BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Manusia hidup dalam pranata sosial yang terbentuk melalui proses yang panjang. Proses tersebut menciptakan kelas yang kemudian menjadi fondasi dasar tatanan kehidupan dalam pola keruangan. Sejak dalam konteks terkecil jaringan hubungan antar manusia, keluarga, ruang telah tersegmen menjadi ruang privat dan ruang publik.Pada konteks yang lebih luas, segmentasi kuasa atas ruang bisa menjadi lebih longgar atau justru lebih ketat tergantung pada struktur pranata sosial yang menaungi. Pierre Bordieu menggunakan frasa habitus untuk menggambarkan segmentasi dan pemanfaatan, atau bisa juga dimaknai penguasaan, atas permainan keruangan di masyarakat. Seperti dicatat Piliang (1997:325-326) Habitus, menurut Bordieu, berkaitan dengan situasi, aksi, prosedur, praktik-praktik keseharian yang mengikuti gaya hidup tertentu. Habitus menempatkan posisi seseorang individu di dalam dunia kemasyarakatan baik dalam posisi gender, kelas, ras, status, dan sebagainya. Tata ruang bukan hanya soal struktur fungsi, melainkan sebuah hasil dari konstruksi sosial.Dengan demikian satu rangkaian yang memiliki struktur segmen memiliki batasan yang jelas. Batasan tersebut akan membingkai setiap kelompok antara kelompok masyarakat “pemilik habit” dengan kelompok “pemilik ruang” yang lain. Pada titik inilah sangat memungkinkan terjadi kontak pertukaran baik fisik maupun non-fisik antar kelompok yang tersegmentasi tersebut.
Ruang yang berhubungan dengan perilaku manusia membawa konsekuensi terhadap fungsi nilai, dimana space memiliki peran yang cukup besar dalam kehidupan manusia termasuk dalam perebutan wacana.Pada titik ini, pengelolaan keruangan memberikan visualisasi atas pertaruhan antar kelompok dalam konteks perebutan ruang sekaligus perang wacana pada ruang yang saling bersinggungan. Dalam konsep pertunjukan sentri-petal yang memusat, bentuk lapangan persegi panjang sepak bola memberikan desain penonton yang akan terbagi menjadi empat bagian utama mengikuti alur di sekelilingnya. Menghindari sudut pandang terik matahari di negara tropis, membuat hampir seluruh stadion standar di Indonesia menaruh dua gawang di bagian UtaraSelatan. Dengan demikian dua bagian utama lain berada pada sisi panjang lapangan Timur-Barat. Masih dalam kerangka konsep habitus a la Bordieu, pola keruangan dalam stadion akan selesai dibahas dengan relatif singkat jika dikaitkan dalam pemetaan dengan ekonomi sebagai situasi segmen pembeda. Mayoritas stadion di Indonesia kemudian memperuntukkan sisi Barat selalu sebagai tribun mahal karena bebas terik matahari, tribun Timur yang sedikit lebih murah karena masih memiliki sudut pandang lapangan bagus dan luas, serta dua tribun di belakang gawang yang selalu paling murah lantaran agak jauh dari titik tengah lapangan. Pembahasan soal sepak bolaakan lebih panjang mendalam lantaran selalu melibatkan massa masif dalam jumlah yang sangat besar dengan berbagai peristiwa bersejarah yang sudah agak panjang dalam teks ke-Indonesia-an. Sejarah sepak bola di negeri penggila bola ini tak pelak menambah panjang deretan keprihatinan untuk membahas seberapa banyak korban jatuh di ranah konflik antar pendukung atau suporter tim sepak bola.
Dengan tidak ingin menambah bias obyek material politik keruangan dalam ruang bernama stadion, penelitian ini tidak akan membahas konflik antar pendukung kesebelasan berbeda sebagai inti atomik bahasan. Namun, sejarah masuknya kelompok suporter sepak bola tetap akan memasukkan “pertarungan di luar stadion” untuk memandu peneliti menemukan jawaban atas pertarungan wacana di stadion. Perbedaan harga tiket, yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa secara ekonomis telah memberikan sinyal segmentasi perbedaan kelas penonton, bisa menjadi tuntunan penjelasan lanjutan mengapa konflik suporter yang meskipun memiliki stadion homebase berbeda tetap akan dibahas dalam penelitian yang berfokus pada social space ini. Selama ini, pendukung fanatik timsepak bola, selalu menempatkan kelompok mereka di manapun di stadion selain di atas tribun VIP, yang biasanya selalu tribun dengan atap tertutup, yang memiliki harga tiket yang lebih mahal. Sebelum melangkah lebih jauh, definisi operasional atas penonton langsung sepak bola di stadion akan menjadi pengantar yang sangat representatif. Penonton sepak bola di dalam stadion secara ringkas dapat dikategorikan dalam dua tipe.Pertama, penonton biasa.Kedua, suporter, baik fanatik maupun tidak atau belum fanatik.Richard Giulianotti (2002) relatif lebih presisi dan sosiologis dalam membuat taksonomi suporter (spectators), yakni suporters, followers, fans, dan flaneurs. Setiap kelompok dalam kategorisasi tersebut memiliki karakteristik tersendiri.Fans, flanneurs, dan followers, dari tingkat kesungguhan dalam mendukung, masih jauh di bawah suporter yang memiliki rasa ‘ketergantungan’ lebih terhadap klub yang dicintainya.
