak harus berjenjang, boleh memilih tindakan yang diinginkan seperti tindakan pemukulan boleh dilakukan pada awal istri nusyuz.39 Hal itu dengan catatan jika dirasa dapat mendatangkan manfaat atau faedah jika tidak maka tidak perlu, malah yang lebih baik adalah memaafkannya.40 Sebagai akibat hukum yang lain dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa istri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari istri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau secara ‘aqli maka istri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah. Dalam kitab Fat-hulqarib dijelaskan
ط بِ ا لن ُش ْوِز قَ ْس ُم َها َونَ َف َقتُ َه ا ُ َوَُ ْس ُق
maksudnya “Dan menjadi
gugurlah sebab nusyuz,yaitu hak menerima gilirannya dan nafaqahnya” Dalam hal suami beristri lebih dari satu (poligami) maka terhadap istri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan giliranya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat tinggal.41 Menurut mazhab Hanafi, apabila seorang istri mengikatkan (tertahan) dirinya dirumah suaminya dan dia tidak keluar tanpa seizin suaminya, maka istri seperti ini dianggap taat. Sedangan bila ia keluar rumah atau menolak berhubungan badan dengan alasan yang tidak dapat 39
Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1355. Muhammad Nawawi, Syarh ‘Uqud al-Lujjayn fi Huquq az-Zawjayn, Surabaya: Mutiara Ilmu, t.t., hlm. 7. 41 Ahamad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1995., hlm. 81. 40
24
dibenarkan secara syar’i maka ia disebut nusyuz dan tidak mendapatkan nafkah sedikitpun, karena sebab wajibnya nafkah menurut ulama Hanafiyah adalah tertahannya seorang istri di rumah suami.42 B. Perlakuan Suami terhadap Istri Nusyuz dan Batasannya Walapun pada dasarnya persoalan nusyuz tidak selalu muncul dari pihak istri akan tetapi juga dapat timbul dari pihak suami, namun pada kenyataannya hak-hak yang dimiliki oleh suami selama ini lebih dominan dan mendapatkan pengakuan secara yuridis. Artinya, secara hukum maupun secara realitas di lapangan pihak suami selalu menjadi pihak yang menang dan diuntungkan ketika persoalan nusyuz terjadi, sedangkan bagi pihak istri kerap kali menjadi korban yang dipersalahkan. Oleh karena itu perlakuan suami di sini perlu untuk ditegaskan sebagai berikut : Dalam hal ini bahwa tindakan bertahap yang dapat dilakukan oleh suami terhadap istri yang nusyuz adalah sebagai berikut : 1. Menasihati () فعظوهن Nasihat merupakan upaya persuasif dan langkah edukasi pertama yang harus dilakukan seorang suami ketika menghadapi istri yang nusyuz. Hal
ini
ditujukan
sebagai
cara
perbaikan
secara
halus
untuk
menghilangkan semua kendala-kendala yang mengusik hubungan cinta kasih suami-istri. Hampir seluruh ulama berpendapat sama, yakni, amat
42
Muhammad Jawad Mugniyyah, Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, (Bairut: Dar al-Ilm Li alMalayin, 1964), hlm. 102.
25
pentingnya cara memberi nasihat ini, sehingga hal ini menjadi urutan pertama dalam upaya menyelesaikan permasalahan nusyuz.43 Suami hendakanya menggigatkan kembali tentang ikatan janji yang kuat (misaqan galiza) diantara mereka yang tidak boleh pudar begitu saja oleh hati maupun aqal. Kepada istri juga disampaikan akibat buruk yang akan menimpa hubungan mereka apabila ia tetap dan meneruskan jalanya itu. Upaya persuasif dengan jalan musyawarah dan diskusi dengan memakai mediator ini sendiri sebagaimana firman Allah SWT sebagai berikut :
" dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Surah An Nisa’, 4:35)44 Diharapkan dengan adanya sikap saling memberikan nasihat secara baik dan bijak akan dapat menciptakan kondisi relasi suami-istri dan kehidupan rumah tangga secara umum kembali harmonis dan kondusif. Oleh karena itu dalam kehidupan sehari-hari dibutuhkan adanya suasana musyawarah dan dimokratis dalam kehidupan rumah tangga. Musyawarah berarti dalam segala aspek kehidupan dalam rumah tangga harus
43 44
Saleh bin Ganim as-Saldani, Op. Cit, hlm. 46. Ibid., hlm. 451.
26
diputuskan dan diselesaikan berdasarkan musyawarah minimal antara suami-istri. Sedangkan maksud demokratis adalah bahwa antara suami dan istri harus saling terbuka untuk dapat menerima pandangan dan pendapat pasanganya. Terciptanya suasana musyawarah dan demokratis dalam rumah tangga pada ahirnya akan menjadikan pasangan suami-istri dalam menjalankan kewajiban dan memperoleh hak secara berimbang dan sejajar. Dan dari sini diharapkan dapat memunculkan sikap diantara mereka untuk: a. saling mengerti, mengerti latar belakang masing-masing dan diri sendiri. b. saling menerima, menerima sebagaimana
adanya menyangkut
kelebihan dan kekurangan pasangannya. c. saling menghormati, menghormati perasaan, keinginan dan pribadi masing-masing. d. saling mempercayai. e. saling mencintai, bijaksana dan menjahui sikap egois.45 2. Pisah Ranjang ()واهجروهن Mengenai hijr dengan perkataan ini sebenarnya tidak ada ketentuan batas waktunya. Oleh karena itu para ulama membatasi waktunya dengan menganaloqikannya kepada hukum illa’, yang menurut syara’ ditentukan
45
Ibid., hlm. 60.
27
selama 4 (empat bulan). Sebagaimana dijelaskan al-Qur’an sebagai berikut: "kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Surah Al Baqarah’, 2:35)46 Meng-ilaa' istri Maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri istri. dengan sumpah ini seorang wanita menderita, karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. dengan turunnya ayat ini, Maka suami setelah 4 bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi istrinya lagi dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikan. Sedangkan hijr menurut pendapat Ibn 'Abbas sebagaimana yang juga dikutip oleh as-Sabuni adalah sikap seorang suami yang memiringkan pinggang dan memalingkan pungungnya dari istrinya serta menghindari melakukan hubungan badan denganya. Pendapat yang lain mengatakan tentang hijr yaitu suami yang meninggalkan tempat tidur istrinya dan menjauhkan diri untuk kontak denganya.47 Jadi batasanya jarak mengenai hijr itu sendiri dapat dikatakan sebatas kontak fisik, tempat tidur atau maksimal sebatas dalam rumah. Dari pengertian di atas dapat disimpulakan bahwa hijr dapat berbentuk ucapan atau perbuatan. Hijr dengan ucapan artinya suami tidak
46
Ibid., hlm. 451. 47 Ibid.
28
memperhatikan atau memperdulikan perkataan istrinya serta tidak mengajaknya berbicara. Sedangkan hijr dengan perbuatan adalah bahwa suami berpisah tempat tidurnya dari istrinya atau sekedar tidak mengaulinya, atau memisahkan diri dari kamarnya. Para ulama sepakat membolehkan hijr dengan ucapan selama tidak melebihi dari tiga hari. Mereka mendasarkan pendapatnya pada hadis Abu Ayyub al-Ansariy, bahwa Rasulullah bersabda: 48
ِ َل َِيل لِمسلِم اَ ْن ُ هجر أَخاه فَو َق ثََّل ث لَيَال ْ ُ َ َُ ْ َ ُْ ُ
"Tidak halal bagi seorang muslim melakukan hajr (boikot dengan tidak mengajak bicara) lebih dari tiga hari”. Mengenai hijr dengan perkataan ini sebenarnya tidak ada ketentuan batas waktunya. Oleh karena itu para ulama membatasi waktunya dengan menganaloqikannya kepada hukum illa’, yang menurut syara’ ditentukan selama 4 (empat bulan). Adapun batas waktu hijr dengan perbuatan yang berupa sikap menjahui dan tidak melakukan hubungan intim dapat dilakukan suami tanpa batas, selama yang diinginkanya, selagi hal itu dipandang dapat menyadarkan istri, asal tidak lebih dari empat bulan berturut-turut, karena jangka waktu empat bulan adalah batasan maksimal yang tidak boleh dilampaui, sesuai pendapat yang terkuat dari pendapat ahli hukum. Hal ini juga sebagaina yang dijelaskan dalam kitab Tafsir al-Qurtubi bahwa suami
48 An-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, (ttp. Dar al-Fikr, 1981 M/1401 H), XVI: 117-118.
29
dibolehkan tidak mengauli istrinya selama empat bulan dalam upaya menyadarkan isterinya.49 Pada dasarnya jika diteliti lebih jauh tahap hijr ini masih merupakan upaya lanjut yang merupakan hak dari suami dalam menyikapi istri nusyuz secara persuasif sebelumnya yaitu Mau’idah yang mana kedua langkah tersebut merupakan usaha bijaksana untuk rekonsisiliasi, penyatuan kembali dengan melakukan intropeksi diri masing-masing pasangan. Kalau perlu, dalam tahap intropeksi dan perenungan diri ini dilakukan dengan pisah ranjang sementara (al-tahjir fil madaji’).50 Menurut Muhammad Abduh sebagaimana dikutip Nurjannah Ismail ia berpendapat bahwa langkah kedua ini, yaitu menjahui istri dari tempat tidurnya merupakan sanksi dan pelajaran yang diberikan kepada istri yang sangat mencintai suami dan amat menderita bila dikucilkan. Menjahui tempat tidur bukan berarti harus meninggalkan tempat tidur atau kamar tidur untuk tidak tidur bersama istri, karena itu malah akan dapat menambah kebandelan istri. Sebab dengan masih tidur bersama istri walaupun tidak mencampurinya diharapkan akan mampu menetralisir emosi suami dan istri, sehingga jiwa menjadi tenang dan pertengkaran dapat diatasi.51
49 Saleh bin Ganim, Nusyuz, hlm. 52. 50 Masdar Farid Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, cet. I, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 165. 51 Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, V: 72.
