BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan sarana untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran yang ada dalam diri seseorang. Setiap ekspresi disampaikan melalui makna yang terkandung dalam setiap kata. Maka tanpa bahasa, seseorang tidak dapat menyampaikan apa yang dirasakannya. Gagasan tersebut sesuai dengan salah satu metafora dalam sebuah kutipan terkenal tentang language oleh Mark Amidon (penulis) (Goodreads, 2014), “Language is the means of getting an idea from my brain into yours without surgery” (Bahasa adalah sarana untuk memasukkan ide dari dalam otak penutur ke dalam otak mitra tutur tanpa proses operasi). Selain itu, bahasa juga dapat membantu seseorang dalam proses analogi. Di dalam bahasa, terdapat beberapa konsep leksikon yang bersifat abstrak seperti perasaan, cinta, waktu, bahasa, dsb. Leksikon yang bersifat abstrak tersebut seringkali dianalogikan ke dalam leksikon lain yang bersifat lebih konkret. Hal ini didukung oleh Ullmann yang menyatakan bahwa bahasa (dalam wujud metafora) dapat digunakan untuk menjabarkan pengalaman yang abstrak ke dalam hal yang konkret (1977: 268). Maka dapat dikatakan bahwa bahasa juga dapat menyampaikan konsep leksikon yang bersifat abstrak melalui leksikon yang bersifat lebih konkret dengan hubungan makna. Ungkapan ekspresi yang demikian disebut dengan metafora.
1
2
Metafora adalah pemakaian kata atau ungkapan lain untuk obyek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (Kridalaksana, 2008: 152). Metafora dapat berperan sebagai penyedia leksikon tambahan dalam kognisi manusia. Metafora digunakan ketika penutur menemukan sebuah leksikon yang dapat cukup tepat merepresentasikan gagasan dalam pikirannya dalam bentuk yang lain. Bentuk lain ini didapat dari pengalaman manusia sehari-hari, yang biasanya berbentuk lebih konkret. Catatan pentingnya adalah bahwa „ungkapan‟ yang dipilih untuk merepresentasikan gagasan yang ada dalam pikirannya merupakan hal yang telah dimiliki sebelumnya dan lebih dekat dengan kognisi penuturnya. Menurut Grady (2007: 188), metafora memberikan ilustrasi yang memadai untuk menggambarkan hubungan antara kognisi dan bahasa. Kognisi melihat pola yang menjadi dasar dalam konsep pemaknaan kata (dan fitur semantiknya) dalam pikiran manusia yang direalisasikan melalui bahasa. Dari sudut pandang semantik kognitif, metafora disebut dengan metafora konseptual. Metafora konseptual menganggap metafora sebagai ”cognitive process which helps us to conceptualize our experience by setting up correspondences between easily understood things like burdens and hard to understand things like obligations”
(proses
kognitif
yang
membantu
seseorang
dalam
mengkonseptualisasikan pengalamannya dengan menciptakan korespondensi antara kata yang mudah dimengerti seperti „beban‟ dan kata yang sulit dimengerti seperti „kewajiban‟” (Riemer, 2010: 248). Sejatinya, metafora konseptual acapkali diproduksi dan digunakan dalam tuturan sehari-hari. Hanya saja, sebagian besar penutur tidak menyadari bahwa
3
tuturan yang diproduksi merupakan ungkapan metaforis. Hal ini dikarenakan bentuknya yang tidak dapat secara langsung terlihat dengan jelas. Contohnya adalah the writer finds the words..., and when she can…wear them… (Jeanette Winterson, Goodreads, 2014). Ungkapan tersebut adalah ungkapan metaforis, hanya saja tidak dapat langsung diidentifikasi dengan jelas. Words dilihat sebagai benda yang mempunyai sifat wearable (dari wear „pakai‟ + able „dapat‟) „dapat dipakai‟. Dalam kasus ini, diperlukan analisis lebih lanjut mengenai benda yang bersifat dapat dipakai, misalnya pakaian. Dengan demikian, secara tidak langsung, ungkapan tersebut mengandung metafora BAHASA ADALAH PAKAIAN. Namun ada juga metafora yang konstruksinya terlihat dengan jelas, misalnya words are the clothes thoughts wear (Samuel Beckett, Goodreads, 2014). Dari konstruksi dan maknanya, dapat dilihat secara langsung bahwa tuturan tersebut adalah metafora; bahasa dilihat sebagai pakaian. Hal itu jelas terungkap dalam metafora tersebut karena benda berupa words „kata‟ dianalogikan dengan menggunakan to be: are „adalah‟ sebagai benda berupa clothes ‘pakaian‟. Karena sering diproduksi dalam tuturan sehari-hari dan membutuhkan proses kognitif dalam produksinya, metafora konseptual dapat digunakan untuk melihat kognisi manusia dibalik bahasa yang digunakannya. Beberapa penelitian yang dilakukan Mc Neill (1992), Gibbs (1994), dan Gentner (2001) membuktikan adanya hubungan antara metafora dan kognisi (Grady, 2007: 195-196). Hubungan ini dapat dilihat dari pemetaaan yang dimiliki oleh sebuah metafora. Pengalaman manusia atau human physiology and experiences yang menjadi dasar hubungan
