BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Spiritualitas telah banyak dipandang sebagai faktor penting di tempat kerja (Neal, 1997; Ashmos & Duchon, 2000; Korac-Kakabadse et al., 2002; Krahnke et al., 2003 dalam Petchsawang & Duchon, 2009). Menurut Krishnakumar dan Leher (2002, dalam Nasurdin, Nejati, & Mei, 2013), adanya spiritualitas di tempat kerja dapat menguntungkan bagi individu maupun organisasi. Nasurdin et al. (2013) juga menambahkan bahwa spiritualitas di tempat kerja berkontribusi meningkatkan kreativitas (Freshman, 1999), kejujuran dan kepercayaan dalam organisasi (WagnerMarsh & Conley, 1999), rasa pemenuhan pribadi (Burack, 1999), komitmen organisasional yang lebih tinggi (Leigh, 1997), serta kinerja organisasional yang lebih besar (Garcia-Zamor, 2003). Ketertarikan terhadap spiritualitas di tempat kerja terus meningkat lebih dari satu dekade terakhir ini (Giacalone & Jurkiewicz, 2003 dalam Jurkiewicz & Giacalone, 2004) dan menjadi bahan diskusi penting dalam seminar maupun konferensi (Pandey, 2014). Menurut Robbins dan Judge (2013), ada beberapa alasan tumbuhnya minat dalam isu ini. Alasan pertama adalah spiritualitas dapat mengimbangi tekanan-tekanan dalam hidup yang cepat dan bergejolak saat ini. Kedua, agama dianggap tidak begitu bekerja bagi banyak orang sehingga spiritualitas dianggap mampu mengisi dan
1
menggantikan kekurangan iman dan perasaan kosong yang berkembang. Ketiga, tuntutan pekerjaan di tempat kerja banyak mendominasi kehidupan orang-orang sehingga penting bagi mereka untuk menemukan dan merasakan energi positif di tempat kerja. Keempat, orang-orang ingin mengintegrasikan nilai-nilai kehidupan personal mereka dengan kehidupan profesional (pekerjaan) mereka. Nasurdin et al. (2013) menyatakan bahwa meskipun perkembangan literatur tentang spiritualitas di tempat kerja meningkat, namun masih memiliki kendala utama (Milliman, Czaplewski, & Ferguson, 2003), yaitu sedikit kemajuan yang dibuat terhadap pembentukan definisi yang diterima secara luas (Gotsis & Kortezi, 2008). Konsepnya yang dianggap masih belum jelas (Kolodinsky, Giacalone, & Jurkiewicz, 2008) membuat banyak penelitian akhirnya lebih memfokuskan pada definisi dan operasional spiritual di tempat kerja (Ashmos & Duchon, 2000; Moore & Casper, 2006) serta mendeskripsikan perwujudan spiritualitas di tempat kerja (Milliman et al., 1999 dalam Pawar, 2009). Hal tersebut juga membuat penelitian tentang spiritualitas di tempat kerja lebih banyak berkonsentrasi pada pengalaman spiritual individu di tempat kerja daripada pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap sikap kerja dan perilaku individu (Milliman et al., 2003; Nasurdin et al., 2013). Menurut Laabs (1995, dalam Banyhamdan, Harrim, & Al-Qutop, 2012), mendefinisikan spiritualitas memang jauh lebih mudah dibandingkan spiritualitas dalam bisnis atau di tempat kerja. Dalam beberapa literatur
2
ditemukan beragam definisi spiritualitas di tempat kerja dan belum ada yang disepakati sebagai satu definisi. Menurut Meezenbroek, Garssen, Berg, Dierendonck, Visser, & Schaufeli (2012), hampir tidak mungkin untuk menemukan sebuah deskripsi yang mayoritas orang menyepakatinya. Hal ini dikarenakan spiritualitas merupakan konsep multidimensional yang kompleks (Cook, 2004; Hill et al., 2000; George et al., 2000; Moberg, 2002 dalam Meezenbroek et al., 2012). Namun dalam definisi dan konseptualisasi yang berbeda tersebut, ada penekanan, fokus, dan dimensi yang tumpang tindih (Banyhamdan et al., 2012). Menurut Petchsawang dan Duchon (2009), ada empat pokok bahasan yang sering muncul terkait spiritualitas di tempat kerja, yaitu compassion,
mindfulness,
meaningful
work,
dan
transcendence.
