BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Karya sastra dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu: puisi, drama, dan naratif. Ketiganya memiliki ciri khas masing-masing. Puisi menonjol dalam hal tipografi—seperti dalam penulisan baris dan bait, bahasanya padat dan kadang berima, dan diksinya mengandung simbol serta kiasan. Drama merupakan dialog yang membentangkan alur, dan ditulis untuk dipentaskan. Sementara itu, jenis naratif adalah karya yang menyajikan kisah dan deretan peristiwa. Termasuk dalam karya sastra naratif adalah roman, cerpen, dan novel. Karya sastra lahir dan hidup dalam masyarakat, diciptakan dengan komunikatif dan memiliki tujuan estetik. Di dalam karya sastra, terdapat unsurunsur pembentuk yang menjadikannya berbeda antara satu dengan lainnya. Di dalam novel sendiri, unsur-unsur tersebut meliputi tokoh dan perwatakan, alur, plot, tema, dan gaya bahasa. Salah satu hal yang membuat suatu karya sastra menjadi menarik adalah gaya bahasa yang digunakan oleh penulis. Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa (Keraf, 2009: 113). Dengan menggunakan gaya bahasa tertentu, seorang penulis dapat meningkatkan estetika karyanya, sekaligus menunjukkan kekhasan caranya dalam menyajikan karya. Penggunaan gaya bahasa akan makin memperindah suatu karya dan memikat orang yang membacanya. Ratna (2014: 151)
1
2
menyatakan bahwa dalam gaya bahasa, kata-kata selain memiliki arti tertentu juga berfungsi untuk mengevokasi bahkan mengernegisasikan kata-kata lain, demikian seterusnya sehingga keseluruhan aspek berfungsi secara maksimal. Belakangan ini, jenis novel (dalam istilah populer sering disebut sebagai “genre novel”) makin bervariasi, mulai dari roman, humor, thriller, hingga fantasi. Setiap genre memiliki gaya bahasa tersendiri. Dengan kekhasan gaya bahasa para penulisnya, novel menjadi kajian yang menarik dalam ranah linguistik. Selain novel anak negeri, novel asing juga telah menarik minat penerbitpenerbit Indonesia. Hal itu dikarenakan novel asing tersebut memiliki cerita yang menarik, mendapat tanggapan yang positif di kalangan pembaca internasional dan menjadi best seller, bahkan kemudian diangkat menjadi film layar lebar yang juga diputar di Indonesia. Penerbit-penerbit di Indonesia kini berlomba membeli hak terbit buku-buku asing dan menerbitkannya dalam versi bahasa Indonesia. Akibatnya, kebutuhan akan penerjemah juga makin meningkat. Menerjemahkan bukan sekadar mengalihbahasakan teks dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Skill menerjemahkan yang baik juga tak lepas dari kemahiran penerjemah untuk mengalihkan makna dan unsur estetikanya— termasuk dalam hal ini adalah gaya bahasa. Nida dan Taber (1982: 12) menyatakan bahwa, “Translating consist of reproducing in the receptor language natural equivalent of the source language message, first in terms of message and secondly in term of style”. Dari pernyataan Nida dan Taber, terdapat dua hal di dalam proses penerjemahan. Yang pertama adalah menghasilkan pesan yang sepadan dengan bahasa sumber, dan yang kedua adalah menghasilkan
3
kesepadanan yang alamiah dalam hal gaya bahasa. Namun, penerjemahan dalam hal gaya bahasa adalah sesuatu yang rumit. Nababan (2008:59) menyatakan bahwa kompleksitas stilistik merupakan salah satu faktor penyebab sulitnya penerjemahan dilakukan. Karena budaya bahasa sumber dan budaya bahasa sasaran berbeda, gaya bahasa yang digunakan oleh keduanya tentu saja berbeda. Inilah merupakan salah satu alasan peneliti menganalisis terjemahan dengan menggunakan pendekatan stilistika. Peneliti ingin mengetahui sejauh mana penerjemah berhasil menerjemahkan gaya bahasa dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Penelitian ini akan menganalisis teknik penerjemahan dan kualitas terjemahan kalimat yang mengandung ungkapan satire dalam novel The 100-YearOld Man Who Climbed Out Of The Window And Dissapeared. Dalam novel karya Jonas Jonasson ini, terdapat banyak kritikan, ejekan, maupun olok-olok terhadap kondisi manusia, sosial, budaya, serta politik yang menggelitik, dan membuatnya disebut-sebut sebagai novel satire. Penulisnya sendiri pun berkeyakinan bahwa novelnya merupakan “a hopeful satire on the shortcomings of mankind” (www. theguardian.com) Satire memiliki dua pengertian, secara luas dan secara sempit. Secara luas, satire dianggap sebagai jenis karangan. Seperti yang didefinisikan oleh Macquarie Dictionary, “a literary composition in which vices, abuses and follies, etc are held up to scorn, derision or ridicule”. Novel satire adalah novel yang di dalamnya didominasi dengan ungkapan yang mengandung olok-olok, sindiran, maupun ejekan terhadap suatu kondisi.