Keberagaman suporter klub sepak bola tidak pelak cenderung dikelompokkan dan mengelompokkan diri dalam sayap tertentu di salah satu tribun stadion. Mereka ini sama-sama tampil mencolok dengan lagu (chants), warna dominan, dan beragam atribut dengan logo yang merujuk pada satu tim. Beth Jacobson (2003) menamakan hal ini sebagai “identitas level simbolik” (symbolic level of identity).Sepak bola memang ladang paling subur dan lautan paling bergemuruh yang mampu melahirkan ekspresi identitas simbolik dari suporter fanatik yang terorganisasi dalam komunitas tertentu. Secara konseptual, ide tentang identitas terbelah dalam dua arus teori.Pertama, teori identitas.Kedua, teori identitas sosial. Sebagaimana disitir oleh Jacobson (2003), Hogg et al. mengatakan, kedua konsep itu sama-sama menekankan pada struktur dan fungsi “diri” (self)— yang sebenarnya merupakan konstruksi sosial; sebuah bentukan. Tetapi, keduanya bukan lantas tanpa perbedaan.Teori identitas sosial lebih fokus pada relasi intergrup (intergroup relations) dan proses-proses di dalam kelompok.Sementara itu, teori identitas lebih memperhatikan peran yang dimainkan individu dalam masyarakat dan identitas yang diberikan melalui peran tersebut.Penelitian ini melihat bahwa teori identitas sosial lebih memadai untuk melihat tidak hanya pembentukan (forming) dan pengembangan (developing and maintaining), tapi juga ungkapan (expressing) identitas yang menonjol dari kelompok suporter tertentu. “Identitas” itu sendiri, yang Barker (2000) melihatnya sebagai suatu “kategori sosial”, melekat dalam fanatisme suporter sepak bola.Erik H. Erikson (dalam Pritasari 2010) memandang fanatisme sebagai kecenderungan “identitas ego” terlampau solid sehingga peran seseorang di dalam masyarakat tidak menyisakan sedikit pun ruang toleransi.Kelompok fanatik ini dianggap terpisah dari relasi sosial secara umum dan dianggap bahwa individu di dalamnya hanya menyandang satu identitas dalam masyarakat.
Sepak bolajuga tumbuh di tengah masyarakat suporter dengan penetrasi teknologi yang begitu masif.Masyarakat yang semakin terbuka, dalam arti mengetahui dan bisa meniru ekspresi identitas di berbagai belahan dunia.Dengan begitu, sebagai olahraga modern, sepak bola menunaikan fungsinya sebagai medium penyaluran hasrat sosio-emosional (Siriwat 2012). Suporter sepak bolaakan mengusung dan mempertunjukkan identitas fanatisme masing-masing, yang terbentuk berdasarkan keanggotaan mereka sebagai bagian dari kelompok suporter tertentu. Teori identitas sosial sangat membantu peneliti dalam memperinci komponen identitas tersebut, yakni—meminjam rincian dari Jacobson (2003)—kategorisasi, identifikasi, dan komparasi. Suporter sepak bola dapat menciptakan identifikasi sendiri fanatismenya untuk membedakan diri lebih unggul dibandingkan kelompok suporter yang lain berdasarkan kategori tertentu. Semakin kuat ikatan emosional suporter terhadap klub sepak bola yang didukungnya, semakin tinggi fanatisme suporter itu (Suroso et al. 2010). Pengorganisasian kelompok suporter menjadi titik tolak untuk masuk dalam ranah stadion sebagai obyek formal penelitian ini.Pembagian sektor suporter lazim menuruti pola sentri-petal lapangan sepak bola sebagai pertujukan memusat. Maka setidaknya membatasi masalah pada kelompok pendukung satu klub tertentu akan mengantarkan pemahaman awal bahwa setiap tim sepak bola hanya memiliki satu kelompok suporter fanatik. Di Sleman, ada fenomena unik dan baru, di mana dua sayap belakang gawang tersebut hanya dihuni oleh dua kelompok suporter tuan rumah ketika klub sepak bola Sleman berlaga, Persatuan Sepak bola Sleman (PSS), bertanding di Stadion Maguwoharjo. Di sayap Utara, dikenal dengan istilah “tribun hijau”, merupakan posisi kelompok suporter yang menamakan diri
“Slemania”.Di sayap Selatan, kini jadi “tribun hitam”, merupakan posisi “Brigata Curva Sud” (BCS) yang juga suporter PSS Sleman. Slemania merupakan kelompok pendukung PSS yang lebih dulu terbentuk.Kelahiran Slemania nyaris beriringan dengan merebaknya organisasi suporter klub sepak bola di Indonesia, yakni pada tahun-tahun pertama pasca-Orde Baru. Sebagai contoh generasi awal kelompok suporter fanatik seperti Pasoepati (Pelita Solo, kini mengacu pada Persis Solo) dideklarasikan pada 9 Februari 2000, Slemania pada 22 Desember 2000, Panser Biru (PSIS Semarang) pada 5 Februari 2001, Delta Mania (Deltras Sidoarjo) pada 16 Februari 2001, Asykar Theking (PSPS Pekanbaru) pada 21 Desember 2001, Basoka (Persiku Kudus) pada 1 Maret 2005 (Suyatna et al. 2007). Sementara itu, BCS baru mulai mencuat lamat-lamat sejak musim 2009–2010.Jumlah kelompok suporter BCS semakin menonjol pada musim kompetisi 2011–2012 (Yunastiawan 2012).Keberadaan kedua organisasi suporter ini tampak menonjol, walau sesungguhnya banyak eleman “suporter” dengan bendera masing-masing sampai yang tidak memancangkan bendera.Hanya saja, dalam pertarungan identitas di ruang publik, seperti di perempatan jalan raya dan jalan-jalan kampung teduh di Sleman, kedua kelompok ini sangat dominan.Simbolsimbol “BCSxPSS” lebih mencorong ketimbang rambu-rambu lalu lintas, bahkan terlukis lebih mencolok dibanding plang evakuasi ancaman letusan di kawasan lereng Gunung Merapi.Coretan laskar di sudut-sudut gang juga terpatri lebih mempertandai perkampungan dibandingkan spanduk dan pamflet propaganda keistimewaan DIY. Pertarungan identitas kedua kelompok suporter ini digerakkan oleh pemuda-pemuda yang fanatik kepada PSS.Slemania sempat dipersepsikan sebagai kelompok suporter terbaik dan
kreatif di Indonesia, setidaknya menurut ukuran salah satu stasiun televisi (Handoko 2007).Kini persepsi itu melekat pada BCS, yang mengambil identitas warna hitam dan imajinasi suporter dari mancanegara, yakni suporter ultras dari Italia.Pertarungan identitas ini tidak semata mencerminkan aktualisasi kreativitas, tapi juga fragmentasi sosial di mana individu-individu suporter itu tinggal dan berinteraksi, yang telah membentuk karakter orang dan kelompok orang di dalamnya. Fragmentasi itu termanifestasikan dengan cara kelompok suporter itu mengekspresikan dukungan kepada klub, baik melalui ekspresi tindakan yang dikoordinasikan maupun tampilan yang tercandra secara kasatmata. Penelitian ini membatasi diri dengan mengkaji ekspresi tindakan dan tampilan suporter— suatu kategori identitas simbolik dalam satu ruang tertentu di stadion yang sering disebut tribun atau terraces, dengan mengambil kelompok suporter sebagai unit analisis, terkhusus BCS.Hanya saja, penelitian ini tetap mengandalkan hipotesis pada pembentukan dan ekspresi fanatisme BCS terhadap PSS, yang berkelindan erat dengan dinamika sosial dan politik dalam laju sejarah ihwal pembentukan kelompok suporter PSS sebelumnya (Slemania)sekaligus glokalisasi identitas suporter sepak bola dalam roda globalisasi kontemporer. Terhadap mereka, inti masalah yang akan dieksplorasi lewat penelitian ini adalah “bagaimana ekspresi identitas fanatisme BCS terhadap PSS Sleman dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi dan membentuknya?” Peneliti membingkai pemaparan tentang identitas fanatisme tersebut dengan pengaruh kuat dari pandangan bahwa sepak bola Indonesia merupakan identitas itu sendiri.Dia masuk ke Indonesia, kemudian mengalami dinamika tertentu yang mengalun secara politik (Simaepa 15, 19, 26 Maret 2012) hingga menyasar pada pembentukan dan ekspresi fanatisme suporter.
