BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Seseorang yang tidak dapat menjalankan suatu urusan, maka alternatifnya adalah menunda urusan tersebut sampai ia mampu melakukannya sendiri atau mewakilkan kepada atau diwakilkan oleh orang lain untuk melakukannya. Mewakilkan kepada orang lain untuk menjalankan suatu urusan itulah yang dalam bahasa sehari-hari dikenal dengan pemberian kuasa. Pemberian kuasa adalah suatu perbuatan hukum yang bersumber pada perjanjian yang sering dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena bermacam-macam alasan, di samping kesibukan sehari-hari sebagai anggota masyarakat yang demikian kompleks sering dilakukan dengan surat kuasa. 1 Pengertian surat kuasa secara umum, dapat dirujuk dari Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi: pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua pihak yang terdiri dari: pemberi kuasa dan penerima kuasa yang diberi perintah atau mandat melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
1
Djaja S. Meliala, Penuntun Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Nuansa Alulia, Bandung, 2008, hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pemberian kuasa dapat berlaku sebagai kuasa umum dan sebagai kuasa khusus. Kuasa yang diberikan secara umum adalah meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan yang mencakup segala kepentingan pemberi kuasa, kecuali perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik. 2 Misalnya melakukan tindakan pengurusan, penghunian atau pemeliharaan seperti membayar rekening listrik, telepon dan rekening air atau tindakan lain yang merupakan tindakan pengurusan (beheer) sementara terhadap sebuah rumah atau lebih yang terletak di kota tertentu atau jalan tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan surat kuasa khusus hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, oleh karena itu diperlukan suatu pemberian kuasa yang menyebutkan dengan tegas perbuatan meletakkan atau membebankan hak atas barang bergerak seperti hipotek atau hak tanggungan, yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik. 3 Pemberian surat kuasa khusus sebagaimana yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, salah satunya adalah pemberian Surat Kuasa Hipotik atau Pembebanan Hak Tanggungan. Di mana sejak diterbitkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT), maka Surat Kuasa tersebut dikenal sebagai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Pembebanan hak tanggungan atas tanah,
sebagaimana diketahui adalah
dituangkan dalam suatu Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh 2 3
Pasal 1796 KUH Perdata Djaja S. Meliala, Op. Cit., hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sebagai bukti tentang pemberian hak tanggungan yang berkedudukan sebagai dokumen perjanjian kedua yang melengkapi dokumen perjanjian utang sebagai perjanjian pokok. Dalam pembuatan APHT dilakukan oleh debitur atas objek jaminan kredit, yang dalam praktek dapat dilakukan oleh pihak bank (kreditur) atas dasar kuasa yang diberikan oleh debitur dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Menurut Pasal 1171 ayat (2) KUH Perdata, kuasa untuk memasang hipotek harus dibuat dengan akta otentik. Di dalam pelaksanaannya sesuai Pasal 1868 KUH Perdata akta otentik itu adalah akta notaris. Tidak demikian halnya untuk SKMHT, karena menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT. Dengan kata lain, sekalipun harus dibuat dengan akta notaris saja, tetapi dapat pula dibuat dengan akta PPAT. Sahnya suatu SKMHT selain dari harus dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT, harus pula dipenuhi persyaratan SKMHT yang dibuat itu: 4 a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan; b. tidak memuat kuasa substitusi; c. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. Konsekuensinya
apabila
syarat-syarat
tersebut
tidak
terpenuhi,
mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan
4
Pasal 15 ayat (1) UUHT
Universitas Sumatera Utara
APHT. Oleh karena itu, PPAT wajib menolak permohonan untuk membuat akta pembebanan hak tanggungan, apabila SKMHT tidak dibuat sendiri oleh pemberi hak tanggungan atau tidak memenuhi persyaratan seperti di atas. UUHT memberikan batasan dalam SKMHT tidak boleh memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan. Yang dimaksud dengan tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek hak tanggungan atau memperpanjang hak atas tanah. 5 Oleh karena itu, SKMHT dibuat secara khusus hanya memuat pemberian kuasa untuk membebankan hak tanggungan saja, sehingga dengan demikian juga terpisah dari akta-akta lain. Pemberian kuasa memasang hipotik di dalam praktek seringkali diberikan oleh debitur (dalam hal debitur adalah pemilik dari objek hipotik) kepada bank sekaligus di dalam perjanjian kredit, sepanjang perjanjian kredit dibuat dengan akta notaris. Dengan berlakunya UUHT, maka kuasa membebankan hak tanggungan tidak lagi dapat disatukan dengan perjanjian kredit, tetapi harus dibuat terpisah secara khusus. 6 Oleh karena itu, tidak terpenuhinya syarat ini mengakibatkan surat kuasa yang bersangkutan batal demi hukum, yang berarti surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan APHT.