30
Oleh karena itu pemahaman tentang hijr yang selama ini lebih dipahami sebagai hak suami untuk ‘menghukum’ istrinya yang nusyuz dengan menjahuinya, mendiamkannya dan tidak melakukan hubungan badan dengannya merupakan pemahaman yang berlebihan. Sebab ketika tahap hijr diartikan seperti itu maka tentu saja persoalan yang ada di antara suami-istri tidak akan selesai-selesai bahkan akan berlarut-larut. Hal itu ditambah lagi perasaan kecewa istri karena kebutuhan psikologis dan biologisnya tidak terpenuhi oleh sikap suami yang berusaha menjahuinya. Pencegahan atau kekurang puasan salah satu pasangan dalam urusan penyaluran biologis sendiri dapat memicu berbagai masalah yang dapat
menganggu
keharmonisan
relasi
suami-istri
antara
lain
penyelewengan, perzinahan dalam berbagai bentuknya dan perceraian.52 Dalam urusan penyaluran kebutuhan biologis Islam senantiasa menekankan arti penting keadilan diantara suami-istri agar terjamin keadilan seksual sebagai kebutuhan biologis mereka secara berimbang. Hal ini sebagaimana disinggung oleh al-Qur’an sendiri, diantaranya:
ِ وَل َن ِمثْل الَ ِذى علَي ِه َن بِالْمعرو ف َولِ ِلر َج ِال َعلَْي ِه َن َد َر َجة َوللاُ َع ِزُْز َْ ُْْ َ ُ َُ 53 ِ َحكْيم “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
52
A. Rahmat Rasyadi, Islam; Problem Seks Kehamilan dan Melahirkan, cet. X, (Bandung: Angkasa, 1993), hlm. 16. 53 Al-Baqarah (2): 228.
31
Dalam Ayat lain juga disebutkan:
ِ ِ َض ُكم على ب عض لِ ِلرج ِال ن صْيب ِمَا َ ََوَل تَتَ َمنَ ْوا َما ف ْ َ َ َ ْ َ ض َل للاُ بِه بَ ْع َ ِ ِ ِ ِِ 54 ب َْ ا ْكتَ َسبُ ْوا َوللن َساء نَصْيب مَا ا ْكتَ َس “Dan janganlah kamu iri hati terhadap kurnia yang telah dilebihkan Allah kepada sebahagian kamu atas sebahagian yang lain. (Kerana) bagi laki-laki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perepuan (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan” Ulama mazhab Hanafi berpendapat isteri boleh menuntut suami untuk melakukan persetubuhan dengannya, karena kehalalan suami bagi istri merupakan hak istri, begitu pula sebaliknya jika istri menuntutnya maka suami wajib memenuhinya, ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa melakukan persetubuhan adalah kewajiban suami-istri jika tidak ada uzur (alasan yang dibenarkan secara syar’i).55 Begitu pula masalah kewajiban istri untuk melayani suami dalam berhubungan badan, al-Syirazi berpendapat bahwa meskipun pada dasarnya istri wajib melayani permintaan suami, akan tetapi jika ia tidak ‘mud’ atau sedang tidak bergaira untuk melayaninya ia boleh menawarnya atau menagguhkannya sampai batas tiga hari. Dan bagi istri yang sedang sakit atau tidak enak badan maka tidak wajib baginya untuk melayaninya sampai sembuh.56 Jika suami tetap memaksa maka dia telah melanggar prinsip muasyarah bi al-ma’ruf dengan berbuat aniaaya kepada pihak yang justru seharusnya ia lindungi.
54 An-Nisa’ (4): 32. 55 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami., Juz IX, hlm. 6599. 56 Al-Syirazi, al-Fiqh ‘ala Mazahib al-‘Arba’ah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), II: 65.
32
Oleh karena itu suami tidak boleh mengklaim isterinya telah melakukan nusyuz hanya gara-gara dia tidak bersedia melayaninya di sesuatu ketika, karena hal itu harus juga mempertimbangkan situasi dan kondisi istri. Bahkan dalam persoalan hijr yang selama ini dipahami sebagai kewenangan suami untuk menjahui istri yang nusyuz sebagai bentuk pembelajaran sekaligus pemberian sanksi sudah semestinya jika harus dikaji kembali, karena dengan melakukan hal itu pada dasarnya suami telah melupakan prinsip keadilan, keseimbangan dan prinsip mu’asyarah bil ma’ruf . Dan dalam hal ini ia malah dapat dinilai telah melakukan nusyuz terhadap istrinya 3. Memukul ()واضربوهن Dalam masalah pemukulan ini fuqaha' mendefinisikannya dengan pengertian yang masih umum, yaitu suatu perbuatan yang menyakitkan badan, baik meninggalkan bekas atau tidak, dengan mengunakan alat atau tidak.57 Sebenarnya masih terdapat ayat lain yang cukup beralasan untuk dijadikan pembanding dalam mengkaji persoalan pemukulan terhadap istri ini yaitu;
“dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), Maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati Dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah Sebaik-baik 57
Saleh bin Ganim, Op. Cit., hlm. 57.
33
hamba. Sesungguhnya Dia Amat taat (kepada Tuhan-Nya) (QS. Surah Shaad, 2:35)58
Sebagaian ulama berpendapat dengan berdasarkan pada ayat di atas tentang dibolehkannya suami memukul istrinya dalam rangka memberi pelajaran. Seperti halnya nabi Ayyub yang memukul istrinya karena telah melanggar hak-hak suami. Dari Ayat di atas juga menunjukkan tentang dibolehkannya pemukulan terhadap istri dengan batasan tidak sampai melampaui batas sebagai instrument pendidikan, dalam arti lain, dibolehkanya tindakan tersebut bukan berarti tanpa adanya unsur kemakruhan atau suatu yang lebih baik jika harus dihindari. Menurut Muhammad 'Ali as-Sabuni dan Wahbah az-Zuhaili, bagian yang harus dihindari dalam tahap pemukulan adalah: a. bagian muka, karena muka adalah bagian tubuh yang dihormati. b. bagian perut dan bagian lain yang dapat menyebabkan kematian, karena pemukulan ini bukan bermaksud untuk mencidrai apalagi membunuh istri yang nusyuz, melainkan untuk mengubah sifatnya. c. memukul hanya pada satu tempat, karena akan menambah rasa sakit dan akan memperbesar timbulnya bahaya. 59 4. Tidak Memberi Nafkah Dalam kitab Kifayat al-Ahyar dijelaskan bahwa ketika seorang istri yang telah jelas-jelas nusyuz maka hendanya dinasihati, dan jika masih 58
Ibid., hlm. 451. as-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, al-Qahirah: Fath al-Ilmi al-Arabi, 1995 M./1410 H., 3 Jilid. hlm. 59
34
tetap tidak mau berubah maka boleh dijauhi (hijr), dan jika tidak mau berubah juga maka boleh dipukul. Gugur pula sebab nusyuz tersebut adalah hak nafkah istri dan gilirannya.60 Ulama Hanafi berpendapat manakala istri mengeram dirinya dalam rumah suaminya, dan tidak keluar rumah tanpa izin dari suaminya, maka ia masih disebut patuh (muti'at), sekalipun ia tidak bersedia dicampuri tanpa alasan syara' yang benar. Penolakan yang seperti itu, walaupun haram, tetapi tidak menggugurkan haknya untuk mendapat nafkah. Oleh karena itu beliau berbeda pendapat dengan seluruh mazhab yang lainya. Sebab seluruh mazhab yang lain sepakat bahwa, manakala istri tidak memberi kesempatan kepada suami untuk menggauli dirinya dan ber-khalawat dengannya tanpa alasan berdasar syara' maupn rasio, maka dia dipandang sebagai wanita nusyuz yang tidak berhak atas nafkah. Bahkan Syafi'i mengatakan bahwa, sekadar kesediaan digauli dan ber-khalawat, sama sekali belum dipandang cukup kalau si istri tidak menawarkan dirinya kepada suaminya seraya mengatakan dengan tegas, "aku menyerahkan diriku kepadamu.61 Adapun hikmah dari gugurnya hak nafkah tersebut bagi istri yang nusyuz adalah diharapkan dengan itu sikap istri akan kembali baik dan taat kepada suaminya sehingga terpeliharalah kekokohan dan kelangsungan
60
Imam Taqiy ad-Din Abi Bakr ibn Muhammad al-Husaini ad-Dimasqi asy-Syafi’i, Kifayat al-Akhyar, (Semarang: Toha Putra, t.t.), II: 77. 61 Jawad Mugniyyah, Fiqh Lima Madzab, hlm. 76.
