BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan bagian dari kebudayaan. Kelahiran karya sastra di tengah-tengah masyarakat tidak luput dari pengaruh sosial dan budaya. Pengaruh tersebut bersifat timbal balik. Artinya, karya sastra dapat memengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakat. Karya sastra adalah gambaran kehidupan sehingga menurut Plato (429–347 SM), karya sastra merupakan mimetik atau tiruan, orientasi alam semesta. Pengarang adalah anggota masyarakat dan lingkungannya. Dengan demikian, terciptanya sebuah karya sastra oleh seorang pengarang secara langsung atau tidak langsung merupakan kebebasan sikap budaya pengarang terhadap realitas yang dialaminya. Perubahan zaman pun menyebabkan kesusastraan turut berkembang. Keadaan ini membuat penilaian masyarakat terhadap kesusastraan lama dan modern berbeda. Pada saat ini, sastra modern lebih popular di kalangan masyarakat. Salah satu sastra modern yang popular tersebut adalah novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Laskar Pelangi menceritakan persahabatan sebelas anak kecil yang menuntut ilmu pendidikan di sekolah Muhammadiyah. Sekolah ini memiliki fasilitas yang terbatas. Penulisnya memadukan antara persahabatan dan kegigihan sebelas bocah tersebut dalam mengejar impian. Dengan beragam karakter yang dimiliki setiap anak dalam mengejar impiannya, Laskar Pelangi mampu menyedot perhatian pembaca.
1
Laskar Pelangi merupakan sebuah novel yang menggambarkan struktur masyarakat Melayu Belitung. Struktur-struktur dalam novel Laskar Pelangi ini menceritakan usaha, kerja keras dan semangat berjuang hero problematik di dunia yang terdegradasi, selain itu novel ini juga menceritakan keadaan struktur sosial masyarakat, pendidikan, budaya dan status masyarakat. Struktur masyarakat Melayu Belitung adalah fakta yang juga dianggap sebagai struktur-struktur yang berarti dalam novel tersebut. Seperti yang telah dikatakan Goldmann (1981: 40) bahwa, ia menganggap semua fakta kemanusiaan merupakan struktur yang berarti. Sturktur masyarakat seperti yang dikatakan di atas akan diteliti pada novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang juga dianggap sebuah kenyataan yang diungkap melalui karya sastra. Dalam penelitian ini, Laskar Pelangi akan diteliti menggunakan pendekatan strukturalisme genetik Lucien Goldmann untuk melihat hubungan struktur novel tersebut dengan struktur masyarakat sebagai pandangan dunia. Sumbangan yang diberikan Goldmann dalam penelitian karya sastra melalui metode pendekatan strukturalisme genetik ini adalah seperti yang diungkapkan Damono (2006: 46), pertama, ia bias menunjukkan berbagai pandangan dunia yang ada pada suatu zaman tertentu, di samping menyoroti baik isi maupun makna karya sastra yang ditulis pada zaman itu. Oleh karena itu, dalam penelitian terhadap novel Laskar Pelangi karya Hirata ini, akan dilakukan langkah-langkah yang sama dengan apa yang telah dibuktikan Goldmann pada beberapa penelitiannya. Dengan tujuan, untuk mendapatkan abstraksi suatu pandangan dunia, dari kelompok sosial dan teks yang akan dianalisis tersebut,
2
yaitu untuk mengetahui bagaimana struktur masyarakat Melayu Belitung dengan pandangan dunia yang diekspresikan dalam novel Laskar Pelangi. Novel Laskar Pelangi adalah novel pertama dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Tiga novel berikutnya adalah Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. Laskar Pelangi diterbitkan pertama kali pada September 2005. Sejak kemunculannya, Laskar Pelangi mendapat tanggapan yang positif dari penikmat sastra. Novel Laskar Pelangi sudah dicetak ulang sebanyak tiga belas kali (2005–2008). Tingginya apresiasi masyarakat terhadap novel tersebut menjadikannya masuk dalam jajaran best seller dan mendapat julukan Indonesia’s Most Powerful Book. Oleh karena apresiasi masyarakat yang begitu besar, penulisnya tertarik mengangkat novel itu ke layar lebar. Tidak kalah dengan novelnya, film Laskar Pelangi pun masuk dalam jajaran Box Office Indonesia (Atminingsih, 2008: 15). Saat ini, Laskar Pelangi telah tercetak lebih dari lima juta eksemplar. Artinya, dalam kurun waktu kurang dari satu periode, dua puluh juta eksemplar telah dimiliki oleh pembaca. Hal itu dikemukakan Damar Juniarto (2013), dalam artikel Pengakuan Internasional Laskar Pelangi: Antara Klaim Andrea Hirata dan Faktanya. Kesuksesan besar karya ini tidak luput dari kisah masa kecil Andrea Hirata yang menginspirasi novel tersebut. Laki-laki yang lahir pada 24 Oktober 1967 ini menghabiskan masa kecilnya di Belitung (pengarang menyebutnya Belitong). Meskipun telah menjadi penulis ternama, Hirata lebih mengidentikkan dirinya sebagai seorang akademis dan backpacker.