5
Pasal 15 ayat (1) huruf a UUHT. Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hal. 10-11 6
Universitas Sumatera Utara
Penggunaan SKMHT menurut UUHT hanya untuk pembebanan hak tanggungan, selain itu juga adanya batasan bagi kreditur sebagai penerima kuasa untuk melakukan substitusi atas surat kuasa itu. Ketentuan substitusi dalam KUH Perdata, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1803 ayat (2), bahwa suatu surat kuasa dapat dilimpahkan (substitusi) oleh penerima kuasa kepada orang lain (pihak ketiga). Pada umumnya surat kuasa selalu diberikan dengan klausul, ”Surat Kuasa ini diberi Hak Substitusi”. Jika penerima kuasa tidak diberi wewenang untuk itu, tapi kemudian ia melimpahkannya kepada orang lain maka pelimpahan itu tidak sah. Kecuali untuk mengurus barang-barang yang berada di luar wilayah Indonesia atau di luar pulau tempat tinggal pemberi kuasa. Menurut UUHT secara tegas dinyatakan SKMHT tidak memuat kuasa substitusi. Akan tetapi, yang dimaksud dengan pengertian substitusi menurut Undangundang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Bukan merupakan substitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya, misalnya Direksi Bank menugaskan pelaksanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala Cabangnya atau pihak lain. 7 Jangka waktu antara kuasa memasang hipotek dengan pemasangan hipotik tidak dibatasi waktunya. Sebaliknya, SKMHT atau Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dibatasi dengan waktu, yaitu satu bulan untuk tanah yang sudah terdaftar
7
Pasal 15 ayat (1) huruf b UUHT
Universitas Sumatera Utara
dan tiga bulan untuk tanah yang belum terdaftar bila tidak diikuti dengan pembuatan akta pemberian hak tanggungan akan batal demi hukum. 8 UUHT secara tegas menyatakan bahwa SKMHT tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya. 9 Surat kuasa membebankan hak tanggungan, sebelum atau sesudah berlakunya UUHT, seringkali digunakan oleh bank dalam pengikatan hak tanggungan, jadi bank tidak langsung membebankan objek hak tanggungan yang menjadi agunan kredit. Bank banyak yang hanya meminta (menguasai) SKMHT saja untuk mengamankan kredit yang telah diberikan kreditur tersebut. 10 Alasan-alasan bank tidak langsung membebankan hak tanggungan pada tanah yang menjadi agunan kredit, tetapi hanya meminta SKMHT dari pemberi hak tanggungan adalah biaya pembebanan hak tanggungan dirasakan sangat mahal oleh nasabah debitur. Oleh karena itu, nasabah debitur merasa berkeberatan apabila bank mengharuskan agar dilakukan langsung pembebanan hak tanggungan di atas agunan yang diserahkan oleh nasabah debitur. Alasan lain adalah tanah yang dijadikan agunan masih belum terdaftar dan belum bersertifikat. Sehingga pengurusan dan penerbitan sertifikatnya biasanya memakan waktu yang sangat lama, sementara itu
8
Sutan Remy Sjahdeini, Beberapa Permasalahan UUHT Bagi Perbankan, Makalah pada Seminar Nasional Sehati tentang “Periapan Pelaksanaan Hak Tanggungan di Lingkungan Perbankan”, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 25 Juli 1996, hal. 45. 9 Pasal 15 ayat (2) UUHT. 10 Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan..., op. cit., hal. 117.