Kehadiran media massa olahraga, di mana sepak bola mendapatkan porsi paling besar, dengan mudah diperoleh di berbagai kota di Indonesia, baik kota kecil dan terlebih lagi kota besar. Ada yang berbentuk buletin, juga majalah. Meski kebanyakan menyajikan berita tentang prediksi dan ulasan pertandingan sepak bola, yang tentu animo terbesar adalah terhadap pertandingan dari kompetisi sepak bola Eropa, terutama Inggris, Italia, dan belakangan juga Spanyol; justru dari media massa seperti itulah, imajinasi tentang sepak bola dalam diri penggila bola berkembang lebih lentur dan liar, terutama dalam pengembangan fanatisme suporter. Suporter kemudian memperkaya informasi mereka tentang klub yang didukung secara fanatik oleh komunitas suporter dari negara di kawasan Eropa sampai Amerika Latin—dengan pemicu aktif berupa berkembangnya internet di Indonesia.Giulianotti dan Robertson (2006) menyebutkan, internet memegang peran krusial atas globalisasi sepak bola dan pembentukan identitas kolektif suporter. Sementara itu, globalisasi sendiri secara kultural ditandai dengan adanya proses yang dinamakan “glokalisasi”. Melalui glokalisasi itulah, budaya lokal dapat beradaptasi dan mendefinisikan ulang produk “budaya global” supaya sejalan dengan kebutuhan, nilai, dan budaya lokal (Giulianotti dan Robertson 2004).Dalam sepak bola, kecenderungan ini menjadi bisa diterima jika dilihat dari kelompok suporter sepak bola yang memberi kekhasan pada setiap klub yang didukungnya. Dari situlah terciptakan apa yang disebut sebagai “ideology of home”. Itulah mengapa, sekalipun banyak sekali diaspora imajinasi tentang suporter fanatik dalam sepak bola, dia tetap punya identitas khusus sehingga berbeda dengan kelompok lain di berbagai belahan bumi, yang mirip dengan mereka. Alih-alih meneruskan bagaimana pemahaman sosiologis kita tentang
globalisasi dapat dilacak dari sepak bola, sebagaimana ditunjukkan oleh Franklin Foer (2006) dan kajian sosiologis Giulianotti dan Robertson (2004; 2006). Chants 90 menit yang rampak dan terus menerus dinyanyikan di Stadion Maguwoharjo menjadikan BCS sebagai salah satu kelompok suporter, yang praktis sejak 2011 menjadi setara dengan Aremania, Jakmania atau Viking, sebagai yang paling berisik. Koreografi BCS berupa mozaik dari ribuan kertas yang dipegang tiap “penduduk tribun Selatan” yang membentuk pola tertentu, sampai saat ini menjadi salah satu yang terbaik di Indonesia, bahkan mungkin Asia. Hal tersebut salah satunya dapat dilihat di website Ultras-Tifo, situs pendokumentasi aksi terbaik pendukung sepak bola di seluruh penjuru dunia, yang menjadikan BCS sejajar dengan kelompok suporter “gila” kelas dunia seperti “Ultraslan” pendukung klub Galatasaray, “Curva Sud Milano”pendukung klub AC Milan, atau bahkan “The Unity” milik klub BVB Borussia Dortmund. Belakangan koreo tersebut juga mulai mencandu sebagai pertunjukan positif tersendiri di stadion, dan mulai menjamur di beberapa kelompok suporter lain di Indonesia.
Gambar hasil polling yang menempatkan BCS sebagai salah satu suporter dunia
Betapapun demikian, tidak mengingkari bahwa proses glokalisasi turut menjadi bingkai identitas fanatisme suporter sepak bola. Identitas di level komunitas eksklusif itu disangga oleh trinomial “individu-kota-klub”, seperti ditunjukkan dalam penelitian Molina (2007) di Spanyol. Klub sepak bola, termasuk PSS, merupakan representasi dari sebuah kota. Individu memiliki cara dan otonomi berekspresi dalam mengungkapkan fanatismenya. Karena itulah, merekadekat secara emosional dengan klub sepak bola di daerahnya.Molina melihat ini sebagai hasil keterpengaruhan dari citra sebuah klub.Citra itu, masih menurut Molina, menyimpan sisi simbolik yang sentimentil.Misalnya, warna dominan sebuah klub.Jika Slemania mengusung warna hijau sebagaimana warna klub daerahnya, BCS memberi unsur dominan hitam dengan hijau sebagai perpaduannya.
