BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ajaran Islam sebagai agama wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, diyakini memiliki kebudayaan, nilai politik, moralitas dan hukum tersendiri. Oleh karenanya Islam yang hadir sejak abad ke- 7 M semakin berkembang hingga kini. Islam telah menjadi sumber legitimasi, identitas, kekuasaan dan stabilitas tersendiri bagi masyarakat Islam. Sumber sejarah dari kehidupan Nabi Muhammad SAW bisa menjadi bukti bahwa Islam sebagai agama wahyu telah menjadi acuan dalam semua aspek kehidupan saat itu. Meskipun masih dalam masyarakat sederhana, sang nabi mendirikan pondasi kemasyarakatan yang didasarkan pada sendi-sendi ajaran Islam. Nabi menjadi pemimpin bagi umat baik dalam urusan hubungan vertikal maupun horisontal. Syariat Islam telah menjadi acuan yang mengilhami bagi pelaksanaan ibadah kepada Tuhan, Allah SWT sekaligus sebagai dasar di dalam memutuskan perkara yang berkaitan dengan urusan duniawi umat Islam dalam segala hal, baik itu urusan sosial, ekonomi, hukum dan politik. Dalam memimpin Nabi Muhammad menerapkan musyawarah untuk memecahkan permasalahan umat. (Affan Gaffar, 2002: 122) Setelah nabi wafat, umat Islam dipimpin oleh seorang khilafah. Dimana adanya khilafah ini merupakan ijtihad (kesepakatan yang dihasilkan ulama, pemuka agama melalui jalan musyawarah) dari para shahabat. Hal ini dilakukan karena sebelum wafat, nabi belum menunjuk pemimpin pengganti dirinya. 1
Khilafah dipilih oleh para shahabat untuk menjadi pemimpin bagi urusan kaum muslim saat itu. Maka dipilihlah Abu Bakar Ash Shidiq sebagai seorang khilafah pertama kali berdasarkan konsensus dari para sahabat 1. Dalam perkembangannya, Islam menyebar ke seluruh dunia sehingga memunculkan
sistem
tatanan
negara
Islam
yang
mengatur
wilayah
kekuasaannya. Pesatnya perkembangan kekuasaan ini, dipegang oleh kekuasaan khilafah yang berasal dari keturunan raja atau lebih bersifat monarki absolut. Pergantian khilafah
dipergilirkan secara turun temurun, tidak memberikan
peluang konsensus pemilihan sebagaimana pertama kali khilafah dipilih oleh pemuka umat Islam melalui jalan musyawarah. Dalam perkembangan selanjutnya, Islam sebagai agama wahyu yang menjadi dasar bagi kehidupan termasuk dalam kehidupan hukum dan politik yang berdasarkan al Qur’an dan hadits nabi berhadapan dengan sekulerisme yang dilancarkan barat. Sekulerisme yang berakar pada sejarah barat menginginkan pemisahan kekuasan negara dengan agama (Kristen). Dari sinilah fundamentalisme berakar, karena adanya pandangan dari kalangan kristen konservatif yang menegaskan kitab injil sebagai kata Tuhan yang absolut. 1
Dalam proses pengangkatan Abu Bakar Ash Shidiq sebagai khalifah kemudian digantikan oleh Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dipilih dengan cara-cara yang berbeda. Abu Bakar menjadi khalifah setelah nabi Muhammad Wafat setelah melalui musyawarah antara kamu muhajirin dan anshar yang telah menentukan calon masing-masing hingga akhirnya musyawarah menentukan Abu Bakar sebagai khalifah. Sedangkan Umar bin Khatab menjadi khalifah setelah menjelang wafat Abu Bakar menuliskan wasiat agar Umar menjadi khalifah penggantinya. Hal yang tidak dilakukan Umar ketika menjelang wafat, mengajukan calon penggantinya yaitu yaitu Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Sa’ad bin Abi Waqas, Abdurrahaman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidilah, Abdullah bin Umar. Sehingga menjelang pengangkatan pengganti Umar muncul enam nama calon khalifah yang dipilih oleh Umar. Kemudian dari keenam nama itu terjadi polarisasi kelompok, antara kelompok Usman bin Affan dengan kelompok Ali bi Abi Thalib. Dari musyawarah keenam tokoh itu disepakati Usman bin Affan sebagai khalifah. Berbeda dengan ketiga khalifah sebelumnya, setelah Usman bin Affan wafat karena dibunuh oleh pemberontak, Ali bin Abi Thalib dipilih sebagai khalifah melalui proses pemilihan yang dilakuikan oleh veteran perang BAdar yang dianggap memiliki hak suara. (Lihat Affan Gaffar dalam Bernard Lewis et al, 2002: 124-131)
2
Sehingga, kalangan sekuler memandang ketika Gereja mempunyai hak memerintah seringkali bersikap otoriter absolut. Pandangan yang sama diberlakukan terhadap Islam, yang dinilai apabila syariat Islam menjadi dasar hukum negara akan menghasilkan pemerintahan yang otoriter absolut 2. Memasuki abad ke 19 kekuasaan khilafah Islam mulai melemah dan akhirnya tergerus oleh sistem peradaban barat modern. Pemerintahan khilafah islam yang terakhir, Turki Utsmani akhirnya tumbang dan digantikan oleh pemerintahan sekuler dengan melihat fakta kekuasaan khilafah dengan sistem monarki Turki Utsmani memiliki banyak kebobrokan, penyimpangan yang dilakukan oleh aparat negara yang sebagian besarnya adalah kerabat kerajaan. Tumbangnya sistem kekhalifahan monarki digantikan dengan sistem demokrasi di beberapa negara muslim yang mulai terpecah belah ke beberapa negara merupakan bentuk negara baru yang berkembang hingga saat ini diwarnai dengan sekulerisme. Meskipun demikian, di beberapa negara Arab masih mengadopsi sistem negara monarki dan beberapa masih menerapkan syariat Islam dalam hukum tata negaranya. Kemunduran umat Islam inilah yang menyebabkan gerakan purifikasi (pemurnian) ajaran Islam dilakukan. Disinilah gerakan fundamentalisme lebih bersifat skripturalistik. Gerakan ini ditunjukan