Berdasarkan empat pokok bahasan tersebut, spiritualitas di tempat kerja dapat diartikan sebagai bentuk ekspresi keinginan karyawan untuk terhubung dan bersikap welas asih kepada orang lain (compassion), memiliki kehati-hatian (mindfulness) dalam melakukan pekerjaan yang bermakna
(meaningful
(transcendence)
work),
(Petchsawang
dan &
memungkinkan
Duchon,
2009).
transendensi Penelitian
ini
menggunakan definisi tersebut karena masih didasarkan pada sebagian besar literatur Barat terkait spiritualitas di tempat kerja, namun sudah meluas dan memungkinkan kepekaan atau sensibilitas kawasan bagian Timur terhadap spiritualitas (Petchsawang & Duchon, 2012).
3
Penelitian ini fokus terhadap pengaruh spiritualitas di tempat kerja (variabel bebas) terhadap perilaku kewargaan organisasional (variabel terikat). Perilaku kewargaan organisasional memiliki dampak besar terhadap kesuksesan organisasi dan hal tersebut telah diakui oleh sejumlah studi (misalnya Podsakoff, MacKenzie, Paine, & Bachrach, 2000; Organ, Podsakoff, & Mackenzie, 2006; Euwema, Wendt, & Van Emmerik, 2007; Sun, Aryee, & Hukum, 2007; Chang & Smithikrai, 2010; Kabasakal, Dastmalchian, & Imer, 2011; Teh, Boerhannoeddin, & Ismail, 2012; Paille, 2013 dalam Chin, 2015). Barnard (1938, dalam Jena & Goswami, 2014) berpendapat bahwa kesediaan karyawan dalam usaha yang kooperatif sangat penting untuk keefektifan realisasi tujuan organisasi. Katz (1964, dalam Jena & Goswami, 2014) juga mencatat pentingnya perilaku spontan dan inovatif yang melebihi peran formal yang seharusnya, namun sangat diperlukan untuk keefektifan organisasi. Semakin banyak karyawan yang terlibat dalam perilaku kewargaan organisasional, maka organisasi akan menjadi lebih sukses (Yen & Niehoff, 2004 dalam Jena & Goswami, 2014). Selain itu, pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap perilaku kewargaan organisasional masih belum banyak diteliti (Nasurdin et al., 2013; Ahmad & Omar, 2014) sehingga penelitian ini dilakukan juga untuk mengisi gap empiris tersebut. Perilaku kewargaan organisasional didefinisikan sebagai perilaku extra-role
karyawan
yang
dapat
berkontribusi
terhadap
kinerja
organisasional (Organ, Podsakoff, & MacKenzie, 2006 dalam Chun, Shin,
4
Choi, & Kim, 2013). Pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap perilaku
kewargaan
organisasional
dapat
dijelaskan
secara
teori.
Spiritualitas di tempat kerja dikatakan sebagai sebuah pengalaman karyawan di tempat kerja (Meezenbroek et al., 2012; Porshariati, Dousti, & Moosavi, 2014). Ketika karyawan dapat mengekspresikan keinginannya untuk peduli dan berwelas asih dengan yang lain, memiliki kehati-hatian dalam
melakukan
pekerjaan
yang
bermakna,
dan
memungkinkan
munculnya perasaan utuh dan sukacita di tempat kerja, maka dapat dikatakan bahwa karyawan memiliki pengalaman positif selama berada di tempat kerja. Hal ini akan membuat karyawan bekerja dengan senang hati bahkan dapat melakukan hal positif lain yang melebihi kewajibannya (job description) di tempat kerja (Kazemipour & Amin, 2012). Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan adanya pengaruh positif spiritualitas di tempat kerja terhadap perilaku kewargaan organisasional, namun ada juga penelitian yang justru menunjukkan adanya ketidakkonsistenan hasil (misalnya dalam Kazemipour & Amin, 2012; Nasurdin et al., 2013; Phorsariati et al., 2014). Dalam Nasurdin et al. (2013) misalnya, dimensi sense of community pada spiritualitas di tempat kerja, yang menggambarkan hubungan yang lebih dalam dengan orang lain, termasuk dukungan, kebebasan berekspresi, dan kepedulian yang tulus (Milliman et al., 2003) memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku kewargaan organisasional, namun tidak signifikan pada penelitian Kazemipour dan Amin (2012). Berdasarkan hal tersebut, kemungkinan ada
5