4
Secara sempit, satire merupakan bagian dari gaya bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, satire didefinisikan sebagai “gaya bahasa dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu keadaan atau seseorang”. Berikut adalah contoh temuan ungkapan yang mengandung satire dalam novel The 100-Year-Old Man who Climbed out of the Window and Dissapeared. Konteks Situasi: Kaburnya Allan menggegerkan rumah lansia itu. Sang Direktur sendiri sangat gusar dan menggeledah kamar Allan. Dia yakin bisa menemukan petunjuk keberadaan Allan yang misterius. BSu: Besides, Director Alice had repeatedly shown that she had a sixth sense (wherever he hid his vodka, she found it), and she might be nosing around in his room even now, suspicious that something fishy was going on. BSa: Lagi pula, Direktur Alice sudah berkali-kali menunjukkan bahwa dirinya memiliki indra keenam (di mana pun Allan menyembunyikan vodka, dia bisa menemukannya). Mungkin saja sekarang ini dia sedang mengintip kamarnya, karena curiga hal-hal yang tidak semestinya sedang berlangsung. (berlangsung. (004/T100YOMWCOOTWAD/BSu-3/BSa-2) Pada contoh tersebut, terdapat kalimat yang mengandung ungkapan satire, “she had a sixth sense (wherever he hid his vodka, she found it)”. Indra keenam yang biasanya dikaitkan hal tak kasatmata atau di luar persepsi normal (pancaindra), disandingkan dengan vodka yang sebenarnya dapat ditangkap oleh pancaindra. Di dalam kalimat contoh tersebut, terdapat pernyataan yang menyindir suatu keadaan. Novel berjudul The 100-Year-Old Man who Climbed Out of the Window and Dissapeared ini merupakan karya fenomenal seorang penulis Swedia, Jonas Jonasson. Pertama kali diterbitkan di Swedia pada tahun 2012 dan sudah diangkat
5
ke layar lebar. Versi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Bentang Pustaka dalam rentang waktu tidak terlalu lama—yaitu tahun 2014 dan sudah dua kali cetak ulang. Novel ini telah terbit di 40 negara. The 100-Year-Old Man who Climbed Out of the Window and Dissapeared mengisahkan tentang Allan Karlsson, seorang pria berusia seratus tahun yang pecandu vodka. Tepat di hari ulang tahunnya yang keseratus tahun, Allan kabur dari rumah lansia yang ditinggalinya dengan cara melompat dari jendela kamar. Ia pergi kurang dari satu jam sebelum pesta perayaan ulang tahun keseratusnya dimulai. Padahal, acara itu dipimpin langsung oleh Direktur Alice—pimpinan rumah lansia—dan dihadiri oleh walikota Malmköping, wartawan surat kabar setempat, seluruh pegawai panti, dan seluruh penghuni panti. Perjalanan Allan tak terencana, tetapi kaki tuanya menuntunnya ke Terminal Bus Malmköping. Di sana pun, ia masih belum dapat menentukan tujuannya, sampai akhirnya memutuskan naik bus nomor 202 tujuan Strängnäs yang akan berangkat tiga menit kemudian. Di terminal bus, Allan bertemu dengan seorang pemuda yang membawa sebuah koper besar dan berjaket denim dengan tulisan “Never Again” di punggungnya. Karena ingin buang hajat, sementara toilet terlalu sempit dan tidak dapat memuat dirinya sekaligus kopernya dalam satu waktu, pemuda itu menitipkan koper besar miliknya kepada Allan. Namun, alih-alih menunggu pemuda itu selesai, Allan malah pergi dengan menyeret koper itu, naik bus menuju Strängnäs. Ia tidak yakin mengapa ia mau bersusah-susah menyeret benda itu bersamanya, tetapi ia berpikir bahwa kemungkinan isi koper itu adalah baju yang dapat digunakannya dalam pelarian.