Di Indonesia, suporter merupakan makhluk yang sangat kultural. Mereka memang terbentuk karena sepak bola, tapi cara mereka dalam mendukung sebuah klub nyaris “otonom”. Arus globalisasi bisa memutar balik “hasrat moralis” itu lebih cepat; menyerang lebih cepat identitas setiap individu yang hanya sembilan puluh menit berada di dalam kuil selebrasi. BCS lahir sebagai “rival” bagaimana cara mendukung PSS Sleman begitu cepat berevolusi meninggalkan otoritas yang tidak disadari telah menanam bom waktu “pendisiplinan” suporter. Rivalitas antara BCS dan Slemania sekarang ini bukan sesuatu yang baru.Rivalitas itu terbentuk jauh semenjak kelompok ultras—bagian dari kelompok ultrasuporter PSS—masih berada di bawah payung pengorganisasian Slemania. Slemania dianggap gagal mengakomodasi heterogenitas kepentingan yang berkembang di level massa suporter. Rentetan konflik kemudian merembet ke komunitas lain yang merespons dengan cara beralih ke tribun Selatan di hari pertandingan. Komunitas-komunitas di tribun Selatan inilah embrio BCS, yang diawali oleh Ultras Slemania.Awalnya, ultras (Slemania) hanya beranggotakan 20–30 suporter.Hampir semuanya anak muda. Perseteruan internal jualah yang menyulut BCS—semula hendak dipakai sebagai nama dari kelompok ultras Slemania—untuk mendirikan barisan tersendiri di tribun Selatan Stadion Maguwoharjo pada 2009. Istilah “brigata” dalam “Brigata Curva Sud” pun diambil dari film L’ultimo ultras (2009) yang berkisah tentang kehidupan ultras Italia. Film itulah yang memberi energi selanjutnya bagi militansi ultrasuporter PSS. BCS selanjutnya resmi terbentuk pada 5 Februari 2012 ( akun twitter @BCSxPSS_1976 18 Desember 2012). Hampir sama dengan karakter ultrasuporter Italia (Dal Lago dan De Biasi 2005), BCS merupakan ultrasuporter yang terlahir sebagai subkultur anak muda “yang memang keluar dari
pakem-pakem sosial” (Tonggos Darurat 4 Desember 2010). Dua peneliti ultrasuporter Italia, Dal Lago dan De Biasi (2005) memaparkan, ultras itu memanggul “tugas kultural” di dalam stadion untuk tampil dengan pertunjukan spektakuler dalam kaitan dengan dukungan kolektif terhadap sebuah klub, koreografi yang mengagumkan, bendera dan spanduk raksasa, percik kembang api atau sulutan bom asap, rol kertas yang serentak dilempar ke lapangan, ribuan kertas persegi, dan lagu-lagu dan ulangan lagu yang kerap melibatkan seluruh suporter yang ada di stadion. Begitu pula dengan penampilan BCS.Mereka membangun suatu “kesepakatan bersama untuk berdiri dan bernyanyi sepanjang dua kali empat puluh lima menit”; berdiri sebagai “penghormatan pada para pemain yang berlari di lapangan untuk sebuah kemenangan” (Tonggos Darurat 17 Oktober 2010).Bagi seorang militan BCS, mendukung PSS adalah “perkara nyanyian keras dan lantang tentang kecintaan pada klub”, “kurang peduli pada perkara perkelahian antarkelompok” (Tonggos Darurat 22 Oktober 2010). Sebelum lebih jauh mengurai ekspresi fanatisme BCS, peneliti bertugas untuk memancang lebih dini bahwa kemiripan karakter ultrasuporter BCS dengan ultras di Italia tidak lantas mengatakan bahwa BCS merupakan produk ultras Indonesia. Ultras saja tetap tidak bisa sama dengan hooligan Inggris—dan ultrasuporter Indonesia tidak sama pula dengan ultras Italia. Ini disebabkan ada proses penciptaan “dunia glokal” yang terjadi secara sosiologis pada pembentukan identitas fanatisme BCS. Pembuktian itu berdiri di atas persepsi bahwa identitas fanatisme BCS itu mula-mula terbentuk dari kelindan yang kompleks antara hasrat untuk “membina” suporter melalui Slemania dan perbedaan cara dalam memperagakan dukungan terhadap PSS. Faktor-faktor inilah yang kemudian berwujud dalam beragam ekspresi simbolik
BCS sebagai bagian lebih luas dari apa yang disebut oleh Bromberger (dalam Dal Lago dan De Biasi 2005) sebagai “fenomena sosial yang sempurna”. BCS sendiri memiliki situs internet yang beralamat di www.csmagz.com.Situs internet ini digunakan untuk merekam aksi-aksi BCS, baik kandang maupun tandang, mencatat berita-berita yang terkait BCS, dan memuat ide-ide (anggota) BCS mengenai suporter sepak bola.Di dalamnya terdapat banyak tulisan tentang sejarah ultras di Italia. Dengan menulis ultras Italia di situs tersebut, bisa dipahami sebagai cara BCS mengidentifikasi dirinya sendiri. Misalnya, cara pandang dalam melihat kekerasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam sepak bola. Cara pandang khas yang melekat dalam jatidiri ultrasuporter dan dalam kadar tertentu nyaris senada dengan hooligans di Inggris dan barrasbravas di Argentina. Menurut mereka, kekerasan dalam sepak bola terjadi begitu saja, bukan kekerasan yang disengaja untuk terjadi.Kekerasan dalam sepak bola adalah risiko yang tidak dicari, tapi harus dihadapi (BCS 22 Oktober 2010). Meski jumlah ultrasuporter BCS sudah mencapai angka ribuan, BCS menolak menjadi organisasi dengan struktur dan aturan-aturan yang ketat.Berbeda dengan Slemania yang merupakan organisasi dengan karakter “sentralistik”, BCS justru sebaliknya.Model pengelolaan komunitas bersifat “anarkis”.Tidak ada pengurus harian yang mengatur organisasi.Individu ultrasuporter hanya diikat oleh kode etik yang disepakati bersama.Jatidiri BCS dirumuskan dalam slogan “No Leader Just Together”.BCS memiliki banyak komunitas yang rata-rata beranggotakan 20–200 orang.Sampai saat ini setidaknya ada 99 komunitas yang tergabung di BCS. Dalam membahas kebijakan terkait BCS, koordinasi akan dilakukan oleh koordinatorkoordinator komunitas. Para koordinator inilah yang akan menyampaikan kepada anggotanya. Forum komunikasi dilakukan sesuai tenggat waktu yang disepakati. Selengkapnya, baca “BCS:
