BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Kepulauan di Indonesia menjadi wilayah perdagangan penting sejak abad ke-7 ketika Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan perdagangan dan agama dengan Tiongkok dan India (http://www.indonesia.go.id/in/sekilas-indonesia/geografiindonesia.html). Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan bahari terbesar dan banyak memberi pengaruh di Indonesia. Daerah kekuasaan Kerajaan
Sriwijaya
membentang
dari
Kamboja,
Thailand
Selatan,
Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa dan pesisir Kalimantan (George dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Sriwijaya).
Fakta
sejarah
tersebut,
didukung dengan kondisi geografis bahwa dua per tiga wilayah Indonesia merupakan wilayah perairan (luas daratan 1.922.570 km2 dan luas perairan 3.257.483 km2) dapat dijadikan dasar dalam menetapkan kebijakan untuk membuat Indonesia menjadi negara maritim (Hartono, 2010). Konsep negara maritim adalah negara yang mampu memanfaatkan dan menjaga lautnya (Djalal dalam Burhani, 2012). Akan tetapi terdapat ketidakselarasan antara pembangunan sistem pertahanan dengan konsep Indonesia sebagai negara maritim (Bakrie dalam Fichri, 2012). Padahal secara geopolitik dan geostrategi, Indonesia terletak pada posisi yang strategis dan menentukan dalam tata pergaulan dunia (BAPPENAS, 2009). Dengan sistem 1
pertahanan yang tidak berorientasi pada konsep negara maritim maka tak heran jika pertahanan nasional negara Indonesia di sektor kelautan sangat rapuh (Fichri, 2012). Beberapa kasus yang terjadi di antara Indonesia dan Malaysia
merupakan
cermin
rentannya
perairan
daerah
perbatasan
(http://indomaritimeinstitute.org/?p=1341). Kasus Sengketa Ambalat adalah salah satu contoh kasus yang ada antara Indonesia dan Malaysia. Ambalat adalah blok-laut seluas 15.235 km2 di Laut Sulawesi. Menurut Perjanjian Tapal Batas Kontinen Indonesia-Malaysia tanggal 27 Oktober 1969 Ambalat berada dalam daerah kedaulatan Indonesia. Perjanjian tersebut ditandatangani di Kuala Lumpur dan diratifikasi pada tanggal 7 November 1969 (Chandra, 2010). Akan tetapi pada tahun 2002 Malaysia berhasil memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan ke dalam wilayah kedaulatan negara tersebut yang akhirnya mempengaruhi penentuan penarikan garis batas maritim. Penentuan penarikan garis batas maritim dilakukan dengan menghubungkan titik atau pulau terluar sebagai titik pangkal sejauh 12 mil untuk menghitung wilayah maritim. Dengan demikian, sesuai dengan letak geografis yang didasarkan pada penghitungan tersebut, Blok Ambalat masuk menjadi bagian wilayah Malaysia. Penghitungan ini yang akhirnya menjadi kontroversi saling klaim Blok Ambalat antara Indonesia dengan Malaysia (Wulandari, 2010). Selain di Ambalat, konflik batas perairan juga rawan terjadi di daerah perbatasan Indonesia lainnya. Adapun negara yang memiliki batas-batas laut yang rawan konflik dengan Indonesia adalah Malaysia, Singapura, Thailand,
2
India, Australia, Vietnam, Filipina, Republik Palau dan Timor Leste. Hal ini disebabkan oleh belum selesainya penentuan batas maritim antara Indonesia dengan negara tetangga. Padahal penetapan batas-batas maritim secara lengkap diperlukan untuk menegakkan kedaulatan dan hukum di wilayah yurisdiksi
Indonesia
(http://indomaritimeinstitute.org/?p=1341).
Dengan
potensi ancaman yang tidak ringan serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang beragam, bangsa dan negara Indonesia memerlukan kemampuan pertahanan negara yang kuat untuk menjamin tetap tegaknya kedaulatan NKRI (BAPPENAS, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun 2002, pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta, yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Jamsari (2010) menyatakan bahwa sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer menempatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Sebagai komponen utama atau organ vital negara, prajurit TNI harus menjalankan tugasnya secara profesional.