faktor lain yang dapat mendukung pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap perilaku kewargaan organisasional. Karena menurut Jurkiewicz dan Giacalone (2004), banyak variabel yang berdampak pada kinerja sehingga tidak memungkinkan hubungan positif yang sederhana antara nilai-nilai spiritual dan kinerja (dalam penelitian ini, kinerja yang dimaksud adalah kinerja extra-role atau perilaku kewargaan organisasional). Kemungkinan faktor lain, baik internal maupun eksternal, dibutuhkan untuk memoderasi hubungan tersebut (Jurkiewicz & Giacalone, 2004). Dalam penelitian ini diusulkan dua variabel pemoderasi yang mewakili variabel individu (internal) dan variabel situasional (eksternal) agar terjadi keseimbangan faktor yang memoderasi pada pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap perilaku kewargaan organisasional. Variabel pemoderasi pertama yang diusulkan adalah identifikasi organisasional. Identifikasi organisasional telah lama dikenal sebagai konstruk penting dalam literatur mengenai perilaku organisasi (Ashforth & Mael, 1989 dalam Kholiq, 2015) yang dapat mendukung dan mewujudkan tujuan dan sasaran organisasi dengan memberikan dampak positif pada perilaku karyawan (Hekman et al., 2009; Zhu et al., 2012 dalam Kholiq, 2015). Identifikasi organisasional terkait dengan bagaimana karyawan mengidentifikasi dirinya terhadap organisasi (Ashforth & Mael, 1989 dalam He & Brown, 2013). Identifikasi organisasional terjadi ketika karyawan merasa menjadi bagian atau kesatuan (oneness) dengan organisasi yang mempekerjakan mereka dan merasa bahwa mereka termasuk di dalamnya
6
(Ashforth & Mael, 1989 dalam He & Brown, 2013). Choi, Moon, Ko, & Kim (2014) menyatakan bahwa menurut teori identitas sosial, individu cenderung untuk menemukan identitas sosial (yang berarti ‘siapa saya’) dalam hubungan sosial dengan organisasi mereka (Ellemers et al., 2004; Olkkonen & Lipponen, 2006). Karyawan yang mengidentifikasi diri dengan organisasi melalui penemuan identitas sosial mereka akan melihat kepentingan organisasi sebagai kepentingan mereka (Ashforth & Mael, 1989; Ellemers et al., 2004; Van Knippenberg, 2000 dalam Choi et al., 2014). Selain itu, karyawan juga akan termotivasi untuk secara sukarela berperilaku untuk kepentingan kinerja organisasi (Van Dick et al., 2006 dalam Choi et al., 2014). Selain identifikasi organisasional, peneliti juga mengusulkan variabel situasional sebagai variabel pemoderasi yang lain. Variabel tersebut adalah dukungan organisasional persepsian. Dukungan organisasional persepsian merupakan persepsi karyawan bahwa organisasi mendukung dan peduli terhadap kesejahteraan karyawan (Chinomona, 2011). Beberapa studi menunjukkan bahwa dukungan organisasional persepsian berperan sebagai pemoderasi (Purbo, 2015), dimana sebuah dukungan dapat mempengaruhi reaksi afektif secara umum terhadap pekerjaan, termasuk kepuasan kerja dan suasana hati positif karyawan (Rhoades & Eisenberger, 2002 dalam Purbo, 2015). Dukungan organisasional persepsian dapat meningkatkan motivasi intrinsik karyawan (Babakus et al., 1996 dalam Purbo, 2015) sehingga
7
karyawan dapat lebih termotivasi untuk melakukan kinerja yang baik terhadap pekerjaannya (Babakus et al., 1996 dalam Purbo, 2015). Berdasarkan teori pertukaran sosial (social exchange theory), dukungan diyakini menjadi sumber bagi hasil positif karyawan (baik itu sikap, perilaku, maupun kinerja) (Rhoades & Eisenberger, 2002 dalam Ahmed & Nawaz, 2015). Ketika karyawan merasa diperlakukan secara wajar atau adil oleh organisasi mereka, kemungkinan pada akhirnya mereka memberikan timbal balik dengan meningkatkan kinerja karena hubungan pertukaran sosial berkembang antara karyawan dan organisasi (MacKenzie et al., 1993; Organ, 1988; Podsakoff et al., 2009 dalam Chinomona, 2011). Selain itu, spiritualitas individu memang menjadi faktor penting di tempat kerja (Neal, 1997; Ashmos & Duchon, 2000; Korac-Kakabadse, Kouzmin, & Kakabadse, 2002; Krahnke, Giacalone, & Jurkiewicz, 2003 dalam Petchsawang & Duchon, 2009). Namun karena organisasi dipandang sebagai tempat dimana spiritualitas dapat ditemukan dan diekspresikan (Ashmos & Duchon, 2000; Cacioppe, 2000; Giacalone & Jurkiewicz, 2003; Milliman et al., 2003; George et al., 2004 dalam Petchsawang & Duchon, 2012), maka organisasi dapat turut berperan mendukung pengembangan spiritualitas karyawan di tempat kerja. Dukungan organisasi dapat berpotensi merangsang sikap karyawan di tempat kerja seperti kepuasan karyawan dan komitmen organisasi yang mungkin akibatnya menyebabkan peningkatan kinerja (Randall et al., 1999 dalam Chinomona, 2011).