No Leader Just Together” (BCS 16 Mei 2012) dan “Daftar Komunitas yang Bergabung di BCS” (Brigata Curva Sud 1976 28 Februari 2012). Perkembangan dua komunitas pendukung pada klub yang sama tersebut, sejauh ini tidak serta merta memberikan perubahan fisik yang tanpa makna. Perpindahan sekelompok ultras suporter ke sisi kurva Selatan di Stadion Maguwoharjo Sleman, banyak mempengaruhi dinamika penguasaan keruangan di beberapa stadion di Indonesia. Sejak BCS memiliki ribuan pendukung fanatik dan mulai tenar di media sosial antar suporter, beberapa stadion di Indonesia juga mengalami migrasi suporter utama ke arah kurva tertentu, baik Utara maupun Selatan, sesuai ide yang di bawa kelompok ultras di Italia. Belakangan, di DIY-Jateng saja mulai muncul beberapa kelompok suporter seperti, CNF di tribun Utara Stadion Sultan Agung Bantul, The Maident dan Jogja Casual di tribun Selatan Stadion Mandala Krida Yogyakarta, juga Ultras PSIS di Tribun Selatan Stadion Jatidiri Semarang, hingga Ultras PSCS di tribun Selatan Stadion Wijaya Kusuma Cilacap. Penelitian ini akan memberi kontribusi konseptual dan memperkaya basis data tentang dinamika pola penguasaan keruangan pasca masuknya ide ultras suporter ke Indonesia. Pertautan aspek ruang dan nilai-nilai ideologis yang terjadi pada stadion di Indonesia meniscayakan penggunaan pendekatan sosiologis.Penempatan tribun kurva belakang gawang yang merupakan salah satu nilai yang dibawa oleh kelompok ultras juga turut memperkuat konsep pendekatan keruangan yang ditajuk oleh Henri Lefebvre.Dengan demikian, sepak bola adalah ‘korban’ dari unjuk kekuatan.Dan kelompok ultras pada kurva tertentu memegang yuridiksi penuh atas siapapun pada tribun belakang gawang tersebut.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana proses politik keruangan dalam penguatanmassa solid BCS di Stadion Maguwoharjo Sleman? 2. Bagaimana identitas ultras-suportera la Italy masuk dan mempengaruhi pola keruangan di stadion lain di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian 1. Menjelaskan “BCS Rules” danpola politik keruangan BCS di tribun Selatan Stadion Maguwoharjo. 2. Menjelaskan proses glokalisasi identitas ultras ke stadion di Indonesia.
D. Kajian Pustaka Kekayaan referensi tentang suporter klub sepak bola di Indonesia sudah berkembang menjadi diskursus akademik dalam bentuk skripsi di perguruan tinggi diantaranya sebagai berikut: •
Bagus, Aditya P. (2014) “Perkembangan Sepak bola Indonesia Ditinjau dari Behaviorisme dalam Etika Burus Frederich Skinner”, Skripsi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Tidak diterbitkan.
•
Haris, Wibawa Irawan. (2014) “Konflik Suporter Sepak bola: Penelitian Tentang Suporter Slemania versus Brajamusti di Yogyakarta”, Skripsi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Tidak Diterbitkan.
•
Istanto, F. (2005) “Perempuan Suporter Sepak bola: Studi tentang Motivasi dan Kesadaran Gender pada Suporter Perempuan Slemania”, Skripsi di Universitas Gadjah Mada, Tidak diterbitkan.
•
Triyono (2009) “Dinamika Sepak bola Indonesia: Studi tentang Strategi Klub PSS Sleman sebagai Media Iklan di Era Industri Sepak bola Indonesia”, Skripsi di Universitas Gadjah Mada, Tidak diterbitkan.
•
Wahyudiono, N. (2004) “Fanatisme dan Pola Perilaku Pendukung Sepak bola: Studi Kasus Komunitas Suporter Slemania di Sleman, Yogyakarta”, Skripsi di Universitas Gadjah Mada, Tidak diterbitkan.
•
Wibowo, A. (2005) “Dinamika Kelompok Suporter: Kerjasama, Kompetisi, dan Konflik Antara Kelompok Suporter Brajamusti dan Slemania”, Skripsi di Universitas Gadjah Mada, Tidak diterbitkan.
Kebanyakan studi tentang sepakbola yang ada tersebut memang lebih memilih sudut pandang konflik. Memang tak bisa dipungkiri, di Indonesia, selama ini yang terus mengakar dan beriringan dengan massa dengan jumlah yang sangat besar yakni potensi laten terjadinya gesekan antar kelompok yang kemudian berujung pada konflik. Penelitian ini tidak mengabaikan begitu saja konflik namun akan menempatkan hal tersebut sebagai salah satu bagian atas sejarah berdirinya Brigata Curva Sud itu sendiri. Selain itu, mengupas dinamika suporter PSS Sleman, peneliti bersandar pada dua buku.Pertama, buku Anung Handoko (2007) berjudul Sepak Bola Tanpa Batas.Kedua, buku borongan Hempri Suyatna, Saryono, Sulistyo Budi, R. Supriyoko, Daru Supriyono, dan Y. Gustan Ganda (2007) berjudul Suporter Sepak bola Indonesia Tanpa Anarkis: Mungkinkah?. Buku pertama memberi porsi khusus pada Slemania, tapi dengan nada apologia yang kental di berbagai titik.Buku kedua merupakan kajian “resmi” Slemania yang diterbitkan Departemen
Litbang Slemania.Buku ini dikemas sebagai penelitian akademik dengan tujuan memberi masukan bagi sejarah awal berdirinya suporter fanatik pada pendukung PSS Sleman. Sementara, referensi tentang politik keruangan dan dinamika yang terjadi di seputar pertaruhan wacana tersebut relatif lebih terbatas. Satu yang penulis temukan adalah tesis berikut: •
Ekawati, Anestya. (2013) “Konstruksi Sosial Tata Ruang Pesantren: Studi Di Ponpes Al Muayyad, Surakarta”, Tesis di Universitas Gadjah Mada, Tidak Diterbitkan.
Dalam kerangka teoritik yang akan dibahas pada sub-bab berikutnya, peneliti mengajukan dua gagasan referensi utama terkait bagaimana sebuah kelompok yang akan peneliti asumsikan dahulu sebagai sebuah subkultur yang menguasai politik keruangan di stadion. Pertama, Henri Lefebvre dalam The Production of Space.Kajian tersebut mengajukan beberapa parameter terkait bagaimana pola penciptaan ruang yang secara spesifik mengacu pada pola kreatifitas BCS di tribun Selatan Stadion Maguwoharjo Sleman.Kedua, David Morley lewat Home Territories: Media, Mobility, and Identity. Pendekatan Morley memberi gambaran bagaimana sebuah komunitas memberi pengetahuan dan mereproduksi gagasan untuk memperkuat identitas komunitas tersebut.
