BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian. memandang sastra sebagai aktivitas kejiwaan. Jenis sastra terbagi tiga yaitu puisi,

perpustakaan.uns.ac.id

digilib.uns.ac.id

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1.

Struktur Novel Pendekatan

psikologi

sastra

merupakan

suatu

pendekatan

yang

memandang sastra sebagai aktivitas kejiwaan. Jenis sastra terbagi tiga yaitu puisi, prosa, dan drama. Sebagai salah satu bentuk prosa, novel Sordam dapat dianalisis melalui pendekatan psikologi sastra. Di dalamnya dimuat berbagai aktivitas manusia berdasarkan pengalaman yang telah dilalui pengarang. Tokoh utama dalam novel Sordam yaitu Paltibonar, ibu, Diandra, dan Mary. Tokoh tersebut dianggap tokoh utama karena kemunculannya dalam novel terus-menerus. Kemunculan tokoh utama berpengaruh terhadap perkembangan plot. Kajian

psikologi

sastra

tidak

dapat

dilepaskan

dari

struktur

pembangunnya. Pengkajian psikologi sastra yang hanya terpusat pada aspek psikologi dikhwatirkan akan menjadi telaah psikologi saja. Oleh sebab itu, penelitian psikologi sastra harus didahului oleh teori-teori sastra yang akan menganalisis teks sastra berisi watak tokoh. Di bawah ini akan dipaparkan analisis struktur teks sastra berupa metode showing dan sudut pandang yang akan merujuk pada aspek karakter tokoh.

commit to user

48

49 digilib.uns.ac.id


a.

Perwatakan melalui Metode Telling dan Showing Umumnya tokoh imajinasi yang muncul dalam novel diciptakan

pengarang berdasarkan pengalaman. Tokoh diciptakan dengan berbagai karakter untuk menghidupkan cerita. Konflik yang muncul di antara tokoh dituntaskan dengan karakter yang terus berkembang dalam jiwa tokoh. Metode telling dan showing adalah dua metode yang digunakan pengarang untuk memaparkan karakter tokoh. Metode telling digunakan pada cerita lama yang karakter tokohnya langsung dapat dipahami melalui nama tokoh, karakterisasi melalui penampilan tokoh, dan pemaparan pengarang secara langsung. Kutipan dibawah ini merupakan penuturan langsung yang dilakukan dalam menggambarkan karakter tokoh Paltibonar. Tapi, ibu anak-anaknya sering mengeluhkan perangai Paltibonar karena menurutnya hanya senang bermain dan baca koran. Memang bila, diajak ke danau, kendati tak menolak, Paltibonar akan menghabiskan waktu dengan memain-mainkan ikan hasil tangkapan, ketimbang membantu dirinya menyebarkan jala dan bubu. Bila disuruh mengantar makanan ibu ke ladang, jarang pula ia tiba di tujuan sesuai yang diperintahkan. Di jalan setapak yang menanjak itu, ia akan berhenti manakala bertemu kawannya atau karena ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Tak jarang barang bawaannya tertinggal sementara ibunya sudah menunggu dengan perut kelaparan. (Suhunan Situmorang: 23-24) Pengarang memaparkan secara langsung watak tokoh Palti kecil yang senang bermain. Kebiasaannya mengabaikan perintah orang tua dianggap sebagai perbuatan anak nakal dan malas. Pada situasi ini pengarang berusaha mengiring perhatian pembaca terhadap komentarnya tentang karakter tokoh namun juga mencoba membentuk persepsi pembaca mengenai tokoh yang diceritakan. Watak commit to user



Mary juga dipaparkan secara langsung oleh pengarang seperti kutipan di bawah ini. Kendati belum setahun menikah, ia cukup paham karakter istrinya, hingga tidak ingin mengadu argumentasi yang ujungujungnya menciptakan ketegangan. Ia tahu, Mary adalah perempuan yang berpendirian kukuh terhadap apa pun yang sudah diputuskan, termasuk menikahinya beberapa bulan lalu. Selain komitmennya yang tinggi terhadap pekerjaan, hampir dalam semua hal ia hindari ketergantungan, pada dan dari siapa pun, termasuk pada suami sendiri. (Suhunan Situmorang: 320) Karakter Mary disebutkan pengarang dengan berpendirian kukuh. Pengungkapan karakter secara langsung ini memudahkan pembaca memahami watak tokoh tanpa harus menggunakan kemungkinan lain. Pemanfaatan metode telling tidak dapat dipercaya jika ia berdiri sendiri harus ada metode showing yang menguatkannya sehingga karakter yang dimunculkan bukan omong kosong. Metode kedua disebut metode showing yang muncul dalam novel atau cerita modern dengan memanfaatkan dialog dan tingkah laku untuk memahami watak suatu tokoh. Metode ini mengabaikan kehadiran pengarang sehingga para tokoh dalam karya sastra dapat menampilkan diri secara langsung melalui tingkah laku dan dialog mereka. Dengan demikian, pembaca dibebaskan pengarang dalam menganalisis watak masing-masing tokoh.

1) Dialog Watak tokoh Paltibonar dimunculkan dalam dialog sebagai seorang yang pembangkang, pemalas, dan tidak memiliki tata krama. Kehadirannya yang kurang diterima saudara kandungnya membuat ia sedikit jengkel. commit to user



Namun, kendati telah belajar keras menerima realitas yang getir, masih sulit baginya melupakan kata-kata sambutan dari kedua abangnya setiba ia tiba di Jakarta. “Walau kedudukanmu adik kandung, janganlah berlagak kayak tuan yang harus dilayani,” kata Bismar, abang sulungnya. “Pandai-pandailah mengambil hati kakakmu. Jangan sampai kesal karena ulahmu.” Marihot, abangnya nomor dua, berkata begini: “Jangan karena ulahmu keharmonisan rumah tangga kami terganggu. Kau harus tahu diri. Orang tua kita miskin. Kerjakan yang bisa kau kerjakan tanpa harus menunggu perintah kakakmu.” “Karena kau anak lelaki yang paling kecil, sebetulnya kami harapkan kau tinggal di kampung, supaya ada yang menjaga inong dan menunggu huta.” Kalau makan pikirkan juga yang belum makan. Belajarlah tata krama. Jangan bawa-bawa cara yang di kampung itu ke jakarta ini.” “Kau lebih enak dibanding kami. Dulu ketika merantau ke Jakarta ini, tak ada abang kandung kami.” “ Hidup di Jakarta sangat keras. Jadi, kau harus tahan banting. Kalau belum bisa kuliah, apa boleh buat. Tak jadi sarjana pun kalau kau tekun bisa juga sukses.” (Suhunan Situmorang: 42-43) Berbeda dengan tanggapan saudaranya. Paltibonar justru dianggap teman kuliahnya sebagai sosok yang dikagumi. Ketampanan fisik serta kemampuannya bersosialisasi menjadi daya tarik bagi teman kuliahnya. Hal ini dimunculkan pada dialog, “Belum kausadari juga kekuatanmu?” “Kekuatan apa?” “Dari dalam dirimu terpancar daya tarik bagai magnet. Kau tampan, cerdas, jujur, melakoni relasi sosialmu.” “Aaaa?” mulut Paltibonar menganga dengan mata membelalak. “Paduan semua itu membuatmu punya kekuatan yang dahsyat Palti. Tidak semua orang memilikinya.” (Suhunan Situmorang: 69) 2) Tingkah laku Paltibonar digambarkan pengarang sebagai sosok yang tegar. Rasa malu untuk menangis karena kesakitan ditonjolkan ketika ia terjatuh dari tangga. Perilaku maskulin tersebut dibuktikan melalui kutipan berikut, commit to user



Sial. Kaki kirinya terpeleset saat menuruni anak tangga dek yang basah. Tubuhnya terpelanting, tempurung kakinya membentur palka. Bungkusan-bungkusan berisi oleh-oleh ibunya ber keluaran dari kardus. Dengan menahan malu―karena merasa, lelaki tak sepatutnya jatuh―ia elus-elus dengkulnya untuk mengurangi gering yang sontak mengalir ke ubun-ubunnya. Tertatih-tatih ia kumpulkan bungkusan-bungkusan yang berserak. Tak ada yang peduli, kaki para penumpang bahkan menginjak bungkusanbungkusan yang berisi ikan teri, ikan asin dan sasagu. Paltibonar panik sambil menahan rasa sakit. Ia menggerutu kesal karena harus membawa oleh-oleh yang menurutnya tak bermutu ke Jakarta. Terbesit niatnya membuang sebagian, tapi segera terhenti setelah teringat pesan ibunya. (Suhunan Situmorang: 28) Sejak kecil Palti telah memiliki rasa sosial yang tinggi. ia pria yang memiliki karakter peka terhadap sesama. Wujud karakter tersebut muncul saat ia merasa iba terhadap Nai Rainim salah seorang warga kampung yang gila dan menghabiskan sisa hidupnya dengan dipasung. Rasa ibanya kembali muncul saat ia bertemu dengan Rainim putri Sulung Sebelum pertemuan disudahi, seusai makan siang bersama dengan hidangan sederhana yang dibayarinya, ia berjanji akan meminta bantuan dari sebuah serikat buruh yang baru muncul. Serikat buruh yang sependengarannya termasuk berani menghadapi penguasa dan tentara. Kembali ia tawarkan agar Rainim tinggal di paviliunnya, setidaknya untuk sementara. Rainim lagi-lagi menolak dengan caranya yang khas. Alasannya, tak sampai hati meninggalkan kawan-kawannya yang menderita sementara ia bisa tidur dan makan enak di paviliun si Uda. Sebelum berpisah, disanguinya rainim sekedar biaya hidup sebulan dua bulan. Rainim menerima dengan wajah haru. (Suhunan Situmorang: 124) Perwujudan watak sosial terlihat dari tingkah lakunya yang membantu Rainim dengan suka rela. Ia merasa iba dengan nasib keponakannya yang diperlakukan tidak adil di pabrik tempat ia bekerja. Tawaran untuk tinggal dan memberikan uang adalah bentuk sikap sosial terhadap sesama. Ia tidak tega commit to user



melihat keponakannya dirundung kesulitan di kota besar. Rasa sosial yang tinggi menjadikan Palti sebagai orang yang dermawan.

b. Perwatakan melalui Sudut Pandang Sudut pandang merupakan suatu cara pengarang memposisikan dirinya dalam cerita. Pengarang memposisikan diri melalui tiga cara yaitu sebagai orang pertama, orang ketiga, dan campuran. Sudut pandang dalam sebuah karya sastra berfungsi untuk menentukan tokoh utama dan tokoh bawahan. Sudut pandang juga menentukan persepsi dan penghayatan pembaca terhadap karya sastra. Hubungan psikologis pembaca terhadap karya terjalin dengan keberadaan sudut pandang. Sudut pandang dalam novel Sordam menggunakan sudut pandang “orang ketiga terbatas” . Penggunaan sudut pandang tersebut diketahui melalui cuplikan narasi berikut. Pergilah ia ke Anyer setelah Chen meminjamkan Toyota Starletnya. Di pantai itu tubuhnya terkulai di hamparan pasir ditemani mini compo dan sebotol Black Label. Sederet lagu kesukaan tiada henti mengalun, kian jauh mendamparkan Paltibonar ke lautan melankoli. (Suhunan Situmorang: 236) Pengarang mengacu pada semua karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga. Penggunaan kata “ia” adalah bukti bahwa pengarang di posisi orang ketiga. Pengarang bertindak sebagai orang yang mengamati apa yang dilakukan tokoh. “dia” Mahatahu. Penggunaan sudut pandang tersebut diketahui karena keseluruhan isi novel dinarasikan commit pengarang. to user



Andai sejak semula kau bebaskan diriku memilih kekasihku, takkan serunyam ini jalan hidupku. Tak kau sadari, dengan keinginanmu yang lugu itu, telah mengerangkeng hak-hak privatku sebagai manusia. Tak kau tahu yang yang terjadi dalam diriku. Andai bisa kau tengok isi hatiku, akan terlihat serpihan-serpihan hati yang remuk-redam karena keegoisanmu. Tapi ugh, alangkah tak bijaksana aku ini. Ia kusalah-salahkan akibat kegagalanku mengelola diri dan kehidupanku. Bukankah ia hanya menangis ketika kukatakan aku hanya tertarik menikah bila dengan Diandra? Bukankah ia tak pernah mengancam akan menerjunkan tubuhnya ke jurang yang dalam di dekat ladangnya, atau menceburkan diri ke tengah Danau Toba? Bukankah akulah yang kelewat khawatir disebut anak yang menyusahkan orang tua? (Suhunan Situmorang: 353) Dalam novel ini, pengarang sangat memahami segala keinginan, tindakan dan imajinasi tokoh. Tokoh Palti digambarkan sebagai sosok yang benar namun terkadang ia juga berubah pikiran dan memahami arti benar dan salah. Pada awalnya ia menyalahkan kegagalan membina rumah tangga disebabkan oleh ibunya namun kemudian ia menyadari bahwa kesalahan itu tidak layak dilimpahkan pada orang lain.

2.

Karakter Tokoh-tokoh Utama dalam Novel Karakter berasal dari bahasa Inggris yaitu character yang bermakna

watak, peran huruf. Hornby menyatakan bahwa karakter bisa berarti orang, masyarakat, ras, sikap mental dan moral, kualitas nalar, orang terkenal, tokoh dalam karya sastra, reputasi, dan tanda atau huruf (Minderop, 2011: 2). Karakter dapat merujuk pada dua konteks. Pertama merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita yang berkaitan dengan jumlah tokoh. Kedua merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, commit to user



dan prinsip-prinsip moral dari individu-individu tersebut yang berkaitan dengan watak tokoh. Novel Sordam karya Suhunan Situmorang memiliki empat tokoh penting yaitu Paltibonar, ibu, Diandra, dan Mary. Setiap karakter memiliki watak berbeda yang saling mempengaruhi satu sama lain. Konflik yang muncul disikapi dengan kepribadian yang dimiliki setiap tokoh. Analisis

psikologi

tokoh

menggunakan

teori

psikoanalisis

yang

dikemukakan Sigmund Freud. Sigmund Freud membagi tiga unsur kejiwaan yaitu id, ego, dan super ego. Id adalah aspek bawah sadar yang jika dipenuhi akan memberi rasa senang. Ego adalah aspek yang berhubungan dengan pelaksana dan pengontrol keinginan dari id. Super ego adalah sistem kepribadian yang mempertimbangkan baik buruk dalam suatu aturan tertentu. Analisis karakter tokoh dalam novel Sordam karya Suhunan Situmorang akan diteliti dengan pendekatan psikologi sastra Sigmund Freud. Penelitian akan difokuskan pada perkembangan karakter dan konflik yang terjadi karena faktor dalam diri dan faktor lingkungan. Berikut ini akan dipaparkan karakter tokohtokoh utama dalam novel Sordam.

a.

Paltibonar Paltibonar yang dipanggil akrab Palti adalah tokoh utama dalam novel

Sordam karya Suhunan Situmorang. Palti digambarkan pengarang sebagai anak desa yang berusaha memperbaiki tingkat sosialnya di Jakarta. Ia terlahir dari commit to user



keluarga Batak yang memiliki sikap gigih untuk mengejar mimpi sukses. Hal tersebut dibuktikan melalui kutipan berikut, Paltibonar tak peduli. Tekadnya dari Kisaran harus kuliah agar bisa jadi sarjana, supaya bisa memiliki pekerjaan yang menghasilkan banyak uang; yang akan merubah status dari yang hina-dina menjadi dipuja, juga untuk menyenang-nyenangkan sang bunda. Segala upaya perlulah dilakukan, jualan koran dijalanan kebetulan paling mudah dikerjakan, kendati melelahkan. Seperak demi seperak ia kumpul upahnya. Tak lupa ia doktrin dirinya agar tak mudah menyerah dan keletihan bukan hal penting yang perlu dikeluhkan. Dan gengsi, bukan hal yang dapat meruntuhkan harga diri. Keduanya beda. Gengsi dan harga diri, tak sama. (Suhunan Situmorang: 47) Sejak dari Sumatera, Palti bertekad untuk melanjutkan sekolahnya di Jakarta. Keinginan Palti untuk bersekolah merupakan wujud motif ekonomi. Ia ingin memperbaiki status sosial yang pada awalnya miskin menjadi berada. Kedua saudaranya yang tinggal di kota metropolitan diharapkan dapat membantunya untuk masuk ke salah satu universitas di Jakarta. Keinginannya untuk bersekolah ternyata tidak didukung saudaranya sehingga terjadi kontradiktif antara keinginan dan kenyataan. Keinginan kuat yang tidak terpenuhi membuat Palti memendam amarah yang semula telah ada sejak ia tiba di Jakarta. Ungkapan Palti mengenai kekesalan terhadap kedua saudaranya terpapar pada kutipan berikut. “Kok, inang masih nekat sih mengirimmu?” Saat itu Paltibonar merasa kedatangannya ke Jakarta bukan karena kiriman ibunya dan bukan pula untuk merampas sebagian gaji abangnya. Lalu dengan kikuk ia serahkan oleh-oleh dari ibunya yang susah payah ia perjuangkan di kapal Tampomas, tetapi cukup diamankan si Bibi di dapur, tanpa pernah ditanya atau dilongok sang kakak ipar isinya. Terbayang sejenak kesedihannya tatkala mengurban ke Jakarta. (Suhunan Situmorang: 101) Keinginan yang tidak tercapai menghasilkan rasa tidak senang dalam diri commit to user Paltibonar. Tercapainya hidup layak melalui gelar sarjana merupakan perkiraan



Palti yang ia harapkan berjalan baik. Ego yang tidak didapatkan dengan mudah tidak membuat id yang dimiliki Palti berkuasa. Palti memilih untuk berusaha sendiri dengan menjadi penjual koran. Gelar sarjana dicapai Palti dengan mendapat nilai yang memuaskan dari kampusnya. Setelah menyelesaikan kuliahnya ia pun memulai karirnya menjadi pengacara di di kantor hukum Suwoto Manurung Sumampow. Ia telah bergabung dengan kantor hukum tersebut sejak ia kuliah. Di tempat kerja tersebut, ia menemukan berbagai kejanggalan hukum yang sulit diterimanya. Hal tersebut muncul dalam ungkapan berikut. Mulutnya sampai kelelahan menjelaskan bahwa berita acara pemeriksaan terkategorikan dokumen negara, yang tak bisa diubah-ubah semaunya, apalagi bila buktinya terpenuhi pula. Kalau tak setuju, bisa dilawan dipersidangan. Keluarga kliennya itu tidak puas dan kemudian menuduhnya bukan pengacara hebat, sebab kata mereka, pengacara Anu bisa melakukan. Ia naik pitam dan meminta agar pengacara tersebut dihadirkan. Merasa tidak dipercayai lagi-karena hanya kepercayaanlah modal utama pengacara-ia tegaskan agar pengacara yang mengaku bisa mengganti berita acara itulah selanjutnya yang jadi kuasa hukum kliennya. “Ada dua kemungkinan bila permintaan semacam itu kuturuti,” ucapnya emosional. “Aku bisa dibentak penyidik seraya mempertanyakan integritas-ku, dan telah ikut memerkosa kaedah hukum itu...” (Suhunan Situmorang: 223) Pelanggaran yang dilakukan rekannya terhadap aturan hukum membuat Palti gusar. Ia tidak menyetujui hal tersebut karena bertentangan dengan hati nuraninya. Uang yang ditawarkan kepadanya juga tidak membuat ia goyah. Pada awalnya ia memilih menjadi pengacara agar dapat memiliki banyak uang namun setelah mengetahui bahwa uang yang didapat tidak semua dari cara yang benar maka ia memilih untuk menjadicommit pengacara idealis. Pada tahap ini, id dan ego to user



dikuasai dengan baik oleh super ego. Pelanggaran aturan dikhawatirkan Palti dapat mengakibatkan ia diremehkan oleh beberapa kalangan. Kemunculan rasa cemas (anxitas) diakibatkan karena tokoh merasakan bahaya di suatu lingkungan jika ia menuruti id. Anxitas diikuti oleh perasaan tidak nyaman yang akhirnya mengakibatkan orang tersebut takut, khawatir, atau tidak senang. Kecemasan yang dirasakan Palti merupakan bentuk anxitas objektif. Ketertarikan Paltibonar terhadap perempuan etnis Jawa menjadi konflik selanjutnya. Keluarga Paltibonar dan Diandra tidak ingin memiliki menantu yang berasal dari etnis lain. Hal ini terlihat pada kutipan berikut. Paltibonar mengangguk, walau bukan hanya keberatan ibu kekasihnya saja yang menjemba pikirannya. Juga seorang perempuan tua yang juga amat disayanginya, yang tak jua siap bermenantukan perempuan yang bukan berasal dari etnisnya. Yang selalu beralasan tak bisa bercakap-cakap dan adat mereka begitu berbeda. O, bahasa. O, adat budaya, Alangkah pentingnya bagi manusia. (Suhunan Situmorang: 125) Krech memaparkan bahwa rasa cinta yang dihalang-halangi akan mempertebal perasaan mereka yang bercinta (Minderop, 2010: 45). Begitu juga pasangan Palti dan Diandra yang semakin ditolak, mereka semakin berusaha untuk diterima oleh keluarga masing-masing. Kegigihan mempertahankan cinta akhirnya terhenti ketika Diandra tidak mampu menolak dijodohkan dengan seorang Perwira. Penguasaan super ego yang kuat terhadap id dan ego mengakibatkan Palti mengalami ketidaksenangan. Ia terhalang untuk menikahi kekasihnya karena takut menyakiti ibunya. Kesedihan Palti karena harus kehilangan perempuan yang sangat dikasihi mengakibatkan depresi dan putus asa. Rasa sedih yang mendalam terganti dengan perasaan commit to user