3
Sebagai akademisi, Hirata mengambil mayor di bidang ekonomi, Universitas Indonesia. Namun, ia juga sangat menggemari sains-fisika, kimia, biologi, astronomi, dan sastra. Ia membuktikan kecerdasannya dengan mendapatkan beasiswa Uni Eropa untuk studi master of science di Université de Paris, Sorbonne, Prancis, dan Sheffield Hallam University, United Kingdom. Tesis Hirata di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari kedua universitas tersebut dan ia lulus cum laude. Tesisnya telah diadaptasi ke bahasa Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi pertama yang ditulis oleh orang Indonesia. Buku itu telah beredar sebagai referensi ilmiah. Saat ini, Hirata tinggal di Bandung dan masih bekerja di kantor pusat PT Telkom. Adapun sebagai backpacker, Hirata menuliskan pengalaman-pengalamannya dalam Edensor. Kembali kepada novel Laskar Pelangi, fenomena booming-nya novel tersebut menjadikannya semakin terkenal di kalangan masyarakat luas, baik secara nasional maupun internasional. Salah satu contohnya adalah pengakuan “Internasional Best Seller” yang berasal dari Turki. Dalam konferensi pada 12 Februari 2013 yang dihadiri oleh media-media nasional, Hirata menegaskan hal tersebut, “Hampir seratus tahun kita menanti adanya karya anak bangsa mendunia, tetapi Alhamdulillah hari ini semua terbukti setelah buku saya menjadi best seller dunia” (dalam metronews.com). Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa Laskar Pelangi telah menjadi novel yang bertaraf internasional. Menurut pengakuan Hirata (2013) lagi, pada artikel Tempo berjudul Kata Andrea Hirata Soal Tudingan Ke “Laskar Pelangi”, sampai saat ini kontrak penerbitan Laskar
4
Pelangi telah mencapai 78 negara. Selain itu, novel ini telah diterjemahkan ke banyak bahasa asing melalui penerbit-penerbit terkemuka, seperti Farrar Straus and Giroux, Random House, Hanser Berlin, Mercure de France, Atlas Contact, Penguin, dan Harper Collins. Informasi-informasi ini secara jelas disampaikan kepada publik melalui media massa. Beragamnya adaptasi Laskar Pelangi, berupa film, serial, drama musikal, dan adaptasi cetak lainnya dibandingkan karya Hirata yang lain menyebabkan Laskar Pelangi semakin familiar di masyarakat. Bahkan, permintaan terhadap Laskar Pelangi semakin marak di media, terutama media internet. Karya sastra canon, kemudian best seller, dan menjadikan pengarangnya sebuah fenomena inilah yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa novel itu adalah karya yang besar. Menurut Goldmann (1977: 19), karya sastra besar adalah ekspresi dari pandangan dunia. Pandangan dunia ini bukan merupakan pandangan individu, melainkan sebuah konsep dalam bentuk yang koheren, kesadaran kolektif yang mencapai puncak tertingginya dalam pikiran pengarang. Maka, sebagai sebuah karya sastra yang besar, pandangan dunia seperti apa yang terekspresikan dalam novel Laskar Pelangi tersebut perlu untuk diketahui lebih lanjut. Pandangan dunia dapat dipahami melalui kata-kata dan dunia yang diekspresikan dalam karya (Golmann, 1977: 314–315). Asumsi Goldmann adalah adanya korespondensi antara pandangan dunia sebagai kenyataan yang dialami dan dunia yang dibuat oleh pengarang, serta adanya korespondensi antara dunia
5
tersebut
dan
alat-alat
kesusastraan
yang
digunakan
pengarang
untuk
mengekspresikannya. Pandangan dunia tidak lahir secara tiba-tiba, ia hadir secara bertahap dan perlahan-lahan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Karena pandangan dunia ini merupakan produk interaksi antara subjek kolektif dan situasi yang ada disekitarnya (Faruk, 2010: 67). Pandangan dunia pengarang yang dimunculkan dalam novel Laskar Pelangi adalah masalah yang berkaitan dengan usaha dan kerja keras yang sungguh-sungguh oleh masyarakat Melayu Belitung agar bias keluar dari jeratan kemiskinan. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa dunia dalam novel yang dibuat oleh pengarang perlu dipahami dengan cara membuatnya ke dalam sebuah struktur.
1.2 Rumusan Masalah Dalam sebuah penelitian dibutuhkan hal penting, yaitu menentukan masalah apa yang akan dianalisis guna menghindari peneliti agar tidak terlalu jauh dari objek materialnya. Selain itu, untuk membantu peneliti mendapatkan penjabaran yang jelas terhadap objek materialnya. Dengan menentukan permasalahan, akan membantu peneliti dalam pengumpulan data yang sesuai dengan objek materialnya. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini, yakni pandangan dunia apa yang diekspresikan oleh novel Laskar Pelangi?. Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut, penulis menjelaskan struktur teks dan pandangan dunia yang relevan dalam novel Laskar Pelangi.
6
Seperti yang telah diuraikan dalam latar belakang, pandangan dunia bukanlah pandangan individu, melainkan kesadaran kolektif. Seharusnya, analisis mengenai kelas sosial juga dilakukan. Akan tetapi, penelitian ini tidak mengupas kelas sosial secara mendalam. Penelitian ini dibatasi hanya pada struktur novel dan pandangan dunia. Kemudian, dicari koherensi antara kedua hal tersebut.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini terdiri dari tujuan teoretis dan tujuan praktis. Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan ilmu sastra dan menerapkan teori pada karya sastra, dalam hal ini, strukturalisme genetik Goldmann terhadap novel Laskar Pelangi oleh Andrea Hirata. Selain itu, penelitian juga bertujuan untuk menjawab dua permasalahan di atas, yaitu mengungkapkan struktur novel Laskar Pelangi dan pandangan dunia yang terekspresikan dalam novel. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk membantu pembaca memahami novel Laskar Pelangi sebagai karya sastra dan memberikan sejumlah manfaat terhadap penikmat sastra.
1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian terhadap Laskar Pelangi sebagai sebuah karya sastra besar telah banyak dilakukan. Beberapa di antaranya seperti di bawah ini. Tesis yang berjudul Potret Kemiskinan Masyarakat Melayu dalam Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata Tinjauan Sosiologi Sastra diteliti oleh Fitria (2009). Tesis tersebut membicarakan potret kemiskinan masyarakat Melayu dalam
7
novel Laskar Pelangi dengan tinjauan sosiologi sastra dan mengungkapkan solusi yang diberikan pengarang dalam novel Laskar Pelangi untuk mengatasi kemiskinan masyarakat Melayu Belitung. Solusi pengarang untuk memerangi kemiskinan adalah melalui pendidikan disertai dengan kemauan dan kerja keras. Pendidikan
dapat
menumbuhkan
produktivitas
masyarakat
Melayu
dan
pengembangan bakat yang dimiliki. Semangat Membangun Keterdidikan Masyarakat: Kajian Sosiologi Sastra Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata oleh Syamsun (2009). Membahas fenomena
sosial
budaya
dalam
masyarakat
Belitung.
Selain
itu,
ia
mengungkapkan perjuangan dua orang guru yang memiliki dedikasi tinggi dalam dunia pendidikan dalam rangka mencerdaskan anak bangsa. Berbekal prasarana yang serba sederhana, para guru tersebut memperjuangkan hak anak-anak Belitung sebagai warga negara untuk memperoleh pendidikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap isu pendidikan, kebijakan pemerintah, dan peran lembaga sosial kemasyarakatan dalam menciptakan keterdidikan masyarakat dalam novel Laskar Pelangi. Penelitian ini menghasilkan tiga hal. Pertama, isu strategis pendidikan adalah masalah pemerataan pendidikan, mutu pendidikan, dan manajemen pendidikan. Kedua, kebijakan pemerintah telah dituangkan dalam Garis Besar Rencana Strategi (Renstra) Pendidikan Nasional yang terdapat dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional. Ketiga, lembaga sosial kemasyarakatan mempunyai peran besar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan menanggulangi problem ketidakmerataan kesempatan pendidikan bagi
8
masyarakat, terutama masyarakat terpencil dan keluarga yang kurang mampu, baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya. Skripsi yang berjudul Laskar Pelangi: Kajian Genre Fiksi Populer oleh Ayu Budi Kusuma Wardhani (2013), mengulas perdebatan mengenai novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata sebagai fiksi popular atau bukan fiksi popular. Dari penelitian ini diketahui bahwa Laskar Pelangi merupakan fiksi popular karena unsur intrinsik Laskar Pelangi sesuai dengan formula fiksi popular. Selain unsur-unsur intrinsik, booming-nya novel Laskar Pelangi sebagai fiksi popular menyebabkan banyaknya adaptasi dari Laskar Pelangi versi novel. Novel Laskar Pelangi diadaptasi ke dalam berbagai macam bentuk, yakni film Laskar Pelangi, musikal Laskar Pelangi, dan Laskar Pelangi The Series. Terdapat pula adaptasi dalam bentuk cetak, yakni Laskar Pelangi Song Book, Di Balik Layar Laskar Pelangi, dan buku-buku seri Laskar Pelangi anak. Metafora Andrea Hirata dalam Tetralogi Laskar Pelangi (Sebuah Kajian Stilistika), Miftahul Huda (2011). Metafora yang diciptakan Andrea Hirata sangat dipengaruhi lingkungannya karena persepsi pengarang terhadap gejala alam dan gejala sosial juga tidak terlepas dari lingkungannya juga. Metafora Andrea Hirata menunjukkan fungsi estetika dan sosial budaya khususnya motivasi, perjuangan, dan pendidikan. Akhirnya, penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan metafora cukup banyak dalam tetralogi Laskar Pelangi. Apabila dilihat dari frekuensi metafora paling banyak, sesuai urutan adalah Sang Pemimpi, kemudian Maryamah Karpov, Laskar Pelangi, dan terakhir Edensor. Selain itu, penggunaan metafora dalam sebuah novel merupakan kecenderungan estetika tersendiri dan
9
salah satu sarana meningkatkan kualitas hasil cipta sastra sehingga tidak mengherankan jika tetralogi Laskar Pelangi dapat diterima secara luar biasa oleh pembaca. Laskar Pelangi telah pula difilmkan. Novel karya Andrea Hirata ini berhasil menghidupkan karya sastra ke dalam imajinasi dunia film sehingga apresiasi masyarakat Indonesia terhadap film Laskar Pelangi cukup besar. Selain telah difilmkan, novel ini juga telah diadaptasi dalam banyak bentuk, di antaranya musikal Laskar Pelangi, Laskar Pelangi The Series, Laskar Pelangi Song Book, Di Balik Layar Laskar Pelangi, dan buku-buku seri Laskar Pelangi anak. Berdasarkan beberapa penelitian di atas, terlihat bahwa belum terdapat penelitian yang mempertimbangkan masalah mediasi pandangan dunia terhadap novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Padahal pemahaman yang koheren tentang sebuah karya sastra dapat dicapai melalui analisis pandangan dunia. Oleh karena itu, peneliti mengangkat mediasi pandangan dunia terhadap novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata tersebut.
1.5 Landasan Teori Strukturalisme genetik merupakan teori sastra yang didasarkan pada pemikiran Marxis. Menurut Goldmann, oleh karena strukturalisme genetik menekankan pada konsep pandangan dunia yang diciptakan oleh kelas-kelas sosial maka hanya kelompok Marxis inilah yang telah terbukti dalam sejarah sebagai kelompok yang telah menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan (Faruk, 2010: 63).
10
Fakta kemanusiaan seperti yang dicontohkan Goldmann, misalnya Pensees karya Pascal, Revolusi Prancis, dan Perang Salib pasti selalu berhubungan dengan tingkah laku subjeknya. Setiap fakta kemanusiaan adalah hasil dari aktivitas manusia. Manusia mengubah dunia di sekitarnya untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik antara dirinya sebagai subjek dan dunia. Setiap fakta kemanusiaan pasti berarti dan fungsional (Goldmann, 1981: 40–47). Ide hanyalah bagian dari realitas keseluruhan, yaitu manusia. Manusia hanya elemen dari keseluruhan yang terdiri dari kelompok sosial di mana dia tergabung. Karya tertentu tidak hanya berasal dari pengarangnya, tetapi juga dari kelompok sosial secara keseluruhan. Kelompok yang paling penting bagi individu adalah kelas sosial yang berhubungan dengan kepentingan ekonomi di mana dia sebagai anggotanya. Kelas sosial yang dimaksud Goldmann adalah kelas sosial dalam pengertian Marxis, yaitu kelompok-kelompok yang menguasai alat produksi (Goldmann, 1977: 7, 16; Goldmann, 1981: 41). Hubungan antara manusia bukanlah hubungan subjek-objek ataupun hubungan intersubjektif, melainkan hubungan intrasubjektif, di mana hubungan antara individu adalah elemen yang merupakan bagian dari satu keseluruhan aksi. Individu tidak akan bisa menciptakan fakta sosial, yang bisa menciptakan hanyalah subjek transindividual (Goldmann, 1981; 97). Hal ini dikarenakan ketika anggota dari kelompok mengalami situasi yang sama, mereka akan membangun struktur mental yang fungsional. Struktur mental ini akan memiliki peran yang aktif dalam sejarah dan diekspresikan dalam karya-karya filsafat yang besar, karya seni, dan kreasi kultural. Semuanya hanya dapat dipahami apabila dikaitkan
11
dengan subjek kolektifnya. Tingkah laku subjek kolektif ini membentuk struktur masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, juga membentuk struktur hubungan antarmanusia dan hubungan antarmanusia dengan alam (Goldmann, 1981: 41–42). Goldmann (Faruk, 2010: 56) menyebut teorinya sebagai strukturalisme genetik. Dengan kata lain, ia percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur. Akan tetapi, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat karya sastra yang bersangkutan. Teori strukturalisme genetik terbagi ke dalam enam konsep dasar yang membangun teori termaksud, yaitu fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia, pemahaman dan penjelasan. Akan tetapi, untuk menjawab permasalahan yang dihadapi, yaitu mengenai pandangan dunia apa yang diekspresikan oleh novel Laskar Pelangi maka peneliti akan membatasinya hanya pada konsep pandangan dunia menurut perspektif Goldmann sebagai acuan dalam landasan teori ini. Strukturalisme genetik mencari homologi atau hubungan yang jelas dan dapat dimengerti antara struktur kesadaran kolektif dan struktur dari karya yang mengekspresikan dunia yang integral dan koheren (Goldmann, 1981: 66). Homologi bisa terjadi karena keduanya merupakan produk dari aktivitas strukturasi yang sama. Di dalam konsep homologi, kesamaan yang ada antara karya sastra dan kehidupan masyarakat bukanlah kesamaan isinya, melainkan kesamaan strukturnya. Homologi antara struktur karya sastra dan struktur masyarakat tidak bersifat langsung, melainkan homolog dengan pandangan dunia.
12
Pandangan dunialah yang nantinya akan berhubungan langsung dengan struktur masyarakat yang dimilikinya (Faruk, 2010: 64–65). Ilmu tentang sastra dapat menjadi ilmiah hanya jika bersifat objektif dan dapat diverifikasi kebenarannya melalui konsep pandangan dunia. Pandangan dunia bukanlah fakta yang empiris langsung, melainkan merupakan sebuah hipotesis konseptual yang sangat diperlukan untuk memahami individu mengekspresikan ide-idenya. Pandangan dunia adalah produk dari sebuah kesadaran kolektif yang mencapai ekspresi tertingginya dalam pikiran penyair atau filsuf (Goldmann, 1977: 14–19). Pandangan dunia bukanlah merupakan sebuah fakta individual. Individu hanya sebagai bagian yang membentuk pandangan dunia tersebut. Pandangan dunia adalah sebuah koherensi dan keterpaduan antara manusia dengan dunianya (Goldmann, 1981: 111). Proses pembentukan pandangan dunia adalah proses yang lama dan kompleks, kadangkadang hingga melampaui beberapa generasi (Goldmann, 1981: 60). Konsep pandangan dunia menurut Goldmann (1977: 17) adalah gagasangagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang kompleks dan menyeluruh, yang menghubungkan secara bersama-sama anggota-anggota suatu kelompok sosial tertentu yang mempertentangkannya dengan kelompok-kelompok sosial lain, atau merupakan iklim general dari pikiran-pikiran dan perasaan tertentu. Dengan demikian, pandangan dunia ini tidak hanya seperangkat gagasan abstrak dari suatu kelas mengenai kehidupan manusia dan dunia tempat manusia itu berada, tetapi juga merupakan semacam cara atau gaya hidup yang dapat
13
mempersatukan anggota yang lain dalam kelas yang sama dan membedakannya dari anggota-anggota dari kelas sosial yang lain (Faruk, 2010: 66). Menurut Goldmann (Faruk, 1994: 16), sebagai suatu kesadaran kolektif (collective consciousness), pandangan dunia itu berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memahaminya. Pandangan pengarang dalam karyanya lahir dari pandangan dunia yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat karena kondisi struktural masyarakat dapat membuat suatu kelas yang ada dalam posisi tertentu dalam masyarakat itu membuahkan dan mengembangkan suatu pandangan dunia yang khas (Faruk, 2010: 65). Pandangan dunia ini, menurut Goldmann (Faruk, 2010: 67), tidak lahir dengan tiba-tiba. Transformasi mentalitas yang lama perlahan-lahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas yang baru dan teratasinya mentalitas yang lama. Proses yang panjang ini, menurut Goldmann (Faruk, 2010: 68-69), disebabkan kenyataan bahwa pandangan merupakan kesadaran yang mungkin, yang tidak setiap orang dapat memahaminya. Kesadaran yang mungkin ini adalah kesadaran yang menyatakan suatu kecenderungan kelompok ke arah suatu koherensi menyeluruh, perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya, serta dengan alam semesta. Dengan melihat uraian di atas, pandangan dunia yang ada pada suatu teks sastra akan dapat juga terlihat dan bisa ditarik kesimpulannya melalui struktur teks sastra dan struktur sosial yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, karya sastra mempunyai struktur yang koheren dan terpadu. Dalam konteks strukturalisme
14
genetik, konsep struktur karya sastra berbeda dari konsep struktur yang umum dikenal (Faruk, 2010: 71). Goldmann (1978: 1–6) mengatakan bahwa ada homologi antara struktur novel klasik dan struktur perubahan pada ekonomi liberal. Ia menjamin konsep Lukacs bahwa novel adalah cerita mengenai pencarian yang terdegradasi, pencarian akan nilai-nilai otentik di dunia yang juga terdegradasi. Nilai-nilai otentik ini adalah totalitas yang terdapat secara implisit dalam dunia secara keseluruhan. Pencarian ini dilakukan oleh seorang tokoh hero yang problematik. Novel adalah suatu genre karya sastra yang memiliki ciri perpecahan yang tidak dapat diatasi antara tokoh hero dan dunia. Degradasi ini dijelaskan melalui mediatisasi dan reduksi nilai-nilai otentik. Perpecahan ini mengakibatkan dunia dan tokoh hero sama-sama mengalami degradasi. Goldmann (1978: 7) mengatakan bahwa novel merupakan perubahan pada bidang sastra dalam kehidupan sehari-hari ke dalam masyarakat individualistik yang diciptakan oleh produksi pasar. Ada homologi yang kuat antara bentuk novel dan kehidupan sehari-hari, antara manusia dan komuditas pada umumnya, serta antara
manusia
dan
sesamanya
dalam
masyarakat
pasar.