E. Kerangka Teori Tata ruang bukan sekedar fungsi, melainkan sebuah hasil dari konstruksi sosial dalam waktu tertentu.Definisi operasional dari tata ruang adalah wujud struktur dan pengelolaan ruang baik secara terencana maupun tidak terencana. Bagaimana proses ruang itu dimaknai dan diinternalisasikan dalam kehidupan sosial dalam ruang tertentu. Henri Lefebvre dengan pemikirannya, menggunakan referensi ruang untuk membaca sebuah realitas sosial nampaknya memiliki relevansi dalam menganalisis tata ruang tribun penonton sepak bola, khususnya di Stadion Internasional Maguwharjo milik PSS Sleman.Dalam analisis kritis, pemikiran Lefebvre memiliki komitmen yang cukup kuat, tidak hanya sebatas pemahaman sosiologis, namun mencoba menjembatani antara kajian sosiologi, budaya, dan sejarah. Sehingga melalui ruang pulalah nantinya akan diketahui makna politis yang lebih terbuka. Tata ruang di stadion menjadi salah satu ranah substantif dalam menafsirkan beragam makna, sehingga di sini akan Nampak bagaimana makna makna itu akan muncul dari perbedaan ruang dilihat dari aspek sejarahnya.
Perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang merumuskan pola tata ruang, mulai dari ranah privat sampai ranah publik seperti fasilitas umum terus bertransformasi mengikuti perkembangan dan kebutuhannya.Lefebvre menjelaskan bagimana transisi dari ketidakteraturan menjadi standar pijakan awal bagi produksi menuju keteraturan dalam sebuah kelompok. (Social) space is not a thing among other thing, nor a product among other product:
rather,
it
subsumes
thing
produced,
and
compasses
their
interrelationship in their coexistence and simultaneity – their (relative) order and/or (relative) disorder. (1991:73) Ruang yang berhubungan dengan perilaku manusia membawa konsekuensi terhadap fungsi-nilai, di mana “space” memiliki peran yang cukup besar dalam kehidupan manusia termasuk perebutan wacana.Keberhasilan salah satu kelompok ultras suporter dalam memberi pengaruh signifikan dalam peran dan status di sisi Selatan Stadion Maguwoharjo juga sejalan dengan pandangan Lefebvre terkait representasi utama penguasaan politik keruangan. A social space cannot be adequately accounted for either by nature (climate, site) or by its previous history. Nor does the growth of the forces of production give rise in any direct casual fashion to a particular space or particular time. Mediations, and mediators, have to be taken into consideration: the action of groups, factors within knowledge, within ideology, or within the domain of representations. (1991:77) Lefebvre dalam The Production of Space menjelaskan bagaimana ruang sebagai objek spasial merupakan produk sosial yang dikostruksi melalui pengetahuan untuk menciptakan sebuah kontrol sosial melalui kosep triad.Relasi sosial dalam jangka waktu yang panjang menghasilkan akumulasi pengetahuan. Proses inilah yang kemudian disebut sebagai “space production”.
The space thus produced also serves as a tool of thought and of action; that in addition to being a means of production it is also a means of control, and hence of domination, of power, yet that, as such, it escapes on part from those who would make use of it. The social and political (state) forces which engendered this space now seek, but fail, to master it completely; the very agency that has forced spatial reality toward a sort of uncontrollable autonomy now strives to run it into the ground, then shackle an enslave it. (1991:26) Ide dasar dari teori sosiologi pengetahuan atau konstruksi sosial adalah sebuah kerja kognitif individu yang menafsirkan realitas di sekelilingnya yang diperoleh dari proses hubungan antara individu dan lingkungannya. Dari proses hubungan tersebut kemudian terbangun sebuah pengetahuan sendiri berdasar realitas yang ditemuinya, dengan struktur dan sistem yang telah ada. Paradigma tersebut dalam proses konstruksi sosial terjadi melalui tindakan subjektif yang dilakukan individu secara menerus sehingga menciptakan realitas sosial. Factor-faktor yang terlibat dalam pembentukan tata politik keruangan di stadion yakni peran aturan-aturan yang telah disepakati kelompok tertentu, dalam hal ini “BCS rules”, dan dampak yang diperoleh dari perubahan sosial dari suporter tradisional yang bertransisi menjadi suporter berhaluan ultra atau ultras-suporter. Ruang, lanjut Lefebvre, terbentuk dari dialektika antara ruang dan waktu untuk membaca sebuah realitas.Dalam hal ini, sejarah konflik antara Slemania dan kelompok ultras menjembatani perebutan tata ruang dan perebutan wacana dalam konteks lini waktu kebudayaan. Lefebvre dalam “The Production of Space”, lebih banyak memperbincangkan mengenai bagaimana peradaban barat menciptakan sebuah dinamika ruang melalui konstruksi dan strutur pengetahuan. Dalam analisanya, produksi ruang itu bermula dari hubungan relasi sosial
masyarakat yang terakumulasi menjadi sebuah pengetahuan yang ada akhirnya berujung pada pembentukan space. Konsep dasar dari terbentuknya ruang yakni ketika individu dapat mengkategorisasikan
ruang berdasarkan
fungsinya,
seperti
ruang publik
dan ruang
privat.Terlebih lagi, ketika ruang tersebut masuk dalam ranah sosial, maka ruang telah tereksternalisasikan dalam sebuah pewacanaan di mana manusia mulai membangun pengetahuannya. Tribun Selatan Maguwoharjo, beserta identitas BCS yang sudah melekat sangat erat, memberikan status yang begitu erat pula. Aneka kreatifitas a la suporter Italia menjadi penanda yang sangat kuat. Lahirnya ruang kreatifitas tersebut juga berangkat dari konsepsi manusia mengenai politik spasial yang kemudian membentuk sebuah pengetahuan tentang space.Selanjutnya, bagi Lefebvre, pengetahuan merupakan jalan bagi manusia untuk mengerti spesifikasi khusus ruang sosialnya. Dengan demikian, ide dasar dari pemikiran Lefebvre mengenai produksi ruang yakni mendasarkan pada pemaknaan dalam proses produksi ruang.Karena pemaknaan tersebut akan menjadi dasar dari pengetahuan dalam praktik kreatifitas BCS di stadion. Berangkat dari pemahaman tersebut, Lefebvre kemudian merumuskan perdebatan mengenai produksi ruang berdasarkan dialektika antara ruang dan waktu yang ia sebut sebagai historisitas. Historisitas sebagai proses keseluruhan dalam produksi ruang melalui relasi sosial dan diimplementasikan dalam sebuah praktik, dalam hal ini, cara mendukung dari kelompok BCS di stadion Maguwoharjo Sleman.BCS memiliki peraturan kesepahaman bersama yang kemudian lazim mereka sebut sebagai “BCS Rules”.
Social space interpenetrate one another and/or superimpose themselves upon one another. They are not things, which have mutually limiting boundaries and which collide because of their contours or as a result of inertia. Relevansi teori tersebut dengan fenomena konstruksi ruang di stadion adalah, beberapa sisi tribun ada lebih dulu ketimbang komunitas-komunitas pendukung yang pada akhirnya mengelompokkan diri pada masing-masing bagian dari stadion.Tata ruang sebagai realitas tidak berangkat dari ruang kosong melainkan hasil dari konstruksi sosial.Tata ruang terlepas dari bentuk materi memiliki makna serta nilai yang diwacanakan oleh setiap komunitas di stadion. Realitas tata ruang di stadion tidak semata-mata merupakan sebuah realitas obyektif, tetapi dimaknai sebagai realitas ganda di mana makna-makna ruang tersebut mengalami pergeseran akibat dari modernisasi dan glokalisasi atas berbagai informasi yang masuk tentang cara untuk mendukung kesebelasan tertentu seperti sekarang ini. Cara mendukung gaya ultras, seperti misalnya menyalakan flare dan koreografi kreatif yang sudah barang tentu menghabiskan banyak energi untuk kelompok suporter, bisa menjadi titik tolak utama untuk mengasumsikan BCS sebagai subkultur baru. Studi David Morley pada masyarakat miskin suburban memberi gambaran bagaimana sebuah komunitas, memiliki caranya masing-masing untuk mempertahankan solidaritas yang mereka miliki sebagai tameng hidup kelompok. Seperti yang diungkapkan Morley dalam Home Territories: Media, Mobility, and Identity. If home is an embryonic or virtual community and not just a collection of individuals who happen to share the same household, it is above all dependent on a principle of sufficient solidarity to protect the common good. The maintenance of this principle requires highly complex forms of co-ordination and monitoring of household activities. (2000:18)
Menggunakan contoh konflik masyarakat sub-urban pada awal abad 19, di mana struktur sosial masyarakat masih tersegregasi penuh antara warga kaya dengan kaum miskin kota, David Moerley menjelaskan panjang lebar mengenai ketidaknyamanan yang mendorong sebuah komunitas untuk melakukan separasi dan menciptakan sub-struktur baru untuk menjaga level kenyamanan sesuai dengan standar yang dimiliki komunitas tersebut. Work, recreation and the care of sick people all overlapped and co-existed within the same space. Thus reforms were designed precisely to enforce a clearer separation between the private and the public, home and work, and between feminine and masculine spheres (often designated to different parts, or rooms, of the house). (2000:22) Dan, lanjut Morley, pada masyarakat pinggiran kota, proses penyesuaian tersebut sampai berujung pada pergeseran lanskap kota tersebut. At macro level, reforms functioned to delineate public space, by separating it off into increasingly distinct and separate specialised settings for particular types of activity (the space of the hospital or the cemetery, for example) and the city was fundamentally reorganised around “separate unities of work, residence and distraction”. The rise of suburbanism further fractured the urban landscape. (2000:22) Hal tersebut sejalan dengan apa yang terjadi di stadion Maguwoharjo. Ketidaknyamanan yang bersumber pada hasrat kekuasaan absolut a la suporter tradisional, berujung pada migrasi suporter ultras ke kurva Selatan, salah satunya juga merupakan imbas dari tindakan represif Slemania. Sejak pindah ke kurva Selatan, kelompok ultras melalui Brigata Curva Sud menjadi lebih bebas dengan kreatifitas dalam mendukung tim PSS Sleman yang sudah tidak dibatasi lagi.
Sejak formasi permulaan dan fondasi awal sebuah penguasaan ruang terbentuk di sisi Selatan stadion, maintenance atau “pemeliharaan” adalah lokus atau semangat yang kemudian akan dijaga terus oleh sebuah kelompok tertentu. Beberapa faktor identitas, lanjut Morley, kemudian juga akan selalu dijaga oleh sebagian besar anggota kelompok. The symbolic dimensions of home and territorial belonging have always been a central preoccupation of anthropological analyses of “primitive” societies. These forms of continuity, they argue, are often assured “through holding onto fixed and movable property and through the transmission of the names, titles and prerogatives which are integral to its existence and identity”. “portable collections of artefacts appear to be more important in constructs of identity than attachment to house form as such, or indeed, to locality. (2000:24)
F. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian
Dalam
penelitian
ini,
penulis
menggunakan
metode
penelitian
kualitatif-
deskriptif.Nawawi (2005) mengatakan bahwa usaha mendeskripsikan fakta pada tahap awal tertuju pada usaha memunculkan gejala secara lengkap di dalam aspek yang diselidiki agar jelas keadaan dan kondisinya.Penemuan gejala-gejala itu berarti juga tidak sekedar menunjukkan distribusinya, tetapi juga termasuk usaha mengemukakan inter-relasi dalam aspek-aspek yang diselidiki itu. Hakekat penelitian deskriptif merupakan prosedur pemecahan masalah yang diteliti dengan jalan menggambarkan dan menuliskan peristiwa yang ada sekarang berdasarkan faktafakta yang ada sekarang. (Nawawi, 2005) Menurut Faried Ali, penelitian deskriptif bertujuan untuk melukiskan secara tepat sifat-sifat individu, suatu keadaan, suatu gejala, dan sebagainya menurut objek penelitian. (Ali, 1997) Peneliti mengambil penelitian deskriptif dikarenakan ingin memaparkan gejala-gejala yang terjadi di lapangan, menggambarkan objek yang diteliti, menganalisis persoalan yang terjadi di lapangan, serta ingin berupaya memecahkan persoalan yang terjadi di lapangan secara lengkap. Dengan pendekatan deskriptif maka data-data maupun informasi yang disajikan akan lebih detail dan runtut sehingga mampu memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi masyarakatluas. Selain itu analisis terhadap masalah yang diteliti akan lebih mudah dan lebih sitematis sebab data dipaparkan secara jelas dan lugas. Selanjutnya, terdapat beberapa varian penelitian deskriptif, dan pada kesempatan kali ini, penulis menggunakan model case study (studi kasus).Studi kasus merupakan penelitian tentang status subjek penelitian berkenaan dengan suatu kondisi yang memiliki karakteristik yang khas.Alasannya, penelitian ini secara intensif mempelajari latar belakang dari masalah yang