4
pemetaan dalam metafora berperan penting dalam produksi metafora konseptual yang biasanya direalisasikan dalam linguistic expressions „tuturan kebahasaan‟ tertentu. Tuturan kebahasaan tersebut memiliki makna yang kemudian digunakan untuk melihat hubungan „pemetaan‟ dalam sebuah metafora. Makna dan pemetaannya merupakan bagian yang penting dalam metafora. Syarat dari penggunaan metafora adalah konsep makna dasar yang berkorelasi antara dua hal sehingga hal yang satu (biasanya lebih abstrak) dapat direpresentasikan atau dikonsepkan melalui hal lain (biasanya lebih konkret atau familiar dengan penutur). Maka, ada beberapa fitur semantik dari leksikon sumber yang harus ditemukan dalam leksikon sasaran. Dengan kata lain, terjadi proses transfer beberapa fitur semantik dari leksikon ranah sumber ke dalam leksikon ranah sasaran. Fitur tersebut akan memberi ciri sehingga sebuah leksikon tertentu laik untuk merepresentasikan leksikon yang lain. Fitur semantik itulah yang dapat menghubungkan dua konsep leksikon yang dijadikan metafora. Menurut Grady (2007: 190), ranah sasaran (target domain), ranah sumber (source domain), dan pemetaan (mapping) adalah hal yang penting dalam hubungan metaforis. Ranah sasaran merupakan gagasan yang akan disampaikan melalui ranah sumber, dan pemetaan adalah hubungan sistematis antar gagasan pada kedua ranah tersebut. Contoh konkret dari realisasi ranah sumber dan ranah sasaran adalah metafora “Language is the means of getting an idea from my brain into yours without surgery” (Mark Amidon). Bahasa (language) berperan sebagai sasaran, sedangkan sarana (means) berfungsi sebagai sumber. Dalam metafora
5
tersebut bahasa dipandang sebagai alat untuk menghadapi masalah (komunikasi) masyarakat sehari-hari. Maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara metafora dan kognisi adalah bahwa metafora dapat diproduksi berdasarkan kognisi penutur. Hal X disampaikan melalui hal Y, kedua hal tersebut pastilah mempunyai korelasi fitur semantik. Dari korelasi itulah kognisi seseorang mengenai X (sebagai ranah sasaran) dapat diketahui melalui kognisinya dalam melihat Y (sebagai ranah sumber) karena pada dasarnya, keduanya harus saling berkorespondensi untuk menghasilkan metafora. Mengetahui konsep metafora dan kognisi penuturnya membuat peneliti tertarik untuk meneliti metafora konsep language. Language di sini tidak terbatas secara spesifik pada kata language itu sendiri. Konsep language pada penelitian ini mencakup beberapa kata yang berada dalam satu ranah memori semantik tentang language. Dengan demikian, slot fungsi language sebagai ranah sasaran dalam konstruksi metafora ini dapat diisi oleh kata lain yang berada dalam satu ranah memori semantik dengan language, misalnya kata turunannya dan kata yang memiliki relasi makna tertentu dengan language. Metafora language akan memperlihatkan pandangan orang (khususnya penutur bahasa Inggris) mengenai konsep language. Bahasa akan dianggap sebagai hal-hal tertentu berdasarkan kognisi penuturnya. Hal itu bisa terjadi karena budaya, pengalaman berbahasa seseorang, serta faktor-faktor lainnya. Bergelut dengan bidang bahasa merupakan hal yang sangat menarik terlebih lagi untuk mengetahui kognisi orang mengenai konsep bahasa atau
6
language itu sendiri. Dengan mengetahui kognisi orang mengenai konsep language, peneliti bahasa akan lebih menguasai bidangnya. Pengetahuan mengenai konsep language dapat mengantar peneliti bahasa untuk sampai pada pemahaman lain dari konsep bahasa/language. Dengan begitu, peneliti tidak akan menganggap bahasa semata-mata sebagai alat komunikasi saja. Hal tersebut berlaku tidak hanya untuk para peneliti tetapi juga masyarakat umum. Masyarakat juga bisa mendapatkan pengetahuan lebih luas mengenai makna konsep language. Implikasinya yaitu dapat membantu mempopulerkan language dan metafora sebagai sesuatu yang menarik dan unik. Kemenarikan dan keunikan yang dapat diperoleh dari language melalui metafora adalah kemampuannya untuk berubah menjadi hal lain sesuai dengan tujuan yang ingin disampaikan oleh penutur. Selain itu, melalui metafora, pandangan penutur mengenai language juga dapat diketahui. Hal itulah yang akan disampaikan melalui penelitian ini. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kognisi penutur bahasa Inggris mengenai konsep language melalui tiga rumusan masalah berikut. a. Kata apa saja yang merealisasikan language sebagai ranah sasaran? b. Konsep ranah sumber apa sajakah yang ada dalam metafora language? c. Bagaimana korespondensi metaforis yang terbentuk dan mengapa language yang dijadikan ranah sasaran dalam metafora tersebut?