Goldmann
mengemukakan konsep mengenai nilai guna dan nilai tukar. Hubungan yang sehat antara manusia dan komuditas adalah hubungan yang di dalamnya produksi secara sudah diatur oleh konsumsi masa depan, oleh kualitas konkret objek-objeknya, serta oleh nilai guna. Sebaliknya, hubungan yang tidak sehat adalah hubungan yang diatur oleh nilai tukar, hubungan yang sehat dihapuskan, direduksi menjadi tersembunyi lewat mediasi realitas ekonomi yang baru.
15
Dalam masyarakat kapitalis, kegiatan produksi tidak lagi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat secara langsung, tetapi untuk kepentingan pasar, dan hasilnya ditukarkan dengan hasil-hasil produksi lain di pasar. Cara produksi seperti ini menyebabkan terjadinya perubahan pada nilai hasil produksi, yaitu yang mulanya nilai guna menjadi nilai tukar. Nilai guna suatu produk terletak pada seberapa jauh produk itu mampu memenuhi kebutuhan manusia yang memproduksinya, sedangkan nilai tukar suatu produk adalah kemungkinan pertukarannya dengan produk-produk lain. Pada masyarakat kapitalis, dengan semakin dominannya nilai tukar, menyebabkan terjadinya alienasi manusia dari hasil kerjanya sendiri, dari lingkungan dan proses produksinya (Faruk, 2010: 27–28). Pandangan mengenai pembendaan manusia dari lingkungannya muncul karena hilangnya hubungan antara manusia dan benda ciptaannya sendiri. Akhirnya, benda itu menjadi berdiri sendiri dan mengatur manusia. Manusia dituntut untuk berproduksi. Meskipun dia tidak membutuhkannya, manusia dituntut untuk menyesuaikan dirinya dengan mekanisme pabrik yang seharusnya memenuhi kebutuhan manusia (Paul Johnson dalam Faruk, 1988: 92–93). Selanjutnya,
kejadian
ini
memunculkan
individu-individu
yang
problematik. Goldmann (1978: 11) mengatakan bahwa individu-individu menjadi problematik karena di satu sisi pemikiran dan tingkah laku mereka masih didominasi oleh nilai-nilai kualitatif, sedangkan di sisi lain mereka tidak bisa menarik dirinya dari keberadaan mediasi.
16
Berikut akan diuraikan cara Goldmann dalam menganalisis drama Racine. Konsep pandangan dunia yang dikemukakan Goldmann ketika menganalisis drama Racine adalah pandangan dunia tragik. Saat itu di Prancis pada abad ke-17, Jansenisme muncul ketika perpindahan kekuasaan dari monarki terbatas ke monarki absolut, ketika raja mentransfer kekuasaannya dari officiers dan cours souverains kepada commisaires. Konflik antara raja dan parlemen mengakibatkan parlemen yang dulunya mendukung raja menjadi berbalik melawan raja (Goldmann, 1977: 111). Kaum aristokrat menengah yang mendapat keuntungan dari kebijakan raja akhirnya mendukung raja. Kaum officiers berada dalam situasi yang paradoksal karena mereka melawan raja yang tidak bisa baik dihancurkan maupun keberadaannya diubah oleh mereka. Kejadian ini memunculkan ideologi kaum Jansenis yang akhirnya membentuk pandangan dunia tragik (Goldmann, 1977: 109). Pandangan tragik mengandung tiga elemen, yaitu Tuhan, manusia, dan dunia, yang satu sama lain saling berhubungan (Goldmann, 1977: 62). Pandangan tragik muncul karena ada krisis hubungan antara manusia, dunia sosial, dan spritualnya (Goldmann, 1977: 41). Tuhan dianggap sebagai sebagai sesuatu yang paradoksal. Tuhan ada, tetapi tidak selalu muncul dan suara Tuhan tidak secara langsung didengar oleh manusia, atau Tuhan bersembunyi (The Hidden God). Oleh karena Tuhan tidak membawa peran dalam kehidupan manusia, Tuhan dikatakan tidak ada. Akan tetapi, manusia menyadari bahwa Tuhan itu ada dan mereka tidak dapat melepaskan diri dari kekuatan dan kekuasaan Tuhan. Maka, Tuhan tragedi adalah sekaligus ada dan tidak ada. Kaun Jansensis yang berkaitan
17
dengan pandangan tragik menganggap dunia tidak nyata karena Tuhan selalu mengawasi manusia di dunia (Goldmann, 1977: 48–50). Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, dunia tetap menjadi tempatnya bersekspresi sehingga dunia juga dianggap ada (Goldmann, 1977: 37–38, 59). Manusia tragik adalah makhluk paradoksal, dia hidup di dunia dan menolak dunia pada saat yang sama (Goldmann, 1977: 60). Permintaan manusia tragik yang utama adalah tentang totalitas. Hubungan antara manusia tragik dan manusia lainnya bersifat ganda dan paradoksal (Goldmann, 1977: 60). Di satu sisi, manusia tragik berharap dapat menyelamatkan mereka, membawa mereka bersamanya, membangunkannya dari tidur, dan mengangkat level mereka. Di sisi lain, dia menyadari ada jurang yang memisahkan mereka dan dia menerima kenyataan itu. Pada akhirnya, manusia tragik akan tetap sendiri. Akhirnya, dia meninggalkan manusia itu tertidur. Akan tetapi, justru dengan kesendiriannya itulah dia akan menjadi manusia yang besar (Goldmann, 1977: 81–82). Pandangan tragik adalah oposisi antara dunia dan kebesaran manusia. Keberadaan manusia tragik terletak pada fakta bahwa mereka menolak dunia dan kehidupan. Setiap karya sastra diasumsikan memiliki koherensi internal dan mengekspresikan pandangan dunia. Maka, cara menganalisisnya adalah menemukan pandangan dunia yang berlaku dalam satu waktu tertentu, kemudian melihat hubungan antara pandangan dunia tersebut dengan dunia tokoh dan objek yang ada dalam karya tertentu, dan selanjutnya melihat hubungan antara dunia dan alat-alat kesusastraan yang digunakan penulis untuk mengekspresikannya.