diteliti secara mendalam serta interaksi secara menyeluruh dari unit-unit sosial yang menjadi subjek penelitian. Tujuannya adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, karakter-karakter yang khas, sifat-sifat yang khas dari suatu kasus atau peristiwa yang terjadi maupun status dari individu yang kemudian dari sifat-sifat khas itu akan dijadikan suatu hal bersifat umum. Pilihan jatuh pada varian studi kasus lantaran, polarisasi kelompok suporter yang membawa identitas ultra sendiri ada di beberapa daerah.Setiap daerah tentu memiliki ciri khas masing-masing. Maka setiap lokasi seting dimana politik keruangan semacam itu ada, pasti juga memiliki sejarah dan permasalahan yang jika dibedah secara sosiologis akanterurai dinamika dan penjelasan berbeda pula. Setiap kasus tidak datang secara tiba-tiba dan datang begitu saja. Dalam RPKPS Pengantar Metode Penelitian Sosial, Sunyoto Usman menjelaskan bahwa, setiap kasus memiliki akar yang dapat diidentifikasi dan memerlukan proses yang melibatkan banyak anggota masyarakat dalam bentuk respond and stimulan. Peneliti membedakan landscape knowledge penelitian ini ke dalam dua hal besar yakni konteks dan fokus. Konteks penelitian adalah politik identitas brigade suporter dengan ide ultras Italia. Sedangkan fokus penelitian adalam melihat bagaimana proses terjadinya perebutan wacana keruangan dalam stadion, khususnya tribun di Stadion Maguwoharjo Sleman.
2. Jenis Data Dalam penelitian ini, penulis berusaha menelisik dinamika yang terjadi seputar bagaimana BCS mengorgansir diri di tribun Selatan stadion. Dengan demikian, jenis data yang diperlukan di antaranya : •
Proses sejarah atau asal-usul munculnya kelompok pendukung Brigata Curva Sud.
•
Makna identitas ultras bagi suporter sepak bola
•
Dinamika pengelolaan tribun Selatan dan politik wacana keruangan di Stadion Maguwoharjo Sleman Semua data dari beberapa jenis di atas dikumpulkan dari wawancara lisan dan
pengumpulan data sekunder.Foto dan grafik figur yang dibuat penulis, dimasukkan dalam tubuh tulisan dan digunakan untuk memperkuat argumen hasil dalam laporan penelitian. 3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini pada hakekatnya merupakan salah satu rangkaian kegiatan ilmiah baik untuk mengumpulkan data, menarik kesimpulan atas gejala tertentu dalam gejala empirik berdasarkan data yang dikumpulkan secara terbatas.Peneliti sendiri merupakan instrumen penelitian yang paling penting dalam pengumpulan data dan penginterpretasian data yang diperlukan. Sedangkan proses pemgumpulan data merupakan tahap gathering data yang relevan untuk membantu peneliti memecagkan persoalan dasar dan sasarannya adalah menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang telah diajukan. Selanjutnya, data dalam penelitian ini diperoleh dari dua sumber, yakni data primer dan data sekunder.Data primer diperoleh langsung dari objek penelitian yakni suporter yang sejak awal sudah mendukung PSS Sleman sebelum hingga sesudah BCS berdiri. Adapun data primer diperoleh melalui : Observasi atau pengamatan Pengamatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan terlibat langsung sebagai bagian dari pendukung tim PSS Sleman. Peneliti mengamati secara detail fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan. Media sosial seperti facebok, twitter dan kanal video youtube juga akan menjadi sumber tambahan. Wawancara Wawancara dilakukan guna memperoleh informasi yang jelas dan mendalam, terutama kepada narasumber-narasumber inti yang mempunyai data-data yang valid dan relevan terkait dengan sejarah berdirinya BCS di Sleman.Narasumber yang telah diwawancarai penulis antara
lain. Pendiri BCS, sekaligus anggota awal sejak mereka masih bergabung di Slemania dengan kelompok suporter Ultras PSS Sleman 1976.
G. Hasil yang Dicapai 1. Memperoleh pemahaman secara lengkap mengenai politik ruang dalam membentuk dan menciptakan massa solid di Stadion Maguwoharjo Sleman. 2. Memahami secara menyeluruh peran BCS Rules sebagai tameng hidup kelompok Brigata Curva Sud daam melakukan kontrol sosial di tribun Selatan Stadion Maguwoharjo Sleman. 3. Mendapatkan
gambaran
spesifik
bagaimana
masukknya
ideologi
ultras
juga
mempengaruhi politik keruangan di stadion lain di Indonesia. 4. Mendapatkan pemahaman yang kritis tentang konsep Space Production Henri Lefebvre. 5. Memperoleh pemahaman dinamis atas konsep Home Territories David Morley.
H. Sistematika Penulisan Penelitian ini dilaporkan dan ditulis ke dalam lima bab, dengan perincian sebagai berikut: Bab pertama berisi tentang latar belakang dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah yang ingin dijawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan terhadap penelitian sebelumnya, landasan teori, dan metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini. Bab kedua berisi tentang uraian terkait sejarah berdirinya Brigata Curva Sud, latar belakang perpisahan dengan Slemania, dan dinamiaakanya secara terperinci hingga menjadi BCS yang sekarang. Bab ketiga berisi tentang paparan analisis lapangan lewat dua teoritisasi dari dua sosiolog yakni yakni Henry Lefebvre dan David Morley. Dijelaskan dalam bab ini bagaimana BCS Rules mengikat seluruh anggotanya dan berhasil mentransformasikan diri sebagai suporter dengan identitas kuat dengan massa solid yang cukup besar. Bab keempat merupakan analisi dan uraian dalam penelitian serta refleksi kritis pola penguasaan keruangan di Stadion Maguwharjo Sleman, beserta pengaruhnya terhadap beberapa stadion lain di Indonesia Bab kelima berisikan kesimpulan yang menjadi ringkasan dari bab-bab sebelumnya, dan saran terhadap penelitian berikutnya.