35
rumah tangga karena gugurnya nafkah merupakan sanksi kepada istri yang melakukan nusyuz.62 Dalam masalah nafkah bagi istri yang nusyuz, Ibn Hazm mempunyai pendapat yang bertentangan dengan jumhur fuqaha. Ibn Hazm berpendapat bahwa istri yang nusyuz tetap mendapatkan nafkah. Menurutnya, suami wajib memberinya nafkah sejak akad nikah, tidak ada perbedaan antara istri yang nusyuz maupun yang tidak, yang masih kecil atu yang sudah besar dan sebagainya. Mengenai pendapat Ibn Hazm ini disebut dalam kitab al-Muhalla;
ِ ِ ِ ِ ِِ اح َها َد َعى اِ َل الْبِنَ ِاء اَْوَلْ َُ ْدعُ َولَْو َ ْ رج ُل َعلَى ْامراَئَته ح ُ ي َُ ْعق ُد ن َك ُ ََوُُْنف ُق ال ِ ِ ِ ِ ت ْ َات أَب كاَن ْ َت اَْو َغْي َر ناَ َشز َغنيََة كاَن ْ َأَنَ َها ِف الْ َم ْهد نَاشَزا َكان َ ت اَْوفَقْي َرة َذ 63 ِ ت اَْوأََمة ْ َاَْوَُتْي َمة بِ ْكر اَْو ثَيِبا َحَرة َكان “Seseorang memberi nafaqah kepada wanita ketika terjadi pernikahan, baik ituyang mau diajak membangun rumah atau menolak walaupun dia dalam keadaan nusyuz atau tidak,kaya atau miskin, punya ayah atau yatim, gadis atau janda, merdeka atau budak”
Pendapat tersebut berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir r.a. bahwa Nabi SAW. bersabda:
ِان للاِ واستحلَْلتم فُروجه َن بِ َكلِم ِةللا ِ فَاتَ ُقوا للا ِف النِس ِاء فَِإنَ ُكم أَخ ْذُتُوه َن بِأَم ُ َ ُْ ْ ُ ْ َ ْ َ َ ْ َ ُْ َ ْ َ َ ِ ِ ض ِربُ ْوُه َن ْ ك فَا َ َولَ ُك ْم َعلَْي ِه َن اَ ْن َلُُ ْو ِطئَ َن فَرا َش ُك ْم اَ َحدا َُ ْكَرُه ْونَهَ فَِإ ْن فَ َع ْل َن َذال 64 ِ ض ْربا َغ ْي ُمبَ َرح َوَلُ َن َعلَْي ُك ْم ِرْزقُ ُه َن َوكِ ْس َوتُ ُه َن بِالْ َم ْع ُرْوف َ “Maka takutlah engkau kepada Allah SWT dalam memperlakukan wanita, maka sesungguhnya mengambilnya
62
Humaidi Tatapangarsa, Hak dan Kewajiban Suami-isteri Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), hlm. 33. 63 Abu Muhammad 'Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, al-Muhalla, (Damaskus: Dar alFikr, tt.), X: 88. 64 Muslim, Sahih Muslim, "Kitab al-Hajj", "Bab Hijjah 'an-Nabi SAW., (Bairut: Dar alKutub al-'Ilmiyah, t.t.), II: 512. diriwAyatkan dari Jabir bin Abdullah.
36
dengan kepercayaan Allah SWT dan menjadikan halal bagimu dengan kalimat Allah SWT dan kewajiban istri bagimu adalah tidak boleh tempat tidurmu ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai jika mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas” Dan juga riwayat Abu Dawud dari Hakim bin Mu’awiyah dari ayahnya yang pernah bertanya kepada Nabi SAW;
ِ ِ ِ ِ ت َ أَ ْن تُطْع َم َها إِذَا طَ َع ْم: ُاََر ُس ْوَل للا َما َح َق َزْو َجة اَ َح َدنَا َعلَْيه؟ قال: ت ُ قُ ْل 65 ِ ِ ض ِر ب الْ َو ْجهَ َوَل تُ َقبِ ْح َوَل تَ ْه ُج ْر اَِل ِف الْبَ ْيت ْ َت َوَل ت َ َوتَ ْك ُس َوَها إِ َذا ا ْكتَ َسْي “Diantara kewajibanmu (para suami) kepada mereka (para istri): engkau memberinya makan ketika engkau makan, dan engkau memberinya pakaian ketika engkau berpakaian, dan janganlah engkau memukul wajahnya, dan jangan pula menghinanya, dan jangan pula meng-hajr (memboikot) dirinya kecuali di dalam rumah.” Dari kedua riwayat hadis tersebut, menunjukkan bahwa Rasulullah saw. menyamamaratakan seluruh wanita dan tidak menghususkan orang yang nusyuz dengan lainya, begitu pula wanita yang masih kecil atau pula yang sudah besar. Adapun pendapat sebagian yang menyatakan tidak ada nafkah bagi istri yang tidak mau diajak serumah dengan suami, menurut Ibn Hazm, pendapat itu tidak ada dasarnya baik dalam al-Qur'an, asSunnah, qaul Sahabat, qiyas maupun ra'yu. Jika ada pengecualian kepad istri yang nusyuz atau masih kecil maka Allah tidak akan lupa menjelaskanya.66
65 Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, "Kitab an-Nikah", "Bab fi Haq al-Mar'ah 'ala Zawjiha", (Bairut: Dar al-Fikr, 1994), II: 212, hadis nomor 2142. diriwAyatkan dari Hakim bin Mu'awiyah al-Qusyairiy dari ayahnya. 66 Ibn Hazm, al-Muhalla., X: 88.
37
Ibn Hazm tidak mengetahui alasan Fuqaha' yang berpendapat bahwa istri yang nusyuz tercegah (gugur) hak nafkahnya. Hanya ada satu riwayat yaitu dari Nakhai, as-Sya'bi, Humad bin Abi Sulaiman, al-Hasan dan az-Zuhri, tetapi Ibn Hazm tidak mengetahui alasan mereka secara jelas, hanya saja mereka menyatakan; 67
النفقة بإزاء اجلماع فإذا منعت اجلماع منعت الفقة
Fuqaha' yang berpendapat demikian diantaranya adalah Imam Hanafi. Dalam mengomentari pendapat ini, Ibn Hazm berkata bahwa yang berpandangan demikian, maka berarti mereka telah berdusta, karena nafkah dan kiswah merupakan kewajiban apabila telah terjadi hubungan suami-istri. Hal ini diungkapkannya dalam al-Muhalla;
ِ ِ ِ ِ ِِ ُك َمالَنَ َف َقة َ ص ِحْي َح َهابِِه َوقَ ْد َك َذبُ ْوا ِف َذال ْ َل َماَُص ُح َها مَا َر َام ْوا ت َ َوَهذه ُح َجة أَفْ َقَر ا 68 ِ ِ وكِسوةُ إَِل بِِإز ِاء الْزوِجي ِة فَِإذَا وِج َد ت الَْزْوِجيَةُ فَالنَ َف َقةُ َوالْ ِك ْس َوةُ َو ِاجبَتَان َ َْ َ ُ َْ َ ”Hal ini adalah adalah sebuah alasan untuk mengesahkan bahwa yang berpandangan demikian maka berarti mereka telah berdusta. Dalam hal pemberian nafkah dan pakaian kecuali dengan persetubuhan suami istri maka jika ditemukan hubungan persetubuhan maka memberi nafkah dan pakaian adalah wajib.” Imam Syafi'i berpendapat bahwa istri yang keluar dari rumah tanpa izin suaminya maka nafkahnya menjadi gugur. Dalam hal ni Ibn Hazm berargumen sebagai berikut;
ِ ِ ت ِمن ب ي ت َزْوِج َها ْ ت ُ َْوم ْن طَ ِرُْ ِق ُش ْعبَةَ َسأَل َْ ْ ْ الَ َك َم ابْ َن عُتَ ْيبَةَ َع ِن ْامَرأَة َخَر َج 69 ِ َغ نَ َع ْم:اضبَة َه ْل َلَا نَ َف َقة ؟ قَ َال 67 Ibid., hlm. 89. 68 Ibid. 69 Ibid.
38
“Pada suatu hari saya bertannya pada hakim bin ngatibah tentang wanita yang keluar rumah suaminnya dengan marah. Apakah baginnya memberi nafkah? Hakim menjawab iya” Tentang istri yang nusyuz, telah dijelaskan di dalam al-Qur'an surat an-Nisa' Ayat 34. berdasarkan Ayat tersebut Ibn Hazm mengatakan bahwa; Allah telah menghabarkan atau memberitahu bahwasanya tidaklah kepada istri yang nusyuz itu kecuali hijr dan pemukulan dan Allah tidak menggugurkan
nafkah
dan
kiswah.
Maka
kamu
sekalian
telah
menyiksanya dengan mencegah haknya, dan hal tersebut telah disyariatkan dalam agama bahwa tidak diizinkan berbuat begitu (menggugurkan nafkah dan kiswah) karena hal tersebut adalah batil.70 Sebenarnya, persoalan pencegahan hak nafkah bagi istri yang nusyuz itu erat kaitannya dengan konsep patuh dan taatnya seorang istri itu sendiri. Dan dalam aplikasinya istilah kepatuhan ataupun ketaatan adalah 'urf, dan tidak diragukan sedikit pun bahwa menurut 'urf, seorang istri disebut taat dan patuh manakala tidak menolak bila suaminya meminta dirinya untuk digauli. Mereka tidak menawarkan bahwa si istri harus menawarkan dirinya siang dan malam. Tapi bagaimana pun, di sini terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan persoalan nusyuz dan taat.71 Bahkan hal itu pun seiring dengan perubahan zaman dan kedewasaan masarakat akan mengalami perubahan pula.
70 71
Ibid. Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Madzab, hlm. 402.