Universitas Sumatera Utara
kredit sudah segera diperlukan. Oleh karena itu, sementara penerbitan sertipikat masih dalam proses, bank mengikat debitur dengan meminta terlebih dahulu SKMHT, 11 dan dokumen atau surat terkait dengan tanah tersebut lainnya, seperti Surat Keterangan Tanah dari camat/lurah. Pasal 15 ayat (4) UUHT menyebutkan SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. Penetapan jangka waktu yang terlalu pendek itu dapat membahayakan kepentingan kreditur, karena tidak mustahil, yaitu sebagaimana beberapa kasus memperlihatkan keadaan yang demikian itu, bahwa kredit sudah menjadi macet sekalipun kredit baru diberikan dalam 3 (tiga) bulan. Kemacetan ini dapat terjadi bukan oleh karena analisis bank terhadap kelayakan usaha yang akan diberikan kredit itu tidak baik, tetapi kemacetan itu dapat terjadi sebagai akibat perubahan keadaan ekonomi atau perubahan peraturan yang terjadi, baik diluar negeri maupun di dalam Negeri. 12 Kemacetan kredit karena perubahan keadaan ekonomi atau perubahan peraturan yang terjadi tersebut, sudah barang tentu mengakibatkan debitur enggan untuk memberikan SKMHT baru bila SKMHT yang lama telah habis jangka waktu berlakunya, karena debitur yang nakal melihat peluang untuk dapat mengelak dari tanggung jawabnya untuk membayar kembali utangnya atau berusaha mengulur-ulur
11 12
Ibid., hal. 117-118. Ibid., hal. 120.
Universitas Sumatera Utara
waktu. Debitur akan berusaha untuk mencegah kreditur dapat membebani hak tanggungan di atas tanah yang telah diagunkan untuk krediturnya itu. 13 Permasalahan berlakunya SKMHT juga dapat terjadi dalam hal objek jaminan itu merupakan hak atas tanah yang jangka waktu kepemilikannya dapat berakhir, misalnya Hak Guna Bangunan (HGB) ataupun Hak Guna Usaha (HGU), walaupun dapat diperpanjang atau diperbaharui. Akan tetapi, ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT bahwa SKMHT tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada hak tanggungan. Jadi, jika jangka waktu HGB atau HGU yang dijadikan jaminan itu berakhir, maka kreditur tidak dapat melakukan perpanjangannya, sementara debitur tidak lagi memperpanjang hak atas tanah tersebut. Di samping itu, pemberi hak tanggungan itu dapat seorang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan. 14 Di mana dalam prakteknya, pemberi hak tanggungan badan hukum dapat terjadi objek hak tanggungan itu bukan milik debitur tetapi milik si pemberi jaminan/avalist, yang dalam beberapa kasus ketika terjadi kredit macet si penjamin/avalist tersebut dapat terhindar dari gugatan kreditur kalau terbukti perusahaan yang dijamin belum
13 14
Ibid., hal. 123. Pasal 8 UUHT.
Universitas Sumatera Utara
memperoleh badan hukum, 15 karena dalam hukum Indonesia perusahaan yang sudah memiliki akta pendirian perusahaan sudah dapat melakukan transaksi atas nama perseroan, hanya saja perbuatan itu menjadi tanggung jawab pribadi para pihak kepada kreditur. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Atas Eksistensi Surat Keterangan Membebankan Hak Tanggungan Yang Diingkari Debitur” .
B. Permasalahan Bertitik tolak dari uraian di atas maka yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana ketentuan hukum pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan? 2. Bagaimana tata cara pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan? 3. Bagaimana eksistensi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang diingkari debitur?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menjelaskan ketentuan hukum pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
15
Lihat Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor 1436 K/Pdt/2001, tanggal 24 Januari 2004 kasus gugatan antara PT. Bank Sumut dengan PT. Twin Jaya Steel.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk menjelaskan tata cara pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. 3. Untuk menjelaskan eksistensi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang diingkari debitur.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoretis dan secara praktis, yaitu: 1. Secara teoretis, penelitian dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu hukum terutama hukum jaminan kebendaan yang diikat dengan hak tanggungan. 2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini adalah sebagai masukan bahan pertimbangan
dalam
menyelenggarakan
kebijakan
dalam
pelaksanaan
pembebanan hak tanggungan atas tanah yang dijadikan jaminan kredit khususnya dalam hal SKMHT yang diingkari debitur, bagi kreditur perbankan atau lembaga pembiayaan lain yang terkait.
