BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Serealia dan umbi-umbian banyak tumbuh di Indonesia. Produksi serealia terutama beras sebagai bahan pangan pokok dan umbi-umbian cukup tinggi. Begitu pula dengan bertambahnya penduduk, kebutuhan akan serealia dan umbiumbian sebagai sumber energi pun terus meningkat. Tanaman dengan kadar karbohidrat tinggi seperti halnya serealia dan umbi-umbian pada umumnya tahan terhadap suhu tinggi. Serealia dan umbi-umbian sering dihidangkan dalam bentuk segar, rebusan atau kukusan, hal ini tergantung dari selera. Usaha penganekaragaman pangan sangat penting sebagai usaha untuk mengatasi masalah ketergantungan pada satu bahan pangan pokok saja. Misalnya dengan mengolah serealia dan umbi-umbian menjadi berbagai bentuk awetan yang mempunyai rasa khas dan tahan lama disimpan. Bentuk olahan tersebut berupa tepung, gaplek, tapai, keripik dan lainya. Hal ini sesuai dengan program pemerintah khususnya dalam mengatasi masalah kebutuhan bahan pangan, terutama non-beras. Umbi ketela pohon yang dalam keadaan segar tidak tahan lama untuk disimpan. Untuk pemasaran yang membutuhkan waktu lama, umbi harus diolah dulu menjadi bentuk lain yang lebih awet, seperti gaplek, tapioka (tepung singkong), tapai, peuyeum, keripik singkong dan lain-lain (Margono, 2000). Indonesia merupakan negara pengekspor gaplek yang cukup potensial.
1
Gaplek merupakan produk semiolahan yang dibuat dengan cara pengupasan umbi ketela pohon dalam bentuk gelondong, kubus dan irisan, kemudian dicuci dan dijemur dibawah sinar matahari atau alat pengering (Oramahi et al, 2006). Gaplek yang telah kering kemudian bisa ditumbuk sebagai tepung tapioka yang bisa dibuat berbagai macam kue. Tepung tapioka dari gaplek selanjutnya bisa dibuat menjadi nasi tiwul yang gurih. Nasi tiwul sangat populer di masyarakat yang hidup di Pegunungan Kidul yang berawal dari Gunung Kidul, Wonogiri sampai di Pacitan (Anonim, 1992). Proses penanaman umbi ketela pohon di daerah Gunung Kidul selalu dilakukan pada awal musim hujan dan dipanen pada musim panas. Pemanenan umbi ketela pohon pada musim panas akan membantu proses pengeringan umbi ketela pohon tersebut. Proses pengeringan umbi ketela pohon ini masih menggunakan teknik yang sederhana, dengan menjemur umbi ketela pohon yang telah dikupas di hamparan perkebunan sehingga mendapatkan panas yang cukup dari matahari. Proses pengeringan yang dilakukan oleh para petani masih kurang efektif karena adanya perubahan cuaca yaitu panjangnya waktu musim hujan. Petani biasanya menimbun umbi ketela pohon (gaplek) di halaman rumah yang ditutup menggunakan terpal maupun di dalam gudang penimbunan, hingga gaplek tersebut menjadi kering dan siap dijual. Selain itu, permasalahan yang dihadapi petani dalam penanganan gaplek yaitu proses pengeringan gaplek saat musim hujan
menghasilkan
gaplek
berwarna
hitam,
kehilangan
hasil
dalam
penyimpanan gaplek sebesar 20-25% (Ginting et al., 1992).
2
Salah satu kehilangan hasil dalam penyimpanan karena adanya serangan fungi pada gaplek yang disimpan. Proses penimbunan gaplek akan mengakibatkan kondisi lembab yang menimbulkan pertumbuhan fungi pada permukaan gaplek tersebut. Fungi yang terdapat pada gaplek ini dipengaruhi oleh indoor airborne di gudang penimbunan gaplek. Dari hasil survey di Kabupaten Gunung Kidul, pada umumnya gaplek mempunyai kadar air yang cukup tinggi yaitu lebih dari 15%. Selain kadar air gaplek yang tinggi, penimbunan gaplek yang bertumpukan akan menyebabkan proses pengeringan sulit untuk mencapai kadar air rendah yang stabil sehingga mendukung pertumbuhan fungi (Oramahi et al, 2006). Keanekaragaman mikroorganisme lingkungan indoor sangat tinggi. Menurut Samson et al. (2010), terdapat kurang lebih 100.000 spesies fungi indoor yang telah teridentifikasi. Sebagian besar fungi indoor tersebut bersifat xerofilik golongan Penicillium dan Aspergillus (Araujo et al.,2010; Adan dan Samson, 2011). Sebelumnya telah dilakukan penelitian yang menunjukan bahwa fungi Aspergillus merupakan fungi dominan yang tumbuh pada gaplek (Oramahi et al., 2006). Keberagaman fungi dan mikotoksin pada indoor airborne gudang penimbunan gaplek perlu dideteksi secara akurat oleh karena produk gaplek itu sendiri akan digunakan dalam pembuatan bahan dasar pangan sehingga dapat mencegah dampak negatif bagi kesehatan manusia dan hewan yang mengkonsumsinya. Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan fungi pada produk simpanan terutama dalam menghasilkan aflatoksin (Oramahi et al., 2006).
3
Penentuan strain indoor airborne dan Aspergillus flavus yang menghasilkan aflatoksin pada gudang penimbunan gaplek menggunakan metode kultur, mikroskopik dan molekuler. Metode molekuler berbasis DNA merupakan salah satu cara untuk mengidentifikasi spesies yang tidak dapat dibedakan secara morfologi dan lebih akurat. Teknik molekuler dalam penelitian sudah banyak digunakan untuk mengidentifikasi secara spesifik beberapa spesies fungi dan salah satunya dalam mendeteksi gen penghasil mikotoksin (Rocha et al., 2011). Keberadaan strain fungi pada indoor airborne gudang penimbunan gaplek di wilayah Gunung Kidul belum diketahui secara pasti, baik dalam menghasilkan aflatoksin atau tidak. Hal ini dikarenakan belum adanya penelitian yang mengidentifikasi spesies airborne fungi pada gudang penimbunan gaplek serta membuktikan strain A. flavus memiliki gen penghasil aflatoksin. Sehingga identifikasi spesies fungi secara makroskopik, mikroskopik maupun molekuler perlu dilakukan untuk mengetahui karakteristik spesies fungi A. flavus penghasil aflatoksin dari gudang penimbunan gaplek yang didapat dari beberapa daerah di Gunung Kidul. 1.2. Perumusan Masalah 1. Bagaimana keanekarangaman airborne fungi pada gudang penimbunan gaplek? 2. Bagaimana fungi Aspergillus flavus yang diisolasi dari airborne gudang penimbunan gaplek memiliki gen afltoksin?
4
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah 1. Mengetahui keanekaragaman indoor airborne fungi yang terdapat di gudang penimbunan gaplek di Gunung Kidul, Yogyakarta. 2. Mengetahui keberadaan Aspergillus flavus yang memiliki gen penghasil aflatoksin. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1. Identifikasi keanekaragaman fungi yang di isolasi dari udara penimbunan gaplek di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. 2. Identifikasi molekular gen pembawa aflatoksin pada Aspergillus flavus group. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan maupun masyarakat, diantaranya: 1. Diketahui informasi penyebaran dan karakteristik keanekaragaman fungi yang berasal dari airborne penimbunan gaplek di daerah Gunung Kidul. 2. Tersedia informasi molekuler dari spesies Aspergillis Flavus pembawa gen aflatoksin dari lingkungan penimbunanan gaplek di Gunung Kidul. 3. Untuk meningkatkan kesadaran petani maupun pengepul gaplek dalam penanganan selama proses maupun penyimpanan yang lebih baik.
5