39
Disinilah letak pentingya pengkategorian mengenai bentuk-bentuk perbuatan nusyuz secara kualitatif, kuantitatif serta kemungkinan hal yang melatar belakanginya, agar dalam menyikapinya pun dapat secara proporsional. Seperti contoh, sangat tidak adil jika seorang istri yang hanya bermuka masam ketika suaminya pulang kerja larut malam dianggap nusyuz kemudian tidak dikasih uang untuk belanja pada esok harinya. Dan seperti contoh perbuatan-perbuatan nusyuz ringan yang lainnya. 5. Mentalak Al-Qur'an tidak memberi suatu ketentuan yang mengharuskan suami untuk mengemukakan sesuatu alasan untuk mempergunakan haknya menjatuhkan talak kepada istrinya. Namun biasanya suatu alasan yang dikemukakan suami untuk menjatukan talak kepada istrinya adalah bahwa ia merasa sudah tidak senang lagi kepada istrinya. Alasan ketidaksenangan suami ini sangan subyektif, yang dapat disebabkan oleh hal-hal yang subyektif pula.72 Oleh
karena
itu
dengan
pertimbangan
kemaslahatan
dan
kemudlaratan berkenaan dengan sebab musabab, hukum talak atau kedudukan talak berkutat dalam wilayah al-Ahkam al-khamsah. Karena itu hukum talak beredar antara wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Dan dapat dijelaskan sebagai berikut;
72
M. Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet. II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), hlm. 43.
40
a. Wajib, yaitu: “talak hakamain (juru damai) dalam hal syiqaq (perselisihan hebat antara suami-istri), karena juru damai memandang bahwa talak itulah satu-satunya jalan untuk menghentikan syiqaq mereka”. b. Sunat, yaitu: “talak dengan sebab buruknya akhlak istri dan tabi'atnya dan tidak menjaga kehormatannya”. c. Mubah, yaitu; talak ketika ada hajat karena kedua suami-istri telah sepakat untuk bercerai, mungkin mereka merasa sudah tidak dapat lagi melanjutkan kehidupan perkawinan mereka lagi. d. Makruh, yaitu; “menjatuhkan talak dengan tidak ada sebab yang berhajat pada cerai”. e. Haram, “apabila menjatuhkan talak ketika istri dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci yang telah dicampuri”. Atau menjatuhkan talak kepada istri tanpa ada sebab apa-apa, karena tindakan tersebut menyakiti istri dan tidak patut.73 Sebagai catatan penting dalam masalah hak suami menjatuhan talak kepada istri yang nusyuz, bahwasanya talak atau perceraian itu hendaknya hanya dilakukan sebagai tindakan yang terahir setelah ikhtiar dan segala daya upaya yang telah dilakukan guna perbaikan kehidupan perkawinan dan jika tidak ada jalan lain lagi kecuali perceraian suami-istri. Atau dengan perkataan lain bahwa perceraian itu adalah way out pintu darurat bagi suami-istri demi kebahagiaan yang dapat diharapkan setelah 73
Abdurrahman al-Jaziri, al-, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.., hlm. 297.
41
perceraian itu. Hal ini tentu saja dengan pertimbangan bahwa melakukan talak merupan sesuatu yang dibenci oleh Allah SWT. C. Hak Suami terhadap Istri Nusyuz Dalam menyikapi istri yang nusyuz, yang terpenting juga adalah harus dapat melihat persoalan tersebut secara subtantif. Artinya, melihat persoalan itu sebagai suatu permasalahan hukum yang harus memiliki unsur-unsur tertentu untuk bisa disebut sebagai perbuatan hukum. Yang dalam hal ini harus memenuhi tiga unsur; pertama, unsur formil, yaitu adanya undangundang atau nas yang mengatur hal itu. Kedua, unsur matriil. yaitu adanya sifat melawan hukum, dengan berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Ketiga, unsur moril, yaitu pelakunya dapat dimintai pertanggung jawaban secara hukum.74 Jika dikaitkan dengan persoalan nusyuz maka untuk mengetahui apakah suatu perbuatan ‘ketidaktaatan’ tertentu seorang istri dapat dikategorikan sebagai sikap nusyuz atau tidak maka hal itu dapat dilihat dari ada tidaknya dasar hukum yang menjelaskannya. Begitu pula perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum. Artinya, bahwa perbuatan tersebut harus bersifat telah pasti terjadinya, tidak hanya berdasarkan praduga atau perkiraan semata. Oleh karena itu untuk mengetahui telah terjadinya perbuatan nusyuz para mufassir berangkat dari pemaknaan atas kata " "خوفdalam rangkaian kalimat awal Ayat surat an-Nisa’ (4): 34 ( )والال تى تخافونyang menurut mereka memiliki dua arti yaitu ( ظنprasangka) dan ( علمpengetahuan), walaupun 74
Mahrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, cet. I, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hlm.. 10.
42
sebagian mufassir ada yang lebih condong menggunakan arti yang pertama seperti al-Jamal dan ar-Razi.75 Begitu pula masuk dalam pengertian subtansi hukum perbuatan nusyuz di sini adalah segi kualitatif, kuantitatif dan latar belakang pemicu perbuatan itu sendiri. Hal ini tentu saja karena jenis, sifat dan bentuk dari perbuatan nusyuz tersebut sangat beragam, sehigga diperlukan pengkategorian secara spesifik untuk dapat menentukan masuk dalam klompok apa bentuk perbuatan itu, ringan, sedang ataukah berat. Sehingga dalam menyikapinya pun suami dapat dinilai apakah ia telah berlebihan atau tidak. Dalam hal ini hak-hak suami dalam menyikapi istri yang berbuat nusyuz adalah sebagai berikut : 1. Hak Ditaati QS an-Nisaa’ : 34 mengajarkan bahwa kaum laki-laki (suami) berkewajiban memimpin kaum perempuan (istri) karena laki-laki mempunyai kelebihan atas kaum perempuan (dari segi kodrat kejadianya), dan adanya kewajiban laki-laki meberi nafkah untuk keperluan keluarganya. Istri-istri yang saleh adalah yang patuh kepada Allah dan jepada suami-suami mereka serta memelihara harta benda dan hak-hak suami, meskipun suami-suami mereka dalm keadaan tidak hadir, sebagai hasil pemeliharaan Allah serta taufik-Nya kepada istri-istri itu.
2. Hak Memberi Pelajaran
75
Fahruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir al-Musamma bi Mafatih al-Gaib, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), IX: 93. dan Muh. Yusuf as-Syahir, Tafsir Bahr Muhit, III: 43.
43
Apabila
terjadi
kekhawatiran
suami
bahwa
istrinya
bersikap
membangkang (nusyus), hendaklah diberi nasehat secara baik-baik. Apabila dengan nasehat, pihak istri belum juga mau taat, hendaklah suami berpisah tidur sama istri. Apabila masih belum juga mau taat, suami dibenarkan memberi pelajaran dengan jalan memukul (yang tidak melukai dan tidak pada bagian muka). 3. Hak Mencegah Nafkah Para ulama mazhab sepakat bahwa istri yang melakukan nusyuz tidak berhak atas nafkah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang batasan nusyuz yang mengakibatkan gugurnya nafkah tersebut.76 Demikian pula menurut Sayyid Sabiq, bahwa suami berhak menta'zir istrinya yang nusyuz, seperti dengan pencegahan nafkah disamping melakukan tindakantindakan yang telah ditentukan dalam al-Qur'an, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.77 Menurut Muhammad Ali Sabikh, apabila seorang istri berlaku nusyuz yaitu istri yang durhaka terhadap suami atau keluar rumah tanpa seizin suami dan tidak dapat dibenarkan secara syar’i maka menggugurkan haknya untuk mendapatkan nafkah, Menggugurkan nafkahnya yang berupa kebendaan dan Gugur pula nafkah yang terhutang.78
76
Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B., dkk., cet. II, (Jakarta: PT Lentera Basritama, 1996), hlm. 402. 77 As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, cet. II, (al-Qahirah: Fath al-I’lam al-‘Arabi, 1410 H/1990 M.), III: 229. 78 Muhammad Ali Sabikh wa Awladuhu, Al-Ahkam Syari’ah fi Ahwal Asy-Syahsiyyah, (ttp., 1965), hlm. 28.
44
Dengan berdasarkan atas kaidah fiqh alasan gugurnya kewajiban suami memberi nafkah tersebut dapat dianggap suatu yang logis karena kedurhakaan istri kepada suaminya dalam rumah tangga itu harus dihilangkan, hal ini sesuai kaidah fiqh yang berbunyi;
ضَرِر ْاضَ َخف َ ضَرُر ْاضَ َشد َُُز ُال باِل َ ال
79 ِ
“kemudaratan yang lebih berat harus dihilangakan dengan yang lebih ringan”
Karena istri meninggalkan kewajiban taat kepada suami, maka suami pun boleh meninggalkan kewajibannya memberi nafkah.80 4. Hak Mentalak Di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, Perceraian; dan Atas keputusan pengadilan.81 Dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal selanjutnya bahwa untuk melakukan perceraian harus ada alasan, bahwa antara suami-istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri.82 Suami-istri yang sudah tidak dapat hidup rukun lagi karena terjadinya nusyuz oleh salah satu pihak atau kedua-duanya secara bersamaan
(syiqaq)
dan
telah
diupayakan
sekuat
tenaga
untuk
menyelesaikanya secara damai, baik oleh kedua belah pihak yang bersangkutan sendiri atau melalui pihak ketiga sebagai mediator, maka dalam kondisi seperti ini sudah tidak ada cara lain kecuali memutuskan 79
Asmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 82. Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqh Wanita, alih bahasa Anshari Umar Sitanggal, (Semarang: C.V. Asy-Syifa', t.t.), hlm. 465. 81 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 34. 82 Ibid., Pasal 39 Ayat (2). 80
45
hubungan tali perkawinan suami-istri tersebut agar situasi tidak semakin parah dan dapat memicu terjadinya tindak kekerasan.83 Menurut pendapat prof. Mahmud Yunus bahwa sebab-sebab yang memperbolehkan menjatuhkan talak dengan tiada dibenci oleh Allah ialah: a. istri berbuat zina b. istri nusyuz setelah diberi nasihat dengan segala daya upaya c. istri suka mabuk, penjudi atau melakukan kejahatan yang menggangu keamanan rumah tangga, dan lain-lain, sebab yang berat yang tidak memungkinkan berdirinya rumah tangga dengan damai dan teratur.84 Berdasarkan telaah yang telah dilakukan peneliti berkaitan dengan persoalan nusyuz secara umum, maka terdapat minimal tiga hak atau kewenangan yang dimiliki suami, dan selama ini dianggap sebagai hak bersifat mutlak (absolut) karena adanya beberapa alasan yang mendukungnya. Hal ini tentu saja berakar dari pemahaman dan penafsiran atas ayat an-Nisa’ (4): 34 secara keseluruhan terutama menyangkut konsep kedudukan dan relasi suami istri dalam rumah tangga.
83
Saleh bin Ganim, Op. Cit., hlm. 69. Muhammad Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, cet. X, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1983), hlm. 113. 84
46
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian dalam pembahasan ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang obyek kajianya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur yang ada kaitanya dengan penelitian, maka pengumpulan data ditekankan pada penelaahan terhadap literatur, dan bahan pustaka yang relevan terhadap masalah yang diteliti. Menelusuri literatur kemudian menelaahnya secara tekun merupakan kerja kepustakaan yang sangat diperlukan dalam melaksanakan penelitian.85 Langkah-langkah yang penulis lakukan ialah meneliti dan menelaah kitabkitab fiqih yang berhubungan dengan pembahasan tentang Perlakuan dan Hakhak Suami dalam memperlakukan istri saat nusyuz . B. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, adalah pendekatan penelitian deskriptif, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik, sehingga dapat lebih mudah untuk difahami dan disimpulkan. Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktualnya sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diproleh.86
85 86
Moh. Papundu Tika, Metodologi Riset Bisnis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 18 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2001, hlm,
6.
46
47
Sedangkan menurut Muhammad Nazzir, penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status seklompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, atau akurat mengenai faktafakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.87 Selain itu jenis penelitian yang bersifat deskriptif juga bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini kadang-kadang berawal dari hipotesis, tetapi dapat juga tidak bertolak dari hipotesis, dapat membentuk teori-teori baru atau memperkuat teoro-teori yang sudah ada.88 C. Jenis Data Jenis data, peneliti hanya menggunakan data sekunder, yang terdiri dari bahan data primer, bahan data sekunder, dan bahan data tersier. Karena dalam penelitian hukum normatif sepenuhnya menggunakan data sekunder (bahan kepustakaan).89 Diantaranya sebagai berikut : a. Bahan Data Primer Data primer merupakan bahan yang diperoleh langsung dari sumber pertama.90 Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari kitab Imam, Husaini Taqiy ad-Din Abi Bakar ibn Muhammad ad-Dimasqi Asy- Syafi’i, 87
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada , Jakarta, 1988, hlm. 63. 88 Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 25-26. 89 Ibid., hlm. 119. 90 Ibid., hlm. 30.
48
Kifayat al- Akhyar, Semarang: Toha Putra, t.t., Jaziri, Abdurrahman, al-, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr, t.t, Muhtar, , Nawawi, Muhammad Umar bin, Syarh ‘Uqud al-Lujjayn fi Huquq azZawjayn, Surabaya: Mutiara Ilmu, t.t Kamal, Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet. III, Jakarta : Bulan Bintang, 1993. b. Bahan Data Sekunder Data sekunder merupakan bahan yang diproleh dari sumber bacaan terkait dengan sumber data primer. Dalam penelitian ini, sumber data sekunder di proleh dari buku literatur sebagai penunjang yang sesuai dengan judul. D. Metode Pengumpulan Data Salah satu tahap penting dalam proses penelitian adalah tahap pengumpulan data. Hal ini karena data merupakan faktor terpenting dalam suatu penelitian, tanpa adanya data yang terkumpul, maka tidak mungkin suatu penelitian akan berhasil. Penelitian dalam pembahasan skripsi ini adalah penelitia pustaka, maka metode yang penulis gunakan dalam pengumpulan data adalah metode dokumentasi. Dokumentasi berasal dari kata dokumen yang berarti catatan peristiwa yang sudah berlalu yang bisa berbentuk tulisan, gambar atau karyakarya monumental dari seseorang.91 Pengumpulan data dari jenis penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan penelitian normatif dilakukan sepenuhnya dengan bahan data sekunder (kepustakaan), penyusunan kerangka teoritis yang bersifat tentatif 91
Sugiyono, Op., Cit., hlm. 82.
49
(skema) dapat ditinggalkan. Konsekuensi dari (hanya) menggunakan data sekunder, maka pada penelitian normatif tidak diperlukan sampling, karena data sekunder (sebagai sumber utamanya) memiliki bobot dan kwalitas tersendiri yang tidak bisa diganti dengan data jenis lainya.92 Maka pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan data sekunder diantaranya adalah buku dan kitab-kitab fiqih yang dikumpulkan sebanyak banyaknya kemudian dideskripsikan. Artinya data yang terkumpul dipakai sedemikian rupa agar mudah di analisi dan penulis dapat menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk difahami dan disimpulkan. Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktualnya sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diproleh.93 E. Metode Analisis Data Setelah pengumpulan data diproleh, maka tahap berikutnya adalah pengolahan data dengan tahap sebagai berikut : 1. Editing Proses
editing
adalah
meneliti
kembali
data
yang telah
dikumpulkan dengan menilai apakah data yang dikumpulkan sudah cukup baik, dan relevan untuk diproses dan diolah lebih lanjut.94 Dalam proses ini, peneliti juga akan mencermati bahan-bahan yang telah dikumpulkan dengan membuang hal-hal yang tidak berhubungan dengan penelitian.
92
Amiruddin et. Al, Op., Cit., hlm. 119-120. Saifuddin Azwar, Op., Cit., hlm. 6. 94 Moh. Pabundu Tika, Op. Cit., hlm. 75. 93
50
2. Classifying Proses classifying adalah proses pengklarifikasian data yang diproleh agar lebih mudah dalam melakukan pembacaan data sesuai dengan kebutuhan
yang diperlukan.
Dalam
proses ini, peneliti
memisahkan atau memilah-milah data yang telah diedit sesuai dengan pembagian-pembagian yang dibutuhkan. 3. Analying Dalam hal ini, peneliti akan menggunakan data-data yang berasal dari kitab-kitab fiqih tentang waktu niat dalam shalat, yang kemudian akan dianalisa dengan menggunakan fiqih Imam Hanafi. 4. Concluding Setelah ketiga tahapan diatas telah selesai, kemudian peneliti menyimpulkan tentang apa yang telah ditulis didalam penelitianya.
51
BAB IV ANALISIS TENTANG PERLAKUAN DAN HAK-HAK SUAMI DALAM MEMPERLAKUKAN ISTRI SAAT NUSYUZ
A. Analisis tentang Perlakuan dan Hak-Hak Suami Dalam Memperlakukan Istri Sedang Nusyuz Dalam kitab ‘Uqûd al-Lujjayn kewajiban suami terhadap istri mencakup perlakuan baik, memberikan nafkah, maskawin dan pemberian lainnya, serta pengajaran keagamaan seperti ibadah, haid, taat kepada suami, dan tidak melakukan hal-hal yang maksiat. Semua harus dipenuhi oleh lakilaki, apabila tidak dipenuhi kewajibannya sampai meninggal, maka ia akan menghadap Allah dalam keadaan menanggung perzinahan.95 Ada 3 hal yang mengakibatkan putusnya perkawinan yaitu : 1. Nusyuz dari pihak istri 2. Nusyuz dari pihak suami 3. Adanya pertengkaran atau syiqaq96 Ketika persoalan nusyuz muncul, baik yang dari pihak istri maupun dari pihak suami sering kali menggiring mereka dalam situasi genting dan lepas kontrol dalam bersikap terhadap pasangannya. Hal ini tentu saja lebih rawan lagi bagi posisi perempuan, baik itu saat mereka yang nusyuz atau ketika ia berhadapan dengan suami yang nusyuz. Dalam dua masa transisi semacam ini kerap kali
mereka harus menjadi korban yang sangat tidak
diuntungkan. Artinya, ketika mereka nusyuz, maka posisi mereka sangat 95
An-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarh an-Nawawi, (ttp. Dar al-Fikr, 1981 M/1401 H), hlm.14. 96 Ibid, hlm. 191
51
52
terancam dengan adanya hak-hak suami yang telah mendapatkan legalitas hukum untuk menindak mereka, yang selama ini lebih dipahami oleh para lelaki sebagai hak untuk menghukum. Begitu pula di saat yang nusyuz pihak suami, pihak istripun yang kerap kali dijadikan alasan sebagai faktor pemicunya dan sebagai pihak yang patut dipersalahkan, sehingga kerap kali pihak istri mendapatkan "getah" yang berupa tindak kekerasan. Selanjutnya Imam al-Nawawi menekankan berjalannya konsepsi hak dan kewajiban yang dimiliki setiap unsur dalam keluarga dalam rangka membentuk keluarga sakinah, karena menurutnya bila masing-masing individu dalam keluarga melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan posisinya, yaitu suami sebagai pemimpin keluarga, isteri sebagai pemimpin di rumah suami, maka akan tercipta keluarga sakinah. Bagi Nawawi, kewajiban suami adalah hak isteri, sebaliknya kewajiban isteri merupakan hak suami97. Pada bab terdahulu telah dibahas batasan hak-hak suami dalam memperlakukan istri yang sedang nusyuz, yaitu pertama hak persuasif yang meliputi hak memberi nasehat, hak pisah ranjang dan memukul. Kedua hak mencegah nafkah, dan hak talak. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dinyatakan seorang istri mempunyai wewenang jika mengalami nusyuz suami yaitu: pertama; bersabar, jalan lainnya adalah mengajukan khulu’ dengan kesediaan membayar ganti rugi kepada suaminya sehingga suaminya mau menjatuhkan talak.98
97
Nawawi, Op. Cit., hlm. 29. Ensiklopedi Hukum Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993, hlm. 1355. 98
53
Suami yang berubah sikapnya terhadap istri, menurut Quraish Shihab juga disebut nusyuz. Memang secara teks terdapat perbedaan antara nusyuz yang dilakukan oleh suami maupun oleh istri dalam hal solusinya, bahkan dalam Undang-undang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan secara terperinci hukum tentang nusyuz seorang suami. Hal inilah yang selama ini memberi kesan adanya ketimpangan dan ketidak adilan gender dalam masalah nusyuz. Di satu pihak ketika persoalan nusyuz muncul dari pihak istri selalu saja direspon sebagai persoalan serius dan harus segera ditindak. Sedangkan bila hal itu muncul dari pihak suami maka dianggap sebagai hal wajar dan tidak perlu dibesar-besarkan, dan hendaknya istri barsabar sekaligus berusaha untuk berdamai. Dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ Ayat 128 menawarkan solusi bagi suami yang melakukan nusyuz yaitu sebuah perdamaian yang dilakukan oleh istri kepada suaminya. Ayat ini, menurut Quraish Shihab, memberi contoh istri atau suami memberi atau mengorbankan sebagian haknya kepada pasangannya demi menghindari sebuah perceraian.99 Dalam al-Asas fi at-Tafsir, Sa’id Hawa menjelaskan bahwa berdamai itu lebih baik dari pada berpisah, nusyuz atau pun setiap jenis permusuhan adalah salah satu dari kejahatan, sebaliknya berdamai adalah merupakan salah satu dari kebaikan. Sa’id mengutip Ayat, yaitu ( وأحضرررا افس ررش ال رperangai
kikir). Artinya jika kekikiran sudah
menjadi tabiat dan sulit dielakkan, namun keduanya masih tetap mencari
99 Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera, 2000), hlm. 579.
54
solusi untuk mendapatkan kemaslahatan dan kemanfaatan, kemudian dengan begitu Tuhan akan meningkatkan kebaikan dan ketaqwaan. Dalam firman tersebut terdapat anjuran untuk menghindari tabiat-tabiat yang jelek dan supaya mengikuti anjuran syari’at seperti firman Allah:
َوإِ ْن ُْت ِسنُ ْوا َوتَتَ ُق ْوا فَِإ َن للاَ َكا َن ِبَا تَ ْع َملُ ْو َن َخبِْي را
100
“maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Maksudnya adalah jika kamu membenci dan tidak mencintainya, maka bersabarlah atas keadaan demikian. Hal ini di dasarkan atas (untuk) menjaga hak-hak dan menghindari berbuat durhaka, berpaling dari apa-apa yang akan membawa kepada kehancuran dan permusuhan. Asbab an-nuzul dari Ayat ini adalah Sa’id mengutip dalam Sunan Sa’id bin Mansur dari Uswah: Saudah adalah wanita yang sudah tua, maka Saudah meminta kepada Rasul (sekalipun berat) untuk memberikan jatah harinya (gilirannya) kepada Aisyah, karena dia tahu kecintaan Rasul kepada Aisyah, kemudian Rasul menerimanya.101 Bila nusyuz berasal dari pihak istri, maka suami bisa mengambil empat langkah penyelesaian. Pertama, menasehati setelah berintropeksi dan menasehati diri sendiri. Kedua, pisah ranjang dan tidak saling tegur sapa. Langkah kedua ini tidak boleh dijalankan lebih dari tiga hari atau maksimal empat bulan kalau dianologikan dengan hukum illa’. Ketiga, memukul. Para ualama berbeda pendapat mengenai bentuk pemukulan ini. as-Sabuni dan 100 101
1195.
An-Nisa’ (4): 128. Sa'id Hawa, al-Asas fi Tafsir, cet. I, (Beirut: Dar as-Salam, 1405 H/1989 M.), II: 1194-
55
Wahbah az-Zuhailiy mengatakan tidak boleh memukul muka, perut dan pukulan yang menetap pada satu bagian sehingga dapat menambah rasa sakit. Imam Hanafi menetapkan, berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan Muslim, untuk pukulan ini mengunkan tidak lebih dari sepuluh batang lidih.102 Pada Minhaj yang dikutip oleh al-Jamal (W.1204) menyebutkan bila telah muncul tanda-tanda nusyuz dari istri, suami bisa menasehati. Bila telah jelas-jelas yakin dia nusyuz, maka suami bisa memisahi ranjang dan memukul tanpa menyakitkan.103 Langkah keempat adalah mengadakan perjanjian damai dengan juru damai. Perdamaian ini bukan lagi kategori dalam nusyuz, tetapi dalam syiqaq, yakni kebencian yang telah mewarnai kedua belah pihak. Bagi pihak yang secara jelas membedakan nusyuz dan syiqaq. Sebagai sebuah catatan yang harus selalu diperhatikan adalah bahwa hak atau kewenangan suami dalam memperlakukan istri saat nusyuz seperti yang dijelaskan dalam surat an-Nisa’ (4): 34, juga haknya untuk melakukan pencegahan nafkah istri dan juga hak untuk menjatuhkan talak, semua itu diberikan kepada laki-laki bukan dengan tujuan sebagai pihak yang berwenang menghukum, juga bukan dengan pertimbangan kekuasaan ada pada dirinya sebagai pemimpin, tetapi hal itu diberikan kepadanya sebatas sebagai metode edukatif sekaligus solusi dalam menyikapi persoalan yang timbul dalam rumah tangga sesuai dengan fungsinya sebagai pengayom, pelindung dan pengatur untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh; 102 Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 1355. 103 Sulaiman bin 'Umar Al-Ajily-Syafi'i al-Jamal, Al-Futuhat Al-Ilahiyat, (Beirut: Dar alKutub al-Alamiyah, 1416 H/1992 M.), I: 379.
56
104ِ
ِ ِ الم ِام علَى ِ ُ ص ِر صلَ َحة ْ الرعيَة َمنُ ْوط بِالْ َم َ ُت َ َ َْ ف
“Keputusan pemimpin atas bawahannya itu digantungkan dengan kemaslahatan.”
Penulis beranggapan bahwa ketimpangan menyangkut relasi suami-istri dalam rumah tangga yang terjadi dalam kehidupan sosial kita adalah karena beberapa faktor. Salah satunya adalah kontruksi budaya tentang anggapan wanita atau istri merupakan hak sepenuhnya suami, dan istri berkewajiban merahasiakan persoalaan keluarga kepada orang lain. Banyak korban yang menderita di dalam rumah tangganya, istri yang kehilangan hak-haknya sebagai manusia yang seharusnya diperlakukan secara manusiawi. Ketika persoalan nusyuz muncul, baik yang dari pihak istri maupun dari pihak suami sering kali menggiring mereka dalam situasi genting dan lepas kontrol dalam bersikap terhadap pasangannya. Hal ini tentu saja lebih rawan lagi bagi posisi perempuan, baik itu saat mereka yang nusyuz atau ketika ia berhadapan dengan suami yang nusyuz. Dalam dua masa transisi semacam ini kerap kali mereka harus menjadi korban yang sangat tidak diuntungkan. Artinya, ketika mereka nusyuz, maka posisi mereka sangat terancam dengan adanya hak-hak suami yang telah mendapatkan legalitas hukum untuk menindak mereka, yang selama ini lebih dipahami oleh para lelaki sebagai hak untuk menghukum. Begitu pula di saat yang nusyuz pihak suami, pihak istripun yang kerap kali dijadikan alasan sebagai faktor pemicunya dan
104
Abdullah Sa’Id bin Muhammad Ubbadi, Idlahu al-Qawaid al-Fiqhiyyah, cet. III (Surabaya: al-Hidayah, t.t.), hlm. 62.
57
sebagai pihak yang patut dipersalahkan, sehingga kerap kali pihak istri mendapatkan "getah" yang berupa tindak kekerasan B. Analisis tentang Ketentuan Nusyuz dalam Kompilasi Hukum Islam Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) aturan mengenai persoalan nusyuz dipersempit hanya pada nusyuznya istri saja serta akibat hukum yang ditimbulkannya. Mengawali pembahasannya dalam persoalan nusyuz KHI berangkat dari ketentuan awal tentang kewajiban bagi istri, yaitu bahwa dalam kehidupan rumah tangga kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lakhir dan batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam. Istri dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajibankewajiban sebagaimana dimaksud tersebut. Walaupun dalam masalah menentukan ada atau tidak adanya nusyuz istri tersebut menurut KHI harus di dasarkan atas bukti yang sah.105 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan bahwa kewajibankewajiban suami yang berupa kewajiban memberi nafkah, menyediakan tempat kediaman bagi istri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan bagi istri berlaku semenjak adanya tamkin sempurna dari istrinya. Dan kewajiban-kewajiban tersebut menjadi gugur apabila istri nusyuz.106 Dalam pasal selanjutnya dijelaskan bahwa selama istri dalam keadaan nusyuz kewajiban suami terhadap istrinya seperti yang telah disebutkan di atas gugur kecuali yang berkaitan dengan hal-hal untuk kepentingan anaknya.
105 106
KHI, Pasal 83 Ayat 1 dan Pasal 84 Ayat (1) dan (4). KHI, Pasal 80 Ayat (4), (5) dan (7).
58
Untuk kewajiban suami terhadap istri nusyuz yang gugur tersebut belaku kembali jika istri sudah tidak nusyuz lagi.107 Begitu pula akibat hukum yang berupa perceraian, hal ini dimungkinkan jika kedua belah pihak sudah tidak mungkin untuk berdamai lagi, hal ini juga sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang hukum perkawinan pada Pasal 39 Ayat (2) jo. Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 116 huruf. Dalam hal akibat hukum bagi nusyuznya suami maka tidak ada ketentuan yang secara jelas mengatur tentang kewenangan atau hak istri dalam menindak suaminya tersebut. Walaupun seorang istri memiliki kewenangan untuk ikut menanggulangi kekeliruan dan penyelewengan yang dilakukan suami, hal itu sebatas tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Seorang istri tidak dibenarkan menjalankan atau menerapkan metode pengacuhan atau pemukulan seperti yang dilakukan suami kepadanya saat ia nusyuz, hal ini disebabkan oleh karena adanya perbedaan qodrat antara laki-laki dan wanita, serta lemahnya istri untuk dapat menanggulangi suami.108 Seorang istri dalam menyikapi nusyuznya suami hendaknya berusaha sekuat tenaga untuk menasihati suaminya akan tanggung jawabnya atas istri dan anak-anaknya. Hal ini tentu saja ia lakukan dengan cara musyawarah secara damai dengan tutur kata lembut dan halus. Tidak lupa ia juga harus
107
Ibid., Pasal 84 Ayat (2), (3) dan (4). Saleh bin Ganim al-Saldani, Nusyuz, alih bahasa A. Syaiuqi Qadri, cet. VI (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 25-26, hlm. 60. 108
59
mengintropeksi diri atas segala kemungkinan dirinya sebagai pemicu suaminya dalam melakukan penyimpangan tersebut.109 Apabila dengan jalan musyawarah tidak tercapai perdamaian juga, maka menurut imam Malik sebagaimana dikutip oleh Nurjannah Ismail istri boleh mengadukan suaminya kepada hakim (pengadilan). Hakimlah yang akan memberikan nasihat kepada sang suami. Apabila tidak dapat dinasihati, hakim dapat melarang sang istri untuk taat kepada sang suami, tetapi suami tetap wajib memberi nafkah. Hakim juga membolehkan sang istri untuk pisah ranjang, bahkan tidak kembali ke rumah suaminya. Jika dengan cara demikian pun, sang suami belum sadar juga, maka hakim dapat menjatuhkan hukuman pukulan kepada sang suami. Setelah pelaksanaan hukuman tersebut, sang suami belum juga memperbaiki diri, maka hakim boleh memutuskan perceraian dintara keduanya jika isteri menginginkannya. Pendapat imam Malik ini seimbang dengan sikap yang harus diambil atau ditempuh oleh suami saat menghadapi isteri nusyuz, sebagaimana dijelaskan dalam surat annisa’ (4): 34, bedanya dalam kasus nusyuznya suami ini yang bertindak adalah hakim.110 Dalam
perundang-undangan
perkawinan
Indonesia
juga
dapat
diketemukan beberapa prinsip dasar menyangkut relasi suami-istri. Pertama, prinsip kebersamaan, dalam arti keduanya sama-sama berkewajiban dalam menegakkan rumah tangga. Kedua, prinsip musyawarah dalam menyelesaikan 109
Ibid., hlm. 61. Nurjannah, Perempuan Dalam Pasungan; Bias Laki-laki Dalam Penafsiran, cet. I, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 279. 110
60
persoalan rumah tangga. Ketiga, keduanya berkedudukan secara seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan dalam masyarakat. Keempat, mempunyai hak sama di depan hukum. Kelima, prinsip saling cinta, hormatmenghormati dan saling membantu.111 Dalam menyikapi istri yang nusyuz, yang terpenting juga adalah harus dapat melihat persoalan tersebut secara subtantif. Artinya, melihat persoalan itu sebagai suatu permasalahan hukum yang harus memiliki unsur-unsur tertentu untuk bisa disebut sebagai perbuatan hukum. Yang dalam hal ini harus memenuhi tiga unsur; pertama, unsur formil, yaitu adanya undangundang atau nas yang mengatur hal itu. Kedua, unsur matriil. yaitu adanya sifat melawan hukum, dengan berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Ketiga, unsur moril, yaitu pelakunya dapat dimintai pertanggung jawaban secara hukum.112 Jika dikaitkan dengan persoalan nusyuz maka untuk mengetahui apakah suatu perbuatan ‘ketidaktaatan’ tertentu seorang istri dapat dikategorikan sebagai sikap nusyuz atau tidak maka hal itu dapat dilihat dari ada tidaknya dasar hukum yang menjelaskannya. Begitu pula perbuatan tersebut harus bersifat melawan hukum. Artinya, bahwa perbuatan tersebut harus bersifat telah pasti terjadinya, tidak hanya berdasarkan praduga atau perkiraan semata. Oleh karena itu untuk mengetahui telah terjadinya perbuatan
111
UU. No. 1/74 Pasal 33, “Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain”, jo. KHI Pasal 77 Ayat (2). 112 Mahrus Munajat, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, cet. I, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hlm.. 10.
61
nusyuz para mufassir berangkat dari pemaknaan atas kata " "خوفdalam rangkaian kalimat awal Ayat surat an-Nisa’ (4): 34 ( )والال تى تخافونyang menurut mereka memiliki dua arti yaitu ( ظنprasangka) dan علم (pengetahuan), walaupun sebagian mufassir ada yang lebih condong menggunakan arti yang pertama seperti al-Jamal dan ar-Razi.113 Begitu pula masuk dalam pengertian subtansi hukum perbuatan nusyuz di sini adalah segi kualitatif, kuantitatif dan latar belakang pemicu perbuatan itu sendiri. Hal ini tentu saja karena jenis, sifat dan bentuk dari perbuatan nusyuz tersebut sangat beragam, sehigga diperlukan pengkategorian secara spesifik untuk dapat menentukan masuk dalam klompok apa bentuk perbuatan itu, ringan, sedang ataukah berat. Sehingga dalam menyikapinya pun suami dapat dinilai apakah ia telah berlebihan atau tidak. Adapun tujuan penjatuhan sanksi terhadap istri nusyuz juga dapat dugunakan sebagai paremeter seorang suami dalam melakukan hak-haknya, begitu pula dapat digunakan untuk menilainya, apakah dia telah melampaui batas-batas hak dan kewenanganya atau belum. Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan penjatuhan sanksi dapat dibagi menjadi lima hal, yaitu: (1) pembalasan (revenge), (2) penghapusan dosa (expiation), (3) menjerahkan (deterrent), (4) perlindungan terhadap umum (protektion of the public), (5) memperbaiki si pelaku (rehabilitation).114 Dan dari kelima tujuan tersebut yang paling cocok untuk dijadikan peganggan 113
Fahruddin ar-Razi, Tafsir al-Kabir al-Musamma bi Mafatih al-Gaib, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), IX: 93. dan Muh. Yusuf as-Syahir, Tafsir Bahr Muhit, III: 43. 114 Andi Hamzah dan A. Simanglipu, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Masa Kini dan Masa yang Akan Datang, cet. II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 15.
62
bagi suami dalam menindak istri yang nusyuz tentu saja adalah tujuan yang nomor tiga dan lima. Dalam hal tujuan penjatuhan sanksi terhadap istri yang nusyuz maka tidak lain hal itu sebagai media pembelajaran terhadap istri. Begitu pula menurut
Sa’id Hawa
bahwa
hak-hak
yang dimiliki
suami
dalam
memperlakukan istri nusyuz tidak lain merupakan upaya ‘penggobatan’ terhadap istri. Begitu pula dalam metode penerapannya menurut pendapat Syafi’i sebagaimana dikutip oleh ar-Razi bahwa tiap-tiap tahapan harus saling berurutan, selama cara pertama dapat mengatasi maka tidak perlu memakai yang selebihnya. Seperti misalnya dalam tahap hijr, sebaiknya dimulai dalam bentuk hijr lisan lalu tempat tidur kemudian baru mubasyarah (bersetubuh). Menurut Muhammad Abduh dan kebanyakan para mufassir yang lain bahwa memang sudah menjadi keharusan jika dalam penerapan tiap-tiap tahapan berurutan, walaupun pada kenyataannya adanya huruf ‘wau’ diantara kalimat-kalimat yang ada tidak dimaksudkan dengan makna littartib (berurutan), sebab hal itu menurutnya sudah dapat diketahui dengan petunjuk nalar rasio.115 Dalam ketentuan perundang-undangan perkawinan di Indonesia sendiri hak talak tidaklah merupakan monopoli pihak laki-laki saja, sebab perempuan juga memiliki hak yang sama dalam hal ini walaupun dengan penggunaan istilah yang berbeda. Hal ini dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 1 115
Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, Tafsir al-Manar, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1394 H/1973 M.), V: 79.
63
tahun 1974 yang menyatakan, “masing-masing pihak (suami-istri) berhak untuk melakukan perbuatan hukum”.116 Dalam Pasal selanjutnya dijelaskan, “jika suami-istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan”.117 Begitu pula dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan bahasa redaksi yang sama dalam Pasal 77 Ayat (5). Dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI), berkenaan dengan alasan-
alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perceraian dijelaskan dalam secara terinci sebagai berikut; 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun secara berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. 5. Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
116 117
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 31 Ayat (1). Ibid., Pasal 34 Ayat (3).
64
6. Antara suami-istri terus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. 7. Suami melanggar taklik-talak. 8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga. 118
118
KHI, Pasal 116.
65
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan pembahasan yang penyusun jelaskan secara menyeluruh maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Perlakuan dan hak-hak suami dalam memperlakukan istri nusyuz adalah pertama hak persuasif dan sanksi fisik yang meliputi menasihatinya, memisahi tempat tidurnya (menghindari untuk berhubungan badan), dan diperbolehkan memukulnya. Kedua hak mencegah nafkah, dan ketiga hak mentalak. 2. Ketentuan nusyuz dalam kompilasi hukum Islam bahwa seorang istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri, kecuali dengan alasan yang sah. Kewajiban tersebut yaitu berbakti lahir dan batin kepada suaminya di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam. Ada tidaknya nusyuz tersebut harus dibuktikan dengan alat bukti yang sah. Konsekuensi bagi istri yang nusyuz ialah ia tidak berhak mendapatkan nafkah dari suaminya yang berupa pakaian, tempat tinggal, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan pengobatan. Jika suami-istri tersebut kemudian bercerai, istri yang nusyuz juga tidak berhak menerima nafkah iddah. B. Saran-Saran 1. Untuk masyarakat luas, bahwa perkawinan merupakan ikatan suci. AlQur`an menyebutkan bahwa perkawinan adalah suatu perjanjian kukuh 65
66
yang mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang dimaksud adalah untuk selama-lamanya atas dasar saling mencintai antara suami istri. Oleh karena itu, perkawinan mempunyai hikmah yang mulia, seperti yang disyariatkan oleh Islam. Perkawinan harus dipelihara dengan baik, sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam, yakni terjuwudnya keluarga sejahtera, tenteram, penuh cinta dan sayang, dapat terwujud. Perceraian merupakan jalan terakhir bagi pasangan suami istri dalam menyelesaikan permasalahan rumah tangga setelah tidak ada lagi jalan keluar. 2. Seseorang apabila mengambil keputusan untuk menikah atau bercerai hendaklah berpikir dengan sangat matang dan penuh pertimbangan tentang segala hal kelebihan dan kekurangan pasangan. Dasar yang harus di gunakan oleh seseorang untuk melakukan Perkawinan yang paling utama adalah adanya rasa cinta. Apabila seseorang akan menikah, hendaklah karena akan menjalankan kewajiban agamanya, yaitu melakukan syari’at dan tanggung jawab keillahian bukan semata-mata untuk kepentingan dunia sesaat, tetapi sampai pada kehidupan selanjutnya. C. Kata Penutup Alhamdulillah, atas rahmat, taufik serta hidayah Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa apa yang penulis kerjakan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itulah demi
67
perbaikan dan kesempurnaan hasil karya yang cukup sederhana ini, penulis mengharapkan kritik maupun sumbang saran dari pembaca yang budiman. Akhirnya penulis berharap, mudah-mudahan hasil jerih payah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Amin ya Robbal Alamiin
68
DAFTAR PUSTAKA
Aziz, Abdul, Muhammad, Azzam dan Abdul Wahab sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat Khitbah, Nikah, dan Talak, (Jakarta : Sinar Grafika Offset. 2009) Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 2001 Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008 As-Sabuni, Ali, Muhammad ', Rowaiul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min alQur'an, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2001 H/14) Al-Hafiz, Abi, Al-Fida' Imam ibn Kasir, Tafsir Al-Qur'an Al-Azim, (Beirut: anNur al-Ilmiyah, t.t.) Az-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, cet. IV, (Bairut: Dar alFikr, 1997) ar-Razi, Fahruddin, Tafsir al-Kabir al-Musamma bi Mafatih al-Gaib, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), IX: 93. dan Muh. Yusuf as-Syahir, Tafsir Bahr Muhit Asmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976) Abu Muhammad 'Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, al-Muhalla, (Damaskus: Dar al-Fikr, tt.) al-Jaziri, Abdurrahman, al-, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, Beirut: Dar alFikr, t.t.. Al-Qurtubi, Jami' al-Ahkam al-Qur'an, (Mesir: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1967)
Basyi,r Azhar, Ahmad, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UUI Press, 1995) Ba'lawi, Abdurrahman, Bugyah al-Musytarsyidin, (Bandung: L. Ma'arif, t.t.)
Asy-Syahir, Yusuf ,Muh. al-Jamal, Tafsir Al-Bahr al-Muhit, cet. II, (Beirut: Dar Depag RI, Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, (Derektorat Jendral Pengembangan Kelembagaan Agama Islam), Pasal 80 Ayat (7)
69
Dawud, Abu, Sunan Abu Dawud, "Kitab an-Nikah", "Bab fi Haq al-Mar'ah 'ala Zawjiha", (Bairut: Dar al-Fikr, 1994), II: 212, hadis nomor 2142. diriwAyatkan dari Hakim bin Mu'awiyah al-Qusyairiy dari ayahnya. Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, tt.), IV
Hasyim, Syafiq, Hal-hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam, cet. III, (Yogyakarta: Mizan, 2001) , Hal-hal Yang Tidak Terlupakan Tentang Isu-isu Keperempuanan Dalam Islam, cet. I, Yogyakarta: Mizan, 2001. Ibrahim, Muhammad, al-Jamal, Fiqh Wanita, alih bahasa Anshari Umar Sitanggal, (Semarang: C.V. Asy-Syifa', t.t.)
Inpres nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 83 Ayat (1) dan 84 Ayat (1). Latif, Djamil. M. Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet. II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981) Manzur, Ibn, Lisan al-'Arabi, (Beirut: Dar Lisan al-'Arabi, ttp) Munawwir, Warson, Achmad, Kitab Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997) Musa, Yusuf, Muhammad ,Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah fi Fiqh al-Islami, cet. I, (Mesir: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1956) Mugniyyah, Jawad, Muhammad, Al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, (Bairut: Dar al-Ilm Li al-Malayin, 1964) Munajat, Mahrus, Dekontruksi Hukum Pidana Islam, cet. I, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004) Mas’udi, Farid, Masdar, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, cet. I, (Bandung: Mizan, 1997) Muslim, Sahih Muslim, "Kitab al-Hajj", "Bab Hijjah 'an-Nabi SAW., (Bairut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, t.t.), II: 512. diriwAyatkan dari Jabir bin Abdullah. Munawir, Tarry, Pengertian Sanksi Pidana http :// tarrymunawiru.blogspot.com /2015/01/pengertian-sanksi pidana.html, 5.45.00 AM
70
NurhAyati, Elli, "Tantangan keluarga pada Mellenium ke-3" dalam Lusi Margiani dan Muh. Yasir Alimi (ed.), Sosialisasi Menjinakkan "Taqdir" Mendidik Anak Secara Adil, cet. I, (Yogyakarta: LSPPA,1999) Nawawi, Muhammad bin Umar bin Arabi, Syarh Uqud al-Lujjayn fi Bayan alHuquq az-Zawjayn, (Surabaya: Mutiara Ilmu, t.t.) Nazir, Moh., Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada , Jakarta, 1988 Nikmah, Rifatun, Nusyuz Suami terhadap Istri Menurut Fiqih Berperspektif Gender dan Hukum Positif di Indonesia u. Skripsi : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Riau 2012, Nawawi, Muhammad, Syarh ‘Uqud al-Lujjayn fi Huquq az-Zawjayn, Surabaya: Mutiara Ilmu, t.t. Nasution, Khoruddin ISLAM Tentang Relasi Suami dan Isteri (Hukum Perkawinan I), cet. I, Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZAFFA, 2004 Rasyadi, A. Rahmat, Islam; Problem Seks Kehamilan dan Melahirkan, cet. X, (Bandung: Angkasa, 1993)
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, cet. III, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1998) Saleh bin Ganim al-Saldani, Nusyuz, alih bahasa A. Syaiuqi Qadri, cet. VI (Jakarta: Gema Insani Press, 2004) Soenarjo, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989) Sulaiman, Daud, Abi ibn as-Yas asy-syajastani, Sunan Abi Daud, "Kitab anNikah", "Bab fi haqqi az-Zawj 'ala al-Mar'ah", (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), II: 212. hadis nomor 2141, hadis diriwAyatkan dari abi Hurairah. Sarbini, Muhammad al-Katib, Mugni al-Muhtaj, (Mesir: Mustafa al-bab alHalabi, t.t.) Sabiq, As-Sayyid, Fiqh As-Sunnah, cet. II, (al-Qahirah: Fath al-I’lam al-‘Arabi, 1410 H/1990 M.) Sabikh, Ali, Muhammad wa Awladuhu, Al-Ahkam Syari’ah fi Ahwal AsySyahsiyyah, (ttp., 1965)
71
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, 2005 Soenarjo, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989) Sasmita, Dewi, Tinjauan Yuridis Mengenai Perlakukan Suami Terhadap Suami Istri Saat Nusyuz Berdasarkan Hukum Islam (Skripsi) Jakarta:Fakultas S1 Syariah Jember, 2008 Susanto, Bagus, Imam, Pandangan Imam Al Syafi’i tentang Nusyuz Dalam Perspektif Gender,. Skripsi : Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Malang, 2012 Tatapangarsa, Humaidi, Hak dan Kewajiban Suami-isteri Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993) Tika, Papundu, Moh., Metodologi Riset Bisnis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006) Yunus, Mahmus, Kamus Arab Indonesia PT Hida Karya Agung, Jakarta, 1990 Yunus, Muhammad, Hukum Perkawinan dalam Islam, cet. X, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1983) Amar, Abu, Imron,Fat-Hul Qarib, cet.I.(kudus : Menara Kudus, 1983) Anshary, Hukum Perkawinan Di Indonesia, cet. I,( Yogyakarta, Pustaka Pelajar)
72
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama
: PARYANTO
NIM
: 1211077
Tempat, Tgl Lahir
: Banjarnegara, 07 Juli 1989
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Agama
: Islam
Alamat
: Kutawuluh Rt. 01/02 Purwonegoro Banjarnegara
Pendidikan Formal
:
1. SDN 02 Kutawuluh Purwonegoro Banjarnegara. 2. SMPN 03 Pucung Bedug Purwonegoro Banjarnegara. 3. Paket C Hidayatussalam Rau Kedung Jepara
Jepara, 18 September 2015 Peneliti
PARYANTO
73
74