7
1.3 Tujuan Penelitian Seperti telah dikemukakan pada rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah: a. Memaparkan berbagai kata yang merupakan realisasi dari language sebagai ranah sasaran. b. Mendeskripsikan berbagai konsep ranah sumber yang terdapat dalam metafora language. c. Menjelaskan korespondensi metaforis yang terbentuk di dalamnya serta alasan language dijadikan ranah sasaran dalam metafora tersebut. 1.4 Ruang Lingkup Permasalahan Metafora mempunyai dua komponen utama, yaitu leksikon sebagai ranah sumber dan leksikon sebagai ranah sasaran yang dihubungkan oleh sistem pemetaan. Dengan begitu, language dapat muncul baik sebagai ranah sumber maupun ranah sasaran. Meskipun demikian, pada penelitian ini, masalah dibatasi hanya pada language yang berperan sebagai ranah sasaran, bukan sebagai ranah sumber. Pembatasan tersebut berpijak pada tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk melihat pandangan umum penutur bahasa Inggris tentang language. Untuk mengetahui berbagai konsep language tersebut, language harus berupa ranah sasaran yang dikonsepkan atau dimetaforakan melalui ranah sumber. 1.5 Manfaat Penelitian Secara praktis, pemanfaatan hasil penelitian ini masih berhubungan dengan konsep dan kognisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan
8
umum penutur bahasa Inggris mengenai language dengan cara menganalisis bentuk-bentuk tuturan atau ungkapan metaforis. Konsep-konsep yang dihasilkan dapat menggambarkan bagaimana penutur bahasa Inggris menganggap bahasanya. Penelitian ini penting, terlebih untuk bidang linguistik, karena bahasa di sini digunakan untuk mengetahui konsep bahasa itu sendiri. Selain itu, secara tidak langsung, penelitian ini juga dapat digunakan untuk membandingkan metafora language „bahasa‟ dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan akan memberi kontribusi dalam bidang linguistik khususnya semantik kognitif sebagai verifikasi teori yang ada. Selain itu, hasil kajian metafora language diharapkan dapat menjadi bahan yang berguna untuk mendorong penelitian-penelitian sejenis. Akmajian (2010: 234) juga telah meyampaikan bahwa kajian mengenai semantik merupakan lahan yang masih terbuka luas karena belum banyak yang melakukan penelitian di bidang ini. Oleh karena itu, diharapkan penelitian ini bisa bermanfaat bagi umum, dan khususnya untuk kajian linguistik semantik kognitif. 1.6 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka pada penelitian ini dibagi dalam empat bagian. Bagian pertama adalah pustaka yang berhubungan dengan kajian tentang metafora secara umum. Bagian kedua adalah pustaka hasil penelitian tentang kajian metafora konseptual yang berhubungan dengan proses kognitif seseorang. Bagian ketiga adalah pustaka hasil penelitian tentang language. Bagian keempat berisi pustaka yang masih berhubungan dengan metafora, namun berbeda dalam aplikasinya pada penelitian. Berikut adalah penjelasannya.
9
Terdapat beberapa pustaka yang membahas metafora secara umum. Pustaka yang pertama adalah tesis yang diajukan oleh Yulia Indarti dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 2008 yang berjudul “Metafora Kidung Ludruk.” Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk mendeskripsikan bentuk metaforis dan bentuk kebahasaan yang terdapat dalam kidung ludruk. Hasil dari penelitian ini menandakan bahwa metafora memegang peranan yang penting dalam penyampaian pesan suatu kesenian. Pustaka kedua adalah tesis yang diajukan oleh Lati Andriani dari Universitas Pendidikan Indonesia pada tahun 2013. Judul tesisnya adalah “Analisis Metafora pada Berita Olahraga dan Implikasinya bagi Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA.” Tujuan dari tesis tersebut adalah mendeskripsikan metafora, makna dasar, perubahan makna, jenis perubahan makna, dan desain pembelajaran metafora pada berita olah raga. Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat dalam pengajaran. Selain itu, Elita Ulfiana dari Universitas Gadjah Mada juga menulis penelitian tentang metafora yang berjudul “Metafora dalam Roman Layla Majnun”. Penelitian yang selesai pada tahun 2012 ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan asosiasi metafora yang ada dalam roman Layla Majnun. Hasilnya menunjukkan bahwa metafora dalam roman Layla Majnun dapat berbentuk frasa dan klausa, serta didapatkannya jenis metafora yang berkenaan dengan sistem ekologi di dalamnya. Ketiga penelitian di atas berbeda dengan penelitian ini pada objek dan cara pembahasan, sedangkan persamaannya adalah pada pembahasannya yang berupa metafora.