E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Atas Eksistensi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Yang Diingkari Debitur”, belum pernah dilakukan. Memang pernah ada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh:
Universitas Sumatera Utara
1. Kiki Riarahma, Nim 002111044, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, Tahun 2006, dengan judul ”Fungsi dan Kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak TAnggungan Dalam Perjanjian Kredit (Suatu Penelitian di PT Bank Bukopin Cabang Medan). 2. Marcel Soekendar, Nim 067011049, Mahasiswa Program Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, Tahun 2009, dengan judul ”Pelaksanaan Pembebanan Hak Tanggungan Atas Tanah Sebagai Jaminan Kredit Pada PT. Bank Dipo Internasional Cabang Medan. Apabila diperhadapkan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini maka permasalahan yang dibahas adalah berbeda. Oleh karena itu penelitian ini dapat dinyatakan asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, 16 dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. 17 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis. 18
16
M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, FE UI, Jakarta, 1996, hal. 203. Ibid., hal. 203. 18 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80. 17
Universitas Sumatera Utara
Dengan lahirnya beberapa peraturan hukum positif di luar KUH Perdata sebagai konsekuensi dari asas-asas hukum yang terdapat lapangan hukum kekayaan dan hukum perikatan inilah diperlukan kerangka teori yang akan dibahas dalam penelitian ini dengan aliran hukum positif yang analitis dari Jhon Austin, yang mengartikan: Hukum itu sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap, dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik-buruk. 19 Selain menggunakan teori positvisme hukum dari Jhon Austin dalam menganalisis tesis ini, juga cenderung digunakan teori sistem dari Mariam Darus Badrulzaman yang mengemukakan bahwa sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu, yang merupakan landasan di atas mana dibangun tertib hukum. 20 Hal yang sama juga dikatakan oleh Sunaryati Hartono bahwa sistem adalah sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas. 21 Jadi, dalam sistem hukum terdapat sejumlah asas-asas hukum yang menjadi dasar dalam pembentukan norma hukum dalam suatu perundang-undangan.
19
Lihat Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 55. 20 Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni, Bandung, 1983, hal. 15. 21 C.F.G. Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni,, Bandung, 1991, hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
Pembentukan hukum dalam bentuk hukum positif harus berorientasi pada asas-asas hukum sebagai jantung peraturan hukum tersebut. 22 Sehingga pemahaman akan asas hukum tersebut sangatlah penting dalam sistem hukum terhadap pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) oleh debitur. Dengan teori sistem hukum tersebut maka Analisis masalah yang diajukan adalah lebih berfokus pada sistem hukum positif khususnya mengenai substantif hukum, yakni dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT). Dalam perjanjian kredit, maka bank juga melakukan pengikatan jaminan kebendaan, misalnya hak atas tanah milik debitur dengan pembebanan hak tanggungan sebagai jaminan kepada kreditur jika terjadinya wanprestasi sehingga objek jaminan tersebut dapat dieksekusi untuk memenuhi hutang debitur. Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu: a. Tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin; b. Tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan. 22
Lihat, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hal. 15, menyatakan bahwa disebut demikian karena dua hal yakni, pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.