8
Penelitian ini fokus menguji bagaimana pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap perilaku kewargaan organisasional dengan identifikasi organisasional dan dukungan organisasional persepsian sebagai variabel pemoderasi. Penelitian ini dilakukan untuk beberapa alasan, yaitu untuk mengisi gap empiris pada literatur spiritualitas di tempat kerja yang belum banyak hubungannya dengan perilaku kewargaan organisasional, serta menjelaskan peran identifikasi organisasional dan dukungan organisasional persepsian sebagai pemoderasi pada pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap perilaku kewargaan organisasional yang ditemukan tidak konsisten dalam beberapa literatur. 1.2
Rumusan Masalah Ada beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini. Pertama, seperti yang sudah dipaparkan dalam latar belakang sebelumnya bahwa ketertarikan para peneliti terhadap isu spiritualitas di tempat kerja terus menerus meningkat. Namun meskipun literatur tentang spiritualitas di tempat kerja tumbuh, sedikit kemajuan yang dibuat terhadap pembentukan definisi yang diterima secara luas (Gotsis & Kortezi, 2008 dalam Nasurdin et al., 2013). Dalam beberapa penelitian sebelumnya, definisi spiritualitas di tempat kerja muncul dari berbagai disiplin dan perspektif. Penelitian ini mencoba untuk menjelaskan dan menegaskan bahwa beragam definisi yang ada bukan sepenuhnya berbeda namun memiliki beberapa poin inti yang sama. Hal ini penting dilakukan untuk
9
perkembangan isu penelitian spiritualitas di tempat kerja serta sebagai salah satu sumbangsih peneliti dalam isu penelitian tersebut. Masalah kedua adalah terkait pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap perilaku kewargaan organisasional yang masih belum banyak diteliti (seperti yang dikatakan oleh Nasurdin et al., 2013; Ahmad & Omar, 2014). Masalah ketiga adalah bahwa penelitian sebelumnya tentang pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap perilaku kewargaan organisasional mengalami ketidakkonsistenan hasil (misalnya dalam Kazemipour & Amin, 2012; Nasurdin et al., 2013; Phorsariati et al., 2014). Hal ini membuat peneliti mengusulkan variabel pemoderasi pada hubungan tersebut, yaitu identifikasi organisasional dan dukungan organisasional persepsian. Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, kedua variabel pemoderasi tersebut diduga dapat mempengaruhi pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap perilaku kewargaan organisasional. 1.3
Pertanyaan Penelitian Pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1.
Apakah spiritualitas di tempat kerja berpengaruh positif terhadap perilaku kewargaan organisasional?
2.
Apakah identifikasi organisasional memoderasi pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap perilaku kewargaan organisasional?
3.
Apakah dukungan organisasional persepsian memoderasi pengaruh spiritualitas
di
tempat
kerja
terhadap
perilaku
kewargaan
organisasional?
10
1.4
Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1.
Menguji pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap perilaku kewargaan organisasional.
2.
Menguji
pemoderasi
spiritualitas
di
identifikasi
tempat
organisasional
kerja
terhadap
pada
perilaku
pengaruh kewargaan
organisasional. 3.
Menguji
pemoderasi
dukungan
organisasional
persepsian
pada
pengaruh spiritualitas di tempat kerja terhadap perilaku kewargaan organisasional. 1.5
Kontribusi Penelitian Kontribusi dalam penelitian ini adalah: 1.
Memberikan bukti empiris terhadap perkembangan isu spiritualitas di tempat
kerja
yang
dihubungkan
dengan
perilaku
kewargaan
organisasional, dimana hubungan tersebut juga dimoderasi oleh identifikasi organisasional dan dukungan organisasional persepsian. 2.
Memberikan wawasan sebagai tambahan informasi dan pertimbangan bagi para praktisi akan pentingnya spiritualitas di tempat kerja bagi keefektifan dan kesuksesan sebuah organisasi atau perusahaan, melalui perilaku kewargaan organisasional karyawan. Faktor-faktor lain yang juga penting dan perlu diperhatikan oleh organisasi adalah terkait identifikasi diri karyawan terhadap organisasi serta dukungan organisasi yang dirasakan oleh karyawan.
11