BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hak asasi manusia (HAM) sering dihubungkan dengan kepolisian. Ini tidak terlepas dari kerja polisi yang sehari-hari bersinggungan dengan HAM. Bagi polisi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya seyogyanya dapat mengacu kepada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, karena dalam negara demokratis dimanapun di muka bumi ini penegakan hukum seharusnya dilakukan oleh polisi dan tidak dipengaruhi oleh unsur-unsur lain, sehingga tidak terjadinya tumpang tindih sebagaimana pengalaman pada era orde baru dimana fungsi penegakan hukum telah dilaksanakan oleh berbagai institusi. Namun didalam aplikasinya di lapangan justru penegakan hukum yang telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan aturan yang ada, dirasakan tidak memenuhi tuntutan keadilan masyarakat sehingga menimbulkan berbagai reaksi yang bersifat destruktif. Oleh karenanya berbagai upaya penegakan hukum yang diantaranya
dilakukan
oleh
Polri
telah
dihadapkan
pada
dilema
yang
menempatkannya pada posisi yang serba salah, padahal begitu kentalnya harapan masyarakat terhadap kemampuan Polri untuk dapat mengatasi serta mengelola situasi penuh dengan ketidak pastian ini untuk dapat mengarah kepada terwujudnya stabilitas Kamtibmas yang mantap. Harapan ini muncul karena pada 22 Juni 2009 Kapolri Bambang Hendarso Danuri menerbitkan Peraturan Kapolri No.8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keputusan ini merupakan langkah maju dari kepolisian dalam upaya pemajuan, perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia. Sebelumnya Polri telah menjalin MoU dengan Komnas HAM RI dalam upaya penegakkan HAM. Polri juga telah berusaha mengubah citranya yang selama ini
1
bercorak militer dengan konsep perpolisian masyarakat (Polmas). Masyarakat wajib mengetahui peraturan ini untuk mengontrol dan memastikan polisi tidak melanggar HAM.
Ada 8 (delapan) hak asasi manusia yang terkait dengan tugas kepolisian, yakni (a). hak memperoleh keadilan (b). hak atas kebebasan pribadi (c).hak atas rasa aman (d). hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penghilangan secara paksa, (e). hak khusus perempuan, (f).hak khusus anak, (g). hak khusus masyarakat adat, (h). hak khusus kelompok minoritas, seperti etnis, agama, penyandang cacat, orientasi seksual (pasal 7). 1 Sesuai dengan prinsip menghargai dan menghormati HAM, setiap anggota Polri dalam melaksanakan tugas atau dalam kehidupan sehari-hari wajib untuk menerapkan perlindungan dan penghargaan HAM, sekurang-kurangnya: (a). menghormati martabat dan HAM setiap orang; (b). bertindak secara adil dan tidak diskriminatif; (c). berperilaku sopan; (d). menghormati norma agama, etika, dan susila; dan e. menghargai budaya lokal sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan HAM (Pasal 8). 2
Sedangkan standar perilaku petugas/anggota Polri dalam tindakan kepolisian terdiri dari tindakan penyelidikan, pemanggilan, penangkapan, penahanan, pemeriksaan, penggeledahan orang dan tempat/rumah, dan penyitaan barang bukti. Pada standar tindakan kepolisian sebagai aparat penegak hukum ini sering terjadi pelanggaran HAM. Suatu hal yang amat riskan terjadi apabila kepolisian melupakan konsep HAM dalam pelaksanaan tugasnya adalah tidak tercapainya keadilan masyarakat. Apabila dalam suatu pemeriksaan pada tingkat penyidikan terdapat adanya tindakan kekerasan (violence) oleh pihak penyidik terhadap tersangka dapat mempengaruhi proses pidana pada tahap berikutnya, misalnya bagi Kejaksaan selaku penuntut umum serta bagi hakim pada tahap pemeriksaan di pengadilan. Bagi pihak kejaksaan dapat menolak suatu Berita Acara Penyidikan dengan alasan adanya pemeriksaan secara kekerasan, sedangkan bagi Hakim dapat membatalkan suatu dakwaan terhadap
1
LBH Makasar, “Menanti Polisi Berbaju HAM”, http://www.lbh-makassar.org/?p=1861, Diakses tanggal 11 April 2011. 2 Ibid.
terdakwa karena keterangan yang diberikannya kepada penyidik adalah berdasarkan tekanan baik secara phisik maupun psikis (kejiwaan).