6
Tak dinyana, ternyata koper besar itu membawa petaka buat Allan. Kepergiannya membawa koper si pemuda yang ditemuinya di terminal bus, membuat Allan dikejar-kejar kelompok gangster Never Again. Hal itu dikarenakan kopor itu berisi uang sejumlah lima puluh juta krona. Maka dimulailah petualangan Allan yang sesungguhnya. Awalnya, pihak Rumah Lansia hanya membuat laporan atas hilangnya Allan. Namun, kasus itu berkembang menjadi kasus kriminal yang melibatkan diri Allan. Novel ini menggunakan alur maju dan alur mundur. Alur maju untuk menceritakan tentang petualangan Allan dalam pelariannya. Sementara itu, alur mundur untuk mengisahkan masa kecil Allan hingga usia lanjut. Allan Karlson muda memulai kariernya dengan menjadi pembuat bahan peledak, bahkan kemudian mendirikan pabriknya sendiri. Keahliannya ini membuatnya terkenal di masa perang dunia. Ia pun berkeliling dunia dan mengenal tokoh-tokoh dunia mulai dari Harry Truman, Mao Tse-tung, dan Stalin. Yang menarik, Indonesia menjadi salah satu persinggahan terakhir Allan Karlson. Di negara ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta bantuan Allan terkait dengan keahliannya dalam membuat bom. Banyak kisah konyol Allan Karlson, kelucuan yang menggelitik, sekaligus kritik dan sindiran pedas tentang kondisi sosial, budaya, dan politik berbagai negara. Nama Indonesia pun tak luput dari bidikannya. Berbagai sisi gelap Indonesia pun diungkapkannya di dalam novel ini. Peneliti merasa tertarik menganalisis novel ini karena novel ini memiliki gaya bahasa yang unik. Yang tampak dominan di dalam novel ini adalah berbagai
7
sindiran, ejekan, maupun kritikan terhadap berbagai aspek kehidupan baik kelemahan manusia, situasi sosial dan budaya, hingga kritik pedas politik tentang pemimpin negara maupun kondisi negaranya. Di dalam novel ini, banyak ditemukan ungkapan satire yang menarik untuk dikaji dari sisi terjemahannya. Ungkapan ini sering kali sulit diterjemahkan karena banyak menggunakan istilah budaya,
ekspresi
idiomatik,
maupun
permainan
kata.
Ketidakcermatan
penerjemah dalam menerjemahkan hal-hal tersebut, menjadikan satire tidak berhasil direalisasikan. Itulah yang membuat beberapa karya satire terjemahan menjadi lebih ringan dari aslinya. Seperti yang dinyatakan oleh Rao (2004) “Even several satirical works such as the works of George Bernard Shaw, Jonathan Swift and poems of Alexander Pope, T.S. Eliot etc., are translated in many languages; most of them are translated in a lighter way by neglecting the satirical flavour. They concentrate only on the story or translation.” Berbagai penelitian yang terkait dengan penelitian tentang gaya bahasa, tepatnya majas, dalam kaitannya dengan penerjemahan, pernah dilakukan sebelumnya. Penelitian tentang majas (figurative language) pernah dilakukan antara lain oleh Liu Qiong dan Zhang Xiaobing (2005). Penelitian ini mengambil fokus tentang langkah-langkah efektif dalam menerjemahkan majas. Terdapat lima teknik yang dihasilkan dalam penelitian yaitu literal translation, transference translation, meaning translation, literal-meaning translation, dan ellipsis translation. Penelitian ini menjabarkan teknik penerjemahan majas secara umum, dan tidak menganalisis kualitas terjemahan sebagai dampak dari teknik-teknik yang digunakan. Penelitian selanjutnya menganalisis tentang penerjamahan majas
8
ironi yang dilakukan oleh Raymond Chakhachiro (2009). Di dalam penelitian tersebut, Chakhachiro melakukan analisis linguistik tentang fungsi ironi dilihat dari aspek stilistik maupun pragmatik (tindak tutur). Ia meneliti teknik yang digunakan dalam menerjemahkan ironi, namun tidak lebih jauh menganalisis tentang dampak dari penerapan teknik penerjemahan. Penelitian lain tentang penerjemahan majas dilakukan oleh Elaheh Fadase (2011). Penelitian ini menganalisis teknik penerjemahan majas, terutama majas metafora dan simile dalam novel karya George Orwell yang berjudul 1984 dan Animal Farm. Penelitian menganalisis teknik penerjemahan metafora dan simile dari bahasa Persia ke bahasa Inggris. Namun, di dalam penelitian ini, tidak disinggung mengenai dampak teknik terhadap kualitas terjemahan. Penelitian selanjutnya adalah Figurative Languages in Riordan’s the Lightning Thief and Their Translations in Pencuri Petir yang dilakukan oleh Ni Wayan Cintya Surya Pratami (2013). Penelitian ini menganalisis tipe-tipe majas yang terdapat dalam novel The Lightning Thief dan versi terjemahannya. Di dalam penelitian ini, peneliti juga menganalisis cara menerjemahkan bahasa kiasan dengan menggunakan konsep kesetaraan yang diungkapkan oleh Larson. Ada dua konsep kesetaraan leksikal, yaitu ketika konsep diketahui dalam terjemahan dan saat konsep tidak diketahui dalam terjemahan. Terdapat lima jenis bahasa kiasan yang memenuhi konsep kesetaraan berdasarkan teori Larson. Namun, di dalam penelitian ini tidak disinggung tentang kualitas terjemahan bahasa kiasan yang ada dalam novel terjemahannya.
9
Penelitian lain tentang majas dilakukan oleh Shafa Firda Nila (2013). Ia menganalisis majas perbandingan yaitu metafora, simile, serta personifikasi. Dampak teknik dalam kualitas juga diteliti, mencakup aspek keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan. Penelitian yang disusun oleh Lestari Ika Prastiwi (2015) menganalisis kategori majas hiperbola dalam novel The Lord of the Rings: The Two Towers, teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah, pergeseran majas yang terjadi sebagai akibat penerapan teknik penerjemahan, dan dampak pergeseran majas hiperbola terhadap kualitas terjemahannnya yang mencakup aspek keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan. Dalam penelitian ini, tidak disinggung tentang teknik penciptaan ungkapan hiperbola. Penelitian spesifik tentang penerjemahan satire belum terlalu banyak dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan antara lain pernah dilakukan oleh T. Durga Srinivasa Rao (2004). Ia menganalisis tentang masalah penerjemahan satire dari Bahasa Inggris ke Bahasa Telugu pada novel Arms and the Man dan sebaliknya, dari Bahasa Telugu ke Bahasa Inggris pada novel Knnynsulkam. Desertasi ini menganalisis penerjemahan satire dan prosedur penerjemahannya dalam kedua novel tesebut. Dalam penelitian ini, teknik tidak dibahas secara spesifik, dan analisisnya tentang satire masih terlalu umum. Penelitian tentang satire yang lain dilakukan oleh Khalid Abdullah Al-Shaikhli, Ph.D. dan Suhail Ahmad Hussain, M.A. pada tahun 2011. Ia menganalisis penerjemahan ekspresi satiris dalam Al Qur’an. Di dalam penelitian ini, peneliti menganalisis keunikan kosa kata yang digunakan, tipe satire, serta karakteristik satire. Penelitian ini juga menganalisis terjemahan satire di dalam Al-Qur’an dari bahasa sumbernya (Arab)
10
ke bahasa sasaran (Inggris) dari tiga terjemahan yang berbeda, untuk menilai kualitas terjemahan serta kesetiaan dan kemampuan penerjemah dalam mereproduksi ekspresi satire dalam bahasa sasaran. Penelitian ini menyinggung tentang karakteristik satire namun tidak membahas lebih jauh tentang strategi atau teknik penciptaannya. Penelitian lain dilakukan oleh Nihan Yetkin (2011). Ia menganalisis terjemahan subtitle humor satire dan ironi dari bahasa Inggris ke bahasa Turki dari perspektif linguistik sebagai bagian struktur budaya dan secara khusus mengkaji tentang perbedaan muatan humor serta hubungan antara efek kognitif yang diperoleh melalui asumsi awal dan kontekstualnya. Dalam penelitian ini, tidak dibahas tentang teknik penerjemahan. Berdasarkan review yang telah disebutkan, peneliti menemukan celah/gap yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan penelitian, yaitu sebagai berikut. 1. Analisis tentang kalimat yang mengandung ungkapan satire belum pernah diteliti secara sepesifik. 2. Analisis peranti retoris yang digunakan dalam penciptaan gaya bahasa belum banyak dilakukan. 3. Analisis teknik penerjemahan ungkapan satire serta dampaknya dalam aspek keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan, belum pernah dilakukan secara mendalam.
1.2. Batasan Masalah Penelitian ini menganalisis ungkapan satire dalam novel The 100 Year-OldMan who Climbed Out of the Window and Dissapeared serta terjemahannya yang
11
menggunakan judul yang sama. Penelitian ini dibatasi pada kalimat yang mengandung ungkapan satire, dengan satuan lingual yang diteliti berupa kalimat. Peneliti akan menganalisis kompleksitas kalimat yang mengandung ungkapan satire, tipe satire, penggunaan berbagai peranti retoris yang terdapat dalam ungkapan satire. Selain itu, peneliti akan menganalisis penerapan teknik penerjemahan dalam menerjemahkan kalimat yang mengandung ungkapan satire serta dampaknya terhadap kualitas terjemahan, dilihat dari aspek keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan.
1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, Penulis merumuskan masalah dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimana kompleksitas kalimat yang mengandung ungkapan satire dalam novel The 100 Year-Old-Man who Climbed Out of the Window and Dissapeared dan terjemahannya? 2. Apa saja tipe ungkapan satire yang terdapat dalam novel The 100 YearOld-Man who Climbed Out of the Window and Dissapeared dan terjemahannya? 3. Apa saja peranti retoris yang terdapat dalam kalimat yang mengandung ungkapan satire dalam novel The 100 Year-Old-Man who Climbed Out of the Window and Dissapeared dan terjemahannya?
12
4. Teknik apa saja yang digunakan dalam menerjemahkan ungkapan satire dalam novel The 100 Year-Old-Man who Climbed Out of the Window and Dissapeared? 5. Bagaimana dampak teknik penerjemahan terhadap kualitas terjemahan yang meliputi aspek keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan dalam novel terjemahannya?
1.4. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menganalisis kompleksitas kalimat yang mengandung ungkapan satire dalam novel The 100 Year-Old-Man who Climbed Out of the Window and Dissapeared dan terjemahannya. 2. Menganalisis tipe-tipe ungkapan satire dalam novel The 100 Year-OldMan who Climbed Out of the Window and Dissapeared dan terjemahannya. 3. Mengetahui
peranti
retoris
yang
terdapat
dalam
kalimat
yang
mengandung ungkapan satire dalam novel The 100 Year-Old-Man who Climbed Out of the Window and Dissapeared dan terjemahannya. 4. Menganalisis teknik penerjemahan yang digunakan untuk menerjemahkan kalimat yang mengandung ungkapan satire dalam novel The 100 YearOld-Man who Climbed Out of the Window and Dissapeared.
13
5. Mengetahui dampak diterapkannya teknik penerjemahan pada kualitas terjemahan kalimat yang mengandung ungkapan satire pada novel The 100 Year-Old-Man who Climbed Out of the Window and Dissapeared.
1.5. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai acuan pada penelitian-penelitian selanjutnya berupa hal-hal sebagai berikut. a. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi dalam bidang penerjemahan dan stilistika. Dalam hal penerjemahan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi tentang penerjemahan yang terkait dengan gaya bahasa, dalam hal ini satire. Penelitian ini akan memberikan gambaran tentang penerapan teknik yang sesuai untuk menerjemahkan
ungkapan
satire
dan
dampak
penerapan
teknik
penerjemahan dilihat dari aspek keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan. Dalam hal stilistika, penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi tentang kompleksitas kalimat yang mengandung ungkapan satire, tipe satire, serta peranti retoris yang terdapat dalam ungkapan satire.
14
b. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi penelitianpenelitian selanjutnya, terutama terkait dengan penerjemahan novel serta kajian stilistika. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada penerbit untuk dapat menghasilkan karya terjemahan yang lebih berkualitas, serta untuk penerjemah agar dapat lebih memerhatikan penerjemahan yang terkait dengan gaya bahasa.