18
Dalam menganalisis keempat tragedi Racine, Goldmann membagi tokoh yang ada di dalamnya menjadi representasi dunia, manusia, dan Tuhan. Pembagian tokoh menjadi Tuhan, manusia, dan dunia ini bukanlah merujuk kepada substansi tokohnya, melainkan hanya strukturnya. Tokoh-tokoh yang membawa nilai otentik atau totalitas dianggap merepresentasikan Tuhan. Tokohtokoh yang membawa nilai-nilai keduniawian, hidup dengan prinsip dunia dianggap merepresentasikan dunia. Adapun tokoh yang memilih di antara keduanya dianggap merepresentasikan manusia. Inilah yang dijadikan sebagai model analisis Goldmann yang juga dilakukan dalam penelitian ini. Selain itu, oposisi-oposisi yang ditampilkan oleh Goldmann dalam hasil analisisnya terhadap drama Racine menunjukkan bahwa dia menggunakan prinsip strukturalisme Levi-Strauss. Konsep strukturalisme Levi-Strauss adalah oposisi biner atau oposisi berpasangan (Faruk, 2012: 164). Sebagai contoh, akan ditampilkan salah satu analisis Goldmann terhadap drama Racine yang berjudul Andromaque. Dalam Andromaque ada tokoh yang merepresentasikan dunia, yaitu Pyrrhus, Orester, dan Hermione, tokoh yang merepresentasikan manusia tragik, yaitu Andromache, dan tokoh yang merepresentasikan Tuhan, yaitu Hector dan Astyanax. Andromache beroposisi dengan dunia dengan menolak kompromi yang ditawarkan oleh Pyrrhus dan memilih mati. Penolakan inilah yang menunjukkan bahwa Andromache adalah seorang manusia tragik. Ketika bertemu dengan anaknya yang terakhir kalinya, Andromache ingin jika memungkinkan namanya kadang-kadang disebut di depan anaknya. Kata-kata “jika memungkinkan” mencerminkan jarak dan oposisi yang
19
dirasakan Andromache terhadap hubungannya dengan Pyrrhus (Goldmann, 1977: 318–328). Dari penjelasan di atas terlihat langkah-langkah analisis yang dilakukan oleh Racine, yaitu menentukan pandangan dunia, dalam konteks ini, pandangan dunia tragik. Kemudian, menghubungkannya dengan dunia yang ada dalam karya sastra, yaitu oposisi Andromache dengan dunia. Kemudian, terlihat dalam unsurunsur kesusastraan terdapat kata yang digunakan Racine untuk menunjukkan oposisi antara Andromache dan dunia. Goldmann mengandaikan suatu karya sastra merupakan sebuah struktur seperti yang telah disebutkan di atas. Struktur tersebut merupakan keseluruhan yang utuh yang terbangun dari unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain. Akan tetapi, berbeda dengan strukturalisme nongenetis, teori ini tidak menganggap karya sastra hanya sebagai sebuah struktur, tetapi juga sebagai sebuah struktur yang signifikan. Artinya, struktur itu merupakan produk dari strukturasi yang berlangsung terus-menerus dari subjek tertentu terhadap dunia dalam rangka pembangunan keseimbangan hubungan antara subjek itu dengan lingkungan sosial dan alamiahnya. Dengan pengertian yang demikian, karya sastra baru dianggap dapat dipahami tidak hanya dengan memperhatikan struktur internalnya, tetapi harus pula memperhatikan tempatnya di dalam konteks strukturasi di atas. Dalam kerangka genesisnya dipertalikan dengan manusia-manusia yang menjadi subjek tersebut dan hubungan antara manusia-manusia itu dan lingkungan sosialnya.
20
Hubungan antara kedua hal tersebut tidak didasarkan pada kesamaan isi, tetapi pada homologi strukturalnya (Faruk, 2002: 22–23). Menurut konsep Goldmann (Faruk, 2010: 72), konsep struktur itu bersifat tematik, dan yang menjadi pusat perhatiannya adalah relasi antara tokoh dan tokoh serta antara tokoh dan objek yang ada di sekitarnya. Sifat tematik dari konsep struktur Goldmann terlihat dari konsepnya mengenai novel sebagai cerita mengenai pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik dalam dunia yang juga terdegradasi. Pencarian itu dilakukan oleh seorang hero yang problematik. Menurutnya, yang dimaksud dengan nilai-nilai yang otentik adalah totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel, nilai-nilai yang mengorganisasi sesuai dengan model dunia sebagai totalitas.
1.6 Hipotesis Hipotesis yang dimiliki adalah sebagai berikut. Laskar Pelangi adalah sebuah karya sastra yang besar. Sebagai sebuah karya sastra besar, novel ini memiliki gambaran-gambaran mengenai manusia, alam, Tuhan, cita-cita, cinta, kehidupan, kematian, kaya dan miskin yang saling berhubungan satu sama lain, dan memiliki struktur yang koheren. Struktur ini homolog atau sejajar dengan pandangan dunia yang diekspresikannya.
1.7 Metode Penelitian Objek material pada penelitian ini adalah novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, sedangkan objek formalnya adalah struktur novel dan pandangan
21
dunianya. Setelah menentukan objek material dan objek formal pada penelitian ini, tahapan selanjutnya adalah membaca novel dan mengumpulkan data-data yang terkait dengan penelitian ini. Data utama adalah kutipan-kutipan yang terdapat dalam novel Laskar Pelangi. Selain itu, peneliti juga menggunakan penelusuran melalui perangkat komputer yang berbasis internet dengan teknik catat dan edit sebagai langkah lanjutannya. Data-data yang telah didapatkan di atas dapat dianalisis dengan beberapa metode, di antaranya metode analisis tekstual atau yang disebut Goldmann sebagai metode positivistik, metode intuitif yang berdasarkan pada perasaan atau simpati pribadi, atau dengan metode dialektik. Metode intuitif tidak digunakan karena metode ini bukanlah metode ilmiah, sedangkan yang membedakan metode positivistik dengan metode dialektik adalah walaupun kedua metode ini samasama memandang teks sebagai titik awal dan titik akhir dari sebuah penelitian, tetapi metode dialektik memperhatikan koherensi makna sebuah teks, sedangkan metode positivistik tidak memperhatikan hal tersebut (Goldmann, 1977: 8). Metode analisis data yang dilakukan penelitian ini adalah seperti cara Goldmann menganalisis drama Racine. Fakta tentang alam dan aktivitas manusia yang abstrak dapat dipahami lebih jelas dengan membuatnya konkret dalam konseptualisasi dialektik. Pemikiran dialektik menegaskan bahwa tidak ada titik awal yang valid, tidak ada permasalahan yang akhirnya dan pasti terpecahkan. Maka, pemikiran tidak pernah berjalan dalam satu garis lurus karena setiap fakta atau ide hanya akan mendapatkan maknanya apabila ditempatkan ke dalam sebuah keseluruhan.
22
Sebaliknya, keseluruhan pun hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial atau yang tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu. Proses ini menjadi semacam gerak terus-menerus dari keseluruhan ke bagian dan dari bagian kembali keseluruhan lagi (Goldmann, 1977: 4–7). Dengan ini, terdapat kesatuan antara struktur dan bagian, dan makna pada akhirnya dapat dipahami secara koheren. Hal yang dimaksud Goldmann dengan pemahaman adalah usaha untuk mendeskripsikan struktur objek yang diteliti, dan penjelasan adalah usaha penggabungan sebuah struktur ke dalam struktur yang lebih besar yang di dalam struktur tersebut hanya merupakan satu bagian (Goldmann dalam Faruk, 1988: 106). Cara kerja metode dialektik dalam analisis adalah sebagai berikut. Karya sastra dianggap sebagai ekspresi yang dalam atas perubahan struktur sosial dan politik masyarakat. Kerja penelitian diawali dari teks, dibuat menjadi dua bagian besar yang saling beroposisi. Kemudian, ditentukan pandangan dunia yang diasumsikan sebagai pandangan dunia suatu kelas tertentu. Hal ini adalah usaha pemahaman. Kemudian, usaha penjelasannya adalah menemukan fenomena sosial, ekonomi, dan ideologis kelas pada satu waktu tertentu. Bila struktur teks dan pandangan dunia kelas yang diasumsikan di awal sudah sesuai, dapat dikatakan bahwa ada koherensi antara struktur karya sastra tersebut dan pandangan dunia kelas yang diekspresikannya.
23
1.8 Sistematika Penyajian Pada penelitian ini, penyajian disusun dengan urutan sebagai berikut. Bab 1 merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab 2 merupakan analisis struktur novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Bab 3 merupakan analisis pandangan dunia. Bab 4 merupakan kesimpulan, dan diakhiri dengan daftar pustaka dan lampiran yang berupa sinopsis novel Laskar Pelangi dan karya-karya Andrea Hirata.
24