10
Pada bagian kedua, ditemukan beberapa pustaka tentang kajian metafora konseptual. Pustaka yang pertama adalah penelitian yang berjudul “Bentukbentuk Metafora Temporal Bahasa Indonesia (Tinjauan Awal)”. Penelitian ini dilakukan oleh Icuk Prayogi dari IKIP PGRI Semarang pada tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengurai klasifikasi bentuk tersebut dan makna yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk melihat konsep waktu yang ada dalam kognisi masyarakat Indonesia melalui metafora yang sering dihasilkan oleh penutur bahasa Indonesia. Selanjutnya adalah artikel berjudul “A Cognitive Linguistic Analysis of Indonesian Love Metaphors” oleh Truly Almendo Pasaribu dari Universitas Sanata Darma. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2013 ini bertujuan untuk melihat bagaimana metafora mengkonsep emosi cinta. Sama seperti penelitian sebelumnya, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui konsep cinta yang ada dalam kognisi masyarakat Indonesia. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa konsep yang abstrak seperti love dapat direpresentasikan ke dalam beberapa tipe metafora konseptual. Kedua penelitian di atas telah dikompilasi dalam Prosiding Seminar Internasional Studi Bahasa dari Berbagai Perspektif yang diadakan oleh UGM pada Desember 2013. Penelitian yang keempat juga telah dipresentasikan dalam seminar tersebut. Penelitian berupa artikel tersebut dijadikan kajian pustaka pada penelitian ini karena mempunyai jenis pembahasan yang sama, yaitu konsep suatu kata yang dilihat dari metafora yang dihasilkan dari idiom, kata bijak, atau kutipan dari pengguna bahasa tertentu. Yang membedakan keduanya dengan penelitian ini
11
adalah objek dan data yang digunakan oleh masing-masing penelitian. Selain itu, penelitian ini berusaha untuk melihat kognisi penutur bahasa Inggris sedangkan dua penelitian yang disebutkan melihat kognisi penutur bahasa Indonesia. Selanjutnya adalah penelitian tentang proses kognitif yang berhubungan dengan language yang dilakukan oleh Reddy (1979), Tyler dan Evans (2001), Evans (2005), dan Nirmala (2014). Di antara keempatnya, penelitian yang dianggap paling relevan adalah penelitian Reddy dan Nirmala. Penelitian Reddy yang berjudul “The Conduit Metaphor - A case of Frame Conflict in Our Language about Language” bertujuan untuk melihat bahasa sebagai alat komunikasi dan proses berlangsungnya komunikasi tersebut (communicating communication). Di sini, bahasa dianggap sebagai wadah dari gagasan yang ingin disampaikan oleh penutur. Berikutnya, penelitian Nirmala dari Universitas Diponegoro yang berjudul “Proses Kognitif dalam Ungkapan Metaforis”. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana proses kognitif terjadi ketika seseorang (khususnya penutur bahasa Indonesia) menghasilkan ungkapan metaforis (berbahasa). Hasil analisis menunjukkan bahwa proses kognitif dalam menghasilkan ungkapan metaforis dilakukan dengan strategi asosiatif dengan menunjukkan korespondensi antara konsep sumber dan konsep target. Artikel tersebut dimasukkan dalam kajian pustaka karena memiliki fungsi yang signifikan dalam penelitian ini, khususnya pada pertanyaan ketiga. Bagian yang terakhir adalah pustaka yang mengkaji metafora namun dengan perbedaan aplikasi dalam penelitian. Yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Rod Pitcher dan Gerlese S. Ǻkerlind dari The Australian National
12
University pada tahun 2008. Judul penelitiannya adalah “Post-Doctoral Researchers’ Conceptions of Research: A Metaphor Analysis.” Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep penelitian yang menggunakan metafora dalam perumusan masalah, dan membuktikan keefektifan penggunaan metafora dalam menganalisis konsep penelitian tersebut. Yang terakhir adalah artikel yang disusun oleh Jeroen Wittink dari VU University Amsterdam pada tahun 2010. Artikel ini berjudul “Reliable Metaphor Analysis in Organizational Research.” Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun kerangka kerja dan pendekatan pada penelitian terkait dengan metafora. Dua penelitian yang terakhir tidak memfokuskan pembahasan metafora pada objek atau kata tertentu, melainkan pada pengembangan dan aplikasi teori metafora dalam penelitian bahasa. 1.7 Landasan Teori Pembahasan pada penelitian ini terfokus pada ungkapan metaforis. Ungkapan metaforis (metafora) yang diproduksi dalam tuturan sehari-hari dapat memperlihatkan proses kognitif penuturnya. Proses tersebut dapat dilihat dari korelasi/korespondensi fitur semantik antara ranah sasaran dan sumber dalam sebuah metafora. Melalui analisis proses kognitif tersebut, alasan penggunaan language sebagai ranah sasaran dalam metafora dapat diketahui. Oleh karena itu, teori yang digunakan adalah metafora dalam linguistik (semantik) kognitif dan analisis komponensial makna. Berikut adalah penjelasan singkat dari masingmasing teori tersebut.
13
1.7.1
Metafora Lakoff dan Johnson dalam Metaphors We Live by menyatakan bahwa the
essence of metaphor is understanding and experiencing one kind of thing in terms of another (2003: 6). Dalam hal ini, aspek kognitif manusia dalam melihat dan memaknai ihwal tertentu melalui istilah yang lain memegang peranan yang sangat signifikan. Dua hal yang saling dikaitkan tersebut pastilah mempunyai (beberapa) dasar fitur semantik yang saling berkorelasi sehingga menimbulkan kesamaan. Oleh karena itu, pembahasan mengenai metafora khususnya metafora konseptual adalah salah satu dari banyak cara untuk mempelajari aspek kognitif manusia mengenai objek tertentu, dalam hal ini adalah bahasa atau language. Sebelum masuk pada teori mengenai metafora, terlebih dahulu akan dijelaskan tentang identifikasi ungkapan metaforis atau metaphorical expression. Bentuk metaforis yang dibahas terutama adalah metafora konseptual. Proses identifikasi yang diterapkan adalah intuitional identification atau identifikasi metafora berdasarkan intuisi kebahasaan peneliti. Hal ini didukung oleh Wittink yang mengatakan bahwa “identifying and delimiting conceptual metaphor and cognitive models is still mostly a matter of intuition” (2010: 10). Dari kutipan tersebut, dapat disimpulkan bahwa intuisi sangatlah esensial dalam penelitian bahasa, dalam hal ini metafora. Perlu ditekankan bahwa intuisi di sini (hanya) berperan dalam menentukan apakah sebuah tuturan mengandung unsur metaforis di dalamnya. Setelah dijelaskan mengenai proses identifikasi bentuk metaforis, berikut adalah pemaparan mengenai teori metafora.