jengkel. Penyangkalan terhadap rasa sedih yang dialaminya mengakibatkan reaksi emosional. Ia merasa telah dikelirukan perasaan yang kelewat yakin dengan cinta kekasihnya. Ia pun bersumpah akan menghadapi kepergian kekasihnya dengan nalar, dengan akal sehat, akan tegar, dan segera mencari wanita pengganti. Patah hati? O, tak sampai. Itu cermin kelemahan dan hanya terjadi dalam kisah fiksi. Kan kucari wanita pengganti, akan bercinta sebanyak mungkin. Takkan kupedulikan lagi tangis ibuku. Aku akan hidup bebas, merdeka, tak diikat adat, tak dikurung normanorma yang hanya mengada-ada (Suhunan Situmorang: 236-237) Pengkhianatan yang dilakukan Diandra merupakan kesedihan terdalam bagi Palti. Ia berusaha melupakan Diandra dan menjalin hubungan dengan beberapa wanita. Disisi lain, ia juga merasa jenuh dengan kantor hukum tempatnya bekerja. Perbedaan pandangan membuat ia memperoleh komentar pedas dan berselisih dengan rekan kerja. Palti memutuskan untuk berhenti dari kantor tersebut dan melamar kerja di kantor hukum Handoko & Hardjanto. Tindakan yang dilakukan Palti merupakan efek rasa sedih yang selalu ia pendam. Rasa sedih yang tertunda (delayed grief) umumnya tidak menunjukkan reaksi secara langsung. Reaksi itu dapat muncul berminggu-minggu bahkan bertahun-tahun setelah kejadian. Id sebagai bentuk alam bawah sadar tokoh tidak muncul dan ia ditekan oleh ego dengan memilih keluar dari kantor hukum tersebut. Sejak berakhirnya hubungan Palti dengan Diandra, Palti semakin akrab dengan beberapa wanita. Salah satu wanita yang mempesona Palti adalah Mary. Wanita keturunan Inggris ini menjalin hubungan dengan Palti lebih dari rekan kerja. Hubungan yang mereka lakukan commitakhirnya to user menimbulkan masalah baru bagi



Palti. Mary memberitahukan bahwa ia sedang mengandung anak Palti. Kecemasan (anxitas) kembali muncul dalam diri Palti. Hal ini terlihat pada kutipan berikut. Paltibonar lunglai di ruang toilet yang mewah itu. Persendian tulang-tulangnya seperti berpatahan seketika. Pikirannya berkecamuk dahsyat. Wajah ibunya, Mary, janin itu, Diandra, seperti berdesakan memenuhi benaknya. Buminya mendadak gulita. “Akhirnya hanya seperti ini,” desisnya. Ternyata, ibu anakku memang bukan Diandra.” (Suhunan Situmorang: 297) Kabar yang mengejutkan dari Mary tidak memberikan rasa bahagia dalam diri Palti. Rasa bersalah terhadap ibunya dan rasa cinta yang belum terhapus membuat ia frustasi. Ketakutan menyakiti perasaan ibunya yang sebelumnya menolak memiliki menantu berkebangsaan asing serta rasa sedih yang kembali muncul karena tidak dapat menikahi Diandra. Keputusan Palti menikahi Mary tanpa menanyakan pendapat ibunya menjadi hal yang harus dipilihnya. Rasa tanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya mendominasi super ego. Ia menikahi Mary yang juga tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya. Akhirnya, mereka menikah di Singapura tanpa dihadiri siapa pun. Kemandirian dan kecerdasan yang dimiliki Mary membuat Palti menikmati pernikahan mereka. Kelahiran putranya yang diberi nama Gorga menambah kebahagian mereka. Palti semakin bergairah bekerja untuk masa depan anaknya. Saat usia pernikahannya memasuki usia ketiga, Palti kembali bertemu dengan Diandra. Perselingkuhancommit tidak todapat user dielakkan. Cinta Palti kepada



Diandra tidak tertahan dan Diandra menyambutnya dengan suka cita. Hubungan terlarang tersebut diungkapkan dalam kutipan di bawah ini. Dorongan rindu mengajak kelana ke tempat yang lebih jauh; dan lift hotel itu pun melesatkan tubuh mereka ke lantai delapan. Maka, pada lepas senja hari kamis itu, tubuh suami milik perempuan lain dengan bebas menggumuli tubuh istri milik lelaki lain, membuat kamar hotel tak lagi hening. Ada percakapan yang terpotong; ada tetesan air mata; ada kepasrahan untuk menyerahkan. (Suhunan Situmorang: 340-341) Tindakan yang dilakukan Palti terhadap Diandra merupakan wujud penguasaan id terhadap ego dan super ego. Tokoh Palti yang tidak mampu mengendalikan impuls-impuls id dan mendorong ego kepada hal-hal yang bersifat amoral mengakibatkan kesadaran dirinya hilang. Perselingkuhan yang dilakukan Palti dengan mantan kekasihnya Diandra jika ditinjau dari psikoanalisis menunjukkan adanya konflik di antara tiga sistem kepribadian. Jadi, id, ego, dan super ego tidak berfungsi secara harmonis karena salah satu unsur yaitu id memegang peranan besar. Perasaan cinta yang besar telah mendorong energi psikis Palti sehingga tidak mempertimbangkan norma yang ada dalam masyarakat. Perselingkuhan Palti akhirnya diketahui Mary. Penjelasan dusta yang dilakukan Palti tidak mampu menyelamatkan pernikahannya. Mary memutuskan berpisah dan meninggalkan Palti. Perceraian yang dialaminya membuat ia kembali jatuh dalam kesedihan. Rasa bersalah, penyesalan, sedih dan kecemasan bercampur baur dalam dirinya. Kegagalan yang ia alami sulit diterimanya sebagai kesalahannya sendiri. Ia kemudian menyalahkkan ibunya yang tidak merestui hubungannya dengan Diandra. Halcommit ini digambarkan to user dalam kutipan berikut.



Andai sejak semula kau bebaskan diriku memilih kekasihku, takkan serunyam ini jalan hidupku. Tak kau sadari, dengan keinginanmu yang lugu itu, telah mengerangkeng hak-hak privatku sebagai manusia. Tak kau tahu yang terjadi dalam diriku. Andai bisa kau tengok isi hatiku, akan terlihat serpihan-serpihan hati yang remuk karena keegoisanmu. Tapi ugh, alangkah tak bijaksana aku ini. Ia kusalah-salahkan akibat kegagalanku mengelola diri dan kehidupanku. Bukankah ia hanya menangis ketika kukatakan aku hanya tertarik menikah bila dengan Diandra? Bukankah ia tak pernah mengancam akan menerjunkan tubuhnya ke jurang yang dalam di dekat ladangnya, atau menceburkan diri ke tengah Danau Toba? Bukankah akulah yang kelewat khawatir disebut anak yang menyusahkan oarang tua? (Suhunan Situmorang: 353) Kemarahan adalah bentuk emosi yang paling mendasar (primary emotions). Kemarahan dapat muncul jika ada tindakan yang memancingnya dan mengakibatkan naiknya ketegangan. Tokoh Palti mengalami emosi dalam bentuk kemarahan. Ia tidak mengharapkan terjadinya perceraian dalam rumah tangganya. Perasaan cemas karena mengalami konflik dalam rumah tangga dan ketakutan mengulang tindakan yang dapat mengecewakan ibunya membuat Palti berusaha melakukan pertahan diri melalalui pengalihan (displacement). Ia menyalahkan ibunya yang tidak merestuinya dengan Diandra sehingga pernikahannya yang tidak didasari cinta harus berakhir. Ia juga berusaha melakukan pembenaran diri bahwa jika ia menikah dengan Diandra maka kegagalan dlam rumah tangga tidak terjadi. Pada paragraf selanjutnya, Palti mengungkapkan pernyataan berbeda. Ia cepat menyadari bahwa tindakan menyalahkan orang lain bukan tindakan yang bijak. Ia menyadari bahwa yang terjadi pada dirinya merupakan kesalahan yang disebabkan karena pilihannya sendiri. Tindakan ini muncul karena tokoh ini commit to user



memiliki rasa cinta pada ibunya. Ia melindungi ibunya dengan berusaha mematuhi keinginannya walau pada akhirnya ia tidak mampu menuruti keinginan tersebut. Pembenaran diri terhadap perselingkuhan pun ia paparkan pada temannya seperti yang tampak pada kutipan dibawah ini. “Aku sependapat. Tapi maksudku, di dunia ini begitu banyak lelaki berselingkuh, herannya aman-aman saja. Giliran aku melakukan langsung fatal.” “Perselingkuhan adalah pengkhianatan. Tak usah membuat alasan pembenaran.” “Aku tahu, aku tahu, walau masih penasaran. Nasibku dekat sekali dengan kesialan.” (Suhunan Situmorang: 357) Keinginan yang ada pada alam bawah sadarnya yaitu semua yang berselingkuh seperti dirinya layak mendapat ganjaran. Ia menyesali nasibnya yang naas karena perselingkuhannya diketahui Mary. Mekanisme pertahanan diri ini berbentuk rasionalisasi (rationalization). Rasionalisasi adalah suatu sikap yang berusaha memberikan alasan yang dapat diterima atas suatu prilaku. Saat Palti tiba di kota Jakarta ia mempunyai prilaku yang berbeda setelah ia menjadi perantau yang sukses. Hal ini tampak pada kutipan berikut. ..... Semua tempat duduk di bus kota bernama Medal Sekarwangi itu sudah diduduki penumpang. Ia berdiri di belakang, berdesakdesakan dengan penumpang lain. Para penumpang sudah kepanasan tapi belum terlihat tanda-tanda bus rongsok itu akan meninggalkan terminal. Orang-orang tampak gencar mengipasngipaskan koran. Tiba-tiba ia rasakan impitan dua tubuh dan jari-jari tangan bergentayangan di kantong belakang celana jinsnya. Ketika ia toleh sekadar ingin tahu kenapa pantatnya diraba-raba, satu pria berambut ikal tak beraturan, berkulit gelap, dengan mata melotot menghardik, ”Apa lihat-lihat?!” Paltibonar ciut, walau dompet hitamnya yang sudah mengelupas kulitnya berhasil ia amankan. Lapar, panas, berdesak, beringas! Jakarta, ternyata bukan hanya Monas. commit to user (Suhunan Situmorang: 39-40)



Kutipan di atas menyatakan bahwa tidak ada keberanian Palti memprotes meski di dalam hati ia dongkol terhadap pelayanan bus yang tidak nyaman. Pada situasi yang berbeda Palti justru mampu memprotes meski protesnya tidak ditanggapi lawan bicaranya secara positif. Hal ini dipaparkan pada kutipan berikut. “Tomok-tomok! Teriaknya seraya mengeluarkan kepalanya dari kabin. Walau diketahuinya persis tak ada lagi tempat duduk yang tersisa, masih saja calon penumpang dipanggilinya. Paltibonar kesal melihat ulahnya, mungkin karena harus duduk berimpitan di jok depan. “Mau ditaruh dimana lagi kalau ada penumpang yang naik?” tanyanya rada ketus. “Gampang itu. kalau mau, kan bisa menggantung, sahut si supir enteng. (Menggantung, maksudnya, bergelantungan di pintu samping kendaraan). “Kalau penumpangnya perempuan, apa mau bergelantungan?” “ Kenapa tidak? Daripada ketinggalan kapal?” (Kapal yang dimaksudkannya ialah kapal kayu yang akan menyebrangkan penumpang ke dermaga Tigaraja, Parapat). “Kalau jatuh?” “Ya berobatlah ke rumah sakit!” “Ooo begiitu?” “Ya begitulah. Terus mau apa lagi?” (Suhunan Situmorang: 194) Keberanian Palti untuk mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dapat diakibatkan karena ia menyadari bahwa ia berada di daerah tempat ia dibesarkan. Ia merasa aman jika terjadi hal yang tidak terduga seperti perkelahian jika protesnya menyinggung pihak lain. Pada situasi demikian, ego menguasai id dengan baik.

b. Ibu Ibu merupakan tokoh utama. Ia wanita desa yang berpikiran sederhana dan commit to user pekerja keras. Ia merupakan orang yang berpengaruh dalam hidup Palti. Sebagai



anak, Palti selalu mempertimbangkan perasaan ibunya sebelum melakukan suatu tindakan. Karakter tokoh ibu sensitif. Hal ini terlihat pada ujaran berikut. “Tapi aku tak mau mendapat istri seperti dirimu.” Paltibonar mengucapkannya dengan mimik menggoda. Kening bundanya sontak mengerut. ”Tentu saja. Mana mungkin lagi kau mau beristrikan perempuan sekolot aku ini. Selain tidak berpendidikan dan hanya mengerti pekerjaan tani, tidak pula cantik.” (Suhunan Situmorang: 181) Pembicaraan antara Paltibonar dan ibunya mengindikasikan bahwa ada rasa tersinggung dan sedih karena mendapat hinaan dari anaknya sendiri. Keingianan mendapat pujian merupakan keinginan bawah sadar. Ibu bertindak sebagai orang yang selalu membanggakan putranya, Ia berharap mendapat perlakuan sama dari anaknya pula. Ungkapan kesediahan itu muncul melalui katakata kolot, tidak berpendidikan, pekerjaan kelas rendah, dan jelek. Keinginan tokoh ibu terhadap Paltibonar yaitu menikah dengan gadis yang berasal dari suku Batak. Permintaan tersebut bukanlah permintaan yang mudah untuk dikabulkan karena Paltibonar telah mencintai gadis etnis Jawa. Permohonan Paltibonar agar menerima gadis pujaan hatinya mendapat tentangan dari ibunya. Pada situasi demikian sikap yang menonjol dari ibu adalah keras kepala. Ia kuat pada pendiriannya bahwa Palti harus menikah dengan gadis Batak. Hal ini tersurat pada kutipan berikut. “Tapi, kalau memang tak ada boru Naibaho yang lengket di hatimu, carilah gadis keturunan Samosir ini,” lanjut ibunya. “Di Jakarta, banyak juga kan orang Samosir? Boru Silalahi, Sinaga, Limbong, Sagala, Pandiangan, Nainggolan Pakpahan, Sihotang, atau Situmorang? Pilihlah sesuka hatimu.” Yang ditanya tak jua memberi tanggapan. Keningnya saja masih terus dipijatinya. Di benaknya, Paltibonar kemudian berkeluh: Terhadap Perempuan Batak sajato harus commit user diseleksi berdasarkan



marga, asal usul, dan wilayah. Konon pula Diandra yang tak bermarga itu. “Sayang sekali Si Juny Naibaho sudah kawin,” Sambung ibunya tanpa ditanya.” Padahal dulu kuharap sekali dia jadi menantuku. Sebelum kawin, dia selalu menanyakanmu. Setiap libur kuliah, kami sering jumpa di pasar. Semakin cantik saja dia, Palti.” (Suhunan Situmorang: 182-183) Kutipan di atas menyiratkan bentuk pemaksaan ego tokoh ibu terhadap Palti. Awalnya tokoh ibu menginginkan menantu bermarga Naibaho namun kemudian ia mengungkapkan apa pun marganya tidak jadi masalah. Pengungkapan hal tersebut dilakukan untuk membujuk anaknya yang telah ia sadari bahwa kata-katanya tidak dihiraukan. Tokoh ibu mulai menyadari bahwa keinginannya untuk memiliki menantu dari etnis Batak tidak akan terwujud. Ketakutan baru yang lain pun muncul. Ia khawatir jika anak lelakinya tidak mau berumah tangga lagi. Hal ini tergambar pada kutipan berikut. “Apakah pacarmu yang boru Jawa itu masih kau teruskan?” Dada Paltibonar berdebar lagi. Untuk menormalkan, ia pandangi langit biru sambil menghirup udara dalam-dalam, berulang-ulang. “Setelah kupikir-pikir dari pada tidak kawin, kurelakan saja kau menikahinya. Selama ini aku selalu berharap, kau akan menikah dengan boru Naibaho, atau setidaknya boru dari Samosir ini. Tapi kalau memang tidak bisa lagi, sudahlah, Amang. Yang penting kau kawin.” (Suhunan Situmorang: 263) Keberadaan id dan ego di dalam diri ibu mulai melemah sedangkan superego menduduki posisi yang kuat. Ibu lebih memilih untuk tidak bermenantu Batak dari pada melihat anaknya tidak menikah. Selain itu ada keinginan lain dari tokoh ibu yaitu kematiannya akan mencapai status Saurmatua jika telah menikahkan seluruh putra putrinya. commit to user



c. Diandra Diandra adalah perempuan yang dicintai Paltibonar. Ia berasal dari etnis Jawa. Perbedaan kultur budaya membuat keduanya tidak bersatu. Diandra memiliki karakter perempuan cerdas. Ia sangat mencintai Palti. Sejak awal ia telah menyadari bahwa keduanya akan sulit bersatu. Hal ini ditemukan pada ungkapan Diandra berikut. Diandra menghela nafas. Dalam. Tak seberapa lama kemudian bibirnya merekah perlahan “Aku cemas dengan perasaanperasaan yang tumbuh lebat di dalam hatiku.” Ia tak meneruskan. Disekanya kening dan pipinya yang basah karena saputan hawa panas, “Andai hidup ini bisa diatur sekehendak hati, andai perpisahan tak pernah menyebabkan penderitaan bagi jiwa dan batin.” (Suhunan Situmorang: 81-82) Jika diamati perkataaan Diandra tersebut, pembaca akan memahami bahwa Diandra memiliki kecemasan (anxiety) terhadap perpisahan. Kemunculan ini disebabkan adanya pengaruh alam bawah sadar yang bekerja. Diandra telah memahami watak orang tuanya yang tidak bisa menerima menantu Batak. Ego untuk memiliki Paltibonar sulit diwujudkan karena munculnya kecemasan dan takut mengalami masa sedih. Diandra tumbuh di keluarga terpandang. Ia memiliki pribadi yang sederhana dan patuh pada perintah orang tua. Sikapanya itu ditonjolkan dengan menolak beberapa keinginan Paltibonar yang dapat menyakiti orang tuanya. Hal ini terlihat pada kutipan berikut. “Mungkin,mungkin,” Paltibonar tergagap. “Tapi kedatanganku sungguh-sungguh bersama itikad baik, kan? Buktinya kita sudah cukup lama bercinta tapi masih aman, dan belum menikah secara diam-diam.” “Lagi pula aku takkan mau bila to kamu commit userajak kawin secara diamdiam. Papaku pasti kecewa.”



“ jadi kamu tidak akan mau bila sautu saat kuajak mangalua?” “Apa artinya tuh?” “Kawin lari.” “Enggak, ah. Apa indahnya menikah secara diam-diam. Perkawinankan cuma sekali seumur hidup, Palti” (Suhunan Situmorang:167) Penolakan Diandra terhadap keinginan Palti disebabkan munculnya ketakutan (anxiety) menyakiti orang lain. Ketakutan ini muncul karena tokoh juga memiliki rasa cinta terhadap orang tuanya. Id terkendali dengan baik karena ego dan super egonya menguasai wilayah yang lebih besar. Asmara yang tidak direstui orang tua membuat Diandra berkeinginan kawin lari dengan Paltibonar. Ia tidak mempertimbangkan adat yang berlaku. Keinginan dimiliki oleh kekasihnya disampaikan melalui dialog di bawah ini. Diandra menatapnya, “Bawa saja aku pergi ke mana pun kamu ingin membawaku. Usia kita lebih dari cukup untuk mengambil keputusan,” ucapnya seraya mengelus-elus pipi Paltibonar. “Apakah kita mau berpisah hanya karena perbedaan asal usul dan budaya?” (Suhunan Situmorang: 120) Kutipan di atas menggambarkan rasa takut Diandra terhadap perpisahan. Posisi keberadaan id dan ego memiliki energi kuat dalam diri Diandra sehingga fungsi superego melemah. Ia tidak peduli terhadap norma yang ada. Ia menginginkan kesenangannya terwujud. Paltibonar menjadi penghalang terhadap id dan ego Diandra. Ia menolak untuk menikahi Diandra dengan cara tidak terhormat. Kesenangan yang tidak terwujud memunculkan rasa benci. Akhirnya ia memutuskan untuk menikah dengan Prasasto dan meninggalkan Palti yang menurutnya tidak tegas. Hal ini tersurat pada kutipan berikut. commit to user



“Aku kecewa melihat kebimbanganmu, sedangkan aku telah siap meninggalkan kedua orang tuaku. Dulu pernah kamu sesalkan Bang Adian yang tak berani menikah dengan cara mangalua, nyatanya kamu...” (Suhunan Situmorang: 341) Karakter tokoh Diandra yang berani mengambil keputusan dan tidak sabar terhadap kelambanan Paltibonar terlihat pada kutipan di atas. Rasa kecewa karena keputusannya tidak didukung Paltibonar membuat ia memutuskan menikah dengan laki-laki lain. Ia memutuskan meninggalkan kesenangan yang menjadi kemauannya. Id dan ego yang tidak terpenuhi mengakibatkan tokoh melakukan hal yang berlawanan dengan keinginannya.