2
Penolakan ulama terhadap kekuasaan turun temurun dalam bentuk monarki dan absolute dapat dibaca dalam tulisan Mumtaz Ahmad (dalam Bernard Lewis, 2002: 167-179). Menurutnya penolakan ulama sunni maupun syiah terhadap pemerintahan monarki semakin menguat sejak perang teluk 1991 ketika raja dan amir terlihat pro barat dengan memusnahkan muslim lain. Pemikiran Islam sunni yang diwakili oleh Maududi tidak menyetujui teokrasi atau pemerintahan oleh orang agama yang menjalankan roda politik atas nama Tuhan. Maududi mendeskripsikan pemerintahan Islam seharusnya berbentuk “teo-demokrasi” dan “nomokrasi” atau rule of the law, bukan pemerintahan oleh orang yang mengangkat dirinya sendiri sebagai juru bicara Tuhan. Sedangkan dalam Syi’ah meskipun menolak monarki lebih dekat kepada Teokrasi Menurut Khomeini, kepeminpinan Islam terkristal ke dalam imam-imam yang maksum yang dipilih Tuhan. kepemimpinan religio politik masyarakat muslim dijalankan oleh ulama fuqoha yang mempunyai kewenangan menolak kebijakan pemerintah atau hukum yang diundangkan parlemen yang mereka anggap tidak Islami.
3
oleh gerakan Wahabi (Arab Saudi), mereka mempunyai tujuan untuk menghidupkan kembali ajaran Islam yang benar secara tekstual karena Islam telah dicemari oleh berbagai hal yang tidak berasal dari Al Qur’an dan sunnah. Dalam konteks Indonesia, isu antara Islam dengan negara bukanlah isu yang sama sekali baru. Sejak pertama kali Indonesia akan dideklarasikan sebagai negara merdeka, para pemimpin negara saat itu sudah terlibat dalam diskursus mengenai dasar konstitusi negara, dan warna Islam dapat dilihat dari usulan tujuh kata “kewajiban menerapkan syariat Islam bagi para pemeluknya” sebagai usulan kalangan islamis saat itu. Namun, pada akhirnya konsensus memutuskan bahwa tujuh kata itu tidak masuk dalam dasar konstitusi negara. (Adian Husaini, 2009: 49) Diskursus mengenai fundamentalisme Islam terus mengemuka dengan ditandai perjuangan Kartosuwiryo yang ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) sampai akhirnya dia tidak berhasil dan meninggal dunia bersamaan dengan diberangusnya gerakan ini. Memasuki era orde baru, isu tentang syariat Islam tetap hidup meskipun “tiarap”, tersembunyi sebagai gerakan bawah tanah. Lantaran kekuasaan yang represif saat itu akan “menindak” dengan tegas semua hal yang berkaitan dengan upaya menegakkan syariat Islam dengan label sebagai gerakan subversif, melawan negara. Setelah masa reformasi bergulir, kebebasan berekspresi semua paham dan ideologi mulai tersemai dan terbuka. Pada momentum inilah, fundamentalisme Islam dengan upaya kembali ke dasar agama dan menggunakan dasar-dasar tersebut sebagai penuntun kehidupan masyarakat dan bernegara mulai menggejala dalam masyarakat. Perjuangan secara terbuka untuk menegakan 4
syariat Islam mulai disuarakan oleh gerakan-gerakan yang semula bergerak di bawah tanah. Gejala fundamentalisme agama ini lazim terjadi dengan ditandai perlawanan terhadap aliran mainstream (Arus utama). Dalam Islam Indonesia mainstream diwakili oleh lembaga keagamaan yang telah lebih dulu melembaga secara mapan di masyarakat. Munculnya gerakan baru dikaitkan dengan "ortodoksi" atau "mainstream" (aliran induk); karena gerakan yang berbeda dengan mainstream akan dikatakan sebagai gerakan yang menyimpang atau memisahkan diri dari ortodoksi yang berlaku. Dalam kasus umat Islam Indonesia masa kini, ortodoksi barangkali boleh dianggap diwakili oleh badan-badan ulama yang berwibawa seperti terutama MUI, kemudian Majelis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU, dan sebagainya. (Bruinessen , 1992: 18) Aliran mainstream mempunyai pandangan yang cukup adaptif dengan beberapa cara pandang dan pola perilaku bernegara dan berbangsa. Aliran ini mengakomodasi demokrasi sebagai sistem politik dan mempunyai pandangan untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam wacana politiknya, tidak akan mendirikan negara agama yang menjadikan Islam sebagai satu-satunya sumber hukum. Sedangkan aliran Islam fundamental memiliki citacita menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Mengembalikan keaslian Islam dengan menolak berbagai sistem di luar Islam seperti demokrasi dan pemerintahan yang terbentuk melalui pemilihan umum. Fundamentalisme muncul sebagai reaksi terhadap akibat yang ditimbulkan oleh modernisme dan sekulerisme dalam kehidupan politik dan keagamaan. Peradaban modern sekuler menjadi sasaran kritik dari Islam fundamental. 5