14
1.7.1.1 Metafora Konseptual Metafora konseptual adalah metafora yang berhubungan dengan aspek kognitif manusia. Istilah metafora dan metafora konseptual dalam bidang kognitif mempunyai pengertian yang sama. Keduanya membicarakan tentang sistem untuk melihat dan memaknai sesuatu melalui hal yang lain. Aspek kognitif sangatlah dibutuhkan dalam pemaknaan ini. Oleh karena itu, semantik kognitif akan diterapkan dalam menganalisis data dalam penelitian ini. Semantik kognitif membahas tentang produksi makna yang berhubungan dengan kognisi dalam pikiran manusia. Hal ini sesuai dengan pemaparan Mac Cormac dalam A Cognitive Theory of Metaphor yaitu “Neither, however, could occur without the underlying cognitive process that produces mechanisms by which new semantic meanings are created” (tidak ada yang dapat terjadi tanpa adanya proses kognitif yang mendasari munculnya mekanisme yang mampu menghasilkan makna semantik baru) (1985: 192). Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa aspek kognitif di sini berguna untuk melihat mekanisme produksi makna yang dibentuk dalam sebuah metafora. Chomsky berpendapat bahwa kemampuan manusia dalam menghasilkan dan memahami tuturan adalah melalaui kompetensi dan performansinya. Setiap tuturan didasarkan pada kemampuan dasar kompetensi yang direalisasikan melalui performansi. Hal tersebut berlaku dalam semua bahasa. Pada intinya, Chomsky menekankan bahwa dengan kaidah yang terbatas (universal grammar dalam kompetensi), manusia dapat menghasilkan berbagai macam tuturan yang tidak terbatas (dalam performansinya) (2006: 101-107).
15
Hal tersebut juga berlaku dalam ungkapan metaforis. Dengan kreatifitasnya, manusia dapat menghasilkan berbagai bentuk metafora. Pendapat ini didukung oleh Nirmala yang menyatakan bahwa dalam menghasilkan ungkapan metaforis, manusia mampu menggunakan kreatifitasnya dalam memilih dan menentukan konsep apa yang akan dipilih (sasaran) dan konseptualisasi (sumber) apa yang akan dilakukan (2014: 2). Dengan begitu, pertanyaan ketiga mengenai korespondensi antara konsep sasaran dan sumber dapat diketahui. Menurut Nirmala (2014: 2-3), untuk dapat menentukan korelasi antara konsep sasaran dan sumber diperlukan beberapa pemahaman tentang semantic memory (Collins dan Qulilian dalam Jay (2003)) dan embodied experience (Lakoff dan Johnson, 1999). Semantic memory adalah bagian memori yang berisi kata, konsep, dan fakta mengenai dunia. Memori semantik akan aktif ketika manusia menghasilkan tuturan, dalam hal ini mengasosiasikan beberapa konsep kata dengan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya (embodied ecperience). Demikian adalah proses psikologis yang terjadi ketika manusia menghasilkan tuturan metaforis. 1.7.1.2 Domain atau Ranah dalam Metafora Yang kedua dalam sub metafora ini adalah mengenai domain atau ranah metafora. Lakoff dan Johnson (2003: 265) mengatakan bahwa “in a metaphor; there are two domains: the target domain, which is constituted by the immediate subject matter, and the source domain, in which important metaphorical reasoning takes place and that provides the source concepts used in that reasoning.” Target domain atau ranah sasaran merupakan gagasan yang akan
16
disampaikan melalui metafora, sedangkan source domain atau ranah sumber merupakan alat dalam penyampaian metafora. Pernyataan tersebut diperbarui oleh Lakoff dengan menyebutkan bahwa ada tiga hal penting dalam metafora (Cruse, 2004). Ketiga hal itu adalah ranah sumber atau source domain (tenor), yang biasanya lebih konkret dan familiar; sasaran atau target domain (vehicle), yang biasanya lebih abstrak (Jaszczolt, 2002 dan Saeed 1997); dan set of mapping relation atau korespondensi. Korespondensi atau disebut juga pemetaan yang terdapat dalam metafora ini, menurut Lakoff, terdiri dari dua macam, yaitu korespondensi ontologis dan korespondensi epistemis. Korespondensi ontologis mengacu pada sifat dasar dari dua entitas yang dihubungkan tersebut, sedangkan korespondensi epistemis mengacu pada pengetahuan penutur dan mitra tutur yang menghubungkan kedua entitas tersebut. Haley melalui Wahab (1991: 86), mengusulkan adanya sembilan hirarki medan semantik persepsi manusia. Hirarki tersebut adalah BEING, COSMOS, ENERGY, SUBSTANCE, TERRESTRIAL, OBJECT, LIVING, ANIMATE, dan HUMAN. Wahab berpendapat bahwa model hirarki tesebut dapat dipakai untuk memetakan hubungan antara lambang yang dipakai dalam metafora (ranah sumber) dan maknanya. Kategori tersebut tidak akan dijadikan acuan dalam penelitian ini karena acuan utamanya adalah tetap pada data. Meskipun demikian, kategori tersebut akan dijadikan bahan pertimbangan dalam klasifikasi data dalam penelitian ini.