d. Mary Pada Novel Sordam Karya Suhunan Sitrumorang Mary menjadi gadis satu-satunya yang menjalin hubungan dengan Paltibonar kemudian menikahinya. Ia seorang wanita berkebangsaan Inggris. Perbedaan budaya justru menjadi daya tarik bagi Paltibonar. Mary dikenal Paltibonar sebagai perempuan berpendirian keras dan mandiri. Hal ini terpapar pada kutipan berikut. Kendati belum setahun menikah, ia cukup paham karakter istrinya, hingga tidak ingin mengadu argumentasi yang ujungujungnya menciptakan ketegangan. Ia tahu, Mary adalah perempuan yang berpendirian kukuh terhadap apa pun yang sudah diputuskan, termasuk menikahinya beberapa bulan lalu. Selain komitmennya yang tinggi terhadap pekerjaan, hampir dalam semua hal ia hindari ketergantungan, pada dan dari siapa pun, termasuk pada suami sendiri. (Suhunan Situmorang: 320) Tokoh Mary adalah gambaran wanita modern dengan kecintaannya terhadap pekerjaan. Ia kerap berpergian ke luar negeri untuk mengevaluasi commit to user proyek-proyek yang didanai Bank Dunia. Pekerjannya tersebut membuat ia harus



sering meninggalkan suaminya. Ketika perutnya semakin membesar, ia tetap gigih dalam bekerja. Motif ekonomi yang membuat Mary merepresi sebagian kecenderungan untuk bersenang-senang dan memuaskan diri. Dan, walau tak selalu diungkapkan, ia sungguh kagum melihat ketangguhan fisik Mary. Dengan perut yang semakin membuncit, istrinya itu tetap bekerja, berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, dari satu negara ke negara lain, tanpa keluhan. Agaknya, inilah salah satu kelebihan perempuan Barat, pikirnya. Memang sejak menikah dan lebih sering hidup terpisah, tak sekali pun Mary mengeluh akibat kehamilannya. (Suhunan Situmorang: 217-218) Pada dasarnya, Mary menikmati pekerjaannya. Represi terhadap ‘prinsip kenikmatan’ oleh ‘prinsip realitas’ yang berlebihan akan menimbulkan sakit (Eagleton, 2010: 220). Pekerjaan telah menjadi kebutuhan bagi Mary. Sakit yang dialami Mary karena ia lebih menikmati pekerjaan dibanding duduk santai menunggu kelahiran bayinya. Mary akan beradu argumen jika dilarang oleh Palti. Mary memiliki karakter yang mandiri. Ia tidak suka membebani orang lain dalam masalahnya. Saat ia menghadapi konflik rumah tangga bersama Paltibonar ia tidak memberitahu keluarganya. Sikap ini terlihat melalui kutipan berikut. Paltibonar kemudian menelepon adik iparnya, Cathy Rose, yang tinggal di Brisbane. Pengakuan Cathy, sama sekali mereka tak tahu persoalan di rumah tangga Mary dan amat kaget mendengar gugatan tersebut. “Seingatku, ia tidak pernah mengatakan apa-apa. Bahkan tak pernah mengungkapkan ada kisruh di rumah tangga kalian,” tandasnya. Paltibonar menghela nafas. Panjang. “Selama di Southampton, ia hanya risau karena Gorga sempat demam dan dua hari panas tinggi,” lanjut Cathy. “Tapi memang selama di sana ia sering murung dan tak banyak bicara. Kami pikir, karena kamu tak ikut. Bagaimana ini bisa terjadi, Palti?” Yang ditanya hanya melongo sembari memegangi gagang telepon. (Suhunan Situmorang: 356) commit to user



Keinginan Mary untuk tidak bercerita kepada keluarganya mengenai konflik rumah tangganya karena ia menikahi Palti tanpa restu. Sebagai wanita yang mandiri, ia merasa wajib menyelesaikan masalahnya tanpa campur tangan keluarganya. Sikap murung yang muncul pada tokoh disebabkan kesedihan karena pengkhianatan. Ia memutuskan bercerai dan meninggalkan suaminya dengan membawa anak mereka. Kondisi yang penuh tekanan membuat id dan super ego Mary tidak seimbang. Ego yang timbul adalah keinginan berpisah dengan suaminya. Ia tidak mampu berpura-pura bahagia di depan keluarganya dan berusaha menutupi masalah rumah tangganya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keempat tokoh memiliki karakter berbeda. Karakter itu ditemukan setelah melihat sikap setiap tokoh dalam menghadapi konflik. Tokoh Palti merupakan tokoh utama yang dipengaruhi beberapa tokoh lain. Ibu, Diandra, dan Mary terlibat dalam beberapa konflik yang mengikutsertakannya sehingga keempat tokoh ini dapat disebut sebagai tokoh utama. Tokoh Palti memiliki karakter yang kompleks antara lain pembangkang, pemalas, tidak tahu tata krama, pandai bergaul, tegar, ambisius, memiliki rasa sosial tinggi, gigih, idealis, tanggung jawab, penurut, tidak setia, dan tegas. Ibu berwatak keras kepala, sensitif dan rendah diri. Karakter demikian muncul karena ibu memiliki pendidikan rendah dan sejak berumah tangga ia menjadi tulang punggung keluarga. Ia selalu menginginkan yang terbaik bagi keluarganya sehingga terlihat sebagai sosok keras kepala. Tokoh lain adalah Diandra, ia anak commit to user



semata wayang keturunan Jawa. Karakter yang tampak dari tokoh ini adalah karakter patuh pada orang tua dan kurang sabar. Karakter Mary yaitu mandiri, pekerja keras, dan teguh pendirian. Ia menghindari berbagai tindakan yang menyusahkan orang di sekitarnya. Semua kegiatan yang masih mampu ia tangani tidak dibebankan pada orang lain.

3.

Relevansi Pengkajian Novel Sordam dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia Psikologi sastra merupakan salah satu jenis kritik sastra yang mengamati

aspek kejiwaan pengarang, pembaca, atau tokoh yang ada di dalam karya sastra. Pengamatan prilaku dilakukan dengan mencermati tindakan manusia yang terus berulang. Prilaku yang tercermin lewat ucapan merupakan data atau fakta empiris yang menjadi petunjuk mengenai keadaan jiwa atau mental seseorang (Siswantoro, 2005: 27). Ketelitian mencermati pola tingkah laku manusia akan mengahasilkan temuan-temuan baru yang belum tergali. Novel adalah salah satu jenis karya sastra berbentuk prosa. Penciptaan seni bahasa ini berkaitan erat dengan pengalaman pribadi pengarang. Muatan yang terkandung dalam karya mirip seperti dunia nyata dengan pengarang sebagai penentu akhir cerita. Karakter manusia didapati pula di dalam novel. Penggambaran tokoh disampaikan pengarang dengan sifat dan ciri yang menyerupai manusia sehingga jenis sastra ini dapat dianalisis secara psikologi sastra. commit to user



Novel menjadi salah satu materi yang diajarkan di Sekolah Menengah Atas (SMA). Kompetensi yang dituntut dapat berupa kemampuan menyimak, berbicara, menulis, dan membaca. Salah satu kompetensi sastra yang terdapat dalam silabus ditemukan di kelas XI semester gasal. Siswa dituntut untuk mampu menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan. Apresiasi terhadap novel tersebut tampak pada kutipaan kurikulum di bawah ini.

Tabel II. Kutipan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Standar Kompetensi Membaca 7. Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/ novel terjemahan

Kompetensi Dasar Menganalisis unsurunsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan

Indikator  Menganalisis unsurunsur ekstrinsik dan intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar dan amanat) novel Indonesia  Menganalisis unsurunsur ekstrinsik dan intrinsik (alur, tema, penokohan, sudut pandang, latar dan amanat) novel terjemahan  Membandingkan unsur ekstrinsik dan intrinsik novel terjemahan dengan novel Indonessia

Novel menjadi salah satu jenis sastra yang diajarkan di sekolah seperti yang diungkapkan Ibu Derisma R. Simamora (lampiran 4: 121) bahwa novel merupakan materi yang sudah ada dalam kurikulum. Novel memaparkan gambaran peristiwa yang terjadi commit dalam to kehidupan. Di dalam novel terkandung user



unsur intrinsik berupa tema, amanat, alur, penokohan/ watak tokoh, sudut pandang, dan latar. Materi

pembelajaran

bahasa

Indonesia

pada

kompetensi

dasar

menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan berisi mengenai pemahaman struktur sastra yang berkaitan dengan tema, amanat, alur, sudut pandang, penokohan, dan latar. Keseluruhan struktur tersebut adalah unsur intrinsik dalam novel yang tidak terikat dengan unsur ekstrinsik. Analisis unsur ekstrinsik mengkaji sastra berdasarkan proses penciptaannya. Di SMA analisis ekstrinsik kurang mendalam diajarkan guru karena bentuk apresiasinya yang dapat menempuh waktu lama. Hal ini terbukti karena di dalam buku teks siswa SMA kelas XI dijumpai materi pelajaran sesuai kompetensi dasar yang menuntut siswa untuk mengidentifikasi pelaku, peristiwa, dan latar dalam novel (Kusmayadi, 2008: 80). Penilaian terhadap kemampuan siswa memahami bacaan teks sastra dilakukan guru dengan menugaskan analisis unsur intrinsik. Hal ini juga diterapkan oleh Ibu Yemnestri (lampiran 4: 134) dengan menugaskan siswanya membuat makalah mengenai analisis unsur intrinsik sastra berupa tema, alur, penokohan, sudut pandang dan bahasa. Penugasan ini juga akan membangkitkan keinginan membaca siswa yang terus dirangsang guru bahwa membaca adalah suatu keuntungan. Salah satu unsur intrinsik novel adalah memahami watak tokoh. Psikologi sastra merupakan kajian yang dapat mengungkapkan karakter tokoh secara rinci. Analisis ini dapat menemukan motivasi dan emosi dalam diri tokoh. commit to user



Analisis psikologi sastra memiliki banyak fungsi. Pertama, sebagai salah satu cara mengenal dan memahami pengarang. Kedua, sebagai teknik yang dapat diterapkan dalam memahami watak tokoh yang terdapat pada sastra. Ketiga, sebagai bahan pertimbangan mengenai kelayakan suatu karya untuk dibaca pada usia-usia tertentu. Hasil wawancara dengan beberapa guru di SMA menyatakan bahwa sastra bagi siswa menimbulkan efek psikologi positif. Ibu Simamora (lampiran 4: 123) guru SMA Negeri 3 Medan mengatakan bahwa nilai-nilai baik yang terkandung dalam novel dapat menjadi introspeksi siswa atau penerapan di lingkungannya. Pak Azwar (lampiran 4: 129) tenaga pendidik di SMA Chandra Kusuma Medan mengungkapkan bahwa mempelajari sastra akan mengasah mental dan rohani siswa. Ibu Yemnestri (lampiran 4: 134) salah seorang guru Bahasa Indonesia di MAN 1 Medan menuturkan bahwa membaca sastra akan membuat siswa lebih santun tutur katanya dan membuat perasaannya menjadi halus. Keindahan bahasa dapat ditemukan pada karya sastra. Kebiasaan membaca teks fiksi ini akan memperkaya bahasa dan membuat pembacanya berbahasa santun. Pembaca juga akan menemukan pengalaman-pengalaman yang dapat menjadi ajaran hidup baginya. Pengkajian novel Sordam mengungkap berbagai nilai-nilai yang terkandung dalam novel. Nilai tersebut mencakup nilai pendidikan, nilai moral, nilai sosial dan nilai budaya. Nilai pendidikan tampak pada kutipan berikut, Namun sejak kuliah, uang yang dicari paltibonar semakin berkurang karena tak banyak lagi kesempatan menjajakoran dan majalah. Untuk menyiasati pengeluaran, sengaja ia makan pagi commit to user dengan porsi lebih banyak dan diam-diam bawa nasi di dalam