B. Permasalahan Dalam penyusunan skripsi maka untuk mempermudah dalam pembahasan perlu dibuat suatu permasalahan sesuai dengan judul yang digunakan, yaitu :
1. Bagaimana profesionalisme polisi ditinjau dari perspektif HAM dalam melaksanakan tindakan paksa? 2. Bagaimana penegakan hukum untuk perlindungan HAM di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui profesionalisme polisi ditinjau dari perspektif HAM dalam melaksanakan tindakan paksa. 2. Untuk mengetahui penegakan hukum untuk perlindungan HAM di Indonesia. Berangkat
dari
permasalahan-permasalahan
di
atas
penelitian
ini
diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Dari segi teoritis sebagai suatu bentuk penambahan literatur di bidang hukum kepidanaan tentang peran dan tugas kepolisian dan kaitannya dengan HAM 2. Dari segi praktis sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan para pihak yang berkepentingan sehingga didapatkan kesatuan pandangan tentang pelaksanaan pengawasan senjata api non organik TNI/Polri.
D. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Profesionalisme Polri Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penlisan skripsi yang bertemakan mengenai kepolisian memang sudah cukup banyak diangkat dan dibahas, namun skripsi profesionalisme polisi dan HAM belum pernah ditulis sebagai skripsi. Dan penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik. E. Tinjauan Kepustakaan 1.
Pengertian Polisi
Secara teoritis pengertian mengenai polisi tidak ditemukan, tetapi penarikan pengertian polisi dapat dilakukan dari pengertian kepolisian sebagamana diatur di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berbunyi: “Kepolisian adalah segala hal ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Dari kutipan atas bunyi pasal tersebut maka kita ketahui polisi adalah sebuah lembaga yang memiliki fungsi dan pelaksanaan tugas sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan. Di dalam perundang-undangan yang lama yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 ditegaskan bahwa kepolisian negara ialah alat negara penegak hukum. Tugas inipun kemudian ditegaskan lagi dalam Pasal 30 (4) a Undang-Undang No. 20 Tahun 1982 yaitu Undang-Undang Pertahanan Keamanan Negara, disingkat Undang-Undang Hankam.
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 yang mencabut Undang-Undang No. 28 Tahun 1997 maka Kepolisian ini tergabung di dalam sebutan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dimana di dalamnya Kepolisian merupakan bagian dari Angkatan Laut, Angkatan Darat, serta Angkatan Udara. Sesuai dengan perkembangan zaman dan bergulirnya era reformasi maka istilah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia kembali kepada asal mulanya yaitu Tentara Nasional Indonesia dan keberadaan Kepolisian berdiri secara terpisah dengan angkatan bersenjata lainnya.
2. Pengertian Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia atau sering disingkat dengan istilah HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. 3 Masalah hak asasi manusia memang masalah kemanusiaan berarti terkait dengan upaya, tidak saja pengakuan harkat kemanusiaan tetapi yang lebih penting sejauh mana harkat keamanan yang dimiliki setiap orang dapat dinikmati oleh setiap manusia tanpa beda. 4 Secara istilah hak asasi manusia diartikan sebagai hak yang melekat pada martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan dan hak tersebut dibawa sejak lahir ke bumi sehingga hak tersebut bersifat fitri (kodrati) bukan
3
Organisasi.org, “Pengertian, Macam dan Jenis Hak Asasi Manusia / HAM yang Berlaku Umum Global - Pelajaran Ilmu PPKN / PMP Indonesia”, http://organisasi.org, Diakses tanggal 20 Oktober 2010. 4 A. Mashur Efendi, Dimensi/Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994, hal. 115.
merupakan pemberian manusia atau Negara. 5 Pengaturan hak asasi manusia diatur di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berisi tentang hak asasi manusia materiil dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berisi hukum acara yang dipergunakan oleh hakim ad hoc hak asasi manusia. Hukum Acara dipergunakan oleh hakim ad hoc hak asasi manusia untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia berat. Kedua undang-undang tersebut dibentuk pada masa transisi reformasi (Pemerintahan BJ. Habibie). Walaupun terjadi pro dan kontra terhadap eksistensi Pemerintahan BJ. Habibie, Pemerintahan BJ. Habibie banyak melakukan agenda reformasi antara lain mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945, merubah undang-undang dan membentuk undang-undang.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menjelaskan bahwa Hak Asasi Manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia . Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menjelaskan bahwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia
adalah setiap perbuatan seseoarang atau
kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Dalam keadaan normal hak asasi manusia yang bersifat kodrati non deregoble human right tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun baik oleh
5 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rieneka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 127.
Negara, Pemerintah, seseorang atau sekelompok orang. Kalau dalam keadaan normal Negara, Pemerintah, seseorang atau sekelompok orang mengurangi hak asasi manusia berarti melanggar hak asasi manusia. Kalau dalam keadaan tidak normal : Keadaan darurat, keadaan perang atau keadaan sengketa bersenjata Negara boleh mengurangi hak asasi manusia. Dalam keadaan tidak normal deregoble human right, dapat disimpangi atau dapat dikurangi misal dalam keadaan perang, sengketa bersenjata, Negara dapat mengurangi hak keluar rumah bagi warga sipil. Kewajiban Negara untuk melindungi rakyatnya dalam keadaan perang atau sengketa bersenjata. Hak asasi manusia khususnya hak hidup diatur di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Hak hidup untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum dan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapa pun. Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang dimaksud “Dalam keadaan apa pun” termasuk dalam keadaan perang, sengketa bersenjata dan atau keadaan darurat. Hak untuk hidup dalam keadaan apapun tidak boleh dikurangi oleh Negara, Pemerintah, seseorang atau sekelompok orang. Kalau Negara, Pemerintah, seseorang atau sekelompok orang mengurangi bahkan merampas hak asasi manusia berupa hak hidup yang merupakan hak yang paling kodrat berarti melanggar hak asasi manusia.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, konvensi PBB tentang hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Materi Undang-undang ini disesuaikan juga dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang berdasarkan Pancasila, UUD 45 dan TAP MPR RI Nomor XVII/MPR/1998. 6 Hak-hak yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia terdiri dari: 1. Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat. 2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang bebas. 3. Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya. 4. Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan
6
Muhammad Latief Fauzi, “Konsep Hak Asasi Manusia dalam UU. Nomor 39 Tahun 1999, Telaah dalam Perspektif Islam”, http://mlatiffauzi.wordpress.com, Diakses tanggal 20 Oktober 2010.
gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar. 5. Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia. 6. Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. 7. Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya. 8. Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan. 9. Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam
jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya. 10. Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.
F. Metode Penelitian 1.
Jenis dan Sumber Data
Adapun jenis data penelitian ini adalah data sekunder Sedangkan sumber data penelitian ini didapatkan melalui: a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai 1) Undang-Undang Dasar 1945 2) TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia 3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. 4) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM 5) Undang-undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti. c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum maupun kamus umum dan website internet baik itu melalui Google maupun Yahoo.
2.
Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah meliputi pihak keplisian. Sedangkan sampel penelitian ini
adalah 3 orang Polisi.
3.
Metode dan Alat Pengumpulan Data
Banyak alat yang dapat dipakai oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Alat pengumpulan data yang dipergunakan didalam penelitian ini, yaitu : 1) Studi dokumen atau bahan pustaka Bahan pustaka dimaksud yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 2) Wawancara Wawancara dilakukan terhadap informen dan responden yang telah ditetapkan. Wawancara dimaksud berupa wawancara terarah yang lebih dahulu dipersiapkan pelaksanaannya dengan membuat pedoman wawancara sehingga hasil wawancara relevan dengan permasalahan yang teliti.
4.
Analisis Data
Untuk menganalisis data, digunakan analisis yuridis kualitatif adalah pengkajian hasil olah data yang tidak berbentuk angka yang lebih menekankan analisis hukumnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif dengan menggunakan cara-cara berfikir formal dan argumentatif. 7 Data yang terkumpul mengenai perumusan suatu Perda akan diolah dengan cara mengadakan sistematisasi bahan-bahan hukum dimaksud, yaitu membuat klasifikasi
terhadap
bahan-bahan
hukum.
Data
yang
diolah
tersebut
diinterprestasikan dengan menggunakan cara penafsiran hukum dan kontruksi hukum yang lazim dalam ilmu hukum dan selanjutnya dianalisis secara yuridis kualitatif dalam bentuk penyajian yang bersifat yuridis normatif. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini adalah: BAB
I.
PENDAHULUAN Bab ini membahas tentang: Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan.
BAB
II.
PROFESIONALISME POLISI DITINJAU DARI PERSPEKTIF HAM DALAM MELAKSANAKAN TINDAKAN PAKSA Bab ini membahas tentang Fungsi dan Peranan Polisi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pelaksanaan Tindak Upaya Paksa Oleh Penyidik Polri, Tindakan Polisi Dalam Penyelidikan, Tindakan Polisi Dalam Penyidikan serta Profesionalisme Polisi Ditinjau Dari Perspektif HAM Dalam Melaksanakan Tindakan Paksa.
BAB
III. PENEGAKAN HUKUM UNTUK PERLINDUNGAN HAK DI INDONESIA Bab ini membahas tentang Sejarah Hak Asasi Manusia, Jenis-Jenis Hak Asasi Manusia, Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia serta Penegakan Hukum Untuk Perlindungan HAM di Indonesia.
BAB
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran.
7
hal. 133.
M. Syamsuddin, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Grafindo Persada, Jakarta, 2007,