Fundamentalisme menjadi reaksi terhadap kegagalan modernisme Islam karena tidak mampu membawa kehidupan umat Islam menjadi lebih baik dalam pandangan mereka. Kemudian fundamentalisme mengajukan tawaran solusi untuk kembali kepada ajaran Islam terdahulu yang lebih otentik, asli dan menolak segala sesuatu yang berasal dari modernisme barat. Olivier Roy (1996: 75) berpendapat bahwa fundamentalisme Islam kontemporer dicirikan oleh orientasi yang kuat terhadap politik dengan menjadikan Islam sebagai ideologi. Islam tidak dipahami sekedar doktrin ritual tetapi juga sebagai ideologi yang dihadapkan dengan ideologi lain sebagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme, marxisme, liberalisme dan nasionalisme. Sehingga fundamentalisme Islam menjadi gerakan politik yang memperjuangkan suatu sistem kenegaraan yang didasarkan pada syariat Islam. Dengan kata lain kembali ke dasar (back to basic) dengan menerapkan syariat Islam yang berlandaskan hukum Al Qur’an dan hadits dalam sistem ketatanegaraan. Saat ini, lawan dari fundamentalisme sendiri bukan lagi sekulerisme barat, akan tetapi juga kalangan Islam moderat lainnya yang dianggap telah menjadi bagian pendukung sekulerisme lantaran ikut serta dalam demokrasi yang dianggap tidak sesuai dengan syariat. Padahal, tidak ada perintah yang secara lugas dan jelas dari teks Al Qur’an dan hadits yang menyatakan tentang kewajiban mendirikan negara Islam. Hanya saja kembali ke masalah perbedaan penafsiran teks antara umat Islam menjadikan dinamisasi wacana berjalan hingga saat ini. Salah satu komunitas fundamentalisme Islam yang saat ini hidup adalah Hizbut Tahrir Indonesia atau yang lebih dikenal dengan HTI. Sebagai gerakan 6
yang mempunyai jaringan internasional dan mendunia, HTI mempunyai keseragaman langkah dan pandangan dalam urusan politik salah satu yang utama adalah penerapan syariat Islam secara formal di tataran negara bahkan dunia secara umum. Dengan istilah yang dinamakan kekhalifahan yaitu pemerintahan yang dipegang seorang khalifah dan memerintah seluruh negaranegara Islam sedunia. Wacana yang digencarkan HTI melalui “revolusi pemikiran” yaitu upaya untuk melawan pemikiran barat dengan Islam sebagai basis ideologi yang didialogkan secara damai diharapkan mampu melawan dan menggantikan sistem sekuler barat yang saat ini menguasai dunia. Berbeda dengan HTI, Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) yang awalnya merupakan komunitas “pecahan” Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) juga seringkali menampilkan wacana formalisasi penerapan syariat Islam sebagai hukum tertinggi dalam kekuasaan pemerintahan. Apabila wacana HTI yang disuarakan melalui media mengarahkan kepada terbentuknya khilafah sebagai satu solusi, JAT mempunyai pandangan penerapan syariat Islam melalui perjuangan jihad (dalam pengertian melakukan perang) wajib dilakukan. Pada titik ini, perjuangan JAT seringkali dikaitkan dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan Kartosuwiryo lantaran metode, sikap dan strategi yang dipakai hampir sama (Al Chaidar. 2007 : 54). Isu-isu perjuangan Islam melalui jihad lebih menonjol dan mengemuka, JAT memandang permasalahan penerapan syariat merupakan perjuangan jihad (melalui peperangan bersenjata) yang belum usai dari para pendiri negara ini
7
yang sebagian besar adalah umat Islam maka tegaknya negara Islam di Indonesia merupakan agenda besar untuk diwujudkan. Kedua komunitas fundamentalisme Islam yang diteliti termasuk varian Islam politik. Sebagai kekuatan Islam politik, perjuangan untuk kembali kepada syariat Islam, tentu saja didasari atas kepentingan untuk berkuasa. Oleh karenanya, keduanya menjadikan wacana penerapan syariat Islam sebagai komoditas di dalam menyampaikan pesan untuk menarik pengikut (audience) yang diharapkan mendukung kekuasaan pemikiran yang dilanggengkan. Sebagai kekuatan sarat kepentingan politis tentu saja komunitas fundamentalisme Islam mempunyai kekuatan kritik atas sistem politik yang dianggap berasal dari luar Islam (baca: sistem demokrasi produk barat). Akan tetapi, karena kepentingan politisnya inilah, simbol agama yang dipakai dalam wacana penerapan syariat Islam akan mengaburkan aspek teologis yang seharusnya ditempatkan pada posisi sakral bukan sekedar alat berkuasa melalui wacana. Meskipun menyampaikan
menemukan gagasannya,
ruang saat
ini
ekspresi Islam
dan
kebebasan
fundamental
di
untuk
Indonesia
mendapatkan tantangan yang cukup berat dengan wacana anti fundamentalisme yang disuarakan oleh kelompok mainstream dan pemerintahan yang saat ini berkuasa. Peristiwa bom Bali, 12 Oktober 2002 menandai perang terhadap fundamentalisme Islam lantaran tersangka teroris adalah aktivis mantan murid fundamentalis Islam, Abu Bakar Ba’asyir.
8
Peristiwa bom Bali telah menjadikan fundamentalisme dianggap telah mengarah kepada radikalisme agama yang menggunakan cara-cara kekerasan untuk melawan simbol-simbol barat dan merealisasikan terwujudnya cita-cita menegakkan syariat Islam. Kalangan fundamentalis Islam seringkali dicurigai mendukung operasi teror yang kemudian terjadi di beberapa tempat di negara Indonesia. Indikator kecurigaan ini tentu saja karena fundamentalisme memiliki kecenderungan untuk melawan dominasi dan hegemoni barat melalui berbagai cara. Pemerintah akhirnya menyatakan perang terhadap terorisme yang diyakini dilakukan dan didukung oleh komunitas fundamentalisme Islam, sehingga ruang ekspresi untuk menyuarakan gagasan syariat Islam tidak lagi populis dan berganti menjadi phobia yang mendalam di kalangan umat. Wacana fundamentalisme Islam semakin terpojok namun tetap bergerak untuk menyuarakan aspirasinya, meskipun tidak seterbuka semasa awal reformasi (Zaki Mubarok, 2007:111) wacana fundamentalisme Islam untuk menerapkan syariat Islam masih gencar dilakukan di dunia maya melalui media website. Wacana yang disuarakan fundamentalisme Islam terus menerus melalui media jaringan
internet bertemu dengan trend kecenderungan masyarakat
informasi pengguna internet. Sehingga mereka tetap bisa melakukan propaganda pentingnya syariat sekaligus sebagai sarana menarik simpati dam rekrutmen pengikut dari umat Islam pengkonsumsi media website. Dan ternyata upaya ini berhasil menambah pengikut-pengikut yang merasa tertarik dan masuk menjadi aktivis bagian dari fundamentalisme Islam. Perlawanan terhadap dominasi dan hegemoni wacana anti fundamentalisme terhadap aliran mainstream telah 9
melahirkan hegemoni baru dari kalangan fundamentalis terhadap pengikutpengikut baru yang notabene masih berusia muda dan sedang semangatsemangatnya belajar Islam.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang dikemukakan dalam latar belakang tersebut,
maka rumusan masalah penelitian ini akan menjawab pertanyaan utama: “Bagaimana upaya menyebarluaskan wacana negara Islam yang dilakukan oleh komunitas fundamentalisme Islam yang direpresentasikan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT)?” Turunan dari pertanyaan utama ini adalah dua pertanyaan sebagai berikut? 1. Bagaimana wacana simbol-simbol agama yang terdapat dalam teks yang dipakai oleh HTI dan JAT dikonstruksikan melalui media website? 2. Bagaimana ideologi fundamentalisme Islam bekerja untuk menghegemoni dalam memperjuangkan kepentingan kedua komunitas Islam melalui wacana syariat Islam? C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bagaimana upaya
menyebarluaskan wacana negara Islam yang dilakukan oleh komunitas Islam fundamental yang direpresentasikan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT). Selanjutnya penelitian mengenai makna keduanya akan difokuskan kepada dua hal yakni: 10
1.
Mengetahui wacana simbol-simbol agama yang terdapat dalam teks yang dipakai oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) yang dikonstruksikan melalui media website.
2.
Melacak bekerjanya ideologi fundamentalisme Islam yang digunakan menghegemoni pengikutnya di dalam upaya memperjuangkan kepentingan kedua komunitas Islam melalui wacana syariat Islam.
Setelah diketahui hasil dari penelitian ini diharapkan mampu: 1.
Menjawab permasalahan fundamentalisme agama yang terjadi di Indonesia melalui metode analisa wacana kritis.
2.
Menambah khazanah baru dalam studi sosiologi agama khususnya studi mengenai fundamentalisme Islam di Indonesia
D. Metode Penelitian 1. Kerangka Teoritik a. Analisis Wacana Kritis (Critical Discourse Analysis): Norman Fairclough Penelitian inimenggunakan teori Fairclough mengenai Critical Discourse Analysis (CDA).Dalam teori yang dibangun Fairclough menyatakan bahwa wacana teks tidak hanya dipahami sebagai bahasa tradisional saja. Akan tetapi, teks dibangun dalam tiga aspek analisis; tekstual, kultural dan praktik diskursif. (Jorgensen&Philips, 2007: 124) dengan ketiga analisis ini, nantinya akan bisa dilihat bagaimana bahasa menjadi alat bukan sekedar teks tetapi dalam konteks melanggengkan praktik ideologi.
11
Selanjutnya Fairclough menyatakan bahwa suatu diskursus terdiri dari teks, praktik sosial dan praktik diskursus secara bersama-sama. Ketiga relasi tersebut pada akhirnya dapat membongkar bagaimana relasi kekuasaan berkembang dalam setiap pengetahuan. Terutama sekali pengetahuan tersebut sebagai bagian dalam konstruksi realitas sosial dalam masyarakat. Fairclough mengemukakan bahwa ada tiga level (sekaligus dimensi) analisis yang dapat dilakukan untuk melakukan analisis wacana. Yang pertama adalah level teks, praktik diskursif dan praktik sosio-kultural. (Ibnu Hamad, 2004:47) Dalam penelitian ini, analisis Fairclough akan melihat secara komprehensif mengenai bagaimana teks dikonstruksikan oleh Hizbut Tahrir Indonesia dan Jama’ah Anshorut Tauhid di dalam upaya mewacanakan penerapan syariat Islam melalui media.Analisis tiga dimensi dari Norman Fairclough ini amat urgen dalam tulisan ini. Teori analisis Fairclough dalam penelitian ini berfungsi untuk melihat hubungan kekuasaan serta motif-motif ideologis didalam teks serta praktik sosial yang menjadi basis lahirnya teks. Selain menjadi sandaran teoritis, analisis wacana kritis dari Fairclough ini juga akan dipakai sebagai metode analisis. Analisis Fairclough dilakukan dengan cara menganalisis teks secara linguistik, yakni melihat gambar, simbol dan pernyataan tokoh, aktivis, pengamat Islam fundamental yang muncul di media.Pada analisis kedua mengenai analisis praktik diskursif bagaimana teks diproduksi dalam kerangka produksi dan konsumsi. Kemudian ketiga mengenai analisis kultural berhubungan dengan konteks diluar teks. Dalam hal ini, konteks meliputi banyak hal seperti konteks situasi 12
kondisi dan juga bagaimana konteks dari praktik institusi media dalam hubungannya
dengan
masyarakat,
politik
tertentu,kultur
yang
melatarbelakanginya. Hal ini berkaitan dengan konteks ruang dan waktu yang bagaimanakah suatu teks dikonstruksikan. b. Wacana dan Relasi Kekuasaan: Michel Foucault Wacana menurut Foucault berkaitan erat dengan konsep kekuasaan. Konsep kekuasaan Foucault berbeda dengan konsep kekuasaan yang telah ada sebelumnya. Kekuasaan bukanlah struktur politis seperti pemerintah atau kelompok-kelompok sosial yang dominan. Kekuasaan bukanlah raja yang absolut atau tuan tanah yang tiranik. Foucault mendefinisikan kembali kekuasaan dengan menunjukkan ciricirinya, bahwa kekuasaan itu tersebar, tidak dapat dilokalisasi, merupakan tatanan disiplin dan dihubungkan dengan jaringan, memberi struktur kegiatankegiatan, tidak represif tetapi produktif, serta melekat pada kehendak untuk mengetahui. (Haryatmoko, 2002). Foucault tertarik untuk melihat bagaimana kekuasaan dipraktikkan, diterima, dan dilihat sebagai kebenaran dan juga kekuasaan yang berfungsi dalam bidang-bidang tertentu. Menurut Foucault pada dasarnya, kekuasaan menciptakan kondisi yang memungkinkan tercapainya kehidupan sosial. Didalam kekuasaan itulah dunia sosial dihasilkan oleh obyek-obyek yang dipisahkan satu sama lain sehingga dengan demikian bisa mencapai karakteristik-karakteristik individu dan hubungannya satu sama lain. Kekuasaan bertanggung jawab atas penciptaan dunia sosial dan cara-cara tertentu dalam membicarakan dan membentuk dunia.