rantang, dibungkus serbet, di masukkan ke dalam tas lusuhnya. Dari kemanggisan ia jalan kaki menuju halte bus Slipi, dari sana menumpang bus kota ke terminal Grogol, lalu menyambung bus jurusan Senen. Biasanya ia nembak agar tak bayar, caranya dengan membisikkan sesuatu kata ke telinga kondektur-kondektur bus kota itu. lama-lama kernet yang rata-rata berwajah sangar itu mengenali wajahnya, dan cemberutlah muka mereka begitu melihatnya. (Suhunan Situmorang: 52) Semangat Palti dalam memperjuangkan pendidikannya dapat menjadi motivasi bagi siswa. Kesulitan biaya tidak menjadi alasan baginya untuk tidak sekolah. Ia menyiasatinya dengan bekerja sambil kuliah. Kutipan tersebut juga berisi tindakan negatif seperti perilaku nembak yang berarti tidak membayar. Peran guru dalam mengingatkan siswa menjauhi perbuatan tidak baik dibutuhkan. Penekanan bahwa kesuksesan tokoh bukan karena perbuatan buruknya akan membantu siswa memahami amanat novel. Setelah dilakukan analisis, di dalam novel juga dijumpai nilai moral. Pengarang mendeskripsikan tokoh dengan berbagai sifat baik yang dapat ditiru siswa. Tokoh sangat mencintai dan patuh pada orang tuanya. Setelah mapan, ia berhati-hati

dalam bertindak. Tokoh kerap

mempertimbangkan

dampak

perbuatannya kepada orang tuanya. Tindakan kepatuhan itu muncul di dalam novel sebagai berikut, Paltibonar mengangguk, walau bukan hanya keberatan ibu kekasihnya saja yang menjemba pikirannya. Juga seorang perempuna tua yang juga amat disayanginya, yang tak jua siap bermenantukan perempuan yang bukan berasal dari etnisnya. Yang selalu beralasan tak bisa bercakap-cakap dan adat mereka begitu berbeda. O, bahasa. O, adat budaya, Alangkah pentingnya bagi manusia. (Suhunan Situmorang: 125) commit to user



Kutipan tersebut mengandung nilai positif dalam membentuk karakter siswa agar patuh pada orang tua. Fungsi novel tidak hanya sebagai informan tetapi juga sebagai pelajaran moral. Siswa dapat mengembangkan dirinya untuk tidak mudah menyerah, mengasihi sesama, jujur, tanggung jawab, dan nilai positif lainnya. Sebagai seorang pengarang yang berasal dari suku Batak, Penulis memiliki misi mengenalkan kebudayaan Batak. Kegiatan budaya seperti upacara kematian, pernikahan, pemindahan tulang (mangonghal holi), dan perdukunan ia ceritakan sebagai bagian yang dialami tokoh cerita. Di bawah ini, Tingkat sosial suku Batak dinarasikan pula oleh pengarang. Paltibonar pun membatin: Mungkin tak selalu kami sadari, dengan penampilan mewah dan sengaja menyimpan makanan di bagasi mobil masing-masing, hanya mempertontonkan perbedaan status sosial dan ekonomi keturunan leluhur kami. Betapa ironisnya seebtulnya kami. Para kerabat dan saudaraku yang datang dari jauh ini, yang masing-masing menghabiskan puluhan juta Rupiah demi membangun tugu, membiayai pesta, ongkos perjalanan, lebih bersemangat mengurus orang yang sudah mati ketimbang yang masih hidup. (Suhunan Situmorang: 188) Status sosial masyarakat dengan mengukur tingkat sosial dari harta selalu diungkapkan pengarang. Kematian dengan perayaan pesta besar menunjukkan bahwa si mendiang merupakan orang yang sukses mendidik keturunannya. Ketepatan novel ini sebagai bacaan siswa SMA tidak hanya karena novel ini memiliki nilai-nilai positif namun juga dapat memotivasi siswa untuk meraih mimpi. Bahasa dalam novel ini baik dikonsumsi siswa SMA. Novel ini juga tidak mengungkapkan hal yang tabu secara gamblang. Peristiwa Palti berhubungan intim dengan Anne diceritakan pengarang dengan hati-hati. Hal ini tampak pada paparan di bawah ini,

commit to user



Pada sekitar pukul sembilan malam, tatkala wajah rembulan bergoyang-goyang dipermukaan danau, ia begitu patuh pada apa pun yang diinginkan Anne; dan jip tua yang parkir di atas batubatu koral itu tak lagi diam. Erangan mulut dan kelihaian Anne mengolah tubuhnya cukup sebagai bukti bahwa ia bukan pemula... (Suhunan Situmorang: 253) Pengarang tidak menonjolkan kata-kata vulgar dalam mengungkapkan aktivitas tokoh. Ia memberikan beberapa tanda sebagai gambaran perbuatan yang dilakukan Palti dan Anne. Novel Sordam karya Suhunan Situmorang ini menceritakan kehidupan Paltibonar di era 90-an. Situasi sosial politik yang terjadi pada masa itu turut disinggung penulis. Adat Batak diungkapkan tokoh secara terbuka dengan menempatkan dirinya di posisi netral. Ia terkadang sebagai sosok yang tidak setuju dengan adat namun terkadang sebagai sosok yang sangat mengagumi budayanya. Banyak nilai yang dapat diambil dari novel Sordam. Kegigihan mencapai derajat tinggi, budaya Batak yang unik, dan kepatuhan pada orang tua. Penelitian psikologi sastra berhubungan erat dengan pembelajaran bahasa Indonesia di SMA. Hal ini dikarenakan analisis psikologi akan memudahkan siswa memahami karakter tokoh. Kajian psikologi sastra pembaca akan menentukan kelayakan novel untuk dibaca pada tingkat SMA. Keragaman bacaan siswa, terutama terhadap novel bertajuk budaya akan menambah kosa kata baru.

B. Pembahasan Kemunculan novel Sordam membuat nama Suhunan Situmarang dikenal. Novel ini pertama kali diterbitkan oleh Gagas Media pada tahun 2005. commit to user



Kepiawaian pengarang dalam menuturkan kisah menjadi daya tarik bagi pembaca. Kisah cinta dan masalah sosial-politik menjadi topik utama yang diangkat pengarang. Di dalam novel disajikan pula nilai-nilai budaya Batak secara terbuka sehingga pembaca memahami budaya tersebut secara utuh. Psikologi merupakan ilmu jiwa yang memusatkan perhatiannya pada manusia (Siswantoro: 26). Sastra memiliki kajian yang berbeda dengan psikologi namun keduanya memiliki kesamaan yaitu sama-sama berurusan dengan persooalan manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Prilaku tokoh novel dapat ditelaah secara mendalam melalui teori psikologi. Tokoh imajinasi yang dihadirkan memiliki tingkah laku seperti manusia. Hal ini yang mendukung sehingga psikologi dapat diterima sebagai salah satu jenis penelitian sastra. Subbab berikut akan membahas bagaimana struktur novel Sordam, Karakter tokoh utama, dan relevansi kajian dengan pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA.

1.

Struktur Novel Analisis karya sastra tidak dapat dilepaskan dari struktur pembanggunnya

yaitu unsur intrinsik. Penganalisisan terhadap psikologi bukan berarti melepaskan unsur sastra yang menjadi pondasi sastra itu berdiri. Di bawah ini akan dipaparkan mengenai pembahasan struktur novel yang berkaiatan dengan perwatakan tokoh melalui metode langsung (telling) dan tidak langsung (showing) dan sudut pandang (point of view). commit to user



a. Perwatakan melalui Metode Telling dan Showing Penyajian dan penentuan karakter tokoh dilakukan pengarang dengan dua cara yaitu dengan metode telling dan showing. Metode telling membuat keikutsertaan dan turut campur pengarang dalam menyajikan sangat menonjol sehingga para pembaca memahami dan menghayati perwatakan mereka berdasarkan paparan pengarang (Minderop, 2011: 6). Pembaca terarah pada watak yang digambarkan pengarang secara langsung dan tidak membuat kemungkinan lain karena percaya pada karakter yang telah ada. Hasil

analisis

yang

disebutkan

menunjukkan

bahwa

pengarang

menggambarkan secara langsung tokoh Paltibonar semasa kecil yang nakal dan pembangkang. Kenakalannya tersebut sering dianggap oleh keluarganya sebagai tingkah malas membantu orang tua. Tokoh Mary juga dipaparkan secara gamblang oleh pengarang sebagai sosok berpendirian teguh. Setiap keputusan yang diambilnya tidak mudah diubah oleh orang lain. Ketetapan karakter ini membuat pembaca percaya bahwa tokoh yang dinyatakan tersebut berwatak seperti yang disebutkan. Perwatakan melalui metode showing merupakan perwatakan yang digambarkan pengarang secara tidak langsung. Penggunaan metode ini sebagai analisis karakter dapat ditinjau melalui dialog dan tingkah laku. Pemahaman lebih mendalam akan dipaparkan sebagai berikut. 1) Dialog Karakterisasi tokoh melalui dialog mencakup apa yang dikatakan penutur, jati diri penutur, lokasi dan situasi percakapan, jati diri tokoh yang dituju, kualitas commit to user



mental dan para tokoh, nada suara, penekanan, dialek, dan kosa kata para tokoh (Minderop, 2011: 4). Pada hasil analisis, dialog pertama memaparkan karakter tokoh Paltibonar melalui dialog-dialog yang disampaikan Marihot dan Bismar. Kedua tokoh yang berdialog tersebut adalah saudara kandung Palti. Mereka menilai Palti berdasarkan efek perbuatan Palti yang mereka rasakan. Bismar menilai bahwa Palti memiliki sifat malas. Ia dianggap tidak mau membantu pekerjaan rumah yang dikerjakan oleh kakak iparnya. Marihot berpendapat hampir sama bahwa Palti adalah seorang adik yang malas, ia tidak peka terhadap kerepotan kakak iparnya. Palti dianggap pula oleh Marihot sebagai orang yang egois dan tidak tahu tata krama. Perbuatannya yang menghabiskan makanan dianggap egois dan tidak beretika. Penilaian keluarganya yang negatif tersebut berbeda dengan penilaian teman kuliahnya Ardin. Ia melihat Palti sebagai sosok yang cerdas dan tampil sederhana ketika menjalin hubungan dengan teman-temannya. Dialog yang dituturkan oleh Ardin dan Palti ini juga menunjukkan sikap Palti yang lain yaitu ia senang terhadap pujian. Pada awalnya Palti bertingkah seolah tidak senang dinilai demikian namun di dalam hati Palti justru bertingkah lain. Ia merasa dihargai oleh temannya tesebut. 2) Tingkah laku Telaah psikologi pada novel tidak semudah menelaah psikologi sastra drama pentas. Kesulitan itu terjadi karena pembaca harus jeli membaca tandatanda yang diacu pengarang sebagai kunci untuk mendapatkan watak tokoh commit to user



sebenarnya. Karakterisasi tokoh melalui tingkah laku mencakup ekspresi wajah, dan motivasi yang melandasi tindakan tokoh (Minderop, 2011: 4). Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa tokoh Palti adalah seorang yang berambisi besar. Saat remaja ia telah berani mengambil keputusan untuk merantau ke Jakarta sendirian. Di kapal yang ia tumpangi menuju kota Jakarta, Palti terjatuh saat menuruni anak tangga. Ia menyadari bahwa ia tidak mempunyai kenalan di kapal tersebut sehingga ia tidak bisa mengeluh terhadap rasa sakit yang dialaminya. Oleh-oleh yang bertebaran dilantai kapal segera dipungutnya agar tidak mengcewakan ibunya. Palti dideskripsikan pula sebagai anak yang patuh pada orang tua. Ia merasa membawa oleh-oleh adalah sesuatu yang tidak menyenangkan baginya namun ia juga tidak berani membuangnya di laut. Ia terlalu takut melanggar apa yang telah diamanahkan orang tuanya. Kehadiran atau ketidakhadiran orang tua tidak menjadi alasan bagi Palti untuk tidak jujur. Tokoh Palti memiliki karakter empati terhadap orang yang ada di sekitarnya. Pengalaman kesulitan dana ketika kuliah dijadikannya pelajaran untuk membantu sesama. Ia tergerak hatinya untuk membantu Rainim yang mendapat perlakuan tidak adil dari pabrik tempatnya bekerja. Sikap membantu ini menujukkan karakter Palti yang memiliki rasa sosial yang tinggi.

b. Perwatakan melalui Sudut Pandang Sudut pandang adalah cara pengarang dalam memosisikan diri pada sebuah kisah. Pengarang dapat mengungkapkan gagasan dan cerita yang berisi commit to user



pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan melalui sudut pandang. Kehadiran pandangan pengarang membuat pembaca mampu menerimanya sebagai pandangan bersama. Ada dua cara yang dapat dilakukan pengarang dalam menempatkan dirinya dalam suatu kisahan yaitu sebagai orang pertama (aku) atau sebagai orang ketiga (dia). Stanton (2007: 53-54) mengungkapkan empat tipe sudut pandang yang lebih rinci yaitu, orang pertama utama; orang pertama sampingan; orang ketiga terbatas; dan orang ketiga tidak terbatas (terkadang dinamai sebagai orang ketiga serba tahu). Langkah awal yang dilakukan pengarang sebelum memulai cerita adalah memilih sudut pandang. Pemilihan sudut pandang oleh pengarang harus dilakukan secara hati-hati. Hal ini dilakukan agar cerita yang diutarakan menimbulkan efek yang pas. Peggunaan sudut pandang yang tepat juga akan membuat pembaca memiliki pemahaman sempurna terhadap novel yang dibaca. Novel Sordam karya Suhunan Situmorang memiliki sudut pandang orang ketiga serba tahu atau di dalam bahasa Inggris disebut an all knowing presence. Sudut pandang jenis ini menempatkan narator berada di luar cerita dan dapat pula menjadi tokoh yang ikut bergabung dalam cerita. Penggunaan kata serba tahu berarti membebaskan pengarang berkisah, mendramatisasi, menginterpretasi, merangkum, berspekulasi, berfilosofi, menilai secara moral, atau menghakimi apa yang disampaikan (Minderop, 2010: 81). Penggunaan kata “ia” yang kerap digunakan pengarang menguatkan bahwa sudut pandang yang dipakai adalah orang ketiga serba tahu.

commit to user



Sudut pandang persona ketiga tidak selalu menggunakan kata ganti orang ketiga di dalam sebuah cerita tetapi dapat pula muncul dialog yang menggunakan kata ganti engkau dan aku. Kemunculan bentuk yang berbeda ini disebabkan keinginan pengarang untuk memperlihatkan bagaimana tokoh “dia” sedang mengungkapkan dirinya (Minderop, 2011: 98). Beberapa pakar terkadang menyebutnya sebagai sudut pandang campuran. Penggunaan kata “aku” yang terdapat pada novel merupakan wujud keinginan pengarang agar tokoh dapat mengungkapkan dirinya dalam cerita. Kehadiran sudut pandang persona pertama tidak muncul sebanyak sudut pandang orang ketiga. Jadi dapat disimpulkan bahwa penggunaan sudut pandang secara keseluruhan dalam novel Sordam adalah sudut pandang orang ketiga serba tahu.

2.

Karakter Tokoh-tokoh Utama dalam Novel Karakter berasal dari bahasa Inggris characterization yang berarti

pemeranan atau pelukisan watak. Stanton (2007: 33) mengungkapkan bahwa karakter adalah keinginan, emosi dan prinsip moral dari individu yang terdapat dalam cerita. Setiap karakter memiliki motivasi dalam bertindak yang terkadang karakter itu sendiri tidak menyadari mengapa ia bereaksi demikian. Telaah karakter melalui psikologi sastra adalah salah satu cara untuk mendalami watak tokoh. Sigmund Freud adalah salah seorang tokoh psikologi yang mengamati alam bawah sadar manusia. Ia membagi psikisme manusia ke dalam tiga bagian yaitu id (das es), ego (das ich), dan superego (das ueber ich). Ciri khas psikologi commit to user



ini adalah dominasi ketaksadaran atas kesadaran di satu pihak. Berbagai keinginan yang belum terpenuhi mengakibatkan konflik batin di pihak lain. Konflik-konflik yang dimaksudkan adalah konflik terdesak yang pada akhirnya menimbulkan gangguan kejiwaan sebagai gejala neurosis. Penganalisisan novel Sordam karya Suhunan Situmorang diawali dengan menganalisis unsur-unsur intrinsik yang berkaitan dengan tokoh. Hal ini dikarenakan pengkajian psikologi sastra tidak hanya berpusat pada aspek psikologi saja namun mementingkan aspek struktural yang membangun karya sastra tersebut. Banyak karakter yang muncul dalam novel Sordam. Karakter tokoh tersebut dianalisis melalui teori psikoanalisis Sigmund Freud. Tidak semua tokoh yang muncul menjadi perhatian analisis. Tokoh-tokoh yang dipilih untuk dikaji adalah tokoh utama. Empat tokoh utama dalam novel Sordam yaitu Paltibonar, Ibu, Diandra, dan Mary.

a. Paltibonar Paltibonar adalah seorang yang gigih dalam mencapai cita-citanya. Ia tumbuh dalam lingkungan budaya Batak yang kental. Keinginan tokoh untuk memperoleh pendidikan yang tinggi merupakan usaha untuk menaikkan tingkat status sosial di masyarakat. Hal ini sesuai dengan keyakinan suku Batak yang dipaparkan oleh Hutauruk bahwa pendidikan adalah salah satu jalur penting untuk memperoleh status sosial yang tinggi. Bagi orang Batak pendidikan dipandang sebagai jalur mobilitas sosial untuk mencari pangkat (Simanjuntak, 2009: 11). commit to user



Karakter tokoh dapat dikaji melalui psikoanalisis dengan mengamati struktur kepribadian Freud. Ada tiga struktur kpribadian yang dikemukakan Freud yaitu id, ego, dan super ego. Ketiga struktur tersebut akan diterapkan untuk mengkaji karakter Paltibonar. Kesulitan Palti Untuk melanjutkan sekolahnya adalah masalah pertama yang harus dihadapinya di kota Jakarta. Ia juga harus menghadapi sikap tidak menyenangkan dari saudara kandung. Keinginan dirinya untuk sekolah merupakan wujud ego. Keinginan yang tidak terwujud menimbulkan emosi kebencian namun masih dapat dikontrol oleh super ego. Fungsi super ego yang berjalan dengan baik terbukti melalui tindakan Paltibonar yang mampu menahan diri dan tidak melakukan perbuatan penghancuran. Ia lebih memilh bersikap tidak suka dan menghindar dari pada menjadikannya sebagai pertengkaran. Perjuangannya yang gigih membuat ia menjadi seorang pengacara. Ia mendapati berbagai penyalahgunaan hukum di lembaga tempat ia bekerja. Ketidaksesuaian itu membuat hati nuraninya menolak. Terpapar jelas bahwa pada situasi ini super ego Palti menguasai dirinya dengan baik. Kepatuhannya terhadap larangan super ego membuat ia terhidar dari sikap negatif. Id dan ego terkontrol secara baik di dalam diri Palti. Palti memiliki karakter kuat dalam memegang prinsip. Ia tidak menyukai segala bentuk kecurangan. Usahanya dalam menjalankan hukum sesuai jalur mendapat tentangan dari rekan kerja dan klien yang ia tangani sehingga akhirnya ia memutuskan untuk mencari kantor hukum lain. commit to user



Ketertarikan Paltibonar terhadap wanita Jawa menjadi konflik selanjutnya. Asmara antara Palti dan Diandra dihalangi oleh orang tua. Pada situasi ini, Palti tidak dapat mempertahankan hubungan cintanya. Rasa cinta terhadap ibunya menjadi sebab utama sehingga ia tidak menikahi Diandra. Ketakutan menyakiti ibunya membentuk tekanan sehingga ia tidak dapat merealisasikan keinginannya. Palti mengalami kesedihan karena kesenangan yang diharapkannya tidak tercapai. Pernikahan Diandra dengan pria lain bagi Palti adalah sebuah pengkhianatan. Ia berusaha membenci kekasihnya dan melupakannya. Rasa marah terhadap berbagai aturan-aturan yang ada dan berakibat ia tidak bisa memiliki kekasihnya ia tinggalkan. Ia mulai menjalani hidup yang bebas. Keinginanannya untuk hidup bebas ia wujudkan dengan mengintimi Mary. Beberapa bulan setelah menjalin hubungan, Mary mengabarkan bahwa ia telah mengandung anak Palti. Kecemasan muncul kembali karena Palti menyadari bahwa tindakannya salah. Ia merasa sedih dan frustasi mendapat tanggung jawab itu. Super ego kembali berkuasa dalam diri Palti. Ia tidak melepaskan tanggung jawabnya. Terbentuknya super ego dalam diri Palti mampu mengendalikan dan menahan impuls-impuls id dan mendorong ego kepada hal-hal

yang

mengedepankan moral. Pernikahan dengan Mary dikaruniai seorang putra. Pernikahan yang tidak dilandasi cinta teruji oleh kehadiran Diandra. Kesimbangan id dan super ego menjadi tidak harmonis. Pertemuan keduanya membuat Paltibonar kehilangan akal. Ia mengikuti keinginan primitifnya dengan melakukan hubungan suami istri besama Diandra.

commit to user



Prilaku Palti yang berselingkuh dengan mantan kekasihnya jika ditinjau dari psikoanalisis menunjukkan adanya konflik di antara ketiga sistem. Id, ego, dan super ego tidak berfungsi secara harmonis. Salah satu unsur terlalu dominan menguasai energi psikis. Keinginan Palti untuk menguasai Diandra telah mendorong id menguasai psikis. Kekuasaan id yang besar membuat fungsi ego dan super ego melemah. Kedua sistem tersebut tidak mampu mengontrol id yang tidak mengenal etika dan akhlak. Hal ini yang membuat prilaku Paltibonar di luar kontrol diri dan hanya didasarkan untuk melampiaskan nafsu. Perselingkuhan Palti diketahui istrinya. Sikap tegas diambil Mary dengan mengajukan gugatan cerai. Kesedihan dirasakan kembali oleh Paltibonar. Dalam pertahanan konflik Palti menuduh ibunya sebagai penyebab atas kegagalannya berumah tangga. Tindakan ini disebut pengalihan (displacement) yaitu tokoh berusaha mengkambinghitamkan sesuatu yang bukan sebagai sumber frustasi namun aman dijadikan sasaran. Ketidaksetujuan ibunya merestui hubungannya dengan Diandra adalah pangkal kegagalannya berumah tangga. Pada temannya, ia berusaha membenarkan diri bahwa banyak lelaki berselingkuh namun tidak mengalami nasib sial seperti dirinya. Palti berusaha melakukan

pertahanan

diri

dengan

cara

rasionalisasi

(rationalization).

Rasionalisasi adalah suatu sikap yang berusaha memberikan alasan yang dapat diterima atas suatu prilaku. Ia berharap mendapat dukungan temannya terhadap tindakannya yang menyimpang. Paltibonar sebagai tokoh

yang paling menentukan gerak cerita

menunjukkan sikap yang berbeda saat ia sedang merintis kesuksesannya dan saat commit to user



ia telah mencapai sukses. Ia adalah tokoh yang selalu mengkritik sesuatu yang baginya salah. Di Jakarta, ia tidak mampu menyampaikan rasa tidak nyaman secara langsung kepada supir bus mini namun saat ia menjadi pengacara ia lebih berani mengkritik kernet yang tidak memperhatikan keselamatan penumpang. Tokoh Palti adalah tokoh yang bisa menempatkan diri. Ia tahu kapan ia harus mengkritik. Sebelum ia mengkritik ia juga memahami posisinya. Sebagai pendatang, ia mengetahui jika kritikannya itu dilontarkan, ia mendapat kesulitan.

b. Ibu Ibu bertindak sebagai tokoh antagonis. Ia menghalangi keinginan tokoh Palti menikah dengan Diandra. Sebagai seorang ibu ia selalu mengharapkan anaknya mewujudkan keinginannya meskipun pada akhirnya tindakan anaknya justru tidak sesuai harapannya. Ibu memiliki karakter mudah tersinggung. Ia selalu merasa rendah diri di hadapan anak-anaknya yang telah ia sekolahkan dengan pendidikan terbaik. Ketika Paltibonar mengakui bahwa ia tidak menginginkan wanita seperti ibunya tiba-tiba saja ibunya marah dan mengatakan bahwa wanita seperti dirinya tidak memiliki daya tarik. Emosi dasar tokoh ibu muncul karena rasa cinta. Pernyataan anaknya membuat ibu menduga bahwa anaknya kurang mencintainya. Keras kepala adalah karakter lain yang dimiliki ibu. Ia menuntut anaknya menikah dengan gadis Batak. Paksaan ibu terhadap keinginannya menunjukkan bahwa id ibu dominan menguasai psikis sehingga peranan ego dan super ego tidak berpengaruh. Ketidakseimbangan wilayah psikis ini membuat ibu tidak commit to user



memedulikan keinginan anaknya. Ia hanya ingin mendapatkan kesenangannya sendiri. Pemuasan terhadap kesenangan adalah keinginan tidak sadar manusia. Tokoh ibu mulai khawatir jika anaknya tidak menikah. Ia mulai mengikuti keinginan anaknya. Sikap ibu yang mulai melunak menandakan bahwa ego ibu mulai menjalankan fungsinya. Ego merupakan aspek psikologis yang mengontrol keberadaan id dan super ego. Pencegahan terhadap keinginan primitif id dan mendamaikan larangan super ego adalah tugas yang dilaksanakan ego. Ibu dapat menerima menantu yang berasal dari etnis lain namun ketika Palti harus menikah dengan wanita Inggris sikap penolakan muncul kembali.

c. Diandra Diandra adalah perempuan yang sangat di cintai Paltibonar. Sikapnya yang lembut membuat Palti jatuh hati. Ketika berhubungan dengan Palti ia telah bertunangan dengan lelaki lain. Keinginannya untuk menjalani hubungan yang serius dengan Palti dipenuhi rasa takut karena penolakan orang tuanya. Diandra tumbuh sebagai anak yang patuh pada orang tua. Ungkapan Paltibonar yang mengajak ia untuk kawin lari di tolaknya karena takut menyakiti orang tuanya. Prilaku ini mencerminkan munculnyanya kecemasan (anxitas) dalam diri tokoh. Timbulnya perasaan terancam terhadap kenyamanannya membuat ia langsung menolak ajakan kekasihnya. Semakin lama menjalin hubungan, hasrat Diandra untuk menikah dengan Palti semakin kuat. Ia telah siap meninggalkan kedua orang tuanya agar bisa bersama Palti. Penyerahan diri yang dilakukan Diandra merupakan akibat commit to user



penguasaan id yang dominan pada psikis tokoh. Ego dan super ego tidak mampu mengontrol keinginan tokoh. Keinginan Diandra akhirnya tidak terwujud karena Palti tidak menyetujui tindakannya. Diandra marah atas sikap Palti yang tidak mendukung keputusannya. Ia kemudian melakukan tindakan yang berlawanan dengan keinginan. Id yang awalnya menguasai wilayah psikis perlahan melemah. Energi psikis dikuasai oleh struktur ego. Diandra akhirnya menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Prilaku orang tua Diandra yang memaksanya menikah dengan pria pilihan dianalisis sebagai bentuk emosi cinta yang dinamakan selfish. Bentuk cinta ini menuntut dan bersikap posesif terhadap anak perempuannya. Emosi tersebut tidak mengindahkan keinginan dari orang yang dicintai.

d. Mery Mary merupakan salah satu perempuan berkebangsaan asing yang menjalin hubungan dengan Palti. Ia menikahi Palti setelah mengetahui dirinya hamil. Tokoh Mary memiliki watak keras kepala, mandiri, dan giat bekerja. Wujud sikapnya yang keras kepala terlihat ketika ia memutuskan untuk menikah dengan Palti. Ia mengacuhkan kekecewaan orang tuanya. Saat bercerai dengan Palti, ia juga mengacuhkan permohonan maaf Palti dan tetap meneruskan keinginannya. Konflik yang menjadi titik utama diri Mary dalam novel Sordam terjadi karena ia menahan diri untuk tidak menunjukkan wujud emosi kesedihan. Inhibited grief (kesedihan yang disembunyikan) justru menyebabkan ia menjadi commit to user



pemurung. Kemandirian tokoh dalam menghadapi masalah rumah tangganya disebabkan tingginya kesadaran akan konsekuensi yang ia terima.

3.

Relevansi Pengkajian Novel Sordam dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia Manusia sebagai makhluk sosial memiliki berbagai karakter. Jika karakter

itu dicermati maka akan diketahui bahwa tindakan manusia tersebut berpola dan berulang. Tindakan manusia oleh sastrawan dituangkan dalam karya sastra, ditulis dengan sudut pandang penagarang, dan disesuaikan dengan keinginan penulis. Novel Sordam diciptakan oleh Suhunan Situmorang. Ia merupakan seorang pria keturunan suku Batak. Kecintaannya terhadap tanah Batak membuat ia menciptakan novel dengan latar budayanya. Novel Suhunan Situmorang tersebut dikaji dengan pendekatan psikologi sastra. Pengkajian ini berfungsi untuk memahami karakter tokoh dan menggali motivasi tokoh dalam berprilaku. Analisis watak merupakan bagian dari unsur-unsur intrinsik. Siswa dituntut untuk mampu menganalisis sastra berdasarkan unsur intrinsiknya. Kompetensi itu tertera pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di SMA. Standar kompetensi membaca mengharuskan siswa memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/ terjemahan dan kompetensi dasarnya adalah menganalisis unsurunsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan. Buku teks siswa mengandung materi sesuai dengan kompetensi dasar hanya saja siswa tidak terlalu dituntut untuk memahami unsur ekstrinsik novel. commit to user



Ketiga guru dalam menilai kompetensi membaca selalu menugaskan siswanya menganalisis prosa. Kurangnya minat siswa membaca novel diatasi guru dengan mengungkapkan keuntungan yang di dapat siswa. Guru juga mendorong siswa membaca suatu novel pada masa tertentu melalui tugas analisis unsur-unsur intrinsik. Pendekatan kritik sastra berupa psikologi adalah salah satu cara untuk mengetahui karakter tokoh. Tokoh dianalisis melalui teori psikologi yang diungkapkan Freud. Alam bawah sadar adalah salah satu teori yang diungkapkannya. Teori itu dianggap sebagai cara memahami prilaku manusia yang mengalami konflik dan tekanan. Prilaku tersebut dianalisis melalui tiga struktur kepribadian yaitu id, ego, dan super ego. Kajian ini bermanfaat karena dapat mengungkapkan watak tokoh, kelayakan novel sebagai bahan bacaan siswa SMA, dan pengenalan secara mendalam terhadap pengarang sastra. Pengungkapan karakter tokoh dalam novel telah mengungkapkan pula nilai-nilai yang terkandung dalam novel. Hidayatullah (2010: 25) menuturkan bahwa pendidikan tidak cukup dengan mengajar peserta didik membaca, menulis dan berhitung, kemudian lulus ujian, dan mendapat pekerjaan yang baik. Sekolah harus mampu mendidik peserta didik apa yang benar dan salah. Guru perlu mendampingi siswa memahami novel. Isi yang terkandung dalam novel harus dicermati. Tindakan negatif yang dilakukan tokoh harus disadari bahwa hal itu tidak layak ditiru. Pengakajian novel Sordam menemukan berbagai nilai positif yang dapat membentuk karakter siswa. Tokoh yang memiliki karakter pekerja keras, patuh commit to user



pada orang tua, dan memiliki sikap sosial yang tinggi dapat memotivasi siswa untuk dapat berempati, memiliki komitmen, ulet, dan toleran. Kemunculan nilai budaya akan mengenalkan siswa pada adat istiadat yang ada pada daerahnya, baik sebagai pemilik kebudayaan maupun bukan bagian etnis Batak. Tokoh dalam novel Sordam adalah tokoh dewasa sehingga muncul kisah percintaan. Beberapa tindakan tabu diungkap oleh pengarang. Ia mampu mengemas tindakan tersebut dengan kata-kata yang apik. Bahasa yang disampaikan mampu merangsang imajinasi penikmat sastra hingga sampai pada maksud yang dituju pengarang. Setiap novel memiliki nilai positif dan negatif yang terkandung di dalamnya. Novel Sordam juga memiliki hal yang demikian. Nilai positif dapat menjadi pedoman untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan nilai negatif dapat menjadi pelajaran untuk menjauhkan diri dari prilaku menyimpang.

commit to user

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Penelitian. memandang sastra sebagai aktivitas kejiwaan. Jenis sastra terbagi tiga yaitu puisi,

Recommend Documents