17
1.7.1.3 Sifat Metafora Selain memahami ranah metafora, mengetahui sifat metafora juga diperlukan untuk memilah data dan mempermudah analisis. Menurut Saeed, (1997) terdapat empat ciri metafora. Pertama adalah conventionality. Hal ini berkaitan dengan kebaruan ide di dalamnya. Ciri ini digunakan untuk menyanggah pendapat konsep dead metaphor, metafora yang akibat sering digunakan, maknanya bergerak dari makna metaforis menuju makna literal. Menurut mereka, metafora tersebut tidaklah mati, hanya terkonvensionalisasi, menjadi lebih umum, dan tanpa disadari menguasai konseptualisasi kita (Jaszczolt, 2002). Kedua adalah sistematicity. Sistematicity berkaitan tidak hanya dengan cara metafora mengambil sebuah titik perbandingan antara berbagai macam objek, tetapi juga menyangkut bagaimana metafora membangun kerangka logis bagi dirinya sendiri. Ketiga adalah asymmetry. Dalam konsep asymmetry metafora tidak membandingkan dua objek dari dua arah, melainkan satu arah, dan perbandingannya tidak bersifat sebanding. Metafora hanya mendorong pendengar untuk melekatkan ciri milik sumber untuk sasaran. Keempat adalah abstraction. Berhubungan dengan sifatnya yang asimetris, metafora berusaha untuk memindahkan sifat yang terdapat pada suatu benda (kata) yang lebih konkret kepada kata yang lebih abstrak. Selain itu, ada sifat lain yang dimiliki oleh metafora yaitu highlighting dan hiding. Kedua istilah tersebut digagas oleh Lakoff dan Johnson yang menyatakan bahwa “the very sistematicity that allows us to comprehend one
18
aspect of a concept in terms of another will necessarily hide other aspects of the concept” (2003: 10). Dalam suatu konsep metafora, terdapat aspek fitur semantik yang ditonjolkan dan aspek lain yang dihilangkan. Aspek fitur semantik yang ditonjolkan dan dihilangkan dikonstruksi sesuai dengan korelasi ranah sumber dan sasaran. Ranah sasaran yang sama sangat dimungkinkan untuk memiliki berbagai ranah sumber yang berbeda jika ranah sasaran memiliki fitur semantik yang sangat kaya. Oleh karena itu, diperlukan analisis komponensial makna (yang akan dipaparkan dalam sub landasan teori yang berikutnya) untuk mengetahui pemetaan fitur semantik yang terjadi dalam sebuah metafora konseptual. 1.7.1.4 Metafora dan Ungkapan Metaforis Metafora berbeda dengan ungkapan metaforis. Metafora memiliki konstruksi berupa X IS Y. Bentuk ini, menurut Lakoff (1992: 2) adalah pemetaan langsung dari X ke Y; X adalah ranah sasaran, Y adalah ranah sumber, dan keduanya adalah kata benda. Contohnya adalah LANGUAGE IS A VIRUS. Sudah jelas dalam metafora tersebut bahwa language dianalogikan sebagai sebuah virus. Sementara itu, ungkapan metaforis adalah tuturan kebahasaan tertentu (Lakoff, 1992:4) yang wujud metaforanya dapat teridentifikasi secara langsung maupun tidak langsung dalam tuturan tersebut. Cara untuk menilai metafora ini adalah dengan mengidentifikasi ranah-ranahnya. Contohnya adalah language always betrays us. Verba betrays yang bermakna „mengkhianati‟ merupakan karakteristik yang dimiliki oleh manusia. Oleh sebab itu, secara tidak langsung, metafora konseptualnya adalah „BAHASA ADALAH MANUSIA‟.