13
Oleh sebab itu kekuasaan bisa merupakan daya yang produktif sekaligus membelenggu.( Jorgensen & Philips, 2007: 26) Foucault mengemukakan teorinya mengenai wacana sebagai pengetahuan yang terstruktur: aturan, praktik yang menghasilkan pernyataan bermakna pada satu rentang historis tertentu. Oleh karena itu, wacana erat hubungannya dengan kekuasaan.Ia
berpendapat
bahwa
konsep
kekuasaan
telah
berubah
dibandingkan dengan abad ke-19. Pada awalnya kekuasaan sangat terkait dengat kepemilikan modal dan tanah. Ciri kekuasaan pada saat itu: pertama, cenderung brutal. Kedua, dioperasikan secara terus-menerus. Ketiga, menekankan ketaatan pada tata cara dan penuh dengan simbolisme. Keempat, berada di ruang publik. Sedangkan saat ini, kekuasaan, menurut Foucault, bukan milik siapa pun; kekuasaan ada di mana-mana; kekuasaan merupakan strategi. Kekuasaan adalah praktik yang terjadi dalam suatu ruang lingkup tertentu -ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu dengan yang lain dan senantiasa mengalami pergeseran-. Kekuasaan menentukan susunan, aturan, dan hubungan dari dalam.Kekuasaan bertautan dengan pengetahuan yang berasal dari relasi-relasi kekuasaan yang menandai subjek. Karena Foucault menautkan kekuasaan dengan pengetahuan sehingga kekuasaan
memproduksi
pengetahuan
dan
pengetahuan
menyediakan
kekuasaan, ia mengatakan bahwa kekuasaan tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, melainkan juga normalisasi dan regulasi (Sutrisno, 2005:154).
14
Pandangan Foucault tentang pengetahuan (wacana) dan kekuasaan ini menjadi salah satu teori yang dipakai dalam penelitian ini.Hal ini untuk melihat bagaimana kekuasaan tampil dalam setiap praktik sosial seperti wacana penerapan syariat Islam oleh komunitas Islam fundamental. Kekuasaan dua komunitas Islam fundamental akan dilihat di dalam usahanya untuk memberikan pengetahuan dan kemudian mengkonstruksi realitas dan memperjuangkan kepentingan sebagaimana harapannya. c. Teori Representasi: Stuart Hall Untuk mengeksplorasi bagaimana proses kekuasaan dan wacana dominatif terhadap pengikut komunitas berlangsung, penulis menggunakan dasar teori representasi (Theories of Representation) dengan pendekatan konstruksionis (constructionist approach) dari Stuart Hall (1997). Menurut Hall, Representasi adalah bagian terpenting dari proses dimana arti (meaning) diproduksi dan dipertukarkan antara anggota kelompok dalam sebuah kebudayaan (culture). Representasi menghubungkan antara konsep (concept) dalam benak kita dengan menggunakan bahasa yang memungkinkan kita untuk mengartikan benda, orang atau kejadian yang nyata (real), dan dunia imajinasi dari obyek, orang, benda dan kejadian yang tidak nyata (fictional). Dalam penelitian ini, media seperti website telah melakukan proses representasi atas obyek yang ditampilkan di dalam teks dan symbol dengan menggunakan alat yang disebut bahasa (language). Bahasa sendiri terdiri dari simbol dan sign ini yang bisa diamati dari narasi, visual, peristiwa, obyek, orang, pakaian, aksesoris, warna, gambar dan berbagai hal yang tampak dalam symbol yang terekonstruksi.
15
Posisi suatu obyek akan bisa diketahui dari analisis terhadap teks dan simbol tersebut, yang artinya kekuasaan wacana berlangsung sangat halus dan dibawah kesadaran objek penderita akan dapat dikenali dengan metode ini. Teori Representasi Hall sebagaimana terangkum diatas berkait dengan konsep kekerasan simbolik dalam konteks pemikiran Bourdieu, dimana keduanya sama-sama fokus pada penggunaan bahasa (language). Bourdieu mengakui bahwa kuasa simbolik berada pada bahasa (Bourdieu: 2000; 138). Pemikiran Bourdieu dan Stuart Hall juga sama – sama terhubung dengan pemikiran Michel Foucault dimana pendekatan konstruksionis Stuart Hall menggunakan model discursive (analisis wacana) dari Michel Foucault selain menggunakan metode semiotic dari Ferdinand De Saussure, dimana kedua metode itu yang dipakai untuk pembongkaran representasi atas obyek di dalam suatu bahasa. 2. Jenis Penelitian Riset ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan memakai kerangka metodologi yang dikembangkan Norman Fairclough yaitu analisis diskursif kritis. Analisis diskursif kritis dari Fourclough dalam penelitian ini menganalisis teks dalam tiga dimensi yakni dimensi tekstual, dimensi praktik diskursif dan analisis sosio kultural. Secara kritis untuk mengetahui permasalahan yang diteliti, peneliti melakukan tiga langkah analisis melalui: 1) memahami pengalaman langsung dari orang yang terlibat secara langsung dalam masalah yang diteliti; (2) berusaha untuk menyelidiki kondisi-kondisi sosial untuk mengungkap wacana
16
yang dikembangkan oleh obyek penelitian melalui media website. (3) senantiasa melakukan upaya untuk memadukan teori dan tindakan. Metode penyajiannya dilakukan secara deskriptif-analitis. Penelitian deskriptif mampu menyajikan gambaran secara detail dari sebuah situasi dan atau setting social. Pada pendekatan kualitatif, data yang dikumpulkan pada umumnya berbentuk kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, kalaupun ada angka-angka sifatnya hanya sebagai penunjang. 3. Alasan Pemilihan Obyek Penelitian Penelitian ini mengambil dua media massa yang terdiri dari website yang diambil dari website komunitas fundamentalisme Islam yaitu Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Alasan dipilihnya website kedua komunitas adalah karena kedua website yang diproduksi oleh kedua komunitas dinilai paling aktif dan up to date di dalam memproduksi wacana syariat Islam dan perlawanan terhadap demokrasi dibanding komunitas anti demokrasi lain seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) atau Jamaah Salafiyah yang dalam pembentukan wacana media komunitas masih kurang aktif melakukan kritik terhadap demokrasi. Karakter khas dari HTI merepresentasikan gerakan Islam trans-nasional yang merupakan cabang dari Hizbut Tahrir internasional yang pertama kali lahir dan tumbuh di Yordania. Sedangkan, JAT adalah komunitas Islam baru yang lahir di Yogyakarta. Sebelum awalnya para pengurusnya adalah aktivis MMI. Atau banyak yang mengatakan JAT adalah “sempalan” dari MMI. Dimana keduanya
17
sangat terinspirasi gerakan Ikhwanul Muslimin dan Al Qaidah dalam arah gerak perjuangannya. Selain itu, HTI dan JAT memiliki pendekatan wacana yang berbeda. Terutama dalam hal bagaimana penerapan syariat Islam melalui jalan revolusi pemikiran atau revolusi bersenjata. Dalam berbagai kesempatan Hizbut Tahrir Indonesia mewacanakan revolusi pemikiran melalui pengelolaan isu di media. Sedangkan Jama’ah Anshorut Tauhid lebih banyak menyebarkan ideologi jihad melalui peperangan dan pembelaannya terhadap beberapa tersangka terorisme. 4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengambil beberapa teks yang diproduksi oleh kedua komunitas Islam fundamental tersebut. Data primer diambil dari media website www.hizbuttahrir.or.id dan www.ansharuttauhid.net yang memuat pernyataan dan wacana terkait penerapan syariat Islam anti demokrasi. Artikel utama yang diambil oleh peneliti dari kedua website tersebut adalah dari website www.hizbut-tahrir.or.id penulis melakukan analisis dan interpretasi teks terhadap dua artikel terpilih yaitu: “Kegagalan Demokrasi” dan “Indonesia Butuh Khilafah”. Sedangkan dari website www.ansharuttauhid.com yang berkaitan dengan tema syariat Islam, anti demokrasi adalah artikel yang ditulis redaksi website dengan judul “Butir -
Butir Perlawanan.” Disamping
artikel, diambil masing-masing satu gambar dari kedua website tersebut. Sumber data yang lain seperti dokumen lain seperti buku “pegangan” terbitan kedua komunitas yang dapat diunduh di kedua website yang diteliti. 18
Dokumen selain artikel dan gambar digunakan untuk melengkapi dan mendukung data-data yang diperlukan dalam analisis data. Selain itu, dalam menganalisis wacana yang termediakan pernyataan lisan dari narasumber atau informan dari kedua komunitas juga dilakukan peneliti selama berada di lapangan. Khusus untuk membuat daftar pertanyaan dalam wawancara mendalam terhadap informan, peneliti melakukan mini survey terhadap 30 aktivis dari kedua komunitas fundamentalisme Islam yang diteliti. Teknik ini dilakukan bukan untuk mencari generalisasi jawaban atas rumusan masalah penelitian, akan tetapi sebagai panduan dalam menentukan daftar pertanyaan yang relevan terhadap tema penelitian. Setelah mini survey dilakukan, pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung maupun melalui jaringan seluler dan internet.Kemudian juga
dilakukan
Focus
Grup
Discussion
(FGD)
bersama
beberapa
informan.Narasumber atau informan utama yang dipilih adalah pejabat hubungan masyarakat (humas) kedua komunitas, sebagai salah satu pejabat yang strategis berhubungan dengan media untuk menyampaikan pesan komunitas.Pejabat humas HTI, Muhammad Sholahudin (MS) dan pejabat humas JAT, Endro Sudarsono (Edr) dipilih sebagai informan utama. Selain itu, beberapa aktivis HTI dan JAT lain juga dilibatkan dalam proses FGD untuk pendalaman data. FGD tatap muka dengan aktivis HTI dilakukan bersama enam orang aktivisGema Pembebasan, sayap mahasiswa HTI; Rizal (Rz), Utsman (Uts), Safrudin (Saf), Yusuf (Yus), Sumadi (Sum),Ahmad Fuad (AF).
19
Sementara FGD dengan aktivis JAT berlangsung melalui diskusi dunia maya melalui akun jejaring sosial Facebook dengan lima akun aktivis JAT; Badrun Al Ghifari (BAG), Fikar Yahya (FY), Sansand Al Busyro (SAB), Sony Wijanarko (SW), Mulyandi (Mul), Muhamad Nashr (MN). Bersama beberapa aktivis ini, selain FGD juga dilakukan wawancara atau diskusi tambahan untuk mendapatkan data tambahan yang diperlukan. 5.
Teknik Analisis Data Penelitian menggunakan teknik analisis tiga dimensi dari Norman
Fairclough. Dimensi-dimensi yang dianalisis meliputi dimensi kewacanaannya dengan menganalisis teks, praktik diskursif dan praktik sosiokultural. Untuk lebih jelas, penulis mengebalorasi level analisis yang diperkenalkan oleh Fairclough dalam menganalisis wacana sebagai berikut: Metode Analisis Diskursus Kritis Fairclough
Proses Produksi Deskripsi (Analisis Teks) Teks Interpretasi (Proses Analisis)
Proses Interpretasi
Penjelasan (Analisis Sosial)
Praktik Wacana Praktik sosiokultural (situasional, institusional, kemasyarakatan)
Sumber: Stefan Titcher et al (2009: 249)
20
Pertama kali dimensi yang dianalisis oleh peneliti adalah teks media website resmi dari kedua komunitas fundamentalisme Islam.Teks yang dianalisis meliputi tiga artikel dan dua gambar yang diambil dari dua website HTI dan JAT.Analisis ini berguna untuk melihat bagaimana kedua komunitas tersebut dalam mengkonstruksi simbol-simbol agama.Dari sini juga terlihat bagaimana tendensi masing-masing dalam wacana penerapan syariat Islam dalam negara. Peneliti mengambil teks berupa artikel dari website www.hizbuttahrir.or.id dengan judul “Kegagalan Demokrasi” dan “Indonesia Butuh Khilafah”. Sedangkan dari website www.ansharuttauhid.net diambil artikel berjudul “Butir - Butir Perlawanan.”Disamping artikel, peneliti meng-capture masing-masing satu gambar dari kedua website tersebut. Setelah teks berupa artikel dan gambar dikumpulkan, data yang terdapat pada teks tersebut dipilah-pilah berdasarkan beberapa terma dan pointer yang menunjukan inti dari pesan yang tersampaikan dari artikel.Dari satu artikel atau gambar dipilah ke dalam beberapa terma dan pointer.Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk untuk memberi tekanan lebih terhadap teks berupa artikel dan gambar terpilih yang dianalisis untuk menunjukkan representasi dari makna yang sebenarnya. Dari pembagian terma dan pointer tersebut kemudian dilakukan deskripsi (text analysis) untuk mendeskripsikan teks dan sekaligus dilakukan interpretasi (processing analysis) berdasarkan pada pendapat kritik subjektif peneliti untuk melihat representasi makna yang ingin disampaikan dalam suatu teks tersebut.
21
Analisis
yang
kedua
pada
dimensi
praktik kewacanaan. Melalui
pengumpulan data berupa wawancara mendalam dan FGD, praktik kewacanaan teks baik berupa tulisan seperti artikel, gambar maupun lisan dari pernyataan informan diarahkan untuk menjawab pertanyaan apakah karakter berupa konvensi sosial dari produksi, konsumsi dan distribusi teks dari praktik diskursus mengenai syariat Islam, anti Demokrasi berinteraksi dengan diskursus yang berkembang di masyarakat yang ada. Peneliti melakukan penafsiran atas praktik kewacananaan dengan membandingkan dengan diskursus yang kontra terhadap wacana anti demokrasi. Pada tingkat produksi teks, analisis diarahkan pada genre dan tipe diskursus yang ditampilkan teks dan bagaimana penampilan tersebut berhubungan dengan relasi kuasa yang ingin disebarkan oleh HTI dan JAT.Kemudian dalam konsumsi teks, peneliti mencari jawaban bagaimana interpretasi dari pengikut komunitas saat mengkonsumsi teks yang diproduksi komunitas melalui media website.Penafsiran dari konsumen dianalisis menggunakan teori representasi makna dari Stuart Hall untuk melihat membangun afirmasi terhadap teks dan melihat implikasinya bagi efektivitas politis sekaligus ideologis dari teks yang diproduksi oleh HTI dan JAT melalui media website. Kemudian dalam praktik sosio kultural, peneliti melakukan analisis dengan membandingkan konteks sosio kultural praktik kewacanaan mengenai demokrasi dan Islam berlangsung. Sikap, pandangan, pendapat informan yang didapat selama pengumpulan data diklasifikasi ke dalam tiga segmen yang berkaitan dengan situasi, institusi dan konteks masyarakat. 22
Peneliti menganalisis mengenai konteks yang lebih makro mengapa wacana penerapan syariat Islam dalam kehidupan negara tersebut lahir. Dalam situasi praktek demokrasi seperti pemilihan umum, sikap dan ide syariat Islam anti demokrasi juga dianalisis dengan menggunakan teori genealogi dan arkeologi dari Michel Foucault untuk melihat diskontinuitas dan inkonsistensi wacana yang dibangun dalam konteks dan situasi masyarakat yang ada.
23