3
Adapun tugas pokok TNI menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (1) adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Sehubungan dengan adanya kasus Ambalat, prajurit TNI harus siap menjalankan tugas sebagaimana yang tertuang dalam UU TNI tersebut untuk mempertahankan negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta TNI Angkatan Laut (TNI AL) dan TNI Angkatan Udara (TNI AU) mem-back up patroli di Perairan Ambalat, perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan (Hertanto, 2005). Meskipun demikian, sistem pertahanan negara tidak hanya ditujukan kepada ancaman dari luar, tetapi juga berfungsi untuk mengatasi ancaman dari dalam negeri dan dalam menangani dampak bencana dengan kemampuan pertahanan yang kuat dan solid (BAPPENAS, 2009). Effendy (dalam Jamsari, 2010) mencoba meneliti mengenai dinamika kehidupan dan profesi TNI ketika dibenturkan dengan persoalan kompleks seperti: tugas, kesejahteraan hidup dan pendidikan militer. Fenomena kehidupan TNI tersebut berlangsung seiring dengan perubahan yang terjadi semenjak awal berkarir dalam menempuh pendidikan militer hingga mencapai suatu level tertinggi seperti menyandang pangkat jenderal. Salah satu aspek yang dapat menjelaskan fenomena tersebut adalah adanya gagasan atau nilainilai transendental suatu konsep. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada
4
kekuatan gagasan kekuasaan (power of idea) budaya yang menghegemoni TNI dalam berperilaku. Konsep tersebut berasal dari masa perjuangan, yakni ketika kemerdekaan Indonesia diraih dengan sikap ksatria, gagah berani dan semangat patriotisme dalam bertarung melawan kaum penjajah. Patriotisme menurut Dymond (2006) adalah: “...the great foundation of the soldier’s glory. To ‘fight nobly for our country; to ‘fall, covered with glory, in our country’s cause;’ to ‘sacrifice our lives for the liberties, laws, and religion of our country’ are phrases in the mouth of every man.” Kata Patriot berasal dari Bahasa Yunani patris yang berarti tanah air, sehingga Patriot memiliki arti “Pembela Tanah Air” (Boer, 2011). Berbeda dengan nasionalisme yang mengisyaratkan adanya dominasi atas kelompok lain, patriotisme berbicara tentang loyalitas dan cinta pada bangsa dan negara (Kelman dalam Markum&Pitaloka, 2005) serta kekaguman pada adat dan kebiasaan, kebanggaan terhadap sejarah dan kebudayaan, serta sikap pengabdian demi kesejahteraan bangsa (Boer, 2011). Akan tetapi dewasa ini, rasa patriotisme dalam masyarakat dianggap sudah melemah dibanding masa kemerdekaan dulu: “Adalagi iklan yang melemahkan seperti ‘Itu dulu, sekarang mah lain’, menjadi buah bibir masyarakat bahkan diucapkan atau ditayangkan berkali-kali sehingga merasuk kepada pendapat para pemirsa, secara perlahan membuat pengertian atau pemahaman kepada patriotisme menjadi melemah.” (Boer, 2011) Di saat patriotisme dianggap melemah dan dengan adanya peran, tugas dan fungsi TNI yang cukup berat serta ancaman yang mengintai, ternyata masih ada warga negara Indonesia yang mau menjadi Patriot Indonesia yakni dengan
5
menjadi TNI. Terhitung pada tahun 2009 prajurit TNI berjumlah 438.410 personel (http://id.wikipedia.org/wiki/Tentara_Nasional_Indonesia). Salah satu cara untuk membentuk TNI adalah dengan menempuh pendidikan pertama di Akademi Kemiliteran. Pendidikan ini berlangsung selama 4 tahun. Pendidikan tahun pertama dilaksanakan di Magelang dan diikuti oleh taruna dari seluruh angkatan baik darat, udara dan laut. Pendidikan tersebut dinamakan dengan Pendidikan Dasar Keprajuritan Chandradimuka. Setelah itu pendidikan dilanjutkan di masing-masing angkatan selama 3 tahun (http://id.wikipedia.org/wiki/Akademi_Militer). Pendidikan Chandradimuka merupakan tahap pendidikan yang sangat mendasar dan paling menentukan serta mungkin dirasa amat berat. Dalam pendidikan ini pula prajurit ditempa dan dibentuk untuk memiliki sikap disiplin, semangat juang, dedikasi dan loyalitas yang tinggi sebagai modal dasar menjadi calon pemimpin TNI (Suhartono dalam Gemilang, 2011). Tahap akhir dari pendidikan ini adalah pelantikan. Taruna akan diwisuda dan menyandang gelar Sarjana Sains Terapan Bidang Pertahanan. Kemudian taruna atau prajurit siswa akan dilantik menjadi Perwira Pertama TNI dengan pangkat Letnan Dua dalam Upacara Prasetya Perwira. Upacara ini menandai babak baru dalam menempuh karir di TNI (Setianegara dalam Dispenal Mabesal, 2012). Adapun berperan sebagai seorang TNI berarti berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara (UU No. 34 Tahun 2004).
6
Peneliti menyadari bahwa dalam bidang pertahanan TNI memang berperan sebagai alat pertahanan namun di balik itu semua, TNI pada hakikatnya adalah seorang manusia dengan segala aspek kemanusiaannya. Hal ini tertuang dalam UU No. 34 Tahun 2004 bahwa tentara adalah warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata. Effendy (dalam Jamsari, 2010) menyatakan bahwa aktivitas TNI merupakan salah satu potret dualisme otoritas sipil dan profesionalisme TNI. TNI adalah suatu kelompok yang memerankan fungsi sebagai warga negara (civil society) yang mempunyai hak kesejahteraan dan juga sebagai warga militer yang bertugas mengamankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa tentara pada dasarnya adalah seorang manusia utuh, hanya saja perbedaannya adalah terlatih dan diberikan senjata untuk dapat mempertahankan negara. Berbeda dengan makhluk apapun, manusia selalu menempatkan diri dalam sejarah sekaligus membentuk sejarah. Sejarah tersebut terbentuk dan dialami manusia karena aktivitas atau kehidupan manusia yang tidak hanya bertujuan, tetapi memiliki makna (Koeswara, 1987). Manusia adalah suatu makhluk yang bertanggung jawab dan mengaktualkan potensi makna hidupnya. Hal ini berarti bahwa makna hidup harus ditemukan di dunia dari dalam dirinya (Frankl, 2003). Penemuan atau pencarian akan makna adalah karakter utama yang membedakan manusia dengan makhluk lain (Lukas, 1986).
7
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (Bastaman, 2007). Sebuah polling pendapat umum telah dilaksanakan di Perancis dan hasilnya menunjukkan 89% suara yang masuk menyatakan bahwa manusia membutuhkan “sesuatu” untuk mengubah kehidupan ini. 61% suara menyatakan bahwa ada sesuatu atau seseorang dalam hidupnya yang mengubah mereka bahkan hingga karenanya siap mati. Frankl selanjutnya mengulang penelitian tersebut di Wina dan hasilnya ternyata sama dengan penelitian di Perancis dengan selisih hanya 2%. Berdasarkan penelitian tersebut, Frankl menarik kesimpulan bahwa manusia akan berusaha memperoleh “sesuatu” yang penting itu yang nantinya akan memuaskan keinginan manusia untuk memaknai hidup (Frankl, 2003). Makna hidup yang berhasil dipenuhi akan menyebabkan seseorang merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia (Bastaman, 2007). Hidup bermakna dicapai melalui proses penemuan dan pemenuhan makna hidup dengan jalan memberikan sesuatu kepada kehidupan melalui kegiatan bekerja dan berkarya, menerima sesuatu dari kehidupan dengan meyakininya sebagai hal yang bernilai, menghayati cinta kasih dan mengasihi sesama manusia, serta mengambil sikap tepat dalam menghadapi penderitaan (Bastaman, 1996). Pada level inilah seseorang bekerja dengan keikhlasan dan komitmen (Ancok dalam Frankl, 2003). Keikhlasan dan komitmen merupakan hal yang lekat dengan kegiatan dan tugas prajurit TNI terutama TNI AL. Hal tersebut tertuang jelas dalam HREE
8
DHARMA SHANTY yang terdapat dalam lambang TNI AL. HREE adalah malu terhadap perbuatan yang bertentangan dengan sifat/sumpah ksatria. DHARMA adalah kebaktian dan kewajiban. SHANTY adalah keihklasan dan kesucian hati. Makna keseluruhan dari HREE DHARMA SHANTY adalah sifat-sifat utama dari seorang ksatria yang harus dimiliki oleh setiap Perwira TNI Angkatan Laut dalam menghadapi tugas di hari mendatang dengan berlandaskan sumpah ksatria, berbakti dengan ikhlas sebagai pembela nusa dan bangsa (Margono, dkk., 2010). Adapun Sumpah Perwira berbunyi: “Demi Allah saya bersumpah, Bahwa saya akan memenuhi kewajiban Perwira dengan sebaik-baiknya terhadap bangsa Indonesia dan Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa saya akan menegakkan harkat dan martabat Perwira serta menjunjung tinggi Sumpah Prajurit dan Sapta Marga. Bahwa saya akan memimpin anak buah dengan memberi suri teladan, membangun karsa, serta menuntun pada jalan yang lurus dan benar. Bahwa saya akan rela berkorban jiwa raga untuk membela nusa dan bangsa.” (Margono, dkk., 2010) Dengan adanya unsur keikhlasan dan komitmen yang kuat dalam tubuh TNI AL, timbul pertanyaan bagaimana cara membentuk pribadi yang ikhlas dan berkomitmen tersebut? Makna hidupkah yang mengawali keihklasan dan komitmen tersebut? Lebih dari itu, rela berkorban jiwa raga untuk membela nusa dan bangsa bagi peneliti bukanlah hal yang mudah. Apakah hal yang membuat para prajurit TNI berbeda dengan masyarakat lainnya, masyarakat yang lebih memilih menjadi pekerja kantor, dokter, insinyur, psikolog atau pekerjaan lainnya? Apakah makna hidup dari seorang TNI?
9
Bastaman (2007) menyatakan bahwa makna hidup bersifat unik dan pribadi, apa yang dianggap berarti oleh seseorang, belum tentu berarti pula bagi orang lain. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa meskipun seseorang sama-sama mengikuti pendidikan yang sama, di suatu tempat yang sama dan juga sama-sama bercita-cita menjadi TNI, belum tentu memiliki makna hidup yang sama. Dengan adanya keunikan pribadi tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran makna hidup TNI. Timbulnya makna hidup dimulai ketika individu berada pada masa pubertas (Koeswara, 1987). Pada tahun 1996 Bastaman melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui penyebab timbulnya makna hidup serta proses perubahan hidup tak bermakna menjadi bermakna. Dari penelitian tersebut, ia berhasil merumuskan proposisi teoritis dari proses keberhasilan perubahan situasi hidup tak bermakna menjadi bermakna. Hasil penelitian Bastaman mengenai proses keberhasilan tersebut akan menjadi akar penelitian ini. Penelitian kali ini tidak berusaha menggeneralisasi proposisi teoritis tersebut tetapi proposisi teoritis tersebut akan dijadikan acuan untuk mengetahui gambaran makna hidup pada Prajurit Siswa TNI Angkatan Laut. Pemilihan Prajurit Siswa (taruna) dikarenakan peneliti ingin mendapatkan data aktual yang kemungkinan sedang dialami oleh taruna yang baru saja melewati masa pubertas dan sedang mengikuti pembinaan dalam pendidikan militer. Pemilihan taruna TNI Angkatan Laut (Kadet) didasarkan pada keterbatasan akses di angkatan lain.
10
1.2 Rumusan Masalah Bagaimana gambaran makna hidup pada calon Perwira Pertama Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut? 1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui gambaran makna hidup pada calon Perwira Pertama Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Aspek Teoritis Menambah wawasan baru mengenai makna hidup pada umumnya dan makna hidup calon Perwira Pertama TNI Angkatan Laut yang sedang menempuh pendidikan di Akademi TNI Angkatan Laut pada khususnya. Dimana pembahasan mengenai makna hidup di Indonesia masih sangat minim. 1.4.2 Aspek Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan insight bagi para pembaca yang belum menemukan makna hidup agar dapat menemukan makna hidupnya masing-masing bahkan sampai memiliki hidup yang bermakna dan memperoleh kebahagiaan. Peneliti berharap hasil dari penelitian ini dapat membangun dan menumbuhkembangkan jiwa patriotisme dalam diri masyarakat. Penelitian ini juga diharapkan dapat mengubah persepsi negatif masyarakat terhadap pendidikan militer yang sudah beredar di masyarakat.
11
1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dan gambaran umum hal-hal yang disampaikan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penelitian. BAB II
LANDASAN TEORI
Dalam bab ini dijelaskan mengenai teori yang berhubungan dengan makna hidup serta pembahasan mengenai TNI AL. BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini membahas mengenai jenis penelitian, metode pengumpulan data, alat bantu penelitian, karakteristik subjek penelitian, metode analisis data dan pelaksanaan penelitian. BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan tentang gambaran umum subjek penelitian, proses keberhasilan makna hidup subjek serta analisis antar kasus subjek penelitian. BAB V
PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan, diskusi serta saran.
12