Universitas Sumatera Utara
Pemberi hak tanggungan (debitur) wajib hadir di hadapan PPAT dalam pemberian hak tanggungan. Jika karena sesuatu sebab debitur tidak dapat hadir sendiri, maka wajib menunjuk kreditur (pihak lain) sebagai kuasanya. Kuasa untuk membebankan hak tanggungan ini sesuai ketentuan UUHT harus dibuat dalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang berbentuk akta otentik. Pasal 1792 KUH Perdata, memberikan batasan, pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya, menyelesaikan suatu pekerjaan. Dengan demikian perjanjian pemberi kuasa adalah merupakan perjanjian sepihak. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Selanjutnya Pasal 1338 KUH Perdata ayat (1) KUH Perdata, memberikan kebebasan kepada para pihak untuk antara lain menentukan isi perjanjian dan memilih dengan siapa ia akan membuat suatu perjanjian. Kemudian makna kata-kata ”untuk atas namanya” berarti bahwa yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, sehingga segala sebab dan akibat dari perjanjian ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pemberi kuasa dalam batas-batas kuasa yang diberikan (Pasal 1807 KUH Perdata). Namun, tidak semua hal dapat dikuasakan kepada lain (pihak ketiga), ada perbuatan yang tidak dapat diwakilkan, seperti contoh, misalnya dalam membuat testamen (Pasal 932 KUH Perdata), melangsungkan perkawinan, kecuali ada alasan penting sebagai diatur dalam Pasal 79 KUH Perdata, mengakui atau mengangkat anak (adopsi). 23
23
Djaja S Meliala, Op. Cit., hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
Suatu pemberian kuasa yang diberikan secara umum adalah meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan yang mencakup segala kepentingan pemberi kuasa, kecuali perbuatan yang hanya dapat dilakukan oleh seorang pemilik (Pasal 1796 KUH Perdata). Sedangkan surat kuasa khusus, hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, oleh karena itu diperlukan suatu pemberian kuasa yang menyebutkan dengan tegas perbuatan mana yang dapat dilakukan oleh penerima kuasa, misalnya untuk membebankan hak tanggungan, dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Pasal 1796 KUH Perdata, mengatur perihal pemberian kuasa istimewa. Selanjutnya, ketentuan kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBg. Jika ketentuan pasal-pasal ini dirangkai, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa. M. Yahya Harahap memasukkan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) sebagai kuasa istimewa, sebagai dijelaskan berikut ini: 24 Kebolehan memberi kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting. Pada prinsipnya, perbuatan hukum yang bersangkutan hanya dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Jadi pada dasarnya, pembuatan tersebut tidak dapat dilakukan oleh kuasa berdasarkan surat kuasa. Untuk menghilangkan ketidak bolehan itu, dibuatlah bentuk kuasa istimewa sehingga suatu tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan secara pribadi, dapat diwakilkan kepada kuasa. Tentang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa, di antaranya kuasa untuk memindahkan benda-benda milik pemberi kuasa, atau untuk meletakkan hipotek (hak tanggungan) di atas benda tersebut.
24
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) itu selanjutnya dapat diuraikan berikut ini: 1) SKMHT harus dibuat dengan Akta Notaris atau PPAT Menurut ketentuan Pasal 1171 ayat (2) KUH Perdata, kuasa untuk memasang hipotik harus dibuat dengan akta otentik, Di dalam pelaksanaannya sesuai Pasal 1868 KUH Perdata akta otentik itu adalah akta Notaris. Tidak demikian halnya untuk SKMHT, karena sesuai Pasal 15 ayat (1) UUHT ditentukan SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT. Dengan kata lain, sekalipun harus dibuat dengan akta otentik, pilihannya bukan hanya dengan akta notaris saja, tetapi dapat pula dibuat dengan akta PPAT. Dengan PMNA/Kepala BPN No. 3 Tahun 1996 Tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Buku-Tanah Hak Tanggungan, dan Sertipikat Hak Tanggungan tanggal 18 April 1996, telah ditetapkan bentuk SKMHT. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut merupakan pelaksanaan dan Pasal 17 UUHT. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT, SKMHT wajib (dan dapat) dibuat bukan saja dengan akta PPAT, tetapi juga dengan akta notaris. Jika membaca Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 110 - 1039 tanggal 18 April 1996 kepada para Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi di seluruh Indonesia, para Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, Pengurus Ikatan Pejabat PPAT dan Pengurus Ikatan Notaris Indonesia, yang merupakan surat pengantar dari PMNA/Ka.BPN No.3 Tahun 1996 tanggal 18 April 1996 tersebut dan membaca
Universitas Sumatera Utara
bunyi formulir SKMHT yang merupakan lampiran I dari PMNA/Kepala BPN tersebut di atas, dapat diketahui bahwa hanya ada satu saja bentuk SKMHT, baik yang dibuat oleh PPAT maupun oleh notaris. Berhubung dengan bentuk SKMHT yang ditetapkan oleh PMNA/Kepala BPN tersebut, dalam Seminar Nasional Undangundang Hak Tanggungan yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Padjajaran pada tanggal 27 Mei 1996 di Bandung, telah dipermasalahkan oleh Notaris Wiratmi Ahmadi apakah akta SKMHT tersebut bila dibuat oleh notaris merupakan akta notaris yang tunduk pada Peraturan Jabatan Notaris. Jawaban dari Boedi Harsono dan para pejabat Badan Pertanahan Nasional adalah tidak. 25 Jawaban Boedi Harsono dan para pejabat BPN atas pertanyaan yang diajukan oleh Notaris Wiratni Ahmadi tersebut, menurut Sutan Remy Sjahdeini, berarti hanya notaris yang PPAT saja yang dapat membuat akta SKMHT. Bila demikian halnya, berarti PMNA/Kepala BPN tersebut telah tidak mengakui kewenangan notaris (bukan selaku PPAT) untuk membuat akta SKMHT notariil, yang nota bene dibenarkan oleh Pasal 15 ayat (1) UUHT. 26 Dengan jelas Pasal 15 ayat (1) UUHT menentukan, bahwa ‘Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT. Dengan tegas ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT itu, bahwa bukan saja SKMHT dapat dibuat dengan akta PPAT, tetapi dapat juga dibuat dengan akta notaris. Apabila maksud dan UUHT itu hanya wajib (dan dapat) dibuat dengan akta PPAT, sudah barang tentu tidak akan disebutkan bahwa akta itu dapat pula dibuat 25 26
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal.109. Ibid., hal. 109.
Universitas Sumatera Utara
dengan akta notaris, karena tidak semua notaris adalah PPAT dan tidak semua PPAT adalah notaris. 27 Bagi perbankan, pendirian PMNA/Kepala BPN yang demikian tidak memberikan kemudahan. Beberapa contoh yang dapat memudahkan bagi bank apabila SKMHT boleh dibuat tidak terbatas hanya dengan akta PPAT saja, tetapi dapat pula dibuat dengan akta notaris. Contoh-contoh kasusnya adalah sebagai berikut: 28 (1) Bank menerima beberapa bidang tanah sebagai agunan yang terletak di beberapa wilayah kerja/kewenangan beberapa PPAT, tetapi masih berada dalam wilayah kerja/kewenangan seorang notaris. (2) Kantor cabang Bank A di Jakarta memberikan kredit kepada PT. X yang berkedudukan di Jakarta. Untuk agunan bagi kredit itu, PT.X menyerahkan satu (atau beberapa) bidang tanah yang terletak di Palembang. Untuk membebankan Hak Tanggungan atas tanah tersebut PT. X bermaksud untuk memberikan kuasa (SKMHT) kepada kantor cabang Bank A di Jakarta sehingga untuk selanjutnya kantor cabang Bank A di Jakarta dapat memberikan kuasa substitusi kepada kantor cabang Bank A di Palembang, agar Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dibuat oleh PPAT setempat dan didaftarkan di Kantor Pertanahan Palembang. Bagi bank untuk dapat melaksanakan pembebanan Hak Tanggungan dalam kedua kasus tersebut di atas akan mengalami kesulitan. Akan menjadi praktis apabila akta SKMHT tidak hanya wajib dan boleh dibuat dengan akta PPAT saja, tetapi boleh pula dibuat dengan akta notaris. Bagi sahnya suatu SKMHT selain dari harus dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT, menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT harus pula dipenuhi persyaratan SKMHT yang dibuat itu: 27 28
Ibid., hal. 110. Ibid., hal. 110-111.
Universitas Sumatera Utara
a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan. b. tidak memuat kuasa substitusi. c. mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. 2) SKMHT tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan lain Yang dimaksud dengan “tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain’ dalam ketentuan ini, misalnya tidak memuat kuasa untuk menjual, menyewakan objek Hak Tanggungan, atau memperpanjang hak atas tanah. Demikian menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf a UUHT. Dengan demikian, ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT itu menuntut agar SKMHT dibuat secara khusus hanya memuat pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan saja, sehingga dengan demikian juga terpisah dari akta-akta lain. Konsekuensi hukum yang ditetapkan berupa ‘batal demi hukum” apabila syarat-syarat SKMHT yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UUHT tidak dipenuhi merupakan konsekuensi yang sangat menentukan. Oleh karena itu menurut Sutan Remy Sjahdeini, seyogianya konsekuensi berupa “batal demi hukum” itu ditentukan tidak di dalam penjelasan dari Pasal 15 ayat (1) UUHT itu, tetapi secara tegas atau eksplisit ditentukan di dalam undang-undangnya itu sendiri, misalnya berupa salah satu ayat dari Pasal 15 UUHT: 29 (1) Mengapa tidak ditempuh seperti halnya dengan Pasal 15 ayat (6) UUHT yang menentukan konsekuensi berupa “batal demi hukum” apabila SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan akta pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau
29
Ibid., hal. 105-106.
Universitas Sumatera Utara
ayat (4), atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) dan Pasal 15 UUHT tersebut. (2) Atau seperti halnya Pasal 12 UUHT yang menentukan konsekuensi berupa “batal demi hukum” terhadap janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji. (3) Atau seperti juga ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUHT yang menentukan konsekuensi berupa “batal demi hukum” bagi dimuatnya janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) Pasal 20 UUHT. 3) Pengertian Substitusi dalam SKMHT Pasal 15 ayat (1) huruf b UUHT menentukan, pengertian “substitusi menurut Undang-undang ini adalah penggantian penerima kuasa melalui pengalihan. Lebih lanjut dijelaskan, “bukan merupakan substitusi, jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak lain dalam rangka penugasan untuk bertindak mewakilinya. Mengingat ketentuan Pasal 1803 ayat (2) KUH Perdata, yang menentukan bahwa pemberi kuasa senantiasa dianggap telah memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam hal kuasa itu diberikan untuk mengurus benda-benda yang terletak diluar wilayah Indonesia atau dilain pulau selain dari pada tempat tinggal pemberi kuasa, kiranya SKMHT tidak sekadar dalam rumusannya tidak memuat kuasa substitusi, tetapi di dalam rumusan SKMHT secara tegas dicantumkan bahwa kuasa tersebut diberikan tanpa hak substitusi. Apabila contoh formulir SKMHT yang dilampirkan pada peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1996 tidak dimuat klausul pembatasan untuk tidak memberikan hak substitusi yang dimaksud itu. Oleh
Universitas Sumatera Utara
karena berlakunya ketentuan Pasal 1803 ayat (2) KUH Perdata itu sebagaimana disebutkan di atas, tidak dicantumkannya secara tegas di dalam rumusan SKMHT bahwa kuasa tersebut diberikan tanpa hak substitusi, secara yuridis mengandung pemberian kuasa substitusi dalam hal objek hak jaminan berada di lain pulau selain daripada tempat tinggal pemberi kuasa.
4) Batas berlakunya SKMHT Kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana yang ditentukan undang-undang. Ketentuan jangka waktu SKMHT menurut UUHT dapat dibedakan atas tanah terdaftar dan tanah belum terdaftar adalah: 30 a. SKMHT atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan. b. SKMHT atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. Ketentuan mengenai jangka waktu diatas, tidak berlaku dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu, misalnya adalah kredit program, kredit kecil, kredit pemilikan rumah, dan kredit lainnya yang sejenis. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 1 PMNA/Ka. BPN Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin
30
Pasal 15 ayat (2) , (3) dan ayat (4) UUHT.
Universitas Sumatera Utara
Pelunasan Kredit-kredit Tertentu, bahwa SKMHT yang diberikan untuk menjamin pelunasan jenis-jenis Kredit Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 26/24IKEP/DIR tanggal 28 Mei 1993 (Sebagaimana telah diubah dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/4/KEP/DIR tanggal 4 April 1997, dan diubah lagi dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 30/55/KEP/DIR tanggal 8 Agustus 1998), berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya Perjanjian pokok yang bersangkutan.
5) Janji-janji dalam SKMHT SKMHT ini meliputi pula kuasa untuk menghadap dimana perlu, diantaranya di depan Notaris/PPAT dan instansi lainnya, memberikan keterangan-keterangan, membuat dan menandatangani akta-akta dan surat-surat yang diperlukan, membuat/minta dibuatkan serta menandatangani APHT serta memberi pernyataan bahwa objek hak tanggungan betul milik Pemberi Kuasa dan tidak sedang tersangkut dalam sengketa, bebas dari sitaan dan dari beban apapun, pendaftaran hak tanggungan tersebut, memberikan dan menyetujui syarat-syarat atau aturan-aturan serta janji-janji yang disetujui oleh Pemberi Kuasa dalam APHT tersebut, antara lain:31 a. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa di muka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; 31
Pasal 11 ayat (2) UUHT.
Universitas Sumatera Utara
c. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji; d. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang; e. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji; f. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan; g. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; h. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum; i. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan; j. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan; k. Janji pengembalian sertifikat hak atas tanah kepada pemegang hak atas tanah, kecuali telah diperjanjikan sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. 2. Konsepsi Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. 32 Pentingnya definisi operasional adalah untuk
32
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. 33 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu: a. Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. 34 b. Kreditur adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu. 35 c. Debitur adalah pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang-piutang tertentu. 36 d. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 37
33
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hal 35 34 Pasal 1 angka 1 UUHT 35 Pasal 1 angka 2 UUHT 36 Pasal 1 angka 3 UUHT 37 Pasal 1 angka 4 UUHT
Universitas Sumatera Utara
e. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah akta PPAT yang berisi pemberian Hak Tanggungan kepada kreditur tertentu sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya. 38 f. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) adalah suatu kuasa yang diberikan debitur (pemilik barang jaminan) untuk hadir di hadapan PPAT dalam pembuatan APHT dalam rangka pembebanan hak tanggungan kepada kreditur (pihak lain) yang berbentuk akta otentik. 39
G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan 40 tentang pemberian SKMHT yang diingkari debitur. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, khususnya yang menyangkut Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya. Jadi, sifat penelitian ini adalah juridis normatif, yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain. 41
38
Pasal 1 angka 5 UUHT Penjelasan Umum angka 7 UUHT. 40 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 63. 41 Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal.13 39
Universitas Sumatera Utara
2. Sumber Data Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan, sebagai berikut: a. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan
penelaahan
bahan
kepustakaan
atau
data
sekunder
yang
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 42 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni: a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (UUPA). c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT). 2) Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum, yang berkaitan dengan pemberian SKMHT yang diingkari debitur. 3) Bahan tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedia atau majalah yang terkait dengan pemberian SKMHT yang diingkari debitur. 42
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal.39.
Universitas Sumatera Utara
b. Penelitian Lapangan (field research) untuk mendapatkan data yang terkait konsistensi Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, dengan melakukan wawancara kepada: a. Notaris/PPAT di Kota Medan, sebanyak 5 (lima) orang. b. Kreditur sebagai penerima SKMHT di Kota Medan, sebanyak 1 (satu) orang. c. Debitur (perorangan ataupun badan hukum) sebagai pemberi SKMHT di Kota Medan, sebanyak 1 (satu) orang.
3. Alat Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu:
1. Studi Dokumen untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan, dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.
2. Wawancara, yang dilakukan dengan pedoman wawancara yang terstruktur kepada responden yang telah ditetapkan yang terkait dengan pemberian SKMHT dalam pembebanan hak tanggungan dalam perjanjian kredit.
4. Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan responden hingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
40
Semua data yang diperoleh kemudian dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis, dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya
ditarik
kesimpulan
dengan
menggunakan
metode
pendekatan
deduktif. Kesimpulan adalah merupakan jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti, sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara