1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara pasti mempunyai tujuan tertentu, dan pada umumnya pembentukan negara hukum memiliki tujuan untuk mencapai suatu keadaan tertentu, yang dalam terminologi administrasi negara lazim disebut sebagai welfare state atau negara kesejahteraan. Tujuan setiap negara senantiasa dikaitkan dengan masalah kesejahteraan, sehingga konsekuensinya dalam doktrin Hukum Tata Negara melahirkan tipologi negara, yaitu tipe negara kesejahteraan atau negara hukum modern, sebuah konsep negara yang meletakkan kewajiban bagi pemerintah untuk menyelenggarakan kepentingan umum, khususnya dalam rangka untuk memajukan kesejahteraan masyarakat, menciptakan ketertiban masyarakat, dan menegakkan atas dipatuhi dan dilaksanakan ketentuan undangundang yang berlaku.1 Dianutnya konsep welfarestate atau yang dikenal dengan konsep negara hukum kesejahteraan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dipahami melalui pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD NRI Tahun 1945), khususnya tertuang pada alinea ke IV. Ketentuan tersebut merumuskan:”…negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
1
Husni Thamrin, 2013, Pressindo, Yogyakarta, h. 21.
Hukum Pelayanan Publik
di Indonesia,
Cet. II, Aswaja
2 berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial…”. Atas hal tersebut dan sesuai dengan tujuan negara, maka pada pembentukan pemerintahan Indonesia
diarahkan
untuk
mencapai
kesejahteraan
masyarakat
melalui
penyelenggaraan kepentingan umum. Adapun salah satu tugas pemerintah yang menjadi tuntutan atas kesejahteraan masyarakat adalah terselenggaranya pelayanan publik yang baik (public service). Pelayanan publik yang ideal adalah pelayanan publik yang responsif terhadap berbagai kepentingan publik yang ada. Dengan sifat masyarakat yang dinamis, maka karakter pelayanan publik juga harus senantiasa berubah mengiringi dinamika perkembangan masyarakat. Pola paragdima baru sistem pelayanan publik haruslah berbasiskan prinsip good governance dan menganut teori demokrasi sebagai model pelayanan publik yang sesuai di Indonesia ke depannya.2 Penilaian pelayanan publik dari tinjauan aspek hukum dipandang sebagai suatu kewajiban yang diberikan oleh konstitusi kepada pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara atas suatu pelayanan. Sedangkan bagi warga negara, pelayanan publik merupakan suatu hak yang dapat dituntutnya dari pemerintah, sehingga lahirnya kewajiban dan hak tersebut karena ditentukan dan berdasarkan dalam konstitusi (asas legalitas).3 Dalam hubungan antara pemerintah dengan warga negara atau masyarakat seperti yang telah disebutkan di atas, seringkali pelayanan publik menjadi
2
Ibid, h. 68. S.F. Marbun, 2013, Hukum Administrasi Negara II, Cet. I, FH UII Press, Yogyakarta,
3
h. 8.
3 indikator untuk menilai apakah suatu organisasi pemerintahan sudah mencapai kondisi good governance atau belum. Masyarakat setiap waktu akan selalu menuntut pelayanan publik yang berkualitas dari birokrat, meskipun tuntutan tersebut seringkali tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, karena secara empiris pelayanan publik yang terjadi selama ini masih belum dapat memuaskan masyarakat. Kecenderungan seperti itu terjadi karena masyarakat masih diposisikan sebagai pihak yang “melayani” bukan yang “dilayani”.4 Pengelolaan
dan
pengembangan
pelayanan
publik
dalam
rangka
pemenuhan masyarakat menjadi satu tugas bagi setiap pemerintahan baik di pusat maupun daerah.5 Kinerja pelayanan publik yang ideal pada dasarnya harus mampu memberikan pelayanan yang cepat, murah, mudah, berkeadilan, berkepastian hukum, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan, sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat. Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat masih menghadapi kinerja dan pengelolaan pelayanan publik yang masih jauh dari optimal, antara lain disebabkan oleh sistem manajemen instansi pemerintahan yang belum efisien, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), ketiadaan standar kualitas yang jelas untuk menjadi pedoman bagi instansiinstansi penyelenggara pelayanan publik, dan sebagainya.6 Hal tersebut mengakibatkan pelayanan publik pada umumnya lebih banyak menjadi sasaran kritik dan ketidakpuasan masyarakat penerima pelayanan yang sampai batas-batas 4
H. Muh. Jufri Dewa, 2011, Hukum Administrasi Negara dalam Perspektif Pelayanan Publik, Cet. I, Unhalu Press, Kendari, h. 97. 5 H. Juniarso Ridwan dan Acmad Sodik Sudrajat, 2014, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Cet. IV, Nuansa Cendekia, Bandung, h. 83. 6 Indonesia Contact Center Association, 2015, “Contact Center sebagai Reformasi Pelayanan Publik”, URL: http://icca.co.id/contact-center-sebagai-reformasi-pelayanan-publik/, diakses tanggal 24 November 2015.
4 tertentu menempatkan diri sebagai konsumen dari pelayanan publik itu. Dengan demikian pada dasarnya dibutuhkan suatu perubahan dalam bidang pelayanan publik dan mengurangi keluhan-keluhan yang disampaikan masyarakat terkait pelayanan publik. Pengaduan atau keluhan masyarakat banyak disampaikan langsung pada unit pelayanan yang bersangkutan ataupun secara tidak langsung seperti melalui media massa dan media internet. Dari sisi pengaduan masyarakat secara langsung misalnya, menurut Ombudsman7 menyatakan bahwa laporan pengaduan dari masyarakat mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Selama dua tahun terakhir saja peningkatannya sebesar 30%. Pada tahun 2013 terdapat 5.173 laporan dan pada tahun 2014 terdapat 6.677 laporan. Ombudsman memperkirakan bahwa hingga lima tahun ke depan bakal ada 16.000 laporan pengaduan. Berdasarkan data laporan pengaduan tahun 2014, klasifikasi pelapor yang paling banyak berasal dari laporan perorangan atau korban langsung yang jumlahnya 57,7% dari total laporan pada 2014. Disamping itu sisanya, 7,3% berasal dari kelompok masyarakat, 5% dari keluarga korban, 5,6% dari media, 5,1% kuasa hukum, dan 4% dari LSM. Sementara itu, kelompok yang paling banyak dilaporkan adalah pemerintah daerah yaitu sebanyak 43,7%, di peringkat kedua adalah kepolisian yaitu sebanyak 12,06%, ketiga adalah pelayanan publik di kementerian yaitu sebanyak 9,5%, keempat yaitu BUMN/BUMD sebanyak 7,8%, dan terakhir adalah Badan Pertanahan Nasional, yaitu sebanyak 7,6%.
7
The Interseksi Foundation, 2015, “Potret Pelayanan Publik di Indonesia”, URL : http://interseksi.org/report/potret-pelayanan-publik-di-indonesia/, diakses pada tanggal 24 November 2015.
5 Permasalahan tersebut secara garis besar menggambarkan ketidakpuasan warga masyarakat terhadap kualitas pelayanan dari berbagai instansi penyelenggara pelayanan publik. Keluhan atau pengaduan tersebut pada umumnya sebagian besar mengenai prosedur birokratif yang masih berbelit-belit dan berbiaya tinggi. Penyampaian pengaduan merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh masyarakat apabila menerima pelayanan tidak prima dari penyelenggara pelayanan publik. Suatu pelayanan dapat diklasifikasi sebagai tidak prima apabila kualitas pelayanan tersebut tidak sesuai dengan harapan dari masyarakat yang menerima pelayanan (bersifat subjektif), dan/tidak memenuhi standar pelayanan minimal yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (bersifat objektif). Dengan demikian, pengaduan pelayanan publik sebenarnya mekanisme untuk mewujudkan kualitas pelayanan publik yang memenuhi harapan dan/atau memenuhi standar. Oleh karena itu, terdapat asumsi bahwa aktivitas pelayanan terhadap keluhan publik atas kinerja instansi dan/atau pejabat publik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keseluruhan fungsi dalam suatu sistem pelayanan publik. Di samping itu penyelenggaraan pelayanan publik juga harus mengacu pada konsep publicity valuation (penilaian publik) yakni masyarakat berhak tahu dan mengerti institusi daerah dan/atau pemerintah daerah mana yang buruk performanya dalam pelayanan publik, sehingga masyarakat dapat secara komparatif menilai pemerintah daerah mana saja yang buruk atau ekselen dalam memberikan pelayanan publik. Masyarakat ditujukan sebagai seorang informan dan evaluator dari penerapan pelayanan publik dari pemerintah daerah. Oleh
6 karena itu diperlukan suatu pengaturan mekanisme tentang pelayanan publik yang proses pelaksanaannya lebih aspiratif, akomodatif dan transparan salah satunya ialah mekanisme dan tata cara yang mengatur penyampaian dan pengelolaan pengaduan pelayanan publik. Dengan demikian, masyarakat juga tidak hanya sekadar menyampaikan keluhan (complain) saja, tetapi juga secara jujur dapat menyampaikan kepuasan (satisfaction). Keduanya dapat disampaikan dalam mekanisme yang normatif dan demokratis sehingga dapat menjadi variable guna perbaikan dan peningkatan pelayanan publik masa depan.8 Di samping itu, menurut penelitian PATTIRO9 (Pusat Telaah dan Informasi Regional) rendahnya respon instansi penyelenggara pelayanan terhadap keluhan atau pengaduan dari masyarakat mengakibatkan sikap skeptis dari masyarakat. Masyarakat jera untuk mengadukan keluhannya sehingga angka pengaduan di beberapa instansi pelayanan publik relatif rendah. Rendahnya angka pengaduan ini sebenarnya tidak menggambarkan kepuasan masyarakat atas pelayanan publik, sebaliknya justru karena masyarakat merasa tidak yakin dengan hasil yang akan diperoleh dengan melakukan pengaduan. Selain itu, warga masyarakat dari kalangan yang tidak mampu dan kurang berpendidikan juga tidak tahu cara mengadukan
keluhannya.
Padahal
pelayanan
publik
yang
berkualitas
mensyaratkan keseimbangan posisi tawar antara instansi penyelenggara pelayanan publik dengan masyarakat penerima pelayanan, yang dapat dicapai salah satunya
8
Sinoeng N. Rachmadi, 2013, “Pelayanan Publik : Muara Otonomi”, URL: http://www.suaramerdeka.com/harian/0304/12/kha1.htm, diakses pada tanggal 30 November 2015. 9 Sad Dian Utomo, 2008, “Penanganan Pengaduan Masyarakat Mengenai Pelayanan Publik”, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Sept-Des 2008, Volume 15, Nomor 3, h. 161162.
7 dengan menerapkan konsep customer complaint system (sistem penanganan pengaduan). Di sisi lain berdasarkan tinjauan normatif, secara eksplisit dalam Angka V Huruf J Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik (selanjutnya disebut dengan Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003) dinyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik perlu memperhatikan dan menerapkan penyelesaian pengaduan atau keluhan. Setiap pimpinan unit penyelenggara pelayanan wajib menyelesaikan setiap laporan atau pengaduan masyarakat mengenai ketidakpuasan dalam pemberian pelayanan sesuai kewenangannya.10 Penyelesaian pengaduan yang belum atau tidak menjadi sengketa hukum, setiap unit pelayanan publik juga harus melakukan antisipasi apabila menghadapi kenyataan intensitas ketidakpuasan masyarakat meningkat menjadi sengketa hukum, sehingga lebih lanjut diselesaikan pula dengan jalur hukum. Berdasarkan Angka V Huruf J Keputusan Menpan Nomor 63 Tahun 2003 tersebut ditegaskan bahwa perlu dibuat petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik yang digunakan sebagai landasan penyusunan standar pelayanan oleh masing-masing pimpinan unit penyelenggara pelayanan. Salah satu komponen pelayanan yang harus dimuat dalam standar pelayanan tersebut adalah tentang penanganan pengaduan atau keluhan.11 Dengan demikian jika dikaitkan dengan sistem pengelolaan dan penyampaian pengaduan secara keseluruhan, hal ini membawa
10
Adrian Sutedi, 2015, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, h. 117. 11 Ibid, h. 118.
8 dua kesimpulan pemikiran yakni: Pertama, standar kualitas pelayanan dalam pelayanan pengaduan publik sudah dianggap inherent pada tugas dan wewenang publik berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, atau Kedua, pengaturan tentang standar kualitas minimal pelayanan publik atau public complaints memang belum terlalu disadari sebagai hal penting yang mempresentasikan
fungsi
kontrol
sosial
masyarakat
terhadap
jalannya
penyelenggaraan administrasi publik.12 Adapun tinjauan tersebut didukung lebih lanjut dengan peraturan hukum yang bersifat teknis dan berkaitan dengan proses pengelolaan dan penyampaian pengaduan pelayanan publik yakni Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik (Selanjutnya disingkat dengan “Perpres Nomor 76 Tahun 2013”). Dalam ketentuan Bab 2, Bagian Keempat mengenai Mekanisme Pengelolaan Pengaduan, Pasal 8 Perpres Nomor 76 Tahun 2013 tersebut dinyatakan bahwa: (1) Penyelenggara wajib menyusun mekanisme dan tata cara pengelolaan pengaduan. (2) Mekanisme dan tata cara pengelolaan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penerimaan, terdiri dari pemeriksaan kelengkapan dokumen pengaduan dan pencatatan serta pemberian tanggapan kepada pengadu. b. penelaahan dan pengklasifikasian, terdiri dari identifikasi masalah, pemeriksaan substansi pengaduan, klarifikasi, evaluasi bukti, dan seleksi. c. penyaluran pengaduan yaitu meneruskan pengaduan kepada penyelenggara lain yang berwenang, dalam hal substansi pengaduan tidak menjadi kewenangannya. d. penyelesaian pengaduan, terdiri dari penyampaian saran penyelesaian kepada pejabat terkait di lingkungan penyelenggara,
12
Ibid, h. 134-135.
9 pemantauan, pemberian informasi kepada pengadu, pelaporan tindaklanjut, dan pengarsipan. Berdasarkan ketentuan di atas, maka penyelenggara pelayanan publik sudah sepatutnya memenuhi ketententuan Pasal 8 ayat (2) tersebut untuk menerapkan secara implementatif prosedur atau tahapan mekanisme dan tata cara pengelolaan pengaduan seperti yang telah disebutkan dalam menjamin kesejahteraan masyarakat mendapat pelayanan publik yang prima. Beranjak dari uraian-uraian permasalahan di atas, berbicara mengenai penerapan pelayanan publik khususnya di daerah belum secara tegas memuat tentang proses pengelolaan dan penyampaian pengaduan pelayanan publik kepada masyarakat. Pada umumnya terkait pengaturan pelayanan publik sampai saat ini, hanya mengatur tentang susunan organisasi suatu instansi yang bertugas dan berfungsi melakukan suatu pelayanan umum, serta uraian tugas dan fungsi setiap bagian secara sangat umum. Dengan demikian penerapan dan pelaksanaan mekanisme pengelolaan dan penyampaian pengaduan pelayanan publik kepada masyarakat perlu kiranya diperhatikan oleh subjek penyelenggara pelayanan publik di daerah. Dalam penelitian skripsi ini membatasi pengamatan atas perkembangan pelayanan publik secara khusus yang ada di daerah Kabupaten Tabanan, tepatnya di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan sebagai organisasi publik merupakan unit organisasi pemerintahan yang berada pada pemerintah kabupaten adalah salah satu unsur pelaksana dari pemerintah daerah di bidang pelayanan publik. Sebagai organisasi publik, pada hakekatnya Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil merupakan
10 bagian yang berhubungan dengan masyarakat. Fungsi utamanya adalah menjamin pemberian pelayanan (service) kepada masyarakat. Dengan demikian pelayanan yang diberikan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan dapat memberikan petunjuk mengenai baik-buruknya citra pelayanan yang diberikan kepada masyarakat sebagai salah satu subjek penyelenggara pelayanan publik di daerah. Dari hasil observasi yang sudah dilakukan, diketahui bahwa pengelolaan pengaduan dalam pelayanan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan belum optimal. Hal tersebut dikarenakan mekanisme pengelolaan pengaduan baru diterapkan pada tahun 2015. Perkembangan sejauh ini masih hanya terdapat total 12 pengaduan yang telah disampaikan oleh masyarakat kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan pada tahun 2015. Terdapatnya mekanisme pengelolaan pengaduan yang masih baru dan belum optimal diterapkan dalam pelayanan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan tersebut, mengakibatkan terjadinya kesenjangan pada pemberlakuan Pasal 8 ayat (2) Perpres Nomor 76 Tahun 2013. Dengan demikian tahapan-tahapan mekanisme yang terdapat sebagaimana dalam Pasal 8 ayat (2) Perpres tersebut tidak sepenuhnya bersifat implementatif dalam pemberian pelayanan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan. Dari sudut pandang lainnya, pemberlakuan mekanisme pengelolaan pengaduan yang telah diberlakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan juga kurang bersifat efektif dikarenakan faktor-faktor yakni secara garis besar meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi sarana dan
11 prasarana pengaduan dan anggaran pengelolaan pengaduan yang khususnya mendukung kinerja pengelolaan tim bidang pengelolaan pengaduan, dan dari faktor eksternal meliputi faktor masyarakat. Berdasarakan uraian latar belakang di atas, maka tentu dipandang sudah menjadi keperluan yang mendesak akan adanya suatu pemenuhan yang dilakukan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan terhadap masyarakat untuk melaksanakan hak-haknya dalam menyampaikan keluhankeluhan pelayanan publik apabila tidak dapat terpenuhi dengan baik dan optimal sesuai dengan standar pelayanan minimal. Penyampaian pengaduan pelayanan publik harus didasarkan dalam suatu manajemen sistem yang terstruktur dan jelas sehingga memberikan kepastian proses penyelesaian secara hukum terhadap masyarakat. Lebih lanjut upaya tersebut dituangkan dalam pelaksanaan mekanisme dan tata cara pengelolaan pengaduan pelayanan berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Perpres Nomor 76 Tahun 2013 seperti halnya yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan demikian, penulis tertarik mengangkat permasalahan di atas dalam penulisan skripsi ini yang berjudul “PENGELOLAAN PENGADUAN DALAM PEMBERIAN PELAYANAN DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL KABUPATEN TABANAN DALAM MEWUJUDKAN PELAYANAN PUBLIK YANG PRIMA”
12 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat menarik suatu permasalahan yang akan dibahas berikutnya dalam penulisan skripsi ini. Adapun rumusan masalah tersebut yakni sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan mekanisme dan tata cara pengaduan dari masyarakat dalam pelayanan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Kabupaten Tabanan? 2. Bagaimana
hubungan
pengelolaan
pengaduan
dengan
pemberian
pelayanan kepada masyarakat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan? 3. Hambatan-hambatan apa yang dijumpai dalam mewujudkan pelayanan publik yang prima di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Dalam menjamin arah pembahasan yang sistematis dalam penulisan makalah ini, maka dibutuhkan pembatasan-pembatasan dalam pemaparan materi agar tidak terlalu menyimpang dari rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1. Dalam permasalahan pertama, ruang lingkup pembahasannya mengenai pengaturan mengenai mekanisme dan tata cara pengaduan pelayanan yang diterapkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan.
13 2. Dalam permasalahan kedua, ruang lingkup pembahasannya mengenai gambaran hubungan atau keterkaitan pengelolaan pengaduan yang dapat diupayakan oleh subjek penyelenggara pelayanan publik yakni Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat Tabanan setempat. 3. Dalam permasalahan ketiga, ruang lingkup pembahasannya mengamati hambatan-hambatan atau permasalahan-permasalahan apa saja yang ada di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan dalam mewujudkan pelayanan publik yang prima. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang hendak ingin dicapai dalam penyusunan skripsi ini secara garis besar memuat tujuan penelitian secara umum dan tujuan penelitian secara khusus. Kedua tujuan penelitian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Tujuan Umum Tujuan umum dari penulisan skripsi ini adalah untuk memahami dan mengetahui gambaran secara umum terhadap sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang ada di Kabupaten Tabanan khususnya di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan beserta segala aspek-aspek atau komponenkomponen yang mendukung di dalamnya. Penulis maupun pembaca diharapkan lebih
dapat
memperdalam
pemahaman
mengenai
perkembangan
sistem
penyelenggaraan pelayanan publik yang berkembang di Kabupaten Tabanan saat ini sudah mencapai pelayanan publik yang prima atau belum dalam rangka good governance.
14 b. Tujuan Khusus Di samping itu, tujuan khusus dalam penulisan skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan terkait pengelolaan dsn tata cara pengaduan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan dalam proses penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat. 2. Untuk mengetahui dan mengamati hubungan pengelolaan pengaduan dalam pemberian pelayanan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan terhadap pengaruhnya atas kepuasan masyarakat setempat. 3. Untuk mengetahui dan mengamati hambatan-hambatan apa saja terdapat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan yang dapat mempengaruhi proses pemberian pelayanan dalam mewujudkan pelayanan yang prima.
1.5 Manfaat Penelitian Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Manfaat penelitian tersebut terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis yang dijelaskan sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman secara konsep mendasar terhadap seputar perkembangan pelayanan publik di daerah Kabupaten Tabanan. Manfaat teoritis khususnya yang dibahas dalam penulisan skripsi ini yakni mengamati adanya urgensi daripada pengaturan mekanisme dan tata cara
15 pengelolaan
pengaduan
dalam
pemberian
pelayanan
publik
di
Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan. Selain itu penulisan skripsi ini diharapkan dapat dijadikan referensi tambahan untuk pengembangan ilmu hukum secara umum, khususnya di bidang hukum administrasi negara mengenai pola perkembangan kebijakan pemerintah daerah dalam mengatur dan menegakkan hukum pelayanan publik di daerah dalam rangka good governance. b. Manfaat Praktis Penelitian ini
diharapkan dapat
berguna
bagi
pemerintah
Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan sebagai salah satu dinas penyelenggara pelayanan publik dalam upaya pengembangan mekanisme hukum untuk menindaklanjuti masalah-masalah hukum pelayanan publik khususnya dibidang penanganan pengaduan. Dengan demikian diharapkan pemerintah Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan dapat melaksanakan kewajiban negara untuk melindungi hak-hak masyarakat Kabupaten Tabanan dalam mendapatkan pelayanan publik yang sebaik-baiknya dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka good governance.
1.6 Landasan Teoritis Untuk membahas permasalahan yang telah dipaparkan dalam skripsi ini secara lebih mendalam, perlu kiranya dikemukakan landasan teoritis yang antara lain berupa konsep-konsep, asas-asas, kaidah-kaidah, prinsip-prinsip, dan pandangan para ahli terhadap permasalahan tersebut yang didasarkan pada literatur-literatur yang dimungkinkan untuk menunjang pembahasan permasalahan yang ada. Dengan adanya teori-teori yang menunjang, diharapkan dapat
16 memperkuat, memperjelas, dan mendukung untuk menyelesaikan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini. Adapun landasan-landasan teoritis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Teori Negara Hukum Gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato dalam bukunya Nomoi yang mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik.13 Gagasan Plato tersebut kemudian didukung muridnya yakni Aristoteles. Menurut Aristoteles14, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Menurutnya ada tiga unsur pemerintahan dalam konteks negara hukum. Pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum. Kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi. Ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan yang dilaksanakan pemerintah. Negara hukum menurut UUD NRI Tahun 1945 dikualifikasikan negara hukum dalam arti luas, yaitu negara hukum dalam arti materiil. Negara bukan saja melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia, melainkan juga harus memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
13
Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara, Cet. VII, Edisi Revisi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 2 14 Ibid.
17 kehidupan bangsa.15 Sementara itu D. Mutiaras memberikan definisi negara hukum sebagai berikut: Negara hukum adalah negara yang susunannya diatur dengan sebaik-baiknya dalam undang-undang sehingga segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya didasarkan hukum. Rakyat tidak boleh bertindak sendirisendiri menurut semaunya yang bertentangan dengan hukum. Negara hukum itu ialah negara yang diperintah bukan oleh orang-orang, tetapi oleh undangundang. Karena itu, di dalam negara hukum, hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya, kewajiban-kewajiban rakyat harus dipenuhi seluruhnya dengan tunduk dan taat kepada segala peraturan pemerintah dan Undang-undang negara.16 Juniarso Ridwan dan Ahmad Sodik Sudrajat mengutip pendapat Joeniarto dalam bukunya Negara Hukum, merumuskan asas-asas negara hukum sebagai berikut: Asas negara hukum atau asas the rule of law, berarti dalam penyelenggaraan negara, tindakan-tindakan penguasaannya harus didasarkan hukum, bukan didasarkan kekuasaan atau kemauan penguasanya belaka dengan maksud untuk membatasi kekuasaan penguasa dan bertujuan melindungi kepentingan masyarakatnya, yaitu perlindungan terhadap hak-hak asasi anggota-anggota masyarakatnya dari tindakan sewenang-wenangnya.17 Dalam perkembangannya asas-asas negara hukum tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat unsur-unsurnya sebagai berikut: a. Sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat. b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan (asas legalitas). c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara). d. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara. e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif. f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. 15
Yulies Tiesna Masriani, 2012, Pengantar Hukum Indonesia, Cet. VII, Sinar Grafika, Jakarta, h. 38. 16 D. Mutiaras, 1999, Tata Negara Umum, Pustaka Islam, Jakarta, h. 20. 17 H. Juniarso ridwan dan Ahmad Sodik Sudrajat, op.cit, h. 25.
18 g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.18 Dikaitkan dengan permasalahan dalam skripsi ini, maka berdasarkan unsurunsur diatas yang memenuhi sebagai landasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik khususnya mengenai pengaduan pelayanan publik adalah pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan (asas legalitas), adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara), adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Pelayanan publik berbasis good governance merupakan salah satu kajian hukum administrasi negara. Kajian hukum administrasi negara menunjukkan bahwa hukum administrasi negara melindungi hak-hak asasi berkenaan dengan penggunaan kekuasaan memerintah dan berkenaan dengan perilaku aparat dalam pemerintahan tersebut tentunya bertumpu atas asas legalitas (rechtmatigheid). Jadi secara konseptual dapat dipahami bahwa pelayanan publik yang berbasis good governance
menunjukkan
suatu
proses
penyelenggaraan
manajemen
pemerintahan yang demokrasi, efisien, dan pemerintahan yang bebas dan bersih dari korupsi, kolusi, suap, dan gratifikasi.19 b. Teori Kepastian Hukum Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa
18
Ridwan HR. op.cit, .h. 5 Muh. Jufri Dewa, op.cit, h. 63.
19
19 yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan.20 Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran yuridis-dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivisme. Aliran ini melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri karena bagi penganut pemikiran ini hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.21 c. Teori Perlindungan Hukum Dalam hal ini teori perlindungan hukum yang dimaksud adalah teori perlindungan hukum dalam bidang publik yang berkaitan dengan hukum administrasi negara. Tindakan hukum pemerintah adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya menimbulkan akibat hukum. Karakteristik paling penting 20
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, h. 158. 21 Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Penerbit Gunung Agung, Jakarta, h. 82.
20 dari tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah adalah keputusan-keputusan pemerintah yang bersifat sepihak. Dikatakan bersifat sepihak karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum pemerintahan itu tergantung pada kehendak sepihak dari pemerintah, tidak tergantung pada kehendak pihak lain dan tidak diharuskan ada persesuaian kehendak dengan pihak lain.22 Keputusan sebagai instrumen hukum pemerintah dalam melakukan tindakan hukum sepihak, dapat menjadi penyebab terjadinya pelanggaran hukum terhadap warga negara, apalagi dalam negara hukum modern yang memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah untuk mencampuri kehidupan warga negara, karena itu diperlukan perlindungan hukum bagi warga negara terhadap tindakan hukum pemerintah. Menurut Sjachran Basah, perlindungan terhadap warga negara diberikan bilamana sikap tindak administrasi negara itu menimbulkan kerugian terhadapnya.23 Ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Pada perlindungan hukum preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive. Artinya perlindungan hukum preventif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif 22
Ridwan HR, op.cit, h. 274. Ibid, h. 275.
23
21 pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.24 Berdasarkan pemahaman terhadap teori perlindungan hukum di atas yang memenuhi pengelolaan pengaduan masyarakat adalah perlindungan hukum preventif dan refresif. Perlindungan hukum preventif tersebut ditujukan dengan bentuk penyampaian keluhan atau pengaduan yang disampaikan masyarakat Tabanan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan. Bentuk perlindungan hukum represif yakni ditunjukkan dengan mekanisme penyelesaian pengaduan sebagai tahapan akhir dari mekanisme pengelolaan pengaduan bersangkutan yang disampaikan masyarakat. d. Konsep Good Governance Istilah pemerintahan yang baik lazim pula disebut dengan istilah yang lebih popular good governance. Good governance menjadi sangat popular di Indonesia antara lain melalui Conference on Good Governance in East Asia yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 17-18 November tahun 1999 atas prakarsa CSIS (Central for Strategic and International Studies).25 Dari sudut pandang hukum administrasi negara, konsep good governance berkaitan dengan aktivitas pelaksanaan fungsi untuk menyelenggarakan kepentingan umum.26 Good governance menekankan pada pelaksanaan fungsi governing secara bersama-sama oleh pemerintah dan institusi-institusi lain, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), swasta, maupun warga negara. Dalam kerangka ini
24
Ibid, h. 276. Muh. Jufri Dewa, op.cit, h. 62. 26 Ibid, h. 63. 25
22 pemerintah dituntut untuk memposisikan keberdayaannya atau bersikap dalam hal keberlangsungan suatu proses governance. Dalam workshop “Best Practices Reformasi Birokrasi”, dijelaskan konsep good governance pada hakikatnya didukung oleh tiga kaki yakni: 1. Tata pemerintahan di bidang politik dimaksudkan sebagai proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan publik. Penyusunannya baik yang dilakukan oleh birokrasi maupun birokrasi bersama politisi. Partisipasi masyarakat dalam proses ini tidak hanya pada tataran implementasi, melainkan mulai dari formulasi, implementasim sampai evaluasi. 2. Tata pemerintahan di bidang ekonomi, meliputi proses pembuatan keputusan untuk memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi di antara para penyelenggara ekonomi. Sektor pemerintahan diharapkan tidak terlampau banyak campur dan terjun langsung pada sektor ekonomi karena bisa menimbulkan distorsi mekanisme pasar. 3. Tata pemerintahan di bidang administrasi adalah berisi implementasi kebijakan yang telah diputuskan oleh institusi politik.27 Berdasarkan ketiga bangunan komponen governance di atas, yang dalam hal ini governance dalam kerangka institusi, menderivasi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintah), private sector (sektor swasta atau perusahaan), dan society (masyarakat) yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. State (negara) berfungsi menciptakan pekerjaan dan pendapatan sebagai wadah penyelenggaraan negara, sementara society (masyarakat) turut berperan secara aktif dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan dan pembangunan melalui instrumen-instrumen kelembagaan yang formal atau informal dalam upaya pembangunan politik, ekonomi, sosial dan budaya dalam sistem pemerintah (daerah). Dengan demikian good governance juga mengkriteriakan adanya suatu proses yang berkelanjutan (sustainable process) untuk mengakomodasi dan
27
H. Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, op.cit, h. 82.
23 memediasi konflik-konflik kepentingan (conflicts of interest) yang ada dalam struktur kemasyarakatan sehingga dapat memperoleh suatu kesepakatan bersama. Dengan perkataan lain dalam konteks good governance, keprofesionalan dalam mengelola urusan-urusan (pelayanan) publik pada semua level pemerintahan (daerah) menjadi hal penting untuk dilakukan. Good governance sebagai suatu konsep yang di dalamnya terkandung berbagai prinsip-prinsip yang sangat penting dalam rangka menyelenggarakan pelayanan publik. Adapun prinsip-prinsip tersebut berdasarkan atas Good Governance United Nation Development Program (UNDP) adalah: 1. Participation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. 2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa perbedaan, terutama hukum hak asasi manusia. 3. Transparancy. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dipantau. 4. Responsiveness. Lembaga dan proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders. 5. Consensus orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam perihal kebijakan maupun prosedur. 6. Effectiveness dan efficiency. Proses dan lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin. 7. Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga stake holders. 8. Lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.
24 9. Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang luas serta jauh ke depan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.28 Dengan berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka dapat dimengerti bahwa wujud dari good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergian interaksi yang harmonis diantara ketiga domain yaitu negara (state), sektor swasta (private sector), dan masyarakat (society). Adapun jika dikaitkan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (selanjutnya disebut dengan UU Pelayanan Publik), good governance sebagai landasan penting dalam penyelenggaraan pelayanan publik meliputi hal-hal sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l.
Kepentingan umum; Kepastian hukum; Kesamaan hak; Keseimbangan hak dan kewajiban; Keprofesionalan; Partisipatif; Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; Keterbukaan; Akuntabilitas; Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; Ketepatan waktu; Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
e. Konsep Pelayanan Publik Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban didalam mana masyarakat bisa menjalani kehidupan secara wajar. Pemerintahan modern pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat dan memiliki tugas untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi 28
Husni Thamrin, op.cit, h. 48.
25 yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama.29 Pelayanan publik (public service) dapat dipahami sebagai produk yang dihasilkan oleh pemerintah kepada masyarakat. Dalam hubungan pemerintah dengan masyarakat, semakin maju suatu masyarakat makin meningkat pula kesadaran akan haknya, maka pelayanan publik menjadi suatu kewajiban yang diharuskan oleh pemerintah.30 Tugas dan fungsi pemerintah di segala tingkatan, baik pemerintah pusat secara nasional maupun pemerintah daerah di tingkat daerah, tugas utamanya adalah memberikan pelayanan publik (public service) agar terwujud kesejahteraan bagi rakyat. Pelayanan publik atau public service juga dapat dipahami sebagai pengejawantahan dan implementasi dari kebijakan formal berdasarkan regulasi (peraturan
perundang-undangan)
yang
berlaku.
Kebijakan
publik
yang
diimplementasikan ke dalam pelayanan publik tersebut telah melalui serangkaian proses yang senantiasa ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan dinamika yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat selaku sebagai pengguna konsumen dari terselenggaranya pelayanan publik itu. Berkaitan dengan standar-standar penyelenggaraan pelayanan publik tersebut harus dipayungi dalam bentuk perlindungan hukum berupa kebijakan publik atau peraturan hukum untuk menjamin hak-hak masyarakat sebagai warga negara untuk mencapai kesejahteraan. Dengan demikian, pelayanan publik yang
29
Anonim, 2015, “Pelayanan Publik”, URL: http://pemerintah.net/pelayanan-publik/, diakses tanggal 25 Desember 2015. 30 Muh. Jufri Dewa, op.cit, h. 64.
26 prima menjadi sesuatu yang harus dilakukan (keniscayaan), karena memang harus dituangkan dalam peraturan yang mengikat. Pelayanan publik yang prima menjadi indikator penting untuk dilaksanakan untuk memepercepat terwujudnya pelayanan publik yang berbasis good governance. Berdasarkan penelitian skripsi ini, maka dikhususkan lagi konsep pelayanan publik tak terlepas dari asas-asas yang melatarbelakangi sistem pengelolaan pengaduan pelayanan publik. Pengelolaan pengaduan pelayanan publik harus didasari oleh asas-asas yang termuat di dalam prinsip good governance (seperti yang telah disebutkan diatas). Asas pengelolaan pengaduan pelayanan publik secara lebih khusus terfokus pada asas transparansi dan akuntabilitas. Asas transparansi dan akuntabilitas. tersebut memuat tentang kewajiban lembaga-lembaga teknis untuk melakukan pengelolaan keluhan publik dan menjamin hak-hak masyarakat untuk mengajukan keluhan. Dikarenakan kedudukan lembaga yang mengelola keluhan tersebut bersifat dominan terhadap masyarakat, maka prinsip transparansi dalam arti masyarakat dapat mengakses proses pengelolaan keluhan menjadi hal yang sangat penting untuk diatur. Di samping itu, asas akuntabilitas harus diartikan bahwa setiap pengelolaan keluhan publik harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau pelanggan, baik dari segi prosedur dan mekanisme pengelolaan keluhan tersebut dan subtansi penyelesaian masalahnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Selain itu, perlu juga diadopsi asas-asas kepastian,
27 proporsionalitas,
profesionalisme,
nondiskriminatif,
dan
pengutamaan
kepentingan umum.31 f. Pelayanan Prima Dalam kehidupan masyarakat modern pelayanan prima (service excellence) sangat diharapkan. Pelayanan ini berpengaruh dan mengubah arah manajemen publik yang terkait dengan pelayanan umum (pelayanan aparatur pemerintah pada masyarakat).32 Pelayanan prima di sektor publik dirumuskan oleh SESPANAS LAN, yaitu sebagai berikut: 1. Pelayanan yang terbaik dari pemerintah kepada pelanggan atau pengguna jasa. 2. Pelayanan prima ada, bila ada standar pelayanan. 3. Pelayanan prima bila melebihi standar atau sama dengan standar. Sedangkan yang belum ada standar, pelayanan yang terbaik dapat diberikan, pelayanan yang mendekati apa yang dianggap pelayanan standar, dan pelayanan yang dilakukan secara maksimal. 4. Pelanggan adalah masyarakat dalam arti luas, masyarakat eksternal, dan masyarakat internal.33 Pada dasarnya yang paling penting dalam memberikan pelayanan prima kepada pelanggan, minimal harus ada tiga hal pokok yakni: peduli pada pelanggan, melayani dengan tindakan terbaik, dan memuaskan pelanggan dengan berorientasi pada standar layanan tertentu. Jadi, keberhasilan program pelayanan prima tergantung pada penyelarasan kemampuan, sikap, penampilan, perhatian, tindakan, dan tanggungjawab dalam pelaksanaannya. Dengan demikian pelayanan prima (excellent service) dapat dipahami sebagai pelayanan yang memenuhi standar kualitas yang sesuai dengan harapan dan kepuasan pelanggan. Sehingga
31
Adrian Sutedi, op. cit., h.139. Ibid, h .9. 33 Ibid, h. 11. 32
28 dalam pelayanan prima terdapat dua elemen penting yang saling berkaitan yaitu pelayanan dan kualitas.34
1.7 Metode Penelitian Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk mendapatkan kebenaran adalah dengan penelitian secara ilmiah, hal tersebut berarti suatu metode yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa permasalahan dengan jalan menganalisanya dan dengan mengadakan pemeriksaan yang mendalam untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas masalah-masalah yang timbul.35 Penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodelogis dan konsisten. Oleh karena itu metodelogi penelitian yang diterapkan harus sesuai dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.36 Adapun metode penelitian yang digunakan pada penulisan skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Jenis penelitian Penelitian ini dapat dikualifikasikan sebagai penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.37 Dengan kata lain, metode penelitian hukum yuridis empiris beranjak dari adanya kesenjangan antara das
34
Anonim, 2015, “Pengertian Pelayanan Prima/Excellence Service”, Artikel Universitas Ciputra Entrepreneurship Online (UCEO) Juli 2015, URL: http://www.ciputrauceo.net/2015/7/7/pengertian-pelayanan-prima, diakses tanggal 11 Januari 2016. 35 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 74. 36 H. Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, h. 17. 37 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Cipta Aditya Bakti, Bandung, h. 134.
29 sollen (Law in Book) dan das sein (Law in Action) maupun gambaran terhadap kenyataan yang dihadapi oleh peneliti atau situasi (permasalahan-permasalahan hukum) tertentu yang berjalan dan sesuai atau tidak dengan peraturan yang berlaku. Hal tersebut terkait dengan pelaksanaan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik dengan pengelolaan pengaduan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan. Tinjauan tersebut diteliti dengan melihat berbagai aspek dan pengamatan di lapangan, sehingga akan diketahui secara jelas bagaimana perkembangan berjalannya mekanisme dan tata cara mengelola pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan dalam pemberian pelayanan. b. Jenis Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan fakta (fact approach), pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan fakta dilakukan dengan mengkaji implementasi dari peraturan perundang-undangan terhadap fakta atau praktik yang terjadi di lapangan yakni mekanisme dan tata cara pengelolaan pengaduan yang ada di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan. Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini.38 Aturan-aturan hukum yang digunakan dalam penelitan ini antara lain Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang 38
Johnny Ibrahim, 2006, Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang, h. 302
30 Pelayanan Publik, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia Nomor 25/KEP/M.PAN/7/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, Peraturan Bupati Tabanan Nomor 54 Tahun 2012 tentang Uraian Tugas Jabatan Struktural Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Tabanan, Keputusan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan Nomor: 75/DKCS/2015 Tentang Penetapan Standar Pelayanan Pada Jenis Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Pendekatan konseptual hukum digunakan untuk menelaah konsep-konsep hukum yang terkandung dalam berbagai instrumen hukum primer maupun sumber lain yang terkait yang relevan dengan isu yang sedang ditangani. Melalui pendekatan konseptual hukum ini akan dilihat fakta-fakta yang terjadi dilapangan dan selanjutnya dikaitkan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku. c. Sifat Penelitian Adapun penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif. Penelitian ini bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain
31 dalam masyarakat.39 Penelitian deskriptif berawal dari hipotesis, tetapi dapat juga tidak bertolak dari hipotesis, dapat membentuk teori-teori baru atau atau memperkuat teori yang sudah ada, dan dapat menggunakan data kualitatif dan data kuantitatif.40 d. Data dan Sumber Data Data yang dipergunakan dalam penelitian empiris ada dua jenis yaitu data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari penelitian lapangan, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan baik dari responden maupun informan.41 Penelitian lapangan tersebut dilakukan dengan cara penulis melakukan penelitian secara langsung di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan yang meliputi pengamatan data-data terkait dan wawancara. Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada yang diwawancarai.42 Di samping itu terkait data sekunder, data sekunder bersumber dari penelitian kepustakaan.43 Adapun data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian skripsi adalah: a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum seperti peraturan perundang–undangan, dan putusan hakim. Adapun bahan hukum primer yang penulis gunakan di dalam tulisan ini yakni : 39
Fakultas Hukum Universitas Udayana, op.cit, h. 81. Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2014, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cet. VIII, RajaGrafindo, Jakarta, h. 25. 41 Ibid. 42 Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Galia Indonesia, Jakarta, h. 57. 43 Ibid. 40
32 a) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038); b) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038). c) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587). d) Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 191). e) Keputusan
Menteri
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
Republik
Indonesia Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. f) Keputusan
Menteri
Pendayagunaan
Aparatur
Negara
Republik
Indonesia Nomor 25/KEP/M.PAN/7/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. g) Peraturan Bupati Tabanan Nomor 54 Tahun 2012 tentang Uraian Tugas Jabatan Struktural Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Tabanan.
33 h) Keputusan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan Nomor: 75/DKCS/2015 Tentang Penetapan Standar Pelayanan Pada Jenis Pelayanan Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil. b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya.44 Bahan hukum sekunder dalam penulisan ini yaitu buku-buku terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini. Buku-buku tersebut seperti buku hukum administrasi negara, buku pelayanan publik, buku pemerintahan daerah, dan sebagainya. e. Teknik pengumpulan data Dalam
penelitian
hukum
empiris
terdapat
teknik–teknik
untuk
mengumpulkan data yaitu studi dokumen, wawancara, observasi, dan penyebaran quisioner/angket. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: 1. Teknik Studi Dokumen Teknik studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap melakukan penelitian hukum (baik normatif maupun yang sosiologis) karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif.45 Teknik studi dokumen dikaitkan pada alat suatu pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan menggunakan content analysis.46 Content analysis tersebut dilakukan dengan cara mencari, membaca, mempelajari dan memahami data-data sekunder yang 44
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta h. 13. 45 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, op.cit, h. 68. 46 Soerjono Soekanto, 2014, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, Universitas Indonesia (UI-PRESS), Jakarta, h. 21.
34 berhubungan dengan hukum sesuai dengan permasalahan yang dikaji yang berupa buku-buku, majalah, literatur, dokumen, dan peraturan yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti. 2. Teknik Wawancara (interview) Wawancara merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim digunakan dalam penelitian hukum empiris. Dalam kegiatan ilmiah, wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada responden maupun informan. Agar hasil wawancara nantinya memiliki nilai validitas dan reabilitas, dalam berwawancara peneliti menggunakan alat berupa pedoman wawancara. Dalam penelitian skripsi ini, penulis melakukan wawancara dengan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan yakni Bapak I Gusti Agung Rai Dwipayana, Sekretaris Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Tabanan yakni Bapak Wayan Mustika yang sekaligus menjabat sebagai Ketua Tim Pengelolaan Pengaduan serta pegawai-pegawai lainnya yang yang dapat dijadikan sebagai narasumber dalam penelitian skripsi ini. 3. Teknik observasi/pengamatan Teknik observasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu teknik observasi langsung dan teknik observasi tidak langsung. Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi langsung dimana dalam pengumpulan data peneliti mengadakan pengamatan secara langsung atau tanpa alat terhadap permasalahan-permasalahan yang diselidiki di lapangan.
35 f. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Keseluruhan data yang diperoleh dan sudah terkumpul baik melalui studi dokumen, wawancara, ataupun dengan observasi langsung, kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif yaitu dengan menghubungkan antara data yang ada dan berkaitan dengan pembahasan, serta selanjutnya disajikan secara deskriptif analisis. Data yang telah rampung tadi dipaparkan dengan disertai analisis sesuai dengan peraturan perundang-undangan, teori-teori yang terdapat pada buku pustaka atau literatur guna mendapatkan kesimpulan sebagai akhir dari penulisan skripsi ini.