19
Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa metafora adalah konsep yang terbentuk, sedangkan ungkapan metaforis adalah tuturan kebahasaan yang mengandung metafora di dalamnya. Sebuah ungkapan metaforis dapat berbentuk langsung (X is Y) atau tidak langsung. 1.7.1.5 Metafora Universal dan Metafora Terikat Budaya Dalam Metaphor, Ritchie menggunakan istilah international dan culture specific metaphor (2013: 76-78). International metaphor atau metafora universal adalah metafora yang dimiliki oleh (hampir) semua kebudayaan karena dasar pengalaman yang digunakan dialami oleh semua orang dengan kesan yang sama. Contoh dari metafora ini adalah heartbreak, language is identity, he is a leech yang dalam bahasa Indonesia adalah patah hati, bahasa adalah (menunjukkan) identitas penutur, dan dia adalah lintah (licik dan jahat). Semua metafora tersebut dapat dimengerti dari segala konteks budaya Culture specific metaphor atau metafora terikat budaya adalah metafora yang hanya ada dan dapat dipahami pada konteks budaya tertentu. Hal ini dikarenakan budaya tertentu memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh budaya yang lain. Contoh dari metafora ini adalah language is wine upon the lips dan dia adalah kancil. Metafora pertama menggunakan leksikon wine yang tidak ada dalam budaya Indonesia. Metafora kedua menggunakan leksikon kancil, di mana karakteristik kancil yang dimaksud dalam metafora ini tidak dapat dilihat dari wujud hewan kancil, melainkan harus ditelusuri dari budaya Indonesia yang mempunyai latar belakang fabel kancil yang berwatak tidak baik.
20
1.7.2
Analisis Komponensial Makna Analisis komponensial makna tidak akan dibahas dengan sangat mendetil
pada penelitian ini. Teori analisis komponesial makna hanya digunakan untuk mengetahui fitur semantik yang dimiliki oleh kedua ranah dalam metafora. Lebih tepatnya, analisis komponensial makna digunakan untuk mengetahui fitur semantik yang dimiliki oleh leksikon ranah sumber yang kemudian ditransfer ke dalam leksikon ranah sasaran. Fitur tersebut dapat digunakan untuk menentukan makna metafora language, dan selanjutnya dapat dijadikan dasar untuk analisis pembentukan korespondensi metaforis dalam metafora language. Menurut Nida (1975: 54) ada beberapa tahap dalam melakukan analisis komponensial makna. Namun tahap-tahap tersebut tidak akan dijelaskan secara rinci di sini. Yang akan dijelaskan adalah langkah ringkas yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama, akan dikelompokkan beberapa (data) kata dengan makna yang berkaitan. Kedua, akan dicari fitur semantik dari (data) kata tersebut. Yang terakhir, fitur semantik yang berkorelasi antara kata tersebut dengan language akan diperbandingkan dan dianalisis. Selain analisis komponensial makna, hal yang dapat membantu dalam proses analisis metafora adalah tujuan utama ekspresi metafora tersebut. Hal ini didukung oleh Lyons (1978: 50) yang menganggap bahwa bahasa bukan hanya berfungsi untuk menyampaikan informasi faktual saja. Bahasa juga muncul sebagai perwujudan hubungan sosial dalam masyarakat dan berfungsi sebagai sarana untuk mengekspresikan pikiran, sikap, dan kepribadian. Salah satu wujud ekspresi tersebut adalah metafora. Oleh karena itu, dengan melihat kepentingan
21
penutur dalam ekspresi metafora tersebut, korespondensi metaforis yang terbentuk antara keduanya dapat diketahui. 1.8 Metode Penelitian Pelaksanaan penelitian bahasa terdiri dari tiga tahap (Sudaryanto, 1993: 5-8). Tahap pertama adalah tahap pengumpulan data. Tahap kedua adalah tahap analisis data. Tahap ketiga adalah tahap penyajian hasil penelitian. Masingmasing tahap mempunyai metode yang berbeda yang akan dijelaskan berikut ini. Namun sebelumnya, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai jenis dari penelitiannya. 1.8.1
Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Dalam penelitian ini,
peneliti berusaha untuk menjelaskan data yang diteliti secara mendalam. Penelitian ini disebut penelitian kepustakaan karena data yang digunakan bersumber dari sumber tertulis (pustaka). 1.8.2
Metode Pengumpulan Data Berdasarkan data, penelitian ini diarahkan kepada jenis penelitian
kualitatif.
Penelitian
kualitatif
mengutamakan
keunggulan
data
pada
kelengkapannya secara tipikal. Kelengkapan dari jenis konsep dan maknanyalah yang diutamakan bukan banyaknya data yang digunakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, jumlah tidak diutamakan karena satu klasifikasi cukup diwakili dengan beberapa sampel data dari sejumlah populasi yang ada. Data penelitian ini merupakan leksikon konsep language dan bentuk metaforisnya. Data tersebut terangkum dalam quotes (kutipan-kutipan dari tokoh
22
penting). Kutipan yang diambil akan dibatasi hanya pada kutipan yang mempunyai unsur konsep language dan bentuk metaforis di dalamnya. Data dalam penelitian ini didapatkan dari pengamatan laman-laman di internet berjudul Goodreads, Brainy Quote, CLAS (Culturally and Linguistically Appropriate Service), Studies on Consciousness, Cognition, and Life (Pierro Scaruffi), Answers (Power of Words), Language Log, ThinkExist.com, Omniglot, dan John Benjamins Publishing Company dengan mengetikkan kata kunci language. Laman tersebut memuat banyak informasi bacaan, salah satunya adalah quotes atau kutipan dari tokoh-tokoh penting seperti penulis buku, filsuf, tokoh masyarakat, dll. Selain itu, terdapat sumber lain lagi yaitu ensiklopedi digital berjudul Microsoft Encarta Premium 2009. Dari hasil pengamatan sekurangkurangnya didapatkan tiga ratus tiga puluh empat (334) data yang diambil dari ribuan kutipan yang ada dalam laman-laman tersebut. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode simak atau observasi. Teknik yang digunakan adalah teknik simak bebas libat cakap. Menurut Kesuma (2007: 44), teknik penjaringan data ini dapat dilakukan dengan menyimak
penggunaan
bahasa
tanpa
ikut
berpartisipasi
dalam
proses
pembicaraan. Teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik catat. Maksudnya adalah mencatat hasil penjaringan data yang telah diamati. Dari penjabaran tersebut, langkah pengumpulan data yang didapat adalah: a.
mengkhususkan entry kutipan pada laman-laman yang telah disebutkan di atas dan program Microsoft Encarta Premium 2009 pada language. Caranya yaitu dengan mengetikkan language pada kolom search (hasil yang didapat
23
berupa kalimat kutipan mengenai language beserta beberapa kata dalam ranah memori semantik language seperti words, speech, dll.); b.
setelah entry kutipan mengenai language didapat, data akan dipilah lagi dengan cara pengamatan. Pada tahap pengamatan inilah diterapkan metode observasi dengan teknik simak bebas libat cakap;
c.
data hasil pengamatan yang telah dipilih kemudian dicatat dalam lembar tersendiri. Tahap ini menerapkan teknik lanjutan berupa teknik catat. Tahap pengumpulan data telah dilakukan sehingga didapatkan data
penelitian. Data tersebut akan dianalisis dalam tahap selanjutnya, yaitu tahap analisis data penelitian. 1.8.3
Metode Analisis Data Dalam tahap analisis data, peneliti menggunakan metode linguistik dan
semantik kognitif. Metode linguistik yang pertama kali harus diterapkan adalah padan translasional. Menurut Kesuma (2007: 49), metode padan translasional adalah metode padan yang alat penentunya adalah bahasa lain di luar bahasa yang diteliti. Dalam melakukan analisis, data harus diklasifikasikan terlebih dahulu. Alat penentu klasifikasi ini adalah bahasa Indonesia. Oleh karena itu, data harus diterjemahkan dahulu secara sekilas ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian, kata kunci dalam data berbahasa Inggris tersebut akan dicari padanannya dalam bahasa Indonesia sehingga dapat dimasukkan dalam klasifikasi tertentu. Selanjutnya adalah tahap analisis dari bidang semantik kognitif. Teori yang digunakan adalah teori metafora konseptual yang dilanjutkan dan dipadukan dengan analisis komponensial makna. Dalam data metafora yang tersedia, akan
24
dicari dan diperbandingkan dua domain yang saling berkaitan. Setelah itu, leksikon dari masing-masing domain tersebut dicari fitur semantiknya. Fitur semantik
yang
dimiliki
oleh
keduanya
haruslah
saling
berkorelasi/
berkorespondensi. Maka dapat disimpulkan bahwa pasti ada fitur semantik yang ditransfer dari ranah satu (ranah sumber) ke ranah yang lain (ranah sasaran). Fitur semantik itulah yang dianalisis menggunakan analisis komponensial makna. Dari penjelasan tersebut, berikut adalah tahapan analisis data secara lebih rinci: a.
menerjemahkan kata kunci yang berupa ranah sumber yang terdapat pada data berbahasa Inggris. Padanan tersebut digunakan sebagai dasar klasifikasi. Tahap ini menerapkan metode padan translasional;
b.
mengklasifikasikan data sesuai dengan hasil padan ranah sumber;
c.
mendata realisasi language sebagai ranah sasaran dalam setiap kelas;
d.
mendata konsep ranah sumber yang terbentuk dalam metafora language berdasarkan klasifikasinya;
e.
menganalisis transfer fitur semantik dari ranah sumber ke ranah sasaran dalam setiap kelas menggunakan analisis komponensial makna;
f.
dalam proses ini dibutuhkan bantuan penutur bahasa Inggris (sebagai bahasa ibunya) atau orang asing dengan budaya barat (karena yang dibutuhkan adalah deskripsi mengenai budayanya) untuk verifikasi data;
g.
analisis komponensial makna dipadukan dengan analisis semantik kognitif dalam metafora untuk menemukan korespondensi;
25
h.
dari hasil analisis tersebut, didapatkan fitur dominan/menonjol yang ditransfer. Fitur tersebut dapat digunakan untuk menentukan makna metafora language berdasarkan ranah sumbernya;
i.
hasil tahap h digunakan untuk menganalisis alasan digunakannya language sebagai ranah sasaran dengan melihat hasil keseluruhan. Dengan analisis data di atas, didapatkan beberapa makna metafora
language sesuai klasifikasinya. Oleh karena itu, secara tidak langsung, pandangan /kognisi penutur bahasa Inggris mengenai konsep language „bahasa‟ dapat diketahui. 1.9 Sistematika Penyajian Pembahasan pada penelitian ini dibagi ke dalam lima bab. Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup permasalahan, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi pembahasan tentang realisasi language sebagai ranah sasaran. Bab III mendeskripsikan berbagai konsep ranah sumber dalam metafora language. Bab IV menjelaskan korespondensi antara language sebagai ranah sasaran dengan berbagai ranah sumbernya. Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran.